You are on page 1of 33

REKOMENDASI IDAI

Tata laksana Menurunkan Angka Kematian Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada


Anak dengan Diabetes Melitus Tipe 1 (DM 1)

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 008/Rek/PP IDAI/V/2014
tentang
Tata laksana Menurunkan Angka Kematian Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada
Anak dengan Diabetes Melitus Tipe 1 (DM 1)
Memperhatikan:
1. Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan komplikasi akut Daiabetes Melitus tipe I
(DM I) yang disebabkan kekurangan insulin.
2. KAD sering terjadi akibat keterlambatan penegakan diagnosis kasus baru DM 1 pada
anak.
3. Insiden kematian akibat KAD sebesar 0,15-0,3%, bahkan lebih tinggi pada daerah
dengan keterbatasan fasilitas.
4. Sebesar 57-87% penyebab kematian pada KAD adalah edema serebri.
5. Seperempat penderita edema serebri pada KAD yang berhasil diselamatkan memiliki
gangguan neurologis permanen.
Rekomendasi:
1. Perlu kewaspadaan gejala dan tanda KAD pada anak dengan DM 1, di antaranya:
poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, sesak nafas (pernafasan
Kusmaull, bau keton), nyeri perut, muntah dan letargi.
2. Perlu pemeriksaan gula darah sewaktu pada semua kegawatan anak terutama di unit
gawat darurat.
3. Perlu pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, keton darah/urin untuk menegakkan
diagnosis KAD (pH <7,3; HCO3 < 15 mmol/L).
4. Perlu diketahui dan dikuasai prinsip tata laksana KAD pada anak dengan DM 1, yaitu:
o Penilaian kegawatan berupa tanda klinis dan infeksi.

o Perbaikan jalan nafas, pipa nasogastrik, akses intravena, monitor jantung,


oksigenasi, antibiotik bila ada infeksi, dan kateter urin.
o Syok (bila ada) diatasi dengan pemberian cairan normal saline 0,9% untuk
penggantian cairan dalam 4-6 jam pertama, dilanjutkan dengan normal saline
0,9% ditambah dengan KCl untuk 48 jam berikutnya.
o Insulin kerja pendek/cepat (0,1 unit/kg BB/jam) diberikan 1-2 jam setelah
terapi cairan
o Koreksi kalium bergantung pada kadar kalium dalam darah: hipokalemia (KCl
20 mmol/L sebelum terapi insulin), normokalemia (KCl 20 mmol/L bersamaan
dengan insulin), hiperkalemia (tunda pemberian KCl hingga diuresis)
o Bikarbonat (1 mmol/kg BB dalam 60 menit) tidak rutin digunakan, kecuali
asidemia berat atau syok.
o Perlu pemantauan pemeriksaan darah berkala (gula darah sewaktu/jam,
analisis gas darah, elektrolit, keton), elektrokardiografi bila perlu, dan keton
urin.
5. Perlu mengenal gejala dan tanda edema serebri berupa: nyeri kepala, frekuensi denyut
jantung menurun, perubahan status neurologis, gejala gangguan neurologis,
peningkatan tekanan darah, dan penurunan saturasi oksigen. Apabila terdapat gejala
dan tanda tersebut, dapat diberikan tata laksana berupa pengurangan kecepatan infus
cairan dan pemberian manitol 0,5-1 g/kg IV dalam 20 menit atau NaCl 0,3% 5 mL/kg
dalam 30 menit.
6. Perlu perawatan kasus KAD pada anak dengan DM 1 di unit perawatan intensif atau
yang setara.
7. Perlu pelatihan tata laksana KAD pada anak dengan DM 1 kepada dokter spesialis
anak.

Referensi:
1. International Diabetes Federation. Global IDF/ISPAD Guideline for Diabetes in
Childhood and Adolescence. 2011.
2. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI. Konsensus Nasional Pengelolaan
Diabetes Mellitus Tipe 1. 2009.

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 006/Rek/PP IDAI/V/2014
tentang
Memerah dan Menyimpan Air Susu Ibu (ASI)

A. Memerah Air Susu Ibu (ASI)


1. Memerah ASI diperlukan untuk merangsang pengeluaran ASI pada keadaan payudara
sangat bengkak, puting sangat lecet, dan pada bayi yang tidak dapat diberikan minum.
2. ASI diperah bila ibu tidak bersama bayi saat waktu minum bayi.
3. Untuk meningkatkan produksi ASI, payudara dikompres dengan air hangat dan dipijat
dengan lembut sebelum memerah ASI.
4. Memerah yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan produksi ASI
5. Bila ASI akan diperah secara rutin, dianjurkan menggunakan kantong plastik yang
didisain untuk menyimpan ASI, yang pada ujungnya terdapat perekat untuk
menutupnya. Kumpulan kantong plastik kecil tersebut dimasukkan ke dalam kantong
plastik besar agar terlindung dan terhindar dari robek/ lubang. Pada setiap kantong
plastik harus diberi label tanggal dan waktu memerah.

B. Cara memerah ASI dengan tangan


1. Gunakan wadah yang terbuat dari plastik atau bahan metal untuk menampung ASI.
2. Cuci tangan terlebih dahulu dan duduk dengan sedikit mencondongkan badan ke
depan.
3. Payudara dipijat dengan lembut dari dasar payudara ke arah puting susu.
4. Rangsang puting susu dengan ibu jari dan jari telunjuk anda.
5. Letakkan ibu jari di bagian atas sebelah luar areola (pada jam 12) dan jari telunjuk
serta jari tengah di bagian bawah areola (pada jam 6).

6. Tekan jari-jari ke arah dada, kemudian pencet dan tekan payudara di antara jari-jari,
lalu lepaskan, dorong ke arah puting seperti mengikuti gerakan mengisap bayi. Ulangi
hal ini berulang-ulang.
7. Hindari menarik atau memeras terlalu keras. Bersabarlah, mungkin pada awalnya
akan memakan waktu yang agak lama.
8. Ketika ASI mengalir lambat, gerakkan jari di sekitar areola dan berpindah-pindah
tempat, kemudian mulai memerah lagi.
9. Ulangi prosedur ini sampai payudara menjadi lembek dan kosong.
10. Menggunakan kompres hangat atau mandi dengan air hangat sebelum memerah ASI
akan membantu pengeluaran ASI.

