You are on page 1of 20

BAB I

Emerging dan Re Emerging Disease

Emerging disease adalah penyakit yang belum pernah menyerang manusia


sebelumnya; penyakit yang pernah menyerang manusia sebelumnya namun hanya
mengenai populasi kecil dan terisolasi; penyakit yang pernah menyerang manusia
sebelumnya tapi baru teridentifikasi sebagai penyakit yg disebabkan oleh suatu
agen infeksi.
Re-emerging disease adalah penyakit yang sebelumnya pernah menjadi
masalah kesehatan utama secara global atau di suatu negara, lalu menurun secara
dramatis, tapi kembali menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan pada
suatu populasi.
Dalam bulan Desember tahun 2000, tercatat merebaknya wabah penyakit
menular di beberapa negara dengan munculnya penyakit baru ataupun penyakit
lama yang muncul kembali setelah puluhan tahun dapat dilenyapkan. Ini yang
acapkali disebut sebagai emerging dan re emerging disease. Penyakit tersebut
antara lain : Anthrax di Zimbabwe, Cholera di Marshal Island, Ebola Virus di Uganda,
Listeriosis di USA, Malaria di Burundi, Meningococcal infeksi di Namibia, Measles
atau Campak di India, dan Yellow Fever (Demam Kuning) di Guinea, Liberia.7 Di
Indonesia sendiri, di beberapa Provinsi dan Kabupaten telah terjadi beberapa
wabah, seperti : Demam Berdarah, Malaria, Anthrax, Diare, dan Demam Chikunguya
Faktor-faktor yang mempengaruhi Emerging dan Reemerging Diseases : 1,2
1. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk dunia yang tidak dapat di prediksi.
2.

Meningkatnya mobilitas penduduk antar negara melalui travel internasional


yang semakin mudah.

4.

Meningkatnya impor-ekspor berbagai jenis produk makanan dan hewan antar


negara.

5. Perubahan dan perkembangan pada proses pengolahan bahan makanan serta


pendistribusiannya keseluruh pelosok dunia.

6.

Perubahan atau perkembangan dari kebiasaan hidup manusia (Human


behaviour).

7. Meningkatnya perdagangan seks di berbagai Negara, bertambahnya Pekerja Seks


Komersil, akanm mempermudah meluasnya Penyakit Menular Seksual atau
Sexual Transmitted Diseases (STD).
8.

Perubahan lingkungan yang dilakukan manusia menyebabkan perubahan

habitat dari makhluk hidup lain, termasuk hewan sebagai vektor penyakit dan
mikroorganisme sebagai penyebab penyakit.

Manajemen Emerging dan Reemerging Diseases : 1


Manajemen terpadu dibutuhkan untuk penanganan penyakit infeksi menular,
termasuk Emerging dan Reemerging Diseases disetiap negara. Pada prinsipnya
manajemen mencakup :
1. Survaillance : Diperlukan survey kesehatan, tidak saja kesehatan masyarakat,
tetapi juga kesehatan hewan, terutama hewan ternak yang lazim dikonsumsi
masyarakat dan hewan piaraan yang dapat menularkan penyakit zoonosis.
Dengan surveillance yang baik akan dapat menemukan kasus dini penyakit
infeksi menular, sehingga penangannya dapat dilakukan dengan lebih mudah
dan murah. Untuk ini mutlak dibutuhkan sarana Laboratorium diagnostik yang
menunjang. Selanjutnya, terhadap kasus-kasus yang ditemukan dilakukan
pengobatan yang tepat dan cepat dengan obat-obatan yang tersedia dengan
baik dan cukup. Selanjutnya dilakukan pengamatan lingkungan dan behaviour
untuk melakukan tindakan kontrol dan pencegahan.
Peningkatan dan penguatan di bidang pemantauan kesehatan masyarakat
(

public

health

surveillance)

sangat

penting

dalam

deteksi

dini

dan

penatalaksaan emerging dan re-emerging disease ini. Pemantauan secara


berkelanjutan dengan memanfaatkan fungsi laboratorium klinis dan pathologis,
pendekatan secara epidemiologi dan kesehatan masyarakat juga diperlukan
dalam deteksi cepat terhadapat emerging dan re-emerging disease ini. Adanya
tindakan deteksi dini dan penatalaksanaan emerging dan re-emerging disease
dirasakan sangatlah penting. WHO telah merekomendasikan sistem peringatan

