Professional Documents
Culture Documents
Guna memenuhi target Millenium Development Goals (MDGs), Rencana Strategis PU serta
peningkatan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan permukiman, diperlukan
kompetensi para pelaku pembangunan bidang Penyehatan Lingkungan Permukiman, khususnya
bidang Air Limbah di Indonesia. Berbagai upaya strategis termasuk fasilitasi penguatan
kapasitas aparat pemerintah daerah dalam bidang Air Limbah terus dilakukan, antara lain
melalui diseminasi keteknikan yang dilaksanakan secara berjenjang untuk tingkat provinsi dan
dilanjutkan ke seluruh kabupaten/kota dengan tujuan untuk penyamaan persepsi, pemahaman
dan pengetahuan bidang Air Limbah secara lebih baik, sesuai dengan pola pengelolaan air
limbah yang mengacu pada peraturan dan kebijakan yang terkait, seperti Permen PU Nomor
16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air
Limbah Permukiman.
Materi diseminasi keteknikan bidang air limbah ini terbagi menjadi Buku I dan Buku II. Buku I
meliputi :
Kebijakan Bidang Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP)
Kelembagaan Pengelola Prasarana dan Sarana Bidang PLP
Dasar Dasar Teknik dan Pengelolaan Air Limbah
Penyusunan Perencanaan Sistem Pengelolaan Air Limbah
Perencanaan Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (On-Site)
Perencanaan Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat (Off-Site)
Menggambar Teknik
Manajemen Konstruksi Pembangunan IPLT dan IPAL
Pemasangan Sistem Perpipaan Air Limbah
Penyusunan materi diseminasi keteknikan air limbah permukiman merupakan rangkuman
materi dari berbagai sumber yang telah ada, dan dilakukan atas kerjasama Direktorat
Pengembangan PLP dengan Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Fakultas
Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS, Jurusan Teknik
Lingkungan Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti,
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, serta Balai Teknik Air Minum dan
Sanitasi Wilayah I Bekasi dan Balai Teknik Air Minum dan Sanitasi Wilayah II Surabaya.
Semoga materi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan berbagai kegiatan
penanganan dan pengelolaan air limbah domestik di Indonesia.
Maret, 2013
Direktur Pengembangan PLP,
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum
DAFTAR ISI
BAGIAN UMUM
Modul 01 : Kebijakan Bidang PLP ....................................................................................... 1 74
Modul 02 : Kelembagaan Pengelola Prasarana dan Sarana Bidang PLP .......................... 75 134
BAGIAN PERENCANAAN
Modul 03 : Dasar Dasar Teknik dan Pengelolaan Air Limbah .................................... 135 164
Modul 04 : Penyusunan Perencanaan Sistem Pengelolaan Air Limbah.......................... 165 226
Modul 05 : Perencanaan Pengelolaan Air Limbah Sistem Setempat (On-Site) .............. 227 300
Modul 06 : Perencanaan Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat (Off-Site) ............... 301 390
Modul 07 : Menggambar Teknik..................................................................................... 391 404
BAGIAN PELAKSANAAN
Modul 08 : Manajemen Konstruksi Pembangunan IPLT dan IPAL .............................. 405 438
Modul 09 : Pemasangan Sistem Perpipaan Air Limbah ................................................. 439 504
MODUL 01
KEBIJAKAN BIDANG PLP
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1
1.1
1.2
1.3
1.4
2
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
3
3.1
3.2
3.3
3.4
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 3-1. Gas Rumah Kaca yang Utama dan Gambaran Umum Perubahan Iklim ....................27
Tabel 3-2 Identifikasi Program Penurunan Emisi Sektor Air Limbah dan Persampahan............34
Tabel 3-3 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah ..........................................40
Tabel 3-4 Prinsip-prinsip Dasar PDR .........................................................................................54
Tabel 3-5 Manfaat PDR untuk Berbagai Pemangku Kepentingan ..............................................56
Tabel 3-6 Perbandingan Antara Pembangunan Dampak Rendah dan Proses Pembangunan
Lahan Konvensional ..................................................................................................57
Tabel 3-7 RAN Mitigasi Perubahan Iklim (2012-2020) Sub Bidang Keciptakaryaan ..............58
Tabel 3-8: RAN Adaptasi Perubahan Iklim (2012-2020) Sub Bidang KeCiptakaryaan .............59
Tabel 4-1 Pesan Kunci Bidang Persampahan : ............................................................................65
Tabel 4-2 Pesan Kunci Bidang Drainase .....................................................................................65
Tabel 4-3 Pesan Kunci Bidang Air Limbah.................................................................................65
Tabel 4-4 Kampanye dan Edukasi Bidang Sampah, Khalayak Sasaran : Individu ....................67
Tabel 4-5 Kampanye dan Edukasi Bidang Sampah, Khalayak Sasaran : Masyarakat ................67
Tabel 4-6 Kampanye dan Edukasi Bidang Sampah, Khalayak Sasaran : Pemerintah .................68
Tabel 4-7 Kampanye dan Edukasi Bidang Drainase, Khalayak Sasaran : Individu ....................68
Tabel 4-8 Kampanye dan Edukasi Bidang Drainase, Khalayak Sasaran : Masyarakat ...............69
Tabel 4-9 Kampanye dan Edukasi Bidang Drainase, Khalayak Sasaran : Pemerintah ............69
Tabel 4-10 Kampanye dan Edukasi Bidang Air Limbah, Khalayak Sasaran : Individu..............70
Tabel 4-11 Kampanye dan Edukasi Bidang Air Limbah Khalayak Sasaran : Masyarakat .........70
Tabel 4-12 Kampanye dan Edukasi Bidang Air Limbah Khalayak Sasaran : Pemerintah ..........71
Tabel 4-13 Indikator Evaluasi Kampanye Dan Edukasi Bidang PLP .........................................73
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3-1 Unsur-Unsur yang Termasuk Gas-Gas Rumah Kaca ..............................................28
Gambar 3-2 Efek Gas Rumah Kaca (Sumber : http://www.ipcc.ch) ...........................................30
Gambar 3-5 Pengolahan Air Limbah dengan Proses Biogas Digester ........................................46
Gambar 4-2 Tahapan Program Komunikasi Kampanye dan Edukasi .........................................66
Gambar 4-3 Bagan Piramida Pengembangan Sistem Evaluasi Kegiatan Kampanye PLP ..........72
iv
Bagian I
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PENGEMBANGAN PRASARANA dan SARANA
PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN
(PS PLP)
1.1
Pada tahun 2014, diperkirakan lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan
sebagai akibat laju urbanisasi yang secara terus menerus hingga mencapai 4,4% per tahun,
sehingga melahirkan dynamic phenomenon of urbanization. Berdasarkan hal tersebut diatas,
tidak dapat dipungkiri bahwa daerah perkotaan sangat membutuhkan Prasarana dan Sarana
Penyehatan Lingkungan Permukiman (PS PLP) yang dikenal dengan istilah sanitasi, yaitu
terdiri dari 3 bidang yang meliputi dainase, pengelolaan air limbah, dan persampahan untuk
mendukung peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat,.
Pada September 2010, PBB telah mendeklarasikan akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai
Hak Asasi Manusia (didukung oleh 122 negara). Disamping itu, mengacu pada berbagai
peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia serta adanya tuntutan pemenuhan
komitmen Internasional seperti Agenda 21 mengenai pengurangan volume sampah yang
dibuang ke TPA (3R), MDGs (Millenium Development Goals) mengenai peningkatan separuh
jumlah masyarakat yang belum mendaparkan akses pelayanan sanitas pada tahun 2015 yaitu
telah menyepakati target MDGs, dengan capaian pelayanan sanitasi (Air Limbah) pada Tahun
2015 sebesar 62,37%, Kyoto Protocol mengenai mekanisme pembangunan bersih (CDM),
Prinsip Dublin Rio, dan lain-lain, menuntut adanya suatu kebijakan nasional yang tegas dan
realistis yang dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah, dalam meningkatkan sistem
pengelolaan sampah, air limbah serta drainase secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Saat ini tingkat pelayanan Sanitasi masih rendah dengan gambaran sebagai berikut :
1.
2.
3.
Hal-hal tersebut di atas menjadi dasar penyusunan modul Kebijakan Bidang PLP, yang memuat
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Imbah Permukiman
(KSNP-SPALP) yang diatur dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
21/PRT/M/2006 (lampiran IA), Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem
Pengelolaan Persampahan yang diatur dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
16/PRT/M/2008 (lampiran IB) serta Draft Kebijakan dan Strategi Nasional Nasional
1
1.2
Sampai dengan tahun 2008 sedikitnya 900 juta penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap
air bersih yang baik dan 2,6 milyar penduduk dunia belum memiliki akses terhadap sanitasi
(WHO, 2009). Penyakit diare yang biasanya terjadi akibat kondisi air bersih dan sanitasi yang
buruk menjadi penyakit kedua terbesar di dunia. Disamping itu kerugian ekonomi yang terkait
sanitasi yang buruk diperkirakan sekitar Rp.56 trilyun per tahun (world bank 2008) karena
setiap penambahan konsentrasi pencemaran BOD sebesar 1 mg/liter pada sungai meningkatkan
biaya produksi air minum sekitar Rp 9.17/meter kubik
Komunitas ilmuwan memiliki konsensus bahwa pemanasan global disebabkan oleh aktivitas
manusia, khususnya pembakaran bahan bakar fosil. Perubahan yang terjadi pada pemanasan
global adalah kenaikan suhu, mundurnya glasier, pelelehan salju yang lebih cepat, dan
meningkatnya hujan lebat. Lambat laun pemanasan global akan berefek terhadap manusia
Dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, Indonesia menghadapi tantangan yang
sangat besar, terutama karakteristik wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan, letak geografis
di daerah beriklim tropis, dan di antara Benua Asia dan Benua Australia serta di antara
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, yang oleh karena itu Indonesia sangat rentan terhadap
perubahan iklim. Hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa fakta antara lain kekeringan dan
banjir yang berdampak buruk pada ketahanan pangan, kesehatan manusia, infrastruktur,
permukiman dan perumahan, terutama di daerah pesisir dan kawasan perkotaan.
Infrastruktur PLP diperlukan untuk mendukung peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan
masyarakat, namun Institusi pengelola PLP di daerah saat ini masih belum berfungsi secara
optimal dan professional, antara lain ditunjukkan dengan alokasi dana yang minim, manajemen
yang kurang professional dan minimnya kualitas SDM.
Hingga saat ini, sumber pendanaan bagi pengelolaan sanitasi masih bertumpu pada anggaran
pemerintah akibat belum dikembangkannya alternatif sumber pendanaan lainnya, seperti dana
masyarakat, kerjasama swasta, baik investasi swasta maupun dana CSR.
2
1.2.1
Isu strategis dan permasalahan dalam penyelenggaraan drainase perkotaan adalah sebagai
berikut:
(1)
adanya perubahan iklim global yang berdampak terhadap fluktuasi curah hujan yang
tinggi dan kenaikan muka laut;
(2)
terjadinya perubahan fungsi lahan basah yang menyebabkan yang terganggunya sistem
tata air dan berpengaruh terhadap pengendalian banjir perkotaan masih terjadi di kotakota di Indonesia;
(3)
(4)
belum adanya ketegasan fungsi sistem drainase dimana fungsi saluran drainase perkotaan
untuk sistem pematusan air hujan masih disatukan dengan pembuangan air limbah rumah
tangga (grey water);
(5)
(6)
(7)
(8)
1.2.2
Pengelolaan Persampahan
Isu strategis dan permasalahan dalam penyelenggaraan pengelolaan persampahan adalah sebagai
berikut:
a.
total timbulan sampah tersebut, proporsi sampah terangkut hanya mencapai 20,63%.
Hingga saat ini penanganan sampah masih terfokus pada penanganan timbulan sampah,
dan belum pada pengurangan volume sampah dari sumbernya. Upaya untuk mengurangi
kuantitas sampah sebesar 20% pada periode 2004-2009 juga belum menunjukkan hasil
yang signifikan. Demikian juga halnya dengan infrastruktur pengelolaan persampahan
yang ada ternyata tidak sebanding dengan kenaikan timbulan sampah yang meningkat 24%/tahun, diperburuk dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk dimanfaatkan
sebagai TPA. Sedangkan di sisi yang lain percontohan program 3R (Reduce, reuse dan
recycle) saat ini masih terbatas di 80 kawasan.
Sementara upaya meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota
metro/besar sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Banyak TPA
yang belum didesain sabagai sanitary landfill atau mengalami perubahan sistem dari
sanitary landfill atau controlled landfill menjadi open dumping, padahal sampah sangat
berpotensi dalam menimbulkan dampak pencemaran lingkungan yaitu mampu
menyumbang emisi (1 ton sampah setara dengan 0,6 ton CO2e), total emisi tahun 2010 5,8
juta ton CO2 (tahun 2020 menjadi 76,8 juta ton CO2)
b.
Kemampuan kelembagaan
Pelayanan persampahan di lapangan juga dilaksanakan langsung oleh Dinas. Dalam hal ini,
Dinas yang berfungsi sebagai regulator sekaligus menjalankan kegiatan sebagai operator.
Akibatnya sulit dilakukan pengawasan yang objektif sehingga kualitas pelayanan menjadi
tak terjamin. Sementara itu kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) masih
kurang memadai..Upaya-upaya peningkatan kualitas personil yang telah dilakukan melalui
berbagai pihak baik pemerintah maupun Pemda tidak ditindaklanjuti Pemda secara
memadai. Para tenaga terdidik tersebut pada umumnya telah menempati tugas di luar
sektor persampahan.
c.
Kemampuan pembiayaan
Perhatian terhadap pengelolaan persampahan masih belum memadai baik dari pihak kepala
daerah maupun DPRD. Secara umum alokasi pembiayaan untuk sektor persampahan masih
dibawah 5 % dari total anggaran APBD, rendahnya biaya tersebut pada umumnya karena
pengelolaan persampahan masih belum menjadi prioritas dan menggunakan pola
penanganan sampah yang alakadarnya tanpa memperhitungkan faktor keselamatan
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Demikian juga dengan rendahnya dana penarikan
retribusi (secara nasional hanya mencapai 22 %), sehingga biaya pengelolaan sampah
masih menjadi beban APBD.
Isu-isu strategis dan permasalahan dalam pengelolaan air limbah permukiman di Indonesia,
antara lain:
a.
b.
Peran Masyarakat
Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan air limbah permukiman;
Terbatasnya penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman
yang berbasis masyarakat; Potensi masyarakat dan dunia usaha terkait sistem pengelolaan
air limbah permukiman belum sepenuhnya diberdayakan oleh pemerintah.
c.
Peraturan Perundang-undangan
Belum memadainya perangkat peraturan perundangan dalam sistem pengelolaan air limbah
permukiman; Masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturanperaturan yang terkait dengan pencemaran air limbah; serta Belum lengkapnya Norma
Standar Pedoman dan Kriteria (NSPK) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pelayanan
air limbah.
d.
Kelembagaan
Lemahnya fungsi lembaga di daerah yang melakukan pengelolaan air limbah permukiman;
Belum terpisahnya fungsi regulator dan operator,; Kapasitas sumber daya manusia masih
rendah; serta rendahnya koordinasi antar instansi terkait dalam penetapan kebijakan di
bidang air limbah permukiman.
1.3
1.3.1
1.3.2
2.
3.
Memberdayakan masyarakat dan dunia usaha agar lebih berperan aktif dalam
penyelenggaraan sistem pengelolaan air limbah permukiman;
4.
1.4
5.
6.
pendanaan
dalam
1.4.1
2.
3.
4.
5.
10
1.4.2.2
1.4.2.3
1.4.3
1.4.3.1
1.4.3.2
11
1.4.3.3
12
Bagian II
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
PRASARANA DAN SARANA
PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN (PLP)
DI INDONESIA
2.1
Modul ini memuat tentang tentang Standar Pelayanan Minimal, Bidang Cipta Karya Subbidang
Penyehatan Lingkungan Permukiman. yang mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor:14/Prt/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal, Bidang Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang.
Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (SPM) adalah :
ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara
minimal. Pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan dasar Bidang
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang sesuai dengan SPM Bidang Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang yang terdiri atas: jenis pelayanan, indikator kinerja dan target. Pemerintah
Daerah adalah Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk
menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian SPM berupa
masukan, proses keluaran, hasil dan/atau manfaat pelayanan dasar. Batas waktu pencapaian
adalah batas waktu untuk mencapai target jenis pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang secara bertahap sesuai dengan indikator dan nilai yang ditetapkan.
Standar pelayanan minimal Bidang Pekerjaan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP)
secara lengkap seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor:14/Prt/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal, Bidang Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang dapat dilihat pada Lampiran II.
13
2.2
2.2.1
Tersedianya sistem jaringan saluran-saluran air yang digunakan untuk pematusan air
hujan, yang berfungsi menghindarkan genangan (inundation) yang berada dalam suatu
kawasan atau dalam batas administratif kota yang diukur dari pemenuhan kebutuhan
masyarakat akan penyediaan sistem drainase diwilayahnya, baik bersifat struktural yaitu
pencapaian pembangunan fisik yang mengikuti pengembangan perkotaannya, maupun
bersifat non-struktural yaitu terselenggaranya pengelolaan dan pelayanan drainase oleh
Pemerintah Kota/Kabupaten yang berupa fungsionalisasi institusi pengelola drainase
dan penyediaan peraturan yang mendukung penyediaan dan pengelolaannya.
Genangan (inundation) yang dimaksud adalah air hujan yang terperangkap di daerah
rendah/cekungan di suatu kawasan, yang tidak bisa mengalir ke badan air terdekat. Jadi
bukan banjir yang merupakan limpasan air yang berasal dari daerah hulu sungai di luar
kawasan/kota yang membanjiri permukiman di daerah hilir.
SPM sistem jaringan drainase skala kawasan dan kota ditargetkan sebesar 50% pada tahun
2014. Pencapaian 100% diharapkan bertahap mengingat saat ini banyak Pemerintah
Kota/Kabupaten yang belum mempunyai Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan maupun
penerapan O/P secara konsisten. Disamping itu, mengingat Kabupaten/Kota yang mempunyai
wilayah yang sering tergenang akan memerlukan kolam retensi (polder). Tidak semua daerah
akan mampu membangunnya, sehingga memerlukan upaya dan waktu agar Pemerintah dan
Pemerintah Provinsi memberikan dana stimulan
2.2.2
SPM ini adalah persentase luasan yang tergenang di suatu Kota/Kabupaten pada akhir tahun
pencapaian SPM terhadap luasan daerah rawan genangan atau berpotensi tergenang di
Kota/Kabupaten dimaksud.
14
A = luasan daerah yang sebelumnya tergenang dan kemudian terbebas dari genangan
(terendam < 30cm dan < 2 jam dan maksimal terjadi 2 kali setahun);
B = luasan daerah yang rawan genangan dan berpotensi tergenang (sering kali terendam > 30
cm dan tergenang > 2 jam dan terjadi > 2 kali/tahun).
Untuk dapat menghitung pencapaian SPM bidang drainase ini bersumberkan data dari :
Rencana Induk
Kabupaten/Kota;
Sistem
Drainase
Kabupaten/Kota,
Master
Plan
Drainase
2.3
15
2.3.2
16
Keterangan:
Perhitungan Jumlah sampah per hari yang harus dipilah, digunakan kembali, didaur ulang
dan diolah oleh tempat pengolahan sampah skala kawasan adalah :
Timbulan sampah (l/orang/hari) dikalikan jumlah populasi yang dilayani oleh tempat
pengolahan sampah di perkotaan tersebut
SPM fasilitas penguranga n sampah di perkotaan
Seluruhkota
Untuk dapat menghitung pencapaian SPM bidang persampahan ini bersumberkan data dari :
Data Timbulan sampah dan komposisi sampah yang dikeluarkan oleh Dinas yang
membidangi Pengelolaan Persampahan
Contoh Perhitungan:
Pada kondisi eksisting, kota A belum memiliki tempat pengurangan sampah di perkotaan.
Direncanakan pada akhir tahun pencapaian jumlah penduduk akan dibangun fasilitas
pengurangan sampah TPST di perkotaan yang mampu mengolah total volume sampah sebesar
30,000 ton. Total volume sampah kota sampai akhir tahun pencapaian adalah 250,000 ton.
Maka nilai SPM pada akhir tahun pencapaian adalah:
(30,000 ton/250,000 ton) x 100% = 12 %
Nilai SPM ini belum memenuhi Standar pelayanan minimal yaitu sebesar 20%. Maka untuk
mencapai standar pelayanan minimal pada tahun 2014 diperlukan strategi / langkah kegiatan
sbb:
17
2.3.2.2 SPM pelayanan sampah adalah jumlah penduduk yang terlayani dalam sistem
penanganan sampah terhadap total jumlah penduduk di Kabupaten/Kota
tersebut, dinyatakan dalam bentuk prosentase
SPMpelayan an sampah
Seluruhkota
Vol .sampah
Volume sampah
jumlah truk yang dibutuhkan
ki ((k1xr1) (k 2 xr 2) .........) ritasi / hari
K1
R1
=
=
Seluruhkota
Vol .sampah
(Timbulan populasi) vol.sampah di daurulang , guna ulang , proses vol. sampah ke TPA
18
Contoh Perhitungan:
Pada kondisi eksisting, kota A telah melakukan pengangkutan di beberapa wilayah kota.
Direncanakan pada akhir tahun pencapaian, dengan kendaraan yang ada akan mengangkut
toal volume sampah sebesar 100,000 ton. Total volume sampah kota sampai akhir tahun
pencapaian adalah 250,000 ton. Maka nilai SPM pada akhir tahun pencapaian adalah:
(100,000 ton/250,000 ton) x 100% = 40 %
Pada kondisi eksisting, kota A (kota kecil) memiliki 1 TPA yang masih dioperasikan
dengan Open Dumping. Pada akhir tahun perencanaan direncanakan TPA tersebut sudah
dioperasikan dengan Controlled Landfill, tidak ada rencana pembangunan lokasi baru, maka
nilai SPM pada akhir tahun pencapaian adalah 100%.
Maka untuk pencapaian standar pelayanan minimal pada tahun 2014 diperlukan strategi /
langkah kegiatan sbb:
- Sosialisasi mengenai pengelolaan sampah terpadu
19
Fasilitas umum (jalan masuk, pos jaga, saluran drainase, pagar, listrik, alat komunikasi)
20
2.4
2.4.1
Kriteria tingkat pelayanan adalah bahwa sebuah kabupaten/kota dengan jumlah masyarakat
minimal 50.000 jiwa yang telah memiliki tangki septik (sesuai dengan standar teknis
berlaku) diharapkan memiliki sebuah IPLT yang memiliki kualitas efluen air limbah
domestik tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan.
2)
Nilai SPM tingkat pelayanan adalah jumlah masyarakat yang dilayani dinyatakan dalam
prosentase jumlah masyarakat yang memiliki tangki septik yang dilayani pada tahun akhir
SPM, terhadap jumlah total masyarakat yang memiliki tangki septik di seluruh
kabupaten/kota.
2.4.2
2.4.2.1 SPM tingkat pelayanan adalah persentase jumlah masyarakat yang memiliki
tangki septik yang dilayani pada akhir pencapaian SPM terhadap jumlah total
masyarakat yang memiliki tangki septik di seluruh kabupaten/kota.
Atau, dirumuskan sbb.:
seluruhkab/ kota
Keterangan:
(a) = Tangki septik yang dilayani yaitu jumlah kumulatif tangki septik yang dilayani oleh IPLT
di dalam sebuah kabupaten/kota pada akhir tahun pencapaian SPM
21
(b) = Total tangki septik yaitu jumlah kumulatif tangki septik yang dimiliki oleh masyarakat
di seluruh kabupaten/kota
Untuk dapat menghitung pencapaian SPM bidang drainase ini bersumberkan data dari :
1. Wilayah dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun
analisis
2. Rencana pengembangan wilayah dari Dinas terkait (Bappeda atau Dinas Pekerjaan Umum
Daerah)
b.
Contoh Perhitungan
Pada kondisi eksisting tahun X di Kabupaten A, diidentifikasi jumlah masyarakat yang
memiliki tangki septik sebanyak 75.000 jiwa. Direncanakan pada tahun akhir pencapaian
SPM, (tahun 2014) jumlah masyarakat yang memiliki tangki septik dan terlayani oleh
IPLT sebanyak 250.000 jiwa.
Secara total jumlah penduduk yang memiliki tangki septik di tahun 2014 adalah sebanyak
400.000 jiwa.
Dengan asumsi 1 KK setara dengan 5 jiwa, maka jumlah tangki septik yang terlayani
adalah : (250.000 jiwa/5 KK/tangki septik) = 50.000 buah tangki septik
Jumlah total tangki septik adalah :
(400.000 jiwa/5 KK/tangki septik) = 80.000 buah tangki septik
Maka nilai SPM tingkat pelayanan pada akhir tahun pencapaian SPM adalah:
(50.000/80.000) x 100% = 62,5%.
Kesimpulan :
Pada tahun 2014, Kota X telah melapaui standar pelayanan minimal pengelolaan air limbah
karena tingakat pelayanan sebesar 62,5% melebihi SPM sebesar 60%.
Pencapaian standar pelayanan minimal pada tahun 2014 tersebut dicapai dengan mempunyai
strategi dan melaksanakan langkah kegiatan sbb:
22
Sosialisasi penggunaan tangki septik yang benar kepada masyarakat, sesuai dengan
standar teknis yang berlaku
2.4.2.2 SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah adalah persentase
jumlah masyarakat yang terlayani sistem jaringan dan pengolahan air limbah
skala komunitas/kawasan/kota pada tahun akhir SPM terhadap jumlah total
penduduk di seluruh kabupaten/kota tersebut. Atau, dirumuskan sbb.:
SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah
seluruhkab/ kota
penduduk (b)
(a) = Penduduk yang terlayani adalah jumlah kumulatif masyarakat yang memiliki
akses/terlayani sistem jaringan dan pengolahan air limbah skala
komunitas/kawasan/kota di dalam sebuah kabupaten/kota pada akhir pencapaian
SPM.
(b) = Penduduk adalah jumlah kumulatif masyarakat di seluruh kabupaten/kota.
Tingkat pelayanan adalah nilai tingkat pelayanan sistem jaringan dan pengolahan air
limbah dinyatakan dalam prosentase jumlah masyarakat yang terlayani sistem jaringan
dan pengolahan air limbah skala komunitas/kawasan/kota pada tahun akhir SPM terhadap
jumlah total penduduk di seluruh kabupaten/kota tersebut.
Kriteria ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah adalah bahwa pada
kepadatan penduduk > 300 jiwa/ha diharapkan memiliki sebuah sistem jaringan dan
pengolahan air limbah skala komunitas/kawasan/kota dengan kualitas efluen instalasi
pengolahan air limbah tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah
ditetapkan
Untuk dapat menghitung pencapaian SPM bidang pengelolaan air limbah ini bersumberkan data
dari :
1. Wilayah dalam Angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Daerah per tahun
analisis
2. Rencana pengembangan wilayah dari Dinas terkait (Bappeda atau Dinas Pekerjaan
Umum Daerah)
23
Contoh Perhitungan
Direncanakan pada tahun akhir pencapaian SPM (tahun 2014), jumlah masyarakat
Kabupaten A yang memiliki akses sistem jaringan dan pengolahan air limbah skala
kawasan sebanyak 75.000 jiwa,
Secara total, jumlah penduduk di Kabupaten A tersebut di tahun 2014 sebanyak 500.000
jiwa. Maka nilai SPM ketersediaan sistem jaringan dan pengolahan air limbah pada akhir
tahun pencapaian adalah:
(75.000 jiwa / 500.000 jiwa) x 100% = 15%.
Bila pada tahun 2014 target pelayanan 15% tercapai maka standar pelayanan minimal
Kabupaten A telah melebihi SPM yaitu sebesar 5%. Pencapaian tersebut dapat terpenuhi
dengan dilakukannya strategi dan langkah kegiatan melakukan sosialisasi penyambungan
Sambungan Rumah ke sistem jaringan air limbah.
2.5
DAFTAR PUSTAKA
24
Bagian III
PEMBANGUNAN BERDAMPAK RENDAH (PDR)
3
3.1
25
berdampak buruk pada ketahanan pangan, kesehatan manusia, infrastruktur, permukiman dan
perumahan, terutama di daerah pesisir dan kawasan perkotaan.
3.2
Suhu udara bumi ditentukan oleh keseimbangan antara energi yang masuk dari Matahari dalam
bentuk radiasi yang terlihat (sinar matahari) dan energi yang secara konstan dikeluarkan oleh
permukaan Bumi ke angkasa dalam bentuk radiasi infra merah yang tidak terlihat (panas).
Energi matahari masuk ke Bumi melalui lapisan atmosfer yang transparan, tanpa mengalami
perubahan, dan kemudian memanaskan permukaan Bumi. Namun radiasi infra merah yang
terlepas dari permukaan Bumi sebagian diserap oleh beberapa jenis gas di atmosfer, dan
sebagian dipantulkan kembali ke Bumi. Efek dari fenomena ini yaitu penghangatan permukaan
Bumi dan lapisan bawah atmosfer. Fenomena ini yang disebut efek rumah kaca.
Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas yang secara langsung atau tidak langsung, dihasilkan oleh
aktivitas manusia (anthropogenic) atau alami yang keberadaannya di atmosfer ikut menentukan
perubahan beberapa variabel iklim karena memiliki kemampuan meneruskan radiasi
gelombang-pendek yang tidak bersifat panas tetapi menahan radiasi gelombang-panjang yang
bersifat panas.
Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4)
yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan
ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan
pendingin ruangan (CFC)(tabel 3.1).
Setiap tahun, penggunaan bahan bakar fosil menghasilkan sekitar 5,5 gigaton karbon. Hutan dan
pepohonan saat ini masih mampu menyerap 1 gigaton, sedangkan lautan menyerap 2 gigaton.
Artinya, masih tersisa 3,5 gigaton karbon yang terbuang ke atmosfer (Susandi, Armi, 2008).
Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan CO2 juga
makin memperparah keadaan ini karena CO2 yang diserap berkurang, dan pohon-pohon yang
mati justru melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.
Karbon dioksida (CO2) telah meningkat akibat penggunaan bahan bakar fosil yang kita bakar
untuk penggunaan transportasi, produksi energi, pemanasan dan pendinginan bangunan.
Deforestasi (penebangan hutan) juga menyebabkan terlepasnya CO2 ke atmosfer dan
mengurangi penyerapan CO2 oleh tanaman.
26
Tabel 3-1. Gas Rumah Kaca yang Utama dan Gambaran Umum Perubahan Iklim
KONSENTRASI
LIFE
TIME
GWP
SUMBER
Pra
1994
(tahun)
Industri
50-200
280 ppm
385 ppm
1
BBF & Deforestasi
CO2
12-17
700 ppb
1.720 ppb
21
Biologi & Pertanian
CH4
120
275 ppb
312 ppb
310
Energi & Pabrik Pupuk
N 2O
102
0
505 ppt
8.500
Industri Kimia
CFC12
1,5-264
0
110 ppb
140-11.700 Proses Industri
HFC
50.000
0
70 ppt
6.300
Antrophogenik
CF4
INDIKATOR
PERUBAHAN YANG TERJADI
750 ppm (1000-1750) menjadi 368 ppm (2000); meningkat 31
Konsentrasi CO2 di atmosfir
+ 34%
30 Gt C (1800-2000), tetapi selama tahun 1990-an sekitar 14-17
Konsentrasi CO2 di bumi
Gt C
700 ppm (1000-1750) menjadi 1750 (2000); meningkat 151 +
Konsentrasi CH4 di atmosfir
25%
Konsentrasi N2O di atmosfir
270 ppb (1000-1750) menjadi 316 ppb (2000)
Temperatur atmosfir bumi rataMeningkat 0,6 + 0,2 selama abad 20
rata global
Kenaikan permukaan laut
Meningkat 1-2 mm per tahun selama abad ke 20
GAS
Metana (CH4) telah meningkat lebih dari dua kali lipat sebagai hasil aktivitas manusia terkait
dengan pertanian, distribusi gas alam dan pembuangan sampah. Namun, peningkatan
konsentrasi metana melambat dikarenakan tingkat pertumbuhan emisi yang menurun selama
dua dekade terakhir. Nitro oksida (N2O) juga diemisikan dari kegiatan manusia seperti
penggunaan pupuk dan pembakaran bahan bakar fosil.
Gas rumah kaca lainnya yaitu gas-gas lain yang berkontribusi lebih sedikit, seperti misalnya
gas-gas CFC (yang emisinya telah menurun secara substansial) dan gas ozon di lapisan bawah
atmosfer. Uap air merupakan gas rumah kaca yang paling banyak dan paling penting di lapisan
atmosfer. Namun, aktivitas manusia hanya berpengaruh sedikit pada jumlah uap air di
atmosfer.
Secara tidak langsung, manusia memiliki potensi untuk mempengaruhi jumlah uap air secara
substansial dengan mengubah iklim karena atmosfer yang lebih hangat mengandung lebih
banyak uap air. Aerosol merupakan partikel-partikel kecil yang berada di atmosfer dengan
variasi yang beragam untuk konsentrasi dan komposisi kimiawi. Pembakaran bahan bakar fosil
dan biomassa telah meningkatkan jumlah aerosol yang mengandung komponen sulfur, organik
dan karbon hitam (jelaga).
27
Berdasarkan Protocol Kyoto dan diadopsi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
71 Tahun 2011, tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, dalam Pasal
III Ayat 6, ditetapkan 6 jenis gas rumah kaca yang berperan sebagai penyerap energi radiasi
matahari yang semestinya dipantulkan kembali ke ruang angkasa, akan tetapi karena adanya
gas-gas rumah kaca tersebut maka energi radiasi matahari tertahan di lapisan atmosfer dan
menyebabkan peningkatan suhu bumi. Gas-gas tersebut diantaranya adalah CO2 (karbon
dioksida), CH4 (metana), N2O (nitrogen oksida), HFCS (hydrofluorokarbons), PFCS
(perfluorocarbons) dan SF6 (sulphur hexafluoride) (gambar 3.1)
28
permukaan bumi. Dari tahun ketahun konsentrasi gas-gas rumah kaca mengalami peningkatan,
tidak hanya secara global akan tetapi konsentrasi gas-gas rumah kaca di Indonesia juga
mempunyai kecenderungan naik.
Efek rumah kaca sangatlah penting bagi hidup manusia, Efek gas rumah kaca alami menjaga
Bumi lebih hangat dari kondisi sebenarnya. Gas-gas penyerap utama yang berada di atmosfer
yaitu uap air (bertanggung jawab sekitar dua pertiga dari efek tersebut) dan CO2 (Karbon
Dioksida), CH4 (Metana), N2O (Nitrogen Oksida), HFCs (Hydrofluorokarbons), PFCs
(Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur hexafluoride) dan beberapa gas lain di atmosfer yang
berada dalam jumlah sedikit juga berkontribusi pada efek rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca,
Bumi akan, secara rata-rata, 20-25oC lebih dingin dari kondisi sekarang dan akan menjadi
terlalu dingin dan merupakan suatu keadaan yang sangat tidak nyaman bagi mahluk hidup di
muka bumi.
Penumpukan gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia menyebabkan daya serap terhadap
radiasi matahari di atmosfer semakin bertambah. Proses terjadinya penumpukan energi matahari
di atmosfer akibat kehadiran gas-gas rumah kaca tersebut dikenal sebagai efek rumah kaca.
(gambar 3.2). Istilah gas rumah kaca dan efek rumah kaca mengacu pada sifat proses
terperangkapnya sinar matahari pada penerapan teknologi rumah kaca di negara-negara lintang
tinggi. Pada wilayah tersebut rumah kaca dibuat untuk membuat suasana menyerupai daerah
tropis dengan suhu dan kelembaban yang terjaga. Peningkatan pada jumlah gas rumah kaca di
atmosfer menyebabkan semakin sedikit panas yang dilepas bumi ke angkasa dan suhu udara
global pun meningkat sebuah efek yang dinamakan pemanasan global.
Pemanasan global dianggap sebagai penyebab utama perubahan iklim. Perubahan iklim adalah
dampak dari pemanasan global yang melibatkan unsur aktivitas manusia dan alamiah. (gambar
3.3). Peristiwa alamiah yang memberi pengaruh positif dan negatif pada pemanasan global
adalah letusan gunung berapi, dinamika iklim di atmosfer dan lautan serta pengaruh dari luar
bumi seperti gejala kosmis dan ledakan di permukaan matahari.
Pemanasan global yang disebabkan oleh manusia merupakan hasil dari perubahan jumlah dan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer dan juga karena menurunnya daya serap gas-gas
rumah kaca yang sudah terdapat di atmosfer bumi. Pada kasus kedua, peristiwa pemanasan
global dapat di-mitigasi (dikurangi) dengan menambah daya serap gas-gas rumah kaca di
atmosfer
29
30
3.3
PERUBAHAN IKLIM
Pada Bulan April 2007, Laporan ke-4 Working Group II Intergoverment Panel on Climate
Change (IPCC)**) membuktikan adanya beberapa fenomena perubahan iklim, termasuk
perubahan temperatur regional, yang berdampak nyata secara fisik dan biologis. Sejak periode
1850-1899 hingga periode 2001-2005, kenaikan temperatur rata-rata mencapai 0.760C. Adapun
dalam kurun waktu 1961-2003 terjadi kenaikan muka air laut global dengan laju rata-rata 1.8
mm/tahun. Tercatat pula pada awal abad ke-20, kenaikan total muka air laut diperkirakan
mencapai 17 cm. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan sosial-ekonomi manusia
(antropogenik) memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan temperatur global,
sehingga tanpa upaya yang terstruktur dan berkesinambungan, akan dapat menimbulkan
dampak sangat serius di masa mendatang
Terkait dengan perubahan Iklim, terdapat 4 (empat) fenomena sebagai berikut:
(1) meningkatnya temperatur udara;
(2) meningkatnya curah hujan;
(3) meningkatnya muka air laut; dan
(4) meningkatnya intensitas kejadian ekstrim, antara lain:
berkurangnya curah hujan dan debit sungai pada musim kemarau serta bertambah
panjangnya periode musim kering;
**) Keterangan :
Intergoverment Panel on Climate Change (IPCC) adalah badan antar-pemerintah ilmiah, didirikan atas permintaan pemerintah
negara anggota. Pertama kali didirikan pada tahun 1988 oleh dua organisasi PBB, the World Meteorological Organization
(WMO) Dunia. dan United Nations Environment Programme (UNEP) yang kemudian disahkan oleh Majelis Umum PBB
melalui Resolusi 43/53. Misinya adalah untuk memberikan penilaian ilmiah yang komprehensif dari informasi ilmiah, teknis
dan sosio-ekonomi di seluruh dunia saat ini, tentang risiko perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia,
konsekuensi potensial lingkungan dan sosial-ekonomi, dan pilihan yang mungkin untuk beradaptasi terhadap konsekuensi atau
pengurangan efek. Panel ini dipimpin oleh Rajendra K. Pachauri. Ribuan ilmuwan dan pakar lainnya memberikan kontribusi
(secara sukarela, tanpa bayaran dari IPCC) untuk menulis dan meninjau laporan dengan Ringkasan untuk pembuat kebijakan
yang tunduk pada garis persetujuan semua pemerintah yang berpartisipas serta ditinjau oleh semua perwakilan pemerintahan,
yang melibatkan lebih dari 120 negara.
31
32
3.4
Emisi gas rumah kaca (GRK) antropogenik dapat dikurangi (mitigasi) serta kemampuan orang
untuk mengatasi dampak perubahan iklim (adaptasi) dapat ditingkatkan dengan menggunakan
sistem sanitasi berorientasi pemulihan energy, atau pamanfaatan kembali air limbah/reuse.
