You are on page 1of 12

AGORAFOBIA (F40.

0)

I.

PENDAHULUAN
Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, dari perubahan,
dari pengalaman sesuatu yang baru dan belum dicoba, dan dari penemuan identitasnya
sendiri dan arti hidup. Sebaliknya, kecemasan patologis adalah respon yang tidak sesuai
terhadap stimulus yang diberikan berdasarkan pada intensitas atau durasinya. DSM-IV
menuliskan salah satu gangguan kecemasan: gangguan panik dengan dan tanpa agoraphobia.2
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan
tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan
relative singkat(biasanya kurang dari 1 tahun), yang disertai oleh gejala somatic tertentu,
seperti palpitasi dan takipnea. Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan
panik adalah bervariasi mulai dari serangan multiple dalam 1 hari sampai hanya beberapa
serangan selama setahun. Gangguan panik sering kali disertai dengan agoraphobia.1,2,4,7,9,10
Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap dan berlebihan terhadap
suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Berasal dari bahasa Yunani yaitu Fobos yang
berarti ketakutan. Fobia merupakan suatu gangguan jiwa yang merupakan salah satu tipe dari
gangguan ansietas dan dibedakan kedalam tiga jenis objek atau situasi ketakutan yaitu
agoraphobia, fobia spesifik, dan fobia sosial. 1,2,4,7,9,10
Agorafobia adalah ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak serta adanya
kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Menurut Diagnostic and statistical
Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV-TR), agorafobia berhubungan erat
dengan gangguan panik, namun pada International Classification of Diseases revisi ke-10
(ICD I0) tidak mengaitkan gangguan panik dengan agorafobia dan kasus-kasus agorafobia
didapati dengan atau tanpa serangan panik. 1,2,4,7,9,10
Agorafobia dapat timbul pada penderita yang tidak mengalami serangan panik akan
tetapi sebagian besar penderita yang datang untuk pengobatan mempunyai riwayat serangan
1

panik ataupun gangguan fobia sosial yang sangat berat yang menimbulkan simptom yang
mirip dengan serangan panik. Penderita agorafobia pada umumnya menghindari tempat
ramai karena takut terjadi serangan panik dan merasa malu jika ada orang yang melihat
usahanya untuk melarikan diri dari situasi tersebut. Akibatnya, orang yang menderita
agorafobia mengalami masalah kehidupan yang sangat berat karena tidak mampu pergi dari
rumah (tempat yang dirasanya aman) baik untuk bekerja, membeli kebutuhan hariannya
maupun untuk bersosialisasi.1,4,7,9,10
II. DEFENISI
Agorafobia adalah ketakutan terhadap ruangan terbuka, orang banyak serta adanya
kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Pasien takut keluar sendiri, bersosial,
berbelanja, melancong dan berada dalam ruangan yang tertutup. Disertai ansietas umum,
serangan panik perasaan dizzisness dan unsteadiness serta sering ada depresi atau
depersonalisasi. Pasien agorafobia secara kaku menghindari situasi dimana akan sulit untuk
mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai oleh seseorang, teman atau anggota
keluarga di tempat-tempat tertentu, seperti jalanan yang sibuk, toko yang padat, ruang yang
tertutup(seperti di terowongan, jembatan, dan elevator), dan kendaraan tertutup. Pasien
mungkin memaksa bahwa mereka harus ditemani setiap kali mereka keluar rumah. 1,2,4,7,9,10
III. EPIDEMIOLOGI
Penelitian epidemiologis di Texas yang menggunaka 1600 orang dewasa, telah
melaporkan prevalensi seumur hidup untuk gangguan panik adalah 3,8% dan untuk serangan
panik adalah 5,6%, dan 2,2% untuk serangan panik dengan gejala yang terbatas yang tidak
memenuhi criteria diagnostic lengkap.2
Pada penelitian dengan 2100 kasus, gangguan panik dapat terjadi pada semua umur,
namun lebih sering terjadi pada usia 15-19 tahun. Wanita postpubertas memiliki prevalensi 23 kali dibandingkan laki-laki postpubertas. Ras dan etnik tidak memberikan perbedaan
terhadap kejadian gangguan panik.2,7

