You are on page 1of 52

BAB I

KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama

: Tn. J

Jenis kelamin : laki-laki


Umur

: 51 tahun

Masuk RS

: 23-06-15

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama

: Pucat dan badan terasa lemas sudah seminggu sejak sebelum masuk RS

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien juga mengalami nyeri dada dan sesak nafas bila berjalan dan beraktivitas. Akhirakhir ini sesak dirasakan juga ketika pasien berbaring dan beristirahat sehingga pasien tidak
bekerja lagi. Pasien tidak demam tetapi merasa batuk dengan dahak yang susah dikeluarkan.
Mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (+). Punggung dan tengkuk pasien juga terasa tegang dan
kaku. BAB (+) normal, BAK (+) normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat hipertensi sudah sejak 10 tahun yang lalu. Pasien tidak teratur menkonsumsi
obat anti hipertensinya sampai akhirnya mengalami nyeri dada dan dirawat di RS pada bulan
November 2014 dengan tekanan darah 180/100 mmHg, sejak saat itu pasien jadi rutin kontrol ke
poliklinik dan teratur mengkonsumsi obat anti hipertensinya.
Riwayat asam urat sejak 5 tahun yang lalu, bila mengalami nyeri sendi pasien
menkonsumsi obat dexamethason 0.75 mg dan phenylbutasone 200 mg yang dibelinya di apotik.
Riwayat bronchitis (+) pada bulan November 2014. Riwayat DM (-). Riwayat Asma (-).
Riwayat kelainan jantung (-). Riwayat alergi obat (-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
ayah dan ibu pasien memiliki riwayat hipertensi (+) , ayah pasien juga memiliki riwayat penyakit
jantung (+).

Riwayat kebiasaan dan Gaya hidup:


Merokok 3-4 bungkus per hari, pasien suka makan jeroan dan bersantan serta minum kopi
hitam.
1.3 Pemeriksaan Fisik
Kepala: rambut putih , tidak mudah dicabut
Mata: Konjunctiva anemis (+/+), Sclera ikterik (-/-), Pupil isokor (-/-)
Hidung: epitaksis (-/-), secret (-/-), hipertrofi konka(-/-), hiperemis (-/-)
Mulut : mukosa bibir pucat(+), kering (+), lidah tidak mengalami deviasi, lidah kotor (-)
Karies gigi (+)
Faring: hiperemis (+), tonsil T1 / T1
Leher : JVP 5cm + 10, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax:
Pulmo : Inspeksi

Cor :

: pergerakan dinding dada simetris dextra= sinistra, retraksi iga (-)

Palpasi

: taktil fremitus dextra = sinistra

Perkusi

: sonor di kedua lapang paru

Auskultasi

: vesikuler (+/+), rhonkii (+/+), wheezing (+/+)

inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis teraba di SIC VII linea midclavicularis sinistra

Perkusi

: batas jantung kanan atas

: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra

Batas jantung kanan bawah : SIC VI linea Paras sternalis Dextra

Auskultasi

Batas jantung kiri atas

: SIC IV linea Para Sternalis Sinistra

Batas jantung kiri bawah

: SIC VII linea Medio Clavicularis Sinistra

: BJ I, BJ II reguler, murmur (-), bising (-)

Abdomen
Inspeksi

: cembung , striae (-), caput medusa (-), scar (-)

Palpasi

: soepel (+), nyeri tekan epigastrium (+) , hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Perkusi

: timpani di seluruh kuadran abdomen

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Ekstremitas
Oedem pretibia dan dorsum pedis (+/+), akral hangat (+/+), sianosis (-/-), CRT < 2 detik.
STATUS LOKALIS
Gambar: tophus pada metacarpal phalangeal dextra dan proksimal digiti v dextra

Gambar: tophus pada bursa olekranon dextra dan bursa olekranon sinistra

Gambar: tophus pada distal metatarsal phalangeal digiti 1 sinistra

Hasil Pemeriksaan laboratorium (23/06/15) PK. 17.00 WIB


Hematologi
Hemoglobin (HB)

6.5

14-17 gr/dl (anemia)

Leukosit

7000

4000-11000 mm3

Trombosit

277.000

150.000-450.000

HJL : Eosinofil

41

0-5%

HJL: Basofil

0-2%

HJL: Netrofil batang (stab)

2-6%

HJL: Neutrofil segmen

30

50-70 %

HJL: Limfosit

21

20-40 %

HJL:Monosit

2-8%

Jumlah eritrosit

2.710.000

4.200.000-6.100.000

MCV

66

80-100 fl

MCH

24

27-32 PG

MCHC

36

32-36%

LED

48

0-10 mm/jam (meningkat)

Hematokrit

18

36%-52% (menurun)

Ureum

30

20-40 mg/dl

Kreatinin

1.7

0.5-1.2 mg/dl (meningkat)

Uric acid

10.6

3-7 mg/dl (meningkat)

Faal Ginjal

Hasil EKG : V1, V2, V3, V4, aVR, aVL : Gelombang QS (anteroseptal miocard infark)

Diagnosis kerja: Congestive Heart Failure NYHA IV et causa Coronary Artery Disease + Gout
Artritis

Penatalaksanaan
23/06/15
Terapi:
Posisi setengah duduk
O2 2 liter/ menit
IVFD NaCL mikro asnet
Furosemide 1 amp/ IV/ 24 jam
KSR 600 mg 1x1
Anjuran Transfusi (PRC) Packed Red Cell : 3 kolf => 1 kolf / hari , sebelum transfusi
injeksikan furosemide 1 amp/IV
o Maltofer 1x1
o Mebendazole 500 mg 1x1( single dose)
o
o
o
o
o
o

Follow up
24-06-15
Sesak nafas dirasakan meskipun berbaring sehingga pasien tidak bisa tidur , pusing (+) , nyeri
dada (-), batuk (+), mual muntah (-).
HR

: 110/70 mmHg

Pulse : 72 x/ menit
RR

: 24 x/ menit

: 37 o C

Paru: rhonkii (+/+)


Extremitas : Oedem pretibia dan dorsum pedis (+/+)

Hasil rontgen thoraks PA

Cor membesar , CTR 59.5% ( > 50%)


Sinus costrofrenicus dextra dan sinistra normal
Diafragma dalam batas normal
Pulmo tidak tampak infiltrat, cavitas dan perselubungan
kesan : cardiomegali, pulmo dalam batas normal

Hasil laboratorium :
GDP

: 131 mg/dl ( 70-110 mg/dl)

Albumin

: 3.8 mg/dl ( 3.5-5.3 mg/dl)

Terapi :
o
o
o
o
o
o
o

Posisi setengah duduk


MBRG (makanan biasa rendah garam)
O2 2 liter / menit
Furosemide 1 amp/ 8 jam/ IV
Digoxin 0.25 mg - 0 - (PK 05.00 -PK.12.00-PK. 19.00)
ISDN 5mg 3 x 1
Tanapress 5 mg 1x1

25/06/15
Sesak nafas berkurang bila tidak beraktivitas dan kambuh bila pasien berjalan ke kamar mandi,
mual muntah (-), pusing (+), kurang nafsu makan.
HR

: 110/70 mmHg

Pulse : 68 x/ menit
RR

: 20 x/menit

: 36,5 o C

Paru: rhonkii (+/+)


Extremitas : Oedem pretibia (+/+)

Terapi:
o
o
o
o
o
o

Posisi setengah duduk


MBRG (makanan biasa rendah garam)
O2 2 liter / menit
Furosemide 1 amp/ 8 jam
Digoxin 0.25 mg - 0 -
ISDN 5 mg 3 x 1
10

o
o
o
o

Tanapress 5 mg 1x1
Maintate 5 mg - 0 - 0
Aff infus
Venflon (kanula intravena)

26/06/15
Sesak nafas di malam hari, batuk (+) , pusing (+), nyeri dada (-), mual muntah (-), tidak nafsu
makan , BAB 1x , BAK normal
HR

: 110/70 mmHg

Pulse : 72 x/menit
RR

: 20 x/menit

: 36.5 o C

Terapi :
o
o
o
o
o
o
o

Allopurinol 100 mg 2 x 1
ISDN 5 mg 3 x 1
Furosemide 40mg 1 - 0 - 1
Tanapres 5 mg 1 x 1
KSR 600mg 1 x 1
Maltofer 1 x 1
Digoxin 0.25 mg - 0 -

27/06/15
Sesak nafas tadi malam sehingga tidurnya tidak nyenyak , nyeri dada (-),pusing (-), punggung
terasa pegal, mual muntah (-)
HR

