You are on page 1of 12

Elevasi Kepala Memperbaiki Tampakan Laring dengan

Menggunakan Direk Laringoskop


Abstrak
Tujuan penelitian : Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perubahan posisi kepala
terhadap tampakan laring pada subjek yang sama.
Desain : Prospektif, secara acak, perbandingan silang tampakan laring.
Pasien : Seratus enam puluh tujuh pasien dewasa yang bersedia dan dijadwalkan akan
menjalani operasi elektif dengan anestesi umum.
Intervensi : Setelah pasien diinduksi dan diberikan pelumpuh otot dan posisi kepala
diekstensikan, pandangan laring di klasifikasikan menjadi tiga tingkatan berbeda berdasarkan
posisi tingginya kepala. Sebuah bantal tiup yang dapat di kembang-kempiskan diletakkan di
bawah kepala subjek sebelum induksi. Dikempiskan untuk menurunkan ketinggian elevasi
atau dikembangkan untuk menghasilkan ketinggian 6 cm (sniffing position), atau ketinggian
10 cm (elevated sniffing position) pada keadaan random.
Hasil : Insiden dari kesulitan laringoskop (grade 3) adalah 8,38% tanpa elevasi kepala,
2,39% pada sniffing position dan 1,19% pada elevated sniffing position .Elevasi kepala tidak
berhubungan dengan buruknya tingkatan pada pasien manapun.
Kesimpulan : sniffing position memperbaiki paparan glotic ketika tingkatan laringoskopik
lebih besar dari 1 dibandingkan dengan posisi kepala mendatar. Elevated sniffing position
memperbaiki pandangan agar lebih baik pada beberapa pasien. Karena elevasi kepala tidak
behubungan dengan tingkat kesulitan pada pasien manapun, elevated sniffing position harus
dipertimbangkan sebagai posisi awal sebelum direk laringoskop ketika kesultian dicurigai.

1. Introduksi
sniffing position (SP) merupakan posisi yang telah direkomendasikan untuk
melakukan direk laringoskop pada dewasa. Untuk mencapai SP, leher semestinya di
ekstensikan pada sendi atlanto-occipital [2]. Kelebihan dari SP dibandingkan ekstensi kepala
sederhana telah masih dipertanyakan [3-4]. Selain itu, kekokohan anatomi dari teori 3 sumbu
kesejajaran yang membenarkan penggunaannya juga sudah ditantang [5,6]. Sebaliknya SP
1

dan elevasi kepala berhubungan dengan tampakan glottis yang lebih baik pada pasien dengan
tampakan awal yang sulit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi kepala
optimal yang menggambarkan tampakan laring yang paling baik dan sehingga dapat menjadi
posisi awal kepala yang direkomendasikan pada direk laringoskop.
2. Metode
Setelah mendapat persetujuan dari Illinois Masonic Medical Center Institutional
Review Board, surat persetujuan (informed consent) telah didapatkan dari 170 pasien dewasa
dengan status ASA 1-3 yang telah dijadwalkan akan menjalani operasi elektif yang
membutuhkan intubasi endotracheal. Pasien yang memiliki riwayat intubasi sulit, gigi yang
ompong, penyakit refluks gastroesofageal, obesitas berat (Body Mass Index [BMI] > 35
kg/m2 atau dikhawatirkan adanya resiko aspirasi di eksklusi dari penelitian ini. Sebelum
evaluasi jalan nafas preanestesi beberapa parameter telah dicatat, diantaranya : IMT,
pembukaan mulut, jarak thyromental, jangkauan gerakan leher dan klasifikasi Mallampati
yang dimodifikasi. Monitoring sesuai standar ASA diterapkan dengan premedikasi yang
diberikan ialah midazolam (2mg) dan fentanyl (1.5 g/kg) dan preoksigenasi yang diberikan
3-5 menit dengan pernafasan tidal volum dengan menggunakan face-mask yang ketat. Sebuah
bantal khusus yang dapat ditiup diletakkan dibawah kepala pasien, didesain untuk dapat
membuat elevasi kepala sedemikian rupa. Ketika bantal mengembang penuh mengakibatkan
elevasi kepala setinggi 10 cm dan ketika dikempiskan penuh tidak ada elevasi kepala (posisi
kepala datar). Obat induksi anestesi yang digunakan ialah propofol (2 mg/kg) diikuti dengan
rocuronium (0,6 mg/kg) dan manual.
Usaha laringoskopi digunakan menggunakan laringoskop machintosh, ukuran 3 atau 4
untuk menilai tampakan laring pada 3 posisi yang berbeda.:
1. Tidak ada elevasi kepala.ketika bantal khusus dikempiskan dan hanya sedikit ekstensi
kepala.
2. Sniffing position : elevasi occiput 6 cm (sekitar 35 fleksi kepala) dengan sedikit ekstensi
kepala.
3. Elevated sniffing position (ESP) : elevasi occiput 10 cm (>35 fleksi kepala) dengan sedikit
ekstensi kepala.

