Professional Documents
Culture Documents
NIM
: 030.10.228
Dokter Pembimbing
I. Identitas Pasien
Nama
: Ny. C
Umur
: 25 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat Rumah
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMP
Status pernikahan
: Menikah
Pekerjaan
Nama Suami
: Tn. J
Tanggal masuk RS
: 19 Juni 2015
II. Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara autoalloanamnesis pada tanggal 19 Juni 2015 pukul 22.00 WIB
di Ruang Ponek RSUD Dr. Soeselo Slawi.
A. Keluhan Utama:
Os datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi kiriman Puskesmas Kalibakung dengan
keluhan gelisah, mengigau, dan tidak sadarkan diri.
B. Keluhan Tambahan:
Pusing, nyeri tenggorokan, dan lemas.
H. Riwayat Obstetri
P2A0 minggu
- Ante natal care: rutin kontrol ke bidan 1 bulan sekali pada trimester 1 dan 2.
-
I. Riwayat KB
Pasien pernah menggunakan alat suntik KB selama 2 bulan setelah melahirkan anak
pertama kemudian berhenti karena mengeluh kesakitan saat menstruasi. Lalu pasien
melanjutkan dengan pil KB selama 15 hari dan kembali berhenti lagi karena pasien
sering lupa untuk minum obat.
J. Riwayat Haid
Menarche pada usia 10 tahun, menstruasi teratur tiap bulan, siklus 28 hari, banyaknya
2-4 pembalut per hari tidak penuh, lama haid rata-rata 4-5 hari, dysmenorhea (-),
keputihan (-)
: 98 x/menit
Suhu
: 36,6 0 C
Pernafasan
: 20 x/menit
C. Kulit
Kulit berwarna sawo matang , tidak ikterik, tidak ada efloresensi bermakna.
D. Kelenjar getah bening
Leher: tidak teraba membesar
E. Kepala
Tampak normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
F.
Wajah
Normal dan simetris
G. Mata
Alis: hitam, distribusi normal, tidak mudah rontok
Kelopak: tidak terdapat edema
Konjungtiva: tampak pucat (-/-)
Sklera: tidak tampak kuning (-/-)
Lensa: terlihat jernih (+/+)
Iris kripta tidak melebar
H. Hidung
Bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, mukosa tidak
hiperemis, konka normal, tidak ada sekret.
I.
Telinga
Normotia, sekret -/-, serumen -/-, tidak ada nyeri tekan, liang telinga lapang, membran
timpani intak
J.
Mulut
Bibir: kering, tidak pucat, tidak sianosis
Gusi dan mukosa: tidak hiperemis, tidak ada perdarahan spontan, tidak pucat, tidak
sianosis
Gigi geligi: lengkap, tidak ada karies, tidak keropos
Lidah: tidak ada papil atrofi, tampak agak kotor, hiperemis dan laserasi pada lateral
kanan lidah
Uvula: simetris, letak di tengah, tidak hiperemis
K. Tenggorokan
- Tonsil: T1-T1 tenang, tidak ada detritus, tidak ada kripta melebar
- Faring: arkus faring simetris, tidak hiperemis
- Laring: tidak dinilai
L. Leher
-
M. Thorax
Inspeksi:
Bentuk normal, mendatar, tidak terdapat retraksi saat status dan dinamis.
Kulit: sawo matang, tidak terdapat spider nevi, tidak terdapat efluoresensi yang
bermakna
Iga: tidak ada retraksi sela iga, sela iga tidak melebar
Ictus cordis: tidak teraba pulsasi
Palpasi
-
Perkusi paru: didapatkan suara sonor pada hemithorax kanan dan kiri
Auskultasi paru: terdengar suara napas vesikuler, wheezing -/- dan ronki -/ Auskultasi jantung: S1 reguler-S2 reguler, murmur (-), gallop (-), split (-)
N. Abdomen
Inspeksi
Bentuk abdomen datar, tidak terdapat efluoresensi yang bermakna, tidak terdapat
dilatasi vena maupun arterial bruit, tidak terdapat smiling umbilikus.
Auskultasi
Bising usus +
Palpasi
Teraba supel, tidak terdapat nyeri tekan.
Hepar dan lien dalam batas normal, tidak terdapat nyeri tekan pada bagian ginjal.