Pendekatan Pembangunan Berdampak Rendah bidang Penyehatan Lingkungan Permukiman
(PLP) melingkupi upaya mitigasi dalam meminimalkan dampak perubahan iklim akibat
pemanasan global di bidang pengelolaan air limbah permukiman dan pengelolaan sampah serta
upaya adaptasi penyelenggaraan sistem drainase. Modul ini memberikan gambaran potensi serta
upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang mungkin dilakukan untuk mengurangi dampak atau
beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) merupakan
tindak lanjut dari komitmen Indonesia dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim yang
disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan para
pemimpin negara pada pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009.
Komitmen Pemerintah Republik Indonesia seperti yang disampaikan Presiden Susilo Bambang
33
Yudhoyono pada pertemuan tersebut adalah meningkatkan upaya untuk mengurangi emisi GRK
sebesar 26% melalui business as usual dengan kemampuan sendiri dan menjadi 41% apabila
dengan dukungan internasional. Hal ini memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap
kebijakan pembangunan nasional berbagai sektor yang terkait dalam merespon perubahan iklim.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut, walaupun belum secara tegas menetapkan target kuantitatif
dan jadwal pelaksanaannya, namun telah mempengaruhi kebijakan-kebijakan pembangunan
nasional baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk kebijakan pembangunan
infrastruktur bidang ke-PU-an, serta kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk
menanggulangi dampak perubahan iklim, khususnya untuk bidang ke-PLPan baik berupa
adaptasi fenomena perubahan alamiah maupun upaya menurunkan emisi GRK dari berbagai
kegiatan pembangunan terutama di pengelolaan sampah dan air limbah.
Emisi Netto Indonesia diperkirakan bertambah dari 1.38 (tahun 2000) menjadi 2.95 GtCO2eq
(Tahun 2020). Berdasarkan skenario dalam laporan Second National Communication (SNC,
2010), maka target penurunan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 adalah 0,767 Gton
CO2eq. Target tersebut akan bertambah 15% (0,477 Gton CO2eq) menjadi 41% penurunan
emisi GRK apabila ada dukungan pendanaan internasional. Namun demikian, besaran target
penurunan emisi GRK tersebut akan diperhitungkan kembali secara lebih akurat dengan
menggunakan metodologi, data, dan informasi yang lebih baik.
Indonesia juga telah menyampaikan informasi mengenai Nationally Appropriate Mitigation
Actions (NAMAs) Indonesia ke Sekretariat UNFCCC oleh Ketua Harian Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) pada tanggal 30 Januari 2010. Tujuh bidang utama telah disampaikan
untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020. Kebijakan penurunan
Emisi GRK untuk sektor limbah yang meliputi air limbah dan persampahan dapat dilihat pada
tabel 3.2 di bawah ini.
Tabel 3-2 Identifikasi Program Penurunan Emisi Sektor Air Limbah dan Persampahan
Kebijakan Penurunan Emisi GRK
Perpres 61 tahun 2011
Sektor
Rencana Aksi
K/L pelaksana
26%
15%
Total
Dana DN
Bantuan LN
(41%)
Pengelolaan
sampah dengan 3R
Limbah
Kemen.PU,
0.048
0.030
0.078
dan Pengelolaan
KLH
(Gt CO2eq)
limbah terpadu di
perkotaan
Sumber : Perpres No. 61 Tahun 2011, Tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumahkaca (RANGRK)
34
upaya mitigasi perubahan iklim yang berupa pengelolaan sampah dan air limbah,
terutama untuk menurunkan emisi gas methan, berupa pembangunan sarana prasarana
air limbah dengan sistem off-site dan on-site serta pembangunan Tempat Pemrosesan
Akhir (TPA) dan pengelolaan sampah terpadu Reduce, Reuse, Recycle (3R)
a. upaya adaptasi perubahan iklim yang berupa penanganan sistem drainase yang mampu
mengantisipasi dampak perubahan curah hujan yang ekstrim.
3.4.1
d. Pengelolaan air limbah berupa penyaluran dan pengolahan air limbah (WWT and
35
Proses dekomposisi bahan organik secara alami oleh bakteri anaerob menghasilkan produksi
methan, oleh karena itu sektor limbah yang terdiri dari penimbunan limbah padat (sampah) dan
pengolahan limbah cair merupakan sumber-sumber penghasil gas rumah kaca non-CO2 terbesar.
Dampak methan sebagai gas rumah kaca sangat signifikan, karena methane memiliki potensi
pemanasan global yang lebih kuat dibandingkan dengan karbon dioksida (CO2), sehingga dalam
jangka pendek sangatlah pentinglah untuk dapat mengidentifikasi sumber methan dalam
antisipasi perubahan iklim (US EPA 2006a).
3.4.1.1 Potensi Mitigasi Pengelolaan Limbah Cair
Pada akhirnya semua bahan organik hasil buangan domestik/limbah kotoran manusia
mengalami dekomposisi baik secara alamiah, di tangki atau melalui proses pengolahan. Hasil
penguraian dan dekomposisi tersebut berpotensi menghasilkan emisi gas terkait perubahan
iklim. apakah menghasilkan CO2 atau CO2 dan CH4 tergantung pada proses dekomposisi
/penguraiannya bahan organic tersebut
a.
(160)
(220)
Berdasarkan proses tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan 160 gram O2 untuk
mendegradasi bahan organik yang dinyatakan dalam nilai kandungan BOD5 memproduksi CO2
220 gr. Ini berarti bahwa pengolahan 1 Kg BOD memberikan potensi emisi 1,4 kg CO2
b.
Berdasarkan stokiometri proses dekomposisi aerobik secara umum sama, namun oksigen
dipasok melalui aerasi buatan. Kebutuhan oksigen diperlukan untuk proses ini adalah :
O2 = 1,47 x BOD5 terdekomposisi - 1,4 x produksi biomassa
Jika kemampuan pengolahan adalah 90% BOD5 terdekomposisi dan yang 30 persen dikonversi
ke biomassa maka kebutuhan O2 akan menjadi sekitar 1kg O2/kg BOD5 terdegradasi. Bila
biomassa juga mengalami dekomposisi secara aerobic, maka total dekomposisi CO2 yang
dihasilkan sama dengan yang diproduksi dalam sistem aerobik alami.
36
Secara umum energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg O2 sebesar 0,7 kwh sehingga
energi 1 KHW setara dengan 0.6 kg CO2. Oleh karena itu 1kg O2 melalui aerasi buatan
berpotensi mengahsilkan emisi 0,42 kg CO2. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan 1 kg
BOD memproduksi 1,4 kg CO2 dan membutuhkan 0,42 kg O2.
c.
Proses anaerobik dengan menghasilkan gas
Penggunaan proses anaerobik kurang efisien untuk memproduksi biomassa. CO2 dan CH4
diproduksi seperti yang diberikan oleh stokiometri berikut.
(132)
(48)
(192)
(132)
Ini menunjukkan bahwa 1 kg BOD menghasilkan 0,25 kg CH4 dan 0,68kg CO2
Jika CH4 dibakar menghasilkan CO2
3CH4 +6 O2 3CO2 + 6H2O
(48)
(192)
(132)
Hal ini menunjukkan bahwa 1 kg CH4 menghasilkan 1kg CO2, sehingga pengolahan 1 kg BOD
akan berpotensi menghasilkan emisi 1,68 Kg CO2. Bila diasumsikan tiap orang memproduksi
sekitar 30gr / hari BOD organik , maka dapat dihitung potensi emisi CO2 yang dihasilkan
apabila 1 BOD menghasilkan 1,4 kgCO2 dalam proses aerobik dan 1,68 kg CO2 dalam proses
anaerobik dengan pemanfaatan gas.
Pada semua jenis teknologi biogas, Chemical Oxigen Demand (COD), umumnya digunakan
untuk mengukur jumlah bahan organik dalam limbah cair dan memprediksi potensi produksi
biogas. Proses anaerob menghasilkan 12 x 106 BTU CH4 per 1.000 kg COD. Parameter lain
yang sangat berguna untuk mengevaluasi substrat pengolahan anaerobik adalah
biodegradabilitas anaerobik dan konstanta hidrolisis. Biodegradabilitas anaerobik secara total
diukur dengan jumlah total gas metana yang dihasilkan selama waktu retensi minimal 50 hari
(MES et al. 2003).
Dalam proses anaerobik, bahan organik yang terkandung dalam limbah domestik dan air limbah
terdekomposisi dan terbentuk biogas yang mengandung methan 60-70%. Kolam anaerobik,
tangki septik serta sistem pengolahan air limbah secara anaerobik (anaerobik wastewater
treatment) dimana tidak ada sistem pengumpulan biogas atau terjadi kebocoran (misalnya :
banyak terjadi di reactor UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket), atau bahkan pada
37
pembuangan air limbah yang tidak diolah ke badan air, proses anaerobik berlangsung dengan
melepaskan methane ke atmosfer dalam berbagai tingkatan yang berbeda. Disamping itu
Karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari energi memerlukan konsumsi bahan bakar fosil
yang mengarah langsung ke emisi CO2. Selama proses denitrifikasi dalam pengolahan air
limbah, serta pembuangan air limbah nitrogen ke dalam badan air terjadi emisi nitrogen oksida
(N2O).
Methana (CH4) adalah komponen yang berharga dapat dipergunakan sebagai bahan bakar
biogas. Biogas yang berisi sekitar 60 sampai 70% CH4 memiliki nilai kalori sekitar 6 kWh/m3
atau setara dengan sekitar setengah liter minyak diesel (ISAT / GTZ 1999).
Model empiris untuk memperkirakan emisi metana dari air limbah dibuat oleh IPCC (IPCC
2006) dan US EPA (US EPA 2006b). Namun, Doorn et al. (2000) menggunakan model
persamaan yang diubah untuk memperkirakan emisi metana. Persamaan mengacu pada
pelayanan pengelolaan air limbah domestik yang tidak terpusat dan untuk kelompok penduduk
berpenghasilan berbeda:
Emisi CH4 (Tg/tahun) = EF Pc .BODc M us (Uc Tcsu I) AFCS
Keterangan :
EF
Pc
= populasi negara,
BODc = kebutuhan oksigen biologis negara spesifik per kapita (g / (cap d)),
M
= konversi dari BOD (g / (cap d)) untuk COD (kebutuhan oksigen kimia, Tg/tahun),
Uc
38
Di Indonesia sampah ditemui berbagai macam pengurangan dan penanganan sampah seperti
dikompos, dibakar, dibuang ke sungai, diurug, dibuang ke landfill, dan sebagainya. Potensi gas
rumah kaca yang dihasilkan berbeda tergantung dari proses yang terjadi tersebut.
Untuk pembakaran terbuka dan dekomposisi natural, proporsi sampah yang dapat terurai secara
biologi di Indonesia adalah lebih tinggi. Dalam proses pembakaran terjadi reaksi aerob yang
menghasilkan CO2, namun tidak ada gas rumah kaca yang dilepaskan ke udara. Emisi CH4 dari
landfill merupakan hasil dekomposisi anaerobik dari materi organik dalam sampah. Sampah
dalam landfill terdekomposisi perlahan, dan waktu dekomposisi dapat berlangsung dalam
beberapa dekade. Pada dasarnya gas yang terbentuk terdiri atas gas CH4 (metana) dan gas CO2,
Secara umum sampah yang dibuang ke tempat pemrosesan akhir akan mengalami tiga fase,
yaitu fase aerobik, fase acetogenik, dan fase methanogenik. Keberlangsungan ketiga fase
tersebut sangat tergantung pada aktivitas berbagai jenis mikroorganisma. Fase tersebut adalah:
Secara umum fase aerobik hanya berlangsung dalam waktu yang cukup singkat
(dari beberapa hari sampai beberapa minggu)
Gas yang dihasilkan terutama adalah CO2 dan uap air. CO2 yang dihasilkan
menyebabkan pH menjadi asam
Pada tahapan berikutnya, terjadi proses pemadatan dan pelapisan tanah pada
lapisan atas sampah. Mikroorganisma aerob digantikan oleh mikroorganisma
fakultatif yang dapat hidup dalam lingkungan rendah oksigen lingkungan
(anaerobik)
39
Pada fase ini produksi gas methan menjadi konstan dan gas-gas lain juga
dihasilkan dengan komposisi sebagai berikut:
40% methana
3-20% Nitrogen
1% Oksigen
Secara ringkas reaksi pembentukan gas metan secara anaerobik ini terjadi sebagai berikut:
Bahan organik + H2O
Laju pembentukan CH4 dari landfill sangat spesifik untuk kawasan tertentu karena
pembentukannya tergantung kepada jenis sampah yang dibuang, elemen kelembaban, umur
sampah dan kondisi iklim lokal. Faktor emisi untuk setiap kegiatan pengolahan sampah
berdasarkan data-data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.3
Tabel 3-3 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah
No
1
Kegiatan
Faktor Emisi
Transportasi Sampah
0,71 kg CO2/km
(Sumber: Alisan Smith et al,
2001:Waste management
options and climate change,
AEA Techno-Environment)
40
Keterangan
Rata-rata
perjalanan ke
TPA
=
50 km/per 2,5 ton
sampah
41
Tabel 3-3 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah (lanjutan)
No
2
Kegiatan
Degradasi Sampah di Landfill.
Dihitung berdasarkan kondisi sampah
di Indonesia: kadar air, kadar karbon organik, dsb.
Faktor Emisi
Keterangan
75 kg CH4/ton
sampah
Pada Sanitary
Landfi ll yang baik,
maksimum 90%
emisi dapat
tertangkap.
Pembakaran Sampah
Kertas
dan
Organik
Plastik
0,05 kg N2O/
ton sampah
2.237 kg
CO2/
ton sampah
0,05 kg N2O/
ton sampah
Pengomposan
210 kg CO2/ton
sampah
42
Tabel 3-3 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah (lanjutan)
No
Kegiatan
Faktor Emisi
Keterangan
Daur Ulang
Kertas
dan
Organik
Plastik
0,05 kg N2O/
ton sampah
N2O = 310 CO2
2.237 kg
CO2/ton
sampah
dan
CH4 = 23 CO2,
nantinya disebut
sebagai
CO2 eq
0,05 kg N2O/
ton sampah
Pengelolaan Sampah lainnya
Sampah
ditimbu
n
dimana
saja dan
dibuang
langsun
g ke
sungai
750 kg CO2/
ton sampah
Banyaknya produksi methana yang dihasilkan dalam sebuah landfill bergantung pada beberapa
faktor seperti:
Kelembaban sampah
pH
Meskipun demikian tingkat pemadatan dan berat jenis sampah tidak terlalu berpengaruh. Salah
satu contoh metoda perhitungan volume gas metan yang dihasilkan dalam sebuah TPA adalah
sbb:
43
Q = M*10*T/8760 (*)
Dimana:
Q = besarnya aliran gas metan (m3/jam)
M = banyaknya sampah yang dapat terurai (ton)
T = waktu (tahun)
Persamaan diatas merupakan persamaan sederhana untuk menghitung potensi timbulan gas,
sedangkan untuk perhitungan yang lebih detail bisa mengikuti metode yang dikeluarkan oleh
IPCC seperti tersebut di bawah ini.
Potensi emisi CH4 yang dihasilkan dari sampah dapat dilakukan dengan perhitungan
berdasarkan perhitungan emisi dari landfill menggunakan IPCC First Order Decay (FOD)
model (IPCC, 2006). Persamaan dasar untuk mengestimasi emisi CH4 adalah sebagai berikut:
CH4 tahun ke-t (Gg/thn) = x [A k MSW(t) (x) MSW(F) (x) Lo (x)) e-k(t-x)]
Keterangan :
CH4
44
3.4.2
Upaya Mitigasi merupakan berbagai tindakan aktif untuk mencegah/ memperlambat terjadinya
perubahan iklim/ pemanasan global & mengurangi dampak perubahan iklim/pemanasan global
(melalui upaya penurunan emisi GRK, peningkatan penyerapan GRK, dll.).
Peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam rangka upaya penurunan emisi dan
peningkatan penyerapan GRK sebagai upaya mitigasi perubahan iklim menjadi sangat
dibutuhkan dalam upaya mengurangi resiko/dampak yang akan ditimbulkan.
3.4.2.1 Upaya Mitigasi Pengelolaan Limbah Cair
Pengelolaan dan pengolahan limbah cair juga berpotensi mengeluarkan emisi GRK. Potensi
emisi gas methane NH4 juga mampu dihasilkan dari pengelolaan limbah cair domestik yang
tidak sesuai dengan standar teknis, oleh karena itu agar tidak mencemari lingkungan maka
seharusnya pengelolaan limbah cair domestik yang dibangun serta dioperasikan sesuai dengan
standar teknis yang dipersyaratkan, dengan mengelola gas yang dihasilkan misalnya gas Methan
dari proses pengolahan secara anaerobic. Gas yang dihasilkan ditangkap dan dapat diproses
dengan cara flaring atau Waste to Energy. Kandungan biogas terdiri dari 60% CH4 (metan),
38% CO2 , karbondioksida), dan 2% N2, (nitrogen); H2 (hidrogen), serta gas lainnya. Energi
yang terkandung dalam satu meter kubik biogas setara dengan : Elpiji 0.46 Kg, Minyak Tanah
0.62 liter, Minyak Solar 0.52 liter, Bensin 0.80 liter, Gas Kota 1.50 m3 , dan Kayu Bakar 3.50
Kg.
Penangkapan emisi gas akan lebih mudah dilakukan apabila pembangunan prasarana
pengelolaan dan pengolahan air limbah dilaksanakan secara komunal, dimana akumulasi gas
yang dihasilkan volumenya cukup untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Misalnya
untuk memasak di lingkungan permukiman di sekitarnya. Pengolahan limbah cair domestic
dengan sistem penyaluran air buangan secara terpusat (off site system /sewerage system) yang
dibangun khususnya untuk skala kota akan menghasilkan sejumlah gas Methana yang
peruntukannya dirancang sedemikian rupa sehingga dapat terukur dan dapat dimanfaatkan
secara maksimal.
Saat ini sudah dilakukan upaya mitigasi perubahan iklim dengan sistem pemanfaatan gas yang
dihasilkan dari proses pengolahan air limbah, namun baru sebatas skala komunal dan baru
diterapkan di beberapa kawasan permukiman. Sebagai contoh salah satunya adalah
pembangunan MCK++ yang dilengkapi dengan sistem pengolahan air buangan yang juga
45
dengan menggunakan Biogas Digester. Pengolahan air limbah cair domestic tersebut dilengkapi
pula dengan Buffled Reactor, Biogas Digester, dan Wetland.
Proses kerja pengolahan air limbah komunal sederhana dengan proses biogas Digester adalah
sebagai berikut (gambar 3.5):
a. Kotoran manusia ditampung dalam digester,
b. Kotoran manusia dan air masuk bersamaan ke dalam digester.
c. Aliran air outflor dari digester akan masuk kembali dan diolah ke dalam ke Buffled
Reactor, yang berfungsi untuk menyaring greywater yg outputnya disalurkan melalui
pipa ke wetlend (tidak mengandung bakteri E-Coli sehingga kali tidak tercemar)
d. Dengan proses anaerob akan menghasilkan gas methane (CH-4) yg berfungsi sbg bahan
bakar gas utk memasak. (gambar 3.6)
e. Effluent air buangan direinfiltrasi ke dalam tanah melalui lubang Wet Land.
46
Konsentrasi gas methan yang dihasilkan lebih besar dari 45% v/v
Proses yang terjadi adalah pembakaran gas metan dan bau menjadi CO2
Standard suhu yang ditetapkan oleh US EPA adalah 1.000oC dengan waktu retensi
0,3 detik
3. Dioksidasi secara biologis dengan proses penutupan harian (daily cover), soil cap, dan
filter biologis
o
Dilakukan pada TPA yang memiliki material penutup yang tidak terlalu
baik,sehingga dapat terjadi kebocoran CH4 yang mengakibatkan oksidasi CH4
oleh bakteri methanothropic. Proses ini dimungkinkan apabila tidak terdapat
penutup sintetis di landfill dan lapisan penutunya bersifat porous seperti kompos,
woodchips.
b. Keuntungan ekonomi
Berdasarkan UU Persampahan no 18/2008, seluruh open dumping yang ada
direncanakan sudah akan diubah menjadi controlled landfill dan kemudian menjadi
sanitary landfill. Perkembangan ini mensyaratkan bahwa harus dilakukan pengelolaan
gas di TPA untuk mengurangi emisi gas methan ke atmospher. Pemanfaatan gas methan
sebagai salah satu sumber energi terbarukan dapat menguntungkan bagi pengelola
karena energi yang dihasilkan dapat dijual kepada masyarakat di sekeliling area TPA.
Selain itu penciptaan lapangan kerja dari mulai tahap perencanaan, pengoperasian, dan
pemanfaatan gas tersebut.
3.4.3
meningkat. Kenaikan temperatur yang tidak merata di Bumi menimbulkan adanya tekanan
tinggi dan tekanan rendah baru. Pola angin bergeser dan pola hujan berubah. Hujan di zona
lintang tinggi dan sebagian lintang rendah meningkat, sebaliknya hujan di zona subtropis
(lintang tengah) dan sebagian lintang rendah menurun.
Dengan kata lain perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya pergeseran musim di berbagai
daerah, musim hujan akan berlangsung dalam waktu singkat dengan kecenderungan intensitas
hujan lebih tinggi dari hujan normal, yang berdampak bencana banjir dan tanah longsor.
Sebaliknya musim kemarau akan berlangsung lebih lama dari kondisi normal, sehingga
menimbulkan bencana kekeringan. Terbukti bahwa di wilayah Asia Tenggara serta beberapa
wilayah lainnya yang rentan badai dan angin puting beliung telah mengalami badai dahsyat,
hujan lebih deras serta banyak bencana banjir. Di beberapa wilayah Indonesia juga terbukti
mengalami banjir dan tanah longsor (Meiviana dkk., 2004).
Perubahan iklim di Indonesia diprediksi akan merubah distribusi hujan secara spasial, ada
beberapa wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan, sementara wilayah lainnya
mengalami penurunan. Sumatera dan Kalimantan akan menghadapi peningkatan curah hujan
sebesar 10-30% pada tahun 2080, sebaliknya Jawa dan beberapa pulau di bagian selatan akan
mengalami penurunan hujan sebesar 15% (Hulme dan Sheard, 1999).
Penelitian berdasarkan pada pengamatan satelit, diterbitkan pada bulan Oktober 2010,
menunjukkan peningkatan aliran air tawar ke dalam lautan di dunia, sebagian dari pencairan es
dan sebagian dari curah hujan meningkat didorong oleh peningkatan penguapan lautan global.
Peningkatan dalam aliran air tawar global, berdasarkan data 1994-2006, adalah sekitar 18%.
Sebagian besar peningkatan tersebut di daerah-daerah yang telah mengalami curah hujan yang
tinggi. Intesitas hujan yang meningkat akan mempercepat kejenuhan tanah dari biasanya. Jika
hujan masih berlangsung, lebih banyak air akan melimpas ke saluran dan sungai dan banjir akan
lebih besar dan lebih merusak.
Disamping itu pembangunan konvensional sistem drainase juga merupakan salah satu sumber
kerusakan lingkungan, yaitu telah menimbulkan berbagai dampak, antara lain:
1) Peningkatan debit banjir dan kelangkaan air tanah: meningkatnya lapisan kedap air
menyebabkan limpasan permukaan meningkat dan pengisian air tanah menurun. Air hujan
sebagian besar menjadi limpasan permukaan, sementara yang bmeresap ke dalam tanah
sangat kecil. Di lain pihak pengambilan air tanah cendeung meningkat sehingga terjadi
defisit air tanah.
2) Pencemaran air: limpasan permukaan membasuh polutan yang ada di permukaan
berpolutan, seperti jalan raya, halaman parkir, dll., tidak dilengkapi dengan filter dan
langsung mengalir ke badan air. Pada badan air yang digunakan sebagai sumber air baku
air minum mengakibatkan biaya pengolahan air minum menjadi mahal.
50
3) Kontaminasi air tanah: resapan air tanah yang bersumber dari limpasan permukaan yang
berpolutan mengakibatkan konstaminasi air tanah.
4) Penurunan muka tanah: defisit air tanah akibat ketidak seimbangan antara pengisian dan
pengambilan air tanah mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (land subsidence).
5) Menurunnya estetika dan kesehatan lingkungan: banyaknya sampah, air limbah masuk ke
sistem drainase menimbulkan pandangan yang kurang baik dan sering menimbulkan bau
tidak sedap. Terjadinya genangan dan saluran yang tidak lancar dapat menjadi sarang
nyamuk dan sumber berbagai penyakit (water borne deseases).
3.4.3.2 Upaya Adaptasi Penyelenggaraan Sistem Drainase
Salah satu upaya adaptasi dalam menghadapai perubahan iklim yang ekstrim adala Sistem
Drainase dengan konsep Pembangunan Dampak Rendah (PDR) atau lebih dekenal sebagai Low
Impact Development (PDR). PDR meupakan sebuah inovasi pengelolaan air hujan dengan
prinsip dasar meniru proses alam: mengelola limpasan air hujan pada sumbernya dengan
menggunakan pengendali skala-mikro terdesentralisasi yang terdistribusi merata. Tujuan PDR
adalah untuk meniru hidrologi suatu kawasan pra-pembangunan dengan menggunakan
perencanaan dan penerapan yang efektif untuk menangkap, menyaring, menyimpan,
menguapkan, menahan dan meresapkan limpasan dekat dengan sumbernya. Hal ini dapat
dicapai dengan menciptakan fitur desain yang; mengarahkan limpasan langsung ke daerah
bervegetasi dengan tanah permeabel, melindungi vegetasi asli dan ruang terbuka, dan
mengurangi jumlah permukaan keras dan pemadatan tanah.
Teknik desain dan pelaksanaan PDR perlu melihat fitur-fitur utama pembangunan, termasuk
ruang terbuka hijau dan lansekap, atap bangunan, jaringan jalan, tempat parkir, trotoar, dan
median jalan. PDR adalah pendekatan serbaguna yang dapat diterapkan untuk pembangunan
baru, retrofits perkotaan, pembangunan kembali, dan revitalisasi.
Prinsip-prinsip PDR dapat dicirikan oleh lima komponen berikut:
1. melestarikan sumber daya alam yang mempunyai fungsi alamiah yang bernilai terkait
dengan pengendalian dan penyaringan air hujan;
2. meminimalkan dan memutus permukaan kedap air;
3. mengarahkan limpasan ke lahan alami dan taman yang meresapkan air;
4. menggunakan kontrol skala kecil yang terdistribusi atau praktek manajemen terpadu untuk
meniru hidrologi pra-proyek;
5. pencegahan polusi air hujan.
51
Apapun pembangunan yang kita lakukan selalu melibatkan perubahan lahan. Lahan alami
dengan permukaan yang tidak beraturan dan ditutupi oleh berbagai macam tanaman berubah
menjadi rata dengan tutupan berupa perkerasan, dan bangunan yang dikenal dengan lapisan
kedap air. Siklus hidrologi pun berubah karenanya. Curah hujan yang meresap ke dalam tanah
berkurang dan air hujan nmengalir lebih cepat di permukaan tanah menuju alur sungai, danau
dan muara. Limpasan air hujan dapat menyebabkan peningkatan banjir, erosi, pencemaran, dan
penurunan pengisian air tanah selama periode kering.
Meningkatnya permukaan kedap air, umumnya diikuti meningkatnya limpasan air hujan.
Limpasan air hujan dapat berisi polutan seperti sedimen, nutrisi, bakteri dan bahan kimia yang
dapat mengancam kesehatan air, dan berkontribusi terhadap hilangnya kegiatan rekreasi air.
Limpaasan air hujan diakui sebagai penyebab utama masalah pencemaran air saat ini.
Metode konvensional pengembangan lahan menyebabkan limpasan air hujan mengumpul dan
mengalir lebih cepat langsung ke badan air terdekat dengan minimal atau tanpa pengolahan
kualitas air. Pembangunan Dampak Rendah (PDR) atau lebih dekenal sebagai Low Impact
Development (PDR) adalah sebuah inovasi pengelolaan air hujan dengan prinsip dasar meniru
proses alam: mengelola limpasan air hujan pada sumbernya dengan menggunakan pengendali
skala-mikro terdesentralisasi yang terdistribusi merata. Tujuan PDR adalah untuk meniru
hidrologi suatu kawasan pra-pembangunan dengan menggunakan perencanaan dan penerapan
yang efektif untuk menangkap, menyaring, menyimpan, menguapkan, menahan dan
meresapkan limpasan dekat dengan sumbernya. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan fitur
desain yang; mengarahkan limpasan langsung ke daerah bervegetasi dengan tanah permeabel,
melindungi vegetasi asli dan ruang terbuka, dan mengurangi jumlah permukaan keras dan
pemadatan tanah.
Tujuan dari perencanaan PDR di lokasi adalah untuk mengurangi peningkatan limpasan air
hujan dan untuk mengolah beban polutan di mana dihasilkan. Hal ini dilakukan sejak awal di
lokasi yang tepat dan kemudian dengan mengarahkan air hujan terhadap sistem berskala kecil
yang tersebar di seluruh kawasan dengan tujuan mengelola air secara merata. Sistem distribusi
ini memungkinkan untuk memperkecil atau bahkan menhilangkan kolam air hujan, curbs, dan
selokan. Karena PDR mencakup berbagai teknik yang berguna untuk mengendalikan limpasan,
desain dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kendala setempat. Perencana dan pengembang
dapat memilih teknologi PDR yang sesuai dengan kondisi topografi dan iklim untuk memenuhi
persyaratan dan kendala proyek tertentu. Proyek baru, proyek pembangunan kembali, dan
proyek peningkatan investasi adalah calon untuk pelaksanaan PDR.
Konsep PDR mulai dikembangkan pada tahun 1990-an di Amerika Serikat. PDR pada dasarnya
adalah inovasi pengembangan lahan dan pengelolaan limpasan hujan berbasis pada ekosistem
daerah tangkapan air (DTA). Teknologi PDR bertujuan untuk merancang setiap kawasan
pengembangan yang dapat mempertahankan sifat hidrologis alamiah kawasan tersebut,
52
sehingga keterpaduan ekosistem daerah aliran sungai (DAS) secara keseluruhan dapat
dipertahankan. Usaha yang dilakukan adalah mempertahankan dan/atau meningkatkan kapasitas
infiltrasi, penyaringan, penampungan, penguapan, dan tahanan limpasan permukaan. Konsep
hidrologi yang diterapkan dalam teknologi PDR adalah penggunaan retensi dan detensi air
hujan, mengurangi daerah kedap, dan memperpanjang alur pengaliran dan waktu pengaliran .
Secara lengkap, prinsip dasar PDR dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut.
Pendekatan Konvensional
Jaringan
Limpasan
Air Hujan
Limpasan
tanpa polutan
Limpasan
dari Jalan
Guna
Ulang Air
Pembawa:
pengontrol polutan, sengkedan,
parit kerikil, bioretensi, lansekap.
di Sumber
Pembawa:
saluran drainase
perangkap polutan
di Jaringan
di Muara
Gambar 3-8. Perbandingan Pengelolaan Air Hujan dengan Pendekatan Konvensional dan PDR
53
54
Aktivitas
konservasi drainase, pepohonan dan vegetasi
perencanaan tata guna lahan.
perencanaan pengelolaan sumber daya air.
perencanaan konservasi habitat.
melindungi bantaran sungai dan lahan basah lainnya.
mengurangi saluran tertutup, dan lubang-lubang limpasan ke saluran (curbs dan
gutters).
melindungi tanah yang sensitif.
membangunh dengan sistem kluster dan mengurangi luasan lahan terbangun.
mengurangi lebar perkerasan.
meminimalkan perataan lahan.
membatasi perubahan terhadap sifat alamiah kawasan.
meminimalkan luasan permukaan kedap air.
mempertahankan pola aliran alamiah.
menggunakan saluran drainase terbuka.
memperkecil kelandaian lahan.
membuat sistem drainase menyebar.
memperpanjang trase saluran.
menyelamatkan kawasan hulu.
pengendalian limpasan hujan pada kawasan berskala kecil.
pengelolaan terdesentralisai/tersebar pada seluruh kawasan.
mempertahankan pola aliran alamiah dan menyediakan fasilitas penyaringan bahan
pencemar, serta membangun atau mempertahankan sifat hidrologis kawasan.
penyuluhan kepada masyarakat umum, industri dan perdagangan.
penggunaan dan pembuangan limbah B3 dengan tepat.
penggunaan bahan alternatif selain B3.
pemeliharaan rutin dan tindakan pencegahan.
brosur-brosur penyuluhan, panduan dan loka karya.
55
mengurangi dampak potensial untuk habitat biologi dan berkurangnya aliran dasar ke
waduk dari periode kekeringan yang panjang.
Tabel 3-5 Manfaat PDR untuk Berbagai Pemangku Kepentingan
Pengembang
Mengurangi biaya pematangan lahan
Mengurangi biaya infrastruktur (jalan, trotoar, selokan)
Mengurangi biaya manajemen air hujan
Meningkatkan hasil dan mengurangi biaya dampak
Meningkatkan pemasaran dan masyarakat
Pemerintah Kota
Melindungi Flora dan fauna regional
Menyeimbangkan pertumbuhan kebutuhan dengan perlindungan lingkungan
Mengurangi infrastruktur kota dan biaya pemeliharaan utilitas (jalan, trotoar, selokan drainase)
Meningkatkan eran masyarakat / swasta
Pembeli Rumah
Melindungi lokasi dan kualitas air regional dengan mengurangi sedimen, nutrien, dan beban
pencemar pada badan air
Menjaga dan melindungi fasilitas
Menyediakan pelindung orientasi rumah yang membantu mengurangi tagihan listrik bulanan
Lingkungan
Melindungi integritas sistem ekologi dan biologi
Melindungi lokasi dan kualitas air regional dengan mengurangi sedimen, nutrien, dan beban beracun
untuk badan air
Mengurangi dampak terhadap tanaman dan hewan darat dan perairan lokal
Melindungi pohon-pohon dan vegetasi alami
Teknik PDR dapat memfasilitasi dan menghilangkan polutan air hujan. Proses alami yang
digunakan pada PDR memungkinkan polutan disaring secara fisik, atau terdegradasi secara
biologis atau secara kimia sebelum mencapai badan air. Pengurangan limpasan dan
penyaringan polutan dalam praktek PDR adalah cara yang efektif untuk mengurangi
polutan yang dilepaskan ke lingkungan.
Perbandingan antara Pembangunan Sistem Drainase Dampak Rendah dan Proses
Pembangunan Lahan Konvensional dapat dilihat pada tabel 3.8
56
Praktek Konvensional
Tabel 3-6 Perbandingan Antara Pembangunan Dampak Rendah dan Proses Pembangunan
Lahan Konvensional
3.5
Kerja sama
Review Peraturan/Sosialisasi
ADAPTASI
57
di bidang pekerjaan umum dan penataan ruang untuk mengantisipasi perubahan iklim baik
dalam rangka mengurangi emisi karbon maupun dalam rangka mengurangi dampak
perubahan iklim. Tujuan RAN MAPI Kementerian PU ini adalah untuk memperkuat
upaya-upaya strategis Kementerian PU dalam pembangunan di bidang pekerjaan umum
dan penataan ruang yang responsif terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
RAN MAPI Sub bidang Keciptakaryaan merupakan dokumen program kerja
penyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan sarana dan
prasarana perumahan dan permukiman di perkotaan dan perdesaan, dalam rangka mitigasi
dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. terdiri dari dua tahapan, yaitu: RAN MAPI
Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dan RAN MAPI Jangka Panjang Tahun 2012-2020.
RAN MAPI Jangka Panjang Tahun 2012-2020 sub bidang Keciptakaryaan memuat tiga
bagian penting, yaitu: (i) Strategi mitigasi atau adaptasi, (ii) Sasaran tahun 2012-2014, dan
(iii) Sasaran tahun 2015-2020.
Tabel 3-7 RAN Mitigasi Perubahan Iklim (2012-2020) Sub Bidang Keciptakaryaan
Strategi MITIGASI
1. Mendorong penerapan
teknologi dan pengelolaan
limbah dan sampah yang
ramah lingkungan
58
SASARAN
(2012-2014)
(2015-2020)
Pengembangan model
revitalisasi tempat pemrosesan
akhir sampah melalui landfill
mining, reuseable landfil,
semi-aerobik landfill dan
pengembangan teknologi
sampah terpadu berbasis 3R
(Reduce, Reuse, Recycle)
pada kawasan perkotaan
Pengkajian kinerja TPAS dan
penerapan 3R dalam upaya
penunjangan konsep (Clean
Development Mechanism)
CDM
Penguatan perangkat
pedoman teknis dan peraturan
tentang pengelolaan sampah
yang memenuhi standar teknis
Penerapan teknologi
pengolahan air limbah dengan
sistem biodigester
Penyusunan pedoman
perencanaan, pembangunan,
dan pengelolaan teknologi
Fasilitasi pegembangan
penerapan mekanisme
pembangunan bersih CDM
untuk pengelolaan limbah,
terutama untuk
pengembangan tempat
pembuangan akhir sampah
(TPAS) untuk mengurangi
produksi emisi karbon dan
metan
Fasilitasi dalam peningkatan
pengelolaan persampahan di
TPAS dari open dumping
menjadi controlled landfill dan
sanitary landfill
Diseminasi dan pelatihan
dalam pelaksaaan pedoman
teknis dan peraturan tentang
pengelolaan sampah yang
memenuhi standar teknis
Penerapan teknologi
pengolahan air limbah dengan
sistem biodigester
(berkelanjutan)
SASARAN
(2012-2014)
(2015-2020)
pengolahan air limbah dengan Diseminasi dan pelatihan
sistem biodigester
tentang pedoman perencanaan,
pembangunan dan
pengelolaan teknologi
pengolahan air limbah dengan
sistem biodigester
Strategi MITIGASI
2. Mendorong
penerapan
teknologi pengolahan air
limbah dengan penangkap
gas
3. Mengembangan metoda
MRV (Measurement,
Reporting, dan
Verification) dalam
kegiatan terkait perubahan
iklim di perkotaan
Tabel 3-8: RAN Adaptasi Perubahan Iklim (2012-2020) Sub Bidang KeCiptakaryaan
Strategi ADAPTASI
1. Menyusun strategi
pembangunan permukiman
dan infrastruktur perkotaan
bidang Cipta Karya yang
terintegrasi dan sesuai dengan
arah pembangunan kota secara
komprehensif (termasuk
adaptasi terhadap perubahan
iklim)
3. Menata kembali
kawasanpermukiman kumuh
di perkotaan
SASARAN
(2012-2014)
Pendampingan
penyusunan strategi
pembangunan
permukiman dan
infrastruktur perkotaan
(SPPIP)
Pendampingan
penyusunan rencana
pengembangan kawasan
permukiman prioritas
(RPKPP)
Penyediaan insfrastruktur
kawasan permukiman
kumuh
Pembangunan Rusunawa
beserta Infrastruktur
pendukungnya
(2015-2020)
Capacity building pemerintah
daerah dalam penyusunan
strategi pembangunan
permukiman dan infrastruktur
perkotaan (SPPIP) serta
rencana pengembangan
kawasan permukiman prioritas
(RPKPP)
59
Strategi ADAPTASI
4. Penyediaan insfrastruktur
kawasan permukiman di
perkotaan
5. Penyediaan insfrastruktur
kawasan permukiman di
daerah rawan bencana
6. Penyediaan insfrastruktur
kawasan permukiman di
perkotaan
SASARAN
(2012-2014)
Penyediaan infrastruktur
permukiman RSH yang
meningkat kualitasnya
Penyediaan infrastruktur
kawasan permukiman di
daerah rawan bencana
Penyediaan infrastruktur
kawasan perdesaan
potensial
Penyediaan infrastruktur
kawasan permukiman di
daerah perbatasan dan
pulau kecil terluar
Penyediaan infrastruktur
pendukung kegiatan
ekonomi dan sosial
wilayah (RISE)
Penyediaan infrastruktur
perdesaan (PPIP)
(2015-2020)
Fasilitasi dan pendampingan
dalam penyediaan
infrastruktur permukiman
RSH yang meningkat
kualitasnya
8. Mendorong penerapan
teknologi sistem drainase
berwawasan lingkungan untuk
mengantisipasi dampak
perubahan curah hujan yang
ekstrem
9. Mendorong penerapan
teknologi dan gerakan hemat
60
Pengembangan teknologi
drainase berwawasan
lingkungan melalui
penerapan sumur resapan,
saluran berlubang kolam
retensi, dan penampungan
air hujan di bawah areal
terbuka hijau
Pengembangan teknologi
pengolahan alternatif
untuk air minum misal
Strategi ADAPTASI
air
SASARAN
(2012-2014)
(2015-2020)
aktivitas reuse dan daur
aktivitas reuse dan daur ulang
ulang air
air kepada pemda
Kampanye edukasi
gerakan hemat air
Penetapan peraturan,
standar teknis, dan
kebijakan untuk
penghematan dan
konservasi sumber daya
air
Pengembangan teknologi
pengolahan alternatif
untuk air minum
11. Meningkatkan
kesadaranmasyarakat tentang
adaptasi terhadap perubahan
iklim pada kawasan
perkotaan dan perdesaan
Penguatan institusi
pemerintah daerah dalam
pengelolaan air bersih dan
air limbah
Kampanye/edukasi
berbagai pihak misal
sekolah dan ibu-ibu PKK
Kampanye untuk
meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk tidak
membuang sampah
sembarangan setiap saat
Kampanye untuk
meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam memelihara
sistem aliran drainase
Dalam rangka pelaksanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bidang pekerjaan umum
dan penataan ruang, diperlukan komitmen bersama serta dilakukan secara komprehensif
dan holistik dari seluruh unit kerja di lingkungan Kementerian PU untuk menjadikan RAN
MAPI Kementerian PU sebagai salah satu acuan perencanaan program pembangunan
bidang pekerjaan umum dan penataan ruang, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Rencana Strategis Kementerian Pekerjan Umum 2010-2014. Untuk efektivitas pelaksanaan
61
RAN MAPI Kementerian PU, dilakukan secara terkoordinasi melalui Tim MAPI
Kementerian PU, dengan mendapatkan dukungan aktif dari setiap pihak terkait yang
akuntabel didalam pelaksanaan di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum.