C. Menyimpan ASI
1. ASI perah disimpan dalam lemari pendingin atau menggunakan portable cooler bag
2. Untuk tempat penyimpanan ASI, berikan sedikit ruangan pada bagian atas wadah
penyimpanan karena seperti kebanyakan cairan lain, ASI akan mengembang bila
dibekukan.
3. ASI perah segar dapat disimpan dalam tempat/wadah tertutup selama 68 jam pada
suhu ruangan (26C atau kurang). Jika lemari pendingin (4C atau kurang) tersedia,
ASI dapat disimpan di bagian yang paling dingin selama 3-5 hari, di freezer satu pintu
selama 2 minggu, di freezer dua pintu selama 3 bulan dan di dalam deep freezer (18C atau kurang) selama 6 sampai 12 bulan.
4. Bila ASI perah tidak akan diberikan dalam waktu 72 jam, maka ASI harus dibekukan.
5. ASI beku dapat dicairkan di lemari pendingin, dapat bertahan 4 jam atau kurang untuk
minum berikutnya, selanjutnya ASI dapat disimpan di lemari pendingin selama 24
jam tetapi tidak dapat dibekukan lagi.
6. ASI beku dapat dicairkan di luar lemari pendingin pada udara terbuka yang cukup
hangat atau di dalam wadah berisi air hangat, selanjutnya ASI dapat bertahan 4 jam
atau sampai waktu minum berikutnya tetapi tidak dapat dibekukan lagi.
7. Jangan menggunakan microwave dan memasak ASI untuk mencairkan atau
menghangatkan ASI.
8. Sebelum ASI diberikan kepada bayi, kocoklah ASI dengan perlahan untuk
mencampur lemak yang telah mengapung.
9. ASI perah yang sudah diminum bayi sebaiknya diminum sampai selesai, kemudian
sisanya dibuang.

Referensi:
1. World Health Organization, UNICEF. Breastfeeding counselling. A training course.
Geneva: WHO. 2009.
2. Suradi R, Hegar B, Partiwi IGAN dkk. Indonesia Menyusui. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI. 2010.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: Satgas ASI IDAI

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 005/Rek/PP IDAI/V/2014
tentang
Resusitasi dan Stabilisasi neonatus

Tujuan : Membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah
lahir
1. Menjamin suhu neonatus dalam keadaan normal. Suhu normal bayi baru lahir adalah
dalam rentang 36,5-37,50C yang diukur di aksila selama 3 sampai 5 menitatau sampai
termometer berbunyi jika menggunakan termometer digital.
2. Menjaga patensiairway (jalan napas) yang baik dengan menggunakanContinuous
Positive Airway Pressure (CPAP) untuk bayi yang retraksi atau merintih sejak di
kamar bersalin. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen) dan mengatur konsentrasi oksigen berdasarkan panduan oksimetri
dengan target saturasi oksigen 88-92%.
3. Penilaian sirkulasi bayi baru lahir yang baik dilihat dari beberapa parameter yaitu 1)
heart rate antara 120-160 x/menit, 2) pulsasi arteri radialis kuat dan teratur, 3) akral
hangat, dan 4)capillary refill time < 3 detik.
4. Bila bayi tidak dapat minum, dapat dipasang akses melalui vena perifer atau dalam
keadaan darurat dapat menggunakan tali pusat.
5. Identifikasi bayi yang potensial mengalami hipoglikemia, sepertibayi kurang bulan
(usia gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa kehamilan
(BMK), bayi dari ibu penderita diabetes melitus, bayi sakit, dan bayi dari ibu yang
mengonsumsi obat-obatan tertentu (beta-simpatomimetik, penghambat beta,
klorpropamid, benzotiazid, dan anti-depresan trisiklik) selama kehamilan. Apabila
pada pemeriksaan ditemukan kadar gula darah < 47 mg/dL dapat diberikan bolus
dextrosa 10% 2 mL/kgbb atau segera diberi minum jika tidak ada kontraindikasi
pemberian minum.
6. Bayi harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan
menerapkan program STABLE. Program STABLE adalah panduan yang dibuat untuk
tata laksana bayi baru lahir yang sakit, mulai dari pasca-resusitasi/pra-transportasi.
Program ini berisi standar tahapan stabilisasi pasca-resusitasi untuk memerbaiki
kestabilan, keamanan, dan luaran bayi. STABLE tersebut merupakan singkatan dari S:
Sugar and safe care (kadar gula darah dan keselamatan bayi), T: Temperature (suhu),
A: Airway (jalan napas), B: Blood pressure (tekanan darah), L: Lab work

(pemeriksaan laboratorium), E: Emotional support (dukungan emosional). Program


STABLE mengupayakan kondisi bayi menjadi warm, pink, and sweet secepatnya
dalam kurun waktu 1 jam.
7. Padakondisi lingkungan (cuaca dingin, angin kencang, dataran tinggi, jarak jauh) dan
fasilitas kurang memadai, upaya mengendalikan suhu neonatus selama proses
transportasidapat dilakukan dengan perawatan metode kanguru.

Referensi :
1. Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program, post-resuscitation / pre-transport stabilization
care of sick infants. Utah: March of Dimes; 2006.
2. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP, et al.
Part 11: Neonatal rescucitation: 2010 International consesnsus on cardiopulmonary
rescucitation and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation. 2010;122:516-38.
3. The Royal Womens Hospital. Intensive and special care nurseries, clinicians
handbook. Melbourne: The Royal Womens Hospital; 2007.
4. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for trasnport. Pediatr Clin North Am.
2004;51:581-98.
5. Wang CL, Anderson C, Leona TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN.
Resuscitation of preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics.
2008;121:1083-9.
6. Vento M, Moro M, Escrig R, Arruza L, Villar G, Izquierdo I. Preterm resuscitation
with low oxygen causes less oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease.
Pediatrics. 2009;124:439-49.
7. Ringer S A. Rescucitation in the Delivery Room. Dalam: Cloherty J P, Eichenwald
EC, Stark A R. Manual of Neonatal Care edisi ke 6. Philadelphia: Lippincott William
and Wilkins;2008:59-71.
8. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics.
2004;114:361-6.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: UKK Neonatologi IDAI

