You are on page 1of 13

KEMENTERIAN KESEHATAN HI

SEKRETARIAT JENDERAL
Jelan Il.R. Rasuna S:lid BI~k X-5 Kavling 4 - 9 Jakarta 12950
Telepen: (021) 5201S90 (Imming)

Yang te-hormat,
1. Para Dill:lktUlI Kepala Rumah Sakit yang bekerjasalTa

oenqan BPJS '<esehalar

2. Oircktur Utama BPJS Kesehatan


:;. Kelua Psrhirnpunan

Rumah Sakit Indones a (PERSI)

4. Para Ketua Perhlmpu1anl


Oi

O-ganisasl

Profest Ookter Spesialis

Tcmpat
SURAT EDARAN

HK 03 03.'Xl11 B512C15
TENTANG
PEDOMAN

PENYELESAIAN

PERMASALAHAN

PENYELENGGAHAAN

AerdaSArkAn
Kesehatan Nasionet

pe1JedilClJl

tarslr

nen;,aklbatkar

pendapal

dalam proses klaim INA-CBG

antara

pihak

RS dan

Rujukan TIngkat Lanjut (FKRll


Inl dltujukon

dalarn hal terjlldi

BPJS

Jamman

masih dilemukan

Kesehalan

sehingg3

!;ntuk membenkan

uerbedaan

dan keputusan

aeuan kepada

larsir alav pendapat


101.

yang telah disepakati

dan Perhimpunan

Keoada

sarna sebaqaimana terlamorr dalcm surat edaran

BPJS Kesenatar

Program

terjadmya oenonoaan pembayaran kJalm oren BPJS Kcsehatan

Sural Ederen

telaah, analisis

NASIONAL

hasit monitoring dan evaluasl penyelenggaraa1

atau

Fasilitas Keseratan

Kesehaton

JAMINJl.N KESEHATAN

tJKN) khusus-iya

nAt AM

KLAIM INA-CRG

FKRTL dan BPJS

pads kasus-kasus

Pedomar
oleh

101

meruoakan

Kemertcnan

yang
hasH

Kesehatan,

Dokle- Speslalis

Demikian Swat Edaran loi dl samoaikan

l.nluk dapat dllaksanakan

sebaqairnana

mesfnya.

[)ilelapkan
~.,,!anggaI23

..-~e~s

dl Jakar:a
juni
Jenderal.

~\

"

'"
.

I'

dr ~. ~~.~'Suseno

,.
Sutarjo, M Kes

;..'i'tt~101719040310C4
.=;___~:.

2015

LAMPIRAN I
NO

utama
HIV

Kode Diagnosis-Prosedur
Sekunder
Prosedur

Perihal
Pada kasus-kasus HIV ditambahkan
kode candidiasis (B.37)

Candidiasis (B37)

1. Koding Hipertensi disertai dengan


kode CHF

Hipertensi
(I10-I15)

2. Koding Hipertensi disertai kode RF


dampak: Peningkatan severity level

Penagihan Top Up obat kelasi/


Thalasemia (Deferipron Deferoxsamin)
dalam sebulan lebih dari 1x

Thalasemia
(D56.1)

Kesepakatan
Pada kasus HIV tidak dapat dikoding sendiri-sendiri/terpisah tetapi dikoding dengan kode kombinasi,
jadi seharusnya B20.4 dan B.37 tidak dicoding

Diagnosis hipertensi dan gagal jantung atau dan gagal ginjal hanya dapat dikoding dengan satu koding
kombinasi tanpa mengentri gagal jantung/gagal ginjalnya ( Permenkes no. 27 Tahun 2014 )

Top up klaim obat kelasi (pada klaim rawat inap) hanya dapat dikoding 1x sebulan (sesuai Permenkes
No.59 tahun 2014)

Hiperglikemia dicoding terpisah dengan


diagnosis utama seperti DM (E10-E14)

Hiperglikemia
(R73.9)

