Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Kelompok 9 :
Hilda Dianita
Juli Harsono
Juriatun Solehah
Khaeru Ahyadi
Autoantibody terhadap jantung ditemukan pada jantung infark. Pada umumnya kadar
autoantibody dapat dibentuk pola terhadap antigen mitokondria pada kerusakan hati atau
jantung.Pada tuberculosis Dan tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan luas pada
berbagai jaringan, dapat pula ditemukan autoantibody terhadap antigen jarinagan dalam kadar
gula yang rendah.
C. ETIOLOGI
Senyawa yang ada di badan dan normalnya dibatasi di area tertentu (dan disembunyikan
dari sistim kekebalan tubuh ) kemudian dilepaskan pada aliran darah. Misalnya : pukulan
kemata bisa membuat cairan bola mata dilepas pada aliran darah. Cairan merangsang sistem
kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing, dan menyerangnya.
Senyawa normal ditubuh berubah, misalnya oleh virus, obat, sinar matahari atau radiasi.
Sel tubuh yang diserang oleh tubuh atau bakteri akan merangsang kekebalan tubuh untuk
menyerangnya.
Senyawa asing yang menyerupai senyawa alami tubuh mungkin memasuki tubuh. Sistim
kekebalan tubuh yang kurang hati hati dapat mengakibatkan senyawa mirip tubuh
sebagai sasaran. Misalnya : Bakteri penyebab penyakit kerongkongan mempunyai
beberapa anti gen,yang mirip denagan ati gen sel jantung manusia.
Sel yang mengontrol produksi anti bodi misalnya limfosit B, mungkinn rusak dan
D. GEJALA
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi gejala berfariasi bergantung
pada gangguan dari bagian badan yang diserang. Beberapa gangguan autoimun
mempengaruhi jenis tertentu dari jaringan tubuh diseluruh tubuh misalnya pembuluh darah,
tulang rawan, atau kulit. Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan
rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal, kerusakan pernapasan,
penumpukan cairan, bahkan menyebabkan kematian.
E. MEKANISME RUSAKNYA TOLERANSI DAN JARINGAN
1. Rusaknya Jaringan
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak tepat
pada antigen Presenting cell, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau
perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistim imun. Hal hal tersebut terjadi saat
inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi
lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe ( dan juga ke antigen-presenting
cells ) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya
peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan
protein intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi
tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan Cryptic epitopes.
Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya
melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
2. Mekanisme rusaknya Jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi (hipersentivitas
tipe II dan III) atau aktivasi makrofag aleh sel T CD4 + ATAU SEL T sitotoksik
(hipersentivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang
diperantarai antibody dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersentivitas,
autoantibody juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari
antigen diri, sperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma.
Autoantibody tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen
diri , sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan
jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibody pada utoimunitas terjadi bila autoantibody
mengenali antigen yang bebas dicairan ekstra seluler atau diekspresikan pada permukaan sel.
F. MACAM GANGGUAN AUTOIMUN
Beberapa Gangguan Autoimun
Gangguan
Jaringan
terkena
yang
Konsekwensi
Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah)
Anemia
hemolitik
autoimun
Limpa
kepala
ringan.
mungkin
membesar.
Kulit
merah,
pemphigoid
terbentuk
di
kulit.
Gatal
biasa.
Paru-paru
Goodpasture
ginjal
dan
kepenatan,
bengkak,
dan
gatal,
mungkin
berkembang.
Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum
kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.
Kelenjar
gondok
menghasilkan
Penyakit
Graves
dirangsang
kadar
tinggi
dan
membesar,
hormon
thyroid
(hyperthyroidism).
Kelenjar tiroid Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak
tahan
panas,
tremor,
berat
kehilangan,
dan
kecemasa.
Dengan pengobatan, prognosis baik.
Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan
kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism).
Tiroiditis
Hashimoto
tahan
ke
dingin,
dan
mengantuk.
Multiple
sclerosis
cord
otot,
dan
sukar
menahan
hajat.
dan
pergi.
Prognosis berubah-ubah.
Myasthenia
gravis
secara
junction)
Pemphigus
luas.
Kulit
besar
terbentuk
di
kulit.
syaraf).
Sel tertentu di
anemia
sepanjang perut
sensasi.
dan
Risiko
sukar
kanker
menahan
perut
hajat.
bertambah.
atau Banyak
gejala
mungkin
terjadi.
jaringan
Rheumatoid
arthritis
paru-paru,
dada,
dan
bengkak
di
bawah
kulit.
Progonosis bervariasi
Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat.
Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan
ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-
Systemic lupus
erythematosus
(lupus)
sendi,
otak mungkin
Bercak
Ramalan
terjadi.
mungkin
berubah-ubah
secara
timbul.
luas,
tetapi
air
kecil,
dan
selera
makan,
seperti
beta
dari Pengobatan
seumur
sekalipun
hidup
dengan
perusakan
sel
insulin
pankreas
memproduks
iinsulin
yang
cukup.
Pembuluh
darah
mana
yang
dipengaruhi.
rusak.