Pengaplikasian ekstensi kepala dengan derajat yang sama pada 3 posisi kepala yang
berbeda. Seorang asisten memperhatikan tampakan dari profil kepala untuk membantu
menstandarisasi posisi wajah pada 3 posisi yang dipelajari.
Dengan kepala yang telah diposisikan sesuai dengan posisi awal, blade laringoskop
dimasukkan lalu tampakkan dinilai. Ketika laringoskop masih di dalam rongga mulut, bantal
diatur sedemikian rupa ke 2 posisi yang telah dipersiapkan lalu tampakannya dinilai. SP dan
ESP di dilakukan dengan cara mengembangkan bantal khusus tersebut sesuai dengan
ketinggian yang diinginkan dan penggaris digunakan untuk memastikan ketinggian tersebut.
Pengacakan urutan pengembangan tinggi bantal dengan cara menetapkan penerapan
secara acak dengan menggunakan metode komputerisasi, amplop tertutup berisi 1 kartu dari 6
kemungkinan urutan pada saat informed consent pasien didapatkan. Selama preoksigenasi,
amplop dibuka dan urutan elevasi kepala diketahui pada saat itu. Untuk mengklasifikasikan
tampakan laring, sistem tingkatan Cormack dan lehanes dengan modifikasi benumofs
digunakan.
1. Grade 1a: Seluruh pita suara, termasuk comisura anterior dapat dilihat.
Grade 1b: ketika hanya sebagian (tidak seluruh) pita suara terlihat. Rentang skor dari 1.1
(90% pita suara terlihat) sampai 1.9 (hanya ketika 10% terlihat).
2. Grade 2: Hanya arytenoid yang dapat dilihat, dan tidak ada bagian dari pita suara terlihat.
3. Grade 3: Hanya epiglottis terlihat
4. Grade 4: Epiglotis tidak dapat terlihat
Tampakan pada tingkatan tersebut tidak menggunakan teknik External Laryngeal
Manipulation (ELM). Tiga laringoskopis yang melakukan prosedur penelitian telah menjalani
pelatihan untuk memakai gaya angkat yang sama pada laringoskop selama penelitian ini.
Dasar penelitian ini ialah untuk menjaga daya angkat laringoskopis pada 3 posisi kepala yang
berbeda. Jika ELM atau peningkatan daya angkat laringoskop diperlukan untuk visualisasi
yang lebih baik (tingkat 3 atau 4 pada semua posisi), maneuver ini dilakukan setelah
tingkatan penglihatan dinilai pada ke-3 posisi. Sebuah serat optik yang fleksibel dan pada
jalan nafas yang sulit selalu dibutuhkan. Penggunaan ELM, keperluan untuk mengguanakan
stylet atau sebuah introducer, perlunya untuk meningkatkan daya angkat laringoskop dan
perlunya untuk visualisasi fiberoptic seluruhnya dicatat. Insiden dari laringoskop sulit
3

(didefinisikan tingkatan laringoskop tingkat 3


atau 4) pada setiap posisi kepala dicatat.
2.1 Analisis Statistik
Software G-Power versi 3.1 digunakan untuk
melakukan analisis sampel [ 13 ] . Semua analisa
statistik lain dilakukan dengan menggunakan
software SPSS versi 19.0 (SPSS, Chicago,Ill).
Apriori

daya

analisis

menunjukkan

bahwa

minimal 164 subjek akan diperlukan untuk dari


0,2 dan 0,5 , dan dengan asumsi ukuran efek
dari

0,1 di Tampilan

laringoskopi.