3.6
DAFTAR PUSTAKA
62
Bagian IV
KAMPANYE DAN EDUKASI
BIDANG PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN
4.1
4.2
Dalam proses komunikasi, terdapat tiga perubaan atau tataran output atau goals yang
diharapkan, demikian juga perubahan yang diharapkan terjadi dalam kampanye bidang
PLP yaitu:
1. Perubahan atau peningkatan pengetahuan (awareness)
2. Perubahan sikap (attitude)
3. Perubahan perilaku (behavior)
4.2.1
Publik Sasaran
Gambar 4-1 Skema Siapa Berbuat Apa Dalam Pembentukan Perubahan Perilaku
4.2.2
Dalam mengaplikasikan strategi komunikasi dalam bidang sanitasi lingkungan / PLP, perlu
dibuat pesan kunci (message platform) yang berpijak dari strategi komunikasi. Untuk
persampahan pesan kunci yang dibentuk adalah 3R, sedangkan untuk drainase dan air
limbah adalah gotong royong dan pemeliharaan fasilitas. Tindakan yang diharapkan oleh
masing-masing khalayak sasaran dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
64
Pesan Kunci
Reduce, Reuse, Recycle
Lingkungan
Sistem pengelolaan
Pemerintah
Pemenuhan fasilitas,
pemeliharaan & pengelolaan
sarana & prasarana
Penetapan peraturan &
perundang-undangan
Lingkungan
Pemerintah
Pesan Kunci
Memelihara fasilitas drainase
Sedapat mungkin membuat
daerah/sumur resapan
Memelihara fasilitas drainase
Sedapat mungkin membuat
daerah/sumur resapan
Membangun dan memelihara
saluran drainase
Memelihara saluran drainase
Pesan Kunci
Tidak BAB di tempat terbuka
Individu
Lingkungan
Sistem pengelolaan
Pemerintah
Pemenuhan fasilitas,
pemeliharaan & pengelolaan
sarana & prasarana
Penetapan peraturan &
perundang-undangan
terbuka
65
4.3
guna
66
4.3.1
Bidang Sampah:
Tabel 4-4 Kampanye dan Edukasi Bidang Sampah, Khalayak Sasaran : Individu
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Target
Tujuan
Tindakan yang
diharapkan
Tahap
Pemantapan
2014-2018
Menjadikan dan
mengadopsi 3R
sebagai pola
kebiasaan dan
sikap
Menuntut standar
3R kepada pihak
lain yang menjadi
lingkungannya
3R tidak bisa
tidak
Tahap Pematangan
2019
Menjadikan dan
mengadopsi gaya hidup
hijau sebagai pola
kebiasaaan dan sikap
hidup dalam
pengambilan keputusan
Menuntut standar 3R
kepada pihak lain,
perusahaan, pemerintah,
dll
Go Green
Tabel 4-5 Kampanye dan Edukasi Bidang Sampah, Khalayak Sasaran : Masyarakat
Target
Tujuan
Tindakan yang
diharapkan
Apa yang akan
dikatakan
(What to say)
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Timbulnya rasa peduli
secara komunal.
Adanya keinginan untuk
melakukan pegelolaan
sampah di tingkat
komunitas/daerah
Tahap Pemantapan
2014-2018
Menjadikan 3R
sebagai standar
hidup
bermasyarakat
yang sifatnya
informal
Tahap Pematangan
2019
Menjadikan
masyarakat yang
sangat peduli dengan
pelayanan yang hijau
Terbentukanya komunitas
base recycling civiler
Melaksanakan
aturan formal dan
informal
Melembagakan
tuntutan gaya hidup
hijau sebagai standar
norma
3R tidak bisa
tidak
Go Green
67
Tabel 4-6 Kampanye dan Edukasi Bidang Sampah, Khalayak Sasaran : Pemerintah
Target
Tindakan yang
diharapkan
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Pengurangan timbulan samapah
semaksimal mungkin mulai dari
sumbernya
Peningakatan peran aktif masyarakat
dan dunia usaha/ swasta sebagai mitra
pengelolaan
Peningkatan cakupan pelayanan dan
kualitas sistem pengelolaan
Pengembangan kelembagaan
peraturan dan perundangan
4.3.2
Ajarkan mereka
wadahnya
caranya,
siapkan
Tahap Pemantapan
2014-2018
Peningakatan peran aktif
masyarakat dan dunia usaha/
swasta sebagai mitra
pengelolaan
Peningkatan cakupan pelayanan
dan kualitas sistem pengelolaan
dan daur ulang
Peningkatan Pengembangan
kelembagaan peraturan dan
perundangan
Pengembangan alternatif
sumber pembiayaan
Bidang Drainase
Tabel 4-7 Kampanye dan Edukasi Bidang Drainase, Khalayak Sasaran : Individu
Target
Tujuan
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Meningkatkan kesadaran akan
perlunya drainase
Tahap Pemantapan
2014-2018
Kepedulian akan
pentingnya air tanah yang
terkendal
Memperhatikan dan
memastikan rumahnya
sudah ramah lingkungan
Tahap
Pematan
gan
2019
TBA
Tindakan yang
diharapkan
Kondisi yang
diperlukan
cukupnya informasi yang tepat, benar dan langsung kepada target sasaran
68
TBA
n/a
Tabel 4-8 Kampanye dan Edukasi Bidang Drainase, Khalayak Sasaran : Masyarakat
Target
Tujuan
Tindakan yang
diharapkan
Apa yang akan
dikatakan
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Tahap Pemantapan
2014-2018
Membangun sumur-sumur
resapan untuk lingkungan
bila memungkinkan
(What to say)
Tahap
Pematang
an
2019
TBA
TBA
n/a
Tabel 4-9 Kampanye dan Edukasi Bidang Drainase, Khalayak Sasaran : Pemerintah
Target
Tindakan yang
diharapkan
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Peningkatan pelayanan dan
penanganan drainase berdasarkan
keseimbangan tata air
Peningakatan pelibatan seluruh
stakeholder berdasarkan hirarki
sistem drainase
Peningkatan kapasitas
kelembagaan, peraturan dan
perundangan
Tahap Pemantapan
2014-2018
Peningkatan pelayanan dan
penanganan drainase berdasarkan
keseimbangan tata air
Peningkatan pelibatan seluruh
stakeholder berdasarkan hirarki
sistem drainase
Peningkatan kapasitas
kelembagaan, peraturan dan
perundangan
Pengembagan alternatif pembiayaan
69
4.3.3
Tabel 4-10 Kampanye dan Edukasi Bidang Air Limbah, Khalayak Sasaran : Individu
Target
Tujuan
Tindakan
diharapkan
yang
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Timbulnya rasa
kebutuhan akan
fasilitas untuk hidup
bersama
Tahap Pemantapan
2014-2018
Meningkatnya rasa
kebutuhan
akan
fasilitas untuk hidup
bersih
Tahap Pematangan
2019
Meningkatkan
standar
kebersihan dan kesehatan
pribadi / keluarga
Memelihara
septic
Menuntut
fasilitas
sanitasi yang baik dan
memenuhi
standar
sebagai fasilitas umum.
MCK
sehat
sehat,
kita
tangki
Kampung bersih,
kampung sehat
4.3.4
Treat
well
your
limbah
Tabel 4-11 Kampanye dan Edukasi Bidang Air Limbah Khalayak Sasaran : Masyarakat
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Tahap Pemantapan
2014-2018
Tahap Pematangan
2019
Tujuan
Timbulnya dorongan
untuk menaga dan
memperbaiki fasilitas
sanitas yang memadai
dalam lingkungan
Meningkatkan
kesadaran kolektif akan
sanitasi
Tindakan yang
diharapkan
Membangun fasilitas
umum sanitasi berupa
MCK komunal yang
memadai sesuai dengan
syarat kesehatan
Membangun fasilitas
umum sanitasi berupa
MCK yang lebih
lengkap dan bersih
(sesuai standar
kesehatan)
Kampung
bersih,
kampung sehat
4.3.5
Menuntut fasilitas
sanitasi yang baik dan
memenuhi standar
sebagai fasilitas umum.
Target
70
Tabel 4-12 Kampanye dan Edukasi Bidang Air Limbah Khalayak Sasaran : Pemerintah
Target
Tindakan yang
diharapkan
4.4
Tahap Pelaksanaan
2011-2013
Peningkatan akses pelayanan air
limbah baik melalui sistem on site
maupun off site baik di perkotaan
Peningkatan kapasitas pembiayaan
untuk pembangunan prasarama dan
sarana air limbah baik melalui sistem
on site maupun off site serta
menjamin pelayanan dengan
pemilihan biaya pengelolaan
Meningkatkan peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan/
pengembangan sistem pengolahan air
limbah permukiman
Peningkatan kinerja instansi
pengelola ar limbah serta perubahan
fungsi regulator dan operator
Tahap Pemantapan
2014-2018
Peningkatan akses pelayanan air
limbah baik melalui sistem on
site maupun off site perkotaan
Peningkatan cakupan pelayanan
dan kualitas sistem pengelolaan
dan daur ulang
Meningkatkan peran serta
masyarakat dalam
penyelenggaraan/
pengembangan sistem
pengolahan air limbah
permukiman
Penerapan hukum sesuai
peraturan dan perundangan,
serta pengelolaan yang baik dan
benar berdasarkan standar
pedoman dan manual yang
berlaku.
Ayo siapkan kampung, bersih
kampung sehat
Bagian terakhir dari proses komunikasi adalah evaluasi program. Evaluasi program
komunikasi atau kehumasan menjadi sangat penting untuk memperlihatkan kontribusi
komunikasi dan dampak program yang dilakukan bagi kemajuan pencapaian sesuai tujuan
dan sasaran komunikasi yang telah ditetapkan.
Mengutip proses evaluasi yang dikemukakan oleh Scott M. Cutlip, Allen H Center, Glen
M. Broom dalam buku Effective Public Relation, evaluasi dapat diterapkan untuk
mengukur implementasi, kemajuan maupun hasil program (komunikasi).
Hasil evaluasi akan menjadi dasar keputusan untuk melanjutkan, memodifikasi atau
mengganti program. Evaluasi dilakukan pada setiap akhir stage message atau sesuai
dengan waktu yang ditentukan sesuai kebutuhan.
71
Berdasarkan bagan Pyramid Model of PR Research yang dibuat oleh Jim McNamara,
evaluasi program kehumasan dianjurkan dapat dilakukan pada tahap-tahap input, output,
dan outcome. Model evaluasi ini dapat membantu mengukur efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan program komunikasi, sekaligus kinerja sebuah departemen komunikasi.
Dalam mengukur keberhasilan sebaiknya memperhatikan konsep SMART.
Simple /Sederhana
Reachable/ Terjangkau
Timely / Waktu yang tepat : Nayatakan kapan anda dapat mencapai tujuan anda
Gambar 4.3 dibawah ini adalah bagan piramida dalam mengembangkan sistem evaluasi
kegiatan Kampanye PLP, sedangkan rincian indikator evaluasi secara rinci tiap tahap dapat
dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.
Gambar 4-3 Bagan Piramida Pengembangan Sistem Evaluasi Kegiatan Kampanye PLP
72
Tahap
Pematangan
2019
Peningkatan
kesadaran
(Awareness)
Peningkatan kesadaran
dan pehamanan
meningkat menjadi 70%
dari setiap responden di
setiap lokasi penelitian
Peningkatan
kesadaran menjadi
90% dari setiap
responden di setiap
lokasi penelitian
Perubahan Sikap
(attitude)
100% responden
menetapkan standar
kebersihan lingkungan
Perubahan
Perilaku
(Behavior)
4.5
90% responden
telah melakukan
pemilhan sampah
sendiri dalam
rumah tangga
100% responden
melaksanakan gaya hidup
:green life sebagai
standar norma sehari-hari
90% menjaga
saluran drainase
dan membuang
sampah dan air
limbah pada
tempatnya
PENUTUP
Outcome akhir dari kegiatan Kampanye Publik dan Edukasi Bidang PLP adalah
teradaptasinya masyarakat sasaran menjadi masyartakat berperilaku baik didalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga terwujud peran serta masyarakat dalam bidang PLP, baik
drainase perkotaan, persampahan dan air limbah.
73
4.6
DAFTAR PUSTAKA
74
MODUL 02
KELEMBAGAAN PENGELOLA
PRASARANA DAN SARANA
BIDANG PLP
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN .................................................................................................................. 75
2 KELEMBAGAAN PENGELOLA PS PLP ........................................................................... 76
2.1 Penataan Sistem Pengelolaan ......................................................................................... 77
2.2 Penataan Organisasi Pengelola....................................................................................... 78
2.2.1 Pilihan Bentuk Lembaga ........................................................................................ 83
2.2.1.1 Lembaga Pengelola di Satu Provinsi/Kota/Kabupaten.................................... 83
2.2.1.2
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Peran Pemerintah Daerah dalam Subbidang Air Limbah .......................................... 80
Tabel 2.2. Peran Pemerintah Daerah dalam Subbidang Persampahan ........................................ 81
Tabel 2.3. Peran Pemerintah Daerah dalam Subbidang Drainase ............................................... 82
Tabel 2.4. Kompilasi Tugas Organisasi Daerah Bidang PLP ..................................................... 83
Tabel 4.1. Peraturan Terkait KPS.............................................................................................. 125
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Konteks Pengelolaan PS PLP ................................................................................. 75
Gambar 2.1. Karakteristik Alternatif Lembaga Pengelola .......................................................... 86
Gambar 2.2. Hubungan Pilihan Bentuk Lembaga dengan Permasalahan PLP ........................... 87
Gambar 2.3. Hubungan Pilihan Bentuk Lembaga dengan Potensi Finansial .............................. 88
Gambar 2.4. Ilustrasi Pengaruh Potensi Finansial atas Pilihan Bentuk Lembaga ....................... 89
Gambar 2.5. Ragam Pilihan Bentuk Lembaga Berdasarkan Analisis Kriteria............................ 90
Gambar 2.6. Tahapan Kerjasama TPA Regional ........................................................................ 91
Gambar 2.7. Contoh Struktur Minimal Unit Kerja TPA Regional.............................................. 93
Gambar 2.8. Contoh Struktur Dinas yang Menangangani Satu Bidang PLP .............................. 99
Gambar 2.9. Contoh Struktur Dinas yang Menangani Bidang PLP .......................................... 100
Gambar 2.10. Contoh Struktur dengan PLP Sebagai Bidang.................................................... 100
Gambar 2.11. Contoh Struktur dengan Pembedaan Posisi Sektor PLP sebagai Bidang dan Seksi
................................................................................................................................................... 101
Gambar 2.12. Contoh Struktur dengan PLP Sebagai Seksi ...................................................... 101
Gambar 2.13. Posisi UPTD dalam Dinas Daerah ..................................................................... 102
Gambar 2.14. Form D Perhitungan Beban Kerja ...................................................................... 104
Gambar 2.15. Alur Penataan Kelembagaan .............................................................................. 106
Gambar 2.16. Model Perencanaan SDM ................................................................................... 110
Gambar 3.1. Skema Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ..................................................... 116
Gambar 3.2. Komponen Pengelolaan Keuangan Pemda ........................................................... 117
Gambar 3.3. Komponen Pendapatan Lembaga Pengelola ........................................................ 120
Gambar 4.1. Ilustrasi Percepatan Transformasi Ekonomi Indonesia ........................................ 123
Gambar 4.2. Para Pihak dalam Kemitraan Pemerintah-Swasta ................................................ 124
Gambar 4.3. Tahapan Kerjasama Pemerintah-Swasta .............................................................. 127
Gambar 4.4. Bagi Peran Para Pihak dalam Konteks CSR......................................................... 131
ii
KELEMBAGAAN PENGELOLA
PRASARANA DAN SARANA BIDANG PLP
1
PENDAHULUAN
Ketersediaan prasarana dan sarana bidang PLP (selanjutnya disingkat PS PLP, termasuk di
dalamnya adalah subbidang persampahan, air limbah, dan drainase) membutuhkan pengelolaan
yang baik, agar prasarana dan sarana yang telah terbangun dapat memberikan manfaat sebesarbesarnya secara berkesinambungan.
Pengelolaan yang dimaksud pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan
hidup yang merupakan amanat dari Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara khusus, prasarana dan sarana bidang PLP
membantu mengurangi dampak lingkungan berupa polusi (tanah, air, udara) dari aktivitas
permukiman, serta berperan mengurangi kemungkinan terjadinya bencana seperti banjir.
Selain itu, pengelolaan yang dimaksud juga merupakan bagian dari penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman yang merupakan amanat dari Undang-Undang No.1 Tahun 2011
Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman; yang mencakup kegiatan perencanaan,
pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan
kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi
dan terpadu.
kelembagaan, pendanaan dan pembiayaan, serta peran masyarakat yang merupakan prasyarat
bagi keberhasilan proses manajemen tersebut.
Lembaga pengelola PS PLP di daerah bisa dilakukan langsung oleh Pemda, atau oleh
(komponen) masyarakat. Bagian awal dari Subbab ini menjelaskan mengenai penataan lembaga
pengelola yang ada di bawah kendali pemerintah daerah. Sedangkan untuk lembaga pengelola
yang merupakan komponen masyarakat, dijelaskan tersendiri.
Penguatan kapasitas kelembagaan pemda dilakukan untuk
memastikan agar aparat pemerintah mampu menyediakan
pelayanan kepada pihak pengguna. Hal ini terutama
terkait dengan tuntutan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Proses
penguatan kapasitas kelembagaan pemda dapat
dilakukan berdasarkan tiga tingkatan: level sistem,
level organisasi, dan level individu. Pada tataran
sistem, penataan diarahkan untuk memberikan
kerangka hukum bagi dasar kebijakan dan strategi
yang tepat, hingga penetapan program dan sasaran
kinerja sebagai turunan kebijakan, di samping
pembiayaan
dan
penganggaran.
Pada
tataran
organisasi, penguatan dilakukan terhadap bentuk, struktur,
dan kewenangan lembaga; disertai penyediaan standar-standar
prosedur
operasi, perangkat kerja, dan perangkat manajemen lain seperti sistem informasi. Pada tataran
individu, penataan terutama diarahkan pada kecukupan sumber daya manusia dan
pengembangan kecakapan sumber daya manusia antara lain melalui pendidikan dan pelatihan.
Dengan memastikan bahwa ketiga tataran tersebut dikembangkan kapasitasnya secara
berkelanjutan, diharapkan lembaga pengelola PS PLP di daerah akan memiliki ciri-ciri
pemerintahan di masa datang (B.Guy Peters, The Future of Governing), seperti:
1. Pemerintahan yang menyentuh realitas yang dihadapi publik, memiliki kebijakan yang
dapat mempertahankan akuntabilitas demokratik;
2. Memiliki berbagai sumber kekuasaan dan kewenangan;
3. Mengembangkan organisasi virtual sebagai suatu cara untuk menghubungkan antara
individu, kebutuhan institusi lintas organisasi pemerintahan yang tidak terbatas ruang
dan waktu;
76
2.1
Proses penyelenggaraan layanan umum Bidang PLP tidak bisa dilepaskan dari peraturan yang
terkait. Mulai dari aturan tertinggi, yakni konstitusi negara, yang menyebutkan pada pasal 28H
Undang-undang Dasar 1945, ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan1. Hak tersebut adalah hak warga negara, dan menjadi kewajiban
pemerintah untuk memenuhinya. Karena itu, amanat konstitusi tersebut merupakan tujuan akhir
pencapaian pembangunan bidang PLP.
Terkait dengan cakupan layanan Bidang PLP, beberapa Undang-undang yang perlu diperhatikan
adalah:
Sementara itu, untuk aspek pemerintahan daerah, Undang-undang yang paling utama adalah UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahan-perubahannya.
Pemerintah telah menindaklanjuti Undang-undang tersebut dengan peraturan-peraturan turunan
yang mengatur lebih lanjut. Ketentuan-ketentuan ini mengikat juga bagi pemerintah daerah
dalam mengembangkan kelembagaannya, yang dalam hal ini adalah lembaga pengelola PS PLP.
1
2.2
Idealnya, pengelolaan PS PLP dilakukan secara profesional oleh suatu lembaga pengelola.
Pengelolaan ini perlu memperhatikan keterpisahan fungsi regulator dan operator seperti yang
78
diamanatkan peraturan (antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum).
Dalam konteks tugas pemerintahan, yang dimaksud dengan regulator adalah pihak yang
mengembangkan kebijakan, norma, dan standar, bagi pelaksanaan pelayanan publik. Regulator
kemudian juga melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian agar pelaksanaan pelayanan
publik bisa berjalan sesuai koridor yang telah ditetapkan. Operator, di lain pihak, merupakan
pelaksana pelayanan publik yang melakukan perencanaan dan implementasi kegiatan sesuai
arahan dari regulator.
Pembedaan fungsi ini dapat membantu menghindarkan terjadinya konflik kepentingan bagi para
pelaksana pelayanan publik. Dengan demikian, diharapkan timbul mekanisme check and
balance yang memastikan proses pelayanan publik berjalan berkesinambungan dan
menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Agar pengelolaan PS PLP berjalan dengan lancar, kelembagaan pengelola perlu telah siap saat
PS PLP telah terbangun. Khususnya terhadap PS PLP yang investasinya dibantu oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah wajib berkontribusi menyiapkan perangkat
penyelenggaranya agar PS PLP yang terbangun dapat beroperasi dan dimanfaatkan sebagaimana
mestinya. Hal ini umumnya menjadi bagian dari kesepakatan tertulis antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yang mendapatkan bantuan.
Organisasi pengelola perlu ditetapkan tugas dan fungsinya (sebagai organisasi), penetapan ini
setidaknya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban layanan bidang
PLP yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Berikut ini adalah tabel peran pemerintah
daerah (untuk pemerintah provinsi, dan kota/kabupaten) berdasarkan Lampiran C Peraturan
Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Tugas Pemerintah antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota:
79
1.
1.
1.
1.
2.
2.
2.
3.
4.
Pembinaan
1.
2.
3.
Pembangunan
3.
Pengawasan
1.
2.
3.
80
2.
3.
4.
1.
2.
3.
3.
1.
2.
3.
1.
1.
1.
2.
3.
4.
Pembinaan
1.
2.
3.
Pembangunan
1.
2.
Pengawasan
1.
2.
3.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
2.
1.
2.
3.
81
1.
1.
1.
Fasilitasi penyelenggaraan
pembangunan dan pemeliharaan PS
drainasedi wilayah provinsi.
Penyusunan rencana induk PS
drainase skala regional/lintas daerah.
Evaluasi di provinsi terhadap
penyelenggaraan sistem drainase dan
pengendali banjir di wilayah provinsi.
Pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan drainase dan
pengendalian banjir lintas
kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas
pelaksanaan NSPK.
2.
2.
Pembinaan
1.
2.
Pembangunan
1.
2.
3.
Pengawasan
1.
2.
3.
82
2.
2.
1.
3.
1.
2.
3.
Selain penetapan tugas dan fungsi organisasi, masing-masing posisi yang ada di dalam struktur
organisasi juga perlu dijelaskan tugas dan wewenangnya. Sebagai panduan umum, berikut ini
disertakan daftar tugas yang perlu ada di dalam struktur organisasi pengelola PS PLP:
Tabel 2.4. Kompilasi Tugas Organisasi Daerah Bidang PLP
Subbidang
Ragam Tugas
AL
Sp
Dr
Perumusan kebijakan teknis dan pengaturan
Pemungutan retribusi
2.2.1
Bisa juga dirinci lebih lanjut, seperti: pembersihan, pengangkutan, pengolahan, dll.
83
3. SKPD atau Unit Kerja SKPD (UPTD) yang menerapkan PPK-BLUD (Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah; selanjutnya akan dirujuk sebagai BLUD)
4. Perusahaan Daerah/Badan Usaha Milik Daerah (Perusda/BUMD)
Untuk pilihan pertama, sebenarnya pengelolaan masih belum spesifik menjadi tugas dari unit
kerja tersendiri. Fungsi pengelolaan dilekatkan pada struktur jabatan/posisi yang ada pada
SKPD. Kepala Daerah bisa menetapkan urusan pengelolaan TPA (sebagai contoh) kepada
Kepala Bidang, atau lebih rendah: seperti Kepala Subbidang atau Seksi. Lebih buruk lagi bila
pengelolaan TPA tidak spesifik ditugaskan kepada subbidang/seksi tertentu, melainkan
merupakan bagian dari seluruh tugasnya saja (misalnya kepala seksi persampahan, yang antara
lain mengurus TPA selain mengurus penyapuan jalan dan transportasi sampah domestik). Tiga
pilihan lainnya umumnya sudah mendapatkan tugas pengelolaan yang lebih spesifik.
Untuk pilihan bentuk lembaga ke-2 hingga ke-4, penjelasan ringkasnya adalah sebagai berikut:
Dalam ketentuan PP No.41 Tahun 2007, setiap organisasi daerah yang berbentuk dinas
dapat memiliki unit teknis di bawahnya sesuai kebutuhan; untuk melaksanakan sebagian
kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang. Yang dimaksud dengan
kegiatan teknis operasional yang dilaksanakan unit pelaksana teknis dinas (UPTD)
adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis yang secara langsung berhubungan
dengan pelayanan masyarakat, sedangkan teknis penunjang adalah melaksanakan
kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya. Pada tingkatan
pemerintah provinsi, Kepala UPTD adalah pejabat eselon III, sedangkan Kepala UPTD
di kabupaten/kota adalah pejabat eselon IV dengan struktur lebih sederhana (diisi oleh
jabatan fungsional). Proses pembentukan UPTD bisa dilakukan dalam waktu relatif
cepat, mengingat hanya membutuhkan penetapan dari Kepala Daerah.
Seluruh pendapatan BLUD yang bukan berasal dari APBN/APBD dilaksanakan melalui
rekening kas BLUD dan dicatat dalam kode rekening kelompok pendapatan asli daerah pada
jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dengan obyek pendapatan BLUD (Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.61 Tahun 2007).
84
85
* pembentukan
oleh Kepala
Daerah
* kontrol pemda
dan auditor
* pembentukan
oleh Kepala
Daerah setelah
lolos persyaratan
* bisa berusaha
seperti layaknya
swasta
BUMD
* kontrol internal
pemda
* lebih leluasa
mengelola SDM
dan finansial
BLUD
SKPD/UPTD
* struktur dan
finansial
mengikuti pemda
* kontrol
eksternal pemda
* pembentukan
harus melalui
persetujuan DPRD
Kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan bentuk kelembagaan yang paling sesuai bagi
suatu daerah antara lain:
o Kompleksitas permasalahan dan penanganan subbidang PLP di daerah
o Besaran/volume PS PLP yang (akan) dikelola
o Kemampuan dan potensi finansial
Sebenarnya kriteria kompleksitas permasalahan dan besaran/volume PS PLP yang dikelola
tidaklah sepenuhnya terpisah. Dapat dikatakan bahwa volume PS PLP selayaknya merupakan
fungsi dari kompleksitas permasalahan/penanganan di daerah. Namun pada buku ini, keduanya
dinyatakan terpisah untuk mengantisipasi kondisi dimana ada pembangunan/pengadaan PS PLP
dalam skala yang lebih besar dari kebutuhan saat ini, antara lain sebagai bentuk antisipasi atas
eskalasi permasalahan di masa mendatang. Karena itu, sifat keduanya sebenarnya mirip:
semakin besar kompleksitas permasalahan dan atau volume PS PLP yang ditangani, maka
dibutuhkan bentuk lembaga yang lebih spesifik dan mapan dalam mengelolanya.
Kompleksitas permasalahan umumnya terjadi karena karakteristik daerah dan atau
masyarakatnya. Pada beberapa kota, permasalahan polusi akibat sampah/air limbah dan
permasalahan genangansudah menjadi permasalahan yang dapat mempengaruhi kenyamanan
warga dan kelayakan huni kawasan permukimannya. Ada juga kota-kota tertentu yang
penanganan permasalahan di atas membutuhkan perhatian lebih; misalnya karena kota tersebut
tergolong dalam tujuan utama pariwisata nasional, atau karena kepadatan penduduknya yang
lebih tinggi sehingga menimbulkan limbah lebih besar per rumah tangga, atau kondisi geografi
dan geomorfologinya mengakibatkan kawasannya lebih rawan atas bencana banjir dan erosi.
Terhadap kota-kota semacam itu, dapat dikatakan bahwa permasalahan subbidang PLP-nya
86
lebih kompleks daripada daerah yang lain. Semakin kompleks, semakin perlu adanya lembaga
pengelola dalam bentuk yang lebih mapan.
Struktur lebih
sederhana,
dengan penjabat
fungsional
UPTD
Struktur lebih
leluasa, bisa
melibatkan
profesional
BLUD
Struktur
menyerupai
badan usaha
swasta
BUMD
Semakin kekanan problem semakin kompleks dan atau volume PS PLP yang dikelola semakin besar,
sehingga butuh bentuk organisasi yang lebih mapan
Pada kasus dimana pilihan pemerintah daerah terhadap lembaga pengelola PS PLP hanya di
dalam struktur SKPD terkait yang ada, maka semakin kompleks kebutuhan penanganan, akan
berarti juga semakin tinggi tingkatan jabatan/posisi yang perlu diberikan kepada pelaksana
urusan PS PLP tersebut. Hal ini dibutuhkan terutama agar pengelola PS PLP mendapatkan
kepastian pengalokasian anggaran yang lebih patut, dan juga kewenangan yang lebih besar
dalam koordinasi pengelolaan. Meski demikian, jika suatu daerah teridentifikasi memiliki
kompleksitas penanganan yang tinggi, sangat disarankan untuk memilih bentukan lembaga
pengelola yang lebih spesifik, tidak hanya dilekatkan fungsinya kepada jabatan di dalam
struktur SKPD semata.
Sementara itu, kriteria potensi dan kapasitas finansial cenderung menjadi pembatas.
87
UPTD
Secara finansial
diharapkan sudah
dapat memperolah
jasa layanan yang
seimbang dengan
biaya operasional
BLUD
Secara finansial
diharapkan sudah
mandiri, termasuk
dalam hal investasi
baru maupun
perbaikan PS PLP
BUMD
Pilihan bentuk semakin kekanan membutuhkan potensi/kapasitas finansial yang semakin besar
Yang dimaksud dengan kapasitas finansial disini adalah kemampuan daerah dalam mendanai
pembentukan/pengembangan lembaga pengelola PS PLP. Semakin besar kapasitasnya, semakin
terbuka pilihan bentuk dan struktur lembaga pengelola. Pembentukan badan usaha, umumnya
membutuhkan dana investasi awal yang lebih besar, mengingat proses pendiriannya harus juga
mempertimbangkan modal kerja (working capital), yaitu cadangan dana bagi badan usaha
sebelum proses usahanya stabil dan berjalan lancar. Pilihan bentuk BLUD memungkinkan
perekrutan tenaga profesional, yang bisa juga berkonsekuensi biaya operasional yang lebih
tinggi. Meski begitu, apabila proses operasional berjalan lancar sebagaimana yang
direncanakan, pemilihan bentuk BLUD atau BUMD bisa saja di masa mendatang meringankan
pembiayaan daerah, yaitu bila jasa operasional mereka bisa menutupi sebagian besar biaya atau
bahkan menghasilkan laba.
Yang dimaksud dengan potensi finansial disini adalah kemungkinan pendapatan (revenue)
terutama dari jasa operasional. Apabila pengoperasian PS PLP yang terbangun memiliki potensi
pendapatan, maka semakin besar potensi pendapatan tersebut, maka semakin terbuka pilihan
pemerintah daerah atas bentuk lembaga pengelola. Bahkan, bila kemampuan finansial daerah
tidak cukup memadai, namun ada potensi nyata berupa laba operasional, maka daerah perlu
bersungguh-sungguh mempertimbangkan bentuk lembaga yang lebih mapan. Karena itu aspek
potensi pendapatan ini lebih kuat pengaruhnya dibandingkan kapasitas pendanaan daerah.
88
Secara umum, dapat dikatakan bahwa potensi pendapatan yang memungkinkan cost-recovery,
dimana potensi pendapatan sekurang-kurangnya sama besar dengan biaya operasional, sudah
selayaknya menerapkan PPK-BLUD. Dan jika potensi tersebut lebih besar dari biaya
operasional sehingga memungkinkan diperolehnya laba bersih, tidak ada salahnya
mempertimbangkan bentuk Perusda/BUMD.
Biaya OM
&Penyusutan
terpenuhi
Perusda
Biaya OM
terpenuhi
Biaya OM
dominan subsidi
BLUD
Masy.
Penghasilan
sedang
Masy.
Penghasilan
rendah
Dinas/
UPTD
Masy.
Penghasilan
tinggi
Pendapatanbiaya
pelayanan
Gambar 2.4. Ilustrasi Pengaruh Potensi Finansial atas Pilihan Bentuk Lembaga
Pada akhirnya, pertimbangan pilihan bentuk lembaga adalah komposit (gabungan) dari
penilaian atas kriteria yang telah dijelaskan.
Gambar berikut menjelaskan pilihan yang tersedia, dengan mengasumsikan pembagian nilai
kriteria atas tiga tingkatan kondisi: tinggi, sedang, dan rendah. Perhatikan bahwa
kapasitas/potensi finansial cenderung merupakan pembatas bagi ragam pilihan yang tersedia.
Sebagai contoh, untuk kapasitas/potensi finansial yang rendah, opsi BLUD dan BUMD tidak
lagi disarankan. Sedangkan untuk tingkatan potensi finansial yang sedang, BLUD muncul
sebagai pilihan.
89
sedang
tinggi
BUMD
tinggi
BLUD
UPTD
BUMD
BLUD
UPTD
BLUD
UPTD
BLUD
UPTD
UPTD
BLUD
rendah
BUMD
sedang
rendah
UPTD
Besarnya potensi pendapatan dari jasa operasional dan atau kapasitas pendanaan daerah
Sebagai catatan, pilihan bentuk BLUD masih terbilang baru bagi pengelolaan PS PLP. Untuk
memudahkan mempelajarinya, pembahasan mengenai BLUD beserta tata cara pembentukannya
dijelaskan secara lebih rinci pada bagian Lampiran. Pembentukan BLUD juga dapat dilakukan
bertahap, yaitu apabila ada syarat administratif yang belum terpenuhi (namun harus sudah lolos
syarat substantif dan teknis).
2.2.1.2
Untuk pengelolaan PS PLP yang beroperasi lintas kabupaten, atau lintas provinsi, dibutuhkan
lembaga kerjasama regional.
Salah satu bentuk kerjasama regional yang telah dilakukan adalah TPA Regional. Tahapan
kerjasama hingga pengoperasian dapat dilihat pada bagan berikut.
90
Untuk subbidang air limbah dan drainase, proses kerjasama regional juga bisa mengikuti
tahapan seperti di atas.
91
Pembentukan UPTD
Seiring dengan pembangunan Infrastruktur TPA Regional, dapat dirintis oleh Para Pihak
pembentukan UPTD TPA Regional sebagai Lembaga Pengelola TPA Regional dengan mengacu
kepada kewenangan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan maksud agar
keberadaan kelembagaan UPTD TPA Regional secara fungsional merupakan kelembagaan yang
memiliki otoritas yang dapat mewadahi kepentingan antar Pemerintah Daerah.
Sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, Pasal 8 bahwa: Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan provinsi
mempunyai kewenangan (antara lain) memfasilitasi kerja sama antar daerah dalam satu
provinsi, kemitraan, dan jejaring dalam pengelolaan sampah.
Selanjutnya secara lebih spesifik di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi Dan
Pemerintah Daerah/Kota; pada Lampiran Huruf C. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Pekerjaan Umum, Sub Bidang Persampahan, ditegaskan bahwa: Pemerintah Daerah Provinsi
mengurus Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas
kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka UPTD TPA Regional dibentuk dan
ditetapkan oleh Gubernur. Lembaga ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Dinas terkait yang menangani bidang Pekerjaan Umum (dalam Pedoman ini selanjutnya disebut
Dinas Pekerjaan Umum) di provinsi yang bersangkutan.
Jumlah Unit Kerja TPA Regional dalam satu provinsi dapat mengikuti banyaknya TPA regional
yang ada di provinsi yang bersangkutan. Untuk nomenklatur masing-masing Unit Kerja TPA
Regional dapat disesuaikan dengan menambah gabungan nama atau singkatan nama dari
wilayah kerja Unit Kerja TPA Regional bersangkutan.Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan
Organisasi Perangkat Daerah, bahwa pengaturan tentang UPT Dinas dan Badan mengenai
nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur.
Pembentukan UPTD sebagaimana disebutkan di atas adalah mengacu pada kondisi ideal, yaitu
unit kerja TPA Regional menjadi UPTD tersendiri. Namun apabila oleh suatu sebab teknis, hal
tersebut belum atau tidak bisa dilakukan, maka pengelolaan TPA Regional dapat dimasukkan ke
dalam UPTD di bawah Dinas Pekerjaan Umum di provinsi yang bersangkutan.