dini (early warning system) untuk wabah penyakit menular dan sistem
surveillance untuk emerging dan re-emerging disease khususnya untuk wabah
penyakit pandemik. Sistem surveillance merupakan proses pengumpulan,
analisis dan interpretasi dari hasil data terkait kesehatan yang dilakukan secara
terus-

menerus

dan

sistematis

yang

akan

digunakan

sebagai

rencana

penatalaksaan (pandemic preparedness) dan evaluasi dalam praktek kesehatan


masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan meningkatkan
kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC).

Manfaat dan Fungsi utama sistem surveillance adalah :


a. Menyediakan informasi seperti pemantauan secara efektif terhadap distribusi
geografis penyakit dan angka prevalensi,
b. Menggambarkan riwayat perjalanan penyakit
c. Mendeteksi kejadian luar biasa
d. Memantau dan mendeteksi perubahan pada agen infeksi dan pelayanan
kesehatan
e. Melakukan tindakan dan intervensi, serta evaluasi tindakan Dengan adanya
sistem surveilans ini diharapkan munculnya kejadian luar biasa yang bersifat
endemik, epidemik dan pandemik dapat dihindari dan mengurangi dampak
merugikan akibat wabah penyakit tersebut.
Tindak lanjut dari hasil surveillance ini adalah pembuatan perencanaan atau
yang lebih dikenal dengan pandemic preparedness. WHO merekomendasikan
prinsip-prinsip penatalaksaan pandemic

preparedness seperti yang tertera di

bawah ini:
a. Perencanaan dan koordinasi antara sektor kesehatan, sektor nonkesehatan, dan
komunitas
b. Pemantauan dan penilaian terhadap situasi dan kondisi secara berkelanjutan
c. Mengurangi penyebaran wabah penyakit baik dalam lingkup individu, komunitas
dan internasional
d. Kesinambungan penyediaan upaya kesehatan melalui sistem kesehatan yang
dirancang khusus untuk kejadian pandemic.
e. Komunikasi dengan adanya pertukaran informasi-informasi yang dinilai relevan.
2. Research : Dalam pelaksanaan program penanggulangan penyakit infeksi di
masyarakat, peranan penelitian/research sangat penting artinya dalam mencari
tahu

setiap

akar

permasalahan

yang

dihadapai

serta

mencari

solusi

penyelesaiannya. Penelitian terhadap masyarakat tidak terbatas hanya pada


penelitian bidang kesehatan, seperti aspek klinis, diagnostik, pengobatan,
vaksin, ataupun biomedik, tetapi juga penting dilakukan penelitian aspek
Antropologi, budaya, sosial, lingkungan, dan behaviour, yang kesemuanya ini
mempunyai peranan dalam memahami epidemiologi penyakit menular. Dari
hasil penelitian ini nantinya dapat disusun langkah-langkah upaya pencegahan
dan perencanaan tindakan selanjutnya.
3. Case Management : Mencakup diagnosa akurat dan pengobatan yang adekwat.
Disini penting ketrampilan klinis dari petugas kesehatan yang menangani
langsung kasus penyakit infeksi dan ketersediaan fasilitas penanganan kasus,
terutama untuk kasus-kasus infeksi berat dengan komplikasi. Juga diperlukan
sistim rujukan yang mudah dan segera. Dengan Case Management yang baik,
akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
4. Man Power : Mencakup kualitas dan kuantitas dari sumber daya manusia serta
pembinaan displin. Dibutuhkan tenaga trampil dibidangnya yang mempunyai
kemampuan dan kemauan dalam mensukseskan program penanggulangan
penyakit infeksi di masyarakat. Untuk itu, diperlukan pendidikan dan pelatihan
yang berkesinambungan terhadap personil yang bekerja di bidang penyakit
infeksi. Dibutuhkan pengkaderan tenaga ahli secara kontinu, dengan mengirim
personil yang terlibat di bidang penyakit tropik dan infeksi untuk belajar di
sentra- sentra yang lebih maju, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
5. Prevention & Control : Ini dilaksanakan berdasarkan hasil surveillance dan
research

yang

dilakukan.