No.: 004/Rek/PP IDAI/III/2014


tentang

Tata Laksana Syok

1. Kecepatan dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama


dimulainya tindakan resusitasi makin memperburuk prognosis.
2. Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi,
stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan
resusitasi cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO)
segera dimulai.
3. Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus kristaloid
isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit.
4. Pemberian cairan dapat diulang untuk memperbaiki tekanan darah dan perfusi
jaringan. Pada syok septik mungkin diperlukan cairan 60 mL/kg dalam 30-60 menit
pertama.
5. Pemberian cairan hanya dibatasi bila diduga penyebab syok adalah disfungsi jantung
primer.
6. Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih diperlukan cairan,
pertimbangkan pemberian koloid. Darah hanya direkomendasikan sebagai pengganti
volume yang hilang pada kasus perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang
tidak adekuat meskipun telah mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus kristaloid.
7. Pada syok septik, bila refrakter dengan pemberian cairan, pertimbangkan pemberian
inotropik.
8. Dopamin merupakan inotropik pilihah utama pada anak, dengan dosis 5-10
gr/kg/menit. Apabila syok resisten dengan pemberian dopamin, tambahkan
epinefrin (dosis 0,05-0,3 gr/kg/menit) untuk cold shock atau norepinefrin (dosis
0,05-1 gr/kg/menit) untuk warm shock.
9. Syok resisten katekolamin, dapat diberikan kortikosteroid dosis stres (hidrokortison
50 mg/m2/24jam).
10. Dobutamin dipergunakan apabila setelah resusitasi cairan didapatkan curah jantung
yang rendah dengan resistensi vaskular sistemik yang meningkat, ditandai dengan
ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, dan produksi urin berkurang
tetapi tekanan darah normal.

11. Pada syok septik, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam setelah diagnosis
ditegakkan, setelah sebelumnya diambil darah untuk pemeriksaan kultur dan tes
resistensi.
12. Sebagai terapi awal dapat digunakan antibiotik berspektrum luas sampai didapatkan
hasil kultur dan antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.
13. Target akhir resusitasi yang ingin dicapai merupakan petanda perfusi jaringan dan
homeostasis seluler yang adekuat, terdiri dari: frekuensi denyut jantung normal, tidak
ada perbedaan antara nadi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2 detik,
ekstremitas hangat, status mental normal, tekanan darah normal, produksi urin >1
mL/kg/jam, penurunan laktat serum.
14. Tekanan darah sebenarnya bukan merupakan target akhir resusitasi, tetapi perbaikan
rasio antara frekuensi denyut jantung dan tekanan darah yang disebut sebagai syok
indeks, dapat dipakai sebagai indikator adanya perbaikan perfusi.
Referensi :
1. Schwarz A. Fluids and electrolytes. Dalam: Schwarz A, penyunting. Blueprints pocket
pediatric ICU. Philadelphia: Lippincott; 2007. h. 31-42.
2. Wilhelm M, Schleien C. Electrolyte and metabolic disorders. Dalam: Nichols DG,
Yaster M, Schleien CL, Paidas CN, penyunting. Golden hour: the handbook of
advanced pediatric life support. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2011. h. 143-59.
3. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Rogers textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 372-83.
4. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, parker MM, Jaeschke R, et al. Surviving
sepsis campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic
shock:2008. Crit Care Med, 2008;36:296-327

REKOMENDASI
No.: 002/Rek/PP IDAI/I/2014
tentang

Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak


1. Anak adalah manusia sejak pembuahan sampai berakhirnya proses tumbuh kembang
yang secara operasional diterjemahkan menjadi dari saat awal kehamilan sampai
dengan usia 18 tahun. Anak merupakan investasi generasi suatu bangsa, sehingga
kualitas anak sangat menentukan keberlangsungan generasi dan kualitas bangsa.
2. Kualitas anak sangat ditentukan oleh keberlangsungan proses tumbuh-kembangnya
sejak periode di dalam kandungan dan periode awal kehidupannya selama masa kritis
pada 3 tahun pertama.
3. Proses tumbuh kembang anak selama masa kritis 3 tahun pertama kehidupannya harus
terpantau dan tercatat dengan baik, yang bertujuan menemukan adanya gangguan
tumbuh kembang secara dini sehingga dapat dilakukan penanganan sedini mungkin
sebelum anak melewati masa kritisnya.
1. Pemeriksaan untuk pemantauan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah
terlatih dengan baik untuk pemeriksaan dasar tumbuh-kembang anak.
2. Pemantauan dilakukan untuk semua anak tanpa kecuali baik anak yang terlahir
dengan risiko rendah maupun risiko tinggi.
3. Pemantauan dilakukan secara reguler dan kontinyu dengan jadwal
1) Usia lahir sampai 12 bulan setiap 1 bulan; 2) Usia 12 bulan sampai 3 tahun setiap 3
bulan; 3) Usia 3 tahun sampai 6 tahun setiap 6 bulan; 4) Usia 6 tahun sampai 18 tahun
setiap 1 tahun.
4. Pemantauan tumbuh-kembang anak hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip
utama sebagai berikut:
5. Setiap institusi pelayanan kesehatan anak diharuskan mempunyai pelayanan
pemantauan tumbuh-kembang anak yang dibina oleh dokter spesialis anak setempat.
6. Setiap dokter spesialis anak di Indonesia harus terlatih untuk melakukan skrining
dasar tumbuh-kembang anak dalam pelayanan kesehatan anak sehari-hari.

Referensi :
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anggaran dasar Anggaran Rumah Tangga BAB I pasal
1(4). Jakarta: IDAI. 2011.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan
Anak.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.
4. Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta. 2010.
5. Buku tumbuh Kembang Anak dan Remaja edisi pertama. Jakarta : CV Sagung Seto.
2002.
6. American Academy of Pediatrics. Identifying infants and young children with
developmental disorders in the medical home: An algorithm for developmental
surveillance and screening. council on children with disabilities, section on
developmental behavioral pediatrics, bright futures steering committee and medical
home initiatives for children with spec

No.: 007/Rek/PP IDAI/XI/2013


tentang
Kehadiran Dokter Spesialis Anak pada Pertolongan Persalinan per Vaginam

Memperhatikan:

1. Sebanyak 90% persalinan akan berjalan normal dan bayi yang lahir tidak memerlukan
bantuan aktif sedangkan yang membutuhkan resusitasi lengkap sampai intubasi hanya
1-3% dari seluruh persalinan.
2. Pada umumnya literature menyebutkan bahwa kehadiran dokter spesialis anak
dibutuhkan pada persalinan dengan risiko.
3. Tidak ada literatur yang menyebutkan keharusan kehadiran dokter spesialis anak pada
partus per vaginam tanpa risiko.