Hiperglikemi (R73.9) tidak dapat menjadi diagnosa utama jika ada diagnosa lain yang lebih spesifik
Dampak : secara nilai klaim tidak ada,
kecuai dibalik menjjadi diagnosis primer

Tonsilektomi
dengan Kauter
Faring (28.2 dan
29.39)

Tonsilektomi selalu dikoding dengan


kauter faring
Dampak: peningkatan biaya akibat
perubahan grouping

Appendectomy
dengan
laparotomi
(47.0+54.1)

Tindakan operasi yang membuka


lapisan perut dikoding terpisah dengan
kode tindakan utama

Herniotomi
dengan
laparotomi
(53.9+54.1)

Dampak: Meningkatkan biaya, hasil


grouping berbeda atau bertambah

Prosedur yang merupakan bagian dari prosedur utama tidak dapat dikoding

Prosedur yang merupakan bagian dari prosedur utama tidak dapat dikoding

Tindakan operasi dikoding terpisahpisah misalnya SC/appendectomy


Insisi Peritoneum
dengan insisi peritoneum
(54.95)
Dampak: meningkatkan biaya,hasil
grouping berbeda atau bertambah

Prosedur yang merupakan bagian dari prosedur utama tidak dapat dikoding

LAMPIRAN I
NO

utama

Kode Diagnosis-Prosedur
Sekunder
Prosedur

Perihal

Kesepakatan

Persalinan normal sering dikoding


dengan lacerasi perineum dengan
tindakan repair perineum (75.69)
9

Repair Perineum
Dampak: entri tindakan repair perineum Repair pada rutin episiotomy saat persalinan normal dikoding dengan 73.6 (bukan kode 75.69)
(75.69)
(75.69) akan menyebabkan perubahan
grouper menjadi O-6-12I dengan biaya
klaim yang lebih tinggi dari grouper
persalinan normal
USG pada
Kehamilan

10

Penggunaan kode 88.76 atau 88.79


pada koding USG kehamilan, biasanya
pada kasus rawat jalan

(88.76/88.79)
Dampak: biaya klaim kode 88.76/88.79
lebih tinggi dibandingkan kode 88.78
Pada kasus-kasus degan pemasangan
WSD (34.04) sering disalahgunakan
dengan menambah koding puncture of
lung (33.93)
Dampak: peningkatan biaya karena
koding 33.93 akan merubah hasil
grouper menjadi lebih tinggi

11

WSD dan
puncture of lung

12

Pada operasi atau tindakan yang perlu


Endotrakeal Tube
pemasangan endotracheal tube
(96.04)
dikoding terpisah

USG pada kehamilan dapat dikoding menggunakan kode 88.78 ( bila terbukti melakukan tindakan
USG)

Koding tindakan WSD adalah 34.04

Prosedur yang merupakan bagian dari prosedur utama tidak dapat dikoding

Pada kasus Skin graft, tidak dapat dijamin pada yang berhubungan dengan kosmetik
13

Skingraft

14

Educational
Therapy (93.82)

Skin graft ditagihkan pada kasus kelloid, Catatan: perhatian penggunaan koding graft, pastikan tindakan graft wajar dilakukan pada pasien
(misalnya pada luka/injury yang luas dan dalam), jika hanya luka kecil dikoding skin graft (86.69) perlu
sellulitis, dll
dikonfirmasi.
Educational therapy pada konsultasi ke
dokter misalnya dokter gizi) pada klaim
rawat jalan

1. Episode sesuai dengan aturan episode rawat jalan, educational therapy bukan untuk konsultasi gizi
2. Pelayanan poli Gizi adalah yang dilakukan oleh dokter spesialis gizi klinik

LAMPIRAN I
NO

utama

Kode Diagnosis-Prosedur
Sekunder
Prosedur

15

16

Collar Neck

Penggunaan Collar neck dikode


Insertion Other Spinal Device (84.59)
karena langsung dikode oleh dr. Sp.OT

Kesepakatan

Tidak perlu dikoding karena Collar neck termasuk alat kesehatan yang dibayar tidak menggunakan
sistem INA-CBG.

