Professional Documents
Culture Documents
com/
1
GADIS kecil itu bernama Cantika, tapi lebih akrab dipanggil
Uca. Dia benar-benar gadis kecil. Segala-galanya serba kecil.
Usianya saja baru sekitar lima tahun kurang. Wajahnya
mungil, matanya berbulu lentik, bundar, bening, uuh... indah
sekali. Uca memang baby face. Rambutnya lurus, panjang
sepunggung, lembut, bagian depannya diponi. Ia gemar
menggendong boneka Panda yang ringan dan besarnya hanya
sepelukannya.
"Biar masih berusia lima tahun kurang, tapi Uca termasuk
gadis yang cerdas, lucu dan pandai bicara. Itulah sebabnya
aku suka padanya. Batinku cepat menyatu dengannya. Seolaholah dia seperti anakku sendiri."
"Sudah berapa lama ikut denganmu?"
"Baru tiga hari."
"Ooo... baru tiga hari?! Kukira udah berbulan-bulan ikut
denganmu." Yoseph manggut-manggut.
"Tapi biarpun baru tiga hari, rasa-rasanya seperti sudah
lama dia ikut denganku, Yos. Sehari nggak dengar suara
tawanya, aku merasa seperti merindukan seorang anak
kandung yang kusayangi."
"Kau memang sudah pantas menjadi seorang ayah. Kanda.
Perasaanmu itu adalah tanda-tanda bahwa di dalam hidupmu
kau sudah membutuhkan status keluarga, seorang ayah
sekaligus seorang suami. Berarti kau harus cepat-cepat kawin.
Jangan membujang terus!"
"Enak aja luh ngomong. Kawin sih mudah, tanggung
jawabnya yang susah!" Mereka tertawa sejenak. Uca masih
bermain sendiri tak jauh dari kedua lelaki itu.
"Bagaimana kalau nanti orangtuanya datang
mengambilnya? Kau ingin pertahankan Uca atau...."
dan
"Ada, ada...!"
"Tapi kamu kan nggak suka kalau aku pakai gaun itu."
"Kalau kamu senang, aku akan suka. yang kamu
senangi, itu yang aku sukai. Yang penting kamu senang."
."Idih, kok gitu sih?" Dewi Ular mencibir geli, tapi ditahan
kuat-kuat dan hanya sebagian kecil rasa gelinya yang
tercermin melalui cibiran cantiknya.
"Pokoknya berapa pun harganya, beli! Aku masih sanggup
membelikan gaun yang harganya jauh lebih mahal dari yang
itu," kata Niko walau sambil memandang ke arah lain.
Dewi Ular yang rada-rada konyol itu benar- benar
mengambil gaun tersebut. Harganya ratusan ribu. Dia ingin
melihat kesungguhan Niko dalam menyenangkan hatinya.
Ternyata pemuda itu membayar tunai gaun tersebut.
Sejumlah uang diambilnya dari dalam dompet. Kumala sempat
melirik isi dompet Niko.
"Kasihan, uangnya tinggal dua-tiga lembar," pikir Kumala,
tapi ia berlagak cuek.
" lagi yang ingin kau beli?" tanya Niko saat keluar dari
butik tersebut. Sejak menjemput Kumala dari kantornya, Niko
memang sudah berjanji ingin membelikan sesuatu untuk
Kumala. Dia habis dapat bonus dari sebuah produk yang
menseponsori acaranya di teve. Sebab itulah ia berani
membawa Kumala dan mer.antammya untuk borong-borong
di Mall.
"Aku kepingin parfum deh, Nik." Kumala memaksakan diri
untuk berlagak manja.
"Untuk parfum? Tubuhmu sudah menyebarkan aroma
wangi cendana dan pandan yang amat lembut dan romantis.
masih perlu parfum segala?"
tegur
Niko
sambil
"Ngerjain apaan?"
"Uangku kok tetap utuh? Padahal tadi sudah kupakai bayar
gaun, parfum, dan... mungkin juga sekarang utuh lagi setelah
kupakai bayar makanan ini."
Kumaia Dewi tersenyum tipis, tidak mau menatap Niko. Ia
bahkan bersikap seakan malas mengomentari kata-kata Niko
itu. Perhatiannya tertuju pada hidangan yang sudah tersedia
di depannya.
"Uang siapa yang kau masukkan ke dalam dompetku ini,
Dewi?"
"Udahlah. Yang penting kamu nggak rugi."