Rekomendasi:

1. Dokter spesialis anak tidak perlu menghadiri setiap persalinan per vaginam
2. Persalinan per vaginam yang perlu dihadiri oleh dokter spesialis anak adalah
persalinan yang mempunyai faktor risiko, yaitu :
o Prematuritas dengan usia gestasi antara 22 sampai 36 minggu (< 36 minggu)
atau postmatur > 42 minggu
o Kehamilan ganda atau kembar
o Kelainan presentasi janin, presentasi bokong
o Persalinan per vaginam dengan bantuan alat forsep atau vakum
o Ibu yang mendapat obat petidin atau narkotik dalam < 4 jam sebelum partus
o Air ketuban meconium staining
o Gawat janin yang dibuktikan dengan kelainan CTG atau Doppler

o Analgesi maternal sistemik yang diberikan dalam 2 jam sebelum persalinan


o Persalinan seksio sesar (tidak termasuk seksio sesar ulangan rutin dengan
anestesi regional)
o Intrauterine growth retardation (IUGR) atau makrosomia
o Polihidramnion
o Korioamnionitis, abrupsio plasenta
o Janin tersangka kelainan jantung bawaan atau disritmia kardiak
o Ketuban pecah dini > 24 jam
o Ibu dengan preeklamsia atau eklampsia
o Persalinan dengan anestesi umum
o Meningkatnya risiko infeksi neonatal seperti ibu yang mendapat antibiotik
profilaksis <4 jam sebelum persalinan vaginal atau tersangka infeksi TORCH
o Terdapat kelainan anatomi saat antenatal termasuk tersangka kelainan
kromosom
3. Rumah sakit perlu membentuk tim gawat darurat (blue team) yang terlatih yang
bertugas menangani keadaan gawat darurat, termasuk pada janin dan bayi baru lahir,
yang dapat terjadi sewaktu-waktu di rumah sakit
4. Petugas kesehatan (dokter, bidan atau perawat) yang membantu persalinan per
vaginam harus mempunyai kompetensi dalam menangani kegawatan pada janin atau
bayi baru lahir

Rekomendasi ini dibuat untuk diketahui dan digunakan sebagai acuan bagi semua dokter
spesialis anak dan pihak lain yang berkepentingan
Daftar referensi:

1. Tawam Hospital in affiliation with Johns Hopkins Medicine. Medical Affairs


Department of Pediatrics. Clinical practice guideline. Attendance of pediatrician at
delivery. Agustus 2011.
2. Boston Medical Centre. Maternal child health policy and procedure manual. NICU
delivery team policy for high risk deliveries. June 2009.

3. University of Michigan Womens Hospital. Pediatric provider presence at deliveries.


Juli 2010.
4. Primhak RA, Herber SM, Whincup G, Milner RDG. Which deliveries require
paediatricians in attendance? Br Med J. 1984;289:16-8.
5. Gonzalez F, Juliano S. Is pediatric attendance necessary for all cesarean section?
JAQA 2002;102:127-9.
6. Arya R, Pethen T, Johanson RB,Spencer SA. Outcome in low risk pregnancies. Archs
Dis Child 1996;75:F97-102.
7. Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Pediatrician attendance at cesarean
delivery: Necessary or not? Obstet Gynecol. 1999;93:338-40.
8. Tooke LJ, Joolay Y, Horn AR, Harrison MC. Is the attendance of paediatricians at all
elective caesarean sections an effective use of resources? S Afr Med J. 2011;101:74950
9. Gordon A, MacKechnie EJ, Jeffrey H. Pediatric presence at caesarean section:
Justified or not? Am J Obstet Gynecol. 2005;193:599-605.
10. Atherton N, Parsons SJ, Mansfield P. Attendance of paediatrician at elective caesarean
sections performed under regional anesthesia: Is it warranted? J Paediatr Child Health.
2006;42:332-6.
11. Kamath BD, Todd JK, Glazner JE, Lezotte D, Lynch AM. Neonatal outcomes after
elective caesarean delivery. Obstet Gynecol.2009;113:1231-8.
12. Parsons SJ, Sonneveld S, Nolan T. Is a paediatrician needed at all caesarean section?
J Paediatr Child Health. 1998;34:241-4.
13. Johanson R, Newburn M, Macfarlane A. Has the medicalization of childbirth gone too
far? BMJ.2002;324:892-5.

tentang
Tes Kulit pada Pemberian Injeksi Antibiotik

1. Tes kulit hanya direkomendasikan untuk antibiotik golongan penisilin, harus


menggunakan penisilin dan metabolitnya yang telah terbukti menimbulkan reaksi
alergi.
2. Tes kulit terhadap penisilin dengan metabolit determinan mayor dan minor merupakan
tes yang paling dipercaya untuk evaluasi IgE-mediated alergi penisilin. Nilai ramal

negatif tes kulit terhadap penisilin adalah mendekati 100%, dan nilai ramal prositif
adalah antara 40%-100%.
3. Tes kulit memberikan bukti sensitisasi terhadap obat tertentu tetapi harus selalu
dinterpretasikan sesuai konteks klinis dan tidak digunakan untuk skrining alergi obat.
4. Berhubung saat ini di Indonesia belum tersedia sediaan metabolit penisilin, maka tes
kulit untuk antibiotik tidak direkomendasikan. Jika diperlukan antibiotik secara
parenteral, maka diperlukan perangkat penanganan reaksi anafilaksis.

Referensi :
1. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A, Guidelines for performing skin tests
with drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Contact dermatitis
2001;45:3218.
2. Bernstein IL, Li JT, Bernstein DI, Hamilton R, Spector SL, Tan R, dkk. Allergy
diagnostic testing: an updated practice parameter. Part 2. Ann Allergy Asthma
Immuno.l 2008;100 Supl 3:S66-121.
3. Lee SH, Park HW, Kim SH, dkk. The current practice of skin testing for antibiotics in
Korean hospitals. Korean J Intern Med. 2010;25:20712.
4. Fox S, Park MA. Penicillin skin testing in the evaluation and management of
penicillin allergy. Ann Allergy Asthma Immunol. 2011;1;106:17.
5. Langley JM, Halperin S. Allergy to antibiotics in children: perception versus reality.
Can J Infect Dis. 2002;13:1603.
6. Macy E, Ho NJ. Adverse reactions associated with therapeutic antibiotic use after
penicillin skin testing. Perm J. 2011;15: 317.
7. Solensky R, Khan DA. Drug allergy: an updated practice parameter. Annals of
Allergy, Asthma & Immunol. 2010;105: 1-76.
8. Thong BY. Update on the management of antibiotic allergy. Allergy Asthma Immunol
Res. 2010;2:7786.
9. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunol.
2011;7 Supl 1:S10.