92
Struktur Organisasi
Kepala
Subbagian Tata
Usaha
Kepala Seksi
Operasi dan
Pemeliharaan
93
3) menelaahdanmempelajaripermasalahanteknisoperasionaldalam
pengelolaanTPARegionalsertamencarialternatifpemecahannya;
4) menyelenggarakan kegiatan pengeloaan TPA Regional di dalamwilayah
kerjanya;
5) melakukanmonitoringdanevaluasikinerjapengelolaanTPARegional;
6) melakukankegiatanpemeliharaansaranadanprasaranaTPARegional;
7) memeriksadanmenilaikinerjabawahansebagaibahanevaluasiserta
membimbingbawahangunameningkatkanefektivitasdanefisiensi
pelaksanaan
tugas;
8) menyelenggarakankegiataninventarisasi,pendataandanpemutakhiran data;
9) mengelola urusan ketatausahaan guna menunjang kinerja dinas;
10) membuatlaporankegiatanUnitTPARegionalsecaraberkalasebagai
pertanggungjawaban kegiatan;
11) melaksanakantugaslainyangdiberikanolehatasansesuaidengan bidang tugasnya
guna tercapainya tujuan organisasi.
b. Kepala Sub Bagian Tata Usaha atau Bagian Administrasi mempunyai tugas mengelola
urusan ketatausahaan guna menunjang kegiatan Unit TPA Regional pada wilayah
kerjanya dengan uraian tugas terdiri dari:
1) mengelolapenyusunanrencanadanjadwalkegiatanumumsebagai
pedoman
pelaksanaan tugas;
2) menjabarkandanmembagitugaskepadabawahansesuaidenganuraian tugas dan
tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan tugas;
3) melaksanakan koordinasi dalam unit kerja, antar unit kerja, dengan
lembagamasyarakat dan/atau masyarakat terkait;
4) menyelenggarakan administrasi surat menyurat, kearsipan, perpustakaan,
keprotokolan, administrasi
kepegawaian, perlengkapan dan
kerumahtanggaan, administrasi keuangan dan tugas satuan pemegang kas
dalampengurusangajidanpenghasilanlainpegawaisertadalam
pembiayaan
kegiatan;
5) menyampaikaninformasikepadapihakyangberkepentinganuntuk
mewujudkan
komunikasi yang sinergis;
6) menyusun rencana kebutuhan barang, rencana mekanisme kerja dan tataruang
kantor serta rencana anggaran guna kelancaran pelaksanaan tugas;
7) menyusundokumenperencanaandanpelaporanagardiperoleh
sinkronisasi
perencanaan;
8) melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kerja
satuanorganisasi untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana program
kerja;
94
9) memeriksahasilpelaksanaantugasbawahansesuaidenganperaturandan prosedur
yang berlaku agar diperoleh hasil kerja yang benar dan akurat;
10) memberikan bimbingan dan penilaian kinerja bawahan guna meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas;
11) melaporkan pelaksanaan kegiatan Sub Bagian Tata Usaha kepada atasan
sebagai pertanggungjawaban kegiatan;
12) melaksanaantugaslainsesuaibidangtugasnyadalamrangka pencapaian tujuan
organisasi.
c. Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan mempunyai tugas meyelenggarakan
kegiatanpengoperasiandanpemeliharaansecarateknisTPARegional dengan uraian tugas
terdiri dari:
1) mengelolapenyusunanrencanadanjadwalkegiatanoperasidan
pemeliharaan
TPA Regional sebagai pedoman pelaksanaan tugas;
2) menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan uraian tugas
dan tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan tugas;
3) melaksanakankoordinasidalamunitkerja,antarunitkerja,
dengan
lembaga
masyarakat dan/atau masyarakat terkait;
4) menyelenggarakankegiatanoperasidanpemeliharaanTPARegional;
5) menyusundokumenperencanaandanpelaporanagardiperoleh
sinkronisasi
perencanaan;
6) melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kerja satuan
organisasi untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana program kerja;
7) memeriksahasilpelaksanaantugasbawahansesuaidenganperaturan dan prosedur
yang berlaku agar diperoleh hasil kerja yang benar dan akurat;
8) memberikan bimbingan dan penilaian kinerja bawahan guna meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas;
9) melaporkan pelaksanaan kegiatan Seksi Operasi dan Pemeliharaan kepada
atasan sebagai pertanggungjawaban kegiatan;
10) melaksanakantugaslainsesuaibidangtugasnyadalamrangka pencapaian tujuan
organisasi.
Tata Kerja Organisasi
Untukmenjaminkelancaraanpelaksanaantugaspokokdariseluruhbagian di dalam Unit Kerja TPA
Regional, maka perlu ditetapkan tata kerja organisasi sebagai berikut:
a. Kepala Unit TPA Regional dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan oleh Kepala Dinas;
95
b. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Unit, Kepala Sub Bagian Tata Usaha
danKepalaSeksiOperasidanPemeliharaanwajibmenerapkanprinsip
koordinasi,integrasi,dansinkronisasisecaravertikaldanhorisontal,
baikdalamlingkunganmasing-masingmaupundenganinstansilainsesuai dengan tugasnya;
c. Setiap pimpinan satuan organisasi dalam lingkungan Unit Kerja TPA Regional
bertanggungjawabmemimpindanmengkoordinasikanbawahannyaserta
memberikan
bimbingan dan petunjuk bagi pelaksanaan tugas;
d. SetiappimpinansatuanorganisasidalamlingkunganUnitKerjaTPA
Regionalharusmentaatiperintah/petunjukatasandanbertanggung
jawabkepadaatasanmasing-masingsertamenyampaikanlaporanberkala
tepat
pada
waktunya;
e. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari bawahannya,
wajibdiolahdandipergunakansebagaibahanuntukpenyusunanlaporan lebih lanjut dan
untuk memberikan petunjuk kepada bawahan.
96
permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.
Sedangkan evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input)
dengan keluaran (output) terhadap rencana dan standar yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan evaluasi harus sistematis, obyektif dan transparan yaitu dilaksanakan sesuai dengan
tata urut sehingga hasil dan rekomendasi dapat dipertanggungjawabkan; hasil evaluasi tidak
dipengaruhi oleh kepentingan pelaksana kegiatan/pengelola; dan proses perencanaan,
pelaksanaan serta pertanggungjawaban hasil evaluasi harus diketahui oleh pemangku
kepentingan (stakeholders).
Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan monev maka perlu ditetapkan indikatorindikator
kinerja berdasarkan kajian-kajian dengan bobot dan skoryang sesuai dan dapat menggambarkan
kinerja TPA Regional yang sesungguhnya.
97
2.2.2
Untuk organisasi pengelola yang mengambil bentuk SKPD, pada prinsipnya urusan PLP masuk
dalam Bidang ke-PU-an. Dengan demikian, setidak-tidaknya ada jabatan yang mengurusi
subbidang PLP di dalam Dinas PU daerah. Meski demikian, daerah diberi kebebasan untuk
mengembangkan kelembagaannya sendiri, selama masih mengacu kepada peraturan yang
berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
tidak menentukan jenis perangkat daerah masing-masing daerah, namun menjelaskan bahwa
pembentukannya disesuaikan dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing, dengan
mengikuti perumpunan urusan-urusan wajib dan pilihan.
98
Karena itu, semakin besar kebutuhan daerah atas penanganan Bidang PLP, maka sebaiknya
semakin tinggi posisi jabatan yang mengurusnya. Contohnya, persampahan sebagai salah satu
subbidang PLP ada yang diposisikan sebagai dinas tersendiri (umumnya menggunakan nama
Dinas Kebersihan). Ada juga daerah yang merumpunkannya ke dalam suatu dinas tertentu
(misalnya dalam Dinas Kebersihan dan Pemakaman), dengan urusan persampahan setingkat
Kepala Bidang. Dan ada yang menempatkannya dalam posisi Kepala Seksi/Subbidang.
Berikut ini ada beberapa contoh penempatan bidang PLP (atau subbidangnya) dalam struktur
dinas.
a. Dinas yang menangani Subbidang PLP
Struktur paling maksimal adalah Dinas yang menjalankan fungsi penyelenggara
pelayanan publik satu sektor PLP secara independen, sebagai contoh adalah Dinas
Kebersihan yang menjalankan fungsi layanan pengelolaan sampah. Hal semacam ini
juga bisa berlaku untuk sektor Air Limbah dan Drainase, bila kondisi daerah
membutuhkannya dan pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai.
Gambar 2.8. Contoh Struktur Dinas yang Menangangani Satu Bidang PLP
Dalam contoh semacam ini, maka fungsi dari subbidang Air Limbah dan Drainase harus
terakomodasi di dalam dinas yang lain, misalnya Dinas PU.
b. Dinas yang menangani urusan ke-PLP-an
99
Bentuk berikutnya adalah Dinas yang menjalankan fungsi PLP, dengan air limbah,
persampahan, dan drainase diposisikan sebagai bidangnya. Sebagai contoh, hal ini bisa
dilakukan dengan mengadopsi nomenklatur PLP, sehingga bisa disebut Dinas PLP.
Pada contoh
di atas,
PLP
terkelompok
sebagai
Bidang,
sektornya
menjadi seksi.
Gambar
2.10.
Contoh
Struktur
dengan
PLP dan
Sebagai
Bidang
Pola lain adalah pola campuran, dengan satu atau lebih sektor PLP menjadi Bidang,
lainnya sebagai seksi.
100
101
Kepala Dinas
Sekretariat
Bidang A
Bidang B
Bidang C
Bidang D
Seksi A1
Seksi B2
Seksi C1
Seksi D1
Seksi A2
Seksi B2
Seksi C2
Seksi D2
UPTD
8. Satuan kerja perangkat daerah yang dapat didukung oleh kelompok jabatan fungsional,
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam
peraturan daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dilakukan
penyerasian dan penyesuaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penataan struktur organisasi juga bisa mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
57 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang
menjelaskan pentingnya melakukan analisis beban kerja dalam merumuskan susunan organisasi.
Ketentuan mengenai analisis beban kerja dapat dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Kementerian
Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
Pada dasarnya, analisis dilakukan terhadap setiap substruktur dari organisasi, dan pada akhirnya
dihitung beban kerja dari masing-masing substruktur tersebut. Dari hasil perhitungan, akan
dapat disimpulkan apakah struktur yang ada sebenarnya masih bisa menampung tugas-tugas
lainnya (ditambah tugasnya) atau sudah kelebihan beban, dan perlu diperbesar.
Sebagai gambaran, berikut adalah format tabel perhitungan untuk mengukur kebutuhan pegawai
organisasi daerah.
(Tatacara dan langkah-langkah perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008).
103
FORM D
PERHITUNGAN KEBUTUHAN PEJABAT/PEGAWAI, TINGKAT EFISIENSI JABATAN
(EJ) DAN PRESTASI KERJA JABATAN (PJ)
1.
2.
NO
UNIT ORGANISASI
SATUAN KERJA
:
:
JUMLAH
NAMA
BEBAN
JABATAN KERJA
JABATAN
2
3
PERHITUNGAN
JML
KEBUTUHAN
PEG
4
JUMLAH
PEG
YANG ADA
+/- EJ PJ KET
JUMLAH
ANALIS,
..
NIP
Sumber: Permendagri No.12/2008
Gambar 2.14. Form D Perhitungan Beban Kerja
Untuk menghitung kebutuhan pegawai dari tabel tersebut, digunakan rumus:
Jumlah Kebutuhan Pegawai/Pejabat =
Jumlah beban kerja jabatan : Jam Kerja Efektif per tahun
Kolom (4) = Kolom (3): JKE PER TAHUN
104
Dalam hubungannya dengan penataan kelembagaan, hasil analisis beban kerja dapat
menunjukkan perlu tidaknya pengembangan struktur. Jika beban kerja aktual terlalu berat untuk
dilaksanakan oleh personil yang ada, maka organisasi tersebut dapat menambah personilnya,
sesuai dengan batasan yang berlaku.
Untuk organisasi pengelola PS PLP yang baru dibentuk, maka pertimbangan yang digunakan
dalam merumuskan struktur organisasi terutama adalah rancangan cakupan kewenangan, dan
tugas-fungsi lembaga pengelola (sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Daerah yang ada
yang mengatur tentang Organisasi dan Tatakerja Perangkat Daerah). Semakin besar
kewenangan dan semakin berat tugas-fungsinya maka struktur yang hendak disusun sebaiknya
juga semakin lengkap/terperinci. Selain itu perlu diperhatikan juga ragam koordinasi dengan
pihak terkait lainnya. Misalnya, apabila dibutuhkan koordinasi dengan pihak mitra kerja
(swasta), maka di dalam struktur harus jelas penanggung jawab proses koordinasi tersebut.
Contoh lain: bila pilihan bentuk lembaga adalah UPTD yang menerapkan PPK-BLUD, harus
ada di dalam strukturnya kejelasan siapa yang akan melakukan koordinasi dan konsolidasi
perencanaan dan penganggaran dengan SKPD yang memayunginya, mengingat kedua proses
tersebut masih terintegrasi dengan SKPD induk.
Setiap posisi yang disebutkan di dalam struktur perlu mendapatkan kejelasan tugas dan fungsi
dari jabatannya. Untuk bentuk lembaga pengelola yang merupakan bagian dari perangkat
pemerintah daerah (seperti SKPD, UPTD/BLUD), tugas dan fungsi dari penjabat ini kemudian
dirumuskan ke dalam Peraturan Kepala Daerah.
Ragam tugas organisasi PLP yang disebutkan di dalam tabel Tabel 2.4. Kompilasi Tugas
Organisasi Daerah Bidang PLP (subbab sebelumnya), dapat dialokasikan/didistribusikan
sebagian kepada posisi jabatan yang ada di dalam struktur organisasi pengelola PS PLP tertentu.
2.2.3
105
Mulai
IdentifikasiB
entukLemba
gaPengelola
yang Ada
KajianKesesuai
anBentukLemb
aga
Ada
LembagaPen
gelola
Perludiu
bah?
Y
Belum Ada
LembagaPen
gelola
KajianBentukL
embaga yang
sesuai
PengurusanAs
pek Legal
Lembaga
UsulanStruktur
UsulanBentukL
embaga
Y
T
Selesai
Perludiu
bah?
KajianKecukup
anStruktur
Kriteria:
Kompleksitas
masalah
PSD yang
menjaditangg
ungjawab
Potensidanka
pasitaspenda
naan
OpsiBentuk:
Strukturdala
m SKPD
UPTD
PPK-BLUD
BUMD
Hasil identifikasi awal memastikan apakah perlu dibentuk lembaga baru, atau sebaiknya
memanfaatkan struktur yang sudah ada. Kajian perumusan bentuk lembaga baru maupun
penataan bentuk lembaga pengelola yang sudah ada mengikuti kriteria dan penjelasan pada
subsubbab 2.2.1 sebelum ini.
Identifikasi selanjutnya adalah pada aspek struktur organisasinya, apabila diperlukan, maka
perumusan/penataan terkait struktur dilakukan sesuai prinsip yang telah dijelaskan pada
subsubbab 2.2.2.
2.3
Penataan sistem dan penataan bentuk-struktur lembaga belum cukup untuk bisa memastikan
lembaga pengelola PS PLP bisa menjalankan tugas-fungsinya dengan baik. Penataan ketiga,
yaitu penataan SDM sesungguhnya tidak kalah pentingnya dibanding penataan terdahulu.
Manajemen SDM (MSDM) adalah serangkaian keputusan untuk mengelola hubungan
ketenagakerjaan (calon pegawai, pegawai & pensiunan) secara optimal mulai dari perekrutan,
seleksi, penempatan, pemeliharaan (kompensasi & kesejahteraan) dan pengembangan, (karir,
106
pendidikan & pelatihan) serta pemberhentian, untuk mencapai tujuan organisasi (memelihara
dan meningkatkan performansi)4. Dalam mencapai tujuannya tentu suatu organisasi
memerlukan sumber daya manusia sebagai pengelola sistem, agar sistem ini berjalan,
sertadalam pengelolaanya harus memperhatikan beberapa aspek penting seperti pelatihan,
pengembangan, motivasi dan aspek-aspek lainya. Hal ini akan menjadikan manajemen sumber
daya manusia sebagai salah satu indikator penting pencapaian tujuan organisasi secara efektif
dan efisien. Sumber daya manusia merupakan asset organisasi yang sangat vital, karena itu
peran dan fungsinya tidak bisa digantikan oleh sumber daya lainnya. Betapapun modern
teknologi yang digunakan, atau seberapa banyak dana yang disiapkan, namun tanpa sumber
daya manusia yang profesional semuanya menjadi tidak bermakna. Eksistensi sumber daya
manusia dalam kondisi lingkungan yang terus berubah tidak dapat dipungkiri, oleh karena itu
dituntut kemampuan beradaptasi yang tinggi agar mereka tidak tergilas oleh perubahan itu
sendiri. Sumber daya manusia dalam organisasi harus senantiasa berorientasi terhadap visi, misi,
tujuan dan sasaran organisasi tempatnya berada.
Untuk mencapai visi, misi, dan tujuan tersebut SDM pengelola harus mempunyai nilai
kompetensi. Kompetensi adalah karakteristik dasar manusia yang dari pengalaman nyata
(nampak dari perilaku) ditemukan mempengaruhi, atau dapat dipergunakan untuk
memperkirakan (tingkat) performansi di tempat kerja atau kemampuan mengatasi persoalan
pada suatu situasi tertentu (Spencer, 1993, hlm.9)
Karya
Perilaku
Tampak
Pengetahuan
S
Keterampilan
Sikap
M
Karakter
Tersembunyi
Motivasi
P
N
Bakat
Nilai
Lingkungan
Sumber: Paparan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Joko Siswanto
2.3.1
Aspek-aspek dalam pengembangan sumber daya manusia melingkupi beberapa hal yang cukup
luas dalam organisasi. Pengembangan sumber daya manusia (human resources development)
merupakan serangkaian aktivitas yang sistematis dan terencana yang dirancang oleh organisasi
untuk memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk mempelajari keahlian yang diperlukan
untuk memenuhi persyaratan kerja saat ini dan yang akan datang. Pengembangan sumber daya
manusia tersebut setidak-tidaknya meliputi kepemimpinan transformasional, manajemen
perubahan, motivasi, manajemen waktu, manajemen stres, program pendampingan karyawan,
pembentukan tim, pengembangan organisasi, pengembangan karir, serta pelatihan dan
pengembangan. Aspek-aspek tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pembelajaran dan
kinerja tempat kerja. Dari sekian banyak aspek pengembangan sumber daya manusia dan
melihat perkembangannya, pengetahuan, sikap dan perilaku, dan kemampuan merupakan satu
aspek yang menempati posisi yang penting.
Pengetahuan merupakan kemampuan serta kesanggupan seseorang untuk dapat melaksanakan
suatu kegiatan atau pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Pengetahuan merupakan bentuk
kesanggupan dan kemampuan seseorang yang dituangkan dalam perilaku dan sifat dalam
melaksanakan tugasnya. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu sifat, karakter, dan ciri
seseorang yang diperlihatkan melalui kesanggupannya dalam melaksanakan suatu tugas maupun
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan, aparatur dituntut untuk mampu mewujudkan suatu hasil kerja yang optimal dan
mampu membawa dampak positif bagi kemajuan organisasinya. Untuk mampu mewujudkan
tujuan organisasi pemerintahan tersebut, aparatur harus memiliki pengetahuan yang baik,
mengedepankan profesionalisme, memiliki dedikasi, serta disiplin yang tinggi sehingga benarbenar menyadari pentingnya tugas pokok bagi berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan
negara yang bersih, jujur, transparan, serta penuh tanggung jawab.
Sikap dan perilakudalam mewujudkan kompetensi aparatur melalui sikap dan perilaku, terdapat
5 (lima) faktor penting yang harus diperhatikan serta dilaksanakan secara berkesinambungan,
yaitu:
a) Reliability; keandalan adalah merupakan kemampuan seseorang untuk memberikan
pelayanan kepada pihak lain dengan tegas, akurat, dan bebas dari kesalahan,
b) Assurance; jaminan berkaitan dengan pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan dari
aparatur untuk membangkitkan kepercayaan dan keyakinan dari pihak-pihak yang
dilayani,
108
c) Tangibles; bukti langsung berkaitan dengan fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan
karyawan dan pemberi jasa,
d) Empathy; empati meliputi perhatian dan kemudahan dalam melakukan hubungan
dengan pihak yang dilayani, memahami kebutuhan para pelanggan dan adanya
kepeduli-an terhadap pelanggan, dan
e) Responsiveness; daya tanggap berkaitan dengan tanggung jawab dan keinginan aparatur
untuk membantu pihak yang dilayani (masyarakat dan klien) apabila menghadapi
berbagai masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan atau tugas pokoknya.
Sikap merupakan suatu cara mereaksi terhadap rangsangan dari luar yang timbul dari
seseorang atau dari lingkungan. Indrawijaya (1996) menegaskan; perilaku atau attitude
adalah sebagai suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan yang timbul dari seorang
atau dari suatu situasi. Perilaku berkaitan dengan interaksi seseorang dengan orang lain,
atau interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu yang lainnya dalam suatu
lingkungan yang dinampakkan melalui perbuatan.
Dalam aspek skill pengembangan sumber daya manusia setidaknya ada 2 aspek yang perlu
dikembangkan yakni: hard skills (keterampilan teknis dan analitis), soft skills (keterampilan
berinteraksi sosial). Kreativitas juga akan mendorong rasa ingin tahu dan ingin bersaing,
sehingga mereka telah terbiasa dengan persaingan. Hard skills berkaitan dengan kemampuan
atau kompetensi inti dari suatu bidang ilmu. Kemampuan ini banyak diperoleh dari proses
pekerjaan. Kemampuan berupa hard skills lebih mudah dilakukan pengukurannya, karena
memang kemampuan ini sering dijadikan dasar penentuan promosi, mutasi dan demosi pada
suatu organisasi. Contoh dari hard skill ini misalnya electrical engineering, accounting skills,
marketing research.
Soft skills merupakan keterampilan sosiologis yang merujuk pada sekumpulan karakteristik
kepribadian, daya tarik sosial, kemampuan berbahasa, kebiasaan pribadi, kepekaan/kepedulian,
serta optimisme. Soft skills ini melengkapi hard skills, yang bisa dikatakan juga sebagai
persyaratan teknis dari suatu pekerjaan. Soft skills tersebut mencakup (a) kualitas pribadi, seperti
tanggung jawab, kepercayaan diri, kemampuan bersosialisasi, manajemen (pengendalian) diri,
dan integritas atau kejujuran; dan (b) ketrampilan interpersonal, seperti berpartisipasi sebagai
anggota kelompok, mengajar (berbagi pengetahuan) ke orang lain, melayani pelanggan,
kepemimpinan, kemampuan negosiasi, dan bisa bekerja dalam keragaman.
109
2.3.2
Perencanaan sumber daya manusia dilakukan untuk menjamin bahwa orang yang tepat dengan
keterampilan tepat tersedia pada waktu yang tepat pula untuk memfasilitasi implementasi
strategi organisasi. Problem yang biasanya muncul adalah jumlah orang yang tepat namun
dengan keterampilan yang kurang layak, atau keterampilan cukup namun jumlah orangnya
kurang, bahkan jumlah orang yang tepat dengan keterampilan cukup namun waktunya salah.
Prinsip dasar perencanaan SDM yang strategis adalah pengintegrasiannya ke dalam perencanaan
strategis organisasi.
Berikut ini adalah model Perencanaan Sumber Daya Manusia.
Pengintegrasian perencanaan SDM ke dalam perencanaan strategis seringkali terlupakan. Untuk
itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
a. Menelaah tujuan organisasi. Dalam hal apa fungsi SDM berkontribusi terhadap tujuan
dan apakah SDM disebutkan dalam tujuan tersebut.
b. Memasukkan SDM ke dalam proses perencanaan strategis. Membuat guideline
rekrutmen, diklat, pengukuran kinerja, sistem hukuman dan hadiah, penggajian dan
fungsi sumber daya manusia lainnya.
c. Membangun hubungan komunikasi antara perencana strategis dan pelaku MSDM.
Skill Inventories untuk mendaftar semua informasi tentang pegawai termasuk latar
belakang pendidikan, diklat, kemampuan bahasa asing, pengalaman kerja, publikasi,
hobi, rencana karier.
Menganalisis tren lingkungan termasuk kebijakan dan regulasi yang akan muncul mengenai
pemerintah daerah yang menciptakan dampak besar terhadap MSDM misalnya restrukturisasi
organisasi yang akan memotong beberapa posisi struktural dan menambah posisi fungsional.
Tren yang lain meliputi bencana yang membutuhkan atensi khusus. Pada dasarnya aspek-aspek
yang mempengaruhi supply dan demand pegawai meliputi informasi dan teknologi, kebijakan
baru dan peraturan pemerintah pusat, bencana dll.
Membandingkan demand dan supply SDM adalah menentukan seberapa baik tenaga kerja yang
ada dibanding dengan kebutuhan SDM di masa datang. Beberapa pemikiran mengenai aksi yang
akan diambil bisa dipersiapkan.
Melakukan penyelarasan kebutuhan dan persediaan SDM yang ada. Kegiatannya berpusat pada
komponen-komponen MSDM seperti:
Perubahan desain pekerjaan dan kelompok kerja akan mengubah supply dan demand
SDM dengan melakukan realokasi tugas kerja
Perubahan seleksi akan mengubah landasan dan acuan promosi, demosi dan
penempatan
Perubahan dalam kompensasi dan benefit
Perubahan dalam program dan tujuan diklat
Program pengembangan organisasi
Mengevaluasi rencana dan hasil SDM untuk menemukan seberapa besar keberhasilan rencana
itu diimplementasikan dan diintegrasikan ke dalam rencana strategis.
2.3.3
111
yang dihadapi (problem or gap centred orientation). Prinsip-prinsip yang mendasar dari
pendekatan ini adalah bahwa:
a. Peserta diklat telah memiliki banyak pengalaman baik berasal dari dunia kerja maupun
pendidikan formal dan non formal sebelumnya. Oleh karena itu, diklat akan lebih
mudah dan kondusif didasarkan kepada apa yang telah mereka miliki.
b. Peserta dapat belajar dengan baik jika mereka terlibat langsung secara partisipatif dalam
seluruh kegiatan melalui latihan, pegalaman lapangan, refleksi atas pengalaman di
lapangan, inisiatif peserta mengenai cara dan isi pelatihan.
c. Tipe-tipe peserta bervariasi dari yang pembelajar aktif yang menikmati diskusi dan
problem solving sedangkan yang lain lebih cenderung suka melakukan perenungan.
Sedangkan peran dan fungsi fasilitator mempersiapkan secara lebih jauh perangkat dan prosedur
yang tepat dan sesuai untuk melibatkan peserta pelatihan menggunakan pendekatan partisipatif
dalam suatu proses pembelajaran yang melibatkan elemen-elemen:
1. Menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang mendukung untuk proses
belajar
2. Menciptakan dan mengembangkan kesempatan dan mekanisme untuk menyusun
perencanaan partisipatif dalam proses pembelajaran
3. Mengidentifikasi dan mendiagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar
4. Merumuskan tujuan-tujuan program pelatihan yang memenuhi kebutuhan belajar
5. Merencanakan pola pengalaman belajar
6. Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar dengan teknik-teknik dan materi
yang memadai. Dalam hal ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui siklus
belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning cycle)
112
Pelaksanaan otonomi daerah disertai pula oleh adanya perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah yang diatur melalui UU Nomor 33 tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah.
3.1
Aspek fiskal
Peningkatan transfer dari pemerintah pusat ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan
peranan pengelolaan fiskal pemerintah pusat secara umum berkurang. Sebaliknya pengelolaan
fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah melalui
APBD akan dan telah meningkat. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga dibarengi dengan
kenyataan bahwa daerah akan mempunyai fleksibilitas yang tinggi, atau bahkankebebasanpenuh
dalam menentukan pemanfaatan sumber-sumber utama pembiayaannya. Perubahan peta
pengelolaan fiskal dari pusat ke daerah ini sering disebut sebagai desentralisasi fiskal.
Dilihat dari sisi pemerintah daerah, terdapat beberapa isu utama desentralisasi fiskal,
diantaranya:
o
o
Keduanya berkaitan dengan upaya mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan isu
persaingan ekonomi daerah pada era otonomi yang diperkirakan akan menjadi marak.
Kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal ini biasa dibahas dalam penghitungan jumlah transfer dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (intergovernmental grant transfer). Disini selisih
dari kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal atau fiscal gapmenjadi patokan dalam
menentukan besarnya transfer dari pusat. Dalam konteks otonomi daerah, transfer tersebut
disebut Dana Alokasi Umum (DAU).
Selain menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan, pemerintah pusat juga dapat
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah dalam
113
Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
114
dana penunjang harus memperhatikan azas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisien
serta disesuaikan dengan karakteristik masing-masing kegiatan pengelolaan PS PLP.
b. Tugas Pembantuan
Pelaksanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang
bersifat fisik yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran (indikator output) berupa aset
tetap seperti pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi, dan
kegiatan fisik lainnya.seperti pengadaan barang habis pakai seperti pengadaan bibit,
pupuk, bantuan sosial yang diserahkan kepada masyarakat dan pemberdayaan
masyarakat. Untuk mendukung kegiatan ini maka sebagian kecil dana tugas
pembantuan dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas
administrasi dan/atau pengadaan input berupa barang habis pakai dan/atau aset tetap.
Penentuan besarnya dana penunjang harus memperhatikan azas kepatutan, kewajaran,
ekonomis, dan efisien serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan masing-masing.
Program dan kegiatan yang akan disusun dalam rangka Dekonsentrasi dan atau Tugas
Pembantuan wajib mengacu pada RKP dan dituangkan dalam Renja Kementerian. Untuk bidang
Pekerjaan Umum, Menteri bertugas:
Menjabarkan urusan Pemerintah dalam bentuk rincian program dan kegiatan, dengan
memperhatikan skala prioritas, alokasi anggaran, dan lokasi kegiatan;
akan
bagi
115
Norma, standar,
prosedur, kriteria
Peraturan Menteri ttg
Pelimpahan/Penugasan
GUBERNUR
SKPD
TugasPembantuan:
Penugasan sebagian
kewenangan
Kriteria: Eksternalitas,
akuntabilitas, efisiensi,
keserasian hubungan
Pendanaan untuk kegiatan
fisik
SKPD
BUPATI/WALIKOTA
SKPD
Perencanaan program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan nasional; dengan memperhatikan
aspek kewenangan, efisiensi, efektivitas, kemampuan keuangan negara, dan sinkronisasi antara
rencana kegiatan dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan dengan rencana kegiatan daerah.
3.2
116
Untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi tersebut dengan baik, maka pengelolaan keuangan pemda
perlu menerapkan prinsip anggaran berbasis kinerja, dengan menerapkan standar akuntansi yang
baik, serta audit secara periodik dan transparan.
Gambaran umum langkah-langkah pengelolaan keuangan pemda bisa dilihat sebagai berikut,
yang secara umum harus diterapkan juga oleh lembaga pengelola PS PLP.
Ketentuan lebih spesifik mengenai pengelolaan keuangan diatur melalui Undang-undang No.17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan-peraturan turunannya. Sedangkan
pengelolaan aset diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, dan peraturan-peraturan turunannya.
Untuk PS PLP yang investasi pembangunannya dibantu oleh pemerintah pusat melalui APBN,
pemerintah daerah diharapkan untuk mengelola dan membiayai proses pengoperasian dan
pemeliharaannya. PS PLP yang dananya berasal dari APBN ini untuk selanjutnya perlu
dipindahtangankan kepada daerah. Salah satu mekanismenya adalah melalui proses hibah,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Aset
Negara.
Yang dimaksud dengan hibah disini adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar
pemerintah daerah, atau dari pemerintah pusat/pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa
memperoleh penggantian. Dalam kaitan dengan hibah PS PLP yang dibangun
117
menggunakandana APBN, maka Menteri Keuangan selaku pengelola barang milik negara
memiliki kewenangan:
Pasal 4(2)e: memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan barang milik negara
berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam
batas kewenangan Menteri Keuangan;
Termasuk dalam kriteria tidak memerlukan persetujuan DPR adalah bila aset berupa
tanah/bangunan diperuntukkan bagi kepentingan umum (Pasal 46).
Ketentuan mengenai hibah dijelaskan lebih lanjut pada pasal 58 hingga 61. Barang yang
dihibahkan bisa berupa:
Tanah/bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang; dalam hal ini hibah
dilakukan oleh pengelola barang milik negara, yaitu Menteri Keuangan. Ketentuan
pelaksanaannya: a. pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkan
pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; b. pengelola barang
menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sesuai batas
kewenangannya; c. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada
ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1); d. pelaksanaan serah terima barang
yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
118
prinsip dan semangat otonomi daerah, yang mendorong efektivitas dan efisiensi layanan melalui
pendelegasian kewenangan kepada tingkatan pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat.
Sebelum proses pemindahtanganan selesai, daerah tetap dapat melakukan pengelolaan PS PLP,
sebab di dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara juga dijelaskan mengenai pemanfaatan
barang milik negara, antara lain melalui mekanisme pinjam pakai (penyerahan penggunaan
barang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam
jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir
diserahkan kembali kepada pengelola barang), atau kerjasama pemanfaatan (pendayagunaan
barang milik negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka
peningkatan penerimaan negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan
lainnya).
Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat
diperpanjang. Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya
memuat:
1. pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;
2. jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu;
3. tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka
waktu peminjaman;
4. persyaratan lain yang dianggap perlu.
3.3
Tergantung bentuk lembaganya, Pengelola PS PLP dapat memanfaatkan dana dari sumbersumber berikut:
119
APBN
APBD
Hibah
Sumber
Dana
Kerjasama
Jasa Layanan
Pendapatan Lain
120
4
4.1
Mengingat keterbatasan yang dimiliki pemerintah (dana, SDM, waktu), proses perencanaan,
pembangunan, pemanfaatan, hingga pengendalian di Bidang PLP sudah semestinya
dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebesar mungkin. Keterlibatan
masyarakat dalam proses pengelolaan ini akan menjadi ungkitan (leverage) yang dapat
memperbesar kapasitas pengelolaan prasarana dan sarana Bidang PLP. Jika, katakanlah
pemerintah semula hanya mampu melaksanakan layanan 50% dari kebutuhan, maka tergantung
dari besarnya keterlibatan masyarakat, besaran layanan akan dapat ditingkatkan menjadi lebih
baik.
Dengan memahami paradigma baru semacam di atas, maka sudah sepatutnya pemerintah
membuka pintu seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terlibat di dalam proses pengelolaan. Dan
secara berkesinambungan berupaya menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam mengelola
prasarana dan sarana yang ada.
Beberapa alasan perlunya penerapan partisipasi masyarakat dalam perencanaan hingga
pengoperasi dan pemeliharaan yaitu:
1. Mengkondisikan masyarakat tetap memperoleh informasi sebaik-baiknya agar
masyarakat turut mendukung bidang PLP mulai perencanaan sampai dengan
pengoperasian dan pemeliharaan.
2. Memperoleh informasi (dari masukan masyarakat) untuk memperbaiki pengambilan
keputusan.
3. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan kepentingan
mereka.
4. Memperoleh jaminan dukungan dari masyarakat.
Pembangunan prasarana dan sarana melalui pemberdayaan masyarakat mencakup beberapa
komponen yaitu:
Penyediaan prasarana dan sarana yaitu pembangunan PS PLP yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat serta prasarana lainnya yang diperlukan untuk
menunjang kegiatan ekonomi lokal.
121
4.2
122
Semangat Not Business As Usual juga harus terefleksi dalam penyediaan prasarana dan sarana
Bidang PLP. Pola pikir lama adalah prasarana dan sarana harus dibangun menggunakan
anggaran Pemerintah. Akibat anggaran Pemerintah yang terbatas, pola pikir tersebut berujung
pada kesulitan memenuhi kebutuhan prasarana dan sarana yang memadai bagi masyarakat dan
perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam
penyediaan prasarana dan sarana melalui model Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) atau
Public-Private Partnership (PPP).
Setiap kegiatan ekonomi, niscaya membutuhkan seperangkat prasarana dan sarana tertentu
sebagai pendukungnya. Termasuk di dalamnya adalah prasarana dan sarana ke-PLP-an, seperti
pengelolaan limbah padat, limbah cair, dan drainase. Pengembangan prasarana dan sarana
berbasis KPS akan melibatkan berbagai pihak. Berikut ini secara umum disampaikan pihakpihak utama dan hubungan diantara mereka. Pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut:
123
124
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4 Tahun 2006 tentang Metodologi
Evaluasi Proyek Infrastruktur KPS yang Memerlukan Dukungan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di bidang Penjaminan
Infrastruktur
Tabel 4.1. Peraturan Terkait KPS
Topik
Ketentuan Umum
KPS
Peraturan
Peraturan Presiden No. 67
Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur
Peraturan Presiden No. 13
Tahun 2010 atas Perubahan
Peraturan Presiden No. 67
Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur
Butir-butir penting
Peraturan ini mengatur KPS untuk proyek-proyek
infrastruktur tertentu. Dalam hal ini termasuk
mengenai, bandara, pelabuhan, jalur kereta api, jalan,
penyediaan air bersih /sistem pengairan, air minum, air
limbah, limbah padat, informasi dan komunikasi
teknologi, ketenagalistrikan, dan minyak & gas.
Proyek-proyek ini dapat dilaksanakan baik berdasarkan
yang dimohonkan ataupun tidak dimohonkan namun
pada umumnya penyeleksian terhadap suatu Badan
usaha harus dilakukan melalui proses tender terbuka.
Proyek yang Solicited diidentifikasi dan disiapkan
oleh Pemerintah, sedangkan untuk proyek yang
Unsolicited diidentifikasi dan diajukan kepada
Pemerintah oleh suatu Badan Usaha.
Lembaga Kontraktor Pemerintah dapat diadakan baik
di tingkat regional ataupun nasional. Proyek KPS dapat
dilaksanakan berdasarkan perijinan Peme - rintah
ataupun melalui Perjanjian Kerjasama (PK).
Pemerintah dapat memberikan dukungan perpajakan
dan / atau non-pajak untuk meningkatkan kelayakan
suatu proyek infrastruktur. Proyek ini harus terstruktur
untuk dapat mengalokasikan risiko yang mampu
dikelola secara maksimal oleh pihak pelasana.
125
Topik
Prosedur untuk
Penyediaan
Dukungan
Pemerintah
Peraturan
Peraturan Menteri Keuangan
No. 38 Tahun 2006 tentang
Petunjuk Pelaksanaan
Pengendalian dan
Pengelolaan Risiko atas
Penyediaan Infrastruktur
Peraturan Menteri
Koordinator Bidang
Ekonomi No. 4 Tahun 2006
tentang Metodologi Evaluasi
Proyek Infrastruktur KPS
yang Memerlukan Dukungan
Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 35
Tahun 2009 tentang
Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia untuk
Pendirian Perusahaan
Perseroan (Persero) di bidang
Penjaminan Infrastruktur
Butir-butir penting
Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006
menjabarkan kondisi-kondisi dan proses untuk
mengusahakan adanya dukungan pemerintah, antara
lain penjaminan-penjaminan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan ini, pemerintah dapat memberikan
jaminan terhadap tiga jenis risiko, yaitu: Risiko Politik,
Risiko Kinerja Proyek, dan Risiko Permintaan. Risiko
Kinerja Proyek termasuk risiko-risiko yang terjadi
akibat keterlambatan dalam proses pembebasan lahan,
peningkatan biaya perolehan tanah, perubahan dalam
spesifikasi kontrak kerja, penundaan atau adanya
penurunan kontrak penyesuaian atas tarif,
keterlambatan memperoleh ijin untuk memulai
kegiatan. Risiko Permintaan mengacu terhadap
pendapatan riil yang berada di bawah pendapatan
minimum yang dijamin karena adanya permintaan
yang lebih rendah dari kontrak.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4
Tahun 2006, mensyaratkan bahwa suatu permintaan
atas dukungan kontingen setidaknya harus dimuat pada
bagian studi kelayakan. Hal ini lebih tegas diatur dari
pada pengaturan awal studi kelayakan sebagaimana
dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan No.38
tahun 2006. Kedua peraturan tersebut menentukan
bahwa dokumen lain harus diajukan untuk meminta
dukungan, termasuk format kerjasama, rencana
anggaran, hasil dari konsultasi publik dan lainnya.