Untuk

mengimbangi kesalahan , 170 subyek yang


terdaftar. Data demografi ditampilkan sebagai
rata-rata SD atau / dan jumlah. Analisis statistic
laringoskopi melihat posisi elevasi kepala vs
adalah

dilakukan

dengan

SPSS

Tabulasi

Frekuensi , tes 2 ( rasio kemungkinan ), dan d uji


Somer itu . Signifikansi statistik diterima dengan
P b .05
Gambar. 1 3 posisi kepala disimulasikan. Kepala
dielevasikan menggunakan bantal tiup yang
ditempatkan di bawah tengkuk subjek, dan tinggi
elevasi dikonfirmasi oleh pemeriksa. Posisi
kepala dibagi menjadi (A) tidak ada elevasi
kepala, hanya ekstensi kepala sedikit, dan (B) elevasi kepala 6 cm dengan ekstensi kepala
sedikit. Elevasi kepala menyebabkan fleksi leher pada dada, dan (C) elevasi kepala 10 cm
(leher lebih fleksi) dengan ekstensi kepala sedikit. Sisipan: Dampak dari perubahan
ketinggian kepala yang berurutan pada pandangan laringoskopi didapatkan dari salah satu
subjek. Tanpa elevasi kepala (A), hanya epiglotis dapat dilihat. Elevasi enam sentimeter (B)
terkait dengan perbaikan tampakan. Corniculate dan bagian paling belakang pita suara bisa
dilihat. Elevasi sepuluh sentimeter (C) dikaitkan dengan perbaikan lebih lanjut dari derajat
laringoskopi. Setidaknya 90% dari pita suara dapat divisualisasikan.
4

3.Hasil
Seratus tujuh puluh pasien terdaftar dalam penelitian ini. Tabel 1 merangkum data
demografi dari pasien penelitian yaitu usia, jenis kelamin, BMI, klasifikasi Mallampati, dan
jarak thyromental. Tiga subjek dikeluarkan dari analisis karena kesulitan teknis pada saat
laringoskopi yang melibatkan peninggian bantal atau kebutuhan untuk mereposisi atau
melepaskan blade laringoskop. Dengan demikian, data diperoleh dari 167 pasien.
Tabel 1. Data demografis pada 167 pasien penelitian.
Tabel 1
Umur, y
Jenis kelamin

Data demografi pada 167 pasien


41,71 13,7 (18-87)
Laki-laki
92 (55,1)
Perempuan
75 (44,9)
IMT(kg/m)
29,3 4,6 (18-35)
Mallampati skor
1
83 (49,7)
2
61 (36,5)
3
23 (13,8)
Jarak tiromental
6 cm
12 (7,2)
> 6 cm
155 (92,8)
Pembukaan mulut
3 jari
167 (100)
< 3 jari
0 (0)
Ruang
gerak
atlanto- Normal
166 (99,4)
Terbatas (<35)
1 (0,6)
oksipital
Data yang ditampilkan sebagai rata-rata standar deviasi atau sebagai persentase.
Skor tingkatan penglihatan laringoskopi di 3 posisi ketinggian kepala yang berbeda
tercantum dalam Tabel 2. Analisis Chi-square, berdasarkan distribusi frekuensi nilai-nilai
laringoskopi,

mengungkapkan

bahwa

pandangan

laringoskopi

bertambah

dengan

meningkatnya ketinggian kepala dibandingkan ekstensi kepala sederhana tanpa elevasi


kepala. Insiden laringoskopi sulit (derajat 3) adalah 8.38% tanpa elevasi kepala, 2,39% di
SP, dan 1,19% di ESP (P < 0.0001). Kepala elevasi (pada SP atau ESP) keduanya
menghasilkan tampakan yang lebih baik dari pada