Kegiatan

dilakukan

secara

sistematis

dengan

kebijaksanaan dan strategi yang baik dengan memanfaatkan teknologi baru


yang tersedia. Dalam upaya Prevention & Control ini dilibatkan peran serta
masyarakat serta perluasan informasi dan penyuluhan kesehatan serta promosi
kesehatan melalui berbagai jenis media massa.

BAB II
Varicella Sebagai Re Emerging Disease

Varicella adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV).
Infeksi berulang dapat mengakibatkan terjadinya herpes zoster, dimana telah dikenal sejak lama.
Infeksi varicella primer (cacar air) susah dibedakan dengan cacar sampai akhir abad ke-19. Pada
tahun 1875, Steiner menunjukkan bahwa cacar air disebabkan oleh cairan vesikula yang berasal
dari pasien dengan akut varicella. Observasi klinis mengenai hubungan antara varicella dan
herpes zoster dibuat pada tahun 1888 oleh von Bokay, ketika anak-anak yang tidak terbukti
memiliki kekebalan terhadap varicella setelah kontak dengan herpes zoster. VZV diisolasi dari
kedua cairan vesikular yang berasal dari cacar air dan lesi zoster dalam kultur sel oleh Thomas
Weller pada tahun 1954. Penelitian laboratorium virus itu selanjutnya menyebabkan
pengembangan vaksin varicella hidup yang dilemahkan di Jepang pada 1970-an. Vaksin ini
berlisensi untuk digunakan di Amerika Serikat pada Maret 1995. Vaksin pertama untuk
mengurangi risiko herpes zoster ini dilisensikan pada Mei 2006.3
VZV adalah virus DNA yang termasuk dalam famili virus herpes. Seperti virus herpes
lainnya, VZV memiliki kapasitas untuk bertahan dalam tubuh setelah infeksi (pertama) primer
sebagai infeksi laten. VZV tetap dalam ganglia saraf sensorik. Infeksi primer menyebabkan
terjadinya varicella (cacar air), sementara herpes zoster (shingles) adalah akibat dari infeksi
berulang. Virus ini diyakini memiliki waktu kelangsungan hidup singkat di lingkungan. 3
2.1 Definisi

Infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis
terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.4
2.2 Epidemiologi

Usia
Pada orang yang belum mendapat vaksinasi, 90% kasus terjadi pada anak-anak dibawah

10 tahun, 5% terjadi pada orang yang berusia lebih dari 15 tahun. Sementara pada pasien yang
mendapat imunisasi, insiden terjadinya varicella secara nyata menurun.5

Insiden
Sejak diperkenalkan adanya vaksin varicella pada tahun 1995, insiden terjadinya varicella

terbukti menurun. Dimana sebelum tahun 1995, terbukti di Amerika terdapat 3-4 juta kasus
varicella setiap tahunnya.5

Transmisi
Transmisi penyakit ini secara aerogen maupun kontak langsung. Kontak tidak langsung

jarang sekali menyebabkan varicella. Penderita yang dapat menularkan varicella yaitu beberapa
hari sebelum erupsi muncul dan sampai vesikula yang terakhir. Tetapi bentuk erupsi kulit yang
berupa krusta tidak menularkan virus. 5

Musim
Di daerah metropolitan yang beriklim sedang, dimana epidemi varicella sering terjadi

pada musim musim dingin dan musim semi. 5


2.3 Patogenesa
Varicella disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus herpes. Virus masuk ke
dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas dan orofaring. Multiplikasi virus di tempat
tersebut diikuti oleh penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe ( viremia
primer ). Virus VZV dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang merupakan tempat
utama replikasi virus selama masa inkubasi. Selama masa inkubasi infeksi virus dihambat
sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon yang timbul.5,6