G. DIAGNOSA
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan
autoimun. Misalnya pengendapan laju eritrosit sering kali meningkat,karena protein yang
dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah untuk tetep
didarah. Pemeriksaan autoantibody untuk diagnosis penyakit autoimun
Penyakit
Tiroditis Hashimoto
Miksedema primer
Tirotoksikosis
Anemia pernisiosa
Antibodi
Tiroid
Tiroid
Tiroid
Lambung
Adrenal
Otot, reseptor asetilkolin
Kulit
Eritrosit (uji Coombs)
Sel duktus salivarius
Mitokondria
Anti Sm, mitokondria
Antiglobulin
Nukleolus
Nukleolus
H. PENGOBATAN
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan
tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan
badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine,
chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering
digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dengan jangka panjang. Tetapi, obat ini
menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri
terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker.
Konsekwensinya, resiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.sering, kortikosteroid, seperti
prednison, diberikan, biasanya secara oral.
BAB II
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
A. DEFINISI
Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat, pada reaktivitas
hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respons fisiologis
yang tidak menguntungkan (Behrman, 2000).
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas (Indonesia Children, 2009).
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon
imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing
adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji
provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa
menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta
peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa
gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit
adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam
lambung, kejang usus, dan diare.
Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen
biasanya adalah asma bronchial, alergi, anafilaksis, diare, dan dermatitis.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai
dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau
antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.
Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.
Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II
ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi
obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai
berikut :
a. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
b. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell)
c. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II
1) Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB
dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig
M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi
(anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB
tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung
antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B.
Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang
paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah
golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat,
reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat
pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem
yang lepas.
2) Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi
baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika
anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas
sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah
disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak
yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat
antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau
lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor
Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning,
Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan
bayi.
3) Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,
terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin,
tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
4) Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat
trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan
menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan
chloropromazin mengikat sel darah merah.
5) Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran
basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang
menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru.
Perjalanannya sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian
steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi,
sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane
basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.
6) Myasthenia gravis
Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler,
sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.
7) Pempigus
Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang
menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah
dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG
sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
a. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
b. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
c. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan
antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat,
anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan
menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktorfaktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN
pembentukan
kinin
protein-protein
polikationik
yang
meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini
akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah
diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu,
trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang
menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat
mengakibatkan iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
a) Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas
histamine
b) Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas
enzim proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a) Menimbulkan mikrotrombi
b) Melepas amin vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya
Contoh dari reaksi hipersensitivitas tipe III, diantaranya :
1) Demam Reuma
Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung,
sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen
dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap
streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
2) Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM)
dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3) Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan
membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
4) Farmers lung
Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora
actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi
6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik
terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang
mengendap di paru-paru.
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity
(CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari
24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh
antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang
mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang
mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti
reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan
kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai
carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di
permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau
virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel
target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis,
schitosomiasis). Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan
bereaksi dengan reseptor di permukaan sel limfosit yang pernah berkontak dengan antigen
yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah
menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:
a. Macrophage inhibition factor (MIF)
Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan
sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat ayng menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage
Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih efektif untuk
mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor
dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming
Factor (SMAF).
asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigenantigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang
menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil
klorida dan kromat.
Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal
antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI.
Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel
efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3) Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak
dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel
mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit
dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen
kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan
kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.
Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh
karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4) Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik. Dalam inflamasi
kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai berikut:
a) Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
b) Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.
c) Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.
Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan granuloma
(agregat fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma). Fagosit terdiri atas
monosit yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang sudah ada dalam jaringan.
Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena menimbulkan
banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam
makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau
kompleks imun yang menetap, misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten
dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang terbatas.
Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme yang sama,
misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae. Granuloma juga terjadi pada hipersensitivitas
terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talkum).
Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.
Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic, karena yang
pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang
diduga berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia Langhans (jangan dikaburkan dengan sel
Langerhans yang telah dibicarakan).
Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan
makrofag. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi
akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.
TANDA DAN GEJALA
Adapun Gejala klinisnya :
1.
2.
3.
4.
PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan).
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE
( dengan mikroskop imunofluoresen ).
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
BAB III
REAKSI IMUNODEFISIENSI
A. DEFINISI
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun
normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh
kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti
infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan
sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).
2. Sekunder
Perubahan Fungsi Imunologik : inf, malnutrisi, penuaan, imunosupresi, kemoterapi
didapat oleh karena:
Infeksi : AIDS
Penggunaan obat : - Kemoterapi
Imunosupresif
Peny lain : leukemia
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS) oleh karena HIV 1
bisa
timbul
sejak
seseorang
dilahirkan
(immunodefisiensi
Pada beberapa penyakit, jumlah sel darah putihnya menurun; pada penyakit lainnya,
jumlah sel darah putih adalah normal tetapi fungsinya mengalami gangguan. Pada sebagian
penyakit lainnya, tidak terjadi kelainan pada sel darah putih, tetapi komponen sistem
kekebalan lainnya mengalami kelainan atau hilang.