Perkusi
Terdengar timpani pada kuadran kanan kiri atas, tidak ada shifting dullness, tidak
terdapat nyeri ketuk pada bagian ginjal
O. Ekstremitas
Inspeksi: lengan terlihat simetris, tidak ada deformitas, kulit berwarna sawo matang,
tidak ikterik, tidak sianosis
Palpasi: Akral teraba hangat pada keempat ekstremitas, tidak terdapat oedem pada
ekstremitas inferior.
P.
Genitalia
Dalam batas normal.
Palapasi bimanual :
o Tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusar
3. Inspekulo
Tidak dilakukan pemeriksaan inspekulo.
I.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 19 Juni 2015 pukul 10.25
Pemeriksaan
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Diff count
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Golongan darah
Urin
Protein urin
Kimia Klinik
Gula darah Sewaktu
Ureum
Creatinin
Asam Urat
Kolesterol total
Trigliseride
Bilirubin total
Bilirubin direct
Bilirubin indirect
Total protein
Albumin
Globulin
Hasil
17.000
4,6
12,1
34
73
26
36
297.000
Nilai Rujukan
3.600-11.000 u/l
3.80-3.20 juta/ul
11,7-16,6 g/dL
35-47%
80-100 Fl
26-34 pg
32-36 g/dL
150.000-450.000 u/l
1,7
0,10
78,7
13,7
5,8
O Rhesus factor (+)
2-4
0-1
50-70
25-40
2-8
(+) 1
Negatif
97
9,3
0,5
9,7
206
144
0,5
0,1
0,4
6,7
3,8
2,9
75-140
17,1 42,0
0,40 1,00 mg/dL
2-7
150-200
35-140
0,2-1,3
0,1- 0,3
0-0,75
6,7-8,2
3,8-5,3
1,3-3,1
7
SGOT
SGPT
Chloride
Calcium
Kalium
SEROIMUNOLOGI
HbsAg
80
47
107
7,6
3,3
13-33
6-30
95-105
8,8-10
3,5-5
Non reaktif
Non reaktif
II. RESUME
Pasien datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi pada tanggal 19 juni 2015 pukul
07.45 dengan P2A0 tahun post partum 5 hari dengan keluhan penurunan kesadaran dan
mengigau. Pasien diantar oleh bidan (puskesmas) membawa surat rujukan dengan diagnosis
postpartum BLUES. Dari anamnesis didapatkan riwayat kejang di rumah sakit pada pukul
09.45.
Pasien menyangkal riwayat tekanan darah tinggi (-). Keluhan pandangan kabur, mual,
muntah, sesak, nyeri ulu hati, riwayat kejang, BAK sedikit, kaki bengkak disangkal oleh
pasien. Berat badan sebelum hamil 55 kg dan saat ini 65 kg. BAB dan BAK lancar. Sebelum
ke rumah sakit pasien tidak diberikan obat-obatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 144/102, Nadi 98x/mnt. Pada
pemeriksaan status obstetrik didapatkan TFU 2 jari dibawah pusat, His (+). Saat dilakukan
vaginal touches tidak didapatkan kelainan.
Pada pemeriksaan penunjang tanggal 19 juni 2015 didapatkan kelainan laboratorium
leukosit (17.000), Protein urin (+1), SGOT (80), SGPT (47), asam urat (9,1).
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini maka
diagnosis pasien adalah P2A0 25 thn, post partum spontan H+5 dengan Eclampsia.
III. DIAGNOSA KERJA
o Diagnosa masuk
P2A0, 25 tahun post partum spontan H+5 dengan post partum Baby Blues
o Diagnosa akhir
o P2A0, 25 tahun post partum spontan H+5 dengan Eclampsia
IV. PENATALAKSANAAN
Terapi non-medikamentosa
- ABC ( jalan nafas )
- Pengawasan Tanda vital, balance cairan,
- Mencegah kejang berulang
- Observasi keadaan umum
- Mengatasi hipoksemia
- Mencegah trauma pada pasien sewaktu kejang
- Mengendalikan tekanan darah
- Pemberian obat anti kejang magnesium sulfat atau diazepam
Perawatan kejang
- Tempatkan diruang khusus, lampu terang
- Tempat tidur harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi Tredelenburg
-
jalan napas
- Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor, menghindari fraktur
Perawatan Koma
- Derajat kedalaman diukur dengan GCS
- Terapi medikamentosa
o Rawat di rumah sakit
o Oksigenasi 3 liter/menit
o RL 20 tpm
o Pasang DC
o Loading: MgSO4 40% 4 gr bolus i.v dalam 15 menit
o Mentainance: MgSO4 20% 6 gr dalam 500 cc RL/6 jam
o Dopamet 3 x 500 mg tab.
o Cek urin
V.