Pada sebagian besar individu replikasi virus dapat mengatasi pertahanan tubuh yang
belum berkembang sehingga dua minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah
yang lebih banyak. Lesi kulit muncul berturut-berturut, yang menunjukkan telah memasuki
siklus viremia, yang pada penderita yang normal dihentikan setelah sekitar 3 hari oleh imunitas
humoral dan imunitas seluler VZV. Virus beredar di leukosit mononuklear, terutama pada
limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak disertai komplikasi, hasil viremia sekunder
menunjukkan adanya subklinis infeksi pada banyak organ selain kulit.6
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat berlanjutnya lesi pada
kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV berfungsi protektif terhadap varicella. Pada
orang yang terdeteksi memiliki antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit setelah
terkena paparan eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama varicella,
berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya resiko infeksi yang
berat.6
2.4 Gambaran Klinis
Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran 10 sampai 21
hari. Masa inkubasi dapat lebih lama pada pasien dengan defisiensi imun dan pada pasien yang
telah menerima pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi terhadap
varicella.6

Gejala prodromal
Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada anak yang lebih besar

dan dewasa, ruam yang seringkali didahului oleh demam selama 2-3 hari, kedinginan, malaise,
anoreksia, nyeri punggung, dan pada beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk
kering.5.6

Ruam pada varicella


Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan skalp, dan

kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke ekstremitas. Lesi baru muncul berturutturut, dengan distribusi terutama di bagian sentral. Ruam cenderung padat kecil-kecil di

punggung dan antara tulang belikat daripada skapula dan bokong dan lebih banyak terdapat pada
medial daripada tungkai sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak tangan dan telapak
kaki, dan vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam jumlah yang lebih besar di daerah
peradangan, seperti daerah yang terkena sengatan matahari.4

Gambar 1 Infeksi VZV : Varicella 3

Gambar 2 Infeksi VZV : Varicella dengan imunisasi 3

Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang 12 jam, dimana
mula-mula berupa makula eritematosa yang berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan
krusta. Vesikel dari varicella berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis panjangnya
sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya superfisial dan berdinding tipis, dan dikelilingi
daerah eritematosa sehingga tampak terlihat seperti embun di atas daun mawar. Cairan vesikel
cepat menjadi keruh karena masuknya sel radang, sehingga mengubah vesikel menjadi pustul.
Lesi kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah sehingga menyebabkan umbilikasi dan
kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas
cekung kemerahan yang akan berangsur menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari bakteri
maka dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah menyembuh dapat meninggalkan bercak
hipopigmentasi yang dapat menetap selama beberapa minggu/bulan.4

Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea, saluran
cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah sehingga seringkali terlihat
sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm. 4

Gambar 3 Lesi dengan spektrum luas 4


Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara simultan
( terus-menerus ), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut terus berkembang. Suatu prospective
study menunjukkan rata-rata jumlah lesi pada anak yang sehat berkisar antara 250-500. Pada
kasus sekunder karena paparan di rumah gejala klinisnya lebih berat daripada kasus primer
karena paparan di sekolah, hal ini mungkin disebabkan karena paparan di rumah lebih intens dan
lebih lama sehingga inokulasi virus lebih banyak. 4
Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya
demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC, tetapi pada keadaan yang berat
dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai 40,5oC. Demam yang berkepanjangan atau yang
kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi lainnya.
Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium vesikuler. 4
2.5 Diagnosa varicella
Varicella biasanya mudah didiagnosa berdasarkan penampilan dan perubahan pada
karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila ada riwayat terpapar varicella 2-3 minggu
sebelumnya. 4

2.6 Laboratorium
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara histopatologi. Pada
pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel epitel yang mengandung badan
inklusi intranuklear yang asidofilik. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan Tzanck,
dimana bahan pemeriksaan dikerok dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian
diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan
pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon. 4

Gambar 4 Sel raksasa berinti banyak 4


Di samping itu Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain reaction (PCR) adalah
metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga dapat diisolasi dari kultur jaringan,
meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya. Bahan
yang paling sering digunakan adalah isolasi dari cairan vesikuler. VZV PCR adalah metode
pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-time PCR metode tersedia secara luas dan
merupakan metode yang paling sensitif dan spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam
beberapa jam. Jika real-time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat
digunakan, meskipun kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan pengambilan spesimen
yang lebih teliti.1

Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella tersedia secara komersial
termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked immunosorbent tes (ELISA).
Saat ini tersedia metode ELISA, dan ternyata tidak cukup sensitif untuk mampu mendeteksi
serokonversi terhadap vaksin, tetapi cukup kuat untuk mendeteksi orang yang memiliki
kerentanan terhadap VZV. ELISA sensitif dan spesifik, sederhana untuk melakukan, dan banyak
tersedia secara komersial. Di samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana, dan cepat
untuk dilakukan. LA agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial, meskipun dapat
menghasilkan

hasil

yang

positif

palsu,

dan

dapat

menyebabkan

kegagalan

untuk

mengidentifikasi orang-orang yang tidak terbukti memiliki imunitas terhadap varicella. Dimana
salah satu dari tes ini akan berguna untuk skrining kekebalan terhadap varicella.1

2.7 Komplikasi
Pada anak-anak, varicella jarang disertai komplikasi. Komplikasi tersering umumnya
disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit, yang biasanya disebabkan oleh
stafilokokus atau streptokokus, sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas,
tetapi jarang terjadi gangren. Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan parut, tetapi
jarang terjadi sepsis yang disertai infeksi metastase ke organ yang lainnya. Vesikel dapat menjadi
bula bila terinfeksi stafilokokus yang menghasilkan toksin eksfoliatif.4
Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan responsif terhadap
antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi bakteri umum dijumpai dan berpotensi
mengancam kehidupan pada pasien dengan leukopenia.4
Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan berlangsung
lebih lama, ruam varicella lebih luas, dan komplikasi lebih sering terjadi. Pneumonia varicella
primer merupakan komplikasi tersering pada orang dewasa. Pada beberapa pasien gejalanya
asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat berkembang mengenai sistem pernafasan dimana
gejalanya dapat lebih parah seperti batuk, dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada
pleuritis, sianosis, dan batuk darah yang biasanya timbul dalam 1-6 hari sesudah timbulnya
ruam. 4

Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang menyebar luas dan
varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada ibu, tetapi baik kejadian maupun
keparahan pneumonia varicella tampaknya meningkat secara signifikan pada kehamilan. Janin
dapat meninggal karena kelahiran prematur atau kematian ibu karena varicella pneumonia berat,
tetapi varicella selama kehamilan, tidak, jika tidak secara subtansial meningkatkan kematian
janin. Namun demikian, pada varicella yang tidak disertai komplikasi, viremia pada ibu dapat
menyebabkan infeksi intrauterin ( kongenital ), dan dapat menyebabkan abnormalitas kongenital.
Varicella perinatal ( varicella yang terjadi dalam waktu 10 hari dari kelahiran ) lebih serius
daripada varicella yang terjadi pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian. 4
Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada pasien dengan
defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-menerus dan menyebar luas
mengakibatkan terjadinya viremia yang berkepanjangan, dimana mengakibatkan ruam yang
semakin luas, jangka waktu yang lebih lama dalam pembentukan vesikel baru, dan penyebaran
visceral klinis yang signifikan. Pada pasien dengan defisiensi imun dan diterapi dengan
kortikosteroid mungkin dapat berkembang menjadi pneumonia, hepatitis, encephalitis, dan
komplikasi berupa perdarahan, dimana derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan
hingga parah dan seringkali mengakibatkan purpura yang fulminan dan varicella malignansi. 4
Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1 diantara 1000 kasus.
Varicella berhungan dengan sindroma Reye ( ensepalopati akut disertai degenerasi lemak di liver
) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah timbulnya ruam. Dulu, dari 15-40% pada semua kasus
sindroma Reye berhubungan dengan varicella, khususnya pada penderita yang diterapi dengan
aspirin saat demam, dengan mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih umum terjadi
daripada kelainan neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih jarang lagi terjadi yaitu pada 1
diantara 33.000 kasus, tetapi merupakan penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan
kelainan neurologi yang menetap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap
jelas, dimana pada banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan VZV DNA
pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan infeksi secara langsung pada
sistem saraf pusat. 4
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis, gastritis dan lesi
ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis Henoch-Schonlein, neuritis, keratitis, dan

iritis. Patogenesa dari komplikasi ini belum diketahui, tetapi infeksi VZV melalui parenkim
secara langsung dan endovascular, atau vasculitis yang disebabkan oleh VZV antigen-antibodi
kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada kebanyakan kasus.1,4

