You are on page 1of 6

6

Pengaruh Paparan Formalin Dalam Berbagai Kadar


Terhadap DNA Muskulus Psoas Mayor
Dengan Pemeriksaan Metode PCR Lokus CSF1PO, D5S818, D13S317, D21S11
Warih Wilianto, Ahmad Yudianto

Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal


FK Unair RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak
Pada kasus kasus yang memerlukan otopsi dan pemeriksaan histo-patologi sering didapatkan
jaringan sampel yang tersisa dan disimpan dalam larutan formalin yang mungkin dapat dipakai sebagai
bahan pemeriksaan DNA. Paparan formalin secara ekstrim merugikan karena DNA crosslink
menghambat denaturasi pada PCR. pH larutan formalin yang semakin turun karena terbentuknya asam
formiat, menyebabkan bertambahnya AP Site yang berakhir dengan fragmentasi DNA.
Dilakukan penelitian eksperimental laboratoris analitik untuk menganalisis pengaruh paparan
larutan formalin pada 19 sampel DNA muskulus psoas mayor jenazah Mr X pada lokus CSF1PO,
D5S818, D13S317, D21S11, dengan rancangan eksperimental sederhana (posttest only control group
design.
Penelitian ini membuktikan pengaruh formalin pada kadar DNA paska ekstraksi, tidak dapat
membuktikan pengaruh prosentase kadar larutan formalin. DNA muskulus psoas mayor terpapar formalin
paska ekstraksi memiliki kadar yang masih memungkinkan untuk dilakukan PCR.
Terdapat pengaruh pada visualisasi DNA hasil PCR, Pemeriksaan metode P C R lokus D13S317
dan D21S11 dengan mini primer dilanjutkan dengan elektroforesis masih dapat memperlihatkan pita
DNA yang bisa dianalisis. Pemeriksaan metode P C R lokus CSF1PO dengan primer standar dan lokus
D3S818 dengan mini primer dilanjutkan dengan elektroforesis tidak dapat memperlihatkan pita DNA
yang bisa dianalisis.
Kata kunci: Formalin, DNA, PCR, Lokus CSF1PO, D5S818, D13S317, D21S11

Pendahuluan
Identifikasi adalah pengenalan individu
berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat yang
membedakannya dari individu lain, mencakup
korban hidup dan korban mati. Dikenal variabel
identifikasi yaitu primer: sidik jari, rekam medis
gigi, DNA, sekunder: data medis dan properti.
Pada suatu operasi DVI, pengambilan
sampel untuk pemeriksaan DNA menjadi
prosedur tetap, bisaanya sampel yang diambil
adalah tulang kosta, gigi, atau tulang panjang lain
dengan alasan bisa disimpan dalam waktu yang
lama dengan pengawetan yang sederhana (cukup
dikeringkan).
Dipikirkan pengambilan sampel jaringan
lunak yang relatif mudah diambil dan lebih tidak
terlihat cacat pada jenazah paska otopsi.
Jaringan lunak yang mudah membusuk
menjadi kendala tersendiri, karena itu jaringan
lunak tersebut harus diawetkan. Media untuk
mengawetkan jenazah yang lazim hingga saat ini
adalah larutan formalin. Pada kasus kasus yang

memerlukan otopsi dan pemeriksaan histopatologi sering didapatkan jaringan sampel yang
tersisa dan disimpan dalam larutan formalin.
Paparan formalin yang menginduksi
terjadinya DNA crosslink memang secara efektif
melindungi morfologi struktur dari sel, tetapi
secara ekstrim merugikan karena DNA crosslink
menghambat denaturasi pada PCR. Sebagai
tambahan, pH larutan formalin yang semakin
turun seiring waktu karena terbentuknya asam
formiat, menyebabkan bertambahnya AP Site
yang berakhir dengan fragmentasi DNA. (Evans,
2007)
Beberapa penelitian dilakukan untuk
mencari metode ekstraksi DNA dari sampel yang
terpapar formalin, bahkan pada sampel blok
sediaan histopatologi. (Schild, 2007), (Tang,
2006), (Viloria, 2005), (Vincek, 2003). Sejauh ini
pengaruh paparan larutan formalin secara
prosentase terhadap struktur DNA jaringan lunak
belum banyak diketahui.

Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 15 No. 1, Januari Maret 2013

Penelitian ini bertujuan menjelaskan


pengaruh paparan larutan formalin secara
prosentase terhadap struktur DNA jaringan lunak.
Bahan, Metodologi, dan Hasil Penelitian
Penelitian ini berjenis eksperimental
laboratoris analitik, menganalisis pengaruh
paparan larutan formalin pada 19 sampel DNA
muskulus psoas mayor jenazah Mr X pada lokus
CSF1PO, D5S818, D13S317, D21S11, digunakan
adalah Rancangan Eksperimental Sederhana
(Posttest Only Control group design).
Sampel direndam larutan formalin dengan
konsentrasi: 2%, 4%, 6%, 8%, 10%, 12%, 14%,
16%, 18%, 20%, 22%, 24%, 26%, 28%, 30%,
32%, 34%, 35 % selama 3 hari pada suhu kamar.
Sampel tanpa paparan digunakan sebagai kontrol.
Setelah 3 hari diinkubasi, pada 2 gram
sampel dilakukan deformalinisasi, dilanjutkan
dengan sonikasi lalu proses selanjutnya secara
berurutan adalah: ekstraksi DNA, pengukuran
Kadar DNA, PCR (Untuk lokus CSF1PO
menggunakan primer standar, untuk lokus
D5S818, D13S31, D21S11 mengunakan mini
primer), dan elektroforesis. Penghitangan hasil
dilakukan dengan program statistik SPSS.

yang tinggi yaitu 1466,5 g/ml dengan angka


kemurnian 1,50359.
Dilakukan anlisis statistik untuk mencari
hubungan antara prosentase larutan formalin
dengan kadar DNA paska ekstraksi menggunakan
uji korelasi Spearman dengan hasil koefisien
korelasi (i) = - 0,047
Pada DNA sampel yang terpapar larutan
formalin 2%, sampel yang terpapar larutan
formalin 35%, dan sampel kontrol dilakukan PCR
pada lokus CSF1PO dengan primer standar, dan
lokus D5S818, D13S317, dan D21S11 dengan
mini primer. Didapatkan visualisasi hasil PCR
sebagai berikut:

3 4

Deteksi

Keterangan
M: Marker
1 : lokus CSF1PO, kontrol
2 : lokus CSF1PO, formalin 2%
3 : lokus CSF1PO, formalin 35%
4 : lokus D21S11, kontrol
5 : lokus D21S11, formalin 2%
6 : lokus D21S11, formalin 35%

Tabel 1. Kadar dan kemurnian DNA sampel

Kontrol

0,419

0,278

Kadar DNA
(g/ml)
260 X 70 X
50
1466,5

2
3
4
5

2%
4%
6%
8%

0,029
0,051
0,042
0,060

0,028
0,050
0,040
0,056

101,5
178,5
147
210

1,03571
1,02000
1,05000
1,07142

6
7
8
9

10%
12%
14%
16%

0,029
0,064
0,046
0,076

0,028
0,059
0,043
0,069

101,5
224
161
266

1,03571
1,08474
1,06976
1,10144

10
11
12
13

18%
20%
22%
24%

0,032
0,052
0,050
0,043

0,031
0,049
0,046
0,042

112
182
175
150

1,03225
1,06122
1,08695
1,02380

14
15
16
17

26%
28%
30%
32%

0,029
0,030
0,061
0,024

0,028
0,027
0,053
0,023

101,5
105
56
84

1,0357142
1,11111
1,15094
1,04347

18
19

34%
35%

0,069
0,061

0,064
0,056

241,5
213,5

1,07812
1,08928

No
Sampel

Kadar
Formalin

260

280

Kemurnian
DNA
260 / 280
1,50359

Dari tabel 1 di atas, didapatkan bahwa


kadar DNA seluruh sampel berkisar antara 56
g/ml - 266 g/ml dengan kemurnian di atas 1
sehingga seluruh sampel memungkinkan untuk
dilakukan PCR. Pada kontrol menunjukkan angka