Tabel 2. Derajat Laringoskopi Cormack dan Lehane yang dimodifikasi oleh Benumof
dan Cooper pada 3 posisi kepala yang berbeda pada 167 pasien
1 (1a)

Tingkat laringoskop
1,1-1,9 (1b)
2

4
5

Ekstensi kepala sederhana 0 cm 24(14,4)

73 (43,7)

56 (33,5)

14 (8,4) 0 (0)

elevasi kepala
SP elevasi kepala 6 cm
ESP elevasi 10 cm

79 (47,3)
77 (46,7)

26 (15,6)
10 (6,0)

4 (2,4)
2 (1,2)

58 (34,7)
78 (46,7)

0 (0)
0 (0)

posisi kepala yang lebih rendah (221 dari 334 elevasi [66%]) atau nilai yang sama di
ketinggian yang tersisa (113 dari 334, atau 34%). Elevasi kepala tidak berhubungan dengan
perburukan tampakan pada satu pasienpun. Dari 26 pasien (52 elevasi dari 113 memiliki nilai
yang sama dengan kepala yang dielevasikan), 24 adalah tingkatana 1a pada posisi kepala
datar di antaranya tidak ada perbaikan lebih lanjut yang diharapkan dengan elevasi kepala.
Sisa 2 pasien pada tingkat

3 di ketiga posisi. Tidak ada tingkatan 4 dari pandangan

laringoskopi ditemui dalam pasien penelitian ini. Dengan tidak ada elevasi kepala (hanya
ekstensi kepala sederhana), 24 pasien memiliki tampakan tingkat 1a (14,4%), 73 pasien
memiliki tampakan tingkat 1b (43,7%), 56 pasien memiliki tampakan tingkat 2 (33,5%), dan
14 pasien tampakan tingkat 3 (8,4%). Saat tampakan laringoskopi pada tingkat 1a dengan
ekstensi kepala sederhana, tidak ada perubahan tingkatan yang diperoleh di salah satu dari 2
posisi lainnya. Namun, ketika ekstensi kepala sederhana pada tingkat 1b, SP memperbaiki
tampakan pada 61 pasien (83,6%) dan ESP menghasilkan perbaikan pada 64 pasien (87,7%)
bila dibandingkan dengan SP atau posisi kepala sederhana. Pada 56 pasien dengan tampakan
tingkat 2 dengan ekstensi kepala sederhana, SP memperbaiki tingkat tampakan pada 40
pasien (72%). Dalam 16 pasien tanpa perbaikan dengan SP, ESP memperbaiki tampakan pada
14 pasien, dan pada pasien tersebut trakea dapat di intubasi dengan ESP. Empat belas pasien
(8,4%) merupakan kelompok laringoskopi yang sulit (derajat 3) pada pasien tersebut hanya
epiglotis dapat terlihat selama ekstensi kepala sederhana. Sniffing position dikaitkan dengan
tampakan yang lebih baik pada 10 pasien (74%). Elevated Sniffing position menghasilkan
perbaikan lebih lanjut pada 2 dari mereka [dikaitkan dengan tampakan yang lebih baik di 12
dari 14 pasien laringoskopi sulit (85,7%) bila dibandingkan dengan ekstensi kepala
sederhana]. Sisipan pada Gambar. 1A-C menunjukkan tampakan laringoskopi 1 dari 2 pasien
yang tingkat tampakannya sebagai derajat

3 pada posisi kepala datar, dan perbaikan

tampakan dapat dicapai pada SP dengan perbaikan lebih lanjut pada ESP.
Trakea semua subjek berhasil diintubasi setelah evaluasi di semua 3 posisi. Tidak ada insiden
intubasi ke esofagus atau desaturation oksihemoglobin yang tercatat. Pada 2 pasien tingkat 3
dimana tidak ada perbaikan yang tercatat pada SP dan 6 pasien yang hanya arytenoids yang
terlihat pada SP (tingkat 2), intubasi trakea hanya bisa dicapai dalam ESP, yang membawa
bagian dari cords yang dapat dilihat (derajat 1b, 1,9 skor). Pada 2 pasien, satu tampakan
6

