Professional Documents
Culture Documents
MINI PROJECT
ANALISIS FAKTOR RISIKO GIZI KURANG
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME
Pendamping:
dr. H. Dhama Widya P
Disusun oleh:
dr. Fajrul Munawar Sodik
PUSKESMAS SUKARAME
KABUPATEN TASIKMALAYA
2015
I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP)
dan defisiensi mikronutrien
perhatian
khusus
terutama
berkembang,
yang
memasuki
fase
kritis,
perhatian terhadap
hak
hidup
dan
dini
melalui
intensifikasi
identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi
seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans (Krisnansari,
2010).
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Hasil Susenas menunjukkan adanya penurunan prevalensi balita
gizi buruk yaitu dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1% pada
tahun 1999 dan menjadi 6,3% pada tahun 2001. Namun pada tahun
2002 terjadi peningkatan kembali prevalensi gizi buruk dari 8,0%
menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 8,8%
pada tahun 2005. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan seluruh
Indonesia terjadi penurunan kasus gizi buruk yaitu pada tahun 2005
terdata 76.178 kasus kemudian turun menjadi 50.106 kasus pada tahun
2006 dan 39.080 kasus pada tahun 2007. Penurunan kasus gizi buruk ini
belum
dapat
dipastikan
adanya
kasus
yang
tidak
kematian.
Gizi
buruk
lebih
rentan
pada penyakit
akibat
ditentukan
secara
klinis
atau
secara
oedema
baik
ringan
maupun
berat,
gejala
dapat
gejala
klinisnya
merupakan
marasmus dengan Berat Badan (BB) menurut umur (U) < 60%
baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak
mencolok (Staf IKA FKUI, 2007).
2. Gizi Buruk Secara Antropometri
Penilaian gizi buruk secara antropometri di Indonesia
menganut pada growth chart z-score dari WHO. Terdapat tiga
pengukuran antropometri yang banyak dipakai di Indonesia yaitu berat
badan berdasarkan umur, berat berdasarkan tinggi/panjang, tinggi
berdasarkan umur dan lingkar lengan atas (WHO, 2009).
Buku bagan tatalaksana gizi buruk yang diterbitkan oleh
Kementrian Kesehatan menggunakan pengukuran berat berdasarkan
tinggi/panjang <-3 SD dan lingkar lengan atas < 11,5 cm (anak usia 659 bulan) sebagai diagnosis gizi buruk. Buku KMS yang digunakan di
Indonesia menggunakan pengukuran berat berdasarkan umur, dimana
garis merah adalah batas -3 SD. Dalam hal ini pengukuran paling baik
adalah menggunakan berat badan berdasarkan tinggi, namun
penggunaan pada KMS lebih diutamakan berat berdasarkan umur
karena faktor kemudahan dalam pemakaian (Kemenkes RI dan
Direktorat Bina Gizi, 2011).
Klasifikasi antropometri
a. Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori
(Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).
Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
Tergolong gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2
b.
SD.
Tergolong gizi baik jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
Tergolong gizi lebih jika hasil ukur > 2 SD.
Berdasarkan pengukuran Tinggi Badan (24 bulan-60 bulan) atau
panjang badan (0 bulan-24 bulan) menurut Umur diperoleh
kategori:
Sangat pendek jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
Pendek jika hasil ukur 3 SD sampai dengan < -2 SD.
Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
c.
akan
lebih
dihargai
secara
sosial
ekonomi
di
seseorang
mudah
untuk
menyerap
informasi
dan
4. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat
rentan terhadap penyakit.Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit
tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakitpenyakit tersebut adalah (Rumiasih, 2003):
a. Diare persisten : sebagai berlanjutnya episode diare selama
14 hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut
atau berdarah (disentri).Kejadian ini sering dihubungkan
dengan kehilangan berat badan dan infeksi non intestinal.
Diare persisten tidak termasuk diare kronik atau diare
berulang
seperti
penyakit
sprue,
gluten
sensitive
penyakit
yang
kekebalan
sel),
dan
menghancurkan
atau
makanan
dalam
keluaga
khususnya
pada
anak
kurang
baik.Kelompok
BBLR
sering
mendapatkan
masuk
kedalam
tubuh
menjadi
berkurang
dan
dapat
dampak
yang
tidak
langsung
dengan
kejadian
selang-seling.
d. Bila anak tidak diare, hentikan pemberian ReSoMal dan diberikan
F-75 setiap 2 jam dan bertahap frekuensi diturunkan dan volume
dinaikan setiap pemberian hingga pemberian setiap 4 jam.