+ +

Gambar 1: Visualisasi hasil PCR lokus CSF1PO dengan


primer standard dan lokus D21S11 dengan mini primer
pada sampel muskulus psoas mayor yang terpapar larutan
formalin 2% dan 35%

Pada Gambar 1 terlihat visualisasi hasil


PCR lokus CSF1PO dengan primer standard dan
lokus D21S11 dengan mini primer pada sampel
muskulus psoas mayor yang terpapar larutan
formalin 2% dan 35%. Tampak pada kolom 2 dan
3, visualisasi hasil PCR pada lokus CSF1PO
mengunakan primer standar tidak dapat terdeteksi.
Pada kolom 5 dan 6, visualisasi hasil PCR pada
lokus D21S11 menggunakan mini primer dapat
terdeteksi pada ukuran sedikit dibawah 200 bp,
sesuai dengan ukuran lokus mini primer D21S11
(153-211 bp).
Pada Gambar 2 terlihat visualisasi hasil
PCR lokus D13S317 dengan mini primer pada
sampel muskulus psoas mayor yang terpapar
larutan formalin 2% dan 35%. Tampak pada

kolom 2 (DNA sampel terpapar formalin 2%),


visualisasi hasil PCR pada lokus D13S317
mengunakan mini primer dapat terdeteksi pada
ukuran sedikit di bawah 100 bp, sesuai dengan
ukuran lokus mini primer D13S317 (88 132 bp).

3
Keterangan
M: Marker
1 : lokus D13S317, kontrol
2 : lokus D13S317, formalin 2%
3 : lokus D13S317, formalin
35%

lokus D13S317 mengunakan mini primer tidak


dapat terdeteksi.
Pada Gambar 3 terlihat visualisasi hasil
PCR lokus D13S317 dengan mini primer pada
sampel muskulus psoas mayor yang terpapar
larutan formalin 2% dan 35%, dengan dua kali
PCR. Perlakuan dua kali PCR ini untuk
mempertegas visualisasi pada gambar 2 yang
menggunakan satu kali PCR saja. Tampak pada
kolom 2 dan 3 (DNA sampel terpapar formalin
2% dan 3%), visualisasi hasil PCR pada lokus
D13S317 mengunakan mini primer dapat
terdeteksi pada ukuran sedikit di bawah 100 bp,
sesuai dengan ukuran lokus mini primer D13S317
(88 132 bp) dengan visualisasi yang lebih tegas
dibanding pada gambar 16.

D13S317 (88 132

Deteksi

Keterangan
M: Marker
1 : lokus D5S818, kontrol
2 : lokus D5S818, formalin 2%
3 : lokus D5S818, formalin 35%

Gambar 2: Visualisasi hasil PCR lokus D13S317


dengan mini primer pada sampel muskulus psoas
mayor yang terpapar larutan formalin 2% dan 35%

Keterangan
M: Marker
1 : lokus D13S317, kontrol
2 : lokus D13S317, formalin 2%
3 : lokus D13S317, formalin

D5S818 (81 117 bp)

Deteksi -

Gambar 4: Visualisasi hasil PCR lokus D5S818


dengan mini primer pada sampel muskulus psoas
mayor yang terpapar larutan formalin 2% dan 35%
(dua kali PCR)
D13S317 (88 132 bp)

Deteksi

Gambar 3: Visualisasi hasil PCR lokus D13S317 dengan


mini primer pada sampel muskulus psoas mayor yang
terpapar larutan formalin 2% dan 35% (dua kali PCR)