Pasien hamil dirawat dr. Sp.PD dengan


Jika Sp.PD yang merawat : koding diagnosis utama: kode DHF (A91), sedangkan diagnosis sekunder
kasus penyakit dalam (Contoh DHF).
adalah kode "O"
Diagnosis sekundernya bagaimana??

DHF pada
pasien hamil

Peserta yang dirawat inap di ruangan


IGD atau ruang non kelas seperti ruang
observasi/peralihan/ruangan
Kelas klaim dibayarkan setara dengan kelas 3
kemoterapi, klaim ditagihkan sesuai hak
kelas peserta (kelas 1-3)
Anemia pada persalinan:
Penggunaan Anemia sebagai diagnosis
1. Standar Diagnosis Anemia dapat menggunakan standar WHO
sekunder pada beberapa diagnosa
utama seperti : persalinan, gagal Ginjal,
2. jika terdapat bukti klinis (lab) anemia tetap dicoding
dll. Menyebabkan peningkatan biaya
klaim.
Anemia sebagai diagnosis sekunder adalah anemia yang disebabkan oleh:

17 Kelas rawat

18

Perihal

Anemia

Dampak : Peningkatan Severity Level


menjadi II

1.Komplikasi penyakit utamanya ( dimana terapi anemia berbeda dengan terapi utamanya, contoh :
pasien kanker payudara yg diradioterapi , pada perjalanannnya timbul anemia maka anemia tersebut
dapat dimasukkan diagnosa sekunder dan stadium lanjut, dll) yang memerlukan transfusi darah dan
eritropoetin harus dimasukkan
2. Anemia gravis ( dibawah 8 ) pada penyakit kronik ( gagal ginjal kronik, kanker kedalam diagnosa
sekunder karena memerlukan pengobatan khusus yg berbeda dari penyakit dasarnya.

19

Leukositosis

20

Malnutrisi
Kaheksia (R64)

21

Leukositosis dengan penambahan kode


D728 sebagai diagnosis sekunder,
sering disalahgunakan saat hasil
Leukositosis (D72.8) yang dimasukkan sebagai diagnosis sekunder bukanlah leukositosis yang
laboratorium leukosit meningkat
disebabkan karena infeksi atau karena pemberian obat-obatan (GCSF, Steroid) dan myeloproliferatif
walaupn tidak mengikat dan tidak ada
neoplasma (MPN)
terapi spesifik.
Dampak: peningkatan severity level
menjadi II
Penggunaan Malnutrisi dan Kaheksia
sebagai diagnosa sekunder

Diagnosis menyertakan bukti klinis (penilaian status gizi, IMT,dll)


Termasuk pada kanker stadium lanjut dimasukkan sebagai diagnosa sekunder karena memerlukan
penatalaksanaan khusus

LAMPIRAN I
NO

utama

Kode Diagnosis-Prosedur
Sekunder
Prosedur
Kaheksia
(R64)

21

22

23

24

Gagal Ginjal
Akut/AKI (N17)

LeukopeniaAgranulositosis
(D70)

Gas Gangrene
(A48.0)

Perihal

Dampak: peningkatan severity level


menjadi II
AKI sebagai diagnosis sekunder,
Kriteria Diagnosis Gagal Ginjal Akut (N17.9):
biasanya sering disalahgunakan pada
hasil laboratorium ureum kreatinin yang
1. Terjadi peningkatan/penurunan kadar kreatinin serum sebanyak 0,3 mg/dl
meningkat tidak bermakna
2. Terjadi penurunan jumlah urin 0,5ml/Kg/Jam dalam 6 jam
Dampak: peningkatan severity level
menjadi III
Kode Agranulositosis sebagai diagnosis
sekunder, biasanya disalahgunakan
pada hasil laboratorium leukosit yang
1. Dalam penegakan diagnosis perlu mencantumkan bukti medis (hasil lab)
menurun tetapi tidak bermakna
(misalnya pada pasien-pasien
kemoterapi juga dikoding D70 karena
leukopeni)
Dampak: peningkatan severity level
menjadi III