: 100/70 mmHg

Pulse : 67 x/menit
RR

:18 x/menit

: 36,2 o C

Paru: rhonkii (+/+)


11

Extremitas : Oedem pretibia (+/+)

Hasil Pemeriksaan laboratorium (27/06/15) PK 19.00 WIB


Hematologi
Hemoglobin (HB)

7.2

14-17 gr/dl

Leukosit

7800

4000-11000 mm3

Trombosit

311.000

150.000-450.000

HJL : Eosinofil

0-5%

HJL: Basofil

0-2%

HJL: Netrofil batang (stab)

2-6%

HJL: Neutrofil segmen

77

50-70 %

HJL: Limfosit

15

20-40 %

HJL:Monosit

2-8%

LED

0-10 mm/jam

Hematokrit

21%

36%-52%

Terapi :
o
o
o
o
o
o
o
o

Maltofer 1 x 1
KSR 600 mg 1 x 1
Digoxin 0.25 mg - 0 -
ISDN 5 mg 3 x 1
Tanapres 5 mg 1 x 1
Maintate 5 mg - 0 - 0
Allopurinol 100 mg 2 x 1
Furosemide 40 mg 1- 0 - 1

28/06/15
12

HR

: 120/80 mmHg

Pulse

: 82 x/menit

RR

: 18 x/menit

: 36oC

Terapi :
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Transfusi PRC (Pack Red Cell) 1 kantong , PK. 20.00 WIB


Maltofer 1 x 1
KSR 600 mg 1 x 1
Digoxin 0.25 mg - 0 -
ISDN 5 mg 3 x 1
Tanapres 5 mg 1 x 1
maintate 5 mg -0-0
Allopurinol 100 mg 2 x 1
Furosemide 40 mg 1- 0 -1

Tgl 29/06/15
sesak nafas masih sedikit, tidur sudak nyenyak. Pusing (-), mual muntah (-), batuk pilek (-),
demam (-), BAB (+) normal, BAK (+) normal.
HR

: 120/80 mmHg

Pulse

: 72 x/menit

RR

: 16 x/menit

: 36.5oC

Paru: rhonkii (-/-)


Extremitas : Oedem (-/-)
Terapi :
o
o
o
o
o
o

Transfusi PRC (Pack Red Cell) 1 kantong , PK. 09.00 WIB


Maltofer 1 x 1
KSR 600 mg 1 x 1
Digoxin 0.25 mg - 0 -
ISDN 5 mg 3 x 1
Tanapres 5 mg 1 x 1
13

o Maintate 5 mg - 0-0
o Allopurinol 100 mg 2 x 1
o Furosemide 40 mg 1- 0 -1
30-06-2015
Demam dan menggigil sejak PK. 06.00 pagi, mual muntah (-), sesak (-),batuk (-), nyeri dada (-),
pusing (-), BAK (+) normal, BAB (+) normal
HR

: 100/80 mmHg

Pulse

: 74 x/menit

RR

: 16 x/menit

: 37.8 oC

Paru: rhonkii (-/-)


Extremitas : Oedem (-/-)
Terapi dalam 6 hari ( bila obat telah habis kontrol ke poliklinik penyakit dalam)
o
o
o
o
o
o
o
o

Maltofer 1 x 1
KSR 600 mg 1 x 1
Digoxin 0.25 mg - 0 -
ISDN 5 mg 3 x 1
Tanapres 5 mg 1 x 1
Maintate 5 mg - 0-0
Allopurinol 100 mg 2 x 1
Furosemide 40 mg 1- 0 -1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
14

GAGAL JANTUNG KONGESTIF


2.1. DEFENISI
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural dan
fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian ventrikel dan pompa darah ke
seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan
pembatasan toleransi aktivitas dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema
perifer. Gejala ini mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung. 1,2
2.2 ETIOLOGI
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
Tabel 2.1. Penyebab Gagal Jantung Kongestif
Main
Cause
Ischemic Heart Disease (35-40%)
Cardiomiopathy expecially dilated (30-34%)
Hypertension (15-20%)
Other Cause
Cardiomyopathy undilated : Hyperttrophy/obstructive, restrictive
(amyloidosis, sarcoidosis)
Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid)
Congenital heart disease (ASD,VSD)
Alcohol and drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib)
Hyperdinamic circulation (anemia, thyrotoxicosis, haemochromatosis)
Right Heart failure (RV infarct, pulmonary hypertension, pulmonary
embolism, COPD
Tricuspid incompetence
Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the sick sinus
syndrome))
Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion)
15

Infection (Chagas disease)


6

Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine

Penyakit jantung koroner, dimana arteri pemasok darah ke jantung menyempit/


tersumbat. Seseorang mengalami serangan jantung ketika aliran darah jantung tersumbat
seluruhnya. Otot jantung mengalami kerusakan karena asupan darah yang berkurang. Jika
kerusakan mempengaruhi kemampuan jantung untuk memompa darah, gagal jantung

terjadi.
Kerusakan otot jantung, sehingga mempengaruhi kemampuan jantung untuk berkontraksi
memompa darah, misalnya akibat serangan jantung, infeksi pada otot jantung dan

penyakit diabetes
Kelainan katup jantung, dimana jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah
melalui katup jantung yang menyempit.Kondisi ini meningkatkan beban jantung dan

pada akhirnya melemahkan jantung


Gangguan impuls listriks jantung, dimana denyut jantung menjadi lambat, cepat ataupun
tidak teratur, sehingga tidak mampu memompa darah secara efektif. Akibatnya jantung

bekerja ekstra keras untuk menkompensasinya


Hipertensi merupakan penyebab umum gagal jantung dimana tekanan darah tinggi
membuat jantung bekerja berat untuk memompa darah. Setelah beberapa waktu ketika

jantung sudah tidak dapat menyesuaikan maka gejala gagal jantung timbul
Kardiomiopati, mungkin disebabkan oleh penyakit arteri jantung dan berbagai masalah
jantung lainnya. Kadang kala , penyebab tidak ditemukan, hal ini dikenal dengan
kardiomiopati idiopatik. Kardiomiopati dapat melemahkan otot jantung sehingga

menyebabkan gagal jantung


Penyakit jantung keturunan, alkoholisme dan penggunaan obat yang tidak tepat sasaran
bisa menyebabkan kerusakan jantung yang kemudian berkembang menjadi gagal
jantung.1

2.3 PATOGENESIS
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung,
otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
16

terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin
dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga. 2
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.2
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma
dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan
retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.2
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek
yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatasi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada
gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik
dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.2
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal
jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian diuretik yang akan
menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
17

merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.2
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti
infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan.2
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Gejala kardinal dari gagal jantung adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah
lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah, sepertinya abnormalitas otot
skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala
ini. Pada tahap gagal jantung yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat
(dyspneu deffort); namun semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada
aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Mekanisme paling penting
adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar,
yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary, yang akan menstimulasi pernapasan cepat dan
dangkal yang khas untuk sesak napas akibat penyakit jantung. Faktor lain yang berperan
terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians
pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan
anemia.3,4,5
Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan dyspneu deffort. Hal ini
terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah ke dalam
sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk
18

nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada
proses ini. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari
1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF, ini
dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien dengan
penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi tegak.3,4,5
Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang
biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah
pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena
peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan
edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui
bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali
mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak.3,4,5
Pernapasan Cheyne-Stokes
Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan CheyneStokes umum terjadi pada gagal jantung berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak
ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi
terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan P O2 arterial dan
PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat
pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. 3,4,5

Edema Pulmoner Akut


Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat,
tachynepa, tachycardia, dan hypoksemia berat. Ronki dan wheezing akibat kompresi saluran
udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab
noncardiac atau cardiac pada edema paru akut. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q
19

wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk infark miokard. Kadar brain natriuretic
peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung sebagai etiologi sesak napas
akut dengan edema pulmoner . 3,4,5
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan gagal
jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab dari gagal jantung,
begitu pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi
tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta menentukan
prognosis merupakan tujuan tambahan lainnya pada pemeriksaan fisis. 3,4,5