IV. ETIOLOGI
Etiologi agorafobia belum diketahui secara pasti tapi pathogenesis fobia berhubungan
dengan faktor biologis, genetik, dan psikososial.1,2,8,9
Faktor Biologi
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah menghasilkan berbagai
temuan bahwa gejala gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di
dalam struktur otak dan fungsi otak. Dari beberapa penelitian, ditemukan hipotesis yang
melibatkan disregulasi system saraf perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik.
Sistem saraf otonomik pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan menunjukkan
peningkatan tonus simpatetik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang berulang, dan
berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang. Sistem neurotransmiter utama yang
terlibat adalah neuroepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
Keseluruhan data biologis telah menyebabkan suatu perhatian kepada batang otak
(khususnya neuron noradrenergik di lokus sereleus dan neuron seretonergik di nucleus raphe
medialis), system limbic (kemungkinan bertanggung jawab untuk terjadinya kecemasan yang
terjadi lebih dahulu (anticipatory anxiety) dan korteks prafrontalis (kemungkinan
bertanggung jawab untuk terjadinya penghindaran fobik).1,2,8,9
Faktor genetik
Agorafobia diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Data penelitian menyimpulkan
bahwa gangguan ini memiliki komponen genetik yang jelas, juga menyatakan bahwa
gangguan panik dengan agorafobia adalah bentuk parah dari gangguan panik dan lebih
mungkin diturunkan. Beberapa penelitian menemukan bahwa adanya peningkatan resiko
gangguan panik empat hingga delapan kali lipat pada sanak keluarga derajat pertama pasien
dengan gangguan psikiatrik lainnya.1,2,8,9

Faktor Psikososial
Fobia menggambarkan interaksi antara diatesis genetika-konstitusional dan stressor
lingkungan. Penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak tertentu yang ada predisposisi
konstitusional terhadap fobia memiliki temperamen inhibisi perilaku terhadap yang tak
dikenal dengan stres lingkungan yang kronis akan mencetuskan timbulnya fobia, misalnya
perpisahan dengan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga dapat mengaktivasi diathesis
laten pada anak-anak yang kemudian akan menjadi gejala yang nyata. Penemuan penelitian
mengungkapkan bahwa gangguan panik adalah berhubungan kuat dengan perpisahan
parental dan kematian parental sebelum usia 17 tahun. Perpisahan dari ibu pada awal
kehidupan jelas lebih mungkin menghasilkan gangguan panik dibandingkan perpisahan
paternal.1,2,8,9
V. GAMBARAN KLINIS
Pasien agorafobia secara kaku menghindari situasi dimana akan sulit untuk
mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai oleh seorang teman atau anggota keluarga
ditempat-tempat tertentu seperti jalanan yang sibuk, toko yang padat, ruangan yang tertutup
(seperti terowongan, jembatan, dan elevator), dan kendaraan tertutup (seperti kereta bawah
tanah, bus, dan pesawat udara). Pasien mungkin memaksa bahwa mereka harus ditemani tiap
kali mereka keluar rumah. Perilaku tersebut dapat menyebabkan pertengkaran dalam
perkawinan yang dapat keliru didiagnosis sebagai masalah primer. Pasien yang menderita
secara parah mungkin semata-mata menolak keluar dari rumah. Khususnya sebelum
didiagnosis yang benar dibuat, pasien mungkin ketakutan bahwa mereka akan gila.1,2,4,9
Beragam rasa takut dan hipokondriasis dapat muncul juga, demikian pula beberapa
gejala lain termasuk pingsan, pikiran obsesif, depersonalisasi, dan derealisasi. Depresi
merupakan hal yang lazim muncul dan hal ini paling banyak menimbulkan ketidak
mampuan kepada pasien gangguan fobia.1,2,4,9