2. Diagnosis leukopenia (D70) pada pasien kanker adalah leukosit dibawah 3000 dan harus dituliskan
diluar diagnosa kankernya karena hal ini berdampak pada pemberian GCSF pasca kemoterapi sampai
leukosit diatas atau sama dengan 5000

Penggunaan Gas Gangrene sebagai


diagnosis sekunder , biasanya
didiagnosis gangrene dikoding gas
gangrene

1. Penegakan diagnosis Gas Gangrene : pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya krepitasi dibawah
kulit dan mukosa atau pada foto rontgen didapatkan adanya gas dilokasi gangren

Dampak: peningkatan severity level


menjadi III

25

Efusi Pleura (J90J91)

Kesepakatan
Termasuk pada kanker stadium lanjut dimasukkan sebagai diagnosa sekunder karena memerlukan
penatalaksanaan khusus

Penggunaan Efusi Pleura sebagai


Diagnosa sekunder menyebabkan
peningkatan biaya klaim

2. Sesuai kaidah ICD jika gangrene saja dapat dikode R02, Sedangkan pada kasus DM, Gas
Gangrene dikode A48.0 dan gangrene DM diberi kode E10-E14 (sesuai dengan jenis DM) dengan digit
terakhir .5 (contoh Gangrene DM Tipe 2 di kode E11.5).

Efusi Pleura dapat didiagnosis sekunder bila hasil pemeriksaan imaging (foto thoraks, USG, CT scan)
menunjukkan gambaran efusi atau/dan bila dilakukan proof punksi keluar cairan

Dampak: peningkatan severity level


menjadi III
Penggunaan Respiratory Arrest sebagai
Respiratory arrest dapat ditegakkan sebagai diagnosis sekunder bila:
diagnosis sekunder terutama pada
26

Respiratory Arrest
(R09)

Dampak: peningkatan severity level


menjadi III

(1). Terdapat usaha resusitasi dan atau pemakaian alat bantu nafas
(2). Bila terkait dengan diagnosis primer
(3).Merupakan perjalanan penyakit primer

LAMPIRAN I
NO

utama

Kode Diagnosis-Prosedur
Sekunder
Prosedur

Perihal

Kesepakatan

Penggunaan Pneumonia sebagai


diagnosis sekunder tanpa hasil rontgen
atau tanda klinis

27

Pneumonia/
Bronkopneumonia
dampak: meningkat severity level II

28

29

TB Paru (A15)

Disfagia (R13)

30

Kejang

31

Hemiparese/
Hemiplegia

32 vertigo

Pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan imaging minimal foto thoraks dan
berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan batuk produktif yang disertai dengan perubahan warna
sputum (purulensi) dan dari pemeriksaan fisik didapatkan suara nafas tambahan berupa ronki atau
suara nafas bronkial

Penambahan kode TB Paru sebagai


sekunder pada pasien dengan TB Paru TB Paru (A15-A19) tetap diltulis sebagai diagnosis sekunder apapun diagnosis primernya karena
merupakan komorbid yang harus tetap di pantau selama perawatan
yang sedang pengobatan OAT rutin
Dampak: peningkatan severity level
menjadi II
Disfagia pada kasus tonsilitis,
tonsilektomi, dll

Diagnosis sekunder Disfagia (R13) dapat dikoding bersama dengan Prosedur Tonsilektomi (28.2)
pada kondisi sebagai berikut :

Dampak: peningkatan severity level


menjadi II

(1). Pasien Anak


(2). Terdapat gizi kurang akibat gangguan menelan dimana berat badan kurang dibanding usia atau
IMT menurut usia

