You are on page 1of 31

MAKALAH

REAKSI AUTOIMUN, HIPERSENSITIFITAS dan


IMUNODEFISIENSI
Dosen Pengampu : Sukarno S.kep, Ns.

Disusun Oleh :
Kelompok 9 :
Hilda Dianita
Juli Harsono
Juriatun Solehah
Khaeru Ahyadi

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES NGUDI WALUYO
2015

REAKSI AUTOIMUN, HIPERSENSITIFITAS dan IMUNODEFISIENS


BAB I
REAKSI AUTOIMUN
A. DEFINISI
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan dalam tubuh yang
membuat badan menyerang jaringannya sendiri.
Reaksi autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadaap antigen sel jaringan
sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut
autoantibody
B. TEORI-TEORI AUTOIMUN
1. Teori Sequestered antigen atau hidden antigen
Sequestered antigen atau hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomic
tak pernah berhubungan dengan sistem imun. Misalnya antigen sperma, lensa mata dan saraf
pusat. Bila sawar rusak dapat timbul penyakit autoimun.
2. Teori Defisiensi imun
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya gangguan system
limfoid. Penyakit autoimmune sering ditemukan bersamaan dengan defesiensi imun.
Misalnya pada usia lanjut
3. Determinan antigen baru
Pembentukan autoantibodi dapat dicetuskan oleh karena timbul determinan antigen
barupada protein normal. Contohnya autoantibodi yang timbul akibat hal tersebut adalah
faktor rematoid. Faktor rematoid di bentuk dalam determinan antigen yang terdapat pada
imunoglobulin.
4. Reaksi Silang dengan Mikroorganisme
Kerusakan jantung pada demam rematik anak , diduga terjadi akibat produksi antigen
yang bereaksi silang dengan miocard penderita
5. Virus sebagai pencetus Autoimunitas
Virus yang terutama menginfeksi sistem limfoid dapat mempengaruhi mekanisme
kontrol imunologik sehingga terjadi autoimunitas.
6. Autoantibody dibentuk Sekunder akibat Kerusakan jaringan

Autoantibody terhadap jantung ditemukan pada jantung infark. Pada umumnya kadar
autoantibody dapat dibentuk pola terhadap antigen mitokondria pada kerusakan hati atau
jantung.Pada tuberculosis Dan tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan luas pada
berbagai jaringan, dapat pula ditemukan autoantibody terhadap antigen jarinagan dalam kadar
gula yang rendah.
C. ETIOLOGI
Senyawa yang ada di badan dan normalnya dibatasi di area tertentu (dan disembunyikan
dari sistim kekebalan tubuh ) kemudian dilepaskan pada aliran darah. Misalnya : pukulan
kemata bisa membuat cairan bola mata dilepas pada aliran darah. Cairan merangsang sistem
kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing, dan menyerangnya.

Senyawa normal ditubuh berubah, misalnya oleh virus, obat, sinar matahari atau radiasi.
Sel tubuh yang diserang oleh tubuh atau bakteri akan merangsang kekebalan tubuh untuk

menyerangnya.
Senyawa asing yang menyerupai senyawa alami tubuh mungkin memasuki tubuh. Sistim
kekebalan tubuh yang kurang hati hati dapat mengakibatkan senyawa mirip tubuh
sebagai sasaran. Misalnya : Bakteri penyebab penyakit kerongkongan mempunyai

beberapa anti gen,yang mirip denagan ati gen sel jantung manusia.
Sel yang mengontrol produksi anti bodi misalnya limfosit B, mungkinn rusak dan

menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan.


Keturunan mungkin terlibat dalam beberapa kerancauan autoimun. Pada orang yang
rentan, satu pemicu, seperti infeksi virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat
kekacauan berkembang.