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan wawancara psikiatri, yang meliputi hal-hal seperti
keluhan-keluhan, sejarah pasien dan keluarga yang lengkap, termasuk anggota keluarga
dengan fobia. Juga tentang pengalaman atau trauma yang memicu fobia, misalnya ketakutan
terhadap anjing. Juga perlu ditanyakan tentang reaksi setelah dikonfrontasikan dengan objek
ketakutan, dan bagaimana menghindarinya. Penting juga diketahui tentang dampak fobia
terhadap kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan hubungan dengan orang-orang terdekat,
masalah tentang depresi dan penyalahgunaan zat yang sering menjadi komorbiditas fobia.
Adapun kriteria-kriteria diagnostic dalam menentukan diagnose, yaitu:

1,2,5,6,9

1. Kriteria diagnostik menurut Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorders edisi
keempat (DSM-IV TR):
a. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi darinya kemungkinan dirinya
meloloskan diri, merasa malu, atau dimana kemungkinan tidak terdapat pertolongan jika
mendapat serangan panik atau gejala mirip panik yang tidak diharapkan atau secara
situasional. Ketakutan agorafobia biasanya mengenai kelompok karakteristik, situasi,
seperti di luar ruah sendirian; berada ditempat ramai atau berdiri di sebuah barisan,
berada diatas jembatan atau bepergian dengan bis, kereta, atau mobil.
Catatan: pertimbangkan diagnosis fobia spesifik jika penghindaran adalah terbatas pada satu
atau beberapa situasi spesifik atau penghindaran terbatas pada situasi sosial. Situasi dihindari
(misalnya jarang berpergian) atau jika dilakukan dengan penderitaan yang jelas atau dengan
kecemasan mendapat serangan panik atau gejala panik atau perlu didampingi teman.
b. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental
lain seperti fobia sosial (misalnya penghindaran terbatas pada situasi sosial karena takut
dipermalukan), fobia spesifik misalnya penghindaran terbatas situasi seperti lift,
gangguan obsesif-kompulsif misalnya menghidari kotoran pada seseorang dengan obsesi
tentang kontaminasi, gangguan stress pasca trauma misalnya menghindari stimuli yang
berhubungan dengan stressor yang berat, dan gangguan cemas perpisahan misalnya
menghindari meninggalkan rumah atau sanak keluarga.

Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan yang diberi kode. Catatlah diagnosis yang
spesifik saat agorafobia terjadi misalnya gangguan panik dengan agorafobia atau agorafobia
tanpa riwayat gangguan panik.
2. Kriteria diagnostik menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke
III (PPDGJ-III), diagnosis pasti agorafobia harus memenuhi semua kriteria dengan
adanya gejala ansietas yang terbatas pada kondisi yang spesifik yang harus dihindari oleh
penderita.
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk kriteria pasti:
1. Gejala psikologis perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi
primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya
waham atau pikiran obsesif
2. Ansietas yang timbul harus terbatas pada (terutama harus terjadi dalam hubungan
dengan) setidaknya dua dari situasi berikut banyak orang/keramaian, tempat umum,
berpergian keluar rumah, dan berpergian sendiri, dan
3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat gangguan panik adalah
semua gangguan medis yang dapat menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding
psikiatrik adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid,
gangguan kepribadian menghindar, dimana pasien tidak ingin keluar rumah dan gangguan
kepribadian dependen karena pasien harus selalu ditemani keluar rumah.1,4,7,9
Perlu diingat bahwa sebagian penderita agorafobia hanya mengalami sedikit ansietas
karena mereka secara konsisten dapat menghindari objek atau situasi fobik. Adanya gejala
lain seperti depresi, depersonalisasi, obsesi, dan fobia sosial, tidak mengubah diagnosis
tersebut. Asalkan gejala ini tidak mendominasi gambaran klinisnya. Namun demikian, bila
mana pasien tersebut jelas sudah mengalami depresi pada saat fobik tersebut pertama kali
6

timbul, maka lebih tepat untuk mendiagnosis sebagai episode depresif; hal ini lebih lazim
terjadi pada kasus dengan onset lambat.1,4,7,9
VIII. PENATALAKSANAAN
Dua terapi yang paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif-prilaku. Terapi
keluarga dan kelompok mungkin membantu pasien yang menderita dan keluarganya untuk
menyesuaikan dengan kenyataan bahwa pasien menderita gangguan dan dengan kesulitan
psikososial yang telah dicetuskan oleh gangguan. 1,2,3,8,9
A. Farmakoterapi
Terapi agorafobia adalah sama seperti pada gangguan panik, terdiri dari antidepresan, anti-ansietas, dan psikoterapi khususnya terapi kognitif.1