Bila anak diare maka berikan ReSoMal 50 100 cc/diare (anak < 2
tahun), 100 200 cc/diare (anak > 2 tahun).Setelah diare
setiap
jam.
Bila
tidak
terdapat
transisi diberikan F-100 setiap 4 jam dengan dosis F-75. Hari ketiga
fase transisi mulai diberikan dengan dosis F-100 dan dinaikkan 10 cc
setiap 4 jam sampai anak tidak mampu menghabiskan jumlah yang
diberikan, namun tidak boleh melebihi dosis maksimal dosis F-100
(Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).
Fase rehabilitasi dilanjutkan dengan perawatan di rumah.Harus
dipastikan anak memenuhi kriteria pemulangan dan ibu siap untuk
merawat anak di rumah. Kriteria pemulangan (Kemenkes RI dan
Direktorat Bina Gizi, 2011):
a. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
b. BB/TB > -3 SD
c. Komplikasi teratasi
d. Ibu mendapatkan konseling gizi
e. Ada kenaikan 50g/kgBB selama 2 minggu berturut-turut
f. Selera makan baik, makanan dapat dihabiskan.
III.
Subjek mini project adalah anak balita dengan berat badan rendah
di wialayah kerja Puskesmas Sukarame pada bulan Januari 2015.
IV.
A. Data Demografi
Kecamatan Sukarame merupakan salah satu dari 39 Kecamatan di
Wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Kecamatan Sukarame terbentuk melalui
Peraturan Daerah Nomor : 6 tahun 2001 yang merupakan pemekaran dari
Kecamatan Singaparna.
Kecamatan Sukarame terletak di ketinggian 475 meter dari
permukaan laut. Letaknya yang strategis karena berbatasan langsung
dengan Wilayah Kota Tasikmalaya dan Ibukota Kabupaten Tasikmalaya.
Kecamatan Sukarame terdiri dari 6 Desa diantaranya: Sukarame,
Sukamenak, Sukarapih, Wargakerta, Padasuka, Sukakarsa
B. Karakteristik Responden
Berdasarkan data yang didapat dari Koordinator Bagian Gizi
Puskesmas Sukarame pada bulan Januari 2015 didapatkan 6 anak yang
memiliki berat badan rendah.
Anak/
kelamin
An. Rama / laki-laki
Jenis Desa
Cihaur
Sukamenak
Usia
Z-Score
30 bln
Gizi
Kurang
Cihaur
Sukamenak
21 bln
Sirung
22 bln
Sirung
31 bln
Sirung
35 bln
Lembur
Desa
36 bln
WHZ: -0,8
BB 7,3 kg
TB 72 cm
WAZ: -2,5
WHZ: -11
BB10,35kg
TB 86 cm
WAZ: -0,8
WHZ:-1,31
BB 11,3 kg
TB 87 cm
WAZ: -1,1
WHZ: -0,3
BB 10,5 kg
TB 90,5 cm
WAZ: -2,2
WHZ:-1,75
BB 9,35 kg
TB 73
WAZ:-2,74
WHZ:-0,18
Gizi
Kurang
Normal
Normal
Gizi
Kurang
Gizi
Kurang
1. An. Rama
a. Asupan Makanan
Saat lahir langsung menetek, asi lancar sejak lahir, saat
umur 6 bulan mulai diberi air putih, setelah itu bayi jadi jarang
Ayah(meninggal)
-
Ibu
SD
Penghasilan -
Tidak tentu
Usia
26 thn
Pekerjaan
Serabutan
Pendidikan
Ayah
SD
Ibu
SD
Rp. 500.000/bulan
Usia
45 tahun
30 tahun
Pekerjaan
Buruh
Buruh
Ayah
SMP
Ibu
SD
Usia
33 tahun
40 tahun
Pekerjaan
Buruh
IRT
faktor ekonomi
bisa
yang
bernilai
gizi
baik,
sehingga
diberikan
Penyakit
Riwayat
Pendidikan
Pendidikan baik,
Penyerta
Persalinan
baik
Lengkap
Baik
Lengkap
Pendapatan rendah
Pendidikan rendah
Kepedulian kurang
Baik
Lengkap
Pendapatan rendah
Pendidikan rendah
Baik
Lengkap
Baik
Lengkap
Baik
Lengkap
Anak
Asupan Makanan
An.
pengetahuan ibu
Rama
kurang, Pendapatan
An.