Penggunaan Kejang sebagai Diagnosa


sekunder menyebabkan peningkatan
Dampak: peningkatan severity level
menjadi II
Penambahan diagnosa
hemiplegia/Hemiparese sebagai
Diagnosa utama maupun sekunder

Jika diagnosis Kejang disertai hasil pemeriksaan penunjang (EEG) atau terapi yang sesuai
(diazepam, fenitoin, atau valproat) maka dapat di coding

Tidak ada masalah sebagai diagnosis sekunder jika memang di rekam medis pada catatan perawatan
Dampak: Sebagai diagnosis sekunder
dituliskan klinis hemiparesis (G81.9)
peningkatan severity level menjadi II,
sebagai diagnosis utama atau ditukar
dengan stroke akan meningkatkan biaya
dan severity level III
Indikasi vertigo yang dirawatinapkan:

vertigo dirawat inapkan

1.Vertigo (R.42) sentral dengan etiologi nya : Stroke (iskemik, hemoragik), infeksi akut dan kronik,
trauma kepala, tumor intraserebral dengan peningkatan tekanan intra kranial
2.Vertigo perifer dengan muntah-muntah hebat sehingga dapat menyebabkan terjadi hiponatremia/
hipokalemia/hipoglikemia/insufisiensi renal

LAMPIRAN I
NO

utama

Kode Diagnosis-Prosedur
Sekunder
Prosedur

Perihal
penatalaksanaan kasus penderita
katarak dan pterigium umumnya
dilakukan rawat inap

Kesepakatan
Operasi Katarak dengan Teknik
Phacoemulsification: Untuk operasi katarak
Indikasi Secara Umum Rawat Inap Pada
dengan Phacoemulsification (insisi 3 mm) maka
Operasi katarak:
pasien katarak tanpa penyulit dilakukan di rawat
jalan
Operasi Katarak dengan Teknik SICS (Small
Incicion Cataract Surgery):

a. Memakai Teknik ECCE (Ekstra Capsular


Cataract Extraction )

(1). Untuk operasi katarak dengan SICS (insisi


b. Katarak Pediatrik (anak anak: kongenital,
6 mm) maka dilakukan rawat jalan
juvenil)
(2) Pasien dilakukan rawat inap dengan tindakan
Phacoemulsification dan SICS apabila
a. Ada komplikasi selama operasi (during
opreration) yang memerlukan pemantauan intensif
setelah operasi

c. Katarak Hipermatur
d. Katarak dengan gangguan pendengaran,
kelainan jiwa/cacat mental dan dengan penyakit
sistemik( HHD, Decomp, hipertensi, Diabetes
mellitus, HBsAg+)

b.Operasi pada salah satu mata pasien dimana


mata yang lain visusnya sudah 0 (buta) atau one
eyes.

e. Kepatuhan pemakaian Obat

c. Jika ada underlying disease seperti : hipertensi,


DM, HbsAG(+), dll

f. Katarak dengan komplikasi penyakit mata (


contoh: Uveitis, glaukoma )

Operasi Katarak dengan Teknik ECCE (Ekstra


Capsular Cataract Extraction), ICCE (Intra
Capsular Cataract Extraction)

g. Luksasi lentis/subluksasi lentis, katarak


dengan iridodialisis,

Indikasi rawat inap Jika:

h. Katarak dengan sikatrik kornea

a. Insisi dilakukan lebih kurang 9 mm

i. Zonulysis

33 katarak

b. Waktu operasi lebih lama dibandingkan operasi j. Sinekia anterior/posterior lebih dari 180
dengan teknik Phaco
derajat>2 quadran
c. Untuk menghindari / meminimalkan resiko
infeksi, prolaps isi bola mata (iris, vitreous) paska
operasi
k. Katarak dengan komplikasi intra operatif
l. Katarak Grade 5 (Brunescent)
m. katarak + Glaukoma
n. katarak Post Vitrektomi