PROGNOSIS
-
Ibu
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad malam
: Dubia ad Bonam
10
11
Tanggal
Ponek
S
Os dating kiriman bidan
O
KU: TSB
A
P2A0 25 thn, post
Kesadaran: CM
07.45
HR: 84 x/m
blues
RR: 20 x/m
P
Advis dr. Jaga :
Konsul dr.Jiwa
S: 36,50C
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: dbn,
TFU :3 Jari pusar
Extremitas: OE -/- AH +/+
VT :tidak dilakukan
Ponek
Os.Kejang
Penatalaksanaan ABC
19/06/15
09.45
dengan Eclampsia
Masker O2 10lt/menit
Suction catheter
Advice dr.Residen :
Rawat HCU
Periksa darah lengkap
EKG
Dopamet 3x500mg
Inj.MgSO4 20% 4gr bolus
perIV
Syringe Pump. MgSO4 20%
1gr/jam
12
ANALISIS KASUS
Teori
Kasus
Anamnesa
Eklampsia Merupakan kasus akut pada penderita Pasien dengan tekanan darah 144/101 mmHg
preeclampsia,
yang
disertai
dengan
menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan kejang. 1 hari sebelumnya dirumah pasien
preeclampsia, eklampsia dapat itmbul pada ante, merasa pusing, mual dan muntah-muntah.
intra dan post partum. Eklampsia post partum
umunya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama
setelah persalinan
6)
7)
8)
9)
yang
tidak
mereda
diberika
pengobtaan
Edema paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Gangguan fungsi hepar
Sindrom HELLP
Protein urin
: (1+)
Penatalaksanaan
14
Perawatan dasar eklampsia yang utama Rawat inap dilakukan atas indikasi Eclampsia
ialah terapi suportif untuk stabilisasi Pada kasus dilakukan monitoring tanda vital
fungsivital, yang harus selalu diingat yaitu
Airway , Breathing , dan Circulation
(ABC), mengatasi dan mencegah kejang
berulang,
mengatasi
hipoksemia,
sesuai
Diazepam
dapat
menjadi
pilihan
pasien
untuk
hanya
diberikan
rail
tempat
tidur,
fiksasi
badan
juga
lengkap
dengan
dan
pemeriksaan
obat
alternative.
-
protap
dengan
antihipertensi
15
Pemeriksaan
laboratorium
yang
dilakukan
untuk
pasien
obat
antihipertensi
diberikan
kali
trombosit,
celup
urin
untuk
16
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Hipertensi dalam kehamilan
Terminologi hipertensi dalam kehamilan (HDK) digunakan untuk menggambarkan
spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah yang ringan
atau berat dengan berbagai disfungsi organ. HDK adalah salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapati angka mortalitas
dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia preeklampsia dan eklamsia merupakan
penyebab dari 30-40% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu
diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan penyakit ini.
4.1.1 Klasifikasi
Pada saat ini, untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan The Working Group Report
17
dan High Blood Pressure ini Pregnancy (2000) 1 menyarankan klasifikasi hipertensi dalam
kehamilan sebagai berikut :
1. Hipertensi gestasional
2. Hipertensi kronis
3. Superimposed preeklampsia
4. Preeklampsia ringan, preeklampsia berat dan eklampsia
Sebagai batasan yang disebut hipertensi dalam kehamilan adalah kenaikan tekanan darah
diastolik 90 mmHg dan tekanan darah sistolik 140 mmHg pada dua kali pemeriksaan yang
berjarak 4 jam atau lebih dan proteinuria, jika dijumpai protein dalam urine melebihi 0,3
gr/24 jam atau dengan pemeriksaan kualitatif minimal positif (+) satu.
4.1.2 Definisi2
1. Hipertensi gestasional
kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan, tidak dijumpai keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya. Diagnosa akhir ditegakkan pasca persalinan.
2. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum kehamilan, selama
kehamilan sampai sesudah masa nifas. Tidak ditemukan keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya.
3. Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda preeklampsia muncul
sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya menderita hipertensi kronis.
4. Preeklamsia ringan, preeklampsia berat, eklampsia : Hipertensi yang timbul setelah
kehamilan 20 minggu disertai proteinuria. Dahulu, disebut PE jika dijumpai trias tanda
klinik yaitu : tekanan darah 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema
tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai pada
kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan
darah diastol 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.
a. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, dan proteinuria +1.
b. Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg, proteinuria +2 atau
5g/24 jam, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala,
gangguan penglihatan dan oliguria.