No.: 004/Rek/PP IDAI/VI/2013


tentang
Tuberkulosis

1. Diagnosis tuberkulosis (TB) pada anak didasarkan pada:


o Bukti atau kecurigaan adanya kontak dengan sumber infeksi TB, biasanya
pasien TB dewasa dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif.
o Gejala dan tanda klinis sugestif TB, termasuk penilaian seksama terhadap
kurva tumbuh kembang anak.
o Uji tuberkulin positif.
o Gambaran radiologis sugestif ke arah TB.
2. Uji tuberkulin penting dalam penegakan diagnosis TB pada anak. Sangat tidak
direkomendasikan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan radiologis.
3. Terapi TB anak terdiri atas minimal 3 obat (H, R, Z) dalam fase intensif (2 bulan) dan
2 obat (H, R) dalam fase lanjut. Etambutol ditambahkan pada kasus berat seperti TB
milier, meningitis TB, TB tulang dan TB ekstra paru berat lainnya.
4. Contact tracing atau investigasi lanjutan dilakukan pada :
o Seluruh anak yang didiagnosis TB, yaitu untuk mencari sumber penularan.
o Seluruh anak yang kontak erat dengan pasien TB dewasa terutama dengan
sputum BTA positif, yaitu dengan mengevaluasi anak tersebut terhadap
kemungkinan tertular TB.
5. Anak balita sehat yang kontak erat dengan pasien TB dewasa BTA positif harus
mendapat profilaksis INH.

Referensi:
1. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. WHO/HTM/TB/2006.371. Geneva: WHO;
2006.

2. Stop TB Partnership Childhood TB Subgroup, World Health Organization. Guidance


for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children:
childhood contact screening and management. Int J Tuberc Lung Dis. 2007;11:125.
3. Ormerod LP. Drug therapy for children with tuberculosis. Arch Dis Child.
2012;97:1097101.
4. Swaminathan S, Rekha B. Pediatric tuberculosis: global overview and challenges.
Clinl Infec Dis. 2010;50 Supl 3:S184194.
5. Rigouts L. Diagnosis of childhood tuberculosis. Eur J Pediatr. 2009;168:128590.
6. LoBue PA, Enarson DA, Thoen TC. Tuberculosis in humans and its epidemiology,
diagnosis and treatment in the United States. Int J Tuberc Lung Dis. 2010;14:1226
32.
7. Singh M, Mynak ML, Kumar L, dkk. Prevalence and risk factors for transmission of
infection among children in household contact with adults having pulmonary
tuberculosis. Arch Dis Child. 2005;90:6248.
8. Armbruster B, Brandeau ML. Contact tracing to control infectious disease: when
enough is enough. Health Care Manage Sci. 2007;10:34155.
9. Underwood BR, White VLC, Baker T. Contact tracing and population screening for
tuberculosis who should be assessed? Journal of Public Health Medicine
2003;25:5961.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 001/Rek/PP IDAI/2011
tentang
Suplementasi Besi untuk Bayi dan Anak

1. Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia balita (0-5
tahun), terutama usia 0-2 tahun.
2. Dosis dan lama pemberian suplementasi, untuk :
o Bayi BBLR (<2500 g): 3 mg/kgBB/hari untuk usia 1 bulan sampai 2 tahun
(dosis maksimum 15 mg/hari, diberikan dosis tunggal).
o Bayi cukup bulan: 2 mg/kgBB/hari untuk usia 4 bulan sampai 2 tahun.
o Usia 2-5 tahun (balita): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3 bulan berturutturut setiap tahun.
o Usia >5-12 tahun (usia sekolah): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun.
o Usia 12-18 tahun (remaja): 60 mg/hari atau 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu
selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun (khusus remaja perempuan,
ditambah 400 g asam folat).
3. Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi besi secara massal.
4. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan mulai usia 2 tahun dan selanjutnya setiap
tahun sampai usia remaja. Bila pada hasil pemeriksaan ditemukan anemia, dicari
penyebab anemia dan bila perlu dirujuk.
5. Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan preparat besi dan alat
laboratorium untuk pemeriksaan status besi.

Referensi :
1. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and
control. A guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.

2. Allen LH. Iron supplements: scientific issues concerning efficacy and implication for
research and programs. J Nutr. 2002:132 Supl 1:813-9.
3. Haas JD, Brownlie TIF. Iron deficiency and reduced work capacity: a critical review
on the research to determine a causal relationship. J Nutr. 2001;131Supl 1:676-90.
4. Akman M, Cebecci D, Okur V, Angin H, Abali O, Akman AC, dkk. The effects of iron
deficiency on infants development test performance. Acta Paediatr. 2004;93:1391-6.
5. Lannotti LL, Tielsch JM, Black MM, Black RE. Iron supplementation in early
childhood: health benefit and risks. Am J Clin Nutr. 2006;84:1261-76.
6.

Joyce C, McCann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation
between iron deficiency during development and deficits in cognitive or behavioral
function. Am J Clin Nutr. 2007;85:931-45.

7. Helen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in Indonesia. Jakarta;


1997:1-16.
8.

Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anemia gizi besi.
Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono,
penyunting. Gizi dalam angka sampai tahun 2003. Jakarta: DEPKES; 2005. h. 41-4.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

