You are on page 1of 26

BAB I

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK


DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Menurut Global Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) PPOK adalah

penyakit dengan

karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan


saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
dikarenakan bahan yang merugikan atau gas.
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai
hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik. Keterbatasan
aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas
hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan
aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko
penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.
ANATOMI PARU
Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru terletak disamping
mediastinum. Oleh karena itu ,masing-masing paru-paru satu sama lain dipisahkan oleh
jantung dan pembuluh pembuluh besar serta struktur lain dalam mediastinum. Masingmasing paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viceralis. Paru-paru terbenam bebas
dalam rongga pleuranya sendiri, hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radix pulmonis.
Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menjorok ke atas, masuk
ke leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula, facies costalis yang konveks, yang berhubungan
dengan dinding dada, dan facies mediastinalis yang konkaf,yang membentuk cetakan pada
pericardium dan struktur-struktur mediastinum lain. Sekitar pertengahan permukaan kiri,
terdapat hillus pulmonalis, suatu lekukan dimana bronkus, pembuluh darah dan saraf
masuk ke paru-paru untuk membentuk radix pulmonalis

Paru-paru kanan sedikit lebih besar dibanding paru-paru kiri dan dibagi oleh fissura
oblique dan fissura horisontalis menjadi 3 lobus, lobus superior, medius dan inferior. Paruparu kiri dibagi fisura obliqua menjadi 2 lobus, lobus superior dan lobus inferior.

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama yang agak jarang terekpose
karena kurangnya informasi yang diberikan.
Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar
10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE
5,8). Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6
per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari
tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara
diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China
(6,5%).
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk pasien
yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya. Padahal mereka
masih dalam kelom-pok usia produktif namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak
napas yang kronik. Co morbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler,

kanker bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik disorder, keberadaan asma, hipertensi,
osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak dipastikan memiliki
prevalen-si PPOK yang tinggi. Namun sangat disayangkan data prevalensi PPOK tidak
dimiliki oleh Indonesia, oleh sebab itu perlu dilakukan kajian PPOK secara komprehensip
agar pencegahan PPOK dapat dilakukan dengan baik.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
1. Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
2. Pertambahan penduduk
3. Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an
4. Industrialisasi
5. Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita
yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala
sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik,
klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru
menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita
tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis
(SOPT).
Tingkat Keparahan PPOK
Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut American
Thoracic Society (ATS)4 penggolongan PPOK berdasarkan derajat obstruksi saluran napas
yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini ditandai dengan sesak napas pada
penderita yang dirinci sebagai berikut :
a. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
b. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit mendaki nilai
1 skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjukkan nilai VEP1 50 %

c. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia karena sesak napas atau
harus berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2
skala sedang.
d. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit berjalan nilai 3
skala berat.
e. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau sesak napas
saat menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala sangat berat.
Tipe PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia)
tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam :
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum dan dengan sesak napas derajad nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP1 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70
%
b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau
produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya me
c. nunjukkan VEP1 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi
d. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau empat
dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi
kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan
VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas
kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas darah dengan
kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan hiperkapnia.

Klasifikasi menurut GOLD


PPOK diklasifikasikan berdasarkan gabungan antara gejala klinis pasien, derajat
keparahan berdasarkan spirometri, kuesioner mMRC dan CAT, serta terjadinya eksaserbasi
dalam setahun.
Berdasarkan spirometri :

Kuisioner mMRC (modified British Medical Research Council)

Kuesioner ini digunakan untuk mengukur derajat sesak dengan aktivitas yang masih
dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK. Selain itu, dapat mengukur status kesehatan
dan memprediksi resiko mortalitas pasien PPOK.

CAT (COPD Assessment Test ) :


merupakan suatu kuesioner, dimana terdapat 8 point pertanyaan yang dapat mengukur
status kesehatan dan perburukan dari PPOK.

FAKTOR RISIKO
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
1. Perokok aktif
2. Perokok pasif
3. Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

2.
3.
4.
5.