Pada gambar 16 kolom 3 (DNA sampel


terpapar formalin 35%) visualisasi hasil PCR pada

Pada Gambar 4 terlihat visualisasi hasil


PCR lokus D5S818 dengan mini primer pada
sampel muskulus psoas mayor yang terpapar
larutan formalin 2% dan 35%, dengan dua kali
PCR. Perlakuan dua kali PCR secara langsung ini,
bertujuan
untuk mempertegas visualisasi,
mengingat visualisasi hasil satu kali PCR pada
lokus D13S317 yang dapat terdetesi tetapi tidak
jelas. Tampak pada kolom 2 dan 3 (DNA sampel
terpapar formalin 2% dan 3%), visualisasi hasil
PCR pada lokus D5S818 mengunakan mini primer

tidak dapat terdeteksi meskipun telah dilakukan


dua kali PCR.
Pembahasan
Pemeriksaan
DNA
dalam
proses
identifikasi forensik bukanlah tanpa kelemahan.
Seperti diketahui bahwa DNA yang berasal dari
jaringan yang berumur atau jaringan yang
terdegradasi sering mengalami fragmentasi.
Paparan abnormal dari bahan-bahan kimia, pH,
temperatur, maupun paparan lainnya dapat
menyebabkan DNA mengalami kerusakan.
(Yudianto, 2010)
Salah satu paparan bahan kimia yang
berpengaruh terhadap keutuhan untaian DNA
adalah larutan formalin. (Evans, 2007). Paparan
formalin yang menginduksi terjadinya DNA
crosslink memang secara efektif melindungi
morfologi struktur dari sel, tetapi secara ekstrim
merugikan karena DNA crosslink menghambat
denaturasi pada PCR. Sebagai tambahan, pH
larutan formalin yang semakin turun seiring waktu
karena terbentuknya asam formiat, menyebabkan
bertambahnya AP Site yang berakhir dengan
fragmentasi DNA. (Evans, 2007)
Crosslink antara DNA dengan DNA dan
antara DNA dengan protein dapat terinduksi oleh
perlakuan fisik maupun paparan zat kimia
termasuk formalin. Crosslink antara DNA dengan
protein histon (DNA-protein cross-linking = DPC)
adalah bentuk kerusakan DNA yang paling
banyak terjadi pada sel yang terpapar formalin.
Pembentukan DPC meningkat secara proporsional
seiring dengan meningkatnya
konsentrasi
formalin. Ketika larutan formalin menjadi asam,
ikatan hidrogen di antara untai DNA juga
mengalami
pemisahan
(hidrolisis)
yang
irreversible. Semakin lama paparan larutan
formalin, semakin banyak terbantuk DPC dan
terjadi hidrolisis yang merusak (denaturasi) DNA.
(Nitta, 2002)
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan
kadar DNA paska ekstraksi yang tinggi antara
kontrol (1466,5 g/ml, kemurnian 1,50359)
dengan sampel yang terpapar larutan formalin
(rata-rata 156,1 g/ml, rata rata kemurnian sampel
1,089). Hal ini menunjukkan bahwa larutan
formalin berpengaruh terhadap kadar DNA paska
ekstraksi, yaitu menurunkan kadar DNA paska
ekstraksi.
Hasil analisis statistik menggunakan uji
korelasi Spearman yang mencari hubungan antara