LAMPIRAN I
NO

utama

Kode Diagnosis-Prosedur
Sekunder
Prosedur

Perihal

Kesepakatan
o. katarak Post Uveitis
p. katarak Pada high Myopia
q. katarakTraumatika
r. Komplikasi Post operatif
s. Katarak + Ablatio Retina
t. katarak Polaris Posterior
u. Pasien2 yang memerlukan pemeriksaan
tambahan Khusus
v. pasien tidak kooperatif , baik krn usia muda
maupun keadaan psikologis pasien, cemas dll
Rawat Inap:
1. Pterigium (H11.0) Grade IV
2. Operasi dengan teknik Graft Conjungtiva, Flap conjungtiva, atau membran amnion baik dengan
jahitan atau membran glue

34

penatalaksanaan kasus penderita


katarak dan pterigium umumnya
dilakukan rawat inap

pterigium
(H11.0)

3. Pasien anak-anak atau pasien yang tidak kooperatif yang memerlukan anestesi umum
4. Ada keperluan sistemik yang memerlukan evaluasi baik dibidang mata maupun dari departemen
lain
5. Terdapat perdarahan masif atau komplikasi lain yang memerlukan evaluasi lebih lanjut
6. Transportasi sulit atau Jauh dari tempat pelayanan
Rawat jalan: Operasi Pterigium (H11.0) tanpa penyulit (Kondisi seperti yang diindikasikan pada Rawat
Inap) dan dikerjakan dengan Bare Sklera

Chalazion di rawat inapkan


35

36

Chalazion
(H001)

Dampak: peningkatan biaya akibat


rawat inap

Extrapiramidal
Syndrom

Tindakan ini dilakukan di Rawat jalan kecuali pada anak-anak yang belum kooperatif/ memerlukan
Anestesi Umum (GA)

1. Skala penilaian Gejala Ekstrapiramidal syndrom (G25.9) yang ditetapkan oleh Perhimpunan Dokter
Pasien Schizoprenia yang dalam
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (terlampir pada Lampiran II) digunakan sebagai panduan
pengobatan selalu ditambahkan koding
diagnosis Ekstrapiramidal Syndrom untuk dokter dan dapat dipergunakan sebagai verifikasi bersama
Extrapiramidal Syndrom (G25)
verifikator
2. Skala penilaian gejala Ekstrapiramidal syndrom yang di tetapkan oleh Perhimpunan Dokter
Dampak: peningkatan severity level
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (terlampir pada Lampiran II) dipergunakan sebagai verifikasi
menjadi II
bersama verifikator jika terjadi keraguan dianosis

Lampiran 2
NRM
Nama
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir

:
:
:
:

(mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

SKALA PENILAIAN GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL


(EXTRAPYRAMIDAL SYMPTOM RATING SCALE/ESRS)
I. GEJALA PARKINSON, DISTONIA, DAN DISKINESIA: Kuesioner
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang telah tersedia:
No
1

Pertanyaan
Perlambatan atau kelemahan yang nyata, ada kesan
kesulitan dalam menjalankan tugas rutin.
Kesulitan dalam berjalan dan menjaga
keseimbangan.
Kesulitan dalam menelan atau berbicara.

Kekakuan, postur tubuh kaku.

5
6

Kram atau nyeri pada anggota gerak, tulang


belakang dan atau leher.
Gelisah, nervous, tidak bisa diam.

Tremor, gemetar.

Krisis okulogirik atau postur tubuh yang abnormal


yang dipertahankan.
Banyak ludah.

9
10
11
12

tidak ada

Gerakan-gerakan involunter yang abnormal


(diskinesia) dari anggota gerak atau badan.
Gerakan-gerakan involunter yang abnormal
(diskinesia) dari lidah, rahang, bibir, atau muka.
Pusing pada saat berdiri (khususnya pada pagi hari).

ringan

sedang

berat

NRM
Nama
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir

:
:
:
:

(mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

II. GEJALA PARKINSON: Pemeriksaan Dokter


Pilihlah skor yang sesuai untuk tiap butir:
1.