1. Ringan : 0-200
2. Sedang : 200-600
3. Berat
: > 600
Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Hipereaktiviti bronkus
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

Beberapa faktor risiko antara lain


1. Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
Negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus
dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang terhadap

symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru


akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.
b. Polusi indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Polutan indoor yang penting
antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan
mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta
perokok pasip. WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab
terhadap kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunnya.
c. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang
paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan
asap pem-bakaran/pabrik/tambang.
d. Polusi di tempat kerja
Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran
dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas)
dan lingkungan industry.
2. Riwayat infeksi saluran napas berulang :Infeksi saliran napas akut adalah infeksi
akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring.
Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
3. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik
PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:

a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,


terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. Perubahan patologi
pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal.
Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu
bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan
pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis,
diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami
metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini
akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses

remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana
T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel
goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal
dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema
panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan
skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola
kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga
udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi
terfiksasi pada saat proses inflasi.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan
pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease
dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediatormediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan
parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti

merokok.

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan


PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan
dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B, chemotactic factors seperti CXC
chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain
itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif
dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan
makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi
pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas
pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema
paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi :

perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa
hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas
perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon
dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi
otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan
kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
o Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
o Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

o Riwayat penyakit emfisema pada keluarga


o Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
o Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
o Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
-

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)


Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema

tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
-

suara napas vesikuler normal, atau melemah


terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi

paksa
ekspirasi memanjang
bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lipsbreathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
-

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).


Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

Uji bronkodilator
-

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai

awal dan < 200 ml


Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
-

Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :


Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
-

Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),

VR/KRF, VR/KPT meningkat


DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner


-

Sepeda statis (ergocycle)


Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
-

Gagal napas kronik stabil


Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi
-

CT - Scan resolusi tinggi


Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang

tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

MACAM PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK


BRONKITIS KRONIS
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya.
Gambaran Radiologi
Penyakit bronchitis kronik tidak selalu memperlihatkan gambaran yang khas pada
foto horaks. Pada foto rontgen hanya tampak corakan yang ramai di bagian basal paru.
Gambaran radiogram bronchitis kronik hanya memperlihatkan perubahan yang minimal
dan biasanya tidak spesifik. Kadang-kadang tampak corakan peribronkial yang bertambah
di basis paru oleh penebalan dinding bronkus dan peribronkus. Corakan yang ramai di
basal paru ini dapat merupakan variasi normal pada foto thoraks.
Bronchitis kronik secara radiologic di bagi dalam 3 golongan, yaitu:
1. Golongan ringan di temukan corakan paru yang ramai di bagian basal paru.

2. Golongan sedang, selain corakan paru yang ramai, juga terdapat emfisema dan
kadang-kadang disertai bronkiektasis di parakardial kanan dan kiri
3. Golongan berat ditemukan hal-hal tersebut diatas dan disertai cor pulmonale
sebagai komplikasi bronchitis kronik.

BRONKOEKTASIS
Suatu keadaan bronkus atau bronkiolus yang melebar akibat hilangnya sifat
elastisitas dinding otot bronkus yang dapat disebabkan oleh obstruksi dan peradangan yang

kronis, atau dapat pula dasebabkan oleh kalainan konganital yang dikanal sabagai sindrom
kartagener, yaitu suatu sindom yang terdiri atas bronkietasis, sinusitis dan destrokardia.
Keluhan biasanya sesak, batuk kronis secret yang banyak dan kental kadang-kadang
bercampur darah (hemoptisis) dan pada pemeriksaan fisik ditemukan suara nafas kasar dan
ronki basah kasar.
Gambaran Radiologi
Foto thoraks polos tampak gambaran berupa bronkovaskular yang kasar yang
umumnya terdapat di lapangan bawah paru atau gambaran garis-garis translusen yang
panjang menuju kehilus dengan bayangan konsolidasi sekitarnya akibat peradangan
sekunder, kadang-kadang juga dapat berupa translusen yang sering dikenal dengan sarang
tawon (honey comb appearance). Bulatan ranslusen dapat berukuran besar (diameter 1-10
cm) yang berupa kista-kista translusen atau kadang kadang berisi cairan (air fluid level).