Keadaan Umum dan Tanda Vital


Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan
pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan yang datar
dalam beberapa menit. Pada gagal jantung yang lebih berat, pasien harus duduk dengan tegak,
dapat mengalami sesak napas. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada gagal
jantung ringan, namun biasanya berkurang pada gagal jantung berat, karena adanya disfungsi LV
berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke
volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas
adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan
sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih. 3,4,5
Vena Jugularis
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan.
Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut
45o. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H 2O (normalnya < 8 cm) dengan
memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada gagal

jantung

stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat
20

secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux


positif).3,4,5
Pemeriksaan pulmoner
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan dari ruang
intravaskuler ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas
pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac
asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales
tersebut spesifik untuk gagal jantung. Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan
pada pasien dengan gagal jantung kronis, bahkan dengan tekanan pengisian LV yang meningkat,
hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi
karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam
rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling
sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. 3,4,5
Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan informasi
yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis
biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari
midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex. Pada beberapa
pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi pada apex. Pasien dengan
pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat memiliki denyut parasternal yang
berkepanjangan meluas hingga systole. S3(atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada
pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali
menandakan gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indikator spesifik
untuk gagal jantung namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada
regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut.
3,4,5

Abdomen dan Ekstremitas

21

Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien gagal jantung. Jika ditemukan,
pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama sistole jika
regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lanjut, terjadi sebagai konsekuensi
peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga
merupakan tanda lanjut pada gagal jantung, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat
kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan
indirect. 3,4,5
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada gagal jantung, namun namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema perifer
biasanya sistemik dan dependen pada gagal jantung dan terjadi terutama pada daerah Achilles
dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema
dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan
dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit. 3,4,5

2.5 DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan
apabila diperoleh :
Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung kongestif

22

*Kriteria Mayor
-Paroxysmal Nocturnal Dyspneu (sesak malam hari)
-kongesti vena sentral
-Peningkatan tekanan vena jugularis
-Ronkhi paru
-Bunyi jantung S3 Gallop
-Refluks hepatojugular
-Edema paru
-Kardiomegali
*Kriteria Minor
-Batuk malam hari
-Dyspneu d'effort (sesak saat aktivitas)
-Edema ekstremitas (bengkak pada kaki atau tangan)
-Takikardi (nadi >120x/menit)
-Hepatomegali
-Efusi pleura
-Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
*Kriteria Mayor atau Minor
-Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. .7

Temuan Pemeriksaan fisik pada gagal jantung


1. Gagal jantung kiri
-

Pergeseran apek menuju lateral akibat pembesaran ventrikel sinistra

- Auskultasi bunyi jantung ditemukan ritmegallop S3 akibat peningkatan aliran darah, apabila
terdapat gangguan katup, mungkin dapat ditemukan pula murmur.
- Akumulasi cairan pada paru akan menyebabkan:
a.

Inspeksi: cyanosis, akibat edem paru yang menyebabkan kesulitan nafas sehingga terjadi
23

hypoksemia.
b. Auskultasi: penurunan suara pernafasan pada basis paru, akibat efusi pleura (RBB)
c.

Perkusi: suara paru menjadi redup (dullness), bisa akibat efusi pleura atau lebih parah lagi

oedem paru.
2.
-

Gagal jantung kanan


Dapat ditemukan tanda-tanda edem, ascites

- Ascites dapat diperiksa shifting dullness atau undulasi.


Pemeriksaan penunjang pada gagal jantung
1.

Echocardiografi: untuk menentukan stroke volume, end distolik volume dan fraksi ejeksi.

Selain itu juga bisa menilai gangguan katup, kondisi pericardium. Fraksi ejeksi normal adalah
50-79%, pada disfungsi sistolik maka fraksi ejeksi akan turun menjadi <40%
2.

Chest X-ray untuk menilai cardiomegali dengan menilai cardiothoracic ratio.

3.

EKG digunakan untuk menilai ada tidaknya aritmia, penyakit jantung iskemik, hipertrofi

jantung , dan kemungkinan gangguan konduksi.


4.

Uji darah (Na, K, Renal livwer function test, thyroid function test, CBC, CRP)

5. Angiografi menilai kondisi ateri.coronaria sebagai penyuplai nutrisi untuk miokardium. 10

2.6 KLASIFIKASI
New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung Kongestif berdasarkan
tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik :
Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
Kelas I

24

Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak nafas,
fatigue, atau palpitasi.
Kelas II
Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat beristirahat tetapi saat
melakukan aktivitas fisik mulai merasakan sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi
Kelas III
Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat namun ketika
melakukan aktivitas fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi.
Kelas IV
Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala bisa muncul dan jika melakukan
aktivitas fisik maka gejala akan meningkat. 8
Klasifikasi gagal jantung menurut AHA:

Stage A: pasien beresiko gangguan jantung (DM, Hipertensi)

Stage B: pasien dengan gangguan struktur jantung namun belum terdapat tanda dan gejala

Stage C: pasien yang memiliki riwayat tanda dan gejala gagal jantung dan gangguan struktur,

namun sudah teratasi secara medis

Stage D: pasien dengan gagal jantung berat yang membutuhkan perawatan rumah sakit,

transplantasi jantung atau terapi paliatif.8

2.7 PENATALAKSANAAN
Manajemen terapi gagal jantung di antaranya bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit, dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Algoritma penatalaksanaan gagal jantung menurut American Heart
Asossiation (AHA) practice guidelines dibagi berdasarkan stage yaitu :
25

Pasien stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit jantung struktural,
namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung (pasien hipertensi, diabetes). Pengobatan
dengan ACE Inhibitor
Pasien stage B memiliki kelainan struktural jantung, namun belum mengalami tanda dan gejala
gagal jantung. Pengobatan dengan ACEI + Beta bloker. Jika kontraindikasi terhadap ACEI bisa
diganti ARB.
Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya kelainan struktural jantung
struktural serta pasien mengalami tanda dan gejala gagal jantung. Pengobatan dengan ACEI +
Beta bloker + Diuretik + Digoksin.
Pasien stage D merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien
mengalami refraktori gagal jantung pada saat istirahat. Administrasi vasodilator (hydralazin,
isosorbid dinitrat) + Obat inotropik positif (dobutamin, dopamine) . 9

ACE inhibitor
ACE inhibitors merupakan terapi utama pada pasien dengan gagal jantung. Bekerja
dengan menghambat enzim yang mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
Menyebabkan penurunan produksi Angiotensin II, pada gilirannya aldosteron menurun namun
tidak sepenuhnya dieliminasi. Penurunan angiotensin II dan aldosteron mengurangi
kemungkinan terjadinya remodeling ventrikel, fibrosis miokard, apoptosis sel miosit, hipertrofi
jantung, pelepasan neurotransmiter, vasokonstriksi, dan retensi natrium dan air .9
Terapi gagal jantung ringan biasanya dimulai dengan ACE Inhibitor (captopril) yang
dapat menurunkan beban pada jantung dan pada uji klinis menunjukkan bahwa ACE Inhibitor
menurunkan gejala, memperlambat progress penyakit, dan memperpanjang hidup pada pasien
gagal jantung kronis. ACE Inhibitor merupakan vasodilator yang paling sesuai pada gagal
jantung karena dapat menurunkan retensi arteri maupun vena dengan mencegah peningkatan
angiotensin II (vasokonstriktor) yang sering ditemukan pada gagal jantung. Hal tersebut
menyebabkan curah jantung meningkat karena terjadi penurunan resistensi vaskular, sehingga
26

terjadi peningkatan aliran darah ke ginjal. Aliran darah ke ginjal yang meningkat menyebabkan
penurunan produksi aldosteron (angiotensin II merupakan stimulus untuk pelepasan aldosteron),
meningkatkan eksresi natrium dan air, menurunkan volume darah, mengurangi aliran balik vena
ke jantung. Akhirnya menurunkan beban kerja jantung pada pasien gagal jantung. 11
Pasien yang diobati dengan ACE inhibitor mengalami kegagalan pengobatan lebih
sedikit, rawat inap lebih sedikit, dan sedikit penyebabkan peningkatan dosis diuretik. Pengaruh
menguntungkan dari ACE inhibitoe pada kematian telah didokumentasikan secara meyakinkan,
pada berbagai percobaan menunjukkan 20-30% terjadi penurunan mortalitas (kematian) dengan
terapi ACE inhibitor. Sebuah studi jangka panjang (12 tahun), menunjukkan manfaat
kelangsungan hidup berkelanjutan pada pasien yang diobati dengan enalapril. ACE Inhibitor
superior untuk terapi vasodilator. Penyebab paling umum dari gagal jantung adalah iskemik
jantung yang mengakibatkan hilangnya miosit, diikuti oleh dilatasi ventrikel dan remodeling
jantung yang dapat diatasi oleh ACE Inhibitor . 9