prosentase kadar larutan formalin pemapar dengan


kadar DNA paska ekstraksi mendapatkan nilai
koefisien korelasi (i) = -0,047, berarti antara
prosentase kadar larutan formalin pemapar dengan
kadar DNA paska ekstraksi tidak ada hubungan
yang bermakna karena angka koefisien
korelasinya jauh dari angka 1.
Tidak adanya hubungan antara prosentase
kadar larutan formalin pemapar dengan kadar
DNA paska ekstraksi berarti: meskipun larutan
formalin berpengaruh terhadap kadar DNA paska
ekstraksi, tetapi pengaruh ini tidak berhubungan
sama sekali dengan prosentase kadar larutan
formalin. Dengan kata lain, berapapun (sedikit
atau banyak, sama saja) konsentrasi larutan
formalin yang dipakai untuk memberi paparan
pada sampel akan berakibat menurunkan kadar
DNA paska ekstraksi.
Pada DNA hasil ekstraksi dilakukan PCR
untuk
meningkatkan
kadarnya.
Dengan
ditemukannya teknologi PCR, kadar DNA tidak
lagi menjadi masalah. Kadar DNA dapar
ditingkatkan menjadi berlipat-ganda asalkan
fragmen
yang
diinginkan
masih
utuh.
Pelipatgandaan kadar DNA dengan teknologi
PCR dapat dilihat pada tabel 3, yang
menunjukkan tiap siklus yang berulang
meningkatkan kadar DNA menjadi dua kali lipat
dibanding kadar sebelumnya.
Keutuhan fragmen DNA ini tidak dapat
dilihat dengan elektroforesis, meskipun dari
elektroforesis didapatkan kadar DNA yang tinggi,
tapi belum tentu DNA yang kadarnya tinggi
tersebut terdiri dari untaian DNA yang utuh, bisa
jadi meskipun kadarnya tinggi tetapi terdiri dari
untaian DNA yang telah terfragmentasi
Federal Bureau Investigation (FBI) telah
mendisain 13 lokus sebagai sistem identifikasi
forensik nacional bersinergis dengan Combined
DNA Index System (CODIS) database, lokus STR
tersebut meliputi TH01, TP0X, CSF1PO, vWA,
FGA, D3S1358, D5S818, D7S820, D17S317,
D16S539, D8S1179, D18S51, dan D21S11.
(Yudianto. 2010)
Pada kondisi DNA yang sangat terdegradasi
sehingga produk STR tidak dapat digunakan,
maka digunakan disain primer pada lokus STR
dengan produk amplifikasi pasangan basa yang
lebih kecil yang dikenal dengan mini primer STR
design. Disain ini berdasarkan pengurangan
ukuran produk PCR, menggeser posisi primer ke
arah yang lebih dekat daerah perulangan STR.

Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 15 No. 1, Januari Maret 2013

10

Pada mini primer ukuran produk PCR menjadi


lebih kecil dibanding primer standar.
Pada penelitian ini digunakan primer
standar CSF1PO, mini primer D21S11, mini
primer D5S818, mini primer D13S317.
Lokus CSF1PO merupakan pengulangan
tetranukleotida yang ditemukan dalam c-fms
proto-oncogene untuk receptor CSF-1 pada
lengan panjang kromosom 5(5q33.33.3-34).
Lokus ini berukuran antara 295 327 bp.
Umumnya alele ini mengandung pegulangan
urutan inti (core sequence repeat) T-A-G-A dan
berjumlah 7 hingga 15 kali (Yudianto, 2010)
Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada
visualisasi hasil PCR lokus CSF1PO dengan
primer standard tidak dapat terdeteksi baik pada
sampel DNA yang terpapar larutan formalin 2%
maupun 35%. Hal ini mungkin terjadi karena
primer yang digunakan adalah primer standar
yang memiliki ukuran 280 320 bp, sedangkan
DNA target mungkin mengalami fragmentasi
pada lokus tersebut menjadi ukuran yang lebih
kecil dari primernya.
Pada visualisasi hasil PCR lokus D21S11
menggunakan mini primer dapat terdeteksi pada
ukuran sedikit dibawah 200 bp, sesuai dengan
ukuran lokus mini primer D21S11 (153-211 bp).
Hal ini jika dibandingkan dengan hasil PCR lokus
CSF1PO mungkin terjadi karena ukuran mini
primer D21S11 lebih kecil dari primer standar
lokus CSF1PO.
Pada visualisasi hasil PCR lokus D13S317
dengan mini primer pada sampel muskulus psoas
mayor yang terpapar larutan formalin 2% dapat
terdeteksi pada ukuran sedikit di bawah 100 bp,
sesuai dengan ukuran lokus mini primer D13S317
(88 132 bp), sedangkan pada yang terpapar
formalin 35% visualisasi hasil PCR pada lokus
D13S317 mengunakan mini primer tidak dapat
terdeteksi.
Tidak terdeteksinya DNA sampel yang
terpapar larutan formalin 35% pada lokus
D13S317 menunjukkan bahwa paparan formalin
secara prosentase mempengaruhi terdeteksi atau
tidaknya visualisasi hasil PCR. Semakin tinggi
prosentase formalin, semakin tidak terdeteksi
visualisasi hasil PCR-nya, karena semakin tinggi
prosentase larutan formalin pemapar, semakin
basar derajat kerusakan DNA
Visualisasi hasil PCR lokus D5S818 dengan
mini primer pada sampel muskulus psoas mayor
yang terpapar larutan formalin 2% dan 35%,
dengan dua kali PCR (Perlakuan dua kali PCR