tingkat 3 diperoleh pada 3 posisi. Pada 1 pasien, ELM digunakan dalam ESP untuk
mengubah tampakan ke tingkat 2. intubasi trakea kemudian dicapai dengan bantuan sebuah
introducer tabung trakea. Pada pasien lain, laryngoscopist merasa bahwa elevasi melebihi
kapasitas dari bantal tiup kami mungkin lebih bermanfaat. Ketika oksiput lebih dielevasikan
dengan tangan asisten, tampakan berubah menjadi tingkat 2, dan trakea diintubasi dalam
posisi ini. Ketika diukur, oksiput pasien ini adalah 12 cm di atas permukaan meja.
4.Diskusi
Elevasi kepala tidak memperburuk paparan laring dalam setiap pasien dalam penelitian ini.
Dalam kebanyakan kasus, SP menghasilkan tampakan dan elevasi kepala yang lebih baik,
lebih tinggi dari itu dibutuhkan untuk mencapai SP, dan mengakibatkan visualisasi yang lebih
baik di beberapa subjek. Hanya sedikit penelitian yang meneliti dengan seksama bagaimana
perubahan posisi kepala mempengaruhi visualisasi laringoskopi selama DL, yang sebagian
besar memiliki keterbatasan serius yang membuat hasil mereka tidak dapat disimpulkan.
Schmitt dan Mang [8] menunjukkan bahwa elevasi kepala melebihi SP memperbaiki
visualisasi laring ketika tampakan tingkat 3 ditemui dengan SP. Penulis, bagaimanapun,
secara bersamaan melakukan 3 manuver untuk memperbaiki tampakan (elevasi kepala,
peningkatan gaya angkat blade, dan ELM). Meskipun mereka melaporkan perbaikan
tampakan di 19 dari 21 pasien, adalah mustahil untuk mengisolasi hanya efek elevasi kepala
pada perbaikan ini. Peningkatan gaya angkat dan ELM (jika diperlukan) hanya diizinkan
setelah menentukan derajat tampakan, sehingga hasilnya hanya mencerminkan dampak
perubahan posisi kepala. Hochman dkk [14] mempelajari tampakan laring pada 3 posisi
kepala dan leher dan melaporkan paparan laring yang lebih baik dengan elevasi kepala.
Penulis menggunakan besi laringoskop yang jarang digunakan, dan nomenklatur yang
mereka gunakan untuk setiap posisi kepala membingungkan. Tidak ada titik akhir untuk
posisi tertentu, sehingga sulit untuk membedakan mana posisi yang benar-benar merupakan
SP yang tepat. Dalam studi lain, Levitan dkk [15] menggunakan kamera vidio untuk terus
merekam perubahan dalam tampilan laring saat mengganti posisi kepala dari datar ke elevasi
maksimal pada 7 mayat manusia segar. Peneliti menemukan bahwa peningkatan elevasi
kepala memperbaiki paparan laring pada semua kadaver. Tidak ada upaya pengacakan posisi
kepala, bagaimanapun, setidaknya 30% dari pita suara bisa divisualisasikan (tingkat
tampakan 1b) di posisi kepala datar pada semua kadaver. Kasus ini diragukan, seperti yang
dinyatakan penulis, seberapa efektif elevasi kepala dapat di contoh ketika benar-benar
diperlukan (derajat 3 atau 4).
7