Beta Blockers
Berdasarkan penelitian RCTs, Beta-bloker terbukti dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien gagal jantung. American Heart Asossiation (AHA) menyatakan bahwa
dalam penanganan gagal jantung beta-bloker direkomendasikan untuk digunakan pada pasien
gagal jantung dengan penurunan Fraksi Ejeksi (EF). Pasien yang mendapatkan terapi beta-bloker
merupakan pasien yang merasakan gejala ringan, atau pasien yang terkontrol dengan diuretik
maupun ACE Inhibitor karena pada pasien yang terkontrol mereka masih beresiko mengalami
perkembangan penyakit . 9
Sejumlah

mekanisme

potensial

telah

dikemukakan

untuk

menunjukkan

efek

menguntungkan beta-bloker pada pasien gagal jantung. Meskipun tidak jelas dijelaskan, ada
kemungkinan mekanisme efek antiaritmia, memperlambat remodeling ventrikel dengan
stimulasi, penurunan kematian miosit dari katekolamin yang menginduksi nekrosis atau
apoptosis, merubah fungsi sistol ventrikel kiri, menurunkan denyut jantung dan tekanan dinding
27

ventrikel, dan menghambat pengeluaran renin plasma (Dipiro et al, 2008). Mekanisme lain yang
mungkin terjadi yaitu beta-bloker kemungkinan memblok efek perusakan pada jantung dari
aktivitas simpatis yang berlebihan. 11
Penting untuk diingat bahwa penambahan dosis ACE Inhibitor hingga dosis optimal tidak
relevan dilakukan sebelum penambahan terapi dengan Beta bloker. Hal ini disebabkan,
kombinasi terapi ACE Inhibitor dengan Beta bloker lebih menguntungkan dibanding peningkatan
dosis optimal ACE Inhibitor. Sehingga Beta bloker direkomendasikan pada pasien yang
mengalami gejala gagal jantung dengan penurunan Fraksi Ejeksi (Gagal jantung stage B). Aspek
penting bagi penggunaan aman beta-bloker pada gagal jantung adalah inisiasi terapi pada rendah
dosis, dengan dosis titrasi, dan edukasi terhadap pasien . 9
Beta-blokers telah diteliti secara ekstensif, pada lebih dari 20.000 peserta uji coba
terkontrol. Tiga beta-bloker yang menunjukkan dapat menurunkan mortalitas yaitu carvedilol,
metoprolol lepas lambat dan bisoprolol. Beta-bloker pada pasien gagal jantung stage II dan III
merupakan standar terapi. Carvedilol menghasilkan pengurangan 7,1% tingkat kematian (dari
18,5% menjadi 11,4%). Sementara itu, pada penelitian yang dilakukan pada metoprolol terjadi
penurunan 34% kejadian kematian dan 41% penurunan kematian mendadak. Pada penelitian
yang dilakukan terhadap bisoprolol terlihat penurunan 26% kejadian kematian dan 44%
penurunan kematian mendadak. Terlihat jelas menguntungkan penggunaan Beta-bloker pada
semua pasien dengan gejala gagal jantung sistolik . 9

Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung, merangsang retensi natrium dan air, yang
sering menimbulkan tanda-tanda dan gejala penunpukan cairan di sistemik dan paru-paru.
Sehingga terapi diuretik direkomendasikan untuk semua pasien dengan retensi cairan. Di antara
obat yang digunakan untuk manajemen gagal jantung, diuretik yang paling cepat dalam
mengatasi masalah tersebut. Sebagian besar pasien dengan gagal jantung akan memerlukan
diuretik untuk mengontrol status cairan mereka, dan karena itu diuretik salah satu terapi utama
gagal jantung. Namun, karena diuretik tidak mengubah perkembangan penyakit maka
28

penggunaannya tidak diharuskan. Pasien yang tidak mengalami retensi cairan tidak
membutuhkan terapi diuretic. 9
Tujuan utama dari terapi diuretik adalah untuk mengurangi gejala retensi cairan dan
penumpukan cairan pada paru, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi rawat inap dari
gagal jantung. Diuretik mengurangi edema dan kongesti paru melalui pengurangan preload.
Terapi diuretik harus digunakan secara bijak karena overdiuresis dapat mengakibatkan
penurunan output jantung dan gejala dehidrasi. Setelah terapi diuretik dimulai, penyesuaian dosis
didasarkan pada perbaikan gejala dan berat badan setiap hari. Perubahan berat tubuh merupakan
penanda sensitif retensi cairan direkomendasikan bahwa pasien memonitor status mereka dengan
melihat bobot tubuh .9
Diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid memblok reabsorpsi natrium dan klorida dalam
tubulus distal (sekitar 5% sampai 8% dari natrium disaring di tubulus distal). Diuretik tiazid
relatif diuretik lemah dan jarang digunakan sendirian pada pasien gagal jantung, sehingga dapat
digunakan dalam kombinasi dengan diuretik loop (Dipiro et al, 2008). Diuretik tiazid bekerja
dengan menghambat reabsorpsi NaCl pada tubulus distal dengan terikat pada sinporter yang
berperan untuk kotranspor NaCl elektronetral. Sehingga terjadi peningkatan ekskresi natrium,
klorida , dan air. 11
Loop diuretik (misalnya furosemid) bekerja pada daerah Ansa Henle di mana 20%
sampai 25% natrium diserap kembali di Ansa Henle. Diuretik loop menghambat reabsorpsi NaCl
dalam Ansa Henle dengan menghambat kotranspor Na/K/2Cl .Pemberian bersamaan dengan
NSAIDs dapat mengurangi kemanjuran diuretik (Dipiro et al, 2008). Pemberian diuretik loop
secara oral diindikasikan untuk mengurangi edema perifer dan edema paru pada gagal jantung
sedang sampai berat (kronis). Pemberian intravena dapat dilakukan pada pasien dengan edema
paru akibat gagal jantung akut. Pada dosis tinggi, loop diuretik dapat menginduksi perubahan
komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan ketulian yang sifatnya tidak dapat pulih
kembali . 11

Digoksin

29

Khasiat digoksin pada pasien dengan gagal jantung dan takikardi supraventrikularis
seperti atrial fibrilasi dapat diterima secara luas. Peran digoksin pada pasien gagal jantung
dengan irama sinus normal telah jauh lebih kontroversial. Digoksin meningkatkan Fraksi Ejeksi,
kualitas hidup, beraktivitas dan menurunkan gejala gagal jantung. berefek inotropik positif . 9
Digoksin bekerja dengan menghambat Na+/K+-ATPase membran, yang berperan dalam
pertukaran Na+/K+ melalui membrane sel otot. Hal tersebut menyebabkan peningkatan Na+
intrasel dan menghasilkan peningkatan sekunder Ca2+ intrasel yang meningkatkan kontraksi otot
jantung. Peningkatan Ca2+ juga terjadi karena penghambatan pompa Ca2+ yang terjadi selama
diastol . 11
Digoksin direkomendasikan untuk digunakan pada pasien gagal jantung stage C bersama
dengan ACE Inhibitor, Beta bloker, dan diuretik, untuk memperbaiki gejala dan status klinis.
Sebagian besar manfaat dari digoksin tercapai pada konsentrasi plasma rendah dan penambahan
sedikit efek pada dosis yang lebih tinggi. Dengan demikian, untuk sebagian besar pasien, target
konsentrasi plasma digoksin harus 0,5 sampai 1 ng / mL. Pada pasien dengan ginjal normal,
rentang konsentrasi plasma dapat dicapai dengan dosis 0,125 mg perhari. Pasien dengan
penurunan fungsi ginjal, orang tua, atau mereka yang menerima obat lain yang mengalami
interaksi obat dengan digoksin (misalnya, amiodaron) harus menerima 0,125 mg setiap 2 hari
sekali.11

Tabel 4 Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)

Dosis Awal

Dosis Maksimal

Diuretics

30

Dosis Awal

Dosis Maksimal

Furosemide

2040 mg qd or bid

400

mg/d

Torsemide

1020 mg qd bid

200

mg/d

Bumetanide

0.51.0 mg qd or bid

10

mg/d

Hydrochlorthiazide

25 mg qd

100

mg/d

Metolazone

2.55.0 mg qd or bid

20

mg/d

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors

Captopril

6.25 mg tid

50 mg tid

Enalapril

2.5 mg bid

10 mg bid

Lisinopril

2.55.0 mg qd

2035 mg qd

Ramipril

1.252.5 mg bid

2.55 mg bid

Trandolapril

0.5 mg qd

4 mg qd

Angiotensin Receptor Blockers

31

Dosis Awal

Dosis Maksimal

Valsartan

40 mg bid

160 mg bid

Candesartan

4 mg qd

32 mg qd

Irbesartan

75 mg qd

300

Losartan

12.5 mg qd

50 mg qd

Carvedilol

3.125 mg bid

2550 mg bid

Bisoprolol

1.25 mg qd

10 mg qd

Metoprolol succinate CR

12.525 mg qd

Target dose 200 mg qd

Spironolactone

12.525 mg qd

2550 mg qd

Eplerenone

25 mg qd

50 mg qd

Kombinasi
hydralazine/isosorbide
dinitrate

1025 mg/10 mg tid

75 mg/40 mg tid

mg

qd

Receptor Blockers

Additional Therapies

Dosis
tetap 37.5 mg/20 mg (one tablet) tid 75 mg/40 mg (two tablets) tid
hydralazine/isosorbide