REKOMENDASI No.: 002/Rek/PP IDAI/XI/2010


tentang
Air Susu Ibu dan Menyusui

1. Dokter spesialis anak dan tenaga medis merekomendasikan ASI bagi semua bayi yang
tidak memiliki kontraindikasi medis serta memberikan edukasi mengenai manfaat ASI
dan menyusui.
o Kontraindikasi medis yang dimaksud mengacu pada Panduan WHO 2009,
termuat pada bagian selanjutnya dari rekomendasi ini. Bila terdapat
kontraindikasi, maka harus ditelaah lebih lanjut, apakah kontraindikasi
tersebut bersifat sementara atau permanen. Bila kontraindikasi hanya bersifat
sementara, maka ibu dianjurkan memerah ASI untuk menjagai kesinambungan
produksi ASI. Bila menyusui langsung tidak memungkinkan, maka dianjurkan
memberikan ASI yang diperah.
o Keputusan untuk tidak menyusui atau menghentikan menyusui sebelum
waktunya didasarkan pada pertimbangan bahwa risiko menyusui akan lebih
membahayakan dibanding manfaat yang akan didapatkan.
2. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi makanan
maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain ASI. Pemberian
vitamin, mineral, dan obat-obatan diperbolehkan selama pemberian ASI eksklusif.
3. Seluruh kebijakan yang memfasilitasi pemberian ASI/menyusui harus didukung.
Edukasi orang tua sejak kehamilan merupakan komponen penting penentu
keberhasilan menyusui. Dukungan dan semangat dari ayah dapat berperan besar
dalam membantu ibu menjalani proses inisiasi dan tahapan menyusui selanjutnya,
terutama saat terjadi masalah.
4. Bayi sehat diletakkan pada dada ibunya agar tercipta kontak kulit ke kulit segera
setelah persalinan sampai bayi mendapat ASI pertamanya. Bayi sehat dan siaga
mampu melakukan perlekatan tanpa bantuan dalam waktu satu jam pertama setelah
melahirkan.
o Keringkan bayi, nilai skor Apgar, dan lakukan pemeriksaan fisis awal saat bayi
sedang kontak dengan ibunya.
o Prosedur penimbangan, pengukuran, memandikan, pengambilan darah,
pemberian suntikan vitamin K, dan profilaksis mata dapat ditunda sampai bayi
mendapat ASI pertamanya.
o Bayi yang terpengaruh oleh obat-obatan ibu mungkin membutuhkan bantuan
agar mampu melakukan perlekatan yang efektif.

5. Suplemen (air, air gula, susu formula, dan cairan lain) tidak diberikan pada bayi
kecuali atas permintaan dokter sesuai dengan indikasi medis.
6. Empeng/dot dihindari pada bayi yang menyusui. Rekomendasi ini tidak melarang
penggunaan empeng untuk tujuan nonnutritive sucking, oral training untuk bayi
prematur, dan bayi yang membutuhkan perawatan khusus.
7. Pada minggu-minggu pertama menyusui, bayi disusui sesering kemauan bayi. Ibu
menawarkan payudara apabila bayi menunjukkan tanda-tanda lapar seperti terjaga
terus, aktif, mouthing, atau rooting.
o Penempatan ibu dan bayi dalam satu ruangan (rooming-in) sepanjang hari
sangat membantu keberhasilan menyusui.
o Lamanya menyusui tergantung pada kehendak bayi. Payudara diberikan
bergantian kanan dan kiri pada awal menyusui, agar kedua payudara mendapat
stimulasi yang sama dan mendapat pengeringan yang sama.
o Pada minggu-minggu pertama, bayi sebaiknya dibangunkan atau dirangsang
untuk menyusui maksimum setiap 3 jam.
8. Evaluasi keberhasilan menyusui selama dirawat dilakukan oleh tenaga kesehatan
sekurangnya dua kali sehari.
o Hal yang dinilai meliputi posisi menyusui, perlekatan, dan transfer susu.
o Kemajuan dan hambatan dalam proses menyusui selama bayi dirawat dicatat
di rekam medis
o Edukasi ibu untuk mencatat waktu dan durasi setiap kali menyusui, demikian
juga dengan produksi urin dan tinja pada minggu-minggu pertama.
o Setiap masalah yang ditemui segera dicarikan solusinya sebelum ibu dan bayi
meninggalkan rumah sakit.
9. Bayi yang telah pulang dari rumah sakit mendapat pemeriksaan tenaga kesehatan
pada usia 3-5 hari.
o Dilakukan penilaian bayi yang mencakup pemeriksaan fisis, terutama untuk
mendeteksi ikterus (kuning) dan status hidrasi, pola berkemih dan defekasi,
begitu pula masalah payudara (nyeri, pembengkakan).
o Teknik menyusui juga harus dinilai, meliputi posisi, perlekatan, dan transfer
susu. Penurunan berat badan lebih dari 7% berat lahir mengindikasikan
kemungkinan masalah menyusui dan harus dievaluasi lebih lanjut.
10. Bayi yang mendapat ASI diperiksa kesehatannya kembali pada usia 2-3 minggu agar
dapat dipantau pertambahan berat badan dan memberikan dukungan pada periode
awal menyusui ini.

11. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama cukup untuk mencapai tumbuh
kembang optimal.
12. Makanan pendamping ASI kaya besi diberikan secara bertahap mulai usia 6 bulan.
Bayi prematur, bayi dengan berat lahir rendah, dan bayi yang memiliki kelainan
hematologi tidak memiliki cadangan besi adekuat pada saat lahir umumnya
membutuhkan suplementasi besi sebelum usia 6 bulan, yang dapat diberikan bersama
dengan ASI eksklusif.
13. Kebutuhan dan perilaku makan setiap bayi adalah unik.
o Pengenalan makanan pendamping sebelum usia 6 bulan tidak meningkatkan
asupan kalori maupun kecepatan pertumbuhan berat badan.
o Selama 6 bulan pertama, bayi yang mendapat ASI tidak membutuhkan air
putih maupun jus buah, bahkan dalam cuaca panas sekalipun. Pemberikan
minuman atau makanan selain ASI berisiko mengandung kontaminan atau
alergen.
o Pemanjangan durasi menyusui bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan dan
perkembangan bayi.
o Bayi yang telah disapih sebelum usia 12 bulan tidak menerima susu sapi,
tetapi harus mendapat formula bayi yang difortifikasi zat besi.
14. Semua bayi yang mendapat ASI mendapat injeksi vitamin K1 1 mg yang diberikan
setelah mendapat ASI pertamanya dalam kurun waktu 6 jam setelah lahir. Bila tidak
tersedia vitamin K1 injeksi, maka dapat diberikan vitamin K1 oral namun diulang
dalam kurun waktu 4 bulan.
15. Ibu dan bayi baru lahir berada dalam satu ruangan dan bayi berada dalam jangkauan
ibu selama 24 jam untuk memfasilitasi menyusui.
16. Bila ibu atau bayi dirawat di rumah sakit, diusahakan untuk menjaga kesinambungan
ASI, baik dengan menyusui langsung atau memberikan ASI yang diperah.
17. Durasi pemberian ASI eksklusif yang dianjurkan adalah selama enam bulan pertama
kehidupan untuk mencapat tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi
mendapat makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia
24 bulan.
18. Bayi risiko tinggi :
o Pemberian ASI direkomendasikan untuk bayi prematur dan bayi risiko tinggi
lain, baik secara langsung maupun pemberian ASI perah. Dukungan dan
edukasi untuk ibu mengenai menyusui dan teknik memerah ASI diberikan
sedini mungkin.
o Kontak kulit ke kulit dan menyusui langsung dimulai sedini mungkin.

