Professional Documents
Culture Documents
RHINOSINUSITIS KRONIS
DOKTER PEMBIMBING :
dr. I Wayan Marthana, Sp. THT
OLEH :
Rianita Nursanti
(20100310164)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul Rinitis Alergi.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. I Wayan Marthama,
Sp.THT, selaku konsultan dibagian THT di RSUD Panembahan Senopati Bantul
dan rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para
pembaca.
Penulis,
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
: EA
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 28 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Tanggal berobat
: 30/07/2015
2.2 Anamnesis
Keluhan utama
Hidung terasa tersumbat sejak 1 minggu terakhir.
Keluhan tambahan
Bersin-bersin, pusing, mata sakit dan berair terutama di pagi hari sejak 1
tahun terakhir.
Riwayat penyakit sekarang
Seorang wanita (28 tahun) datang ke RSUD Panembahan Senopati Bantul,
dengan keluhan hidung tersumbat terutama pada saat pagi hari. Pasien sering
mengalami kejadian ini berulang-ulang kali dalam 1 tahun terakhir. Hidung kadang
terasa sakit, bersin-bersin, kepala pusing dan mata menjadi berair.
Riwayat penyakit dahulu
Ketika kecil, pasien pernah alergi terhadap debu dan kulit menjadi merahmerah dan gatal.
Riwayat keluarga
Ayah pasien menderita asma.
Riwayat pengobatan
Pasien berobat ke dokter umum, minum obat namun tidak sembuh juga.
2.3 Pemeriksaan Fisik
KU
: Sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
- Nadi
: 84 x/menit
- Pernapasan
: 20 x/menit
- Suhu
: afebris
- TD
: 110 / 70 mmHg
Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
: status lokalis
Telinga
: status lokalis
Mulut
: status lokalis
Leher
Toraks :
: status lokalis
Ekstremitas
Atas : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/Bawah : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-
MAE
MT
: Negatif
Mukosa
Konkha
: hipertropi +/+
Septum Nasi
: Lurus
Massa
:-/-
Kavum Nasi
Nasofaring / Orofaring
Mukosa
Tonsil
Gigi
Pemeriksaan Transluminasi : Sinus Maksilaris kiri terlihat lebih gelap dibandingkan sinus
maksilaris dextra.
Usulan Pemeriksaan Penunjang :
Hitung eusinofil
Prick test
Diagnosa Kerja
Rhinosinusitis kronis
Penatalaksanaan
Non farmakologis
Hindari alergen
Olah raga
Menggunakan masker
Farmakologis
Antibiotik
Antihistamin
Denkongestan
Kortikosteroid
Imunomodulator
Prognosis
Quo Ad Vitam
: bonam
Quo Ad Functionam
: bonam
Quo Ad Sanantionam
: bonam
BAB I
PENDAHULUAN
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.2
Rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang
diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006;
Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009). Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus
purulen, post nasal drip, gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri
kepala, nyeri geraham, nyeri telinga, batuk, demam, halitosis. (Judith, 1996; Becker
2003; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009).
Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000). Sinusitis yang
paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid lebih jarang (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat oleh berbagai bidang ilmu terkait
termasuk didalamnya antara lain allergologist, otolaryngologist, pulmonologist,
dokter umum dan lainnya, namun keseragaman definisi dan standar diagnosis
rinosinusitis kronik belum tercapai.1 Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait
dengan rinosinusitis kronik, besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama
bagi kelompok penduduk dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data
yang ada, maka perlu dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat
dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa
hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai
3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan.3
Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu
maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.8
maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid.
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid.3
Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina
papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya
pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill
Hematoma.9
kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk
salah satu sinus.9
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut
dengan tulang kompakta dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini.8
yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa serta sebelah
inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997).
Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)
1. Sinus frontal
2. Sinus
etmoid
anterior
3. Aliran dari sinus frontal
4. Aliran dari ethmoid
5. Sinus
etmoid
posterior
6. Konka media
7. Sinus sphenoid
8. Konka Inferior
9. Hard palate
2.
3.
4.
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era praantibiotik rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang berulang
dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal
dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum rinosinusitis kronis lebih
lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan tubuh yang tidak
bugar dan penyakit umum sistemik perlu dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis
kronis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan misalnya dingin, panas, kelembapan
dan kekeringan. Demikian pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau dapat
merupakan faktor predisposisi.
Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi
sebelumnya misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti rinitis
alergika.
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit rinosinusitis
kronis berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma.
Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana virus
adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti rinosinusitis, faringitis dan
sinusitis akut.
2.3.1 Virus
Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga meluas ke
sinus termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan parainfluenza virus.
Infeksi virus berulang merupakan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
rinosinusitis kronik.