32

Dosis Awal

Dosis Maksimal

0.125 mg qd

<0.375

dinitrate

Digoxin

mg/d

Intervensi Mekanik dan Operasi


Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka intervensi
mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi ini
termasukintraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.
2.8 PROGNOSIS
Walaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan gagal jantung,
perkembangan gagal jantung masih memberikan prognosis yang buruk. Penelitian berbasis
komunitas mengindikasikan bahwa 30-40% pasien akan meninggal dalam 1 tahun setelah
diagnosis ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama dikarenakan memburuknya
kondisi atau sebagai kejadian mendadak (kemungkinan karena adanya aritmia ventrikuler).
Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorang, pasien dengan gejala pada istirahat
[New York Heart Associtaion (NYHA) class IV] memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70%
pertahun, dimana pasien dengan gejala pada aktivitas moderat (NYHA class II) memiliki angka
mortalitas tahunan sebanyak 5-10%. Sehingga status fungsional merupakan suatu predictor
penting untuk outcome pasien.5,6

33

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ARTRITIS GOUT
3.1 DEFENISI
GOUT atau penyakit asam urat, suatu penyakit yang sudah dikenal sejak masa
Hippocrates, sering dinamakan sebagai "penyakit para raja dan raja dari penyakit" karena sering
muncul pada kelompok masyarakat dengan kemampuan sosial-ekonomi tinggi sehingga dapat
sering mengonsumsi daging (yaitu keluarga kerajaan pada zaman dahulu) serta karena
menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat. Gout sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu gutta
(tetesan) karena kepercayaan kuno bahwa penyakit ini disebabkan oleh luka yang jatuh tetes
demi tetes ke dalam sendi. 16
GOUT adalah penyakit di mana terjadi penumpukan asam urat dalam tubuh secara
berlebihan, baik akibat produksi yang meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang menurun,
atau akibat peningkatan asupan makanan kaya purin. Gout terjadi ketika cairan tubuh sangat
jenuh akan asam urat karena kadarnya yang tinggi. Gout ditandai dengan serangan berulang dari
arthritis (peradangan sendi) yang akut, kadang-kadang disertai pembentukan kristal natrium urat
besar yang dinamakan tophus, deformitas (kerusakan) sendi secara kronis, dan cedera pada
ginjal.16,17
Gout secara tradisional dibagi menjadi bentuk primer (90 persen) dan sekunder (10
persen). Gout primer adalah kasus gout di mana penyebabnya tidak diketahui atau akibat
34

kelainan proses metabolisme dalam tubuh. Gout sekunder adalah kasus di mana penyebabnya
dapat diketahui. Sekitar 90 persen pasien gout primer adalah laki-laki yang umumnya berusia
lebih dari 30 tahun, sementara gout pada wanita umumnya terjadi setelah menopause.
Diperkirakan bahwa gout terjadi pada 840 orang setiap 100.000 orang. Gout sangat terkait
dengan obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes mellitus. 16

3.2 ETIOLOGI
Radang pada persendian terjadi pada sebagian orang yan

g berisiko, asam urat dalam

kondisi tinggi di dalam darah akan mengendap di sendi sebagai kristal berbentuk jarum. Kristal
ini dianggap sebagai benda asing oleh tubuh, sehingga sistem imunitas melepaskan Ig G yang
memanggil kumpulan sel darah putih untuk menyerang pengganggu tersebut. Akibatnya terjadi
penggumpulan pada kristal yang merupakan bengkak yang mengganjal atau mencederai sendi.
Hal inilah yang menyebabkan rasa nyeri. Selain itu, sakit sendi yang akut atau kronis yang
mengenai persendian tepi adalah akibat dari :
1. Pengendapan kristal monosodium urate pada sendi dan tendon dari satu rasi cairan
tubuh yang mengalami hiperuricemia (asam urat darah tinggi).
2. Asam urat dalam plasma darah sebesar 7,0 mg/dl, atau 0,14 mmol/L dalam pH 7,4
dalam bentuk garam pada suhu 37oC.
3. Larutan asam urat pada suhu 30oC , 4 mg/dl (0,24 mmol/L) dalam bentuk kristal
runcing seperti jarum yang diendapkan di jaringan, yang dengan pembuluh darah sedikit
seperti tulang rawan dan jaringan penghubung yang tidak mempunyai pembuluh darah
seperti tendon dan ligamen serta jaringan sekitar persendian pinggir telinga.
4. Pada penderita Gout berat, kristal asam urat bisa diendapkan pada persendian sentral
dan jaringan mesenkim seperti ginjal. 15
Serangan asam urat yang berakibat peradangan sendi tersebut bisa juga dicetuskan oleh
cedera ringan akibat memakai sepatu yang tidak sesuai ukuran kaki, selain itu terlalu banyak
35

makan makanan yang mengandung senyawa purin (misalnya jerohan, sarden, seafood),
mengonsumsi alkohol, tekanan batin (stres), karena infeksi atau efek samping dari obat-obatan
tertentu (diuretika). 15

3.3 PATOFISIOLOGI
Pada manusia, asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada kondisi normal,
jumlah asam urat yang terakumulasi sekitar 1200 mg pada pria dan 600 mg pada wanita.
Akumulasi yang belebihan tersebut dapat dikarenakan over produksi atau under-eksresi asam
urat
1. Over-produksi Asam Urat
Asam urat dibentuk oleh purin, yang berasal dari tiga sumber yaitu: makanan yang
mengandung purin, perubahan asam nukleat jaringan menjadi nukleotida purin, dan sistesis de
novo dari basa purin. Pada kondisi normal, asam urat dapat terakumulasi secara berlebihan jika
produksi asam urat tersebut berlebihan.Rata-rata produksi asam urat manusia per harinya sekitar
600-800 mg. Modifikasi diet penting bagi pasien dengan beberapa penyakit yang dapat
meningkatkan gejala hiperurisemia. Asam urat juga dapat diproduksi berlebihan sebagai
konsekuensi dari peningkatan gangguan dari jaringan asam nukleat dan jumlah yang berlebihan
dari sel turnover, penyakit myeloproliferative dan lymphoproliferative, polycythemia, psoriasis,
dan beberapa tipe anemia. Penggunaan obat sitotoksik juga dapat menyebabkan overproduksi
asam urat. Dua enzim abnormal yang menyebabkan peningkatan produksi asam urat
digambarkan pada gambar berikut.

36

Gambar 1. Metabolisme purin (HGPRT, hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase;


PRPP, phosphoribosyl pyrophosphate (Ernst et al., 2008)
Pertama adalah peningkatan aktifitas sintesis phosphoribosyl pyrophosphate (PRPP) yang
memicu peningkatan konsentrasi PRPP. PRPP adalah kunci yang menentukan sintesis purin dan
produksi

asam

urat.