o Sebagian besar bayi dengan berat lahir sangat rendah terindikasi mendapat
ASI yang difortifikasi. Di negara maju terdapat bank ASI. Air susu ibu yang
berasal dari bank ASI telah memenuhi persyaratan dan berasal dari donor yang
telah diksrining. ASI segar dari donor yang belum diskrining tidak dianjurkan
karena risiko transmisi kuman.
o Kewaspadaan diperhatikan untuk bayi dengan defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) karena rentan terhadap hemolisis, hiperbilirubinemia,
dan kernikterus. Ibu yang menyusui bayi dengan defisiensi atau tersangka
defisiensi G6PD harus menghindari obat yang dapat menginduksi hemolisis.
19. Keadaan bencana dan situasi darurat :
o Air Susu Ibu (ASI) dengan daya perlindungan yang dimilikinya menjadi
sangat penting pada keadaan bencana atau situasi darurat.
o Dalam situasi bencana, bayi yang tidak disusui mempunyai risiko tinggi
terkena penyakit, karena kurangnya air dan sanitasi, terhentinya persediaan
makanan, tempat tinggal yang tidak memadai, serta tidak adanya fasilitas
untuk memasak. Selain itu, tidak adanya dukungan dan pengetahuan tentang
bagaimana cara pemberian makan pada bayi dan anak dalam keadaan darurat,
ikut berkontribusi meningkatkan risiko timbulnya penyakit.
o Pemberian susu formula pada keadaan bencana perlu memperhatikan beberapa
hal :
1. Pemberian susu formula dibawah pengawasan dan pemantauan tenaga
kesehatan terlatih.
2. Susu formula diberikan kepada bayi piatu dan bayi yang ibunya tidak
lagi dapat menyusui
3. Telah dilakukan penilaian terhadap status menyusui ibu dan relaktasi
tidak memungkinkan.
4. Ibu atau pengasuh bayi perlu diberi informasi memadai tentang cara
penyajian susu formula yang aman dan pemberian makan bayi yang
tepat.
5. Ada petunjuk yang jelas tentang cara penyajian susu formula dalam
bahasa yang dimengerti oleh masyarakat setempat dengan masa
kadaluwarsa minimal 1 tahun.
6. Susu kental manis dan susu cair tidak boleh diberikan kepada bayi
berumur kurang dari 12 bulan.
7. Menggunakan air dan alat yang bersih untuk menyiapkan susu dan
menyimpannya (bila sulit menyiapkan air bersih karena terbatasnya
bahan bakar, dapat menggunakan air dalam kemasan).

8. Sediakan alat untuk menakar air dan susu bubuk


9. Promosi menyusui secara terus menerus untuk agar ibu yang masih
dapat menyusui tidak memberikan susu formula.
o Industri susu formula tidak diperbolehkan mempromosikan produknya.

Referensi :
1. Lucas A, Prewett RB, Mitchell MD. Breastfeeding and plasma oxytocin
concentrations. Br Med J. 1980;281:834-5.
2. Beral V. Breast cancer and breastfeeding: collaborative reanalysis of individual data
from 47 epidemiological studies in 30 countries, including 50302 woman with breast
cancer and 96973 woman without the disease. Lancet. 2002;360:187-95.
3. Saadeh R, Benbouzid D. Breastfeeding and child spacing: importance of information
collection to public health policy. Bull World Health Organ. 1990;68:625-31.
4. Popkin BM, Adair L, Akin JS, Black R. Breastfeeding and diarrheal morbidity.
Pediatrics. 1990;86:874-82.
5. Howie PW, Forsyth JS, Ogston SA, Clark A, Florey CV. Protective effect of
breastfeeding against infection. BMJ. 1990;300:11-6.
6. Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A longitudinal analysis of infant
morbidity and the extent of breastfeeding in the United States. Pediatrics. 1997;99:e5.
7. Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, Sevkovskaya Z, Dzikovich I, Shapiro S, et al.
Promotion of breastfeeding intervention trial (PROBIT). JAMA. 2001;285:413-20.
8. Cesar JA, Victora CG, Barros FC, Santos IS, Flores JA. Impact of breastfeeding on
admission for pneumonia during postneonatal period in Brazil: nested case-control.
BMJ. 1999;318:1316-20.
9. Chantry CJ, Howard CR, Auinger P. Full breastfeeding duration and associated
decrease in respiratory tract infection in US children. Pediatrics. 2006;117:425-32.
10. Aniansson G, Alm B, Andersson B, Hakansson A. A prospective coherent study on
breasfeeding and otitis media in Swedish infants. Pediatr Inf Dis J. 1994;13:183-8.
11. Norris JM, Scott FN. A meta-analysis of infant diet and insulin-dependent diabetes
mellitus: do biases play a role? Epidemiology. 1996;7:87-92.

12. WHO collaborative study team on the role of breastfeeding in the prevention of infant
mortality. Effect of breastfeeding of infant and child mortality due to infections
disease in less developed countries: a pooled analysis. Lancet. 2000;355:451-5.
13. Bahl R, Frost C, Kirkwood BR, Edmund K, Martinez J, Bhandari K. Infant feeding
patterns and risks of death and hospitalization in the first half of infancy: multicentre
cohort study. Bull World Health Organ. 2005;83:418-26.
14. Kull I, Wickman M, Lilja G, Nordvall SL, Pershagen G. Breastfeeding and allergic
diseases in infants - a prospective birth cohort study. Arch Dis Child. 2002;87:47881.\
15. Von Kries R, Koletzko B, Sauerwald T, von Mutius E, Barnert D, Grunert V, et al.
Breastfeeding and obesity: cross sectional study. BMJ. 1999;319:147-50.
16. Gillman MW, RIfas-Shiman SL, Camargo Jr CA. Risk of overweight among
adolescents who were breastfed as infants. JAMA. 2001;285:2461-7.
17. Kramer MS, Aboud F, Miranova F, Vanilovich I, Platt RW, Matush L, et al.
Breastfeeding and child cognitive development. New evidence from a large
randomized trial. Arch Gen Psychiatry. 2008;65:578-84.
18. Mortensen EL, Michaelsen KF, Sanders SA, Reinisch JM. The association between
duration of breastfeeding and adult intelligence. JAMA. 2002;287:2365-71.\
19. World Health Organization, UNICEF, and Wellstart International. Baby-friendly
hospital initiative : revised, updated and expanded for integrated care. Section 2.
Strengthening and sustaining the baby-friendly hospital initiative: a course for
decisionmakers. WHO and UNICEF. 2009. Geneva.
20. American Academy of Pediactrics, Section on Breastfeeding. Breastfeeding and the
use of human milk. Pediatrics. 2005;115:496-506.
21. World Health Organization. Acceptable medical reasons for use of breastmilk
substitutes. WHO. 2009. Geneva.