2.8 Terapi

Antivirus
Beberapa analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin,

dan analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV. Acyclovir
adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin kinase VZV sehingga
terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular kemudian mengubah acyclovir
monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat DNA
polimerase virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir
dibandingkan HSV. 4
Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang mempunyai
bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar dalam darah lebih tinggi dan
frekuensi pemberian obat berkurang. 4

Topikal
Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri. Untuk mengatasi

gatal dapat diberikan kompres dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion
yang mengandung kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan.
Kadang diperlukan antipiretik, tetapi pemberian olongan salisilat sebaiknya dihindari karena
sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma Reye. Mandi rendam dengan air hangat dapat
mencegah infeksi sekunder bakterial. 4

Anti virus pada anak


Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir ( dalam 24 jam setelah timbul

ruam ) pada anak imunokompeten berusia 2-12 tahun dengan dosis 4x20 mg/kgBB/hari selama 5

hari menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan
timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila
pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal
ini disebabkan karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan
manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan acyclovir
secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak menjadi masalah, dan kalau
pengobatan bisa dimulai pada waktu yang menguntungkan menguntungkan pasien ( dalam 24
jam setelah timbul ruam ), dan ada kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan sehingga orang
tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat antivirus dapat diberikan. 4

Pada remaja dan dewasa


Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir dengan dosis 5x800 mg selama 5

hari menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan
timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. 4
Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol pada orang dewasa
muda yang sehat dengan varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 24 jam
setelah timbulnya ruam) dengan acyclovir oral ( 5x800 mg selama 7 hari ) secara signifikan
mengurangi terbentuknya lesi yang baru, mengurangi luasnya lesi yang terbentuk, dan
menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian, pengobatan rutin dari varicella pada orang
dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun tidak diuji, ada kemungkinan bahwa famciclovir, yang
diberikan dengan dosis 500 mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis 1000 mg
per oral setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir pada remaja normal dan
dewasa, Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella selama kehamilan karena
risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui. Sementara dokter lain
merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral untuk infeksi pada tri semester ketiga ketika
organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada peningkatan terjadinya resiko pneumonia
varicella, dan ketika infeksi dapat menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian acyclovir
intravena sering dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan varicella yang disertai dengan
penyakit sistemik. 4

Komplikasi varicella pada orang normal


Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa imunokompeten dengan

pneumonia varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 36 jam dari rumah
sakit) dengan acyclovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam) dapat mengurangi demam dan
takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi serius lainnya dari varicella di orang
dengant imunokompeten, seperti ensefalitis, meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi
okular, sebaiknya diobati dengan acyclovir intravena. 4

Pasien dengan defisiensi imun


Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan varicela menunjukkan

bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena menurunkan insiden komplikasi yang mengancam
kehidupan visceral ketika pengobatan dimulai dalam waktu 72 jam dari mulai timbulnya ruam.
Acyclovir intravena menjadi standar perawatan untuk varicella pada pasien yang disertai dengan
imunodefisiensi substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan famciclovir atau
valacyclovir mungkin cukup untuk pasien dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh,
tetapi tidak ada uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti. 4

2.9 Pencegahan

Vaksin varicella

Karakteristik
Vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan, yang

berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin diisolasi oleh Takahashi pada awal tahun 1970 dari
cairan vesikular yang berasal dari anak sehat dengan penyakit varicella. Vaksin varicella ini
dilisensikan untuk penggunaan umum di Jepang dan Korea pada tahun 1988. Vaksin ini diijinkan
di Amerika Serikat pada tahun 1995 untuk orang-orang usia 12 bulan dan yang lebih tua. 1