Yang

kedua

adalah

kekurangan

hypoxanthine-guanine

phosphoribosyltransferase (HGPRT). HGPRT bertanggungjawab dalam merubah guanin menjadi


asam guanilic dan hipoxantin menjadi asam inosinik. Kekurangan enzim HGPRT memicu
peningkatan metabolisme dari guanin dan hipoxantin menjadi asam urat. Ketiadaan HGPRT
menghasilkan Lesch-Nyhan syndrome ditandai dengan choreoathetosis, spasticity, retardation
mental, yang secara nyata meningkatkan asam urat. 14
2. Undereksresi Asam Urat
Sebagian besar pasien dengan gout mengalami penurunan fungsi ginjal dalam ekskresi asam
urat dengan alasan yang tidak diketahui. Normalnya, asam urat tidak terakumulasi didalam
tubuh. Sekitar 2-3 produksi asam urat setiap hari dieksresikan melalui urin. Eliminasi dilakukan
melalui saluran pencernaan setelah degradasi enzim oleh bakteri. Penurunan asam urat melalui
urin memicu hiperuresimia dan meningkatkan endapan asam urat. Sebagian besar asam urat
secara bebas terfiltrasi melalui glomerulus. Konsentrasi asam urat muncul pada urin ditentukan
37

dengan transport multiple renal tubular dan menambah beban filtrasi. Sekitar 90% hasil filtrasi
asam urat direabsorbsi pada tubulus proximal, dengan mekanisme transport aktif atau
pasif. Faktor-faktor yang dapat menurunkan klirens asam urat atau meningkatkan produksi asam
urat akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam urat dalam serum yaitu primary gout,
diabetik ketoasidosis, gangguan mieloproliferatif, anemia hemolitik kronik, obesitas, gagal
jantung kongestif, gagal ginjal, down syndrome, hiperparatiroid, hipoparatiroid, alkoholisme
akut, akromegali, hipotiroid, dan lain-lain. Obat-obat yang dapat menurunkan klirens asam urat
di ginjal melalui modifikasi beban yang disaring (filtered load) atau salah satu proses transport
tubular diantaranya diuretik, asam nikotinat, salisilat (< 2 g/hari), etanol, pirazinamid, levodopa,
etambutol, obat sitotoksik, dan siklosporin. 14

3.4 MANIFESTASI KLINIS


Menurut vitahealth (2006), asam urat umumnya ditandai dengan rasa nyeri hebat
yang tiba-tiba menyerang sebuah sendi pada saat tengah malam, biasanya ibu jari kaki
(sendi metatarsofalangeal pertama) atau jari kaki (sendi tarsal). Jumlah sendi yang
meradang kurang dari empat (oligoartritis), dan serangannya di satu sisi (unilateral).
Kulit berwarna kemerahan, terasa panas,bengkak, dan sangat nyeri. Pembengkakan sendi
umumnya terjadi secara asimetris (satu sisi tubuh). Gejala lain yang mungkin terjadi
antara lain berupa :
Demam, dengan suhu tubuh 38

C atau lebih, tidak menurun selama tiga hari ,

walaupun telah dilakukan perawatan.


Ruam kulit, sakit tenggorokan, lidah berwarna merah atau gusi berdarah.
Bengkak pada kaki atau peningkatan berat badan yang tiba-tiba
Diare atau muntah 17
Sedangkan menurut Yatim (2006), pada prnyakit gout akut, timbul gejala tanpa
ada tanda atau keluhan peringatan sebelumnya. Gejala yang timbul mungkin berawal
dari : Trauma kecil, Makanan yang tinggi purin , Minum alcohol. Tiba-tiba timbul
keluhan sakit sendi pada satu persendian, biasanya awal sakit terjadi pada malam hari.
38

Semakin hari penyakit ini semakin berat dan menyiksa penderitanya. Sendi antara jari
kaki dan telapak kaki sering diserang sakit gout dan disebut podagra ( pod= kaki, agra =
serangan, berarti serangan gout pada ibu jari kaki). Tetapi bisa saja sendi yang diserang
lutut, tumit, pergelangan tangan dan siku. Sakit sendi tersebut disertai gejala antara lain:
1. Demam
2. Menggigil
3. Denyut jantung cepat
4. Badan lemah
5. Jumlah sel darah putih meningkat ( leukositosis )
Pada minggu pertama serangan biasanya mengenai satu sendi dan berakhir dalam
beberapa hari. Tetapi lama-kelamaan menyerang beberapa sendi bersamaan. Serangan ini
mungkin bisa berlalu dalam beberapa minggu dengan gejala lokal berkurang dan sendi
mulai tidak sakit serta bisa digerakkan kembali, meskipun tanpa pengobatan.
Gambaran klinik gout umumnya melalui empat tahap ;
1. Tahap asam urat darah tinggi tanpa gejala
2. Nyeri sendi yang timbul akut
3. Kondisi kritis dalam serangan gout
4. Gout dengan Topus Kronis. 16

3.5. DIAGNOSIS
Berdasarkan subkomite The American Rheumatism Association yang menetapkan kriteria
diagnostik untuk gout adalah:
A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi.

39

B. Thopus terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan mikroskopik
dengan sinar terpolarisasi.
C. 1) Lebih dari sekali mengalami serangan arthritis akut
2) Terjadi peradangan secara maksimal dalam satu hari
3) Oligoarthritis (jumlah sendi yang meradang kurang dari 4)
4) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang
5) Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau membengkak
6) Serangan unilateral (satu sisi) pada sendi metatarsophalangeal pertama
7) Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki)
8) Tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di kartilago artikular (tulang
rawan sendi) dan kapsula sendi
9) Hiperuricemia (kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,5 mg/dL)
10) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja)
11) Serangan arthritis akut berhenti secara menyeluruh.
Diagnosis gout ditetapkan ketika didapatkan kriteria A dan/atau kriteria B dan/atau 6 hal atau
lebih dari kriteria C. 15

3.6 PENGOBATAN
TERAPI FARMAKOLOGI
1.

Arthritis Gout Akut


Tujuan terapi serangan arthritis gout akut adalah menghilangkan simptom. Penting untuk
menghindarkan fluktuasi konsentrasi urat dalam serum karena dapat memperpanjang serangan
atau memicu episoda lebih lanjut. Sebab itu hipourisemik seperti alopurinol tidak diberikan
40

sampai paling sedikit tiga minggu setelah serangan akut berhenti dan diteruskan pada pasien
yang mengalami serangan. Sendi yang sakit harus diistirahatkan dan terapi obat dilaksanakan
secepat mungkin untuk menjamin respons yang cepat dan sempurna.12,13
Ada tiga pilihan obat untuk arthritis gout akut: NSAID, kolkhisin, kortikosteroid. Setiap obat
ini memiliki keuntungan dan kerugian. Pemilihan untuk pasien tetentu tergantung pada beberapa
faktor, termasuk waktu onset dari serangan yang berhubungan dengan terapi awal, kontraindikasi
terhadap obat karena adanya penyakit lain, efikasi versus resiko potensial. 12,13

Adapun algoritme terapi gout akut sebagai berikut.

41

Gambar 2. Algoritma terapi arthritis gout akut (Depkes RI, 2006)

Adapun obat-obat untuk penanganan arthritis gout akut adalah sebagai berikut:
a. NSAID
NSAID biasanya lebih dapat ditolerir dibanding kolkhisin dan lebih mempunyai efek yang
dapat diprediksi. NSAID tidak mempengaruhi kadar urat dalam serum. Ada beberapa NSAID
yang sering diperuntukan untuk arthritis gout. Diklofenak, indometasin, ketoprofen, naproksen,
42

piroxikam, sulindak. Indometasin cenderung paling sering digunakan, walau tidak ada perbedaan
yang signifikan antara obat ini dengan obat NSAID lain. Pemakaian aspirin harus dihindarkan
sebab mengakibatkan retensi asam urat, kecuali kalau digunakan dalam dosis tinggi.12,13
Tergantung pada keparahan serangan dan waktu antara onset dan permulaan terapi, dosis
50-100 mg indometasin oral akan menghilangkan nyeri dalam dua-empat jam. Dapat diikuti
menjadi 150-200 mg sehari, dengan dosis dikurangi bertahap menjadi 25 mg tiga kali sehari
untuk 5 sampai 7 hari, hingga nyeri hilang. Cara ini dapat mengurangi toksisitas gastrointestinal.
NSAID biasanya dibutuhkan antara 7 sampai 14 hari tergantung respons pasien, walau pasien
dengan kronik atau gout tofi membutuhkan terapi NSAID lebih lama untuk mengendalikan
gejala.12,13
Pemanfaatan NSAID menjadi terbatas karena efek sampingnya, yang menimbulkan
masalah terutama pada manula dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada manula, atau
mereka dengan riwayat PUD (Peptic Ulcer Disease), harus diikuti dengan H2 antagonis,
misoprostol atau PPI (Proton Pump Inhibitor) 21. Untuk Misoprostol, perlu kehati-hatian dalam
pemakaiannya, kontraindikasi untuk wanita hamil, dan penggunaannya masih sangat terbatas di
Indonesia. Untuk pasien dengan gangguan ginjal, NSAID harus dihindarkan sedapat mungkin,
atau diberikan dengan dosis sangat rendah, apabila keuntungan masih lebih tinggi dibanding
kerugian. Apabila demikian maka harus dilakukan pemantauan creatinin clearance, urea,
elektrolit secara reguler.
b. Kolkhisin
Kolkhisin digunakan untuk Arthritis gout akut, sebagian rematologis menganggap tidak
efektif, karena cenderung menyebabkan diare berat terutama bagi pasien dengan mobilitas
terbatas. Sebaiknya digunakan untuk pencegahan saja atau sebagai pilihan terakhir. Kolkhisin
telah digunakan sejak tahun 1920. Kolkhisin adalah antimitotik, menghambat pembelahan sel,
dan diekskresi melalui urin. Tidak menurunkan kadar urat dalam serum, dan kalau menjadi
pilihan maka harus diberikan secepat mungkin saat serangan terjadi agar efektif. Kolkhisin dapat
juga digunakan untuk mencegah serangan, dan direkomendasikan untuk diberikan dalam dosis
rendah sebelum memulai obat penurun urat, kemudian dilanjutkan sampai 1 tahun setelah urat
dalam serum menjadi normal.12,13