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 001/Rek/PP IDAI/2010
tentang
Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi
1. Untuk bayi dengan ASI ekslusif:
o Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu
selama 2-4 minggu.
o Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi
susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu
dipertimbangkan diagnosis lain.
o Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI
diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada
makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan.
Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala
tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba
diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan
kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
2. Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula standar:
o Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan
mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula
hidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang)
atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat).
Eliminasi dilakukan 2-4 minggu.
o Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi
susu sapi. bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu
dipertimbangkan diagnosis lain.
o Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu
formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrosilat ekstensif
(untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam
amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula
khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan.
Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala
tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan

kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan kembali


selama 6 bulan dan seterusnya.
3. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu penghindaran protein
susu sapi dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI).
4. Apabila susu formula terhidrosilat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya,
maka formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan dengan
penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap kedelai.
Pemberian susu kedelai tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia 6 bulan.
5. Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung penegakan
diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE.

Referensi :
1. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, dkk. Guideline
for the diagnosis and the management cows milk protein allergy in infants. Arch Dis
Child. 2007;92;902-8.
2. Scurlock AM, Lee LA, Burks AW. Food allergy in children. Immunol Allergy Clin N
Am. 2005;25:369-88.
3. Host A. Frequency of cows milk allergy in childhood. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2002;89Supl 1:337.
4. Burks W, Ballmer-Weber BK. Food allergy review. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;30:1-26.
5. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reactions to foods. Med Clin N Am.
2006;90:97-127.
6. Sullivan PB. Cows milk induced intestinal bleeding in infancy. Arch Dis Child.
1993;68:240-5.
7. Osborn DA, Sinn JKH. Formulas containing hydrolysed protein for prevention of
allergy and food intolerance in infants. Cochrane Database of Systematic Reviews
2006, Issue 4. Art. No.: CD003664. DOI: 10.1002/14651858.CD003664.pub3.
8. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GP, Day AS, dkk. Guidelines for
the use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus
panel opinion. MJA. 2008;188:109- 12.
9. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician
2008;54:1258-64.
10. Committee on Nutrition American Academy of Pediatrics. Hypoallergenic infant
formula. Pediatrics. 2000;106:346-9.

REKOMENDASI
No.: 001/Rek/PP IDAI/VIII/2009
tentang
Penggunaan Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar pada Diare
Dengan mengkaji berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan penggunaan Zinc dan Cairan
Rehidrasi Oral pada penderita diare, maka disimpulkan bahwa pemberian Zinc dan Cairan
Rehidrasi Oral Hipoosmolar pada anak dengan diare memenuhi Level of Evidence I (satu)
dengan derajat rekomendasi A.
Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian preparat Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral
Hipoosmolar direkomendasikan pada anak yang mengalami diare.

Referensi:
1. Guarino A, Albano F, Guandalini S; Working group on acute gastroenteritis. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2001; 33 Supl 2:S2-12.
2. Hans S, Kim Y, Garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating
dehydration due to diarrhea in children: systematic review. BMJ. 2001;323: 81-5.
3. World Health Organization. Pocket book of hospital care for children. Geneva: WHO;
2005.
4. Aiuke, Rohde J, Schuert J, Jude N, Camille S, Soenarto Y. Assessment for the
introduction of zinc in improved management of diarrhea in Indonesia. Airlington,
Virginia, USA: Basic Support for Institutionalizing Child Survival (BASICS) for the
United States Agency for International Development (USAID). 2007.

Larangan Penggunaan Metode Serologi untuk Penegakan Diagnosis TB

Diagnosis TB Paru ditegakkan dengan pemeriksaan dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu), ini


merupakan kebijakan nasional karena cepat, relatif murah, cukup sensitif dan spesifik untuk
TB paru, meskipun 'gold standard' adalah pemeriksaan biakan TB. Sedangkan untuk TB
ekstra paru, diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.
Dengan berkembangnya IPTEK saat ini telah banyak beredar bermacam uji serologi
komersial, terutama banyak digunakan secara luas di sektor swasta. WHO tidak
merekomendasikan penggunaan metode serologi untuk tujuan diagnosis TB paru dan ekstra
paru karena hasil pemeriksaan yang tidak konsisten dan tidak tepat.
Maksud dan Tujuan
1. Menjamin mutu hasil pemeriksaan laboratorium diagnostik TB sesuai kebijakan
nasional.
2. Mencegah kesalahan dalam penegakan diagnosis TB yang dapat mengakibatkan
dampak secara sosial ekonomi dan epidemiologi.
Ruang Lingkup
Setiap fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang memberikan pelayanan
laboratorium TB UNTUKMENEGAKKAN DIAGNOSIS TIDAK DIPERKENANKAN
MENGGUNAKAN METODE PEMERIKSAAN SEROLOGI.
Dasar
1. Undang-undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

pasal 5 (2) : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu dan terjangkau,

pasal 19 : Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya


kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

2. Kebijakan WHO tahun 2011:

Commercial Serodiagnostic Tests for Diagnosis of Tuberculosis, Policy Statement.

Website: www.who.int/publication/2011/9789241502054.eng.pdf

3. Kepmenkes No. 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis


(TB)

Penutup
Dengan terbitnya surat edaran ini, agar Kepala Dinas Kesehatan di Provinsi/ Kabupaten/
Kota, Ketua Asosiasi/ Organisasi Profesi untuk menyampaikan informasi hal diatas kepada
seluruh jajarannya, yang terkait dengan program pengendalian TB di Indonesia

You might also like