D. GEJALA
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi gejala berfariasi bergantung
pada gangguan dari bagian badan yang diserang. Beberapa gangguan autoimun
mempengaruhi jenis tertentu dari jaringan tubuh diseluruh tubuh misalnya pembuluh darah,
tulang rawan, atau kulit. Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan
rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal, kerusakan pernapasan,
penumpukan cairan, bahkan menyebabkan kematian.
E. MEKANISME RUSAKNYA TOLERANSI DAN JARINGAN
1. Rusaknya Jaringan

Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak tepat
pada antigen Presenting cell, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau
perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistim imun. Hal hal tersebut terjadi saat
inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi
lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe ( dan juga ke antigen-presenting
cells ) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya
peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan
protein intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi
tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan Cryptic epitopes.
Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya
melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
2. Mekanisme rusaknya Jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi (hipersentivitas
tipe II dan III) atau aktivasi makrofag aleh sel T CD4 + ATAU SEL T sitotoksik
(hipersentivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang
diperantarai antibody dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersentivitas,
autoantibody juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari
antigen diri, sperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma.
Autoantibody tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen
diri , sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan
jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibody pada utoimunitas terjadi bila autoantibody
mengenali antigen yang bebas dicairan ekstra seluler atau diekspresikan pada permukaan sel.
F. MACAM GANGGUAN AUTOIMUN
Beberapa Gangguan Autoimun
Gangguan

Jaringan
terkena

yang

Konsekwensi
Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah)

Anemia
hemolitik

terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan


Sel darah merah sakit

autoimun

Limpa

kepala

ringan.

mungkin

membesar.

Anemia bisa hebat dan bahkan fatal.


Bullous

Kulit

Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang

merah,
pemphigoid

terbentuk

di

kulit.

Gatal

biasa.

Dengan pengobatan, prognosis baik.


Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah,
Sindrom

Paru-paru

Goodpasture

ginjal

dan

kepenatan,

bengkak,

dan

gatal,

mungkin

berkembang.
Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum
kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.
Kelenjar

gondok

menghasilkan
Penyakit
Graves

dirangsang

kadar

tinggi

dan

membesar,

hormon

thyroid

(hyperthyroidism).
Kelenjar tiroid Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak
tahan

panas,

tremor,

berat

kehilangan,

dan

kecemasa.
Dengan pengobatan, prognosis baik.
Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan
kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism).
Tiroiditis
Hashimoto

Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar,


Kelenjar tiroid tidak

tahan

ke

dingin,

dan

mengantuk.

Pengobatan seumur hidup dengan hormon thyroid


perlu dan biasanya mengurangi gejala secara
sempurna.
Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya,
sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti
biasanya.

Multiple

Otak dan spinal

sclerosis

cord

Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi


abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan,
kekejangan

otot,

dan

sukar

menahan

hajat.

Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin


datang

dan

pergi.

Prognosis berubah-ubah.
Myasthenia

Koneksi antara Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan

gravis

saraf dan otot lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda


(neuromuscular dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi

secara

junction)
Pemphigus

luas.

Obat biasanya bisa mengontrol gejala.


Lepuh

Kulit

besar

terbentuk

di

kulit.

Gangguan bisa mengancam hidup.


Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat
kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12
perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan
sel

syaraf).

Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan


Pernicious

Sel tertentu di

anemia

sepanjang perut

kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan.


Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan
kehilangan

sensasi.

Tanpa pengobatan, tali tulang belakang mungkin


rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi,
kelemahan,

dan

Risiko

sukar

kanker

menahan

perut

hajat.

bertambah.

Juga, dengan pengobatan, prognosis baik.


Sendi

atau Banyak

gejala

mungkin

terjadi.

jaringan

lain termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi,

Rheumatoid

seperti jaringan kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya

arthritis

paru-paru,

nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak, rasa

saraf, kulit dan sakit


jantung

dada,

dan

bengkak

di

bawah

kulit.

Progonosis bervariasi
Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat.
Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan
ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-

Systemic lupus
erythematosus
(lupus)

sendi,

ginjal, paru, atau jantung mengacaukan, seperti kepenatan,

kulit, paru-paru, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada,


jantung,

otak mungkin

dan sel darah

Bercak
Ramalan

terjadi.
mungkin
berubah-ubah

secara

timbul.
luas,

tetapi

kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif


meskipun ada gejolak kadang-kadang kekacauan.

Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan,


buang

air

kecil,

dan

selera

makan,

seperti

komplikasi bervariasi dengan jangka panjang.


Sel
Diabetes

beta

dari Pengobatan

pankreas (yang diperlukan,

mellitus tipe 1 memproduksi


insulin)

seumur
sekalipun

hidup

dengan

perusakan

sel

insulin
pankreas

berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada


untuk

memproduks

iinsulin

yang

cukup.

Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi


lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan
hingga waktu yang lama.
Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di
satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit,
ginjal, paru-paru, atau usus) atau beberapa bagian.
Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa
sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran
Vasculitis

Pembuluh

pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala,

darah

kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf


atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian
badan

mana

yang

dipengaruhi.

Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak


jaringan

rusak.

Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan

G. DIAGNOSA
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan
autoimun. Misalnya pengendapan laju eritrosit sering kali meningkat,karena protein yang
dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah untuk tetep
didarah. Pemeriksaan autoantibody untuk diagnosis penyakit autoimun
Penyakit
Tiroditis Hashimoto
Miksedema primer
Tirotoksikosis
Anemia pernisiosa

Antibodi
Tiroid
Tiroid
Tiroid
Lambung

Atrofi adrenal idiopatik


Miastenia gravis
Pemvigus vulgaris dan pemfigoid
Anemia hemolitik autoimun
Sindrom Sjogren
Sirosis biliar orimer
Hepatitis kronik aktif
Artritis rheumatoid
Skleroderma
Penyakit jaringan ikat lain

Adrenal
Otot, reseptor asetilkolin
Kulit
Eritrosit (uji Coombs)
Sel duktus salivarius
Mitokondria
Anti Sm, mitokondria
Antiglobulin
Nukleolus
Nukleolus

H. PENGOBATAN
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan
tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan
badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine,
chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering
digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dengan jangka panjang. Tetapi, obat ini
menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri
terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker.
Konsekwensinya, resiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.sering, kortikosteroid, seperti
prednison, diberikan, biasanya secara oral.
BAB II
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
A. DEFINISI
Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat, pada reaktivitas
hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respons fisiologis
yang tidak menguntungkan (Behrman, 2000).
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas (Indonesia Children, 2009).
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon
imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing

B. TIPE REAKSI HIPERSENSITIVITAS


Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe
I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V
atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali
keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan
mekanisme yang lainnya.
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau yang biasa disebut dengan reaksi anafilaksis
merupakan reaksi yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi ini
allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig
E. Reaksi ini terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit). Antigen
bereaksi dengan antibodi IgE yang terikat ke permukaan sel mast, menyebabkan pelepasan
mediator yang dikandungnya diantaranya histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). Urutan kejadian reaksi tipe I
adalah sebagai berikut :
a. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
b. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas
isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang
dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta
berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma

adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji
provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa
menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta
peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa
gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit
adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam
lambung, kejang usus, dan diare.
Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen
biasanya adalah asma bronchial, alergi, anafilaksis, diare, dan dermatitis.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai
dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau
antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.
Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.
Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II
ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi
obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai
berikut :
a. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
b. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell)
c. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II
1) Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB
dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig
M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi
(anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB
tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung
antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B.
Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang
paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah
golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat,
reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat
pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem
yang lepas.
2) Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi
baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika
anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas
sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah
disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak
yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat
antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau
lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor
Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning,
Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan
bayi.
3) Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,
terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin,
tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
4) Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat
trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan
menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan
chloropromazin mengikat sel darah merah.
5) Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran
basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang
menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru.
Perjalanannya sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian
steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi,
sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane
basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.
6) Myasthenia gravis
Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler,
sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.
7) Pempigus
Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang
menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah
dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG
sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
a. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
b. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
c. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan
antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat,
anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan
menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktorfaktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN

yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga


mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf
yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral),
enzim-enzim

pembentukan

kinin

protein-protein

polikationik

yang

meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini
akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah
diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu,
trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang
menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat
mengakibatkan iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
a) Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas
histamine
b) Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas
enzim proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a) Menimbulkan mikrotrombi
b) Melepas amin vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya
Contoh dari reaksi hipersensitivitas tipe III, diantaranya :
1) Demam Reuma
Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung,
sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen
dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap
streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
2) Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM)
dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3) Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan
membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
4) Farmers lung

Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora
actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi
6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik
terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang
mengendap di paru-paru.
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity
(CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari
24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh
antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang
mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang
mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti
reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan
kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai
carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di
permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau
virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel
target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,
schitosomiasis). Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan
bereaksi dengan reseptor di permukaan sel limfosit yang pernah berkontak dengan antigen
yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah
menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:
a. Macrophage inhibition factor (MIF)
Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan
sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat ayng menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage
Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih efektif untuk
mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor
dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming
Factor (SMAF).

b. Monocyte chemotactic factor


Sel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.
c. Skin reactive factor
Meninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.
d. Faktor lain
Terdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat
sitotoksik terhadap beberapa sel.
Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 2 minggu, yaitu untuk
meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus
dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan rentetan
reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe IV :
1) Reaksi JM (Jones Mole)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut
biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka
terhadap siklofosfamid.
Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI
yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal
yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem
tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil.
Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.
Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau
menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya
yang dapat mematikan dan melepaskan tungau tersebut.
Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti
poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas
menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.
2) Dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat
kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi
epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada
reaksi ini.
Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan
reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda

asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigenantigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang
menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil
klorida dan kromat.
Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal
antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI.
Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel
efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3) Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak
dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel
mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit
dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen
kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan
kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.
Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh
karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4) Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik. Dalam inflamasi
kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai berikut:
a) Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
b) Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.
c) Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.
Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan granuloma
(agregat fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma). Fagosit terdiri atas
monosit yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang sudah ada dalam jaringan.
Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena menimbulkan
banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam
makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau
kompleks imun yang menetap, misalnya pada alveolitis alergik.

Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten
dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang terbatas.
Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme yang sama,
misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae. Granuloma juga terjadi pada hipersensitivitas
terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talkum).
Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.
Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic, karena yang
pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang
diduga berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia Langhans (jangan dikaburkan dengan sel
Langerhans yang telah dibicarakan).
Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan
makrofag. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi
akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.
TANDA DAN GEJALA
Adapun Gejala klinisnya :
1.

Pada saluran pernafasan : asma

2.

Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3.

Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal

4.

Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :

apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan

terdapat gejala adanya

urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir


Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng
yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan).
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE
( dengan mikroskop imunofluoresen ).
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

BAB III
REAKSI IMUNODEFISIENSI
A. DEFINISI
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun
normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh
kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti
infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan
sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).

Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan , dimana system


kekebalan tidak berfungsi secara adekuat , sehingga infeksi lebih sering terjadi , lebih sering
berulang , luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Penyakit imunodefisiensi kombinasi parah adalah gangguan imunodefisiensi paling
serius. Itu bisa disebabkan oleh beberapa kerusakan genetika berbeda, kebanyakan yang
adalah menurun. Salah satu bentuk gangguan tersebut disebabkan oleh enzim adenosine
deaminase. Dahulu, anak dengan gangguan ini dijaga di ruang isolasi ketat, kadangkala di
dalam tenda plastik, menyebabkan gangguan tersebut disebut sindrom bubble boy
B. BENTUK IMUNODEFISIENSI
1. Primer
a) Severe combine immunodeficiency disease (SCID)
Ditandai oleh limfopenia
Kelenjar limfe, limpa, tonsil, appendik : tidak mengandung jaringan limfoid.
50 % penderita resesif autosomal SCID ADA (adenosin deaminase) pada
limfosit dan erytrosit akumulasi metabolit deoksidenosin & deoksi ATP

toksin untuk limfosit


Terapi : transplantasi ssm. Tulang.

b) X linked agammaglobulinemia of BRUTON.