Keefektifan vaksin
Setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin varicella antigen, 97% dari anak yang

berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan titer antibodi yang dapat terdeteksi.
Sedangkan lebih dari 90% dari responden vaksin mempertahankan antibodi untuk setidaknya 6
tahun. Dalam studi di Jepang, 97% dari anak-anak memiliki antibodi 7 sampai 10 tahun setelah
vaksinasi. Efikasi vaksin diperkirakan memiliki ketahanan 70% sampai 90% terhadap infeksi,
dan 90% sampai 100% terhadap penyakit sedang atau berat.3,7
Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan yang lebih tua,
rata-rata 78% mengembangkan antibodi setelah pemberian satu dosis, dan 99% mengembangkan
antibodi setelah pemberian dosis kedua yang diberikan 4 sampai 8 minggu kemudian. Antibodi
bertahan selama minimal 1 tahun pada 97% dari pemberian vaksin varicella setelah dosis kedua
yang diberikan pada 4 sampai 8 minggu setelah dosis pertama.3
Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di sebagian besar vaksin.
Infeksi pada orang yang pernah mendapat vaksin secara signifikan lebih ringan, dengan lesi
sedikit (biasanya kurang dari 50), banyak yang makulopapular daripada vesikuler. Dimana
kebanyakan orang yang pernah mendapat vaksinasi sebelumnya tidak terjadi demam. 3,7
Meskipun pada penemuan dari beberapa studi telah menyarankan sebaliknya,
penyelidikan sebagian belum diidentifikasi waktu sejak vaksinasi sebagai faktor risiko untuk
terobosan varicella. Beberapa, tetapi tidak semua, penyelidikan baru-baru telah mengidentifikasi
adanya asma, penggunaan steroid, dan vaksinasi di lebih muda dari 15 bulan usia sebagai faktor
risiko untuk terobosan varicella. Terobosan infeksi varicella bisa menjadi hasil dari beberapa
faktor, termasuk gangguan replikasi virus vaksin oleh sirkulasi antibodi, vaksin impoten akibat
kesalahan penyimpanan atau penanganan, atau pencatatan tidak akurat. 1
Penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kedua vaksin varicella meningkatkan
kekebalan dan mengurangi penyakit terobosan pada anak-anak. 1

Jadwal vaksinasi dan penggunaan

Vaksin varicella dianjurkan untuk semua anak tanpa kontraindikasi yang berusia 12
sampai 15 bulan. Vaksin ini dapat diberikan kepada semua anak pada usia ini terlepas dari
riwayat varicella. 1
Dosis kedua vaksin varicella harus diberikan pada 4 sampai 6 tahun kemudian . Dosis
kedua dapat diberikan lebih awal dari 4 sampai 6 tahun jika setidaknya 3 bulan telah berlalu
setelah dosis pertama (yaitu, interval minimum antara dosis vaksin varicella untuk anak-anak
berusia di bawah 13 tahun adalah 3 bulan). Namun, jika dosis kedua diberikan setidaknya 28 hari
setelah dosis pertama, dosis kedua tidak perlu diulang. Dosis kedua vaksin varicella ini juga
dianjurkan bagi orang yang lebih tua, dimana vaksin varicella diberikan kepada orang-orang 13
tahun atau lebih pada 4 sampai 8 minggu kemudian.. 1
Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan. Vaksin varicella telah
terbukti aman dan efektif pada anak-anak yang sehat bila diberikan pada saat yang sama sebagai
vaksin MMR di lokasi terpisah dan dengan jarum suntik yang terpisah. Jika vaksin varicella dan
MMR tidak diberikan pada kunjungan yang sama, maka pemberian harus dipisahkansetidaknya
28 hari. Vaksin varicella juga dapat diberikan simultan (tapi di lokasi terpisah dengan jarum
suntik yang terpisah) dengan semua vaksin anak lainnya. 1