"Tapi kalau kamu bawa pulang barang-barang itu,
sedangkan uangku yang kuberikan pada kasir kau ambil
secara gaib dan kau masukkan ke dalam dompetku, itu
namanya mencuri, Dewi. Barang-barang yang kau bawa itu
hasil curian, bukan hasil membeli. Sebab pihak toko merasa
dirugikan oleh tindakanmu."
"Nggak ada yang merasa dirugikan."
"Berdua saja, sama si Uca nih," ujar pemuda itu yang tak
lain adalah Kanda.
"Aduh, cantiknya. Anak siapa ini, Da?" tanya Kumaia sambil
mencubit dagu Uca.
'Anak gue dong."
"Uuhh, ngaku-ngaku anak orang!" cibir Niko, karena ia tahu
bahwa Kanda belum per- nah menikah.
"Namanya siapa, Sayang?" Kumala menghentikan
makannya, wajahnya tampak gembira sekali menyambut
kehadiran Uca dan Kanda.
"Uca, ditanya Tante Kumala tuh, namanya siapa?"
"Uca," jawab gadis kecil itu menunduk malu.
"Uca udah sekolah belum?"
"Belum," jawabnya lirih sekaii.
"Ini oom-nya Uca apa papanya Uca?" tanya Niko.
"Oom Uca." Gadis itu pun mengangkat wajah dan menatap
Kumala. la berkata lagi,. "Papa Uca nggak ada."
"Lho, kok nggak ada? Ke mana papanya?"
Uca menggeleng Kanda menjelaskan secara singkat
tentang anak temuan itu. Tapi sebelum Kumala dan Niko
membahas tentang orangtua Uca yang sampai saat ini belum
ada kabar mencarinya, Uca sudah ribut rninta dibelikan
humberger, seperti yang dimakan Niko.
"Sini, sini... beli sama Oom Niko, sini!" Niko segera
membawa Uca ke counter. Kanda duduk di bangku kosong
depan Kumala. la sempat berseru kepada Niko, minta
dibawakan ayam goreng dan kentang. Kumala mengikuti
dengan senyum ceria. Tapi setelah Kanda mengeluh
kelelahannya akibat mengikuti Uca berjalan-jalan mengelilingi
"Sendirian."
"Sendirian? Ah, mana mungkin Uca sendirian datang ke
sana?"
"Mungkin saja. Uca kan pemberani. Oom belum tahu sih
siapa Uca sebenarnya," gadis itu berbalik, kini berhadapan
dengan Kanda. Matanya yang jernih dan indah bagaikan
menyimpan genangan air surgawi yang begitu dalam
maknanya. Kanda sempat berdebar-debar lembut menerima
tatapan mata jernih itu.
"Nanti kalau Oom Kanda sudah tahu siapa Uca, Oom pasti
percaya dengan omongan Uca tadi."
"Oom sudah tahu siapa sebenarnya Uca."
"Belum," gadis itu menggeleng. "Oom belum tahu siapa
Uca sebenarnya. Buktinya,Oom masih tanya-tanya sama Uca."
Kanda tertawa geli penuh rasa bangga. Uca dicium
keningnya.
"Udah, sekarang udah malam. Uca harus bobo, ya?"
"Tapi Oom harus temani Uca sampai bobo, ya?"
"lya. Oom akan temani di sini. Oom nggak pergi ke manamana kok. Kan hari ini Oom Nggak jualan di warung tenda itu.
Libur."
"Kasihan pembelinya, ya? Pada kecele. Aturan nggak usah
libur, Oom. Biar pembelinya nggak kecele. Apalagi nanti kalau
sudah 40 hari, pembelinya akan makin banyak, Oom harus
buka tenda lagi, dan... pokoknya warung Oom akan berubah.
Semuanya akan berubah. Uca juga berubah."
"Berubah bagaimana?" Kanda mulai was- was.
"Berubah lebih nakal lagi, hii, hii, hii...."
Kanda tak jadi was-was. Tapi di balik kata-kata dan tawa
kecil itu, hati nurani Kanda seperti menangkap adanya arti
2
HARI itu Kanda harus mengerjakan title animasi sampai
selesai, sebab esok harinya akan diambil oleh pemesannya.
Sampai pukul tujuh petang Kanda masih sibuk di depan layarlayar komputernya.
Pukul delapan lewat baru selesai. Bobby meneleponnya,
mengharapkan ia datang ke cafe untuk menggantikan tugas
Bobby menyambut para tamu yang semakin memadati tenda
mereka.