Obat anti depresi SSRI(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), terdiri atas beberapa
macam,dapat dipilih salah satu dari sertraline, fluoxetine, fluvoxamine, citalopram,
paroxetine. Obat diberikan dalam 3-6 bulan atau lebih, tergantung kondisi individu, agar

kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat mencegah kekambuhan.1,2,3,8,9


Obat anti anxietas golongan Benzadiazepine, yaitu Alprazolam. Efek samping dari
golongan benzodiazepine lebih ringan dan awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya
antara 4-6 minggu, setelah itu secara perlahan-lahan diturunkan dosisnya sampai
akhirnya dihentikan. Dan setelah itu diteruskan dengan obat golongan SSRI untuk
menghindari kekambuhan.1,2,3,8,9

B. Terapi Kognitif dan Perilaku


Terapi kognitif dan prilaku adalah terapi yang efektif untuk gangguan panik. Berbagai
laporan telah menyimpulkan bahwa terapi kognitif dan prilaku adalah lebih unggul
dibandingkan farmakoterapi saja, laporan lain telah menyimpulkan bahwa kombinasi terapi
kognitif dan prilaku dengan farmakoterapi adalah lebih efektif dibandingkan pendekatan
terapeutik masing-masing. 1,9

Terapi kognitif. Dua pusat utama terapi kognitif untuk gangguan panik adalah
intstruksi tentang kepercayaan salah dari pasien dan informasi tentang serangan panik.
Instruksi tentang kepercayaan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk keliru
menginterpretasikan sensasi tubuh yang ringan sebagai tanda untuk ancaman serangan panik,
kiamat, atau kematian. 1,9
Penerapan relaksasi bertujuan memasukkan suatu rasa pengendalian pada pasien
tentang tingkat kecemasan dan relaksasinya. Melalui penggunaan teknik merelaksasikan otot
dan membayangkan situasi yang menimbulkan relaksasi, pasien belajar teknik yang dapat
membantu mereka melewati serangan panik. 1,9
Latihan pernapasan. Karena hiperventilasi yang bersamaan dengan serangan panik
kemungkinan disertai dengan beberapa gejala, seperti rasa pusing dan pingsan. Satu
pendekatan langsung untuk mengendalikan serangan panik adalah melatih pasien bagaimana
mengendalikan dorongannya untuk melakukan hiperventilasi. 1,9
Pemaparan in vivo. Digunakan sebagai terapi prilaku primer untuk gangguan panik.
Teknik ini melibatkan pemaparan yang besar terhadap stimulus yang ditakuti; dengan
berjalannya waktu, pasien mengalami desensititasi terhadap pengalaman. 1,9
Terapi keluarga, dimana keluarga pasien dengan gangguan panik dan agoraphobia
mungkin menjadi terganggu. 1,9
Psikoterapi berorientasi-tilikan juga dapat bermanfaat dalam pengobatan gangguan
panik dan agoraphobia. Pengobatan ini memusatkan pada membantu pasien mengerti arti
bawah sadar dari kecemasan, simbolisme situasi yang dihindari. 1,9
C. Psikoterapi kombinasi dan farmakoterapi.
Walaupun farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer gangguan panik dan
agorafobia, psikoterapi dapat dibutuhkan untuk menterapi gejala sekunder. Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar rumah. Disamping itu
beberapa pasien akan menolak obat karena mereka yakin bahwa obat akan menstigmatisasi
8