18
pengobtaan
Edema paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Gangguan fungsi hepar
Sindrom HELLP
c. Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini
menunjukkan gejala-gejala preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat kelainan
neurologik).
4.1.3 Faktor Resiko
Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokan dalam faktor resiko, sebagai berikut:4,5
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetais,
bayi besar
Umur yang ekstrim ( <20 tahun, >35 tahun)
Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada seblum hamil
Obesitas
19
keras
sehingga
lumen
areteri
spiralis
tidak
memungkinkan
distensi
dan
terhadap membrane sel endotel pembuluh darah.Sebenarnya produksi oksidan pada manusia
adalah suatu proses normal, Karen aoksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh.Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin
yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia.6
Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung bayak asam lemak
tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel,
juga akan merusak nucleus, protein sel endotel.6
Produksi oksidan(radikal bebas)dalam tubuh yang bersifat toksis , selalu diimbangi
dengan produksi anti oksidan.
Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksid
lemak meningkat, sedangkan antioksidan ,missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan
menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang realtif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseluruh
tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membrane sel endotel. Membran sel endotel
lebuh mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh.Asam
lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi peroksida lemak.
Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel,
yang kerusakannya dimulai dari membrane sel endotel.Kerusakan membrane sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel.Keadaan ini disebutDisfungsi endotel(endothelial dysfunction).Pada waktu terjadi
kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi
:Gangguan metabolism prostalglandin, Karena salah satu fungsi sel endotel adalah
prostalglandin, yaitu menurtnnya produksi prostasiklin(PGE2)suatu vasodilatator kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.Agregrasi sel
trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat dilapisan endotel yang mengalami
kerusakan.Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2)suatu vasokonstriktor kuat.
21
2)
Ibu yang multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar
terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami
sebelumnya.
3)
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya hasil konsepsi
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLAG), yang berperan penting dalam modulasi respon imun,sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi troploblas janin dari
lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.6
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Jadi hilang HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta
hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresiHL-G. B erkurangnya HLA-G di
desudua daerah plasenta, menghambat invansi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya dilatasi arteri spiralis.
22
kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakterpembuluh
darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor.
Banyak peneliti
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjdai
pada trimester 1 (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjdi
hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan pada kehamilan dua
puluh moinggu. Fakta inin dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.6
Teori Genetik
Ada factor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehemilan secara familial jika dibandingkan dengan
genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia ,26% anak
perempuannya akan mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklamsia.6
23
Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan
kenaikkan insiden hipertensi dalm kehamilan.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati
halibut, dapat mengurangi risiko preeklamsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktifasi trombosit,
dan mencegah vasokonstriksipembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba melakukan
uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak
tak jenuh dalam mencegah preeklamsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa peneliti ini
berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternative pemberian aspirin. Beberapa
peneliti juga mengganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil
mengakibatkan risiko terjdinya preeklamsi atau eklamsia. Penelitian di Negara Ekuador
Andes
kalsium dan placebo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi
suplemen, kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklamsia adalah 14 % sedang yang
diberi glikosa 17 %.6
Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas didalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta
juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa prosen apoptosis dan nekrotik trofoblas
akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian
meranbgsang timbulanya proses inflamasi.pada kehamilan normal jumlah debris trofoblas
masi dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.Berbeda
dengan proses apoptosis pada preeklamsia, dimana pada preeklamsia terjadi peningkatan
stree oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat.
Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka
reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga
meningkat.Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh
24
lebih besar dibanding reaksi inflamsi pada kehamilan normal.respon inflamasi ini akan
mengaktifasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula sehingga
terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala pereklamsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preklamsia akibat produksi debris
trofoblas palesenta berlebihan tersebut diatas, mengkibatkanaktifitas leukosit yang sanagt
tinggipada sirkulasi ibu.Peristiwa ini oleh redman disebut sebagaikekacauan adapatasi dari
proses inflamasi intravascular pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan
menyeluruh.6
4.2.2 Patologi
Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu karena terjadi perubahan
patologis pada sistem organ, yaitu :
1. Jantung
Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan
aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke ekstraselular terutama
paru. Terjadi penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.
2. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang mengalami kelainan
pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan
cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria,
penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang
diproduksi oleh hati.