2.

3.

Gerakan-gerakan ekspresif
otomatis (muka topeng/
bicara)

normal

1
2
3
4

=
=
=
=

penurunan yang sangat ringan dari ekspresi muka


penurunan ringan dari ekspresi muka
senyum spontan jarang, berkedip kurang, suara agak monoton
tidak ada senyum spontan, pandangan kosong, pembicaraan
perlahan dan monoton, bergumam
muka topeng yang nyata, tidak mampu mengerutkan dahi, bicara
pelo
muka topeng yang sangat nyata dengan pembicaraan yang sulit
dimengerti

normal

1
2
3
4
5

=
=
=
=
=

kesan perlambatan yang menyeluruh dari gerakan-gerakan


kelambatan yang nyata dalam gerakan
kesulitan yang sangat ringan dalam memulai gerakan
kesulitan ringan sampai sedang dalam memulai gerakan
kesulitan dalam memulai/menghentikan setiap gerakan atau
kekakuan dalam memulai gerakan volunter
jarang terdapat gerakan-gerakan terarah, hampir nampak tak
bergerak

Rigiditas

0
1

=
=

tonus otot normal


sangat ringan (hampir tidak terasa)

Ekstremitas kanan atas

ringan (ada tahanan terhadap gerakan-gerakan pasif)

Ekstremitas kiri atas

sedang (jelas ada tahanan terhadap gerakan-gerakan pasif)

agak berat (tahanan yang sedang tetapi masih mudah


menggerakkan lengan)

berat (tahanan yang nyata dengan kesulitan yang jelas dalam


menggerakkan ekstremitas)

sangat berat (hampir membeku)

normal

1
2
3
4

=
=
=
=

5
6

=
=

penurunan ringan dari ayunan lengan


penurunan sedang dari ayunan lengan, langkah normal
tidak ada ayunan lengan, kepala fleksi, langkah kurang lebih normal
postur tubuh kaku (leher dan punggung), melangkah dengan kaki
diseret
lebih nyata, kekakuan dalam berputar
triple flexi, hampir tidak mampu untuk berjalan

Bradikinesia

Ekstremitas kanan bawah


Ekstremitas kiri bawah
TOTAL
4.

Gaya berjalan dan postur


tubuh

NRM
Nama
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir

:
:
:
:

(mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

5.

Tremor
Lengan kanan
Lengan kiri
Kaki kanan

tidak ada
tidak jelas
amplitudo kecil
amplitudo sedang
amplitudo besar

Kaki kiri
Kepala
Rahang/pipi
Lidah

sekalisekali

sering

selalu/terusmenerus

2
3
4

3
4
5

4
5
6

0
1

Bibir
TOTAL
6.

7.

8.

Akatisia

Sialorhoe

Stabilitas postur tubuh

tidak ada

1
2
3
4

=
=
=
=

5
6

=
=

tampak gelisah, nervous, tidak sabaran, tidak nyaman


ingin selalu bergerak, paling tidak pada satu ekstremitas
sering ingin menggerakkan satu ekstremitas atau mengubah posisi
menggerakkan satu ekstremitas hampir terus-menerus pada saat
duduk atau menghentak-hentakkan kaki ketika berdiri
hanya mampu untuk tetap duduk dalam jangka waktu yang pendek
bergerak atau berjalan terus-menerus

tidak ada

1
2
3
4
5
6

=
=
=
=
=
=

sangat ringan
ringan
sedang, mengganggu pembicaraan
agak berat
berat
sangat berat, "ngeces/ngiler" (drooling)

normal

1
2
3
4

=
=
=
=

5
6

=
=

kelambatan ketika didorong, tetapi tanpa retropulsi


retropulsi, tetapi segera pulih tanpa bantuan
retropulsi yang lebih nyata, tetapi tidak terjatuh
tidak ada respons postural, akan terjatuh jika tidak ditahan oleh
pemeriksa
berdiri tidak stabil, tanpa didorong sekalipun
tidak mampu berdiri tanpa bantuan

NRM
Nama
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir

:
:
:
:

(mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

III. DISTONIA: Pemeriksaan Dokter


Pilihlah skor yang sesuai untuk tiap butir:
1.