secara langsung ini, bertujuan untuk mempertegas


visualisasi, mengingat visualisasi hasil satu kali
PCR pada lokus D13S317 yang dapat terdeteksi
tetapi tidak jelas). tidak dapat terdeteksi.
Tidak terdeteksinya visualisasi hasil PCR
pada lokus D5S818 menggunakan mini primer
meskipun telah dilakukan dua kali PCR ini
menunjukkan bahwa pada lokus tersebut terjadi
fragmentasi yang berat akibat terpapar larutan
formalin. Fragmentasi yang terjadi mengakibatkan
DNA menjadi potongan potongan pendek yang
tak dapat tertangkap oleh primernya bahkan
meskipun dipakai mini primer, karena yang
terpenting pada DNA Profiling adalah keutuhan
atau integritas DNA jika dibandingkan dengan
kadar DNA (Yudianto, 2010)
Tidak terdeteksinya DNA hasil PCR pada
lokus CSF1PO dan D3S818 pada pada penelitian
ini, selain karena faktor besarnya ukuran primer
standar untuk lokus CSF1PO dan kemungkinan
adanya fragmentasi berat pada lokus D3S818, bisa
juga karena pada lokus-lokus tersebut memiliki
ikatan yang antar untaian yang secara spesifik
lebih rentan terhadap paparan formalin dibanding
lokus-lokus yang lain.
Adanya ikatan yang lebih rentan pada lokus
tersebut terhadap paparan formalin menyebabkan
lokus tersebut lebih mudah mengalami
fragmentasi dibanding lokus yang lain. Hal ini
harus dibuktikan lebih dengan penelitian lanjutan
yang lebih spesifik pada lokus tertentu dan dengan
sampel yang lebih banyak.
Kesimpulan
Paparan larutan formalin selama 3 hari pada
muskulus psoas mayor berpengaruh pada kadar
DNA paska ekstraksi, tetapi penelitian ini tidak
dapat membuktikan pengaruh prosentase kadar
larutan formalin terhadap kadar DNA paska
ektraksi. Paparan larutan formalin selama 3 hari
pada muskulus psoas mayor berpengaruh pada
visualisasi DNA hasil PCR.
DNA muskulus psoas mayor terpapar
formalin paska ekstraksi memiliki kadar yang
masih memungkinkan untuk dilakukan PCR.
Pemeriksaan metode
P C R
lokus
D13S317 dan D21S11 dengan mini primer
dilanjutkan dengan elektroforesis pada DNA
sampel yang terpapar larutan formalin selama 3
hari masih dapat memperlihatkan pita DNA yang
bisa dianalisis. Pemeriksaan metode P C R lokus
CSF1PO dengan primer standar dan lokus

Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 15 No. 1, Januari Maret 2013