43

Bila diberikan secara oral maka diberikan dosis awal 1 mg, diikuti dengan dosis 0,5 mg.
Walau BNF menganjurkan diberikan setiap 2 jam sampai timbul diare atau total pemberian 8 mg,
kenyataan jarang diikuti. Kebanyakan pasien merespons dalam waktu 18 jam dan inflamasi
menghilang pada 75-80% pasien dalam 48 jam. Reaksi yang tidak dikehendaki dari kolkhisin
adalah gangguan gastrointestinal, disfungsi sumsum tulang belakang, dan disfungsi
neuromuskular. Hal ini lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati dan
manula. Kolkhisin sebagai vasokonstriktor dan mempunyai efek stimulasi pada pusat vasomotor,
sebab itu hati-hati bagi pasien dengan gagal jantung kronis.13
c. Kortikosteroid
Injeksi intra-artikular kortikosteroid sangat berguna bila NSAID atau kolkhisin
bermasalah, misalnya pada pasien dengan gagal jantung kronis atau gangguan ginjal atau hati.
Ini juga sangat berguna untuk arthritis gout akut yang terbatas hanya sendi tunggal.
Bagaimanapun harus dipastikan bahwa penyakit ini bukan arthritis septik, sebelum
menyuntikkan steroid. 13
Kortikosteroid dapat diberikan secara oral dalam dosis tinggi (30-40 mg) atau
intramuskular, berangsur-angsur diturunkan selama 7-10 hari, terapi ini baik untuk pasien yang
tidak dapat mentolerir NSAID, kolkhisin ataupun gagal dengan terapi ini, juga bagi mereka
dengan serangan poliartikular. Hati-hati bagi pasien dengan gagal jantung. 13
2. Gout Kronis
Pengobatan gout kronis membutuhkan waktu jangka panjang untuk mereduksi serum urat
sampai di bawah normal. Harus dijaga agar tidak terjadi serangan gout akut, mengurangi volume
tofi, mencegah perusakan selanjutnya. Terapi penurunan urat hendaknya tidak direkomendasikan
saat terjadi serangan akut. Sebelum memberi pasien alopurinol, beberapa hal harus
dipertimbangkan apakah pasien adalah kandidat yang tepat untuk urikosurik.

Obat penurun urat diindikasikan untuk:


-

Pasien dengan serangan lebih dari 2 kali setahun

Gout tofi yang kronis

Produksi berlebih asam urat (primary dan purin enzyme defect)


44

Gout kronis yang berkaitan dengan kerusakan ginjal atau batu ginjal urat

Tambahan terapi sitotoksik untuk hematological malignancy


Obat ini dibagi menjadi 3 kategori, antara lain:

Urikostatik (xantin oksidase inhibitor) misalnya alopurinol

Urikosurik misalnya benzbromaron, sulfinperazon, probenesid

Urikolitik misalnya urat oksidase 13


Adapun obat-obat yang digunakan dalam penanganan gout kronis adalah sebagai berikut:

a. Urikostatik (Xantin oxidase inhibitor)


Alopurinol adalah drug of choice untuk menurunkan urat dalam serum. Alopurinol
menghambat pembentukan asam urat. Risiko untuk menimbulkan serangan gout akut pada awal
pengobatan dapat dihindarkan dengan memakai dosis awal yang rendah (50-100 mg), dan
ditingkatkan bila perlu. Kolkhisin atau NSAID ditambahkan sebagai pencegahan terjadinya
episode akut. Dosis 50-600 mg sehari untuk mengurangi kadar urat. Normalisasi kadar urat
dalam serum biasanya terlihat dalam 4 minggu dan serangan gout akut berhenti dalam 6 bulan
dengan terapi yang kontinyu. Reduksi tofi memakan waktu tahunan. Kadang-kadang dosis
dibutuhkan sampai 900 mg. Dalam penggunaannya perlu diwaspadai, antara lain, banyak
interaksi, terutama dengan antikoagulan oral, teofilin, azatioprin; efek samping utama : ruam
(2%) reaksi hipersensitif: (0.4%), meningkat bila digunakan bersama ampisilin (20%), tiazid;
reaksi hipersensitif dapat mengakibatkan mortalitas; dan karena ekskresi hanya lewat ginjal, hatihati bagi yang mengalami kerusakan ginjal, sebab itu dosis harus disesuaikan dengan creatinin
clearance.13
b. Urikosurik
Obat urikosurik meningkatkan ekskresi urat di ginjal dengan menghambat reabsorpsi pada
proksimal tubule. Karena mekanisme ini ada kemungkinan terjadi batu ginjal atau batu di saluran
kemih. Untuk mencegah risiko ini dosis awal harus rendah ditingkatkan perlahan-lahan, dan
hidrasi yang cukup. Tidak boleh digunakan pada kondisi overproduction atau nefrolitiasis ginjal.
Obat ini ternyata dapat digunakan untuk hiperurisemia yang disebabkan diuretik.
Probenesid dan sulfinpirazon sebaiknya tidak digunakan untuk pasien dengan kerusakan
ginjal. Benzbromaro suatu alternatif dari alopurinol, untuk pasien normal danpasien dengan
45

fungsi ginjal yang terganggu, hasilnya bagus. Telah digunakan pula untuk pasien yang tidak
mengalami kemajuan dengan pengobatan alopurinol, dan pada pasien transplan ginjal dalam
terapi siklosporin. Ada kekhawatiran tentang hepatoksisitas, dan pemakaiannya pada pasien yang
alergi alopurinol dengan gangguan ginjal belum diteliti lebih lanjut.
Losartan dengan dosis 25- 15 mg, suatu angiotensin II converting enzyme inhibitor (ACE
inhibitor) yang digunakan untuk terapi hipertensi, menghambat reabsorpsi tubular ginjal sebab
itu bekerja sebagai urikosurik. Losartan juga menunjukkan penurunan urat dalam serum yang
meningkat akibat diuretik. Obat ini berguna sebagai terapi tambahan pada pasien dengan
hipertensi dan gout atau hiperurisemia. sulfinpirazon, benzbromaron, belum ada di Indonesia saat
ini.
Fenofibrat, obat penurun lipid, ternyata mempunyai efek urikosurik juga. Penurunan
sebesar 20-35% terjadi. Akan berguna bagi pasien dengan hiperlipidemia dan gout/hiperurisemia.
Terapi kombinasi dari fenofibrat atau losartan dengan obat anti-hiperurisemik, termasuk
benzbromaron (50mg sekali sehari) atau alopurinol (200 mg dua kali sehari), secara signifikan
mengurangi urat dalam serum sesuai dengan peningkatan ekskresi asam urat. Kombinasi ini
adalah pilihan yang baik untuk terapi pasien gout dengan hipertrigliseridamia dan/atau
hipertensi, walau efek tambahan hipourisemik sifatnya sedang. 13
c. Urikolitik
Sebagai katalisator, urat oxidase merubah asam urat menjadi alantoin pada binatang tingkat
rendah. Manusia tidak memiliki enzim ini. Bila digunakan secara parentral urikase adalah
penurun urat yang lebih cepat dibanding alopurinol. Urat oxidase mencegah terbentuknya urat
dan juga menguraikan asam urat yang telah ada, tidak seperti alopurinol.13