3. Hati
Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, perlambatan ekskresi
bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar
peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal
dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk, dengan menggunakan sonografi
Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.
4. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa arteri,
jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan
adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah
preeklampsia yang ringan. Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia
merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
25
perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina
(Wiknjosastro, 2006)
5. Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis, yaitu
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan
laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada
preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan
ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume
plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar
normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat,
kreatinin plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar
hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat vasospasme yang
hebat (Cunningham, 2005). Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi
garam dan air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di
glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi penurunan
ekskresi
kalsium
melalui
urin
karena
meningkatnya
reabsorpsi
di
tubulus
6. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan auto regulasi tak berfungsi. Jika autoregulasi
tak berfungsi, penghubung antara endotel akan menyebabkan ekstravasasi plasma dan sel sel
darah keluar mengisi ruangan ekstravaskuler.
7. Darah
Kebanyakan pasien preeklamsi akan mengalami koagulasi intravaskuler (DIC) dan destruksi
eritrosit. Trombositopenua merupakan kelainan yang sangat sering biasanya <150.000/uL
itemukan pada 15-20% pasien dan level fibrinogen meningkat pada pasien preeklamsi
dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level
fibrinogen yang rendah pada pasien preeklamsia ditakutkan terjadinya abruption placenta.
Pada 10% pasien PEB dapat terjadinya HELLP syndrome dengan adanya tanda anemia
hemolitik,peningkatan enxim hati dan penurunan jumlah platelet.
26
Diagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali atau
lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi neurologis
lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Kejang pada eklampsia biasanya
berlangsung 60-75 detik dan tidak lebih dari 3-4 menit. Tergantung dari waktu
terjadinya, eklampsia bisa terjadi antepartum, intrapartum dan post partum. Eklampsia
sebagian besar didahului oleh tanda tanda prodroma yang kita sebut dengan tanda tanda
imiment eklampsia atau impending eklampsia. Tanda-tanda tersebut sesuai dengan
tanda-tanda ensefalopati hipertensif.3
Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 fase yaitu10 :
Fase 1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar, demikian pula tangan dan
kepala yang berputar ke kanan dan kiri.
27
Fase 2. Kemudian timbul tingkat kekejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30
detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku sehingga wajah terlihat kaku, tangan
menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka mulai
menjadi sianotik. Lidah dapat tergigit.
Fase 3. Stadium ini kemudian disusul tingkat kekejangan klonik yang berlangsung
antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulangulang dalam tempo waktu yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejang ini dapat
sedemikian hebatnya, sehingga seringkali tubuh penderita terjatuh dari tempat tidur.
Akhirnya, kejang berhenti dan penderita menarik nafas secara mendengkur.
Fase 4. Penderita memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama.
Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula
bahwa sebelum itu muncul serangan baru dan berulang, sehingga penderita tetap dalam
koma.
Penderita juga dapat mengalami kenaikan suhu tubuh sampai di atas 39C yang
disebabkan karena perdarahan intraserebral, dimana kenaikan suhu tubuh ini
merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk. Pada eklampsia yang terjadi
antepartum, bisa timbul tanda-tanda persalinan, demikian juga pada eklampsia yang
terjadi intrapartum, kontraksi yang sudah ada bisa bertambah kuat, sehingga harus
diwaspadai terjadinya solusio plasenta, terutama bila disertai dengan fetal bradikardia
yang lebih dari 5 menit. Keadaan berbahaya lainnya yang bisa mengikuti kejang adalah
adanya edema paru. Edema paru merupakan salah satu komplikasi akut eklampsia.
Edema paru adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada interstitial paru dan ruang
alveoli. Keadaan ini merupakan komplikasi akut eklampsia, yang bisa terjadi
bersamaan atau segera setelah kejang berlangsung. Tanda penting dari edema paru
adalah sesak nafas dan pada pemeriksaan fisik paru didapatkan ronkhi pada paru.