Pemerintah telah mendirikan PT. Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (PT. PII) untuk mengelola
jaminan-jaminan tersebut. Dengan upaya ini maka
diharapkan dapat mengurangi pengeluaran biaya
pembangunan proyek infrastruktur KPS dengan
meningkatkan kualitas proyek KPS dan kredibilitas,
serta membantu Pemerintah untuk mengelola risiko
pajak dengan lebih baik dengan adanya penjamian ini.
PT. PII akan membuat kerangka kerja yang
komprehensif dan konsisten untuk dapat menilai suatu
proyek dan membuat keputusan sehubungan dengan
pemberian jaminan dari pemerintah untuk proyekproyek KPS.
Di dalam Peraturan Presiden No.67 Tahun 2005, pasal 4(1)e, disebutkan jenis infrastruktur air
limbah dan persampahan yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha, yaitu:
126
infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan
pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan
tempat pembuangan;
Setiap sektor infrastruktur diatur oleh undang-undang tersendiri dan peraturan-peraturan
pelaksananya. Selain itu, terdapat juga peraturan menteri yang tidak tercantum disini yang
memberikan petunjuk tentang pelaksanaan undang-undang pokok dan peraturan pemerintah
tersebut.
4.2.2
Secara umum, inisiatif pengembangan infrastruktur dalam skema KPS bisa dimulai dari pihak
pemerintah (solicited) maupun pihak swasta (unsolicited). Untuk proyek yang berdasarkan
inisiatif pemerintah, harus melalui sembilan tahapan berikut ini:
1.
Pemilihan
Proyek
2.
Konsultasi
Publik
3.
Studi
Kelayakan
4.
Tinjauan
Risiko
5.
Bentuk
Kerjasama
6.
Dukungan
Pemerintah
7.
Pengadaan
8.
Pelaksanaan
9.
Pemantauan
Penjelasan tahapan:
1. Pemilihan Proyek (atau identifikasi). Pemerintah (dalam hal ini instansi terkait),
mengindentifikasi dan membuat prioritas proyek-proyek infrastruktur yang berpotensi
KPS.
2. Konsultasi Publik. Pemerintah berupaya mendapatkan saran dari publik pada umumnya
dan calon pengembang dan pemberi pinjaman untuk membantu pembentukan
rancangan proyek.
3. Studi Kelayakan adalah rancangan teknis, komersial dan kontraktual proyek yang
memadai untuk memfasilitasi tender proyek kepada mitra-mitra pihak swasta. Studi
Kelayakan harus diselesaikan sebelum proyek ditenderkan.
127
4. Tinjauan Risiko adalah pengidentifikasian berbagai risiko dalam proyek dan hal-hal
yang dapat mengurangi risiko tersebut, dan usulan pengalihan risiko tersebut oleh
berbagai pihak dalam Perjanjian Kerjasama. Pada umumnya, tinjauan risiko ini
dilakukan dan merupakan bagian dari Studi Kelayakan.
5. Bentuk Kerja Sama merupakan tinjauan agar kemitraan KPS distrukturkan untuk
mengoptimalkan nilai bagi publik dan pada saat yang bersamaan tidak mengurangi
minat dari mitra swasta. Pada umumnya, Bentuk Kerja Sama ini dikaji dalam Studi
Kelayakan.
6. Dukungan Pemerintah merupakan penentuan atas bentuk-bentuk kontribusi pemerintah
terhadap suatu proyek, dalam suatu mekanisme, misalnya insentif pajak, pembebasan
tanah, dukungan/jaminan bersyarat, pembiayaan langsung dan lain-lain. Pada
umumnya, kajian Dukungan Pemerintah dilakukan untuk mengetahui potensi kelayakan
suatu proyek secara perbankan.
7. Pengadaan merupakan pengembangan dari paket tender, dan proses tender secara
keseluruhan yang dimulai sebelum proses kualifikasi sampai dengan penandatanganan
kontrak.
8. Pelaksanaan termasuk pendirian Perusahan Proyek oleh Sponsor Proyek, pembiayaan,
kegiatan konstruksi, pelaksanaan awal dan pengoperasian proyek oleh Badan usaha.
9. Pemantauan adalah pemantauan terhadap kinerja Badan Usaha oleh pemerintah
sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama.
Pihak swasta boleh menginisiasi pengembangan infrastruktur, dengan beberapa syarat berikut
ini:
o
o
o
o
Sementara tahapannya juga mirip dengan gambar di atas, kecuali bahwa langkah 16 dilakukan
sendiri oleh pihak swasta yang memprakarsai proyek tersebut (pemrakarsa).
128
pemberdayaan masyarakat termasuk dalam hal pengelolaan limbah. Program semacam itu
sesungguhnya memiliki kesamaan/kemiripan dengan program pemerintah.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan pemerintah (pusat dan daerah) untuk bersinergi dengan
perusahaan-perusahaan yang hendak melaksanakan program CSR. Antara lain melalui:
1. Pemberian informasi mengenai rencana pembangunan. Dalam konteks keciptakaryaan,
rencana ini terintegrasi dalam dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah
(RPIJM). Pemahaman pihak perusahaan terhadap program akan memungkinkan
perencanaan CSR mereka bisa saling mengisi dengan program pemerintah.
2. Pedoman/Petunjuk Teknis. Pelaksanaan program CSR di bidang PLP selayaknya
mengacu dan mengikuti pedoman yang berlaku. Pemerintah telah menerbitkan berbagai
pedoman/petunjuk teknis terkait sektor pengembangan PLP.
3. Konsultasi Teknis dan Supervisi. Ditjen Cipta Karya Kementerian PU, Satker PLP di
provinsi, dan dinas-dinas daerah yang terkait dengan pengembangan PLP dapat
memberi bantuan teknis dalam bentuk konsultasi bagi perusahaan yang ingin
memahami lebih lanjut mengenai RPIJM, penggunaan buku pedoman dan manual,
perencanaan prasarana, serta bantuan teknis berupa supervisi pada tahap pelaksanaan
proyek. Selain itu bisa dilakukan konsultasi mengenai berbagai alternatif skema
kerjasama dan pembiayaan program, agar program berdampak lebih besar dan lebih
berkelanjutan.
4. Pendanaan Program. Beberapa alternatif pendanaan pembangunan PS PLP antara lain:
a. Dana publik. Dana ini mengalir dari Pusat, Provinsi lalu ke Pemerintah
Kabupaten/Kota; dan terutama berasal dari pajak.
b. Dana Pembangunan Asing (Overseas Development Aid/ODA). Hibah dan
pinjaman luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti
Bank Dunia dan ADB.
c. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Berbasis Masyarakat
(OBM)
d. Sektor Swasta/Badan Usaha.
Perusahaan dapat menyesuaikan program CSR bidang PLP nya dengan program
pemerintah yang didanai dari sumber lain seperti di atas, agar tercipta sinergi dan
manfaat yang lebih luas.
5. Fasilitasi Kerja Sama dengan Pemangku Kepentingan. Pemerintah dapat membantu
memfasilitasi proses koordinasi dengan para pemangku kepentingan, seperti
dinas/instansi di lingkungan pemerintah, kelompok kerja/forum (seperti Pokja Air
129
130
PERUSAHAAN
PELAKU CSR
DIREKTORAT JENDERAL
CIPTA KARYA
PEMERINTAH DAERAH
(PROV./KAB./KOTA)
RENSTRA CK
USULAN KEGIATAN
RPIJM
EVALUASI
PROGRAM CSR
DAFTAR USULAN
PENYIAPAN
RENCANA RINCI
USULAN KEGIATAN
SINKRONISASI
KEGIATAN
EVALUASI
INDIKASI
PENDANAAN
DAFTAR USULAN
PRIORITAS
ALOKASI
PENDANAAN
MOA
Untuk Sektor Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP), ada tiga subsektor
yaitu Persampahan, Air Limbah, dan Drainase, dengan kegiatan yang dapat ditawarkan adalah:
1. Subsektor Persampahan
a. Komponen Pengumpulan dan Pengangkutan ke Tempat Penampungan
Sementara (TPS)
i. Pengadaan tempat sampah seperti bin dan tong sampah
ii. Pengadaan gerobak sampah, becak motor sampah, mini truck untuk
pengumpulan dan pengangkutan
131
132
4.3
133
134
MODUL 03
DASAR-DASAR TEKNIK DAN PENGELOLAAN
AIR LIMBAH
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1. LANDASAN HUKUM PENGELOLAAN AIR LIMBAH .................................................. 135
1.1. Peraturan Nasional Bidang Air Limbah ..................................................................... 135
1.2. Peraturan Daerah Bidang Air Limbah ........................................................................ 137
1.3. Standar Terkait Bidang Air Limbah ........................................................................... 137
2. TINJAUAN TERHADAP PERATURAN DI BIDANG PENGENDALIAN
LINGKUNGAN HIDUP ....................................................................................................... 138
3. KRITERIA DAN STANDAR KUALITAS AIR .................................................................. 143
4. DASAR-DASAR PENETAPAN STANDAR KUALITAS AIR .......................................... 143
5. FAKTOR-FAKTOR PENETAPAN DALAM STANDAR .................................................. 144
6. BAKU MUTU AIR LIMBAH ............................................................................................... 146
7. STUDI AMDAL KAITANNYA DENGAN PENANGANAN AIR LIMBAH DOMESTIK147
8. PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR ............................................................................ 148
9. DASAR-DASAR TEKNIK PENGELOLAAN AIR LIMBAH ........................................... 149
9.1. Pengertian Air Limbah Domestik............................................................................... 149
9.2. Sumber Air Limbah Domestik ................................................................................... 149
9.3. Karakteristik dan Dampak Air Limbah ...................................................................... 150
9.4. Komposisi Air Limbah Domestik .............................................................................. 153
10. ASPEK YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN AIR LIMBAH .............................. 155
10.1. Demografi................................................................................................................... 155
10.2. Ekonomi ..................................................................................................................... 156
10.3. Sosial .......................................................................................................................... 157
10.4. Lingkungan................................................................................................................. 157
10.5. Teknis dan Kesehatan ................................................................................................. 158
11. PENGELOLAAN AIR LIMBAH BERBASIS MANFAAT ................................................. 159
12. KRITERIA TEKNIK PENGELOLAAN AIR LIMBAH ...................................................... 159
12.1. Pemilihan sistem ........................................................................................................ 159
12.2. Alternatif Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem On-Site.................................. 163
12.3. Alternatif Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Off -Site ................................ 163
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Mutu Air Berdasarkan PP 82 tahun 2001 .................................................... 141
Tabel 5.1 Korelasi Parameter Kualitas Air dengan Faktor Penetapannya ................................ 145
Tabel 6.1 Baku Mutu Air Limbah Domestik ............................................................................ 146
Tabel 9.1 Parameter Bahan Anorganik ..................................................................................... 151
Tabel 9.2 Parameter Zat Organik Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan .............................. 152
Tabel 9.3 Material Radioaktif ................................................................................................... 153
Tabel 9.4 Komposisi Limbah Cair Domestik ............................................................................ 154
DAFTAR GAMBAR
Gambar 9.1 . Diagram Komposisi Air Limbah (Sugiharto, 1987) ............................................ 154
Gambar 12.1 Skema Pemilihan System Pengelolaan Air Limbah ............................................ 162
Gambar 12.2 Skema Pengolahan Air Limbah Pada IPAL ........................................................ 164
ii
Berikut adalah beberapa peraturan perundangan yang melandasi pengelolaan air limbah di
Indonesia, diantaranya:
a. Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Pasal 22 mengisyaratkan akan pentingnya kesehatan lingkungan melalui antara lain
pengamanan limbah padat dan cair.
b. Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 21 ayat (2) butir d yang mengisyaratkan akan pentingnya pengaturan prasarana
dan sarana sanitasi (air limbah dan persampahan) dalam upaya perlindungan dan
pelestarian sumber air, serta pasal 40 ayat (6) menyatakan bahwa pengaturan
pengembangan sistem air minum diselenggarakan secara terpadu dengan
pengembangan prasarana dan sarana sanitasi.
c. Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
d. Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pasal 6 ayat (1) menyatakan setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menangulangi pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup. Dalam penjelasan ayat tersebut dikemukakan bahwa kewajiban
setiap orang sebagaimana dimaksudkan sebagai anggota masyarakat yang
mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut
mengandung makna bahwa setiap orang turut berperan serta dalam upaya memelihara
lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan budaya bersih
lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbingan di bidang lingkungan hidup.
Selanjutnya dalam pasal 14 ditegaskan bahwa : untuk menjamin melestarikan fungsi
lingkungan hidup, setiap usaha dan atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dilarang melanggar baku mutu dan kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
e. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
f. Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman
g. Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 1991 tentang Sungai
h. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
135
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.
y.
z.
136
Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum (SPAM)
Mengatur penyelenggaran prasarana dan sarana air limbah permukiman secara terpadu
dengan penyelenggaraan sistem penyediaan air minum khususnya Bab III tentang
Perlindungan Air Baku.
Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2011 tentang Ijin Lingkungan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 45 tahun 1990 tentang Pengendalian Mutu
Air pada Sumber-sumber Air
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 52 tahun 1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 58 tahun 1995 tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 37 tahun 2003 tentang Metoda Analisis
Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 110 tahun 2003 tentang Pedoman
Penetapan Daya Tampung Beban Pencemar Air Pada Sumber Air
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 111 tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuagan Air
Limbah ke Air atau Sumber Air.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 112 tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Domestik
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 05 tahun 2012 tentang Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
1.2.
Semua peraturan dan undang-undang yang disebutkan diatas adalah peraturan atau undangundang yang berlaku secara nasional yang dapat dipakai sebagai rujukan. Peraturan-peraturan
yang bersifat regional atau daerah (Perda) :
a. Peraturan Daerah
b. Peraturan Gubernur
c. Keputusan Walikota/Bupati
Peraturan Daerah tersebut di antaranya mengenai:
1. Baku mutu efluen atau Perda tentang baku mutu Badan Air. Dalam hal ini, peraturan
atau perundangan yang lebih ketat pada dasarnya merupakan peraturan yang harus
diikuti. Jika peraturan atau baku mutu Nasional memuat ketentuan-ketentuan baku mutu
yang lebih ketat, maka baku mutu Nasional harus diterapkan. Sebaliknya apabila
peraturan daerah (Perda) merupakan baku mutu yang lebih ketat dari pada baku mutu
Nasional, maka baku mutu dalam Perda tersebut yang harus diikuti. Pada umumnya
Baku Mutu Kualitas Lingkungan yang ditetapkan secara Nasional. Dengan demikian,
kehadiran peraturan daerah (Perda) tidak berarti meniadakan Peraturan atau UndangUndang baku mutu Nasional, bahkan mendukung peraturan dan undang-undang
tersebut.
2. Restribusi
3. Pengelolaan air limbah seperti :
ketentuan tangki septik sesuai SNI bagi pengembang dan masyarakat;
kewajiban menyambung pada sistem perpipaan bila berada pada kawasan yang
menggunakan sistem pengolahan air limbah terpusat;
kewajiban pengembang menyediakan IPAL komunal/kawasan
dan lain-lain.
4. Institusi pengelola air limbah (regulator, operator, bentuk institusi, Sumber daya
manusia)
5. Ijin pembuangan air limbah
1.3.
137
c. SNI 19-6409-2000 tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Limbah tanpa Pemadatan
dari Truk
d. SNI 19-6410-2000 tentang Tata Cara Penimbunan Tanah Bidang Resapan pada
Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga
e. SNI 19-6447-2000 tentang Metode Pengujian Lumpur Aktif
f. SNI 19-6466-2000 tentang Tata Cara Evaluasi Lapangan untuk Sistem Peresapan
Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga
g. SNI 03-23982002 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Perencanaan Tangki Septik
dengan Sistem Resapan
h. SNI 03-2399-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Bangunan Umum MCK
i. SNI 03-1733-2004 tentang Tata cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di perkotaan
Standar teknis lainnya :
a. Tata Cara Perencanaan IPLT Sistem Kolam, CT/AL/Re-TC/001/98
b. Tata Cara Pembangunan IPLT Sistem Kolam, CT/AL/Ba-TC/002/98
c. Tata Cara Pengoperasian IPLT Sistem Kolam, CT/AL/Op-TC/003/98
d. Tata Cara Pengolahan Air Limbah dengan Oxidation Ditch, CT/AL/Re-TC/004/98
e. Tata Cara Pembuatan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL), CT/AL-D/ReTC/005/98
f. Tata Cara Survey Perencanaan dan Pembangunan Sarana Sanitasi Umum, CT/ALD/Re-TC/006/98
g. Tata Cara Pembuatan Bangunan Atas Jamban Jamak, CT/AL-D/Ba-TC/007/98
h. Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah, CT/AL-D/BaTC/009/98
i. Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, dep. PU 2003.
2.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah disebutkan pada pasal 13 bahwa pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi aspek pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung
jawab masing-masing. Pada penjelasan terkait ayat ini yang dimaksud pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang ada dalam ketentuan ini, antara lain
pengendalian:
a. pencemaran air, udara, dan laut; dan
138
139
Sedangkan kriteria mutu air dari masing-masing kelas dijabarkan dalam Tabel 2.1. Pembagian
kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan
kegunaannya. Secara relatif, tingkatan mutu air Kelas Satu lebih baik dari Kelas Dua, dan
selanjutnya. Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan kemungkinan
kegunaannya bagi suatu peruntukan air. Air baku air minum adalah air yang dapat diolah
menjadi air yang layak sebagai air minum dengan mengolah secara sederhana dengan cara
difiltrasi, disinfeksi, dan dididihkan. Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk
menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar untuk penetapan baku
mutu air.
140
SATUAN
KELAS
I
II
III
IV
KETERANGAN
FISIKA
Tempelatur
Residu Terlarut
Residu
Tersuspensi
deviasi 3
deviasi 3
deviasi
3
deviasi 5
mg/ L
1000
1000
1000
2000
mg/L
50
50
400
400
KIMIA ANORGANIK
pH
6-9
6-9
6-9
6 -9
BOD
mg/L
12
COD
mg/L
10
25
50
100
DO
Total Fosfat sbg
P
mg/L
mg/L
0,2
0,2
NO 3 sebagai N
mg/L
10
10
20
20
NH3-N
mg/L
0,5
(-)
(-)
(-)
Arsen
mg/L
0,05
Kobalt
mg/L
0,2
0,2
0,2
0,2
Barium
mg/L
(-)
(-)
(-)
Boron
mg/L
Selenium
mg/L
0,01
0,05
0,05
0,05
Kadmium
mg/L
0,01
0,01
0,01
0,01
Khrom (VI)
mg/L
0,05
0,05
0,05
0,01
Tembaga
mg/L
0,02
0,02
0,02
0,2
Besi
mg/L
0,3
(-)
(-)
(-)
Timbal
mg/L
0,03
0,03
0,03
Mangan
mg/L
0,1
(-)
(-)
(-)
Air Raksa
mg/L
0,001
0,002
0,002
0,005
Seng
Khlorida
mg/L
mg/l
0,05
600
0,05
(-)
0,05
(-)
2
(-)
141
SATUAN
KELAS
I
II
III
IV
Sianida
mg/L
0,02
0,02
0,02
(-)
Fluorida
mg/L
0,5
1,5
1,5
(-)
Nitrit sebagai N
mg/L
0,06
0,06
0,06
(-)
Sulfat
mg/L
400
(-)
(-)
(-)
Khlorin bebas
mg/L
0,03
0,03
0,03
(-)
Belereng sebagai
H2S
mg/L
0,002
0,002
0,002
(-)
KETERANGAN
MIKROBIOLOGI
Fecal coliform
jml/100 ml
100
1000
2000
2000
Total coliform
jml/100 ml
1000
5000
10000
10000
RADIOAKTIVITAS
- Gross-A
Bq /L
0,1
0,1
0,1
0,1
- Gross-B
Bq /L
ug /L
1000
1000
1000
(-)
ug /L
200
200
200
(-)
ug /L
(-)
BHC
Aldrin /
Dieldrin
ug /L
210
210
210
(-)
ug /L
17
(-)
(-)
(-)
Chlordane
ug /L
(-)
(-)
(-)
DDT
Heptachlor dan
heptachlor
epoxide
ug /L
ug /L
18
(-)
(-)
(-)
Lindane
ug /L
56
(-)
(-)
(-)
Methoxyclor
ug /L
35
(-)
(-)
(-)
Endrin
ug /L
(-)
Toxaphan
ug /L
(-)
(-)
(-)
KIMIA ORGANIK
Minyak dan
Lemak
Detergen
sebagai MBAS
Senyawa Fenol
sebagai Fenol
142
3.
Perbedaan pengertian kriteria dan standar kualitas air tidak begitu tampak namun cukup penting.
Kriteria kualitas air dapat didefinisikan sebagai batas konsentrasi ataua intensitas dari kualitas
air yang ditentukan berdasarkan peruntukan penggunaannya.Sedangkan standar kualitas air
didefinisikan sebagai peraturan mengenai batas konsentrasi atau intensitas parameter kualitas air
dan dikeluarkan oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk perlindungan atau penyediaan
sumber daya air bagi berbagai macam penggunaan.
4.
Tinjauan kualitas air mencakup beberapa kelompok parameter, yaitu parameter fisika, kimia,
bakteriologi, dan parameter radioaktif. Dalam penetapan batasan konsentrasi atau intensitas
dikenal dua macam istilah:
a. Batas yang dianjurkan (Recommended Limit)
b. Batas yang tidak diperbolehkan (Rejection Limit)
Dalam hal penyusunan suatu standar kualitas air, pada umumnya dipertimbangkan dari segi
kesehatan, teknologi, dan ekonomi. Penetapan batas konsentrasi setiap parameter kualitas, harus
sesuai dengan sasaran dari standar, misalnya, sasaran yang akan dicapai adalah desirable,
acceptable atau critical.
Istilah-istilah yang seringkali dipergunakan dalam standar kualitas air diantaranya adalah:
Absen, tidak hadir atau sama dengan nol: menyatakan bahwa analisis kualitas air dengan
metode yang paling sensitif (standard method) menunjukan tidak hadirnya unsur yang
dimaksud.
Virtually absent. Istilah ini digunakan untuk menyatakan bahwa unsur yang diperiksa
hadir dalam konsentrasi yang sangat rendah. Pada umumnya istilah ini digunakan untuk
unsur-unsur yang kehadirannya dalam air tidak boleh ada walaupun dalam konsentrasi
yang sekecil apapun.
Pada umumnya standar kualitas air ditentukan berdasarkan analisis kualitas air yang dijelaskan
dalam metode standar (standard method). Hal ini dimaksudkan agar terdapat keseragaman
metode antara standar yang ditetapkan dengan analisis pemeriksaan air. Tentu saja ini
merupakan konsekuensi logis. Jika standar berdasarkan metode standar, maka sesuatu hal yang
akan dibandingkan dengan standar tersebut haruslah diperiksa dengan cara atau metode yang
143
sama. Namun demikian, metode lain bukan berarti tidak boleh diterapkan, dengan catatan
bahwa metode ini harus memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat atau lebih teliti. Perlu
diketahui bahwa metode standar adalah metode analisis kualitas air yang direkomendasikan oleh
Assosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (American Public Health Association).
5.
Ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam penetapan standar kualitas air,
yakni:
a. Kesehatan: faktor kesehatan dipertimbangkan dalam penetapan standar guna
menghindarkan dampak kerugian terhadap kesehatan.
b. Estetika: diperhatikan guna memperoleh kondisi yang nyaman
c. Teknis: faktor teknis ditinjau mengingat bahwa kemampuan teknologi dalam
pengolahan air sangat terbatas, atau untuk tujuan menghindarkan efek-efek kerusakan
dan gangguan instalasi atau peralatan yang berkaitan dengan pemakaian air yang
dimaksudkan
d. Toksisitas efek: ditinjau guna menghindarkan terjadinya efek racun bagi manusia.
e. Polusi: faktor polusi dimaksudkan dalam kaitannya dengan kemungkingan terjadinya
pencemaran air oleh suatu polutan
f. Proteksi: faktor proteksi dimaksudkan untuk menghindarkan atau melindungi
kemungkinan terjadinya kontaminasi.
g. Ekonomi: faktor ekonomi dipertimbangkan dalam rangka menghindarkan kerugiankerugian ekonomis
Korelasi antara faktor-faktor pertimbangan di atas dengan beberapa parameter kualitas air yang
ditetapkan standarnya, dapat dilihat pada Tabel 5.1 di bawah ini.
144
Parameter
Kekeruhan
Warna
Bau & rasa
Suhu dan
pH
Ca dan Mg
Fe dan Mn
Nitrogen
Ag
Al
As
Bau & rasa
Br
Cd
Cl
Co
Cr
Cu
F
Hg
H2S
Pb
Se
Zn
Zat Organik
Mikrobiologi
Radio aktif
Sisa chlor
145
6.
Baku mutu efluen (Effluent Standard) untuk air limbah diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup nomor 112 tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik yang
mensyaratkan bahwa baku mutu untuk tiap parameter adalah kadar maksimumnya seperti
tercantum dalam Tabel 6.1 berikut:
Tabel 6.1 Baku Mutu Air Limbah Domestik
Parameter
Satuan
pH
Kadar Maksimum
6 -10
BOD
mg/L
100
TSS
mg/L
100
mg/L
10
Dalam pasal 2 dan pasal 4 di tegaskan bahwa baku mutu tersebut berlaku bagi:
a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan
b. perniagaan, dan apartemen
c. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter persegi
d. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih
Selain itu baku mutu tersebut hanya berlaku untuk pengolahan air limbah domestik terpadu.
Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dan apabila baku mutu air limbah domestik daerah belum
ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah domestik secara nasional. Apabila hasil kajian
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) atau hasil kajian Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan
mensyaratkan baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air
limbah domestik sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Amdal atau UKL dan UPL.
Dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman
(real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen wajib :
a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang
dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah
ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air sehingga
tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan.
c. membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air limbah.
146
7.
147
8.
Dan pada Pasal 32 ditegaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan
berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan kewajiban
pengelolan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Dalam rangka pengendalian pencemaran air sebagaimana diwajibkan diatas, maka setiap orang
wajib mengambil langkah-langkah pencegahan pencemaran air yang diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Pengurangan Pencemaran dari Sumbernya
Langkah yang sangat efektif dalam pencegahan pencemaran air adalah pencegahan dari
sumber-sumber timbulan limbah. Penerapan peraturan dan penetapan tata guna lahan yang
tepat serta pencegahan terjadinya erosi merupakan langkah kongkret dalam penurunan
tingkat pencemaran air permukaan akibat limpahan bahan padat dari daratan sepanjang sisi
sungai atau sumber air permukaaan lainnya.
Sedangkan di bidang industri kita mengenal teknologi produksi bersih yakni penerapan
teknik dan manajemen yang menekan timbulnya limbah cair dengan cara penggunaan dan
penggantian material bahan produksi ke bahan yang memungkinkan produksi limbah
sekecil mungkin, mengubah proses inti produksi maupun proses pendukung menjadi proses
yang menggunakan teknologi atau cara yang mampu memperkecil timbulnya limbah, dan
apabila limbah terlanjur dihasilkan maka langkah yang diambil adalah menggunakannya
kembali (reuse), mendaur ulang limbah tersebut menjadi bahan material untuk kegiatan
lain (recycle). Langkah pengurangan limbah dari sumbernya akan memberikan dampak
yang sangat signifikan terhadap timbulan/produksi air limbah.
b. Pengolahan Air Limbah
Jika pengurangan air limbah dari sumbernya sudah dilakukan secara optimal, maka air
limbah yang terpaksa tetap dihasilkan selanjutnya harus diolah terlebih dahulu sebelum
dibuang ke lingkungan. Tujuan pengolahan air limbah ini adalah untuk mengurangi
kandungan pencemar air sehingga mencapai tingkat konsentrasi dan bentuk yang lebih
sederhana dan aman jika terpaksa dibuang ke badan air di lingkungan. Proses pengurangan
kandungan zat pencemar ini dapat dilakukan melalui tahapan penguraian sebagaimana
dijelaskan berikut ini:
148
a. Proses alamiah
Tanpa bantuan tangan manusia dalam mengolah limbah yang mengandung pencemar, alam
sendiri memiliki kemampuan untuk memulihkan kondisinya sendiri atau yang disebut self
purification. Alam memiliki kandungan zat yang mampu mendegradasi pencemar dalam
air limbah menjadi bahan yang lebih aman dan mampu diterima alam itu sendiri,
diantaranya adalah mikroorganisme. Waktu yang diperlukan akan sangat tergantung dari
tingkat pencemarannya yang otomatis berkorelasi dengan tingkat kepadatan penduduk. Jika
kepadatan penduduk meningkat maka pencemaran pun akan sangat mungkin meningkat
sehingga proses alam untuk membersihkan dirinya sendiri akan memakan waktu yang
sangat lama. Sehingga akhirnya akan terjadi penumpukan beban limbah sampai dimana
kemampuan alam untuk dapat melakukan pembersihan sendiri (self purification) jauh lebih
rendah dibanding dengan jumlah pencemar yang harus didegradasi.
b. Sistem Pengolahan Air Limbah
Jika kapasitas alam sudah tidak sebanding dengan beban pencemar, maka satu-satunya
langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara mengolah air limbah tersebut dengan
rangkaian proses dan operasi yang mampu menurunkan dan mendegradasi kandungan
pencemar sehingga air limbah tersebut aman jika dibuang ke lingkungan. Untuk air limbah
yang berasal dari aktivitas domestik dimana kandungan zat organik merupakan zat yang
paling dominan terkandung didalamnya, pengolahan yang dapat dilakukan dapat berupa
teknologi yang sederhana dan murah seperti cubluk kembar sampai pada pengolahan air
limbah komunal menggunakan teknologi pengolahan yang mutakhir.
9.
9.1.
Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman
(real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama.
(KepmenLH no 112/2003).
Air Limbah domestik adalah air yang telah dipergunakan yang berasal dari rumah tangga atau
pemukiman termasuk didalamnya air limbah yang berasal dari WC, kamar mandi, tempat cuci,
dan tempat memasak (Sugiharto, 1987).
9.2.
Air limbah domestik dapat bersumber dari pemukiman (rumah tangga), daerah komersial,
perkantoran, fasilitas rekreasi, apartemen, asrama dan rumah makan.
149
9.3.
Air limbah memiliki karakteristik fisik (bau, warna, padatan, suhu, kekeruhan), karakteristik
kimia (organik, anorganik dan gas) dan karakteristik biologis (mikroorganisme). Karakteristik
air limbah beserta dampak masing-masing terhadap lingkungan dan kesehatan manusia seperti
dijelaskan berikut ini.
a. Kekeruhan
Kekeruhan dapat disebabkan oleh hadirnya bahan-bahan organic dan anorganik,
misalnya, lumpur. Dari segi estetika, kekeruhan dirasakan sangat mengganggu. Selain
itu kekeruhan juga merupakan indikator adanya kemungkinan pencemaran.
b. Warna
Sebagaimana halnya kekeruhan, warna yang hadir dalam air dengan intensitas yang
melebihi batas, tidak bias diterima karena alasan estetika. Warna dapat juga merupakan
indicator pencemaran limbah industri. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan kesehatan
manusia.
c. Bau dan Rasa
Penyebab bau dan rasa dapat berupa mikroorganisme seperti algae, oleh adanya gas
seperti H2S dan sebagainya. Dari segi estetika, air yang memiliki rasa dan bau
dipandang mengganggu.
d. Suhu dan residu
Suhu berpengaruh pada pemakaiannya, misalnya, air yang mempunyai suhu 0oC tidak
mungkin dapat diterima, begitu pula untuk suhu air yang terlalu tinggi. Kadar residu
yang tinggi dapat menyebabkan rasa tidak enak dan mengganggu pencernaan manusia.
e. Derajat pH
Dalam pemakaian air minum, pH dibatasi dikarenakan mempengaruhi rasa, korosifitas,
dan efisiensi khlorinasi.
f. Kesadahan Ca dan Mg
Kesadahan berpengaruh pada pemakaian sabun, ketel pemanas air, ketel uap, pipa air
panas dalam sistem plambing dan sebagainya. Mg dapat bersifat toksik, memberikan
efek demam metal, iritasi pada kulit akan susah sembuh, dan lainnya.
g. Besi dan Mangan
Kehadiran Fe dan Mn dalam air dapat menimbulkan berbagai gangguan, misalnya, rasa
dan bau logam, merangsang pertumbuhan bakteri besi, noda-noda pada pakaian, efek
racun pada tubuh manusia seperti susunan syaraf pusat; koordinasi gerak otot;
kerusakan sel hati; fibriosis; iritasi usus; kerusakan sel usus.
h. Nitrogen
Nitrogen dalam air hadir dalam berbagai bentuk sesaui dengan tingkat oksidasinya
diantaranya Nitrogen netral, amoniak, nitrit dan nitrat. Efek terhadap kesehatan anatara
150
i.
PARAMETER
SIMBOL
DAMPAK KESEHATAN
Perak
Ag
Alumuinium
Al
Arsenicum
As
Barium
Ba
Bromium
Br
Cadmium
Cd
Chlor
Cl2
Cobalt
Co
Chromium
Cr
Tembaga
Cu
Fluor
151
SIMBOL
DAMPAK KESEHATAN
Air raksa
Hg
Hidrogen
sulfida
H2S
Phosphate
Timah Hitam
Pb
Selenium
Se
Zinc
Zn
j. Zat Organik
Beberapa bahan organik yang memungkinkan ada dalam air dipaparkan dalam Tabel 9.2
berikut ini.
Tabel 9.2 Parameter Zat Organik Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan
PARAMETER
DAMPAK KESEHATAN
Hydrocarbon alifatik
Hydrocarbon
alicyclic
Benzen
Kerosen (minyak
tanah)
Naphta (petrolium)
Arnyl alcohol
N-Butyl Amine
Ethanol Amine
Naphtalen Chlorida
Carbonil
152
k. Parameter Biologis
Jenis mikroorganisme yang dapat ditemukan dalam air diantaranya algae, bacteria, virus,
jamur, protozoa, dan lain-lain. Selain memiliki sifat pathogen parameter biologis juga
dapat menyebabkan efek rasa, warna dan bau pada air. Sebagai indicator keberadaan
mikroorganisme pathogen, maka digunakan keberadaan bakteri coli dalam air. Dengan
adanya bakteri coli, maka besar kemungkinan air telah tercemar oleh bakteri lainnya
yang juga bersifat pathogen.
l. Radioaktif
Efek yang dapat ditimbulkan oleh radioaktif diantaranya: kanker, leukemia, mengurangi
umur, dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu radioaktif merupakan unsur kimia
yang memiliki paruh umur yang relatif panjang. Data mengenai beberapa bahan
radioaktif yang dapat membahayakan kesehatan manusia dapat dilihat dalam Tabel 9.3
berikut:
9.4.
Jenis Radiasi
Beta
Beta
Beta-gamma
Beta-gamma
Beta-gamma
Beta-gamma
Alpha
Beta
Beta
Waktu Paruh
28 tahun
51 tahun
27 tahun
5760 tahun
17 juta tahun
8 hari
24400 tahun
10,7 tahun
12,3 tahun
Komposisi air limbah domestik hampir lebih dari 99% berisi air itu sendiri sisanya adalah
kandungan pencemar dengan kuantitas sebagaimana digambarkan dalam skema berikut.
153
Limbah cair
Air (99,9%)
Organik
Anorganik
Protein (65%)
Butiran
Karbohidrat (25%)
Garam
Metal
Lemak (10%)
Faeces
135-270
20-35
66-80
88-97
5-7
3-5.4
1-2.5
44-55
4.5-5
Satuan
Gr
Gr
%
%
%
%
%
%
%
Urine
1-1.31
0.5-0.7
93-96
93-96
15-19
2.5-5
3-4.5
11-17
4.5-6
Satuan
Gr
Gr
%
%
%
%
%
%
%
Rata-rata timbulan air limbah yang dihasilkan dari pemukiman adalah sebagai berikut (Metcalf
&Eddy, 2003)
1. Apartemen
154
a) High-rise:
35 75 gal/orang/hari (tipikal: 50) atau 133 284 L/orang/hari (tipikal 189)
b) Low rise:
50 80 gal/orang/hari (tipikal: 65) atau 189 303 L/orang/hari (tipikal: 246)
2. Rumah individu
a) Sederhana :
45 90 gal/orang/hari (tipikal: 70) atau 170 340 L/orang/hari (tipikal: 265)
b) Menengah :
60 100 gal/orang/hari (tipikal: 80) atau 227 379 L/orang/hari (tipikal: 303)
c) Mewah:
70 150 gal/orang/hari (tipikal: 95) atau 265 568 L/orang/hari (tipikal: 360)
3. Hotel : 30-55 gal/orang.hari (tipikal: 100) atau 133-208 L/orang.hari (tipikal: 379)
4. Motel:
a) Dengan dapur :
90 180 gal/orang/hari (tipikal: 100) atau 341- 681 L/orang.hari (tipikal: 379)
b) Tanpa dapur :
75 150 gal/orang/hari (tipikal: 95) atau 284 -568 L/orang.hari (tipikal: 360)
155
perkotaan (urbanise area) dan perdesaan (remote area) dan bukan berdasarkan pembatasan
administrasi.
Regionalisasi sistem pengelolaan limbah lebih melihat pada sisi ekonomis pelayanan, sebagai
contoh untuk Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang melayani beberapa daerah
administratif berdekatan, maka akan jauh lebih ekonomis daripada membuat sistem-sistem
tersendiri secara skala kecil.
Berdasarkan data pencemaran pada 35 kota utama di Indonesia, secara umum diperkirakan
setiap pertambahan 200.000 penduduk perkotaan akan meningkatkan konsentrasi BOD pada
badan air sebesar 1 mg/L (ppm). Maka secara umum, arahan strategi penanganan sistem off-site
adalah sebagai berikut:
Besarnya konsentrasi BOD pada badan air yang akan diturunkan
Setiap mg/L (ppm) penurunan konsentrasi BOD tersebut dikalikan dengan 200.000 jiwa
yang menunjukkan jumlah total penduduk yang akan dikelola air limbah domestiknya
dengan sistem off site
Selanjutnya dipilih kawasan padat yang yang akan dan perlu dengan segera diterapkan
dengan sistem off-site
Pilih skala penanganan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan finansial, dan tetapkan
kawasan yang sesuai untuk pengolahan air limbah skala komunal, skala modul (sekitar
1.000 KK) atau skala kawasan.Ekonomi
Aspek ekonomi juga merupakan hal yang akan menentukan dalam pemilihan sistem
pengelolaan air limbah. Hal terpenting pada aspek ini adalah kelayakan secara ekonomis.
Kelayakan ekonomis antara biaya sanitasi off-site dan sistem sanitasi on-site terjadi pada titik
kepadatan sekitar 300 jiwa/ha. Bila tingkat kepadatan penduduk lebih dari 300 orang/ha maka
pengolahan air limbah secara terpusat (off-site) menjadi layak dilakukan.
Maksimum net benefit-cost tercapai bila terjadi marginal fungsi benefit marginal fungsi cost
sama dengan nol atau pada simpangan terbesar antara dua fungsi tersebut. Artinya berapa besar
biaya pencemaran yang diperlukan dibandingkan dengan keuntungan secara ekonomi yang
diperoleh. Biaya pencemaran yang dimaksud adalah biaya pengobatan untuk penyakit yang
ditularkan melalui air, biaya bahan kimia PDAM dengan semakin menurunnya konsentrasi
BOD pada air bakunya karena adanya instalasi pengolahan air limbah tersebut dan lainnya.
Teknologi pengelolaan limbah yang digunakan untuk mencapai biaya efektif sangat bergantung
pada tingkat objektivitas yang harus dicapai. Penerapan teknologi pengolahan air limbah
bergantung pada standar efluen (effluent standard) yang diperkenankan dan sampai tingkat
mana kondisi lingkungan yang akan diperbaiki. Misalnya, untuk kondisi sistem komunal
konsentrasi BOD efluen pada jangka menengah diizinkan di bawah 100 mg/L.