2.3.2 Bakteri
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan rinosinusitis akut. Namun karena rinosinusitis kronik biasanya berkaitan
dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu maka
agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri penyebab rinosinusitis kronis
banyak macamnya baik anaerob maupun yang aerob, proporsi terbesar penyebabnya
adalah bakteri anaerob dan bakteri gram negarif11. Bakteri aerob yang sering ditemukan
antara lain staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemophilus influenzae,
neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia
dan
bakteri aerob termasuk Pseudomonas Aeruginosa sering diisolasi pada pasien yang
sudah pernah melakukan operasi sinus.
2.3.3 Fungi
Infeksi jamur juga dapat menyebabkan rinosinusitis kronik walaupun jarang
terjadi. Jamur penyebab rinosinusitis kronik adalah Aspergillus, Cryptococcus
neoformans, Candida, Sporothrix Schhenckii, Alternaria, Misetoma.
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan
imunologik atau metabolik seperti diabetes.
2.3.4 Deviasi septum
Variasi anatomi dan proses patologi dalam hidung dan sinus paranasal telah
banyak diteliti oleh para ahli. Banyak variasi anatomi menyebabkan penyakit sinus
kronis dengan menimbulkan obstruksi pada kompleks osteomeatal (KOM) dan
mempengaruhi pola transport mukosilier. Messerklinger seperti yang dikutip oleh
Chao3 telah mengidentifikasi perubahan pada dinding lateral hidung dan konka media
yang merangsang perubahan pada mukosa dan penurunan aerasi sinus paranasal dan
secara signifikan meningkatkan potensi penyakit sinus.2 Deviasi septum merupakan
variasi anatomi yang sering ditemukan sedangkan doubel concha merupakan variasi
anatomi yang jarang ditemukan.3
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela. Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah sehingga dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Bila kejadian ini tidak
menimbulakn gangguan respirasi maka tidak dikategorikan sebagai keadaan yang
patologis. Deviasi septum dapat merupakan predisposisi obstruksi KOM yang dapat
menimbulkan komplikasi rinosinusitis kronis.
Prosesus Unsinatus (PU) bukan hanya sebuah tonjolan pada dinding lateral
kavum nasi tetapi juga mempunyai peran penting dalam ventilasi kavum nasi dan sinus
paranasal anterior dari partikel bakteri dan alergen serta mengalirkan udara inspirasi
menjauh dari sinus paranasal. Prosesus unsinatus di anterior melekat pada aparatus
lakrimalis, di inferior melekat pada konka inferior, di posterior mempunyai batas bebas
dan di superior bervariasi ke lamina papirasea, dasar tengkorak dan konka media.
Perlengketan di superior yang bervariasi ini memberikan implikasi klinis yang berbeda.
Double concha adalah variasi anatomi dari prosesus unsinatus dimana PU
melekuk ke medial dan terus ke anterior sehingga dalam temuan endoskopi atau
tomografi komputer menyerupai konka media atau disebut double konka media.
Beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda untuk variasi anatomi PU yang
melekuk ke ke medial dan terus ke anterior ini namun istilah yang kita pakai di RS. M.
Djamil ini adalah double concha seperti yang diungkapkan oleh Stammberger.
Kaufman seperti yang dikutip oleh Stammberger mengatakan bahwa PU dapat sangat
melekuk dan membentuk lipatan ke anterior sangat jauh menyerupai pinggiran topi
sehingga memberikan kesan dua konka media atau menurut istilah Kaufman doubled
middle turbinate atau double concha. Stammberger & Wolf seperti yang dikutip oleh
Pinas mengatakan bahwa pinggir bagian atas PU yang deviasi ke anterior sehingga
berhubungan dengan meatus media tampak sebagai konka media kedua (second middle
concha).8 Deviasi PU ke medial yang menyerupai konka media ini kadang disebut
dengan istilah PU paradoks, yang lain mengatakan sebagai konka media asesoris.
Prosessus unsinatus yang membesar juga dapat memberikan gambaran seperti konka
media.
terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena
gangguan ventilasi maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus sehingga silia
menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga
merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006;
Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007).
Menurut Sakakura (1997) patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal
dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator
diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune
complek, lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik yang
merupakan perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997). Walaupun gejala klinis
yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan
maksila tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu sendiri melainkan
pada dinding lateral rongga.3
Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang
merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan
penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM
seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan
drainase sehingga terjadi sinusitis.3 Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi
atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media maka celah yang
sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang
ditimbulkannya.3
Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi
terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis
akut tidak sempurna 3
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase
sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia
rusak dan seterusnya.3
Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang
letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga sekretnya ini menebal dan
bila ditunggangi kontaminasi bakteri maka mukosanya akan mengandung
purulen. Virus juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan
mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia hal ini
menyebabkan silianya menjadi kurang aktif dan sekret yang dihasilkan mukosa
sinus menjadi kental sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi
gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung
berulang atau terus-menerus yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis
sehingga akan terjadi hipoksia dan retensi lender yang kemudian timbul infeksi
oleh bakteri aerob maupun anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan
menjadi hipertropi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Infundibulum
etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM berperan penting
pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu
sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif
karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih.3
Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.