Sebelum berangkat ke cafenya, Kanda menyempatkan diri
menelepon ke rumah. Rusmi yang menerima telepon saat itu.
sebelah itu kita ambil juga mulai besok. Soalnya, mulai besok
cafe sebelah udah nggak buka lagi. Habis, sepi pengunjung.
Kudengar sih mau buka di Ambasador sana."
"Ambil saja deh. Siapa tahu besok malam pengunjung kita
semakin bertambah."
Bobby sangat setuju. Tapi sayang ia harus pergi,
membawakan acara sebagai MC di sebuah night club besar.
Kanda sibuk melayani para tamunya dengan keramahan yang
menyenangkan. Pada umumnya mereka yang hadir di cafe
tersebut kenal Bobby atau Kanda, sehingga Kanda terpaksa
lari sana-sini menjamu mereka, mengikat kesan indah agar
mereka betah makan di tempat tersebut.
Tiga orang tamu datang, bingung mencari tempat. Kanda
buru-buru menyambutnya dengan tawa ceria.
"Heii... Kumala Dewi nan cantik jelita, hallo...? Ha, ha,
ha...."
Semua orang berpaling memandang gadis cantik yang
amat memukau. Aroma wangi pandan dan cendana menyebar
memenuhi cafe, mengalahkan aroma nasi goreng yang sedang
dibuat oleh seorang koki. Kumala Dewi menyempatkan
singgah di cafenya Kanda, karena desakan dari Niko. Malam
itu, Kumala bukan hanya bersama Niko, namun juga bersama
Sandhi, si sopir yang sudah dianggap seperti saudara sendiri
itu.
"Gila! Rame amat, Dan," ujar Niko. "Pakai dukun dari mana
kamu, bisa jadi selaris ini?!"
"Dukunnya, siapa lagi kalau bukan cewek kita yang duduk
di sampingmu itu. , hee, hee...!"
Senyum tipis membias cantik di wajah Kumala. Lesung
pipitnya begitu memukau setiap pria yang memperhatikan ke
arahnya. Pemuda berjaket hitam yang statusnya adalah sopir
Kalau
yang
standar,
pipet
kutemani
ke
sana
usul
Kanda.
mana
tempat
yang
untuk
"Ntar gue kasih tahu. Sekarang aku mau turun lagi, ahl"
"Nggak usah ke arena. Di sini aja, ya?"
"Iya. Nggak ke sana kok."
"Biar kalau haus mudah ambil m inum."
Tika mengangguk, lalu bergoyang kalem namun penuh
keceriaan sama dengan yang tadi. Kanda tersenyum-senyum
memandanginya sambil manggut-manggut di atas bangku
tingginya. Sebentar-sebentar Tika mendekat, berbisik, lalu
bergoyang lagi.
"Aku belum punya kartu namamu. Boleh minta kartu
namamu?"
"Anak asuh. Kalau dia tidurnya nyenyak sih, bisa aja aku
pulang pagi. Tapi kalau ia rewel, aku nggak tega pulang pagi.
Kasihan dia. Kapan-kapan kuceritakan soal anak itu."
Tiba-tiba Kanda ingat Uca sehingga ia harus keluar
sebentar dan menelepon ke rumah. k Sanah yang
menerima telepon tersebut. Nada suaranya tampak tegang.
"Tuan, ooh... cepat Tuan pulang dong Saya takut nih."
"Takut ada , k?" Kanda jadi ikut-ikutan tegang. "Uca
bagaimana? Masih tidur?"
"Justru itu, T uan...," suara k Sanah semakin gemetar.
"Ada dengan Uca, k?!"
"Non Uca hilang, Tuan."
"Hahh...?!" Kanda mendelik kaget. Saat itu Tika menyusul
keluar ruangan, mendekati Kanda dengan hati-hati.
"Maksudmu hilang bagaimana?!" bentak Kanda mulai panik.
"Saya dan Rusmi nggak tahu perginya. Sekitar dua puluh
menit yang lalu saya tengok ke dalam kamar, ternyata Non
Uca nggak ada di tempat tidur, T uan."
"Di kamar mandi, kali?!"
"juga nggak ada! Kami sudah mencarinya ke mana-mana,
tetap nggak menemukan Non Uca."
"Kenapa bisa qitu sih? Bodoh amat kalian ini!" Kanda mulai
marah. "Pintu depan dikunci nggak?"
"Semua pintu dan jendela dalam keadaan terkunci rapat,
Tuan. Saya sendiri heran dan nggak tahu, lewat mana Non
Uca pergi ke luar rumah. Hmm eeh... sebaiknya T uan segera
pulang deh."