Park dkk [16] membandingkan tampakan laringoskopi yang diperoleh tanpa bantal
dengan yang diperoleh menggunakan tinggi bantal 3, 6, dan 9 cm menemukan tampakan
yang diperoleh dengan tinggi bantal bantal 9 cm lebih unggul dibandingkan yang lain. Para
penulis menilai 4 tampakan berdasarkan 4 sisipan laringoskop yang berbeda (mereka harus
menempatkan atau menyingkirkan bantal sebelum setiap penilaian), yang bisa mengubah
posisi akhir blade selama setiap tindakan. Penggunaan bantal tiup memungkinkan penilaian
tampakan laringoskopi di posisi yang berbeda dengan penyisipan tunggal untuk menghindari
perubahan yang mungkin terjadi karena pengulangan laringoskopi dan untuk menurunkan
respon stres dan trauma yang mungkin terjadi dengan masing-masing tindakan.
Adnet dkk [3] melakukan studi MRI kepala dan leher dalam 3 posisi yang berbeda
pada 8 relawan terjaga dan menyimpulkan bahwa baik kepala datar atau SP tidak dikaitkan
dengan penyelarasan sumbu oropharyngolaryngeal. Harusnya tampakan laringoskopi
menghasilkan hasil yang sama, akan tetapi, SP tidak menunjukan kelebihan. Kepala subyek
tidak berada pada SP yang tepat [17], dan tidak ada laringoskopi yang pernah mencoba
(karena subjek relawan terjaga). Karena melakukan DL merupakan langkah kunci dalam
menyelaraskan 3 sumbu [18], kesimpulan penulis tidak dapat ditegaskan.
Dalam sebuah penelitian selanjutnya [4], pada kelompok yang sama peneliti
membandingkan SP dengan ekstensi kepala sederhana dan tidak menemukan perbedaan
dalam visualisasi laring pada kebanyakan pasien. Akan tetapi para penulis melaporkan
visualisasi yang lebih baik pada pasien obesitas dan pasien dengan ekstensi leher terbatas
pada SP. SP bermanfaat pada intubasi berpotensi sulit, dan tidak perlu untuk intubasi yang
lebih mudah [19]. Posisi kepala yang tepat mungkin tidak diperlukan bila tampakan pada
tingkat 1a dalam posisi kepala datar (karena tidak ada perbaikan lebih lanjut pada pasien yang
telah diharapkan atau dicapai tampakan yang sempurna). Pengaruh posisi yang tepat secara
instrumental, walaupun, ketika paparan yang sulit diantisipasi, misalnya, pada pasien obesitas
dan pasien dengan ekstensi leher terbatas, pada kedua kelompok dilaporkan oleh Adnet dkk
[4] mendapatkan keuntungan dari SP.
Mekanisme elevasi kepala (fleksi leher) menyebabkan perbaiakan pandangan selama
ekstensi leher, terjadi perpindahan anterior glotis, pergerakan laring menjauhi garis
penglihatan. Fleksi leher membuat laring bergerak keposterior, membawanya ke tampakan
yang lebih baik dan dengan usaha lebih sedikit [14]. Fleksi leher juga meningkatkan rentang
gerakan pada sendi atlanto-oksipital, dan memungkinkan lebih banyak ekstensi pada sendi
tersebut[20].