Edema paru disebabkan karena aspirasi pneumonitis atau karena gagal jantung. Selain
edema paru komplikasi lainnya adalah keluhan tentang hilangnya penglihatan pada
penderita eklampsia (cortical blindness) yang terjadi sekitar 10% dari kasus preeklampsia dan eklampsia. Kebutaan ini disebabkan oleh ablasio retina atau iskemia
lobus optikus. Keadaan ini biasanya reversibel dan penglihatan kembali normal
beberapa saat sampai 1 minggu setelah melahirkan.4
28
Depresi pernafasan
(87) 23 %
DIC
(33) 9 %
Sindrom HELLP
(27) 7 %
Gagal ginjal
(24) 6 %
Edema paru
(18) 5 %
ARDS
(7 ) 1,8%
CVA
(7)
1,8%
Gagal jantung
(6)
1,6 %
Kematian
(6)
1,6 %
Penyakit hipertensi
Space-occupying lesion
Gangguan metabolik
: hipoglikemia, uremia
Infeksi
: meningitis, encephalitis
29
31
32
33
2. Dosis pemeliharaan :
Berikan MGSO4 5 gram 50% tiap 4 jam bergantian salah satu bokong
dalam waktu 24 jam.
3. Syarat pemberian MgSO4 adalah :
a. Refleks patela harus positif
b. Tidak ada tanda-tanda depresi pernapasan (respirasi lebih
dari16x/menit)
c. Produksi urin tidak kurang dari 25 cc/jam atau 150 cc/ 6 jam
4. Apabila terdapat kejang-kejang lagi, diberikan sekali saja MgSO4 dan
bila masih timbul kejang lagi dapat diberikan Pentotal 5 mg/kg berat
badan IV pelan.
5. Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4, berikan Kalsium glukonas
10% sebagai antidotum, 10 cc IV pelan selama 3 menit atau lebih
6. Apabila sebelumnya sudah diberikan pengobatan diazepam, maka
dilanjutkan dengan pengobatan MgSO4.
Pemberian MgSO4 dengan cara diatas memberikan kadar plasma obat dalam
batas batas dosis terapi yang aman yaitu 4-7 mEq/L. Namun penderita yang
mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 tetap harus diamati kemungkinan
adanya gejala-gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patela dan depresi sampai
henti nafas. Kedua tanda klinis itu harus diperiksa setiap jam. Karena MgSO 4
diekskresikan lewat ginjal, maka pada penderita dengan kelainan ginjal atau
oliguria (produksi urin < 100 cc per 4 jam) harus dilakukan pemeriksaan kadar
MgSO4 serum. Dosis awal MgSO4 yang diberikan pertama kali aman untuk
penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal, namun pada pemberian dosis
ulangan, pemeriksaan fungsi ginjal harus dilakukan dimana bila kadar kreatinin
serum melebihi 1,3 mg/dl , maka dosis MgSO4 diberikan setengah dari dosis
standar. Reflek patella akan menghilang pada kadar MgSO 4 mencapai 10
34
nafas dan bila kadar plasma MgSO4 melebihi 12 mEq/L akan terjadi paralisis
otot pernafasan. Bila terjadi tanda-tanda toksisitas tersebut maka MgSO 4 harus
segera dihentikan dan diberikan antidotumnya yaitu kalsium gluconas 1 gram
intravenous.
3.
Onset
Dosis Pemberian
1. Hydralazine
10-20 menit
2. Labetalol
10-15 menit
3. Nifedipine
5-10 menit
10 mg PO, diulang setiap 30 menit, kemudian 1020 mg setiap 4-6 jam sampai maksimal 240 mg/ 24
jam.
4. Sodium
0,5-5 menit
Nitroprusside
Diantara obat-obat antihipertensi di atas yang sering diberikan saat ini adalah
nifedipine oral. Meskipun belum direkomendasikan oleh POGI namun
pemakaian obat ini didukung oleh banyak penelitian. Penelitian meta analisis
yang membandingkan hidralasine, labetalol, nifedipine dan antihipertensi yang
lainnya telah dilakukan oleh Magee (2003) dengan hasil bahwa hidralasine
berhubungan
dengan
kecenderungan
terjadinya
hipertensi
persisten
palpitasi
dan
flushing
dibandingkan
dengan
nifedipine.
bila tekanan darah sistol kurang dari 180 mmHg dan diastol kurang dari 110
mmHg antihipertensi yang dapat digunakan adalah Nifedipin 3x 10 mg. Tujuan
terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah diastolik sampai 100-110
mmHg. 4
Salah satu komplikasi dari eklampsia adalah edema paru dan dapat
dipertimbangkan pemberian diuretik dan apabila terdapat kelainan fungsi ginjal
(bila faktor renal sudah teratasi) diberikan furosemid injeksi 40 mg/im. Begitu
juga pemberian terhadap kardiotonika, diberikan atas indikasi misalnya adanya
tanda-tanda parah jantung.4
4.
