Professional Documents
Culture Documents
Definisi
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari
timbulnya luka antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon
stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, hingga
kematian sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi
dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler, merupakan
bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal
tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat
terhambat akibat banyak faktor, baik yang bersifat lokal maupun sistemik
(Monaco and Lawrence, 2003).
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa
yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis
dan subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada
epidermis dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa
peristiwa itu terjadi pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi
pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga
fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling jaringan yang
bertujuan untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya.
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka
adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ
tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1.
2.
3.
4.
5.
a. Luka bersih (Clean Wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi, dan kulit disekitar
luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined Wounds), merupakan
luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam
luka. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.
c. Luka terkontaminasi (Contamined Wounds), yaitu luka terbuka kurang
dari empat jam, dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan
infeksi luka 10% 17%.
d. Luka kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds), yaitu luka terbuka
lebih dari empat jam dengan tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat
pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%.
B. Penutupan luka
Tujuan utama dari penutupan luka yaitu untuk mengembalikan integritas
kulit sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi, scar dan penurunan
fungsi (Monaco and Lawrence, 2003). Proses penutupan pada luka terbagi
menjadi 3 kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan
serta perlakuan pada luka (David, 2004).
1. Penutupan luka primer (Intensi Primer)
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem terjadi bila
luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Luka
dibuat secara aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan
penutupan dengan baik seperti dengan penjahitan. Ketika luka sembuh
melalui
instensi
pertama,
jaringan
granulasi
tidak
tampak
dan
cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika
lukanya terbuka lebar (Mallefet and Dweck, 2008).
3. Penutupan luka primer tertunda (Intensi Tersier)
Penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang
terkontaminasi berat atau tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas
tegas sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada
pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan
menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan
dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit
dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini disebut penyembuhan primer
tertunda.
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam
dan luas dibandingkan dengan penyembuhan primer (Diegelmann and
Evans, 2004).
yang
vasokonstriktor
terbuka
yang
(clot)
dan
juga
mengakibatkan
mengeluarkan
pembuluh
substansi
darah
kapiler
yang akan
menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan
setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris
(local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi
vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi
ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra
vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan
bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh
sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil
pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis
adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Sintesa kolagen
fibronectin
dan
proteoglikans)
yang
berperan
dalam
proliferasi
fibroblast
dengan
aktifitas
sintetiknya
disebut
Proliferasi
b. Migrasi
c.
d. Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes),
pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya
proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena
biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan
oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses
oleh
fibroblast,
pembentukan
lapisan
dermis
ini
akan
terbentuknya
jaringan
baru
menjadi
jaringan
mencapai
penyembuhan
yang
optimal
diperlukan
10
Kulit umumnya mengalami regenerasi tanpa parut, hal ini terbatas pada
dua trimester pertama. Banyak aspek jaringan pada janin dan lingkungan
yang dapat berkontribusi pada penyembuhan tanpa parut, yaitu :
1. Lingkungan bayi (cairan amnion) steril
2. Cairan amnion mengandung faktor pertumbuhan dan molekul matriks
ekstra sel
3. Fase inflamasi minimal, makrofag diduga sebagai sel pengorganisasi
utama pada proses penyembuhan fetus
4. Faktor pertumbuhan dan sitokin berbeda pada fetus, meski maknanya
tidak diketahui
5. Elevasi dari molekul yang terlibat dalam morphogenesis dan pertumbuhan
kulit
E. Penyembuhan Luka di Jaringan Tertentu
1. Kulit
Fase penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait
dan overlap: inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal
pertama yang terjadi setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui
peran sel-sel inflamasi. Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah
neutrofil. Sel-sel inflamasi akan secara masiv menginfiltrasi luka pada 24
jam pertama setelah cedera. Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis
segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian mengeluarkan sitokin
selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin tersebut berperan
dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju jaringan luka 2
hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru.
Proses reepitelisasi ini dimulai beberapa jam setelah formasi luka
terbentuk. Keratinosit dari tepi luka akan bermigrasi melintasi wound bed
pada permukaan antara dermis luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini
difasilitasi oleh produksi protease spesifik seperti kolagenase dari sel
epidermal untuk mendegradasi matrix ekstraseluler. Angiogenesis masiv
akan terjadi seiring kebutuhan akan suplai oksigen dan nutrien jaringan
untuk penyembuhan luka. Kemudian beberapa dari fibroblast akan
11
jaringan
granulasi
akan
memudahkan
proliferasi
dan
12
kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan didaerah puasat dari trabekula.
Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar (Coulibaly et al, 2010).
B. Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan
gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat
penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase
inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi
tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ,
dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh
setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti
sekuester dan nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka (Sjamsuhidajat
and Jong, 1997).
C. Perawatan Luka
Hasil penelitian tentang perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan
luka yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka
yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan
kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada
luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering. Perawatan
luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi
pada semua jenis balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 %
pada balutan kering. Lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke
pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep
penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka
dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan lembab.