"Dasar tolol! Menjaga anak tidur aja nggak bisa, gimana sih
kamu ini, k?! Ya, udah.!. aku segera pulang!"
3
SETELAH jam makan siang, Kanda meluncur ke kantornya
Dewi Ular. Gadis cantik anak bidadari asli itu sejak ditemukan
Pramuda di jalan tol, ia bukan saja dijadikan saudara angkat
Pramuda, tapi juga dipercaya untuk duduk sebagai konsultan
di perusahaan tersebut. Sama halnya dengan Kanda,
perusahaan Pramuda menjadi berkembang pesat dan kini
sedang di atas angin sejak Pramuda menjadikan Kumala Dewi
sebagai saudara angkatnya, (Baca serial Dewi Ular dalam
episode perdana : "ROH PEMBURU CINTA").
Kedatangan Kanda di s iang itu ke kantornya Kumala bukan
untuk membicarakan tentang sejarah turunya Kumala ke bumi
yang pertama kali, juga bukan untuk membicarakan
keuntungan gaib seseorang yang telah menjadikan orang lain
sebagai saudara angkat, melainkan untuk membicarakan
misteri hilangnya Uca. Ada peristiwa ganjil yang perlu
ditanyakan Kanda kepada Kumala, dan ia sangat
mengharapkan jawaban yang pasti dari si paranormal cantik
itu.
"Bukankah sudah kubilang padamu bahwa bocah itu
sepertinya bukan bocah sembarangan. Kau perlu hati-hati dan
waspada sekali terhadap kemungilannya yang terus terang
bikin hatiku sendiri gemas-gemas suka padanya."
"Ya, aku ingat. Beberapa waktu yang lalu kau bilang, gadis
itu akan mempunyai perkembangan aneh setelah 40 hari ikut
bersamaku. Apakah hilangnya Uca adalah perkembangan aneh
yang kau maksud tempo hari itu, Kumala?"
"Mungkin bukan hanya itu saja. Mungkin masih ada
perkembangan aneh lainnya yang akan kau jumpai. Barangkali
juga termasuk membanjirnya tamu di cafe tendamu itu adalah
perkembangan aneh yang kumaksud kala itu, Kanda."
dengan
agar
tak
terlalu
4
TANPA sepengetahuan Kanda, Dewi Ular malam itu datang
ke rumahnya. Ia hanya berdua bersama Sandhi, yang kadangkadang berfungsi sebagai asisten untuk urusan riel.
Sedangkan asisten Kumala untuk urusan gaib adalah Buron,
yaitu seorang pemuda berambut kucai jelmaan dari Jin Layon.
Tapi malam itu Buron tidak ikut. Ia ditugaskan jaga rumah,
sambil menemani k Bariah, pelayan setia Kumala untuk
urusan dapur. Hanya saja, sewaktu-waktu Kumala
rnembutuhkan dari tempat jauh, Buron dapat dipanggilnya
secara gaib. Ia akan muncul dari lapisan udara, tepat di mana
Kumala berada.
"Kalau memang tadi Kanda meneleponmu dan memberi
tahu bahwa dia nggak ada di rumah,. kenapa kamu justru
datang ke rumahnya?" tanya Sandhi dalam perjalanan itu.
"Justru aku ingin tahu yang dilakukan gadis kecilnya
apabila Kanda tidak ada di rumah."
"Menurutmu apakah gadis kecil itu memang berbahaya?"
ini?!"
"Makanan itu?"
"Martabak manis! Coklatnya agak banyakan. Okey?"
Kanda tertawa pelan. "Okey, itu soal mudah. Yang
kupikirkan adalah kesungguhanmu menuturkan alasan
tersebut. Aku nggak mau kalau kau mengarang-ngarang cerita
untuk menutupi kenyataan yang ada. Aku mau kau
mengatakannya dengan jujur. adanya."
"Aku nggak mungkin dapat membohongimu, Kanda."
"Aku juga nggak akan berbuat licik padamu. Kita samasama terbuka saja, supaya persahabatan kita menjadi kekal.
Kau setuju?"
"Ya, aku setuju." Tika mengubah posisi duduknya, lebih
tegak lagi. Abu rokok dijentikkan ke asbak. Ia meneguk
minumannya satu kali. Sofa panjang itu memberi peluang bagi
kakinya untuk ditekuk dan diletakkan di tempat duduknya.
Posisinya menghadap Kanda dengan tangan kiri disandarkan
di sandaran sofa.