Pada
seorang
penderita
eklampsia
terjadi
vasospame
kristaloid dibandingkan dengan koloid. Karena belum terdapat bukti jenis cairan
mana yang lebih baik dipakai, maka bila kristaloid yang dipakai untuk hidrasi
monitor PCWP dianjurkan. Jenis cairan yang digunakan adalah ringer laktat
atau ringer asetat. Ringer asetat dianggap memiliki kelebihan karena proses
pembentukan bikarbonat dari asetat terjadi di otot, sedangkan laktat menjadi
bikarbonat memerlukan fungsi hepar yang baik, dimana pada pre-eklampsia
sering terjadi gangguan hepar. 4
5.
Manajemen persalinan
Melahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Semua kehamilan
dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per vaginam
memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang terbaik
untuk penderita pre-eklampsia-eklampsia. Sikap dasar adalah bila kehamilan
diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan
metabolisme ibu dapat dicapai dalam 4-8 jam setelah sa;ah satu atau lebih dari
keadaan berupa 1.) setelah pemberian obat anti kejang terakhir; 2.)setelah
kejang terakhir; 3.) setelah pemberian obat anti hipertensi terakhir; 4.) penderita
mulai sadar (responsif dan orientasi).
Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah
dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan, tekanan
darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi. Induksi persalinan dapat
dilakukan bila hasil KTG normal. Pemberian drip oksitosin dilakukan bila nilai
skor pelvik 5. Pada skor pelvik yang rendah dan kehamilan masih sangat
preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam.
Seksio sesaria dilakukan bila : 1.) syarat drip oksitosin tidak dipenuhi atau
adanya kontraindikasi drip oksitosin; 2.) persalinan belum terjadi dalam waktu
12 jam; 3.) bila hasil KTG patologis. Pada seksio sesaria, analgesia epidural
menjadi pilihan untuk anestesia, karena tidak mempengaruhi COP, aliran darah
ke plasenta tidak dipengaruhi dan pengendalian tekanan darah lebih baik.
Hipovolemia bisa terjadi pada pemakaian obat obat regional anestesia, karena
itu diperlukan loading cairan sebanyak 400-500 ml kristaloid sebelum anestesia
regional dilakukan untuk mencegah hipotensi dan fetal distress. Kontraindikasi
38
anesthesia regional adalah bila terdapat DIC, atau bila kadar trombosit dibawah
100.000. Pada keadaan dimana harus dilakukan anestesia umum, maka
perhatian terhadap kemungkinan adanya edema laring, yang dapat mempersulit
intubasi serta dapat menyebabkan obstruksi respirasi post-operatif atau henti
jantung harus diperhatikan. Laringoskop telah diketahui dapat menyebabkan
reflek hipertensi yang dapat memperburuk keadaan penderita. Ergometrin tidak
boleh diberikan, sehingga untuk mencegah perdarahan post partum dapat
diberikan infus oksitosin (40 IU/dalam dekstrose).4
6.
Manajemen post-partum
Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat
antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum
eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu
terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam
setelah kejang terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam
persalinan.4
e. Pemeriksaan laboratorium : Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, fungsi ginjal
f. Tidak perlu pemberian diuretik, antihipertensi, dan sedativum.
g. Kunjungan ke rumah sakit tiap minggu.
2. Rapat inap (hospitalisasi)7
Indikasi preeklamsia ringan dirawat inap :
a. Hipertensi yang menetap selama > 1 minggu.
b. Proteinuria menetap selama > 1 minggu.
c. Hasil tes laboratorium yang abnormal.
d. Adanya gejala atau tanda satu atau lebih dari preeklamsia berat.
Pemeriksaan dan monitoring pada ibu :
a. Pengukuran tekanan darah setiap 4 jam
b. Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen.
c. Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk rumah sakit dan penimbangan
dilakukan setiap hari untuk pengukuran tumbuh kembang janin.
d. Pengamatan dengan cermat gejala preeklamsia dengan impending eklamsia :
Nyeri kepala frontal atau oksipital
Gangguan visus
Nyeri kuadran kanan atas perut
Nyeri epigastrium
e. Pengukuran produksi urin setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter).
f. Pemeriksaan laboratorium :
a. Proteinuria pada dipstick pada waktu masuk dan sekurang-kurangnya diikuti 2
hari setelahnya.
b. Hematokrit dan trombosit dua kali seminggu.
c. Tes fungsi hepar dua kali seminggu.
d. Tes fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat, dan BUN.