13
14
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian
sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya
dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan
dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah
terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan
bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses
penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
E. Luka Kronik
1. Definisi
Luka kronik merupakan luka yang tidak menyembuh melalui
tahapan penyembuhan luka yang normal, dalam waktu kurang lebih 3
bulan (Broderick, 2009). Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh
intrinsik maupun ekstrinsik serta dapat mengenai semua kelompok umur,
baik pasien sehat maupun mereka yang memiliki beberapa penyakit
penyerta. Contoh luka kronik antara lain: ulkus dekubitalis, ulkus diabetik,
luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka
traumatik, atau luka operasi lama. (Sudjatmiko, 2010)
2. Patologi Luka Kronik
Proses patologi dari luka kronik antara lain (Broderick, 2009):
a. Pemanjangan fase inflamasi
b. Penuaan sel (sel tua yang kurang viabel), dimana terjadi perubahan
kemampuan sel untuk berproliferasi.
c. Kekurangan reseptor faktor pertumbuhan (growth factor)
d. Tidak terdapat perdarahan awal yang dapat memicu kaskade
penyembuhan luka
e. Peningkatan kadar protease (enzim yang memakan protein).
3. Penatalaksanaan
a. Perawatan Dasar
Perawatan yang baik dan penggunaan kasur anti dekubitus memiliki
peranan dalam mengurangi tekanan pada pasien dengan ulkus
dekubitus. Demikian pula debridemen kalus secara teratur, perawatan
kuku, dan sepatu khusus untuk mengurangi tekanan penting untuk
perawatan kaki diabetik akibat neuropati diabetik. Penggunaan verban
15
kompresi dan stoking penting dan efektif dalam mengobati ulkus vena.
(Harding and Morris, 2002)
b. Debridement yang adekuat
Luka kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan
jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan. (Sudjatmiko, 2010)
c. Penanganan infeksi
Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Kultur jaringan dan
perhitungan kwantitatif sebaiknya dilakukan. (Sudjatmiko, 2010)
d. Penutupan luka yang baik
Desikasi merupakan faktor yang seringkali menyebabkan gangguan
penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik. (Sudjatmiko, 2010)
Fokus utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun terakhir
adalah mengembangkan metode penutupan luka yang baik sehingga
dapat menciptakan lingkungan yang lembab untuk membantu
penyembuhan luka. Winter menunjukkan pada model hewan bahwa
proses reepitelialisasi luka akut berjalan 1,5 kali lebih cepat jika luka
ditutup. Penutupan luka belum menunjukkan efek bermakna dalam
studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis, namun penerapannya
masih memiliki manfaat bagi pasien dengan mengurangi rasa sakit dan
dengan meningkatkan kenyamanan serta efektivitas biaya. Kemajuan
dalam teknologi penutupan luka belum dapat menemukan zat yang
dapat mengobati kelainan pada kaskade penyembuhan luka, kecuali
penutupan luka dengan bahan yang mengandung asam hyaluronat, yang
secara khusus membantu penyembuhan luka. (Harding and Morris,
2002)
e. Penggunaan faktor pertumbuhan topikal
Fungsi normal faktor pertumbuhan adalah untuk menarik bermacam
tipe sel ke daerah luka, menstimulasi proliferasi selular, memacu
angiogenesis,
serta
mengatur
sintesis
dan
degradasi
matriks
16
17
18
DAFTAR PUSTAKA
Broderick, Nancy. 2009. Understanding Chrinic Wound Healing. The Nurse
Practitioner. Vol 34, No.10
Dudley HAF, Eckersley JRT, et al. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah.
Jakarta : EGC
David LD. 2004. Ethicon: Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 68.
Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute,
fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9.
Harding, KG; Morris, G K patel. 2002. Science, medicine, and the future Healing
chronic wounds. BMJ Vol 324
Julia S. Garner. 2000. Guideline For Prevention of Surgical Wound Infections
Hospital Infections Program Centers for Infectious Diseases Center for
Disease Control.
http://wonder.cdc.gov/wonder/prevguid/p0000420/p0000420.asp#head004
000000000000 ( diakses 17 Mei 2011)
Libby Swope Wiersema. 2011. List of Surgical Wound Classifications Last.
http://www.livestrong.com/article/220345-list-of-surgical-woundclassifications/, List of Surgical Wound Classifications ( diakses 17 Mei
2011)
MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt med
rev. 8(4): 360-1.
Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing.
Biomed Scient. 609-15.
Mangram AJ, Horan TC, et al. 1999. Guideline for prevention of surgical site
infection. Infect Control Hosp Epidemiol 1999;20:247-80.
www.medscape.com/viewarticle/414393_4 ( diakses 17 Mei 2011)
Metcalfe, Anthony D and Ferguson, Mark W.J. Tissue engineering of replacement
skin: the crossroads of biomaterials, wound healing, embryonic
development, stemcells and regeneration. J. R. Soc. Interface 2007 4, 413437
Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin
Plastic Surg. 30: 1-12.
19
Samper Gimenez. 2007. Orbital Penetrating Wound By A Bull Horn, Arch Soc
ESP Oftamol 2007; 82: 645-648.
www.oftalmo.com/seo/archivos/maquetas/1/...D8FA.../articulo.pdf.
(diakses 17 Mei 2011)
Schwartz BF and Neumeister M. 2006. The mechanics of wound healing. In
Future Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9.
Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta : EGC. 3: 72-81.
Sudjatmiko, Gentur. 2010. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi.
Jakarta : Yayasan Khasanah Kebajikan.
20