Paling sering ditandai :
sel B matang oleh karena mutasi gen tirosin kinase yang diekspresikan pada sel B
muda Ig serum.
Imun seluler normal.
Sering infeksi bakteri berulang.
c) Defisiensi Ig A terisolasi (isolated Ig A deficiency)
Umunya : tanpa gejala seperti infeksi traktus respiratorius,Kelainan Autoimun.
efek : kegagalan pematangan sel B positif Ig A.
Terapi : tranfusi darah yang mengandung Ig A sehingga terjadi anafilaksis
d) Common variabel immunodeficiency
Hipogamaglobulinemi, kadang : Ig G
Sebagaian besar kasus : sel B normal menyabakan diferensiasi sel plasma
Folikel limfoid : hiperplastik.
e) SINDROMA WISKOTT ALDRICH (Imunodefisiensi dengan Trombositopenia dan
eksema)
Ditandai : trombositopenia, eksema, inf berulang.
Terapi : transplantasi sumsung tulang
f) SINDROMA DIGEORGE (HIPOPLASIA TIMUS)
Kelainan multiorgan
Ditandai dengan :
Hipoplasi / aplasia timus.
Hipoplasi paratiroid (hipokalsemi).

Efek : cong. jantung


Terapi : cangkok timus

2. Sekunder
Perubahan Fungsi Imunologik : inf, malnutrisi, penuaan, imunosupresi, kemoterapi
didapat oleh karena:

Infeksi : AIDS
Penggunaan obat : - Kemoterapi
Imunosupresif
Peny lain : leukemia
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS) oleh karena HIV 1

(Human Immunodeficency Virus), ditandai :


a) Supresi imunitas (sel T)
b) Inf. oportunistik.
c) Keganasan sekunder.
d) Kelainan neurologic
Cara penularan :
a) Kontak seksual
b) Parenteral
c) Dari ibu yang terinfeksi pada janin
Kelainan SSP karena HIV.
Sasaran utama infeksi HIV.
Mell : monosit / makrofag.
Perjalanan peny. Infeksi HIV.
1. Tahap dini / fase akut.
Viremia, CD4 + sel T
peny. akut yang sembuh sendiri = 6 12 mg ,nyeri tenggorokan, mialgia non spesifik,
meningitis aseptik.
2. Tahap menengah, fase kronik
Keadaan laten secara klinis, replikasi rendah, CD4 + perlahan
Kel. Limfe.
Akhir tahap : demam, kemerahan kulit, kelelahan, viremi.
Berlangsung 7 10 tahun
3. Tahap akhir, fase krisis = AIDS.
Pertahanan cepat : CD4 + rendah, BB, diare, inf. oportunistik, keganasan sekunder.
AIDS : HIV (+) dan sel T CD4 + < 200 sel / Ul.
C. ETIOLOGI
Immunodefisiensi

bisa

timbul

sejak

seseorang

dilahirkan

(immunodefisiensi

kongenital) atau bisa muncul di kemudian hari. Immunodefisiensi kongenital biasanya


diturunkan. Terdapat lebih dari 70 macam penyakit immunodefisiensi yang sifatnya
diturunkan (herediter).

Pada beberapa penyakit, jumlah sel darah putihnya menurun; pada penyakit lainnya,
jumlah sel darah putih adalah normal tetapi fungsinya mengalami gangguan. Pada sebagian
penyakit lainnya, tidak terjadi kelainan pada sel darah putih, tetapi komponen sistem
kekebalan lainnya mengalami kelainan atau hilang.
Immunodefisiensi
Immunodefisiensi