Distonia torsi akut


Rahang

tidak ada

Tangan kiri

Lidah

sangat ringan

Kaki kanan

Bibir

ringan

Trunk

sedang

agak berat

berat

sangat berat

Tangan kanan

Kaki kiri
Kepala
TOTAL
2.

Distonia tardif non-akut atau kronik


Tangan kanan

Rahang

tidak ada

Tangan kiri

Lidah

sangat ringan

Kaki kanan

Bibir

ringan

Kaki kiri

Trunk

sedang

agak berat

berat

sangat berat

Kepala
TOTAL

IV. GERAKAN-GERAKAN DISKINETIK: Pemeriksaan Dokter


Pilihlah skor yang sesuai untuk tiap butir:
1.

jarang

sering

selalu
(konstan)

2
3
4

3
4
5

4
5
6

Gerakan lidah (ke samping atau memutar)


* tidak ada

* borderline
* jelas ada, dalam rongga mulut
* kadang-kadang dengan menjulur sebagian
* dengan menjulur seluruhnya (complete protrusion)

NRM
Nama
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir

:
:
:
:

(mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Gerakan rahang (gerakan ke samping, mengunyah, menggigit,


Jmengatup/clenching)
* tidak ada
* borderline
* jelas ada dengan amplitudo kecil
* amplitudo sedang, tanpa mulut terbuka
* amplitudo besar, dengan mulut terbuka

Jarang

sering

Selalu
(konstan)

0
1
2
3
4

3
4
5

4
5
6

Gerakan pipi dan bibir (mencucur, mencibir, mengecap, dll)


* tidak ada

* borderline
* jelas ada dengan amplitudo kecil
* amplitudo sedang, gerakan-gerakan bibir ke depan
* amplitudo besar, jelas, suara gerakan mengecap bibir yang
berisik

1
2
3

3
4

4
5

2
3
4

3
4
5

4
5
6

3
4

4
5

5
6

2
3
4

3
4
5

4
5
6

Gerakan badan (bergoyang, berputar, goyang pinggul/pelvic gyrations)


* tidak ada

* borderline
* jelas ada dengan amplitudo kecil
* amplitudo sedang
* amplitudo lebih besar

Ekstremitas atas (gerakan-gerakan koreoatetoid hanya pada: lengan,


pergelangan tangan, tangan, jari)
* tidak ada

* borderline
* jelas ada, amplitudo kecil, gerakan dari satu ekstremitas
* amplitudo sedang gerakan dari satu ekstremitas atau gerakan
dengan amplitudo kecil pada kedua ekstremitas
* amplitudo lebih besar, gerakan yang melibatkan kedua
ekstremitas

Ekstremitas bawah (gerakan-gerakan koreoatetoid hanya pada: paha, lutut,


pergelangan kaki, telapak kaki)
* tidak ada

* borderline
* jelas ada, amplitudo kecil, gerakan dari satu ekstremitas
* amplitudo sedang gerakan dari satu ekstremitas atau gerakan
dengan amplitudo kecil pada kedua ekstremitas
* amplitudo lebih besar, pada kedua ekstremitas

Gerakan involunter yang lain (menelan, napas tidak teratur, mengerutkan


dahi, berkedip, menyeringai/grimacing, mendesah, dll)
* tidak ada

* borderline
* jelas ada, amplitudo kecil
* amplitudo sedang
* amplitudo lebih besar

You might also like