"Kau tahu kenapa gairah hidupku nyaris pudar, itu lantaran
aku kehilangan harapan sete lah sekian lama mencari tak
menemukan sekerat hati yang kuinginkan."
"Kamu patah hati karena ditinggal pacarmu, begitu?"
"Beberapa waktu yang lalu, aku dikhianati oleh suamiku...."
"Oh, kau pernah bersuami!" potong Kanda agak terkejut.
Tika mengangguk. "Pernah. Tapi belum sampai punya
keturunan, suamiku sudah berkhianat. Lalu kutinggal pergi
dan aku tak mau bertemu dengannya lagi. Aku berkelana
mencari pengganti cinta yang kandas. Ternyata sampai sekian
lama belum ada hati yang dapat menjadi pengobat luka
jiwaku. Aku nyaris putus asa. Tapi sebelum aku benar-benar
putus asa, aku bertemu denganmu. Kau meman carkan daya
pikal yang sesuai dengan harapan hatiku. Terbukti kemarin
dalam
menilai
"Kumalaaaa...!" seru Sandhi dengan tegang sekali. la buruburu meraih pundak. Kumala. Tapi tangannya dikibaskan.
Kumala rnenunduk dengan mendesis kesakitan. Kanda dan
Bobby jadi salah tingkah sendiri. Panik. Keduanya
memandangi Uca. Nyala sinar aneh tadi telah hilang. Uca
masih tetap tertidur nyenyak, merasa tak terganggu oleh
suara pun.
"Kumala...! Kumala, yang terjadi pada dirimu?!" Sandhi
mengguncang-guncang tubuh majikannya yang sudah
dianggap seperri saudaranya sendiri itu.
Kumala mengangkat wajah pelan-pelan, melepaskan
tangannya yang dipakai menutupi wajah. Ketika tangan itu
tersingkirkan dari wajah cantik, semua orang terkejut
memandang dengan mata lebar.
"Hahh...?! yang terjadi, Kumala!"
Wajah Kumala rusak sebagian, seperti terbakar. Kerusakan
itu diderita di sekitar kedua kelopak matanya. Seperti lilin yang
meleleh karena panas, bola mata yang jernih indah itu
tertutup kulit kelopak mata yang merah bercampur darah
beku. Napas Kumala terengah-engah, bibirnya gemetar,
namun ia tidak merintih. la hanya menggeram bagaikan
menahan sakit dan menahan amukan.
"Aku sudah tahu siapa dia. Tapi... bawa iku pulang
sekarang juga. Aku tidak bisa melihat lagi, Sandhi."
"Kumala...?! Kau... kau tidak bisa melihat? Kau buta?!"
"Jangan banyak tanya, Sandhi. Bawa aku pulang sekarang
juga, sebelum seluruh wajahku menjadi rusak parah!"
"Ba. . baik...!"
"Kumala, yang harus kulakukan dengan anak itu?"
Kanda bersuara mendesah karena dicekam perasaan takut
yang menggetarkan jiwanya.
biasa,
dan
jangan
pancing
senyum
mengagumkan.
"Hallo...."
"Kanda, bagaimana keadaan anak itu malam ini?"
"Tidur nyenyak."
"Nggak hilang lagi?"
"Nggak. Baru saja tadi kutengok. Dia ada di kamar
sebelah."
"Di kamar sebelah? Kenapa kau taruh di sana?"
"Hmm, eeh... anu...," Kanda agak bingung menjawabnya.
Sebelum pertanyaan itu terjawab, suara Kumala sudah
terdengar lebih dulu.
"Kanda, kau tahu mataku sekarang ini masih buta. Nggak
ada yang bisa menyembuh- kan mataku kecuali anak itu."
"Uca...?! Ah, masa dia bisa sembuhkan kebutaanmu sih?"
"Dengar, Kanda... ternyata aku salah duga. Pantas saja Uca
mempunyai kekuatan besar dan mampu menerobos pagar
gaibku, ternyata dia bukan titisan Raja Iblis."
"Lalu...."
"Aku telah berkonsultasi dengan ayahku, beberapa jam
yang lalu."
"Jadi kesimpulannya?" desak Kanda tak sabar.
"Uca adalah dewa perempuan. Dia adalah Dewi Cantika,
yaitu Dewi penguasa kecantikan."
"Oh, ya...?!"
"Dalam silsilahnya, dia termasuk kakak sepupuku. k
ilmuku kalah tinggi dengannya. Jadi kumohon padamu,
bawalah anak itu kemari agar dia bisa sembuhkan
kebutaanku."
"Malam ini?! Sekarang juga?!"