meraka sebagai orang sakit jiwa sehingga intervensi terapeutik dibutuhkan untuk membantu
mereka mengerti dan menghilangkan resistensi mereka terhadap farmakoterapi.
IX. PROGNOSIS
Belum banyak diketahui tentang prognosis agorafobia, namun kecenderungannya
adalah menjadi kronis dan dapat terjadi kormobiditas dengan gangguan lain seperti depresi,
penyalahgunaan alcohol dan obat bila tidak mendapat terapi. Menurut National Institute of
Mental Health, 30% hingga 40% akan bebas dari gejala untuk waktu yang lama dan 50%
masih ada gejala ringan yang secara bermakna tidak mengganggu kehidupan sehari-hari.
Hanya 10% hingga 20% yang tidak membaik. Gangguan fobik mungkin disertai dengan
lebih banyak morbiditas dibandingkan yang diketahui sebelumnya. Tergantung pada derajat
mana perilaku fobik mengganggu kemammpuan seseorang untuk berfungsi, pasien yang
terkena mungkin memiliki ketergantungan finansial pada orang lain serta timbulnya berbagai
gangguan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan akademik.1
X. KESIMPULAN
Agorafobia adalah ketakutan terhadap ruangan terbuka, orang banyak serta adanya
kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Agorafobiadapat terjadi pada setiap usia,
namun lebih sering terjadi pada usia 15-19 tahun. Wanita postpubertas memiliki prevalensi 23 kali dibandingkan laki-laki postpubertas. Ras dan etnik tidak memberikan perbedaan
terhadap kejadian gangguan panik. Etiologi agorafobia belum diketahui secara pasti tapi
patogenesis fobia berhubungan dengan faktor biologis, genetik, dan psikososial. Penegakan
diagnosa dapat menggunakan kriteria PPDGJ-III maupun DSM-IV-TR. Pasien agorafobia
secara kaku menghindari situasi dimana akan sulit untuk mendapatkan bantuan. Mereka lebih
suka disertai oleh seorang teman atau anggota keluarga ditempat-tempat tertentu seperti
jalanan yang sibuk, toko yang padat, ruangan yang tertutup (seperti terowongan, jembatan,
dan elevator), dan kendaraan tertutup (seperti kereta bawah tanah, bus, dan pesawat udara).
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat gangguan panik adalah semua
gangguan medis yang dapat menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding
psikiatrik adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid,
9

gangguan kepribadian menghindar, dimana pasien tidak ingin keluar rumah dan gangguan
kepribadian dependan karena pasien harus selalu ditemani keluar rumah. Terapi yang paling
baik bagi penderita agorafobia adalah mengobati gangguan paniknya dengan farmakoterapi
dengan SSRI dan Benzodiazepine, serta terapi perilaku dan kognitif.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, SD.; Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2010,
hal.242-249.
2. Kaplan HI,Sadock BJ, dan Grebb JA. Sinopsis Psikiatri. Jilid II. Tangerang: Binarupa
Aksara, 2010, hal.17-56.
3.

Amir,Nurmiati. Diagnosis dan Penggunaan Psikofarmaka pada Fobia Sosial. Cermin


Dunia

Kedokteran

No.156

[Online]

2007.

[Dikutip:

26

Maret

2012]

http://DiagnosispenggunaanPsikofarmakaFobiaSosial.
4.

Fritscher,Lisa. Panik Disorder. [Online] 24 Oktober 2011. [Dikutip: 3 Maret 2012]


http://panikdisorder.about.com/od/agoraphobia

5. Diagnostic Criteria From DSM IV TR. Washington, DC: American Psychiatric


Association, 2000, hal.210-211
6. Maslim Rusdi,Dr.. Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Cetakan
Pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2001, hal.72.
7. Forrest JS,MD. Medscape. [Online] 16 Desember 2011. [Dikutip: 10 Maret 2012]
http://www.emedicine.medscape.com/article
8. Mc.Lean PD, Woody SR. Anxiety Disorders in Adults: An Evidence-Based Approach to
Psychological Treatment. 1st Ed. Oxford University Press, 2001.
9. Andrews Gavin,dkk. The Treatment of Anxiety Diorders: Clinician Guides and Patient
Manuals. 2nd Ed. New York: Cambridge University Press, 2003, hal.49-77.
10. Kellerman Henry, Burry Anthony. Handbook of Psichodiagnostic Testing: Analysis of
Personality in the Psychological Report. 4th Ed. New York: Springer science+Business
Media, 2007, hal. 159-161.

11

12

You might also like