11

D3S818 dengan mini primer tidak dapat


memperlihatkan pita DNA yang bisa dianalisis.
Daftar Pustaka
Butler, JM. (2005). Forensic Dna Typing,
Biology, Technology, and Genetics of
STR Markers 2nd Ed. Elsevier Academic
Press, Burlington, MA , USA, hal: 1 81.
Clark, D. (2005) Molecular Biology. Elsevier
Academic Press, Burlington, MA , USA,
hal: 51 - 74
Dubeau, Louise., et al. (1986). Southern Blot
Analysis of DNA Extracted from
Formalin-Fixed Pathology Specimen.
Journal of Cancer Research Vol. 46. ed
June 1986, hal: 2964 2969.
Evans, Thomas C. (2007). DNA Damage, The
Major Cause of Missing Pieces From the
DNA Puzzle. New England Biolabs Inc.
Goodwin, W. et al. (2007)An Introduction to
Forensic Genetic. John Wiley & Sons Ltd,
England.
Kusuma, SE. (2010). Forensik Molekuler, dalam
Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal, edisi ke-enam, Ed. Hariadi
A, Hoediyanto. Departeman Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Airlangga, Surabaya, hal: 359 - 370
Muladno, 2010. Teknologi Rekayasa Genetika.
Edisi kedua. IPB Press, Bogor, hal: 7
32, 61 74.
Nitta, Y. et al. (2002) The Quality of DNA
Recovered from the Archival Tissues of
Atomic Bomb Survival is Good Enough
for the Single Nucleotide Polymorphism
Analysis in Spite of the Decade-long
Preservation in Formalin. International
Journal Radiation Res. 43. hal: 65 75.
Passarge, E. (2007). Color Atlas of Genetic, 3rd
ed. Thieme, New York, hal: 44 49.
Schild, Marc. et al. (2007). PCR-Based Diagnosis
of Diagnosis 0f Naegleria sp. Infection in
Formalin-Fixed and Paraffin-Embedded
Brain Section. Journal of Clinical
Microbiology. Ed. February 2007, hal:
564 567. www.jcm.asm.org diakses 13
Maret 2010.
Shawn A. Montpetit., et al. (2005). A Simple
Automated
Instrument
for
DNA
Extraction in Forensic Casework. Journal

of Forensic Science,Vol 50, No. 3, May


2005. www.astm.org diakses 12 Mei 2010
Tang, Evonne PY (2006) Path To Effective
Recovering of DNA From Formalin Fixed
Biological Sampel in Natural History
Collections,
Workshop
Summary
National Research Council. National
Academic
Press,
Washington.
www.nap.edu diakses 11 Maret 2010
Thomson, T. Sue Black (2007). Forensic Human
Identification, an Introduction. CRC
Press, New York USA, hal: 5 24.
Viloria, Diaz, N. (2005) Inhibition of DNA
Amplification in Marine Fish Preserved in
Formalin. Oxford University Press.
www.plankt.oxfordjournal.org diakses 11
Maret 2010.
Vincek, Vladimir., et al. (2003). A Tissue Fixative
that Protects Macromolecules (DNA,
RNA, and Protein) and Histomorphology
in Clinical Sampel. Journal of Laboratory
Investigation. Vol 83, No. 10. The United
States and Canadian Academy of
Pahology, hal: 1427
Wexler, P et al.(2005) Encyclopedia of
Taxicology, 2nd ed. Vol. 2. Elsevier
Academic Press. USA. hal. 375 - 374
Yepyhardi. (2009). Mengenal Teknik DNA
Sequencing.
http://sciencebiotech.net
diakses 12 Mei 2010
Yudianto, A. (2010) Analisis DNA Tulang dan
Gigi Pada Lokus Short Tandem Repeat
Combined DNA Index System (STRCodis),
Y-Chromosome
STRs
&
Mitochondrial DNA (mtDNA) Akibat
Paparan Panas Suhu Tinggi. Disertasi
Pada Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya.

Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 15 No. 1, Januari Maret 2013

You might also like