156
Pemilihan kapasitas sistem pengelolaan harus memenuhi skala ekonomi. Hal ini dimaksud
bahwa sistem yang dibangun harus memberikan pengembalian keuntungan yang optimal baik
pengembalian secara ekonomis (benefit) maupan finansial. Dengan demikian, jangan sampai
biaya/kapita dari satu sistem menjadi tinggi disebabkan oleh jumlah pelayanan yang tidak layak.
10.3. Sosial
Penduduk pada suatu kawasan mempunyai tingkat sosial-ekonomi yg berbeda sehingga akan
sangat terkait dengan kemampuan membayar retribusi air limbah, dan hal ini akan sangat
mempengaruhi dan berdampak secara teknis terhadap konsep sanitasi yg akan diterapkan.
Kondisi sosial ini akan menjadi kompleks karena dana yang mampu dialokasikan oleh
pemerintah sangat terbatas, sedangkan penerapan sistem subsidi silang untuk konteks
penanganan air limbah tidak layak diterapkan secara kawasan. Jika seseorang dikenakan
pungutan atas jasa melebihi dari nilai jasa yang dia terima, maka orang tersebut dapat menolak.
Kondisi sosial juga akan membedakan tingkat pencemaran yang dihasilkan. Dibandingkan
dengan negara maju, umumnya tingkat BOD per kapita per hari di Indonesia tidak terlalu tinggi
karena masih sekitar antara 30 gram sampai dengan 40 gram. Jumlah ini akan berpengaruh
terhadap beban organik pada suatu pengolahan limbah
Bila tingkat kesadaran pada masyarakat kurang mampu akan pentingnya sanitasi dan
lingkungan bagi kesehatan, tentu akan mendorong mereka membentuk sistem sanitasi komunal.
Maka untuk membangun kesadaran ini sangat diperlukan dorongan motivasi yang antara lain
dengan mengeluarkan insentif sebagai stimulan.
10.4. Lingkungan
Aspek lingkungan yang mempengaruhi pengelolaan air limbah diantaranya:
Iklim tropis sangat menolong pengolahan secara anaerob seperti tangki septik, Imhoff
tank, kolam anerobik dan sebagainya. Jadi pengolahan anaerob merupakan suatu tahap
yang penting dari seluruh rangkaian serial pengolahan limbah;
Intensitas hujan tropis yang tinggi akan memberikan run off yang sangat besar dibanding
aliran air limbah, sehingga sistem sewer (saluran) terpisah antara air hujan dan air limbah
permukiman akan relatif lebih ekonomis dan sehat, kecuali untuk kawasan-kawasan
terbatas dapat diterapkan sistem interseptor;
Posisi bangunan sanitasi kawasan pasang surut harus memperhatikan muka air tertinggi,
untuk sanitasi onsite penggunaan septik tank dengan upword flow yang disebut vertikal
septik tank dapat diterapkan;
157
Kepadatan 100 jiwa/ha memberikan dampak pencemaran cukup besar terhadap lingkungan
maka kawasan-kawasan tertentu dengan masyarakat mampu dapat menerapkan sistem off
site pada kawasan tersebut;
Untuk pengelolaan air limbah pada kawasan-kawasan dengan effluen yang dibuang ke
danau dan waduk, selain harus memperhatikan konsentrasi BOD/COD dan SS juga harus
mengendalikan kadar nitrogen dan fosfor yang akan memicu pertumbuhan algea biru dan
gulma yang akan menutupi permukaan air danau;
Kawasan perairan untuk wisata renang harus dijaga konsentrasi COD tidak melebihi 5
mg/L dan tidak mengandung logam berat;
Jika tidak ada penetapan kuota pencemaran maka penetapan kualitas effluan hasil
pengolahan limbah harus memperhitungkan kemampuan badan air penerima untuk
natural purification bagi berlangsungnya kehidupan akuatik secara keseluruhan.Teknis
dan Kesehatan
Penanganan secara teknis air limbah dimaksud agar input hardware ((konstruksi), proses,
output dan outcome memenuhi essensi kesehatan, diantaranya:
158
Jarak bidang resapan tangki septik dengan sumber air minum harus dijaga dengan jarak >
10 m untuk jenis tanah liat dan >15 m untuk tanah berpasir;
Kepadatan 100 orang/ ha dengan menggunakan sanitasi setempat memberikan dampak
kontaminasi bakteri coli yang cukup besar terhadap tanah dan air tanah. Jadi bagi
pengguna sanitasi individual pada kawasan dengan kepadatan tersebut, penerapan
anaerobic filter sebagai pengganti bidang resapan dan efluennya dapat dibuang ke saluran
terbuka, atau secara komunitas menggunakan sistem sanitasi off site;
Air limbah dari toilet tidak boleh langsung dibuang ke perairan terbuka tanpa pengeraman
(digesting) lebih dari 10 hari terlebih dahulu, dan lumpurnya harus ada pengeraman 3
minggu untuk digunakan di permukaan tanah (sebagai pupuk);
Hasil pengolahan air limbah tidak boleh mengandung bakteri coli, yang dapat disisihkan
dengan proses maturasi atau menggunakan desinfektan. Dengan demikian setiap Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) harus dilengkapi salah satu dari kedua jenis sarana
tersebut;
Sebaiknya alat-alat sanitari (WC, urinoir, kitchen zink, wash-basin dll) mnggunakan water
trap (leher angsa) untuk mencegah bau dan serangga keluar dari pipa buangan ke peralatan
tersebut. Penggunaan pipa pembuang udara (vent) pada sistem plumbing harus mencapai
cieling (plafon) teratas.
b.
Pengelolaan air limbah sistem setempat atau dikenal dengan sistem on-site yaitu satu
kesatuan sistem fisik dan non fisik dari prasarana dan sarana air limbah permukiman
berupa pembuangan air limbah skala individual dan atau komunal yang melalui
pengolahan awal dan dilengkapi dengan sarana pengangkut dan instalasi pengolahan
lumpur tinja
Pengelolaan air limbah permukiman sistem terpusat atau dikenal dengan istilah
sistem off-site atau sistem sewerage, adalah satu kesatuan sistem fisik dan non fisik
dari prasarana dan sarana air limbah permukiman berupa unit pelayanan dari
sambungan rumah, unit pengumpulan air limbah melalui jaringan perpipaan serta
unit pengolahan dan pembuangan akhir yang melayani skala kawasan, modular, dan
kota
159
160
Kepadatan penduduk
Sumber air yang ada
Permiabilitas tanah
Kedalaman muka air tanah
Kemiringan tanah
Kemampuan membiayai
Diagram alir pemilihan sistem pengelolaan air limbah domestik dapat dilihat pada Gambar 12.1.
Pemilihan sistem pengelolaan air limbah dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
hal sebagai berikut:
a. Sistem on site diterapkan pada:
Instalasi pengolahan lumpur tinja minimal untuk melayani penduduk urban > 50.000
jiwa atau bergabung dengan kawasan urban lainnya
b. Sistem off site diterapkan pada kawasan
161
inflow
Super natant
1= 1comminutor
= comminutor
= saringan
2= 2saringan
= grit
chamber
3= 3grit
chember
4 = pengendapan awal atau
4= pengendapan
awal atau
kolam anaerobik
kolam anaerobik
Lumpur balik
9
10
164
5= unit pengolahan
5 = unit pengolahan
6= unit pengendap II
6 = unit pengendap II
7= unt desinfektan
= unit desinfektan
8= 7Badan
air
8
=
badan
air
9= unit pengeram
9 = unit pengeram lumpur
lumpur
MODUL 04
PENYUSUNAN PERENCANAAN SISTEM
PENGELOLAAN AIR LIMBAH
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1.
1.2.
1.2.1.
1.2.2.
1.3.
1.3.1.
1.3.2.
1.3.3.
1.4.
1.4.1.
1.4.1.1.
1.4.1.2.
1.4.1.3.
1.4.1.4.
1.4.2.
1.4.2.1.
1.4.2.2.
1.4.3.
1.4.4. Arah Pengembangan Sarana Dan Prasarana Air Limbah Pada Daerah
Permukiman Terbangun ........................................................................................... 173
1.4.4.1.
1.4.4.2.
1.4.4.3.
1.4.5.
1.4.5.1.
1.4.5.2.
1.4.6. Arah Pengembangan Sarana dan Prasarana Air Limbah Pada Daerah
Permukiman Baru ..................................................................................................... 178
2.
1.4.6.1.
1.4.6.2.
1.4.7.
1.4.8.
1.4.9.
1.4.9.1.
1.4.9.2.
2.2.
2.2.1.
2.2.2.
2.2.3.
2.3.
2.3.1.
2.3.1.1.
2.3.1.2.
2.3.2.
ii
2.3.2.1.
2.3.2.2.
2.4.
2.4.1.
2.4.1.1.
2.4.1.2.
2.4.1.3.
2.4.1.4.
2.4.2.
2.4.2.1.
2.4.2.2.
2.4.2.3.
2.4.2.4.
2.4.3.
2.4.3.1.
2.4.3.2.
2.4.4.
2.4.4.1.
2.4.4.1.1.
Komponen Biaya Operasi dan Pemeliharaan Penyedotan dan
Pengangkutan ....................................................................................................... 191
2.4.4.1.2.
2.4.4.1.3.
2.4.4.1.4.
2.4.4.2.
2.4.4.2.1.
2.4.4.2.2.
2.4.4.2.3.
2.4.4.2.4.
2.4.5.
2.4.5.1.
2.4.5.1.1.
2.4.5.1.2.
Jenis manfaat proyek yang tidak dapat diukur dengan nilai uang
(Intangible) 194
2.4.6.
2.4.6.1.
2.4.6.2.
2.4.7.
iii
3.
2.4.8.
2.5.
2.5.1.
2.5.2.
2.5.3.
2.5.4.
2.5.5.
2.5.6.
2.5.7.
3.2.
3.2.1
3.2.2
3.2.3
3.2.4
3.3.
iv
3.4.
3.5.
3.5.1.
3.5.2.
3.5.3.
3.5.4.
Penyusunan (Review) Layout dan Pemilihan Paket Pekerjaan Prioritas ... 210
3.5.5.
3.5.6.
3.5.7.
3.5.8.
3.5.9.
3.5.10.
3.6.
3.6.1.
3.6.2.
3.6.3.
3.6.4.
1.
2.
3.6.5.
3.6.6.
3.6.7.
3.6.7.1.
3.6.7.2.
3.6.8.
1.
2.
3.
4.
5.
3.6.9.
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kegiatan Wajib Amdal berdasarkan Permeneg LH No 05 Tahun 2012 ................... 197
Tabel 3.1Faktor Puncak............................................................................................................. 215
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kedudukan Rencana Induk Air Limbah ................................................................ 170
Gambar 1.2 Pola Pikir Perencanaan .......................................................................................... 171
Gambar 1.3 Matrix SWOT ........................................................................................................ 175
Gambar 1.4 Grand Strategi Arah Pengembangan ..................................................................... 175
Gambar 1.5 Transformasi Prasarana Air Limbah Sistem Setempat ke Sistem Terpusat .......... 177
Gambar 2.1 Skematik Biaya dan Manfaat Proyek .................................................................... 188
Gambar 2.2 Skematik Kelayakan Lingkungan Proyek Air Limbah .......................................... 199
Gambar 3.1 Bagan alir proses pemilihan sistem pengolahan air limbah (IPAL) ...................... 222
Gambar 3.2 Alternatif Pengolahan Lumpur .............................................................................. 224
vi
BAGIAN I
PERENCANAAN MASTER PLAN
Rencana Induk atau Master Plan bidang air limbah merupakan suatu dokumen perencanaan
dasar yang menyeluruh mengenai pengembangan sarana dan prasarana air limbah untuk periode
20 (dua puluh) tahun. Dengan demikian gambaran arah pengembangan, strategi penembangan
dan prioritas-prioritas pengembangan sarana dan prasarana air limbah 20 tahun ke depan
masing-masing Kabupaten/Kota terformulasikan melalui perencanaan tersebut. Rencana induk
air limbah tersebut selanjutnya digunakan sebagai acuan oleh instansi yang berwenang dalam
penyusunan program pembangunan 5 (lima) tahun bidang air limbah.
Program 5 tahun atau Renstra Dinas Pengembangan Sarana dan Prasarana Air Limbah tersebut,
merupakan penjabaran rencana induk mengenai 6 jenis program pengembangan sebagai berikut
:
Pengembangan Prasarana
Pengembangan Kelembagaan
Pengembangan Pengaturan
Disamping sebagai acuan dalam penyusunan program 5 tahun, rencana induk air limbah
digunakan sebagai acuan dalam memadukan program-program yang terkait dengan bidang air
limbah seperti Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), bidang persampahan, drainase dan
sebagainya.
1.2.
1.2.1. Maksud
Maksud penyusunan Rencana Induk adalah agar setiap Kabupaten/Kota memiliki pedoman
dalam pengembangan, pembangunan dan operasional penyelenggaraan SPALP berdasarkan
perencanaan yang efektif, efisien, berkelanjutan, dan terpadu dengan sektor terkait lainnya
165
Pengertian efektif mengandung maksud agar proses dan produk perencanaan Sarana dan
Prasarana bidang Air Limbah menjadi efektif karena pilihan prioritasnya tepat sasaran.
Pengertian efisien mengandung maksud agar proses dan produk perencanaan Sarana dan
Prasarana Air Limbah menjadi efisien karena pilihan teknologinya tepat guna dan terjangkau
sesuai dengan kondisi daerah setempat.
Pengertian terpadu dan berwawasan lingkungan mengandung maksud agar proses dan produk
perencanaan Air Limbah telah dipadukan (integrated) dengan perencanaan Sistem Penyediaan
air Minum (SPAM) terutama yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian sumber air.
1.2.2.
Tujuan
Tujuan penyusunan Rencana Induk adalah agar setiap Kabupaten/Kota memiliki Rencana Induk
pengembangan Sistem Pembuangan Air Limbah Pemukiman (SPALP) yang sistematis, terarah,
terpadu dan tanggap terhadap kebutuhan sesuai karakteristik lingkungan dan sosial ekonomi
daerah, serta tanggap terhadap kebutuhan stakeholder (pemerintah, investor, masyarakat)
1.3.
Acuan Normatif
Terdapat beberapa substansi dalam Norma, Kriteria Teknis dan Standard Teknis bidang Air
Limbah yang terkait dengan perencanaan jangka panjang. Substansi Norma, Kriteria dan
Standard yang akan diacu dalam penyusunan pedoman ini adalah:
1.3.1. Norma
a.
b.
c.
d.
166
Perencanaan Jangka Panjang Daerah adalah dokumen perencanaan periode 20 (dua puluh)
tahun (UU No. 25 tahun 2004).
Kota Metropolitan atau kota-kota yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi
diwajibkan memiliki rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum yang terpadu dengan
pembuangan Air Limbah secara terpusat.
Perlindungan air baku dilakukan melalui keterpaduan pengaturan pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM) dengan Sarana dan Prasarana Sanitasi (PP No. 16 Tahun
2005).
Pemilihan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) harus memperhatikan aspek teknis,
lingkungan, sosial budaya masyarakat setempat serta dilengkapi dengan zona penyangga
(PP No. 16 Tahun 2005).
e.
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Peraturan Pemerintah No. 82
Tahun 2001)
Standar Teknis
g.
h.
i.
1.4.
1.4.1. Umum
1.4.1.1. Jangka Waktu Perencanaan
Rencana induk pengembangan sarana dan prasarana air limbah harus direncanakan untuk
periode perencanaan 15 -20 tahun.
Periode perencanaan dalam penyusunan rencana induk ini dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1.
2.
Jangka Menengah
Perencanaan jangka menengah mencakup tahapan pembangunan 5 tahun setelah
dilaksanakan program jangka pendek, atau dalam 6 tahun mendatang.
3.
Jangka Panjang
Perencanaan jangka panjang merupakan rangkaian dari keseluruhan pembangunan di sektor
air limbah untuk 15- 20 tahun yang akan datang.
1.4.1.2.
Rencana induk pengembangan sarana dan prasarana harus dievaluasi setiap 5 tahun untuk
disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dan disesuaikan dengan perubahan rencana induk
bidang sanitasi lainnya, tata ruang dan rencana induk SPAM serta perubahan strategi di bidang
lingkungan (Local Environment Strategy). Ataupun hasil rekomendasi audit lingkungan kota
yang terkait dengan air limbah pemukiman.
1.4.1.3. Kedudukan Rencana Induk
a.
168
Penyusunan rencana induk pengembangan sarana dan prasarana air limbah wajib mengacu
pada Rencana Jangka Panjang Daerah (RJPD) dan rencana tata ruang (Gambar 1).
b.
c.
Penyusunan program 5 tahunan bidang pengembangan sarana dan prasarana air limbah
atau rencana Renstra Dinas, wajib mengacu pada rencana induk Air Limbah.
Rencana induk disusun oleh instansi yang berwenag dimasing-masing Kabupaten/Kota
dengan melibatkan Stakeholders dan hasilnya disosialisasikan pada masyarakat luas
(termasuk melalui internet dengan domain khusus dari instansi pengelola lingkungan
daerah). Pengesahan rencana induk SPAL ditetapkan melalui Perda.
169
170
171
b.
c.
d.
e.
172
Langkah pertama sebelum menentukan arah dan strategi pengembangan sarana dan
prasarana air limbah, terlebih dahulu harus disepakati mengenai permasalahan pencemaran
air limbah, baik pada area skala Kelurahan, Kecamatan maupun kota.
Identifikasi permasalahan pencemaran air limbah terhadap air tanah dan badan air harus
difomulasikan berdasarkan data-data yang lengkap (primer dan sekunder) yang didukung
oleh survey dan penyelidikan (lapangan dan laboratorium) yang memadai serta dilengkapi
dengan peta-peta identifikasi permasalahan.
Survei merupakan dasar bagi pembuatan Rencana Induk. Diperlukan waktu yang cukup
dalam melakukan survei dan data yang diperlukan harus diambil pada saat survey. Selain
mengumpulkan data-data yang diperlukan juga visualisasi keseluruhan gambaran daerah
yang dapat dilihat oleh kasat mata harus diketahui. Untuk itu perlu diusahakan agar dapat
mengambil detail tersebut, termasuk juga kondisi daerah di masa lalu, kondisi saat ini, dan
gambaran di masa yang akan datang. Survei yang harus dilakukan meliputi :
Kondisi alam yang meliputi, topografi, kondisi iklim, dan hidrogeologi.
Fasilitas yang ada yang meliputi, sungai dan saluran yang ada, jalan,
bangunan/fasilitas bawah tanah (jaringan telkom, PLN, PAM, Gas dll).
Pengumpulandata terkait meliputi, rencana penggunaan tanah/lahan, rencana
pengembangan perkotaan, rencana sungai, rencana jalan, dan rencana pemasangan
bangunan bawah (Rencana Umum Tata Ruang Kota).
Peta dasar dan peta identifikasi permasalahan yang diperlukan meliputi:
Peta tata guna lahan saat ini
Peta kepadatan penduduk
Peta kualitas air tanah/sumur penduduk dengan parameter E.Coli
Peta kualitas air sungai dengan parameter E.Coli dan BOD
Peta kualitas air drainase (pembuangan grey water) dengan parameter E.Coli dan BOD
Peta water borne disease
Peta pelayanan PDAM
Peta fasilitas Sanitasi dan tingkat pelayanan sanitasi (on-site dan off-site)
Formulasi permasalahan pencemaran air limbah saat ini dilakukan dengan membandingkan
tingkat pencemaran dengan standard lingkungan atau standard kesehatan yang berlaku.
Formulasi permasalahan pencemaran air limbah dimasa mendatang (20 tahun proyeksi)
dilakukan dengan memproyeksikan pencemaran air limbah yang akan terjadi dengan
skenario DO SOMETHING.
1.4.4. Arah Pengembangan Sarana Dan Prasarana Air Limbah Pada Daerah
Permukiman Terbangun
1.4.4.1. Pilihan Arah Pengembangan
Sebelum menetapkan rencana induknya, setiap Kabupaten/Kota harus terlebih dahulu
menetapkan pilihan arah pengembangan sarana dan prasarana air limbah untuk masa 20 (dua
puluh) tahun mendatang. Pilihan arah pengembangan sarana dan prasarana air limbah yang
harus dipertimbangkan antara lain adalah:
a. Mengoptimalkan sistem setempat (on-site) yang sudah berjalan
b. Mengembangkan sistem off-site pada kawasan tertentu
c. Mengembangkan sistem off-site skala kota
d. Mengembangkan sistem off-site dengan teknologi maju
Metode pemilihan arah pengembangan sarana dan prasarana air limbah, minimal harus
dianalisis dengan metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) seperti yang
akan dijelaskan pada paragraf A.4.4.3.1.
b.
Daerah perencanaan pengambangan Sarana dan Prasarana Air Limbah (SPAL) pada daerah
terbangun dibagi atas zona-zona perencanaan dalam satuan sistem perencanaan dan
pengambangan sarana dan prasarana air limbah.
Pembagian zona-zona perencanaan pengembangan Sarana dan Prasarana Air Limbah pada
daerah terbangun ditetapkan berdasarkan:
Keseragaman tingkat kepadatan penduduk
Keseragaman bentuk topografidan kemiringan lahan
Keseragaman tingkat kepadatan bangunan
Keseragaman tingkat permasalahan pencemaran air tanah dan permukaan.
Kesamaan badan air penerima
Pertimbangan batas administrasi
173
174
1.4.4.3.2.
Penetapan arah pengembangan sarana dan prasarana air limbah dapat ditetapkan berdasarkan
posisi kuadran hasil analisis SWOT. Berdasarkan pengelompokan kuadran tersebut, maka grand
strategi arah pengembangan sarana dan prasarana pada masing-masing kuadran dapat dijelaskan
pada Gambar 1.4 sebagai berikut:
175
Penjelasan :
a) Grand strategi kuadran I : Optimasi sistem on-site
Arah pengembangan strategi ini meliputi antara lain:
Optimalisasi pemanfaatan IPLT terbangun
Peningkatan pelayanan penyedotan lumpur tinja melalui:
Peningkatan kapasitas armada
Peningkatan kapasitas IPLT
Pengembangan program SANIMAS
b) Grand strategi kuadran II : Pengembangan selektif sistem off-site
Arah pengembangan strategi ini meliputi antara lain:
Optimalisasi pemanfaatan IPLT terbangun
Peningkatan pelayanan penyedotan lumpur tinja melalui:
Peningkatan kapasitas armada
Peningkatan kapasitas IPLT
Pengembangan program SANIMAS
Pengembangan sistem terpusat skala kawasan pada daerah-daerah prioritas.
Pada strategi ini transformasi dari sistem setempat menjadi sistem terpusat akan dimulai
secara kawasan demi kawasan
c) Grand strategi kuadran III : Pengembangan agresif sistem off-site
Arah pengembangan strategi ini meliputi antara lain:
Mengembangkan sarana dan prasarana Air Limbah terpusat skala kota. Strategi ini
berarti sistem on-site akan ditinggalkan secara masif.
d) Grand strategi kuadran IV : Pengembangan dengan teknologi maju
Arah pengembangan strategi ini merupakan strategi pengembangan tingkat advance
(lanjutan). Arah pengembangan ini merupakan gambaran kondisi permasalahan
pencemaran air limbah telah demikian serius, sementara hambatan untuk
mengembangkan sarana prasarana konvensionil sudah tidak memungkinkan dan
tidak efektif.
1.4.4.3.3.
Perubahan (transformasi) prasarana sistem setempat menjadi sistem terpusat memberi dampak
adanya kebutuhan lembaga untuk mengelola prasarana yang akan dibangun (Gambar 1.5).
Dengan demikian, penetapan arah pengembangan prasarana sistem terpusat pada daerah
permukiman terbangun memerlukan perencanaan strategis untuk menciptakan dukungan
masyarakat dan mewujudkan lembaga yang sesuai untuk mengelola prasarana terbangun.
Perencanaan strategis tersebut meliputi:
a. Rencana public campaign;
176
b.
c.
Skala
Prasarana
Kota
(Off-site)
Kawasan
(Off-site)
Rumah Tangga
(On-site)
Kelembagaan
Pengelola
Indivudual
Ca tatan :
Lembaga 1
Lembaga 2
(Informal/ formal) (Formal)
Pos i s i Sa a t i ni
Gambar 1.5 Transformasi Prasarana Air Limbah Sistem Setempat ke Sistem Terpusat
Zona Prioritas adalah zona perencanaan yang mendapat penilaian utama untuk
diprioritaskan dibangun terlebih dahulu dalam kurun waktu 20 tahun mendatang.
Perencanaan sarana dan prasarana air limbah di zona prioritas dapat dibagi atas clustercluster untuk mendukung perencanaan pembangunan secara bertahap dalam kurun waktu
20 tahun mendatang.
177
b.
1.4.6. Arah Pengembangan Sarana dan Prasarana Air Limbah Pada Daerah
Permukiman Baru
1.4.6.1. Pilihan Arah Pengembangan
Pilihan arah pengembangan sarana dan prasarana air limbah pada daerah permukiman baru
adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan sistem setempat (on-site)
b. Mengembangkan sistem terpusat skala kawasan tersendiri
c. Mengintegrasikan dengan sistem terpusat yang sudah terbangun
1.4.6.2. Penetapan Arah Pengembangan
a. Permukiman baru yang akan dan sedang dikembangkan oleh developer wajib memiliki
rencana induk air Limbah tersendiri.
b. Rencana induk air limbah kawasan permukiman baru tersebut harus mengacu pada rencana
induk air limbah Kota.
178
b. Seluruh program 5 tahunan ke 1, 2, 3, dan 4 harus dihitung nilai investasinya dengan standar
harga saat ini (current price).
c. Rencana biaya investasi program dari rencana induk harus dibandingkan dengan rencana
penduduk terlayani sehingga dapat diketahui nilai biaya investasi perkapita atau nilai biaya
investasi per rumah tangga dari penduduk yang mendapat manfaat langsung.
d. Nilai biaya investasi perkapita tersebut harus dibandingkan dengan income perkapita
pertahun dari kotayang bersangkutan, sebagai lapisan awal (screening) sebelum dilakukan
studi kelayakan ekonomi dan keuangan proyek.
e. Kelayakan proyek program 5 tahunan ke 1, 2, 3, dan 4 dapat dilakukan kemudian sesuai
tahapan pembangunan.
f. Program pengembangan sarana dan prasarana 5 tahun ke 1 (pertama) harus dihitung
kelayakan proyeknya dengan mengacu pada pedoman studi kelayakan.
179
180
181
BAGIAN II
PERENCANAAN STUDI KELAYAKAN
182
2.
2.1.
Pendahuluan
Dokumen studi kelayakan bidang air limbah, merupakan suatu dokumen kelayakan ekonomi,
keuangan dan lingkungan dari program-program pengembangan sarana dan prasarana air limbah
yang terdapat dalam suatu rencana induk. Studi kelayakan proyek Air Limbah ini terdiri atas 3
dokumen kelayakan proyek yaitu:
Dokumen kelayakan ekonomi
Dokumen kelayakan keuangan
Dokumen kelayakan lingkungan
Dengan demikian keputusan prioritas pembangunan atau investasi dari suatu program
pengembangan sarana dan prasaran Air Limbah ditetapkan berdasarkan hasil kajian ke 3 (tiga)
jenis kelayakan proyek tersebut. Hasil studi kelayakan ekonomi akan memberi gambaran
mengenai manfaat/benefit baik yang bersifat tangible maupun intangible. Dari suatu investasi
prasarana air limbah yang direncanakan.
Hasil studi kelayakan keuangan (financial) akan memberi gambaran mengenai besaran
tarif/retribusi yang akan dibebankan kepada pelanggan yang mendapat pelayanan. Besaran
perhitungan tarif/retribusi tersebut dapat dianalisa lebih lanjut apakah tarif tersebut cukup wajar
dibanding pendapatan (income) para pelanggannya. Sementara dari sisi pengelola, hasil studi
kelayakan keuangan tersebut, akan memberi gambaran apakah pendapatan operasional dari
retribusi pelayanan Air Limbah tersebut dapat menutup biaya O/M (OpEx) dan biaya
pengembalian modal (CapEx) serta apakah menghasilkan laba. Selanjutnya informasi studi
kelayakan keuangan ini merupakan suatu informasi penting tentang bagaimana bentuk
kelembagaan pengelola yang sesuai, baik yang berbasis lembaga maupun yang berbasis
masyarakat untuk mengelola sarana dan prasara terbangun tersebut. Sedangkan hasil studi
kelayakan lingkungan akan memberi gambaran mengenai bagaimana mengendalikan dampak
negatif dari suatu rencana pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) atau Instalasi
Pengolahan Air Limbah Terpusat (IPAL) termasuk konsekuensi biaya yang ditimbulkan dari
upaya pengendalian dampak tersebut.
2.2.
2.2.1.
Memberi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun studi kelayakan bidang
pengembangan sarana dan prasarana air limbah, agar keputusan investasi dan operasi didasari
pada dokumen kelayakan yang akurat.
183
2.2.2.
Tujuan
Tujuan pedoman penyusunan studi kelayakan air limbah adalah agar setiap Kabupaten/Kota
memiliki dokumen studi kelayakan proyek yang lengkap dan memadai sebagai acuan standard
dalam pengambilan keputusan investasi dan operasi pengembangan sarana dan prasarana air
limbah.
2.2.3.
Sasaran
Sasaran dari adanya pedoman ini adalah agar sarana dan prasarana air Limbah yang direncanakan
layak secara ekonomi, keuangan, lingkungan dan kelembagaan sehingga dapat berfungsi secara
berkelanjutan dan bermanfaat optimal.
2.3.
Acuan Normatif
2.3.1.
184
b.
c.
2.3.2.
Terdapat beberapa Norma, Kriteria Teknis dan Standard Teknis bidang Air Limbah yang terkait
dengan studi kelayakan lingkungan atau AMDAL. Substansi Norma, Kriteria dan Standard yang
diacu dalam penyusunan kelayakan ekonomi atau studi AMDAL adalah:
2.3.2.1. Norma
a.
b.
c.
d.
e.
Perencanaan Jangka Panjang Daerah adalah dokumen perencanaan periode 20 (dua puluh)
tahun (UU No. 25 Tahun 2004);
Kota Metropolitan atau kota-kota yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi diwajibkan
memiliki rencana induk Sistem Penyediaan Air Minum yang terpadu dengan pembuangan
Air Limbah secara terpusat.;
Perlindungan air baku dilakukan melalui keterpaduan pengaturan pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM) dengan Sarana dan Prasarana Sanitasi (PP No. 16 Tahun
2005);
Pemilihan lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah harus memperhatikan aspek teknis,
lingkungan, sosial budaya masyarakat setempat serta dilengkapi dengan zona penyangga (PP
No. 16 Tahun 2005).
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Peraturan Pemerintah No. 82
Tahun 2001)
b.
185
c.
d.
e.
f.
2.4.
2.4.1.
b.
c.
Jumlah atau lamanya tahun proyeksi kelayakan ekonomi dan finansial ditetapkan sejak
tahun pertama investasi pelaksanaan proyek dimulai (misal untuk biaya perencanaan atau
pembebasan lahan) sampai tahun berakhirnya manfaat dari investasi;
Jumlah tahun proyeksi kelayakan ekonomi dan finansial proyek sistem air Limbah terpusat
adalah 40 (empat puluh) tahun;
Jumlah tahun proyeksi kelayakan ekonomi dan finansial proyek IPLT adalah 20 (dua puluh)
tahun.
186
Proyek dikatakan layak ekonomi apabila manfaat ekonomi lebih besar dibanding dengan
biaya yang ditimbulkan baik berupa biaya operasional maupun biaya pengembalian modal;
Perhitungan kelayakan ekonomi proyek dihitung dengan metode Economic Internal Rate of
Return (EIRR);
Apabila hasil perhitungan EIRR proyek menghasilkan angka prosentase (%) lebih besar
dari discout faktor, maka perhitungan tersebut merekomendasikan bahwa proyek layak
diterima dalam pengertian melaksanakan proyek (Do Something) lebih baik dibanding tidak
melaksanakan proyek (Do Nothing). Tidak melaksanakan proyek berarti membiarkan
d.
pencemaran air Limbah tetap berlangsung dengan konsekuensi kerugian yang lebih besar
akibat penurunan kualitas sumber daya air dan penurunan derajat kesehatan ;
Apabila hasil perhitungan EIRR proyek menghasilkan angka prosentase (%) lebih kecil dari
discout faktor, maka proyek ditolak. Proyek ini perlu direvisi skala investasinya agar tidak
over investment.
b.
c.
d.
e.
Proyek dikatakan layak keuangan apabila pendapatan tarif/retribusi Air Limbah lebih besar
dibanding dengan biaya yang ditimbulkan baik berupa biaya operasional maupun biaya
pengembalian modal.
Perhitungan kelayakan keuangan proyek dihitung dengan metode Finansial Economic
Internal Rate of Return (FIRR) dan Net Present Value (NPV);
Apabila hasil perhitungan FIRR menghasilkan angka prosentase (%) lebih besar dari discout
faktor, maka pendanaan investasi proyek dapat dibiayai dari pinjaman komersial tanpa
membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk pengembalian cicilan
pokok dan bunganya. Bahkan proyek ini mendapat manfaat keuangan sebesar nilai NPV-nya
(NPV positif);
Apabila hasil perhitungan FIRR menghasilkan angka prosentase (%) sama dengan nol yang
berarti lebih kecil dari discout faktor, maka pendanaan investasi proyek hanya layak apabila
dibiayai dari sumber pendanaan APBD atau sumber dana lain yang tidak mengandung unsur
bunga pinjaman dan pembayaran cicilan pokok.
Apabila kelayakan keuangan proyek tidak dapat menutup biaya operasional (deficit O/M),
maka proyek ditolak. Proyek ini perlu direvisi perencanaannya dan pilihan teknologinya agar
biaya O/M-nya dapat menjadi lebih rendah.
b.
187
2.4.2.
Proses perhitungan kelayakan ekonomi dan keuangan proyek Air Limbah harus memperkirakan
seluruh biaya yang timbul dan manfaat yang timbul dari kegiatan investasi dan operasi serta
memperkirakan selisih atau membandingkan antara biaya dan manfaat selama tahun proyeksi.
Skematik biaya dan manfaat yang harus dihitung tersebut dapat digambarkan pada Gambar
1.1sebagai berikut:
188
Seluruh biaya investasi yang diperlukan dalam proyek Air Limbah harus diperkirakan baik
berupa investasi awal maupun investasi lanjutan yang diperlukan sesuai tahapan
pengembangan proyek termasuk investasi penggantian (replacement) aset yang sudah usang;
b.
c.
b.
Seluruh biaya operasi dan pemeliharaan (O & M) yang diperlukan untuk mengoperasikan
sarana dan prasarana terbangun sesuai Standard Operation Procedur (SOP) harus
diperkirakan dalam satuan Rp/Thn serta diproyeksikan selama tahun proyeksi dengan
memperhitungkan perkiraan tingkat inflasi;
Seluruh biaya umum dan administrasi yang diperlukan untuk membiayai operasi lembaga
pengelola harus diperkirakan dalam Rp/Thn serta diproyeksikan selama tahun proyeksi
dengan memperhitungkan perkiraan tingkat inflasi dan pengembangan kapasitas lembaga
pengelola.
b.
c.
Seluruh manfaat ekonomi yang timbul dari keberadaan proyek Air Limbah harus
diperkirakan baik berupa manfaat yang dapat diukur dengan uang (Tangible) maupun
manfaat yang tidak dapat diukur dengan uang (Intangible);
Manfaat ekonomi proyek Air Limbah yang dapat diukur dengan nilai uang (Tangible) baik
berupa manfaat langsung (Direct) maupun manfaat tidak langsung (Indirect) harus
dikonversikan dengan standard konversi yang dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan
kaidah ekonomi yang dihitung dalam satuan Rp/Thn;
Manfaat ekonomi proyek Air Limbah yang tidak dapat diukur dengan nilai uang (Intangible)
harus dijelaskan dengan menggunakan data-data statistik yang relevan.
Seluruh potensi retribusi yang dapat diterima oleh lembaga pengelola sebagai akibat dari
pelayanan Air Limbah harus diperkirakan berdasarkan perkiraan jumlah pelanggan dan
perkiraan tarif retribusi rata-rata setiap tahun.
189
b.
c.
Proyeksi kenaikan jumlah pelanggan Air Limbah harus dihitung berdasarkan skenario
peningkatan jumlah pelanggan hingga tercapainya kapasitas optimum (Full Capacity) sesuai
dengan rencana teknis proyek;
Proyeksi kenaikan tarif Air Limbah yang diperhitungkan dalam proyeksi pendapatan tarif
tidak boleh melampaui tingkat inflasi.
2.4.3.
b.
c.
d.
b.
190
c.
2.4.4.
Biaya operasional adalah biaya yang timbul untuk mengoperasikan prasarana terbangun agar
mampu memberi manfaat pelayanan sesuai kapasitasnya secara berkelanjutan dan berdaya guna
sesuai umur rencananya. Biaya operasi dan pemeliharaan dihitung dalam Rp/Thn.
2.4.4.1. Komponen Biaya Operasi Tahunan Sistem Setempat
2.4.4.1.1.
a.
b.
Biaya Operasi
Biaya gaji tenaga operator dan perlengkapan kerja operator
Biaya material habis pakai (BBM, dan sebagainya)
Biaya peralatan operasi
Biaya Pemeliharaan
Pemeliharaan rutin truk tinja (ganti olie, dan sebagainya)
Pemeliharaan berkala (ganti ban, kopling)
191
2.4.4.1.2.
a.
b.
2.4.4.1.3.
a.
b.
c.
d.
2.4.4.1.4.
a.
b.
b.
Biaya Operasi
Biaya gaji tenaga kerja operator
Biaya material habis pakai
Biaya peralatan operasi
Biaya Pemeliharaan
Pemeliharaan rutin sistem perpipaan
Pemeliharaan berkala sistem perpipaan
2.4.4.2.2.
a.
192
Biaya Operasi
b.
Biaya gaji
Biaya bahan kimia untuk analisis laboratorium
Biaya peralatan
Biaya Pemeliharaan
Pemeliharaan rutin IPAL
Pemeliharaan berkala IPAL
2.4.4.2.3.
a.
b.
c.
2.4.4.2.4.
a.
b.
c.
2.4.5.
Manfaat ekonomi proyek pengembangan sarana dan prasaran Air Limbah adalah manfaat proyek
yang dapat dikonversi dalam satuan rupiah (Tangible) dan manfaat proyek yang tidak dapat
dikonversi dalam satuan rupiah (Intangible).
193
Manfaat Tangible proyek dapat dibedakan sebagai manfaat langsung (direct) dan manfaat tidak
langsung (indirect). Secara umum manfaat Tangible proyek pengembangan sarana dan prasarana
Air Limbah adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Langsung
Pengurangan biaya pengolahan (Penjernihan) air baku
Peningkatan biaya akibat sumur penduduk tidak dapat digunakan karena telah tercemar
air limbah
Peningkatan nilai harga properti
b. Manfaat tidak Langsung
Manfaat ekonomi berupa peningkatan produktifitas penduduk akibat peningkatan derajat
kesehatan
Manfaat lingkungan berupa pengurangan derajat pencemaran Air Limbah dan terjaganya
kelestarian sumber daya air
Manfaat sosial berupa penurunan derajat konflik yang disebabkan oleh pencemaran Air
Limbah
2.4.5.1.2.
2.4.6.