Profilaksis pasca terpapar


Data dari Amerika Serikat dan Jepang dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa

vaksin varicella ternyata efektif sekitar 70% sampai 100% dalam mencegah penyakit atau
terjadinya keparahan penyakit jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan mungkin sampai 5 hari,
setelah paparan. ACIP merekomendasikan vaksin untuk digunakan pada orang yang tidak
terbukti memiliki kekebalan terhadap varicella atau pada orang yang terpapar varicella. Jika
paparan terhadap varicella tidak menyebabkan infeksi, vaksinasi pasca paparan harus diberikan
untuk memberi perlindungan terhadap paparan berikutnya. 1
Wabah varicella yang terjadi dalam beberapa keadaan (misalnya,pada tempat penitipan
anak, dan sekolah) dapat bertahan sampai dengan 6 bulan. Tetapi vaksin varicella diketahui telah
berhasil digunakan untuk mengendalikan wabah. ACIP merekomendasikan pemberian dosis
kedua vaksin varicella untuk pengendalian wabah. Jadi selama wabah varicella, orang-orang
yang telah menerima satu dosis vaksin varicella harus menerima dosis kedua, yang diberikan

sesuai dengan interval vaksinasi yang telah berlalu sejak dosis pertama (3 bulan untuk orang
yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun dan setidaknya 4 minggu untuk orang yang berusia 13
tahun dan lebih tua). 1

Kontraindikasi dan tindakan pencegahan untuk vaksinasi


Seseorang dengan reaksi alergi yang parah (anafilaksis) dengan komponen vaksin atau

setelah dosis sebelumnya, seharusnya tidak menerima vaksin varicella. Orang dengan
imunosupresi karena leukemia, limfoma, keganasan umum, penyakit defisiensi imun, atau terapi
imunosupresif tidak harus divaksinasi dengan vaksin varicella. Namun, pengobatan dengan dosis
rendah (kurang dari 2 mg / kg / hari), topikal, penggantian, atau steroid aerosol bukan merupakan
kontraindikasi untuk vaksinasi. Orang yang imunosupresif yang diterapi dengan steroid telah
dihentikan selama 1 bulan (3 bulan untuk kemoterapi) dapat divaksinasi.1,5
Orang dengan imunodefisiensi seluler sedang atau berat akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), termasuk orang-orang yang didiagnosis dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) tidak boleh menerima vaksin varicella. Anak yang
terinfeksi HIV dengan persentase CD4 T-limfosit 15% atau lebih tinggi, dan anak-anak yang
lebih tua dan orang dewasa dengan jumlah CD4 200 per mikroliter atau lebih tinggi dapat
dipertimbangkan untuk vaksinasi. 1
Wanita yang diketahui hamil atau mencoba untuk hamil sebaiknya tidak menerima vaksin
varicella. Sampai saat ini, tidak ada bukti yang merugikan kehamilan atau janin yang dilaporkan
di kalangan perempuan yang secara tidak sengaja menerima vaksin varicella sesaat sebelum atau
selama kehamilan. Tetapi ACIP merekomendasikan kehamilan harus dihindari selama 1 bulan
setelah menerima vaksin varicella. 1,5
Vaksinasi pada orang dengan penyakit akut, sedang atau berat sebaiknya ditunda sampai
kondisi telah membaik. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
komplikasi pada pasien , seperti demam. Pada penyakit yang cenderung ringan , seperti otitis
media dan infeksi saluran pernapasan atas, mendapat terapi antibiotik, dan paparan atau
pemulihan dari penyakit lain tidak kontraindikasi terhadap vaksin varicella. Meskipun tidak ada
bukti bahwa baik varicella atau vaksin varicella memperburuk tuberkulosis, vaksinasi tidak
dianjurkan untuk orang-orang yang dikenal memiliki TB aktif. 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Kingnate, D : Epidemiology of Emerging and Reemerging Infectious Diseases, DTM&H


Course Lecture, 2002, Faculty of Tropical Medicine, Bangkok, Thailand.
2. Penyakit Tropis, http://satumed,com/index.html/pria/60/0.2598.0/
3. www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/varicella.pdf
4. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Adhi, Edisi Enam Cetakan Kedua,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2010, hal 115
5. Wolff, Klaus. Johnson, Richard Allen. Fitzpatricks Color Atlas and Sypnosis of Clinical
Dermatology sixth edition, 2009, page 831-835
6. Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. Fitzpatricks Dermatology
in general medicine seventh edition, vol 1 and 2, 2008, page 1885-1895
7. Anonim, Varicella ( chickenpox ), 2009. ( http://www.ncirs.edu.au/immunisation/factsheets/varicella-fact-sheet.pdf )

You might also like