3. Arthritis Gout Interkitikal


Pasien dengan arthritis gout, pada saat ada periode bebas simptom di antara seranganserangan disebut interkritikal gout. Hiperurisemia mungkin masih menetap dan kristal mungkin
46

ada dalam cairan sinovial. Interkritikal gout adalah saat dimana pasien harus proaktif
mengendalikan kadar asam urat dan mengambil langkah lain untuk menurunkan risiko serangan
gout lain. Evaluasi kondisi pasien yang berkaitan dengan dasar penyebab disorder (misalnya:
peminum alkohol dengan gout, dll) identifikasi dan obati penyakit yang berkaitan dengan gout
bila

ada:

hipertensi,

obesitas,

peminum

alkohol,

pemakaian

diuretik,

hipotiroid,

hiperkoleterolemia, dan intoksikasi timbal. 13

NON FARMAKOLOGIK
Terapi diet
1. Tujuan diet Tujuan diet gout artritis adalah untuk mencapai dan mempertahankan status gizi
optimal serta menurunkan kadar asam urat dalam darah dan urin
2. Syarat diit Syarat diit penyakit gout artritis adalah :
a. Energi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Bila berat badan berlebih atau kegemukan,
asupan energi sehari dikurangi secara bertahap sebanyak 500-1000 kkal dari kebutuhan
energi normal sehingga tercapai berat badan normal
b. Protein cukup, yaitu 1.0-1.2 g/kg BB atau 10-15 % dari kebutuhan energi total.
c. Hindari bahan makanan sumber protein yang mempunyai kandungan purin > 150
mg/100 g. Seperti berikut :
1) Kelompok 1 : Kandungan purin tinggi (100-1000 mg purin/100 g bahan
makanan) sebaiknya dihindari seperti otak, hati, jantung, ginjal, jeroan, ekstrak
daging/kaldu, bebek, ikan sarden, makarel, remis, kerang.

2) Kelompok 2 : kandungan purin sedang (9-100 mg purin/100 g bahan makanan)


dibatasi : maksimal 50-75 g (1-1 ptg) daging, ikan, atau 1 mangkok (100 g)
sayuran sehari. Seperti : daging sapi dan ikan ( kecuali yang terdapat dalam

47

kelompok 1) ayam, udang; kacang kering dan hasil olah seperti tahu dan tempe;
asparagus, bayam, daun singkong, kangkung, daun dan biji melinjo.
3) Kelompok 3 : kandungan purin rendah ( dapat diabaikan), dapt dimakan setiap
hari. Seperti : nasi, ubi, singkong, jagung, roti, mie, bihun, tepung beras, cake, kue
kering, puding, susu, keju, telur; lemak dan minyak; gula; sayuran dan buahbuahan (kecuali sayuran dan kelompok 2).
d. Lemak sedang, yaitu 10-20 % dari kebutuhan energi total. Lemak berlebih dapat
menghambat pengeluaran asam urat atau purin melalui urin.
e. Karbohidrat dapat diberikan lebih banyak, yaitu 65-75 % dari kebutuhan energi total.
Karena kebanyakan pasien gout artritis mempunyai berat badan lebih, maka dianjurkan
untuk menggunakan sumber karbohidrat kompleks.
f. Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan
g. Cairan disesuaikan dengan urin yang dikeluarkan setiap hari. Rata-rata asupan cairan
yang dianjurkan adalah 2-2 liter/hari. 18,20

Bila mengalami serangan gout secara tiba-tiba, lakukan tindakan berikut :

48

1. Istirahatkan sendi agar cepat sembuh. Beri kompres dingin (plastik berisis es) beberapa
jam sekali selama 15-20 menit pada sendi yang nyeri untuk mengurangi nyeri akibat
radang. Kalau perlu masukkan kaki yang bengkak tersebut ke dalam ember berisi air es.
Selimut atau kain lain yang menempel pada sendi yang nyeri, karena lokasi tersebut
sedang dalam keadaan yang sensitif.
2. Minum obat pereda sakit (analgesik biasa) untuk menghilangkan rasa nyeri.
3. Minum banyak air (> 3,5 L atau 8-10 gelas sehari) untuk membantu mengeluarkan asam urat
dari tubuh melalui urin. 18,20
3.7 PENCEGAHAN
Usaha pencegahan asam urat secara umum adalah menghindari segala sesuatu yang
dapat menjadi mencetus serangan, misalnya pelatihan fisik berlebihan, stress, dan makanan yang
mengandung purin yang berlebihan seperti daging, jerohan (ginjal dan hati). Mengurangi
konsumsi makanan berlemak dan alkohol dapat memperkecil kemungkinan terjadinya serangan
gout.19
3.8. PROGNOSIS
Adapun prognosis untuk pasien arthritis gout, antara lain:

Rata-rata, setelah serangan awal, diramalkan 62% yang tidak diobati akan mendapat
serangan ke 2 dalam 1 tahun, 78% dalam 2 tahun, 89% dalam 5 tahun, 93% dalam 10
tahun .

Diramalkan 10-22% pasien dengan pengendalian yang jelek atau tidak diobati akan
mengalami perkembangan tofi dan 20% nefrolitiasis pada kurang lebih 11 tahun setelah
serangan awal. 16

BAB IV
49

PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
`Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, mengarah pada diagnosis gagal jantung NYHA grade IV disertai Artritis
gout kronis.Penanganan pada pasien ini adalah untuk menghilangkan gejala yang ada ,
memperbaiki kualitas hidup pasien, menurunkan resiko mortalitas pasien serta mencegah
kekambuhan dari penyakit-penyakitnya, baik dengan penggunaan obat-obatan untuk penanganan
gagal jantung dan arthritis gout pasien maupun dengan modifikasi gaya hidup seperti mengubah
pola makan pasien menjadi yang lebih sehat disertai kontrol secara rutin dan berkala ke dokter
spesialis penyakit dalam.
4.2 SARAN DAN KRITIK
Dengan kerendahan hati penulis, penulis sadar bahwa dalam laporan kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca,
penulis harapkan demi kesempurnaan laporan-laporan kasus di masa-masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
50

1. East Carolina University School of Medicine .Living With Congestive Heart Failure.
Terdapat di: https://www.ecu.edu/csdhs/fammed/customcf/resources /cardio/ congestive_
heart_failure.pdf . diakses: 2015, juni 29.
2. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, Therapy, and Implications for
Respiratory Care. Terdapat di: http://www.rcjournal.com/contents/04.06/04.06.0403.pdf.
Diakses pada: 2015, juni 29
3. Stanford Primary Care Clinics. Congestive Heart Failure. Terdapat di:
http://sim.stanford.edu /resources/smg_patient_info/CHF09-09.pdf. Diakses pada:
2015,
juni 29
4. American Heart Assosiation. What is Heart Failure . terdapat di:
http://www.nanocorthx.com/Articles/WhatisHeartFailure.pdf. Diakses pada: 2015, juni
29
5. Marwan Nasif, MD, Alaa Alahmad, MD . CONGESTIVE HEART FAILURE AND
PUBLIC

HEALTH.

Terdapat

di:

http://www.case.edu/med/epidbio

/mphp439/CongHeartFail.pdf. Diakses pada: 2015, juni 29


6. Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine
7. Marantz et. al., 1988. The relationship between left ventricular systolic function and
congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. In : Circulation.Ed. 77 : 607-612.
8. European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosisand Treatment
of Acute and Chronic heart Failure.
9. Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., Posey, L., 2008,Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, McGraw-Hill Medical Publishing, New
York, 174-213.
10. Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan oleh
Amalia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 875.
11. Neal, M. J., 2002, At a Glance Farmakologi Medis, Fourth Edition, Blackwell Publishing
Company, Oxford.
12. Burns, M.A.C., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer., P.M.Malone., J.M. Kolesar., J.C.
Rotschafer and J.T. Dipiro. 2008. Pharmacotherapy: Principles and Practice. USA: The
McGraw-Hill Companies. P. 932-939.
51

13. DepKes, 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan. P. 66-80.
14. Ernst, M.E., Clark, E.C., and Hawkins, D.W. 2008. Gout and Hyperuricemia. 2008. In:
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G., Posey, L.M.
editors. Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, 7thed. USA: McGraw-Hill
Companies. P. 1539-1550.
15. Hawkins, D. W. and Rahn, D. W. 2005. Gout and Hyperuricemia. In: Dipiro, J.T., Talbert,
R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G., Posey, L.M. editors. Pharmacotherapy: a
Pathophysiologic Approach, 6th ed. USA:McGraw-Hill. P. 1705-1711.
16. Yatim, Faisal. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian (Arthritis dan Arthralgia). Jakarta:
Pustaka Populer Obor
17. Vitahealth. 2006. Asam Urat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
18. Almatsier, DR. Sunita. 2005. Penuntun Diet. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
19. Kompas. 2009. Gout dan diet. Terdapat di: www.kompas.com. Diakses pada : 2015, juni
29
20. Sutomo, Budi. 2009. diet penderita asam urat. Terdapat di : www.zeldman.com.
Diakses pada: 2015, juni 29

52

You might also like