yang

yang

didapat

didapat

lebih

biasanya
banyak

terjadi

akibat

ditemukan

suatu

dibandingkan

penyakit.
dengan

immunodefisiensi kongenital.
Beberapa penyakit hanya menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang ringan,
sedangkan penyakit lainnya menghancurkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Pada
infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel darah putih
yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur.
Orang yang memiliki kelainan limpa seringkali mengalami immunodefisiensi. Limpa
tidak saja membantu menjerat dan menghancurkan bakteri dan organisme infeksius lainnya
yang masuk ke dalam peredaran darah, tetapi juga merupakan salah satu tempat pembentukan
antibodi.
Jika limpa diangkat atau mengalami kerusakan akibat penyakit (misalnya penyakit sel
sabit), maka bisa terjadi gangguan sistem kekebalan. Jika tidak memiliki limpa, seseorang
(terutama bayi) akan sangat peka terhadai infeksi bakteri tertentu (misalnya Haemophilus
influenzae, Escherichia coli dan Streptococcus). Selain vaksin yang biasa diberikan kepada
anak-anak, seorang anak yang tidak memiliki limpa harus mendapatkan vaksin pneumokokus
dan meningokokus.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme :
Diabetes
Sindrom Down
Gagal ginjal
Malnutrisi
Penyakit sel sabit
2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
Kemoterapi kanker
Kortikosteroid
Obat immunosupresan
Terapi penyinaran
3. Infeksi
Cacar air
Infeksi sitomegalovirus
Campak Jerman (rubella kongenital)
Infeksi HIV (AIDS)

Campak
Infeksi bakteri yang berat
Infeksi jamur yang berat
Tuberkulosis yang berat
4. Penyakit darah dan kanker
Agranulositosis
Semua jenis kanker
Anemia aplastik
Histiositosis
Leukemia
Limfoma
Mielofibrosis
5. Pembedahan dan trauma
Luka bakar
Pengangkatan limpa
Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh penderita penyakit immunodefisiensi adalah :
1) Mempertahankan gizi yang baik
2) Memelihara kebersihan badan
3) Menghindari makanan yang kurang matang
4) Menghindari kontak dengan orang yang menderita penyakit menular
5) Menghindari merokok dan obat-obat terlarang
6) Menjaga kebersihan gigi untuk mencegah infeksi di mulut
7) Vaksinasi diberikan kepada penderita yang mampu membentuk antibodi.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
1. Data Demografi
a. Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan
b.
2.
3.
4.
5.

sumber informasi)
Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama,

suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien).


Riwayat Kesehatan Sekarang
alasan masuk rumah sakit:
Keluhan utama
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang
berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien
mengatakan

pernah

mengalami

nyeri

perut,sesak

nafas,

demam,bibirnya

bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah


menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
6.

7.

Riwayat Kesehatan Keluarga


Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.

Pengkajian dengan pendekatan ABCD


8. Primary Survey
1. Airway
a.
b.
c.
d.

Kaji pertahanan jalan nafas


Lakukan head tilt, chin lift jika perlu
Gunakan alat bantu untuk jalan nafas jika perlu
pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anastesi untuk dilakukan intubasi jika
tidak dapat mempertahankan jalan nafas

2. Breathing
a. kaji saturasi oksigen menggunakan pulse oximeter, untuk mempertahankan
b.
c.
d.
e.
f.
g.

saturasi 92%
berikan oksigen dengan dengan aliran tinggi melalui non breath mask
lakukan nebulizer
lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji paO2 dan paCO2
kaji jumlah pernafasan
lakukan pemeriksaan sistem pernapsan
lakukan pemeriksaan foto thorax mungkin normal

3. Circulation
a. kaji rate dan rithme
b. kaji peningktan JVP
c. catat tekanan darah
d. pemeriksaan EKG mungkin menunjukkan
e. Sinus takikardi
f. adanya S1 Q3 T3
g. lakukan IV akses D5%+ Teofillin 2 amp
h. Lakukan pemeriksaan darah lengkap
4. Disability
a. kaji tingkat kesadaran
b. penurunan kesadaran menunjukkan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim
dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan di
ICU
5. Exposure
a. selalu mengkaji dengan tes kemungkinan bronkhitis
b. jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lainya.
Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu :
1. Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta
2.

ukur respirasi rate.


Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS,

apakah pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.


3. Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada
perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
4. Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
5. Gerak dan aktifitas

Dikaji

apakah

pasien

mengalami

gangguan/keluhan

dalam

melakukan

aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah
6.

didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.


Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya,
misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST :

7.

faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)


Kebersihan Diri
Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS.

8. Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani
keluarganya selama di RS.
9. Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan
sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
10. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan
terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
11. Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
12. Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima
penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.
A. Analisa Data.
Data subjektif
Sesak nafas

Data objektif
Penggunaan O2

Mual, muntah
Meringis, gelisah

Adanya kemerahan pada kulit


Terlihat pucat

Terdapat nyeri pada bagian perut

Pembengkakan pada bibir

Gatal gatal

Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C )

Batuk

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. .Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
4. .Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
5. .Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien
menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
Pasien tidak merasa sesak lagi
Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
Tidak terdapat tanda-tanda sianosis

Intervensi :
1.

Kaji

frekuensi,

kedalaman

pernapasan

dan

ekspansi

paru.

Catat

upaya pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.


Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan
kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas.
Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada
pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels,
mengi, gesekan pleura.
Rasional : Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder
terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan
mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari
tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasional : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara
segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter secret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum
berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.

5.

Berikan oksigen tambahan


Rasional : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu
2.

pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.


Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien
menurun.
Kriteria hasil :
- Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
- Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :
1.

Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )


Rasional : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius

akut.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur
sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan mendekati normal
3. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
- Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
- Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
- Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat
absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan
volume cairan pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
- Pasien tidak mengalami diare lagi
- Pasien tidak mengalami mual dan muntah
- Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
- Turgor kulit kembali normal

Intervensi :
1. Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia,
hipotensi ortostatik.
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju
metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan
2.

peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.


Kaji turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah).
Rasional : Indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane

mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.


Monitor intake dan output cairan
Rasional : Mengetahui keseimbangan cairan
4. Beri obat sesuai indikasi misalnya antipiretik, antiemetic.
Rasional : Berguna menurunkan kehilangan cairan
5. Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional : pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan
3.

parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.


5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan
nyeri pasien teratasi
kriteria hasil :
- Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
- Wajah tidak meringis
- Skala nyeri 0
- Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :
Tekanan darah
: 140-90/90-60 mmHg
Nadi
: 60-100 kali/menit
Pernapasan
: 16-20 kali/menit
Suhu
: Oral (36,1-37,50C)
Rektal (36,7-38,10C)
Axilla (35,5-36,40C)
Intervensi :
1. Ukur TTV
Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
3. Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Memberikan rasa nyaman kepada pasien
4. Ciptakan suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih relaks
5. Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri.
6. Memberikan kontrol situasi meningkatkan perilaku positif.
7. Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah,
palpitasi, keinginan berkemih.
Rasional : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik

Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.

EVALUASI
Diagnosa
1

Evaluasi
S : pasien mengeluh tidak sesak lagi
O : pasien bernafas normal (16-24 x/menit),tidak terdapat tandatanda sianosis,pasien tidak mengalami gangguan pola nafas,pas ien
tidak tampak menggunakan alat bantu pernapasan.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien

S : Pasien mengatakan tidak demam lagi


O : Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5oC),bibir
pasien tidak tampak bengkak lagi.
A : Tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien

S : Pasien mengatakan kulitnya sudah tidak merah-merah lagi


O : Kerusakan integritas kulit pada pasien berkurang,tanda-tanda
angioderma,pruritus dan urtikaria sudah mulai berkurang,kulit
pasien tidak terdapat kemerahan.
A : tujuan tercapai sebagian
P : lanjutkan intervensi ( no 1 dan 2)

S : Pasien mengatakan tidak merasa mual,muntah dan mencret


lagi
O : Intake & output pasien seimbang,TTV dalam batas normal
(TD : 120/80-140/90, Suhu aksila : 36,5 oC-37,5 C, Frekuensi
pernapasan : 16-24 x / menit, Nadi: 60-100x/menit), tidak terdapat
tanda-tanda sianosis,turgor kulit kembali normal.
A : Tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien

S : pasien mengatakan nyerinya sudah berkurang


O: wajah pasien tampak tenang dan tidak meringis
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien

DAFTAR PUSTAKA
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/reaksi-hipersensitivitas/
http://filzahazny.wordpress.com/2008/10/31/hipersensitivitas/
http://muel-muel.blogspot.com/2008/03/hipersensitivitas-tipe-1_31.html
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi
6.Jakarta:EGC.

You might also like