Jenis manfaat proyek yang tidak dapat diukur dengan nilai uang (Intangible)
Penurunan tingkat kematian bayi
Penurunan rasio penyakit infeksi
Mengingat pelanggan Air Limbah berasal dari berbagai tingkat dan golongan masyarakat yang
berbeda kemampuan keuangan/daya belinya, maka perkiraan pendapatan tarif retribusi Air
Limbah harus memperhitungkan:
a. Perkiraan tarif per golongan pelanggan dan per jenis pelayanan;
b. Perkiraan jumlah pelanggan per golongan pelanggan dan per jenis pelayanan.
2.4.6.1. Perhitungan Perkiraan Tarif Pelayanan Air Limbah
a.
194
b.
c.
d.
2.4.7.
Sistematika pelaporan studi kelayakan ekonomi dan finansial terdiri dari atas 8 bab. Gambaran
sistematika pelaporan studi kelayakan ekonomi dan finansial adalah sebagai berikut:
195
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
SINGKATAN DAN PENGERTIAN
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Gambaran Singkat Proyek
1.3 Maksud dan Tujuan
Bab II Perkiraan Biaya Investasi
2.1 Biaya Pembebasan
2.2 Biaya Engineering
2.3 Biaya Konstruksi Pekerjaan Civil
2.4 Biaya Pengadaan dan Instalasi M & E
Bab III Perkiraan Biaya Operasional
3.1 Biaya O/M
3.2 Biaya Depresiasi
3.3 Biaya Umum dan Administrasi
Bab IV Perkiraan Manfaat Ekonomi
4.1 Proyeksi Perkiraan Manfaat Tangible (Tangible Benefit)
4.2 Proyeksi Perkiraan Manfaat Intangible (Intangible Benefit)
Bab V Perhitungan Kelayakan Ekonomi
5.1 Perhitungan EIRR
5.2 Perhitungan NPV
Bab VI Perkiraan Pendapatan Tarif (Revenue)
6.1 Proyeksi Perkiraan Besaran Tarif Air Limbah
6.2 Proyeksi Pendapatan Tarif
Bab VII Perhitungan Kelayakan Keuangan
7.1 Proyeksi Perhitungan rugi/laba
7.2 Perhitungan FIRR dan NPV
7.3 Perhitungan Ratio-ratio Operasional
Bab VIII Rekomendasi
8.1 Rekomendasi Pendanaan Investasi
8.2 Rekomendasi Pendanaan Operasional
8.3 Rekomendasi Struktur Tarif
8.4 Rekomendasi Bentuk Kelembagaan Pengelola
Lampiran : Daftar Partisipan
196
2.5.
2.5.1.
Pada prinsipnya dokumen kelayakan lingkungan proyek air Limbah adalah studi AMDAL yang
terdiri atas 4 dokumen yaitu:
a. Dokumen Kerangka Acuan
b. Dokumen Studi ANDAL
c. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) Dokumen Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL)
d. Dokumen ringkasan eksekutif
2.5.2.
Proyek pengembangan sarana dan prasarana Air Limbah yang wajib melakukan studi AMDAL
adalah:
a. Proyek Pembangunan IPLT
b. Proyek Pembangunan Sistem Terpusat
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 05 tahun 2012 tentang Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup (AMDAL).
Tabel 2.1 Kegiatan Wajib Amdal berdasarkan Permeneg LH No 05 Tahun 2012
No
1.
Jenis Kegiatan
Pembangunan Instalasi
Pengolahan Lumpur
Tinja (IPLT), termasuk
fasilitas penunjangnya
- Luas, atau
- Kapasitasnya
Skala/Besaran
2 ha
3
11 m /hari
2.
Pembangunan Instalasi
Pengolahan Air Limbah
(IPAL) limbah domestik
termasuk fasilitas
penunjangnya
197
No
3.
Jenis Kegiatan
Skala/Besaran
- Luas, atau
3 ha
- Beban organik
2,4 ton/har
Pembangunan sistem
perpipaan air limbah,
luas layanan
- Luas layanan, atau
- Debit air limbah
500 ha
16.000
3
m /hari
2.5.3.
a.
198
Proyek dikatakan layak lingkungan apabila seluruh biaya yang timbul dan kapasitas
kelembagaan yang dibutuhkan sesuai rekomendasi RKL dan RPL dapat dipenuhi oleh
lembaga pengelola yang bertanggung jawab (Lihat Gambar 2.2).
b.
c.
199
2.5.4.
Tata cara pelaksanaan studi AMDAL proyek Air Limbah wajib mengacu pada standard teknis
studi AMDAL.
2.5.6.
Sistematika Pelaporan
Sitematika pelaporan studi AMDAL proyek Air Limbah wajib mengacu pada standard teknis
studi AMDAL.
2.5.7.
Penampilan dokumen laporan studi AMDAL proyek Air Limbah meliputi format laporan dan
lain-lain, wajib mengacu pada standard teknis studi AMDAL.
200
201
BAGIAN III
PERENCANAAN TEKNIS
202
3.
PERENCANAAN TEKNIS
3.1.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan sistem dan teknologi pengolahan air limbah
adalah :
1. Kepadatan Penduduk
Tingkat kepadatan penduduk yang biasa digunakan dalam perencanaan sistem
pembuangan air limbah adalah :
a. Kepadatan sangat tinggi >500 jiwa/ha
b. Kepadatan tinggi 300-500 jiwa /ha
c. Kepadatan sedang 150-300 jiwa /ha
d. Kepadatan rendah < 150 jiwa /ha
Tingkat kepadatan ini berkaitan erat dengan tingkat pencemaran yang dapat
ditimbulkan pada air permukaan.
a. Kepadatan rendah < 150 jiwa/ha
: BOD, 0 30 mg/l
b. Kepadatan sedang 150300 jiwa/ha : BOD, 30 80 mg/l
c. Kepadatan tinggi> 300 jiwa/ha
: BOD, 80 200 mg/l
Kepadatan penduduk ini juga berkaitan dengan ketersediaan lahan yang ada untuk
diterapkannya sistem setempat. Berdasarkan kriteria rumah sederhana sehat
(Permenpera No.403/2002) disebutkan suatu rumah sehat memiliki luas bangunan
minimal 28,8 m2 untuk 4 orang penghuni dengan luas lahan minimal 60 m2.
2.
3.
Kemiringan Tanah
Penggunaan sistem sewerage convensional akan sangat mahal jika kemiringan tanah
kurang dari 2%, hal ini akan memerlukan banyak pompa dalam pengalirannya,
203
sedangkan untuk penggunaan sistem shallow sewer sangat baik digunakan pada daerah
yang mempunyai kemiringan dari 2%, karena sistem ini mempunyai beban yang relatif
kecil sehingga air dapat berjalan dengan lancar.
4.
5.
Permeabilitas Tanah
Permeabilitas tanah sangat mempengaruhi penentuan sistem penanganan air buangan
domestik khususnya untuk penerapan sistem setempat (cubluk maupun septik tank
dengan bidang resapan). Akan tetapi dari segi teknis, pada daerah yang memiliki
permeabilitas yang sangat kecil, bidang resapan dapat di buat dengan cara
meninggikan lahan bidang resapan tersebut. Untuk mengetahui besar kecilnya
permeabilitas tanah dapat diperkirakan dengan memperhatikan jenis tanah dan angka
infiltrasi atau melakukan test perkolasi. Kisaran permeabilitas yang efektif adalah
2,7.10-4 4,2.10-3 l/m2/det.
6.
Kemampuan Membangun
Faktor ini tergantung pada kemampuan setiap daerah untuk membangun teknologi
yang dipilih. Ada kemungkinan teknologi yang telah dipilih tidak dapat diterapkan
karena ketidak mampuan tenaga kerja setempat untuk membangun.
7.
3.2.
204
3.2.2
3.2.3
Kloset
a. Individu (rumah tangga)
b. MCK atau kakus umum
3.2.4
= 1 kloset/5 org
= 1 kloset/25 org
205
Lokasi IPLT harus dipilih tidak jauh dari jalan kota yang ada, dekat dengan
prasarana listrik dan badan air.
Lokasi IPLT harus merupakan daerah yang mempunyai sarana jalan penghubung
dari dan ke lokasi IPLT tersebut
Lokasi harus berada dekat dengan badan air penerima
Lokasi haruslah merupakan daerah yang terletak pada lahan terbuka dengan
intensitas penyinaran matahari yang baik agar dapat membantu mempercepat
proses pengeringan endapan lumpur
Lokasi harus berada pada lahan terbuka yang tidak produktif dengan nilai
ekonomi tanah yang serendah mungkin
Jarak lokasi IPLT yang direncanakan terhadap pusat pelayanan agar memenuhi
kriteria sebagai berikut:
Kota kecil dan sedang
: Kurang dari 2 km
Kota besar
: Kurang dari 5 km
Kota Metro
: Kurang dari 10 km
Badan air penerima pembuangan efluen dari IPLT harus memiliki kapasitas
minimal 8 kali kapasitas Air Limbah yang akan dibuang, atau konsentrasi BOD
efluen maksimal 50 mg/L
206
Unit Pelayanan Berfungsi Mengumpulkan Air Limbah (Black water dan grey
water) dari setiap rumah dan menyalurkannya ke dalam unit pengumpulan yang berupa
sistem jaringan perpipaan kota.
Unit pengumpulan terdiri dari sambungan rumah dan lubang inspeksi (Inspection
Chamber/IC). Sambungan rumah terdiri dari:
1.
2.
3.
Perangkap pasir/lemak
207
3.5.
3.5.1.
4.
5.
Pipa persil
6.
Sistem pengumpulan air limbah dapat dibuat dalam berbagai tipe, yaitu:
1. Saluran terpisah, yaitu sistem pengumpulan air limbah yang terpisah dari
sistem penyaluran air hujan
2.
208
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
3.5.2.
1.
2.
3.
Saluran penyalur air hujan sudah ada atau harus dibangun sedangkan
tambahan aliran air limbah jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan
air hujan yang disalurkan; atau tambahan biaya untuk membangun saluran
terpisah termasuk biaya untuk pemompaan dan pengolahan akan melebihi
biaya pembangunan saluran tercampur
4.
5.
2.
3.
4.
5.
Rencana itu sendiri yang diikuti oleh kontrak dan penyelesaian pekerjaan
209
3.5.3.
3.5.4.
2.
3.
Diskusi sebelum dan sesudahnya tentang apa yang dilakukan wilayah tetangga
4.
2.
Daerah pelayanan setiap jalur (seksi) pipa harus ditandai dengan jelas berupa
blok-blok pelayanan, dengan aliran air limbah yang masuk ke manhole hulu di
seksi pipa yang menerimanya.
3.
4.
210
Lay out sistem jaringan pipa harus diplot pada zona off-site dengan
karakteristik fisik minimal:
a.
b.
Pada zona di mana air bersih tersedia dengan kapasitas yang memadai
untuk penggelontoran kloset
c.
d.
Pada zona di mana air tanah dan sungai mempunyai beban pencemaran
tinggi melebihi beban maksimal sesuai peruntukannya.
e.
Pada zona di mana calon konsumennya mampu dan mau membayar tariff
f.
3.5.5.
2.
Setiap pembuatan DED perlu me-review rencana lay-out jaringan pipa (bila
ada) atas pertimbangan potensi pengembangan daerah pelayanan, kemudahan
pelaksanaan atau biaya.
3.
4.
Untuk pekerjaan pengembangan, pada ujung pipa lama yang akan diadop
harus selalu diukur kembali diameter dan elevasi invertnya meskipun sudah
ada as-build drawingnya.
5.
6.
Perancangan Sistem
Perancangan sistem jaringan perpipaan air limbah harus mencantumkan:
3.5.6.
1.
Peta umum sistem pengumpulan air limbah yang menunjukkan distrik atau
wilayah sistem pengumpulan dan penyaluran air limbah utama beserta distrikdistrik pelengkapnya
2.
3.
4.
5.
Spesifikasi
Desain Aktual
1.
Desain kapasitas pada setiap seksi pipa dengan awal manhole yang mendapat
tambahan debit, di buat khusus dalam lembar perhitungan, seperti debit ratarata, debit minimal dan debit puncak dari domestik, industri dan infilltrasi.
Data debit ini digunakan lebih lanjut dalam lembar perhitungan desain
hidrolika.
2.
3.
Desain struktur perlu memperhatikan kualitas media kontak (cairan yang akan
dialirkan, kualitas tanah dan tinggi muka air tanah), beban, keamanan pekerja
211
b.
c.
d.
3.5.7.
Pemetaan
Untuk keperluan operasi dan pemeliharaan yang sempurna, serta untuk keperluan
dokumentasi, jalur saluran yang direncanakan haruslah dipetakan dengan baik.
Sebelum melakukan pemetaan, terlebih dahulu perlu ditetapakn batas-batas wilayah
atau distrik berdasarkan daerah pelayanan yang direncanakan, pertimbangan
ekonomi, dan faktor-faktor lain yang terkait seperti pertumbuhan di masa yang
akan datang, serta pertimbangan-pertimbangan politik dan sosiologi. Apabila batas
wilayah atau distrik telah ditetapkan, pemetaan awal harus segera dilakukan.
Pemetanan harus mengindikasikan bagaimana usulan sistem pengumpulan air
limbah bagi wilayah yang tidak termasuk dalam rencana.
Guna memperoleh pemahaman yang baik tentang proyek yang direncanakan,
pemetaan harus menunjukkan beberapa informasi berikut ini:
1. Elevasi dari lahan atau persil dan ruang-ruang bawah tanah.
2.
Karakteristik wilayah yang telah terbangun apabila tidak melalui bangunanbangunan dengan atap datar, pabrik-pabrik, dll
3.
4.
5.
Lebar dan tipe jalan untuk pejalan kaki dan yang diaspal
6.
7.
Struktur bawah tanah eksisting, seperti sluran pengumpul air limbah, pipa air
minum, dan kabel telepon
8.
9.
212
3.5.9.
Penempatan/Letak Saluran
Murah pembiayaannya
2.
3.
4.
Menghindari pengaspalan
213
Di jalan-jalan yang lebar seperti boulevard, saluran diletakkan di tempt parkir pada kedua sisi
jalan sehingga tidak mengganggu pengaspalan dan menghindari sambungan rumah yang panjang.
3.5.10.
Pipa persil adalah saluran dari bangunan rumah tangga, bangunan kantor, bangunan umum
dan sebagainya yang menyalurkan air limbah ke pipa retikulasi.
Perencanaan pipa persil Air Limbah meliputi: letak pipa, diameter minimum, kemiringan
minimum, bak kontrol dan dimensi pipa harus mengacu pada kriteria dan tatacara
perencanaan teknis yang berlaku.
7.
Pipa retikulasi adalah saluran pengumpul air limbah untuk disalurkan ke pipa utama;
Pipa retikulasi terdiri dari pipa servis dan pipa lateral;
Pipa servis adalah saluran pengumpul air limbah dari beberapa bangunan (blok bangunan)
ke pipa lateral;
Pipa lateral adalah saluran pengumpul air limbah dari pipa servis ke pipa induk;
Perencanaan pipa retikulasi air limbah meliputi: letak pipa, diameter dan bahan pipa,
metode konstruksi (open trench atau pipe jacking), kemiringan minimum, manhole;
Perencanaan debit rata-rata (m3/hr) pada masing-masing seksi pipa lateral harus
memperhitungkan luas daerah tangkapan (ha), klasifikasi dan proyeksi debit spesifik air
limbah yang dilayani (m3/hr/ha).
Perencanaan dimensi pipa retikulasi harus memperhitungkan:
a.
b.
c.
Perencanaan dimensi pipa dan pompa harus memperhitungkan debit jam maksimum dan
debit jam minimum untuk perencanaan penggelontoran di beberapa seksi pipa.
8.
Perencanaan pipa retikulasi harus mengacu pada kriteria dan tata cara perencanaan teknis
yang berlaku.
214
Pipa induk adalah saluran yang menyalurkan air limbah dari pipa lateral (retikulasi) menuju
instalasi pengolahan air limbah;
2.
Bila diperlukan pipa induk dapat dapat dilengkapi dengan pipa cabang yang berfungsi
menyalurkan air limbah dari pipa lateral (retikulasi) ke pipa induk;
3.
Perencanaan pipa induk air limbah meliputi: letak pipa, dimensi dan bahan pipa, metode
konstruksi (open trench atau pipe jacking), stasiun pompa dan bangunan pelengkap.
4.
Perencanaan debit rata-rata (m3/hr) harus memperhitungkan seluruh daerah tangkapan (ha),
klasifikasi dan proyeksi debit spesifik air limbah yang dilayani (m3/hr/ha).
5.
6.
Perencanaan teknis pipa induk harus mengacu pada standard teknis dan tata cara
perhitungan perencanaan teknis pipa induk Air Limbah yang berlaku
Debit puncak suatu seksi pipa merupakan debit rata-rata di seksi yang
bersangkutan (tanpa infiltrasi) dikalikan dengan faktor puncak sesuai
dengan dimensi pipanya.
b.
fp = qp/qR
6
4-6
3
2,5
2
215
2.
Kecepatan pengaliran pipa minimal saat full flow atas dasar tractive force
3.
Kemiringan pipa minimal praktis untuk berbagai diameter atas dasar kecepatan 0.60 m/dtk
saat pengaliran penuh.
Penampang pipa yang digunakan dapat berbentuk bundar, empat persegi panjang atau bulat telur.
3.5.10.11.
1.
Perhitungan beban-beban yang bekerja di atas pipa dapat dipakai untuk mengontrol atau
merencanakan pemasangan pipa agar pipa dapat menahan beban yang bekerja sesuai
dengan kekuatannya.
2.
Kekuatan pipa dapat ditingkatkan dengan pemilihan konstruksi landasan pipa (bedding)
3.
Ada 6 (enam) tipe konstruksi bedding dengan load factor 1,1 -1,5 -1,9 -2,4 dan -4,5
216
3.5.10.12.
Bangunan pelengkap pada sistem jaringan adalah semua bangunan yang diperlukan untuk
menunjang kelancaran penyaluran air limbah dan untuk menunjang kemudahan pemeliharaan
sistem jaringan air limbah;
a. Bangunan pelengkap pada sistem jaringan air limbah meliputi: manhole, drop
manhole, ventilasi udara, terminal clean out, bangunan penggelontor, syphone rumah
pompa;
b. Perencanaan bangunan pelengkap pada sistem jaringan air limbah yang meliputi:
letak, dimensi minimum dan kebutuhan lahan untuk mengacu pada standar teknis dan
tata cara perhitungan perencanaan teknis yang berlaku.
1. Manhole
2. Syphon
3. Terminal Clean Out
4. Stasiun Pompa
5. Panel dan Komponennya
Panel dan komponen-komponennya harus menggunakan jenis waterproof. Semua Circuit
Breaker, peralatan proteksi, beban lebih, relai proteksi dan pengatur waktu (timer) harus ada pada
panel pompa air limbah.
Semua kabinet panel kontrol, panel daya, Circuit Breaker, saklar pengaman, dan peralatan listrik
yang lain, harus dilengkapi atau ditempeli plat nama (name plate) untuk memudahkan pengenalan.
3.6.
3.6.1.
217
Desain debit tersebut, adalah debit air limbah pada ujung akhir pipa induk yang
menuju ke IPAL.
b. Proyeksi debit perencanaan
Kapasitas rencana IPAL di atas diproyeksikan untuk debit perencanaan 20 (dua
puluh) tahun sesuai periode perencanaan rencana induk.
c. Perencanaan debit pada masing-masing komponen
Debit rata-rata : hanya pada unit-unit pengolahan kimia dan sekunder (biologi)
Debit harian maksimum : hanya pada unit-unit pengolahan primer
Debit jam maksimum : pada semua perpipaan unit-unit pengolahan
3.6.2.
3.6.3.
Kebutuhan Lahan
a. Kebutuhan lahan untuk IPAL terdiri dari:
Lahan untuk instalasi dan bangunan penunjang
Lahan untuk buffer zone
218
b. Kebutuhan lahan untuk instalasi dihitung berdasarkan debit harian maksimum yang
diproyeksikan 20 tahun untuk penerapan IPAL berbasis teknologi proses alamiah
atau proses biologis yang efisien dalam kebutuhan konsumsi listrik;
c. Kebutuhan lahan untuk lahan penyangga (buffer zone) minimum harus dipersiapkan
seluas 50% dari kebutuhan luas lahan untuk instalasi.
3.6.4.
Kriteria-kriteria penentu yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan lokasi IPAL terbagi
atas dua jenis pertimbangan yaitu pertimbangan teknis dan non teknis.
1. Teknis Pemilihan Lokasi IPAL
Teknis pemilihan lokasi IPAL meliputi:
1.
Jarak
Jarak minimum antara IPAL dengan pusat kota dan pemukiman adalah 3
Km.
2.
Topografi lahan
a.
Kemiringan tanah
Kemiringan tanah yang dinilai lebih baik jika mempunyai kemiringan
2%.
b.
Elevasi tanah
Sistem pendistribusian IPAL dinilai baik jika perumahan terletak lebih
tinggi dari letak IPALnya, sedangkan sistem pendistribusian IPLT
kebalikannya.
3.
4.
Bahaya banjir
Lokasi dipilih pada lokasi yang bebas akan banjir.
5.
Jenis tanah
Pilihan terbaik untuk lokasi IPAL adalah tanah dengan jenis yang kedap air
seperti lempung.
219
Legalitas lahan
a.
Kepemilikan lahan
Merupakan lahan yang tidak bermasalah. Pilihan yang dinilai lebih
baik adalah lahan milik Pemerintah.
2.
b.
c.
Dukungan masyarakat
Batas administrasi
Terletak pada batas administrasi kota yang berkepentingan.
3.
3.6.5.
Air limbah dengan tingkat pencemaran rendah, BOD < 300 mg/l
b.
Air limbah dengan tingkat pencemaran sedang, 300 < BOD < 500 mg/l
c.
Air limbah dengan tingkat pencemaran tinggi, 500 < BOD < 1000 mg/l
Kualitas air limbah yang akan diolah harus diukur dari hasil analisa kualitas
melalui uji laboratorium.
Kuantitas air limbah menentukan jumlah beban pencemaran yang akan diolah.
Kuantitas dan kualitas air limbah menentukan desain waktu tinggal di dalam
reaktor, volume reaktor, jumlah media, jumlah volume udara untuk proses
aerasi, dan besarnya pompa untuk resirkulasi.
2.
3.
220
Kebutuhan Lahan
Setiap sistem pengolahan air limbah mempunyai karakteristik laju pengolahan
(flow rate) berbeda-beda terkait dengan tingkat efisiensi pengolahan masingmasing, sehingga pada akhirnya akan memerlukan luas lahan berbeda pula.
Hal ini tergantung dari waktu tinggal dan efisiensi proses masing-masing.
5.
Biaya Pengoperasian
Biaya pengoperasian biasanya sangat ditentukan oleh kebutuhan energi
(listrik), biaya bahan kimia, dan lain-lain dari masing-masing jenis IPAL.
6.
3.6.6.
Dalam pemilihan teknologi pengolahan air limbah (IPAL) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan, antara lain sebagai berikut:
a) Kualitas dan kuantitas air limbah yang akan diolah
b) Kemudahan pengoperasian dan ketersediaan SDM yang memenuhi kualifikasi untuk
pengoperasian jenis IPAL terpilih
c) Jumlah akumulasi lumpur
d) Kebutuhan dan ketersediaan lahan
e) Biaya pengoperasian
f) Kualitas hasil olahan yang diharapkan
g) Kebutuhan energi
221
Aspek Teknis
Kemudahan
pengoperasian
SDM
Jumlah lumpur
Biaya operasi
Kualitas effluen
Kebutuhan energi
Langkah Pemilihan
Sistim Pengolahan
Limbah Cair Terpilih
Ketersediaan lahan
Ketersediaan biaya
Konstruksi &
operasi
Gambar 3.1 Bagan alir proses pemilihan sistem pengolahan air limbah (IPAL)
3.6.7.
222
1.
Saringan Sampah
2.
3.
4.
Pengolahan Anaerobik
2.
3.
Oxidation Ditch
4.
223
3.6.8.
5.
6.
Biofilter
7.
Anaerobik Filter
8.
9.
Sludge atau lumpur merupakan bagaian terakhir dari proses pengelolaan air buangan yang harus
aman kepada lingkungan. Pada dasarnya lumpur hasil pengendapan berkadar sekitar 0,5 s/d 4 %
dari bak pengendap I dan II.
Untuk skala besar diperlukan pemisahan unit secara nyata untuk effisiensi serial unit selanjutnya.
Thickening
Stabilisasi
Conditioning
Flotation
Configurasi
Sludge
masuk
Disposal
Vacum Filter
Oksidasi
Garavity
Dewatering
Stabilisasi dgn
kapur
Chemical
Filter Press
Land Aplication
Elutriation
Composting
Pengeraman
Aerobik
Pemanasan
Horizontal Bed
Filter
Centrifugation
Land Filling
Pengeraman
Anaerobik
Recalcination
Drying Bed
Thickening
Tujuan thickening adalah mengurangi volume lumpur dengan membuang supernatannya. Jika
misalnya semula konsentrasi solid dalam lumpur adalah 2% maka setelah thickening menjadi 5%,
sehingga terjadi pengurangan volume menjadi 100 % - (200/5) % = 60%.
Gravity thickening biasanya dalam bentuk silinder dengan kedalaman 3.00 meter dengan dasar
berbentuk kerucut untuk memudahkan pengurasan lumpur., dan Td = 1 hari. Tujuan mengurangi
volume lumpur hingga (30 s/d 60)%.
224
2.
3.
Conditioning Lumpur
4.
Pengeringan Lumpur
5.
Disposal Lumpur
3.6.9.
Setelah
item pekerjaan dan volume telah ditetapkan kemudian metode
pelaksanaan konstruksi harus dipilih yang paling sesuai untuk setiap item
pekerjaan untuk menentukan harga satuan item pekerjaan.
2.
Analisa Harga Satuan dapat dilakukan setelah metode pelaksanaan ditetapkan dan
basic prise (Harga satuan bahan dan upah pekerja) serta harga satuan depresiasi
alat berat/sewa alat berat dan bobot per item ditetapkan.
3.
Rencana Anggaran Biaya merupakan perkalian antara besaran volume per Item
pekerjaan dikalikan dengan harga satuan per item pekerjaan.
4.
Rencana Anggaran Biaya total merupakan harga item 3 ditambah dengan PPN
10% dan hasilnya dibulatkan.
225
MODUL 05
PERENCANAAN
PENGELOLAAN AIR LIMBAH
SISTEM SETEMPA T (ON SITE)
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1. Umum
..
2. Teknologi Pengelolaan Air Limbah Dengan Sistem Setempat (On-Site System) .........
2.1 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik Individual ....................................
2.1.1 Perencanaan Tangki Septik
.................................................................
2.1.2 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik dengan Bidang
Resapan
.............................................................................................
2.1.3 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik dengan
Evapotranspirasi
....................................................................................
2.1.4 Perencanaan Pengolahan Lanjutan Tangki Septik Dengan Filter
..........
2.1.5 Sistem Perpipaan Komunal
..
2.1.6 Small Bore Sewerage.
2.2 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik Komunal
................................
2.2.1 Tangki Septik Bersama
......................................................................
2.2.2 Tangki Septik Bersekat (Baffled Reactor) .
2.2.3 Bio-digester
......................................................................................
2.2.4 Tangki Septik Bersusun dengan Filter
..................................................
2.2.5 Tangki Septik Bersekat dengan Filter Dan Tanaman .............................
2.2.6 Kolam Aerobik
.....................................................................................
3. Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
..............................................................
3.1 Karakteristik Dan Jenis Lumpur Tinja
............................................................
3.2 Tujuan Dan Tahapan Pengolahan Lumpur Tinja
............................................
3.3 Kebutuhan Dan Pengumpulan Data Dalam Perencanaan IPLT .
3.3.1 Persiapan Pelaksanaan Survey
..............................................................
3.3.2 Pelaksanaan Survey
.......................................................................
3.4 Langkah-Langkah Perencanaan IPLT
227
227
228
229
234
239
240
242
242
247
249
250
251
251
255
255
256
256
257
258
259
259
261
261
262
265
265
269
270
270
271
276
281
285
3.5.6
ii
288
289
297
299
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 3.7
233
234
238
257
276
278
279
289
292
298
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8.
Gambar 2.9
Gambar 2.10
Gambar 2.11
Gambar 2.12
Gambar 2.13
Gambar 2.14
Gambar 2.15
Gambar 2.16
Gambar 2.17
Gambar 2.18
Gambar 2.19
Gambar 3.1
227
232
235
235
238
242
245
246
247
248
250
250
251
251
252
253
254
255
255
263
iii
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 3.13
Gambar 3.14
Gambar 3.15
Gambar 3.16
Gambar 3.17
Gambar 3.18
Gambar 3.19
iv
269
271
272
274
275
277
280
282
283
285
287
288
289
292
294
295
296
297
UMUM
Pada saat ini mayoritas penduduk Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaaan, masih
menggunakan sistem pengolahan air limbah sistem setempat (on-site) yang berupa tangki septik
atau cubluk. Pengolahan ini dipilih karena pengolahan air limbah secara terpusat masih belum
banyak tersedia di Indonesia. Selain itu, sistem setempat juga tidak memerlukan biaya yang besar
jika dibandingkan dengan sistem terpusat. Baik biaya pembangunan maupun operasional masih
dapat ditanggung oleh para pemakainya. Pelaksanaan dan pengoperasian sistem setempat juga
lebih sederhana sehingga dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara
individual, keluarga ataupun sekelompok masyarakat (komunal).
2.
Pengelolaan air limbah setempat, baik yang sudah memiliki akses maupun belum memiliki akses,
belum atau sudah memadai secara keseluruan dapat dilihat seperti pada gambar berikut
initidak/sudah memadai) secara keseluruhan disajikan seperti pada Gambar 2.1 berikut :
IPLT
Black water
Septic tank
Cubluk
Spal
Upflow
filter
Grey water
Resapan
Drainase
atau
difum
Pada prinsipnya teknologi yang diterapkan sesuai dengan skalanya dapat dibagi menjadi 2 (dua)
jenis berdasarkan pengguna fasilitas tersebut yaitu pengolahan air limbah domestik individual dan
pengolahan air limbah domestik komunal. Teknologi yang digunakan dalam sistem pengolahan
setempat akan diuraikan berikut ini.
227
2.1
Teknologi pengolahan air limbah domestic individual yang biasa digunakan adalah tangki septik
(septic tank). Tangki septik adalah suatu ruangan kedap air yang terdiri dari kompartemen ruang
yang berfungsi menampung/mengolah air limbah rumah tangga dengan kecepatan alir yang sangat
lambat sehingga member kesempatan untuk terjadinya pengendapan terhadap suspense bendabenda padat dan kesempatan dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba anaerobik. Proses
ini berjalan secara alamiah yang sehingga memisahkan antara padatan berupa lumpur yang lebih
stabil serta cairan (supernatant). Proses anaerobik yang terjadi juga menghasilkan biogas yang
dapat dimanfaatkan.
Cairan yang terolah akan keluar dari tangki septik sebagai efluen dan gas yang terbentuk akan
dilepas melalui pipa ventilasi. Sementara lumpur yang telah matang (stabil) akan mengendap
didasar tangki dan harus dikuras secara berkala setiap 2-5 tahun bergantung pada kondisi. Efluen
dari tangki septik masih memerlukan pengolahan lebih lanjut karena masih tingginya kadar
organik didalamnya. Pengolahan lanjutan yang dapat digunakan berupa sumur resapan (bidang
resapan) dan small bore sewerage. Berdasarkan jenis pengolahan lanjutannya, maka tangki septik
dapat dibedakan menjadi tangki septik dengan sumur resapan, penguapan/evaporasi yang dikenal
dengan filter dan tangki septik dengan small bore sewerage. Perencanaan untuk tangki septik akan
diuraikan pada bagian.
Dalam pemanfaatannya tangki septik memerlukan air penggelontor, jenis tanah yang permeable
(tidak kedap air) dan air tanah yang cukup dalam agar sistem peresapan berlangsung dengan baik.
Oleh karena itu, tangki septik cocok digunakan pada daerah yang memiliki pengadaan air bersih
baik dengan sistem perpipaan maupun sumur dangkal setempat, kondisi tanah yang dapat
meloloskan air, letak permukaan air tanah yang cukup dalam, dan tingkat kepadatan penduduk
masih rendah tidak melebihi 200 jiwa/ha (Bintek, 2011).
Tangki septik adalah salah satu cara pengolahan air limbah domestik yang menggunakan
proses pengolahan secara anaerobik. Proses ini dapat memisahkan padatan dan cairan di
dalam air limbah. Padatan dan cairan memerlukan dan harus diolah lebih lanjut karena
banyak mengandung bibit penyakit atau bakteri patogen yang berasal dari kotoran (feces)
manusia. Jika tidak diolah, maka dikhawatirkan air limbah dapat menularkan penyakit
kepada manusia terutama melalui air (waterborne disease).
2.1.1
Bentuk tangki septik tidak berpengaruh banyak terhadap efisiensi degradasi material organik yang
berlangsung didalamnya. Oleh karena itu, dapat digunakan tangki septik yang berbentuk silinder
228
ataupun persegi panjang. Bentuk silinder biasanya digunakan untuk pengolahan lumpur tinja
dengan kapasitas kecil dengan minimum diameter 1,20 m dan tinggi 1,00 m yang diperuntukkan
untuk 1 (satu) keluarga atau rumah tangga.
Tangki septik terbagi menjadi 2 (dua) berdasarkan jenis air limbah yang masuk kedalamnya yaitu
tangki septik dengan sistem tercampur dan sistem terpisah. Tangki septik dengan sistemtercampur
adalah tangki septik yang menerima air limbah tidak hanya lumpur tinja dari kakus saja tetapi juga
air limbah dari sisa mandi, mencuci ataupun kegiatan rumah tangga lainnya. Sementaraitu, tangki
septik dengan sistem terpisah adalah tangki septik yang hanya menerima lumpur tinja dari kakus
saja. Jenis air limbah yang masuk akan menentukan dimensi tangki septik yang akan digunakan
terkait dengan waktu detensi dan dimensi ruang-ruang (zona) yang berada di dalam tangki septik.
Secara umum, tangki septik dengan bentuk persegi panjang mengikuti kriteria disain yang
mengacu pada SNI 03-2398-2002 yaitu sebagai berikut:
Tinggi tangki septik adalah ketinggian air dalam tangki ditambah dengan tinggi ruang bebas
(free board) yang berkisar antara (0,2-0,4)m
Penutup tangki septik yang terbenam ke dalam tanah maksimum sedalam 0,4m
Bila panjang tangki lebih besar dari 2,4 m atau volume tangki lebih besar dari 5,6 m3, maka
interior tangki dibagi menjadi 2 (dua) kompartemen yaitu kompartemen inlet dan kompartemen
outlet. Proporsi besaran kompartemen inlet berkisar 75% dari besaran total tangki septik.
Penentuan dimensi tangki septik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu dengan melakukan
perhitungan ataupun dengan menggunakan tabel yang terdapat di dalam SNI 03-2398-2002.
Kedua jenis cara tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
229
debit/kapasitas rata-rata air limbah yang akan diolah tangki septik (m3/hari)
Besarnya laju timbulan air limbah bergantung pada jenis air limbah yang akan diolah. Oleh karena
itu, besarnya laju timbulan air limbah (q) adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
Bila tangki septik hanya menerima dari kakus saja (sistem terpisah) maka q merupakan
gabungan dari limbah tinja dan air penggelontoran yang besarnya antara (5-40) L/orang/hari
Bila tangki septik menerima air limbah tercampur (sistem tercampur), maka q merupakan
gabungan limbah tinja dan air limbah lainnya dari kegiatan rumah tangga seperti mandi, cuci,
masak dan lainnya yang besarnya adalah 80% dari konsumsi air bersih pemakai yang
besarnya antara (45-150) L/orang/hari
Waktu detensi (Td) dibutuhkan agara padatan yang terkandung di dalam air limbah dapat terpisah
dan mengendap pada dasar tangki septik. Minimum waktu detensi yang dibutuhkan untuk proses
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
230
Bila rencana lokasi pembangunan tangki septik berada relatif dekat dengan sumur atau sumber air
dan tidak memungkinkan untuk menempatkan tangki septik lebih jauh lagi, maka waktu detensi
yang digunakan sebaiknya 3 (tiga) hari. Waktu detensi ini digunakan dengan asumsi bahwa
mikroba patogen akan mati bila berada di luar usus manusia selama 3 (tiga) hari.
Di dalam tangki septik akan terbagi beberapa zona mengikuti proses degradasi yang terjadi. Zona
tersebut adalah zona buih dan gas, zona pengendapan, zona stabilisasi, dan zona lumpur. Fungsi
dan besarnya zona tersebut adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
Zona buih (scum) dan gas untuk membantu mempertahankan kondisi anaerobik di bawah
permukaan air limbah yang akan diolah. Zona ini disediakan setinggi (25-30) cm atau 20%
dari kedalaman tangki
Td
231
Lubang inspeksi
Inlet
Inlet
Tee
Muka Air
Scum
Outlet
Zona Pengendapan
Endapan lumpur
Zona stabilisasi adalah zona yang disediakan untuk proses stabilisasi lumpur yang baru
mengendap melalui proses pencernaan secara anaerobik (anaerobic digestion). Volume zona
ini ditentukan berdasarkan kecepatan stabilisasi lumpur dan jumlah pemakai tangki septik.
Volume zona stabilisasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5) yaitu:
: Rs x p (5)
Vstabilisasi
Dimana:
Rs :
:
Zona lumpur matang merupakan zona tempat terakumulasinya lumpur yang lebih stabil dan
harus dikuras secara berkala. Volume zona lumpur bergantung pada kecepatan akumulasi
lumpur, periode pengurasan dan jumlah pemakai tangki septik. Volume zona (Vlumpur)ini
dapat diketahui dengan persamaa sebagai berikut:
232
Dimana:
Rlumpur :
No.
Zona
Ambang
Bebas (m3)
0,4
0,6
0,9
1,2
1,4
2,9
Panjang
Tangki
(m)
1,6
2,1
2,5
2,8
3,2
4,4
Lebar
Tangki
(m)
0,8
1,0
1,3
1,4
1,5
2,2
Tinggi
Tangki
(m)
1,6
1,8
1,8
2,0
2,0
2,0
Volume
Total
(m3)
2,1
3,9
5,8
7,8
9,6
19,4
Endapan lumpur pada tangki septik harus dikuras dan selanjutnya dibawa ke Instalasi Pengolahan
Limbah Tinja (IPLT) untuk diolah lebih lanjut sebelum dibuang ataupun dimanfaatkan kembali
sebagai pupuk.
Perlu diingat bahwa tangki septik harus dibuat kedap agar cairan yang berasal dari lumpur tinja
tidak merembes keluar dari tangki sehingga berpotensi mencemari tanah dan air tanah di
sekitarnya.
233
2.1.2
Zona
Ambang
Bebas (m3)
0,3
0,5
0,6
0,9
1,5
Panjang
Tangki
(m)
1,0
1,8
2,1
2,4
3,2
Lebar
Tangki
(m)
0,8
1,0
1,0
1,2
1,6
Tinggi
Tangki
(m)
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
Volume
Total
(m3)
1,6
2,45
3,2
4,5
8,7
Bidang resapan merupakan unit yang disediakan untuk meresapkan air limbah yang telah terolah
dari tangki septik ke dalam tanah. Air yang diresapkan ini merupakan air limbah yang telah
dipisahkan padatannya (effluent dari tangki septik) namun masih mengandung bahan organik dan
mikroba patogen. Dengan adanya bidang resapan ini, diharapkan air olahan dapat meresap ke
dalam tanah sebagai proses filtrasi dengan media tanah ataupun jenis media lainnya. Terdapat 2
(dua) jenis bidang resapan yang dapat diaplikasikan bersama dengan tangki septik yaitu saluran
peresapan ataupun sumur resapan.