EMFISEMA
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI). Suatu keadaan di mana paru lebih

banyak berisi udara, sehingga ukuran paru bertambah, baik anterior-posterior maupun
ukuran paru secara vertical kea rah diafragma. Emfisema dapat dibedakan menjadi:
1. Emfisema obstruktif, terdiri atas
- Akut
- Kronik
- Bollus
2. Emfisema non-obstruktif, yang bersifat
- Kompensasi
- Senilis (postural)

Gambaran Radiologi
Akibat penambahan ukuran paru anterior-posterior akan menyebabkan bentuk
toraks kifosis, sedang penambahan ukuran paru vertical menyebabkan diafragma letak
rendah dengan diafragma yang datar dan peranjakan diafragma berkurang pada
pengamatan fluoroskopi.
Dengan aerasi paru yang bertambah pada seluruh paru atau lobaris ataupun
submental, akan menghasilkan bayangan lebih radiolusen, sehingga corakan jaringan paru
tampak lebih jelas selain gambaran fibrosisnya dan vascular paru yang relative jarang.

PENATALAKSANAAN

A. Penatalaksanaan umum PPOK


Tujuan penatalaksanaan :
-

Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang
masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari
edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi
dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan
di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,

karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara
umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dgn selangwaku tertentu atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
-

Kapan oksigen harus digunakan


Berapa dosisnya
Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen


5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti


Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti
merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release )
atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
-

Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan


dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2 Kombinasi kedua golongan obat ini
akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja
yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
-

mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.


b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi

- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas


- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati, Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Tanpa gejala Tanpa obat, Gejala intermiten ( pada waktu aktiviti )
Agonis 2 Inhalasi kerja cepat
Bila perlu
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 20 gr, 2 - 4 semprot
3 4x/hari
Inhalasi Agonis 2 kerja cepat
Fenoterol 100gr/semprot 2 - 4 semprot 3 - 4 x/hari
Salbutamol 100gr/semprot 2 - 4 semprot 3 - 4 x/hari
Terbutalin 0,5gr/semprot 2 - 4 semprot 3 - 4 x/hari
Prokaterol 10gr/semprot 2 - 4 semprot 3 x/hari
Kombinasi terapi Ipratropium bromid
2 - 4 semprot 20gr+salbutamol 100gr persemprot 3 - 4 x/hari
Pasien memakai Inhalasi agonis 2 kerja Inhalasi Agonis 2 kerja lambat ( tidak
dipakai untuk eksaserbasi )

Formoterol 6gr, 12gr/semprot 1 - 2 semprot 2 x/hari tidak melebihi 2 x/hari


Atau timbul gejala pada waktu malam atau pagi hari.
Salmeterol 25gr/semprot 1 - 2 semprot 2 x/hari tidak melebihi 2 x/hari
Teofilin Teofilin lepas lambat, Teofilin/ aminofilin 150 mg x 3 - 4x/hari 400 800mg/hari 3 - 4 x/hari
Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr
Pasien tetap mempunyai gejala dan atau terbatas dalam aktiviti harian meskipun
mendapat pengobatan bronkodilator maksimal Kortikosteroid oral (uji kortikosteroid ).
Prednison Metil prednisolon 30 - 40mg/hr selama 2mg Uji kortikosteroid memberikan
respons positif Inhalasi Kortikosteroid
Beklometason 50gr, 250gr/semprot 1 - 2 semprot 2 - 4 x/hari.
Budesonid 100gr, 250gr, 400gr/semprot 200 - 400gr 2x/hari maks 2400gr/hari.
Sebaiknya pemberian kortikosteroid inhalasi dicoba bila mungkin untuk
memperkecil efek samping Flutikason 125gr/semprot 125 - 250gr
2x/hari maks 1000gr/hari
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
-

Mengurangi sesak
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup

DAFTAR PUSTAKA
1. Jurnal

EPIDEMIOLOGIC

STUDY

OF

CHRONIC

OBSTRUCTIVE

PULMONARY DISEASE (COPD Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013:


82-88
2. Rasad, Sjahrira, RADIOLOGI DIAGNOSTIK EDISI KEDUA
3. Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia,

PEDOMAN

DIAGNOSIS

&

PENATALAKSANAAN DI INDONESIA, Tahun 1973 2003


4. Antonio et all 2014. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA
5. Roberto RR et all 2013. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and
Prevention. USA

You might also like