Immunodefisiensi
Immunodefisiensi
yang
yang
didapat
didapat
lebih
biasanya
banyak
terjadi
akibat
ditemukan
suatu
dibandingkan
penyakit.
dengan
immunodefisiensi kongenital.
Beberapa penyakit hanya menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang ringan,
sedangkan penyakit lainnya menghancurkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Pada
infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel darah putih
yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur.
Orang yang memiliki kelainan limpa seringkali mengalami immunodefisiensi. Limpa
tidak saja membantu menjerat dan menghancurkan bakteri dan organisme infeksius lainnya
yang masuk ke dalam peredaran darah, tetapi juga merupakan salah satu tempat pembentukan
antibodi.
Jika limpa diangkat atau mengalami kerusakan akibat penyakit (misalnya penyakit sel
sabit), maka bisa terjadi gangguan sistem kekebalan. Jika tidak memiliki limpa, seseorang
(terutama bayi) akan sangat peka terhadai infeksi bakteri tertentu (misalnya Haemophilus
influenzae, Escherichia coli dan Streptococcus). Selain vaksin yang biasa diberikan kepada
anak-anak, seorang anak yang tidak memiliki limpa harus mendapatkan vaksin pneumokokus
dan meningokokus.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme :
Diabetes
Sindrom Down
Gagal ginjal
Malnutrisi
Penyakit sel sabit
2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
Kemoterapi kanker
Kortikosteroid
Obat immunosupresan
Terapi penyinaran
3. Infeksi
Cacar air
Infeksi sitomegalovirus
Campak Jerman (rubella kongenital)
Infeksi HIV (AIDS)
Campak
Infeksi bakteri yang berat
Infeksi jamur yang berat
Tuberkulosis yang berat
4. Penyakit darah dan kanker
Agranulositosis
Semua jenis kanker
Anemia aplastik
Histiositosis
Leukemia
Limfoma
Mielofibrosis
5. Pembedahan dan trauma
Luka bakar
Pengangkatan limpa
Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh penderita penyakit immunodefisiensi adalah :
1) Mempertahankan gizi yang baik
2) Memelihara kebersihan badan
3) Menghindari makanan yang kurang matang
4) Menghindari kontak dengan orang yang menderita penyakit menular
5) Menghindari merokok dan obat-obat terlarang
6) Menjaga kebersihan gigi untuk mencegah infeksi di mulut
7) Vaksinasi diberikan kepada penderita yang mampu membentuk antibodi.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1. Data Demografi
a. Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan
b.
2.
3.
4.
5.
sumber informasi)
Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama,
pernah
mengalami
nyeri
perut,sesak
nafas,
demam,bibirnya
7.
2. Breathing
a. kaji saturasi oksigen menggunakan pulse oximeter, untuk mempertahankan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
saturasi 92%
berikan oksigen dengan dengan aliran tinggi melalui non breath mask
lakukan nebulizer
lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji paO2 dan paCO2
kaji jumlah pernafasan
lakukan pemeriksaan sistem pernapsan
lakukan pemeriksaan foto thorax mungkin normal
3. Circulation
a. kaji rate dan rithme
b. kaji peningktan JVP
c. catat tekanan darah
d. pemeriksaan EKG mungkin menunjukkan
e. Sinus takikardi
f. adanya S1 Q3 T3
g. lakukan IV akses D5%+ Teofillin 2 amp
h. Lakukan pemeriksaan darah lengkap
4. Disability
a. kaji tingkat kesadaran
b. penurunan kesadaran menunjukkan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim
dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan di
ICU
5. Exposure
a. selalu mengkaji dengan tes kemungkinan bronkhitis
b. jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik lainya.
Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu :
1. Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta
2.
Dikaji
apakah
pasien
mengalami
gangguan/keluhan
dalam
melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah
6.
7.
8. Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani
keluarganya selama di RS.
9. Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan
sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
10. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan
terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
11. Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
12. Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima
penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.
A. Analisa Data.
Data subjektif
Sesak nafas
Data objektif
Penggunaan O2
Mual, muntah
Meringis, gelisah
Gatal gatal
Batuk
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. .Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
4. .Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
5. .Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien
menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
Pasien tidak merasa sesak lagi
Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :
1.
Kaji
frekuensi,
kedalaman
pernapasan
dan
ekspansi
paru.
Catat
5.
akut.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur
sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan mendekati normal
3. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
- Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
- Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
- Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat
absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan
volume cairan pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
- Pasien tidak mengalami diare lagi
- Pasien tidak mengalami mual dan muntah
- Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
- Turgor kulit kembali normal
Intervensi :
1. Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia,
hipotensi ortostatik.
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju
metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan
2.
EVALUASI
Diagnosa
1
Evaluasi
S : pasien mengeluh tidak sesak lagi
O : pasien bernafas normal (16-24 x/menit),tidak terdapat tandatanda sianosis,pasien tidak mengalami gangguan pola nafas,pas ien
tidak tampak menggunakan alat bantu pernapasan.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/reaksi-hipersensitivitas/
http://filzahazny.wordpress.com/2008/10/31/hipersensitivitas/
http://muel-muel.blogspot.com/2008/03/hipersensitivitas-tipe-1_31.html
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi
6.Jakarta:EGC.