Perlu dicatat pada 2 pasien, hasil tampakan pada tingkat 3 pada 3 posisi. Kegagalan
untuk memperbaiki tampakan pada beberapa pasien menunjukkan terdapat beberapa
keterbatasan untuk memperbaiki tampakan yang potensial pada elevasi kepala. Dari 2 pasien,
1 pasien memiliki keterbatasan gerakan tulang belakang leher dan sangat membatasi ekstensi
atlanto-oksipital, dan pasien lainnya terdapat bantalan lemak submandibular yang mencegah
perpindahan lidah karena keterbatas ruang submandibula. Kesulitan serupa sebelumnya
dilaporkan meskipun posisi kepala tepat pada kondisi yang serupa [18,21]. Selain itu, pasien
tertentu dengan keterbatasan kemampuan fleksi leher atau siapapun dengan fleksi leher
(kepala elevasi) merupakan kontraindikasi karena kondisi patologis ini tidak dapat
meninggikan kepalanya harus dipertimbangkan (diperlakukan) seperti yang diantisipasi
sebagai subyek yang sulit dilaringoskopi / intubasi. Sebuah poin penting dapat ditangkap dari
pasien yang mana ketika kepalanya di elevasikan lebih dari 10 cm didapatkan tampakan yang
lebih baik dan intubasi trakea menjadi mungkin. Kejadian ini menunjukkan pada populasi
pasien tertentu, semakin tinggi elevasi kepala diperlukan untuk visualisasi yang lebih baik
[8]. Laringoskopi Direk tidak boleh dianggap sebagai proses statis, dan modifikasi dalam
posisi kepala awal harus selalu dilakukan untuk merospon paparan yang sulit sampai
tampakan terbaik diperoleh [22]. Ketinggian bantal tiup (atau perangkat serupa) dapat
menjadi tambahan yang berguna untuk mencapai tujuan ini, memungkinkan perubahan posisi
kepala dalam mencari tampakan terbaik tanpa perlu menambah atau mengurangi bantal,
selimut, atau sandaran kepala.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, pengukuran untuk gaya
angkat blade laringoskop itu tidak tersedia di kamar operasi kami. Para laryngoscopists dalam
penelitian kami, bagaimanapun, memiliki pelatihan sebelum menggunakan gaya angkat yang
sama dan selalu diingatkan untuk menggunakan usaha yang sama dengan tidak ada
perubahan dalam gaya angkat selama penelitian. Jika meningkatkan gaya angkat dianggap
perlu untuk visualisasi yang lebih baik, laryngoscopist menilai tingkatan pada pandangan
pertama dan setelah gaya angkat ditingkatkan. Selain itu, untuk mengurangi kesalahan pada
setiap perubahan gaya angkat yang terjadi, maka dilakukan pengacakan dari urutan posisi
kepala.
Kedua, DL dilakukan dengan blade Macintosh. Hasilnya belum tentu berlaku saat
blade yang berbeda digunakan dan posisi kepala terbaik dengan blade lain mungkin perlu
penyelidikan yang lebih lanjut. Posisi kepala terbaik untuk intubasi trakea dengan
videolaryngoscopy (laringoskopi tidak langsung) belum diteliti dan tidak dapat disimpulkan
dari hasil kami. Ketiga, pengaruh elevasi kepala yang lebih tinggi (lebih dari 10 cm) pada
9

tampakan laring tidak diteliti dalam penelitian ini. Elevasi yang lebih tinggi menghasilkan
tampilan yang lebih baik dan membuat intubasi mungkin pada 1 pasien. Kejadian ini hanya
sugestif dan elevasi kepala yang lebih tinggi membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.
Keempat, meskipun laryngoscopist tidak dapat melihat pada posisi kepala pertama, dia bisa
memberitahu urutan posisi berikutnya dengan memperhatikan pergerakan kepala ke atas atau
ke bawah. Ketidaktampakan pada ketiga posisi dapat dilakukan jika mata laryngoscopist itu
terlindung sebelum perubahan posisi dan ketika pelindung dilepas posisi baru diasumsikan.
Karena masalah keselamatan pasien, kami memilih untuk tidak melakukan perisai mata.
Ketidaktampakan tersebut secara teknis sulit dan mungkin mustahil ketika perubahan dan
efek yang terjadi di daerah anatomi yang sama. Kemungkinan mengambil foto dari
pandangan laringoskopi dalam 3 posisi dan kemudian di analisis oleh penilai yang tidak
melihat bisa memecahkan masalah ini. Kelima, tidak ada pasien kami memiliki BMI lebih
besar dari 35 kg / m2.
Mungkin, elevasi kepala optimal pada populasi pasien tersebut berbeda dari populasi
penelitian yang dipelajari (rata-rata BMI, 29,3 4,6 kg / m2). Demikian pula,
menghubungkan ketinggian optimal (menghasilkan tampilan terbaik) dengan panjang leher
atau Sniffing Position lingkar leher tidak diselidiki dan mungkin perlu penelitian lebih lanjut.
Sebagai kesimpulannya, SP dihubungkan dengan tampakan laring yang lebih baik
ketika tingkat tampakan lebih dari 1a dalam posisi ekstensi kepala sederhana. ESP dikaitkan
dengan perbaikan lebih lanjut tingkat laringoskopi di sebagian besar peserta. Karena
tampakan di ESP tidak kalah dalam setiap subjek tunggal dengan yang diperoleh dengan
sedikit atau tidak ada elevasi, posisi ini harus direkomendasikan sebagai posisi awal intubasi
sebelum DL pada orang dewasa.
Daftar Pustaka
[1] El-Orbany M, Woehlck H, Salem MR. Head and neck position for direct laryngoscopy.
Anesth Analg 2011;113:103-9.
[2] Horton WA, Fahy L, Charters P. Defining a standard intubating position using angel
finder. Br J Anaesth 1989;62:6-12.
[3] Adnet F, Borron SW, Dumas JL, Lapostolle F, Cupa M, Lapandry C. Study of the sniffing
position by magnetic resonance imaging. Anesthesiology 2001;94:83-6.
[4] Adnet F, Baillard C, Borron S, Denantes C, Lefebvre L, Galinski M, Martinez C, Cupa M,
Lapostolle F. Randomized study comparing the sniffing position with simple head
10