Dita
An.
Fani
An.
Azura
Makanan tambahan
kurang bergizi, sering
jajan
Makanan tambahan
kurang bergizi, sering
Imunisasi
rendah
Pengetahuan Ibu,
Pendidikan Ibu,
Pendapatan rendah
An.
jajan
Sulit makan karena
Tasya
An.
sering jajan
Cenderung pilih-pilih
Pendapatan rendah
Pendidikan rendah
Kepedulian kurang
Pengetahuan Ibu,
Noval
makanan
Intervensi
Konseling gizi buruk,
Rama
Dita
An.
Fani
An.
vitamin
Pemberian susu skim
Konseling cara pembuatan
Azura
dan mudah.
Konseling cara membuat
An.
Tasya
An.
Noval
bervariasi, pemberian
makanan tambahan
D. Pengukuran Z-score Setelah Intervensi
Pengukuran Z-score dilakukan 1 bulan setelah intervensi. Dari 6
anak yang dilakukan intervensi 2 anak tidak ada dirumah sehingga tidak
dapat dilakukan pengukuran Z-score.
Tabel 5 Antropometri Setelah Intervensi
Nama Anak/ Jenis kelamin
An. Rama / perempuan
Kenaikan BB
200 gram
Z-Score 1
Z-score 2
BB 9,1 kg, BB 9,3 kg
TB 77 cm
WHZ: -2,83
450 gram
BB 7,3 kg
TB 72 cm
WHZ: -1,3
-250 gram
BB 10,35 kg
TB 86 cm
WHZ: -4,5
Lost to Follow BB 11,3 kg
TB 87 cm
up
WHZ: -3,8
250
BB 10,5 kg
TB 90,5 cm
WHZ: -2,4
Lost to Follow BB 9,3 kg
TB 74 cm
up
WAZ: -2,4
WHZ: -1,6
V. Diskusi
WHZ: -2
BB 7,75 kg
WHZ: -1
BB 10,1 kg
WHZ-4,1
Lost
to
Follow up
BB10,75 Kg
TB 90,5 cm
WHZ: -0,8
Lost
to
Follow up
Beberapa hal perlu diperhatikan pada mini project ini, baik dari awal
penegakan diagnosis gizi kurang hingga konseling dan pengukuran z-score
setelah intervensi.
Penegakkan diagnosis pada buku tatalaksana gizi buruk berdasarkan
Depkes menggunakan standar Z-score berat berdasarkan tinggi/panjang
badan, sedangkan pada KMS menggunakan kurva Z-score berat berdasarkan
umur, hal ini dapat menyebabkan overdiagnosis atau underdiagnosis bayi
dengan gizi buruk.
Instrumen penelusuran faktor risiko sendiri perlu diperhatikan. Dalam
mini project ini peneliti cukup banyak memakai subjektifitas dalam menilai
faktor risiko, sehingga sangat mungkin terjadi bias saat analisis faktor risiko.
Sebagai contoh pada penelususran asupan makanan, hal ini sangat sulit
dilakukan karena seringkali orangtua anak tidak begitu memperhatikan
takaran dan lupa jumlah makanan yang telah diberikan kepada anak. Beberapa
faktor risiko bahkan tidak mungkin kita intervensi, meskipun hal itu menjadi
penyebab utama, sebagai contoh tingkat pendidikan dan pendapatan. Hal ini
DAFTAR PUSTAKA
Anwar K,Juffrie M,Julia M. 2005. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten
Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat.Jurnal Gizi Klinik Indonesia
[Internet].[cited 2014 Oktober 14]:2(3):81-85.Available
from:http://ijcn.or.id/v2/content/view/33/40/
Departemen Kesehatan RI. 2002. Program Gizi Makro.Jakarta:Depkes RI
Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi. 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Jakarta:Direktoran Bina Gizi
Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health:61-8.
Purwokerto
Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru
Razak AA,Gunawan IMA,Budiningsari RD. 2009. Pola Asuh Ibu Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) Pada Anak Balita.Jurnal Gizi
Klinik Indonesia[Internet].[cited 2014 Oktober 14]:6(2):95-103.Available
from: http://www.i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=10761
Rumiasih. 2003. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Buruk pada
Anak Balita di Kabupaten Magelang[karya tulis ilmiah].Semarang:
Universitas Diponegoro
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. 2007. Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika
Taruna J. 2002. Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus Gizi
Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun
2002[karya tulis ilmiah].Jakarta:Universitas Indonesia