Pemeriksaan kesejahteraan janin :
a.
b.
c.
d.
e.
Terapi medikamentosa yang diberikan untuk pasien preeklamsia ringan yang dirawat di
rumah sakit adalah pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoir. Bila terdapat perbaikan
gejala dan tanda-tanda preeklamsia dan umur kehamilan 37 minggu, ibu masih perlu
diobservasi selama 2-3 hari kemudian boleh dipulangkan. Selama dirawat di Rumah Sakit,
lakukan konsultasi kepada bagian penyakit mata, bagian penyakit jantung, dan bagian lain
atas indikasi
40
Bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat dipertahankan sampai aterm.
b. Umur kehamilan 37 minggu :
Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus
Bila serviks matang pada tanggal taksiran persalinan dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan induksi persalinan.
Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II
2. Bila pasien sudah inpartu : lakukan persalinan.
8. Antihipertensi
Obat antihipertensi menurut Belfort diberikan bila tekanan darah 160/110
mmHg dan MAP 126.6 Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran obat
antihipertensi sudah diberikan bila tekanan darah 140/90.8
Jenis obat : Nifedipine 10-20 mg PO, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg daam 24 jam.
9. Diuretik
Diuretik tidak dibenarkan diberikan secara rutin karena memperberat penurunan perfusi
uteroplasenta, memperberat hipovolemia, dan meningkatkan hemokonsentrasi.
Diuretik yang diberikan hanya atas indikasi :
Edema paru
Payah jantung kongestif
Edema anasarka
Perawatan konservatif/ekspektatif
Tujuan : (1) Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan. (2) Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir
tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
a. Indikasi : Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai gejala dan tanda impending eklamsia
dengan keadaan janin baik.
b. Terapi medikamentosa :
43
c.
d.
44
Pengukuran tekanan darah minimal 4 kali sehari selama berada di rumah sakit.
Observasi keluhan pasien setiap kali mengukur tekanan darah.
Pemeriksaan jumlah trombosit, transaminase, dan kreatinin serum 48-72 jam post
partum.
Pemeriksaan carik celup urin untuk mendeteksi proteinuria. Apabila proteinuria masih
+2, maka dianjurkan melakukan pemeriksaan ulang 3 bulan lagi untuk mengevaluasi fungsi
ginjal.
45
KESIMPULAN
Eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung
oleh kehamilan itu sendiri.
adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-gejala
preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik).
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Diagnosis
ditegakkan melalui anamnesis danp emerikasan lainnya yang menunjang. Berbagai
komplikasi pre-eklampsia dan ekalmpsia dapat menyebabkan mortalitas dan mortalitas pada
ibu dan janin yang dapat terjadi seperti solusio plasenta, hipofibrinogenemia hemolisis,
perdarahan otak, kelainan mata, edema paru-paru, nekrosis hati, Sindroma HELLP
Komplikasi yang berat ialah kematian ibu dan janin.
Penatalaksanaan pada pre-eklampsia dan eklampsia terdiri dari tindakan konservatif
untuk mempertahankan kehamilan da ntindakan aktif sesuai dengan usia kehamilan ataupun
adanya komplikasi yang timbul pada pengobatan konservetif. Pada pre-eklampsia dan
eklampsia harus diobservasi kesejahteraan janin dan ibu. Sedangkan untuk terminasi
kehamilan pada Eklampsi harus dilakukan sesegera mungkin tanpa memandang usia
kehamilan, karna eklampsia dapat mengancam keselamatan ibu.
46
DAFTAR PUSTAKA
1.
Report of the national High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy, 2001, Am Fam Physician, 64: 263-70
2.
Perkumpulan
Obstetri
dan
Ginekologi
Indonesia.
Available
at:
http://www.pogi.or.id.
3.
4.
Deeker GA. Risk Factor for Preeclamsia. Clinical Obstetrics and Gynecology, 1999,
42:422-35
5.
6.
Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, eds. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta:
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.
7.
Perkumpulan
Obstetri
dan
Ginekologi
Indonesia.
Available
at:
http://www.pogi.or.id.
8.
9.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY (eds). Williams
Obstetrics. 23rd ed, New York: McGraw Hill, 2010.
10. National Collaborating Centre for Womens and Childrens Health. Hypertension in
Pregnancy: the management of hypertensive disorders in Pregnancy. London: Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists, 2011.
47