extension for laryngoscopic view in elective surgery patients. Anesthesiology


2001;95:836-41.
[5] Chou HC, Wu TL. A reconsideration of three axes alignment theory and sniffing position.
Anesthesiology 2002;97:753-4.
[6] Adnet F, Borron SW, Lapostolle F, Lapandry C. The three axes alignment theory and the
sniffing position: Perpetuation of an anatomical myth? Anesthesiology 1999;91:1964-5.
[7] Lebowitz PW, Shay H, Straker T, Rubin D. Shoulder and head elevation improves
laryngoscopic view for tracheal intubation in nonobese as well as obese individuals. J Clin
Anesth 2012;24:104-8.
[8] Schmitt HJ, Mang H. head and neck elevation beyond the sniffing position improves
laryngeal view in cases of difficult direct laryngoscopy. J Clin Anesth 2002;14:335-8.
[9] Mallampati SR, Gatt SP, Gugino D, Desai SP, Waraksa B, Friberger D, Liu PL. A clinical
sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study. Can Anaesth Soc J
1985;32:429-34.
[10] Samsoon GL, Young JR. Difficult tracheal intubation: a retrospective study. Anaesthesia
1987;42:487-90.
[11] Benumof JL, Cooper SD.Quantitative improvement in laryngoscopic view by optimal
external laryngeal manibulation. J Clin Anesth 1996;8:136-40.
[12] Cormack RS, Lehane J. Difficult tracheal intubation in obstetrics. Anaesthesia
1984;39:1105-11.
[13] Faul F, Erdfelder E, Buchner A, Lang A-G. Statistical power analyses using G*Power
3.1: tests for correlation and regression analyses. Behav Res Methods 2009;41:1149-60.
[14] Hochman II, Zeitels SM, Heaton JT. Analysis of the forces and position required for
direct laryngoscopic exposure of the anterior vocal folds. Ann Otol Rhinol Laryngol
1999;108:715-24.
[15] Levitan RM, Mechem CC, Ochroch EA, Shofer FS, Hollander JE. Head-elevated
laryngoscopy position: improving laryngeal exposure during laryngoscopy by increasing
head elevation. Ann Emerg Med 2003;41:322-30.
[16] Park S-H, Park H-P, Jeon Y-T, Hwang J-W, Kim J-H, Bahk J-H. A comparison of direct
laryngoscopic views depending on pillow height. J Anesth 2010;24:526-30.
[17] Benumof JL. Comparison of intubating positions: the end-point for position should be
measured. Anesthesiology 2002;97:750.

11

[18] Kitamura Y, Isono S, Suzuki N, Sato Y, Nishino T. Dynamic interaction of craniofacial


structures during head positioning and direct laryngoscopy in anesthetized patients with
and without difficult laryngoscopy. Anesthesiology 2007;107:875-83.
[19] Khorasani A, Candido KD, Saatee S, Ghaleb AH. To sniff or not to sniff: that is the
question. Anesthesiology 2002;97:752-3.
[20] Takenaka I, Aoyama K, Iwagaki T, Ishimura H, Kadoya T. The sniffing position provides
greater occipito-atlanto-axial angulation than simple head extension: a radiological study.
Can J Anaesth 2007;54:129-33.
[21] Calder I, Calder J, Crockard HA. Difficult direct laryngoscopy in patients with cervical
spine disease. Anaesthesia 1995;50:756-63.
[22] Murphy MF. Bringing the larynx into view: a piece of the puzzle. Ann Emerg Med
2003;41:338-41

12

You might also like