Polipoid berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi dimana stroma
akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi
polipoid. Bila proses terus berlanjut mukosa yang sembab makin membesar dan
Hilangnya
silia
Sumbatan
Mekanis
Alergi,
Drenase yg
tidak
memadai
Perubahan
mukosa
defisiensi
imun
Infeksi
Sepsis residual
Pengobatan yang tidak memadai
Gambar 2.4. Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis
2.5
a.
Nyeri atau rasa tekan pada bagian wajah di daerah yang terkena merupakan ciri
khas atau refered pain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara
atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau
seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Sedangkan pada sinusitis sfenoid
nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid.
Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.13
b.
Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal
(post nasal drip).
c.
Gejala faring yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
d.
e.
f.
g.
Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis (sering terjadi pada anak).
b.
Demam.
c.
Halitosis.
d.
Kelelahan (fatigue).
e.
f.
g.
Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari dan
akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus
dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.3
Pada sinusitis yang disebabkan oleh jamur para ahli membagi sebagai bentuk
invasif dan non infasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan
dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif kronik sering terjadi pada pasien
dengan gangguan imunologik maupun metabolik seperti diabetes melitus. Sifatnya
kronik progresif yang juga bisa menginvasi sampai ke orbita atau intra kranial tetapi
gambarannya tidak sehebat yang fulminan karena perjalanan penyakitnya lambat.
Gejalanya seperti sinusitis bakterial tetapi sekretnya kental dengan bercak-bercak
kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop berupa koloni jamur.
Sinusitis jamur non invasif atau misetoma merupakan kumpulan jamur dalam
rongga sinus tanpa invasi kedalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Tidak
mengenai sinus maksila. Gejala krinis berupa sinusitis kronis dengan rinore purulen,
post nasal drip dan nafas bau. Kadang ada masa jamur di kavum nasi. Pada operasi
dapat ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau
tanpa pus di dalam sinus.
2.8
No
Kriteria
Rinosinusitis akut
Rinosinusitis Kronis
Dewasa
Dewasa
<
12 <
minggu
2
Anak
12 >
minggu
Anak
12 >
minggu
12
minggu
tahun
tahun
tahun
hari
3
akut,
dengan sempurna
masing-masing sempurna
dengan
pengobatan
hari
medikamentosa
medikamentosa
Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut
International Conference on Sinus Disease 2004
: VAS >7-10
10cm
sangat
mengganggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
Pemeriksaan
mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum
dilakukan penatalaksanaan harus berdasarkan keparahan gejala
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
Pemeriksaan
Mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum
dilakukan
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
Pemeriksaan
Tomografi komputer juga tidak disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini:
penyakit parah
pasien imunokompromais
2.10
rinosinusitis
telah
menurun
secara
nyata
sejak
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang
dikelilingi pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial
dan maksilaris di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat
meluas untuk melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal
dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis,
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Selain itu juga semua sinus mempunyai
hubungan sirkulasi di mata melalui pembuluh pterigodea serta cabang-cabang
arteri yang mempunyai nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan
berdampingan dengan vena yang menghubungkannya dengan mata. Seperti
cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan
septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika
menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus
maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang
infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang
faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis.
Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah
membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior
serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil. Drainase
vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina,
seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya
yang terlibat langsung adalah termasuk juga divisi oftalmikus misalnya bagian
depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
c.
Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan
kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga proptosis yang
makin bertambah.
Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.
b.
Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
c.
Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d.
Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Agen Antibiotika
Dosis
SINUSITIS AKUT
Lini pertama
Amoksisilin
Kotrimoxazol
Eritromisin
Doksisiklin
Dewasa: 2 x 100 mg
Lini kedua
Amoksi-clavulanat
Cefuroksim
2 x 500 mg
Klaritromisin
Azitromisin
Levofloxacin
Dewasa: 1 x 250-500 mg
SINUSITIS KRONIK
Amoksi-clavulanat
Azitromisin
Levofloxacin
Dewasa: 1 x 250-500mg
Tabel 2.2. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo, 2004)
Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra Short
Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini membantu
memperbaiki drainase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis
maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus sedangkan untuk sinusitis etmoid, frontal
atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali
dalam seminggu. Bila setelah 5 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap
banyak sekret purulen berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal
(perubahan irreversibel), maka dapat dilakukan operasi radikal untuk menghindari
komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui perubahan mukosa masih reversibel atau tidak
dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum sinus
maksila secara langsung dengan menggunakan endoskopi.3
Bila penanganan konservatif gagal maka dilakukan terapi operatif yaitu dengan
cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang
terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc sedangkan untuk sinus
etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal)
atau dari luar (ekstranasal).3
Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat operasi
kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada rongga-rongga
sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium
sinus yang tersumbat diperlebar yang disebut dengan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks
ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan
drenase sinus dapat lancar kembali melalui osteum alami. Dengan demikian sinus akan
kembali normal.3