Saluran Peresapan
Saluran peresapan dapat disebut sebagai dispersion trench, soakage trench, leaching trench, drain
field, atau absorption/disposal field. Effluent dari tangki septik dialirkan secara gravitasi
kesaluran peresapan. Saluran peresapan cocok digunakan pada lahan yang memiliki karakteristik
sebagai berikut (Bintek, 2011):
234
Kapasitas perkolasi tanah berkisar antara (0,5-24) menit/cm dan optimum 8 menit/cm
Ketinggian muka air tanah minimum 0,60 m di bawah dasar rencana saluran peresap atau
(1-1,5) m di bawah muka tanah
Jarak horizontal dari sumber air (seperti sumur) tidak boleh kurang dari 10m
Ukuran efektif butiran tanah maksimum 0,13mm
Difum
Pipa udara
> 50 mm
1.50 m
Manhole
Pipa inlet
Pipa oulet
100-150 mm
> 30 cm < 20 % h
Sekat
7.5 cm
40 % h
0.25 m
100-150 mm
h = (1-1.8) m
D i f um
235
Kriteria perencanaan untuk saluran peresapan adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
a) Lebar dasar galian bergantung pada angka perkolasi tanah yaitu:
Diameter pipa minimum 100 mm dengan jenis pipa PVC atau 100 mm dengan jenis pipa
(saluran) beton
d) Batu pecah sebagai media pengisi galian harus bersih dan berkualitas baik. Kedalaman
minimum lapisan batu pecah (30-60) cm di bawah muka tanah dan (15-40) cm di bawah pipa.
Ukuran gradasi batu (15-60) mm.
e) Lapisan ijuk dipasang setebal 5 cm di atas lapisan batu pecah agar tanah urug tidak turun dan
masuk ke dalam lapisan batu pecah. Tanah yang masuk dapat mengakibatkanpenyumbatan
pada sela-sela batu. Kertas semen sebaiknya tidak digunakan untuk menggantikan ijuk karena
dapat menghambat proses evaporasi.
f) Tanah urug diisikan pada bagian atas lapisan ijuk sebagai penutup akhir dengan ketebalan
(15-30) cm dan ditambah lagi setebal (10-15) cm sebagai antisipasi bila terjadinya penurunan
(settlement) tanah urugan. Bahan tanah urug sebaiknya jenis tanah kepasiran atau sejenisnya
untuk memudahkan proses evaporasi pada rumput diatasnya sehingga dapat meningkatkan
kinerja saluran peresapan.
g) Bidang kontak efektif pada saluran peresap hanya diperhitungkan pada bagian dindingnya
sedangkan pada bagian dasar tidak dapat meresapkan air limbah dengan baik karena
cenderung dalam keadaan tertutup dan tersumbat. Perhitungan bidang kontak efektif dapat
menggunakan persamaan (7) di bawah ini.
Ae = Q/I ...........(7)
Dimana:
236
Ae :
Q :
................(8)
faktor pembagi jalur bidang peresapan pada 2 (dua) sisi dinding tegak
D :
W :
qAV :
Ae
Ae
Ae
SUMUR PERESAP
SALURAN PERESAP
Difu m
237
Tanah urug
(tidak padat)
5 cm
Tanah urug
(tidak padat)
Ijuk
Ijuk
Pipa distributor 100 mm
Kerikil/koral
Kerikil/koral
30 cm
30 cm
30 cm
30 cm
30 cm
(0.45-0.90) m
TANPA SKALA
(4-6) mm
Dif um
238
Kapasitas
Perkolasi
[Men/Cm]
< 0.5
0.5 2
Kapasitas
Absorpsi
[(L/M2.Hr)]
200
100 200
36
15 35
CUKUP BAIK
7 12
8 15
SANGAT BAIK
13 24
48
CUKUP BAIK
25 48
24
Kelayakan Sebagai
Resapan
Sumur Peresapan
Sumur peresapan dipakai untuk menerima efluen dari tangki septik. Sumur resapan memiliki
fungsi yang sama dengan saluran peresap dan terkadang dipasang secara seri pada ujung saluran
peresap. Konstruksi sumur peresapan cocok diterapkan untuk daerah dengan karaketristik sebagai
berikut (Bintek, 2011):
Kondisi tanah yang pada bagian permukaannya kedap air sedangkan pada bagian tengahnya
tidak kedap air (porous)
Kapasitas perkolasi tanah sebesar (3-12) menit/cm. Sumur peresapan juga tepat untuk lokasi
dengan lahan yang terbatas
Jarak muka air tanah minimum 0,6 m namun disarankan 1,2 m di bawah dasar konstruksi
sumur peresapan
Sumur peresapan harus diisi penuh dengan pecahan batu berdiameter > 5 cm dan biasanya
diterapkan pada kondisi tanah yang cukup stabil, tidak mudah runtuh atau jenis tanah lempung
bila konstruksi sumur peresap tanpa menggunakan pasangan bata.
Namun bila konstruksi menggunakan pasangan bata dengan spesi, maka sumur peresan tidak
perlu diisi denga pecahan batu, dinding dibuat dengan pasangan bata setebal bata atu lebih
bergantung pada kedalaman dan pada bagian dasar diberi kerikil berukuran (12,5-25) mm setebal
minimum 30 cm. Selanjutnya antara dinding bata bagian luar dan dinding galian sumur perlu
dilapisi dengan kerikil setebal 15 cm agar tidak mudah tersumbat. Konstruksi detail sumur
peresapan dapat dilihat pada SNI 03-2398-2002.
2.1.3
Evapotranspirasi merupakan salah satu pilihan untuk pengolahan lanjutan effluent air limbah yang
keluar dari tangki septik. Pengolahan dilakukan dengan cara mengalirkan effluent air limbah dari
tangki septik pada tanaman yang akan menyerap sebagian aliran air limbah melalui akar-akarnya.
Selanjutnya, hasil penyerapan tersebut akan dilepas melalui proses penguapan alami tanaman
tersebut dari daun-daunnya (evapotranspirasi). Sebagian aliran air limbah akan menguap langsung
akibat panas dari matahari (evaporasi). Efektivitas evaporasi akan semakin meningkat bila
temperatur udara semakin tinggi, adanya turbulensi angin di udara sekitar dan kelembaban udara
berkurang. Pilihan ini cocok dilakukan bila:
Tanah sangat kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi lebih dari 24 menit/cm
Daerah yang memiliki temperatur panas (tinggi)
Semakin efektif bila kelembaban udara rendah
239
Efluent air limbah dari tangki septik dialirkan melalui pipa distribusi dengan sambungan terbuka
yang diberi lapisan kerikil. Pada bagian atas kerikil diberi lapisan pasir dengan ukuran yang
mampu mengalirkan cairan ke atas secara kapiler agar dapat diserap oleh akar tanaman.
Selanjutnya, pada bagian paling atas, ditutup dengan tanah (top soil) sebagai tempat tumbuh
tanaman perdu.
Kriteria disain yang dapat digunakan untuk sistem evapotranspirasi ini adalah sebagai berikut
(Bintek, 2011):
a. Pipa distribusi dengan diameter 100 mm dan jarak antar cabang distribusi (1-3) m
b. Kerikil yang digunakan haruslah dalam keadaan cukup bersih dan dipasang pada bagian dasar
(sebagai bed) dengan ketebalan (5-10) cm termasuk pada bagian di sekeliling pipa distribusi
c. Pasir dipilih yang mampu mengalirkan air secara kapiler ke atas permukaan pasir dengan
ukuran 0,1 mm dipasang dengan kedalaman (0,30-0,75) m. Daya kapiler tidak lebih dari 0,9
m sehingga ketebalan pasir sebaiknya tidak melebihi 0,9 m tersebut.
d. Perhitungan volume pasir berdasarkan waktu detensi effluent tangki septik antara (10-20) hari.
e. Jenis tanah yang diaplikasikan sebaiknya jenis tanah yang baik dan subur sehingga membantu
pertumbuhan tanaman perdu yang tumbuh diatasnya. Ketebalan tanah dibuat antara (10-15)
cm.
2.1.4
Pengolahan lanjutan untuk efluen dari tangki septik dapat juga dilakukan dengan cara filtrasi
(penyaringan). Proses pengolahan dengan filtrasi ini dapat dibedakan berdasarkan jenis filter yang
digunakan dan akan diuraikan lebih lanjut.
240
Tanah yang tersedia kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi tanah sebesar (12-24)
menit/cm yang tidak memungkinkan untuk dibangun dengan sistem resapan
Di sekitar lokasi terdapat badan air penerima dengan debit pengenceran yang cukup atau
saluran drainase tertutup yang akan dipakai sebagai tempat pembuangan akhir
Head (tekanan) yang tersedia cukup memadai untuk mengalirkan efluen yang telah disaring
keluar
dariyang
underdrain
badan filter
aie secara
gravitasi
Kriteria
disain
dapat collector
digunakankeuntuk
di bawah
permukaan tanah adalah sebagai
berikut:
a. Kerikil sebagai perata genangan agar seluruh lapisan effluent tersaring dapat dengan mudah
dikumpulkan dan disalurkan ke badan air atau saluran drainase terdekat melalui pipa kolektor
b. Ijuk berfungsi untuk menahan pasir diatasnya agar tidak turun ke dalam media pasir di bagian
bawahnya
c. Pasir sebagai filter agar kotoran-kotoran yang ada pada effluent tangki septik masih dapat
direduksi
d. Tanah urugan sebagai penutup terakhir
Filter Anaerobik
Filter anaerobik merupakan metoda pengolahan sekunder (lanjutan) terhadap effluent tangki septik
di daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Pengolahan dengan
menggunakan filter anaerobik ini cocok bila digunakan pada kondisi:
Keterbatasan lahan
Unit filter anaerobik bentuknya hampir sama dengan unit tangki septik namun pada filter
anaerobik bagian dalam tangki diisi dengan batu pecah sebagai media filter. Pada bagian pelat
penutup bagian atas, disediakan tempat masuk air limbah yang akan diolah. Pipa influent ke dalam
filter diletakkan di bagian bawah tangki sehingga aliran yang terjadi berupa aliran ke atas (upflow
filter).
241
Inlet
Plat MH
0.15
Plat MH
Plat MH
Plat MH
Outlet
0.00
-0.45
-0.55
d i fum
1.25
0.75
2.1.5
2.1.6
Small bore sewerage (SBR) adalah salah satu alternatif pengolahan lanjutan untuk effluent dari
tangki septik yang didisain untuk menerima hanya limbah rumah tangga dalam wujud cair (liquid)
yang selanjutnya dialirkan melalui jaringan pengumpur air limbah dengan sistem terpusat (Otis &
Mara, 1985). Effluent dari tangki septik tersebut selanjutnya akan diolah di instalasi pengolahan
limbah terpusat (IPAL) sebelumnya akhirnya dibuang bila telah memenuhi baku mutu. Air limbah
yang akan dialirkan masuk ke tangki penerima (interceptor) haruslah dihilangkan terlebih dahulu
dari grit, lemak dan bentuk-bentuk padatan lainnya yang dapat mengganggu atau berpotensi
242
menyumbat saluran/jaringan perpipaan. Padatan yang telah terakumulasi pada tangki interseptor
harus dibersihkan secara berkala.
Pipa hanya menerima effluent dari tangki septik (tidak termasuk lumpurnya) dan air bekas
mandi dan cuci
Kedalaman renang minimum 0,8 dari diameter dan maksimum 0,8 dari diameter
Sistem ini diterapkan pada kawasan yang sudah jelas atau establish dengan tangki septik, dan
dipilih untuk menghidari pembongkaran lantai rumah untuk memindahkan pipa kakus - septic
tank menjadi pipa kakus - sewer. Sedangkan pipa air bekas bisa langsung disadap ke sewer pada
ujung tumpahnya (out fall) ke saluran drainase.
Kelebihan yang didapat dengan menggunakan SBR adalah (Otis & Mara, 1985):
Sementara itu kelemahan yang dirasakan dengan sistem ini diantaranya adalah:
243
Memerlukan perencanaan yang baik terkait dengan penyambungan jaringan koneksi pipa dan
tangki interseptor
244
Sambungan rumah
Tangki
interseptor
b) Sambungan
Rumah
Tangga,
Tangki
245
b) Tangki Interseptor
Removeable
inspection cover
50 mm outlet
75 mm outlet
Threaded
cap
Brick or
blockwork
walls
Equal y-branch
Reinforced concrete base slab
House
connector
with cap
Pump control
& alarm
Airtight joint
Gate
valve
Nonreturn valve
Nonreturn
valve
Alarm
Alarm
Pump on
Pump on
Pump off
Pump off
Gambar 2.8. Gambaran Tangki Interseptor dan Sambungan ada Jaringan Pengumpul Air Limbah
Perkotaan
246
2.2
IPAL Komunal
247
lumpur tinja dapat menggunakan sistem pengolahan yang dikenal dengan MCK++. Gambaran
sistem MCK++ ini dapat dilihat pada Gambar 2.10 berikut ini.
Gambar 2.10. Gambaran Pengolahan Air Limbah Domestik Sistem Komunal MCK++
(Sumber: Borda, 2011)
Salah satu program pengolahan air limbah domestik secara komunal adalah SANIMAS (Sanitasi
Berbasis Masyarakat). Program Sanimas merupakan suatu program yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dengan peningkatan akses terhadap sarana sanitasi berbasis
masyarakat. Kegiatan utama dari program Sanimas ini adalah pembangunan sarana dan prasarana
air limbah permukiman secara komunal (berkelompok). Oleh karena penggunaannya
berkelompok, maka perlu suatu kelembagaan yang baik untuk pengelolaannya sehingga sarana
santasi ini dapat berjalan tepat guna dan berkelanjutan.
Sasaran dari program ini adalah kesehatan lingkungan yang dapat memberikan dampak langsung
kepada masyarakat. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa LSM, penduduk yang
mengalami sakit akibat pencemaran air limbah lebih banyak jumlahnya daripada penduduk yang
248
tidak sakit. Dengan adanya sarana sanitasi yang terkelola dengan baik, maka hal-hal positif yang
terjadi antara lain adalah:
a) Penurunan angka kematian bayi
b) Umur harapan hidup meningkat dari 45,7% sampai 67,97%
c) Angka diare dari urutan ke-5 penyebab kematian menjadi urutan ke-9
d) Untuk skala nasional peningkatan kapasitas SDM untuk pelayanan kesehatan (dokter,
perawat, puskemas) dan peningkatan jumlah sarana kesehatan
Perencanaan SANIMAS memiliki beberapa tahapan yang meliputi peyusunan rencana kegiatan
dalam rangka pengendalian dan pembinaan di tingkat pusat dan daerah, serta penyusunan rencana
lokasi dan alokasi dana yang akan diterbitkan melalui Dokumen Anggaran. Tahapan awal yaitu
penetapan lokasi sasaran berdasarkan pertimbangan jumlah permukiman padat yang memenuhi
kriteria dengan cara melakukan survei langsung (pengamatan langsung) di lapangan ke tempattempat yang sekiranya rnembutuhkan bantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana sanitasi.
Sarana dan prasarana sanitasi yang dapat digunakan di dalam Sanimas pada dasarnya adalah sama
dengan teknologi yang digunakan pada sistem komunal yang telah diuraikan sebelumnya.
Sanimas adalah salah satu program yang dikembangkan oleh Direktorat PLP Sub Bidang Air
Limbah dan pelaksanaan Sanimas dapat mengacu pada Buku Pedoman Sanimas yang telah
diterbitkan pada tahun 2008.
Kegiatan lain dalam rangka mengatasi permasalahan air limbah di kawasan Rumah Sederhana
Sehat (RSH), adalah kegiatan Pembangunan IPAL Skala kawasan RSH sebagai suatu pilot atau
perintisan penanganan air limbah skala kawasan RSH.
Dalam kegiatan ini yang akan dilaksanakan adalah melakukan perencanaan, pembangunan, dan
pengelolaan Sarana Pengolahan Air Limbah (SPAL) di kawasan permukiman, terutama di
permukiman sederhana sehat RSH, dengan konsep hunian yang layak, sehat dan aman.
Pilihan teknologi yang dapat digunakan untuk sistem komunal diantaranya adalah tangki septik
bersama, bio-digester, baffle reactor/tangki septik bersusun, tangki septik bersusun dengan filter,
kolam dengan filter dan tanaman, kolam aerobik. Teknologi pengolahan air limbah tersebut akan
diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut ini.
2.2.1
Pada sistem ini, WC/kakus dibangun pada masing-masing rumah dan selanjutnya air limbah
dialirkan melalui pipa ke tangki septik yang dibangun di bawah tanah. Tangki septik ini
digunakan bersama untuk beberapa rumah. Proses pengolahan yang terjadi dan disain selanjutnya
249
sama seperti proses dan disain pada tangki septik seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Gambaran penggunaan tangki septik bersama dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
Perencanaan tangki septik yang lebih detil dapat mengacu pada bagian 2.1.1 dan SNI 03-23982002 Tata Cara Perencanaan Tangki Septik Dengan Sistem Resapan.
2.2.2
Tangki septik bersekat (Baffled reactor) adalah pengolahan air limbah dengan menggunakan
beberapa bak/kompartemen yang fungsinya berbeda-beda. Air limbah yang masuk pada tangki
akan diolah secara bertahan. Bak pertama akan menguraikan materi organik yang mudah terurai
dan demikian seterusnya bak berikutnya akan menguraikan material yang lebih sulit terurai.
Gambaran tangki septik bersekat ini dapat dilihat pada Gambar 2.12. Lahan yang dibutuhkan
untuk 50 kepala keluarga (KK) adalah seluas 60 m2.
250
2.2.3
Bio-digester
Bio-digester adalah pengolahan air limbah dengan melalui proses biologis secara anaerobik atau
tanpa kehadiran oksigen. Proses penguraian materi organik dari air limbah yang diolah akan
menghasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif. Air limbah yang diolah akan
terpisah menjadi padatan (lumpur) dan cairan (supernatan) yang masih harus diolah lebih lanjut
karena masih mengeluarkan bau walaupun konsentrasi material organik sudah jauh berkurang.
Bio-digester cocok digunakan untuk limbah dengan konsentrasi material organik yang tinggi
seperti limbah dari wc/kakus, limbah industri tahu dan tempe, limbah dari rumah potong hewan
dan peternakan. Gambaran Tangki bio-digester dapat dilihat pada Gambar 2.13 di bawah ini.
2.2.4
Tangki septik bersusun dengan filter merupakan modifikasi dari tangki septik yang menambahkan
filter di dalam tangkinya. Air limbah yang telah melalui proses anaerobik akan masuk pada tahap
filtrasi. Gambaran tangki septik bersusun dengan filter dapat dilihat pada Gambar 2.14 di bawah
ini. Kebutuhan lahan untuk 50 KK berkisar 60 m2.
251
252
253
254
2.2.5
Tangki septik bersekat dengan filter dan tanaman merupakan kombinasi tangki septik dengan bak
yang diberi tanaman. Tanaman akan menyerap air limbah melalui akar tanaman yang ditanam
pada bak yang telah disiapkan. Media penanaman terdiri dari tanah dan kerikil sebagai filter yang
diberi kemiringan antara (0-0,5)%. Air limbah berasal dari tangki septik yang berada di bagian
ujung bak dialirkan pada media filter. Permukaan air berada 5 (lima) cm di bawah permukaan
filter. Kebutuhan lahan untuk 50 KK dengan menggunakan sistem ini adalah seluas 120 m2.
Gambar 2.18. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Filter Dan Tanaman
(Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008)
2.2.6
Kolam Aerobik
Kolam aerobik ini pada prinsipnya sama dengan kolam aerobik pada Instalasi Pengolahan Air
Lumpur Tinja (IPLT) namun dalam skala yang lebih kecil mengacu pada jumlah pengguna dari
kolam ini. Biasanya diperlukan 2 (dua) atau 3 (tiga) kolam untuk menurunkan konsentrasi BOD.
Proses pengolahan menggunakan proses aerobik sehingga membutuhkan tambahan oksigen ke
dalam kolam. Penambahan oksigen ke dalam kolam dapat dilakukan dengan cara membuat
undakan pada kolam atau meninggikan pipa inlet dari muka air dalam kolam. Pada saat air jatuh
ke kolam berikutnya yang lebih rendah, maka terjunan dan golakan air yang terjadi dapat
membantu menambah oksigen pada air di dalam kolam. Kebutuhan lahan untuk 50 KK dengan
kolam aerobik diperkirakan seluas 15 m2.
255
3.
Pengolahan air limbah dengan menggunakan sistem setempat memerlukan pengurasan yang
dilakukan secara berkala, umumnya 2-5 tahun sekali, untuk menghindari kejenuhan atau
penuhnya tangki septik. Pengurasan lumpur di dalam tangki dilakukan dengan menggunakan truk
tinja dan selanjutnya dibawa ke instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT).
IPLT adalah instalasi pengolahan air limbah yang dirancang hanya menerima dan mengolah
lumpur tinja yang diangkut melalui mobil (truk tinja) atau gerobak tinja. Lumpur tinja diambil
dari unit pengolah limbah tinja seperti tangki septik dan cubluk tunggal ataupun endapan lumpur
dari underflow unit pengolah air limbah lainnya. IPLT dirancang untuk mengolah lumpur tinja
sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Lumpur
akan diolah sehingga menjadi lumpur kering yang disebut dengan cake dan air olahan/efluen
(effluent) yang sudah aman untuk dibuang ataupun dimanfaatkan kembali. Lumpur kering (cake)
dapat dimanfaatkan menjadi pupuk dan air effluent dapat digunakan untuk keperluan irigasi.
IPLT hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang diangkut melalui truk tinja. Proses
penguraian lumpur tinja menggunakan proses biologis yang berlangsung dalam kondisi
anaerobik (tanpa udara)
3.1
Lumpur tinja berasal dari kotaran manusia (human feces) yang biasa disebut dengan black
water. Lumpur tinja terdiri dari padatan yang terlarut di dalam air yang sebagian besar berupa
bahan organik. Selain itu, lumpur tinja juga mengandung berbagai macam mikroorganisme seperti
bakteri, virus dan lain sebagainya. Kandungan mikroorganisme yang tinggi inilah yang
menjadikan lumpur tinja harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang atau dimanfaatkan untuk
menghindari penyebaran penyakit melalui air (foodborne disease). Karakteristik lumpur tinja
dapat dibedakan berdasarkan karakteristik fisik, kimia dan biologis. Karakteristik lumpur tinja
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut di bawah ini.
Lumpur tinja dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat dekomposisinya (Balai
Pelatihan Air Bersih & Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000), yaitu:
a. Lumpur tinja segar yaitu lumpur tinja berumur kurang dari 8 (delapan) jam
b. Night soil yaitu lumpur tinja yang telah mengalami proses dekomposisi antara 8 (delapan)
sampai 7 (tujuh) hari
c. Lumpur tinja (septage) yaitu tinja yang telah mengalami dekompisisi dalam jangka waktu 1-3
tahun
256
d. Sludge yaitu lumpur tinja yang telah mengalami dekomposisi pada IPLT yang khusus
dibangun
3.2
Satuan
Besaran
gr/orang/hari
gr/orang/hari
%
%
%
%
%
%
%
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
135-270
20-35
66-80
88-97
5-7
3-5,4
1-2,5
44-55
4,5-5
400.000
25.000
15.000
10.000
7.000
15.000
700
150
8.000
6,0
257
a. Pengangkutan lumpur tinja dari tangki septik, cubluk atau underflow unit pengolah air limbah
lainnya dengan menggunakan truk penyedot tinja (vaccum truck)
b. Pengolahan lumpur tinja di IPLT yang dilakukan beberapa tahap yaitu:
Pemisahan pasir yang dilakukan dengan memperlambat aliran lumpur tinja sehingga pasir
dapat mengendap pada tangki yang disebut dengan grit chamber
Pengeringan lumpur
3.3
Perencanaan IPLT yang baik memerlukan data yang baik pula. Jenis data yang dibutuhkan tidak
hanya data sekunder tetapi juga data primer. Proses pengumpulan data pada dasarnya tidak mudah
terutama pada daerah-daerah yang sistem pencatatan dan pelaporannya belum berjalan dengan
baik. Secara umum, data yang diperlukan untuk perencanaan IPLT diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Peta wilayah yang dilengkapi dengan data topografi
b. Data sosial dan ekonomi
c. Data geologi, hidrologi dan hidrogeologi seperti:
Jenis tanah (pasir, lempung, lanau) dan angka permeabilitas di lokasi IPLT
Sungai atau badan air yang dipakai sebagai pembuangan akhir air efluen IPLT yang dapat
menunjukkan letak, debit dan kualitas air
Jarak antara kegiatan lain dengan IPLT dan pemanfaatannya terkait dengan
penyelenggaraan penyediaan air bersih/minum
258
Proses pengumpulan data perlu direncanakan secara detil dan sistematis untuk menghemat waktu
dan biaya serta dapat berjalan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, diperlukan suatu
pedoman survey yang sistematis dan praktis sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan selama melakukan survey akan diuraikan berikut ini.
3.3.1
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap persiapan ini diantaranya adalah penyiapan petugas survey
dan petunjuk pelaksanaan survey. Petugas survey adalah petugas bagian perencanaan pada Dinas
Pekerjaan Umum pada masing-masing Pemerintah Daerah Tingkat II (Kotamadya atau
Kabupaten). Bila diperlukan, pelaksana survey dapat dibantu oleh konsultan perencana yang
memiliki tenaga-tenaga ahli yang memiliki latar belakang pengalaman dalam bidang pengelolaan
air limbah.
Sementara itu, petunjuk pelaksanaan survey berisikan tuntunan bagi petugas survey agar dapat
melaksanakan survey dan pengumpulan data secara akurat. Petunjuk pelaksanaan survey ini
berisikan jenis data yang dibutuhkan, sumber data, serta cara memperoleh data yang baik dan
lengkap. Data yang dikumpulkan ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder
berupa studi Latur, laporan-laporan dari instansi terkait, ataupun jurnal dan laporan lainnya yang
relevan dengan perencanaan. Sementara itu, data primer meliputi hasil pengukuran, percobaan
lapangan, pengamatan langsung (observasi), wawancara ataupun pemeriksaan laboratorium.
Sebelum survey berjalan, para petugas pelaksana survey perlu diberikan pembekalan mengenai
survey. Pembekalan tersebut meliputi pemahaman mengenai tujuan survey dan petunjuk
pelaksanaan survey yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan demikian, para petugas diharapkan
dapat bekerja lebih efisien dan terarah karena telah memahami tugasnya sebelum terjun ke
lapangan.
3.3.2
Pelaksanaan Survey
Survey dilaksanakan terkait dengan pengumpulan data yang diperlukan sesuai denga arahan yang
telah diberikan sebelumnya. Pengumpulan data tersebut meliputi:
(i) Pengumpulan data primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung di lapangan. Data ini menjadi data dasar
utma dalam tahap perencanaan dan pemilihan lokasi IPLT yang akan dibangun. Data primer
yang dikumpulkan meliputi:
259
Kondisi fisik wilayah pelayanan yang diperlukan untuk menunjang proses perencanaan
atau disain IPLT. Data tersebut meliputi kondisi topografi (kemiringan) wilayah, kondisi
geologi (kestabilan dan sifat kedap air tanah), kondisi geohidrologi (fluktuasi tinggi muka
air tanah), dan kondisi hidrologi (badan air sekitarnya, daerah genangan). Data kondisi
fisik ini sangat berguna pada proses pemilihan lokasi dan perencanaan pembangunan
(disain) sarana IPLT.
Data kependudukan yang meliputi jumlah penduduk (saat ini dan proyeksi di masa yang
akan datang), kepadatan penduduk (termasuk pola pertumbuhannya), tipr rumah dan
jumlah penghuninya, dan kondisi kesehatan masyarakat secara umum. Data
kependudukan ini akan digunakan untuk menentukan besaran kapasitas dan metode
pengolahan IPLT yang akan dipilih dan direncanakan serta evaluasi terhadap rencana
wilayah pelayanan sarana IPLT.
Kondisi sanitasi lingkungan yang meliputi data sumber air bersih, tingkat pelayanan air
bersih (termasuk harga air), cara pembuangan dan pengelolaan limbah tinja saat ini
(existing), dan fasilitas pembuangan air limbah dan hujan. Data kondisi sanitasi
lingkungan ini diperlukan dalam penilaian dan evaluasi kondisi sistem sanitasi lingkungan
di wilayah rencana terkait dengan pembangunan sarana IPLT.
Rencana induk sistem pembuangan air limbah (master plan) yang dapat memberikan
informasi sistem pembuangan dan pengolahan air limbah yang ada serta rencana
pengembangan dimasa yang akan datang. Rencana induk tersebut mencakup data
mengenai sistem pengolahan air limbah rumah tangga setempat (on-site sanitation
system) dan pengolahan air limbah secara terpusat (off-site sanitation system). Bila daerah
yang bersangkutan belum memiliki rencana induk ini, maka perencana harus dapat
260
memperkirakan dan menentukan secara global mengenai rencana daerah pelayanan IPLT
yang akan dipilih.
Kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang meliputi persepsi masyarakat terhadap kondisi
sanitasi saat ini, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang higiene, faktor agama dan
budaya yang mempengaruhi, dan kondisi ekonomi masyarakat (mata pencaharian,
penghasilan). Kondisi sosial, ekonomi dan budaya ini penting sebagai dasar dalam
melakukan evaluasi tingkat kemampuan, kesanggupan dan kemauan masyarakat setempat
untuk membayar biaya retribusi penyedotan dan pengolahan lumpur tinjanya.
Kelembagaan dan peraturan yang mencakup tugas & fungsi instansi pemerintah daerah,
pemerintah pusat di daerah, LKMD, PKK, koperasi, pemuka agama/adat, program
perbaikan kampung yang ada, peran lembaga pendidikan dan kesehatan (Puskesmas).
Data ini merupakan faktor non-teknis yang menjadi salah satu pertimbangan dalam
perencanaan pembangunan IPLT terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat serta
peranan instansi/lembaga yang dapat memberikan penyuluhan dan pembinaan terhadap
masyarakat. Untuk menunjang keberhasilan operasional IPLT, perlu dilakukan
inventarisasi perangkat peraturan perundang-undangan baik dari pemerintah pusat dan
daerah terutama yang menyangkut aspek perencanaan tangki septik, penyedoan
(pengurasan) dan pembuangan lumpur tinja, besaran struktur tarif pelayanan pengurasan,
peran dan keterlibatan pihak swasta dan lain sebagainya.
3.4
3.4.1
Perencanaan IPLT sangat bergantung pada penentuan rencana daerah pelayanan IPLT. Untuk itu
perlu dilakukan pengumpulan data dan kajian terhadap rencana induk sistem penanganan air
limbah yang ada di daerah yang bersangkutan serta data lainnya seperti yang telah diuraikan pada
bagian sebelumnya. IPLT pada dasarnya hanya akan menerima lumpur tinja yang berasal dari
tangki septik saja bukan campuran lumpur tinja dengan air limbah industri, rumah sakit ataupun
limbah laboratorium.
261
Dalam menentukan wilayah/daerah layanan, perencana perlu menetapkan target pelayanan IPLT.
Umumnya target tersebut berupa persentasi dari jumlah penduduk kota yang akan dilayani oleh
sarana IPLT misalnya target pelayanan ditetapkan 60% dari jumlah penduduk daerah tersebut.
Rencana induk (master plan) air limbah dan target pelayanan IPLT digunakan sebagai data bagi
perencana dalam membuat peta rencana daerah pelayanan sarana IPLT yang akan dibangun. Peta
daerah pelayanan merupakan gambaran kuantitatif dari daerah pelayanan IPLT yang
direncanakan. Dari data tersebut, dapat diperkirakan dan ditentukan besaran rencana sistem
pelayanan yang harus disediakan untuk dapat menangani volume lumpur tinja yang berasal dari
setiap sarana tangki septik yang ada di daerah perencanaan. Secara garis besar, proses
perencanaan IPLT dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.
3.4.2
Setelah daerah pelayanan ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan lokasi IPLT yang
akan dibangun. Beberapa aspek penting dalam menentukan lokasi IPLT diantaranya:
a. Efisiensi dan efektifitas sistem IPLT (investasi, operasi dan pemeliharaan)
b. Kemudahan transportasi lumpur tinja dari daerah layanan ke lokasi IPLT
c. Aman terhadap lingkungan disekitarnya (banjir, gempa bumi, resiko polusi, gunung merapi)
d. Dapat dikembangkan pada waktu yang akan datang seiring dengan berkembangnya kota atau
daerah layanan
262
Dalam proses penentuan lokasi lahan untuk sarana IPLT, sebaiknya diajukan atau dipilih beberapa
alternatif lokasi yang layak. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam penentuan
alternatif lokasi diantaranya:
a. Ketersediaan lahan dan aspek teknis yang meliputi beberapa persyaratan seperti:
Rencana lokasi harus terletak relatif jauh dari kawasan permukiman minimal pada radius
2 km
Rencana lokasi memiliki jalan akses (penghubung) dari wilayah pelayanan ke IPLT dan
sebaliknya, terletak pada jalur transportasi yang lancar dan terhindar dari kemacetan
Rencana lokasi haruslah merupakan daerah yang terletak pada lahan terbuka dengan
intensitas penyinaran matahari yang baik agar dapat membantu mempercepat proses
pengeringan endapan lumpur
263
Rencana lokasi harus berada pada lahan terbuka yang tidak produktif dengan nilai
ekonomi tanah yang serendah mungkin
b. Karakteristik lahan
Pertimbahan karakteristik lahan berkaitan dengan jenis fasilitas IPLT yang akan dibangun.
Beberapa karakteristik lahan yang harus dipenuhi adalah:
Merupakan daerah yang memiliki struktur geologi yang baik sehingga mampu memikul
beban konstruksi atas unit pengolah beserta bangunan pelengkapnya
Lahan memiliki karakteristik relatif kedap air (permeabilitas rendah) sehingga dapat
menghemat biaya investasi namun tetap aman dari resiko pencemaran
Sanitasi dan kesehatan lingkungan bagi masyarakat yang bermukim atau beraktifitas di
sekitar IPLT perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya peningkatan gangguan
kesehatan
e. Faktor resiko eksternal seperti gempa bumi, longsor, banjir dan bencana lainnya yang dapat
mengancam keberadaan sarana IPLT serta potensi pencemaran lingkungan sekitarnya akibat
bencana tersebut
264
3.4.3
Kapasitas IPLT ditentukan dengan menghitung jumlah sarana tangki septik yang berada di daerah
pelayanan. Data ini dapat diperoleh dari puskesmas-puskesmas ataupun dinas kesehatan yang
berada di dalam wilayah terkait. Bila data jumlah tangki septik sulit didapat atau diinventarisasi,
maka dapat digunakan pendekatan (50-60)% dari jumlah penduduk yang ada di dalam daerah
layanan memiliki tangki septik. Selanjutnya, perhitungan kapasitas IPLT juga memerlukan
informasi perkiraan jumlah penghuni atau pengguna tangki septik dan periode pengurasan lumpur
dari tangki septik. Kapasitas (debit) IPLT selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:
(1)
Keterangan:
Debit lumpur tinja dalam L/hari atau dibagi dengan 1.000 untuk konversi menjadi m3/hari
adalah jumlah lumpur yang akan masuk dan diolah di IPLT setiap harinya
3.4.4
Sistem pengolahan yang akan dipilih dalam perencanaan IPLT ini haruslah sistem yang sesuai
dengan karakteristik dan kondisi daerah layanan. Pemilihan sistem ini sebaiknya menyesuaikan
dengan hasil analisis data yang berhasil dikumpulkan. Pengolahan lumpur tinja perlu
mempertimbangkan beberapa hal yaitu:
Efektif, murah dan sederhana dalam hal konstruksi maupun operasi dan pemeliharaannya
Pengolahan lumpur tinja dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Beberapa alternatif
metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum-Direktorat
265
Jenderal Cipta Karya berdasarkan pada jumlah penduduk yang dilayani. Allternatif pengolahan
tersebut dapat dilihat pada gambar-gambar berikut di bawah ini.
BOD= 5.000
mg/l
BOD= 2.000
mg/l
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik I
(reduksi BOD >
60%)
BOD= 120
mg/l
BOD= 800
mg/l
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik II
(reduksi BOD
> 60%)
Kolam
Stabilisasi
Fakultatif
(reduksi BOD
> 70%)
Kolam
Maturasi
(reduksi BOD
> 70%)
400 mg/l
(pengenceran)
BOD 50
mg/l
Kolam
Pengering
Lumpur
Keterangan:
Alternatif I ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 50.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m
266
Badan air
Tangki Imhoff
(reduksi BOD >
30%)
BOD= 5.000
mg/l
Truk tinja
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik I
(reduksi BOD >
60%)
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik II
(reduksi BOD
> 60%)
Kolam
Stabilisasi
Fakultatif
(reduksi BOD
> 70%)
Kolam
Maturasi
(reduksi BOD
> 70%)
400 mg/l
(pengenceran)
BOD 50 mg/l
Kolam
Pengering
Lumpur
Badan air
Keterangan:
Alternatif II ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m
267
Tangki Imhoff
(reduksi BOD
> 30%)
Truk tinja
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik I
(reduksi BOD
> 70%)
BOD= 90 mg/l
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik II
(reduksi
BOD > 70%)
Kolam
Stabilisasi
Fakultatif
(reduksi BOD
> 70%)
Kolam
Maturasi
(reduksi BOD
> 70%)
BOD 50 mg/l
Kolam
Pengering
Lumpur
Badan air
Keterangan:
Alternatif III ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 250 m
Pilihan metode atau teknologi pengolahan lumpur tinja lainnya dapat dilihat pada Gambar 3.2 di
bawah ini.
268
3.4.5
Penyiapan disain dan detail engineering merupakan langkah terakhir yang dilakukan dalam
perencanaan IPLT. Disain yang dimaksud tidak hanya unit-unit pengolahan yang akan digunakan
pada IPLT tetapi juga menyangkut dengan perlengkapan penunjang operasional IPLT lainnya
seperti kantor, jalan operasi, gudang, laboratorium, sumur pemantauan (monitoring) kualitas air
tanah, pompa dan perlengkapan lainnya. Selain itu di dalam penyusunan disain IPLT, luas lahan
yang dibutuhkan haruslah ditambahkan untuk keperluan zona penyangga (buffer zone).
Selanjutnya perhitungan anggaran biaya pembangunan (investasi), operasi dan pemeliharaan
dapat dilakukan bila disain IPLT telah selesai dilakukan.
Bila disain dan perhitungan rencana anggaran biaya telah selesai dilakukan, kegiatan
pembangunan IPLT dapat dilaksanakan. Pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara
keseluruhan unit-unit IPLT namun umumnya dilakukan secara bertahap bergantung pada
269
ketersediaan dana investasi dan cakupan daerah layanan yang ditetapkan. Selain itu, pentahapan
pembangunan ini juga membantu mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan IPLT pada saat
awal operasi biasanya cakupan pelayanan IPLT masih terbatas. Pembangunan tahap berikutnya
dapat dilanjutkan seiring dengan pengembangan cakupan pelayanan IPLT pada masa selanjutnya.
3.5
Teknologi yang umum digunakan untuk mengolah lumpur tinja di Indonesia adalah kombinasi
tangki imhoff dan kolam stabilisasi atau hanya menggunakan kolam stabilisasi saja. Rangkaian
unit pengolahan yang umum digunakan dalam IPLT dapat dilihat pada bagian 5.4 di atas. Jenis
dan fungsi unit-unit pengolahan yang digunakan pada IPLT akan diuraikan berikut ini.
3.5.1
Unit pengumpul atau sering disebut juga dengan tangki ekualisasi tidak selalu digunakan pada
IPLT. Umumnya tangki ekualisasi digunakan pada pengolahan air limbah domestik terpusat (offsite system) yang mengolah air limbah campuran black water dan grey water. Tangki ekualisasi
ini berfungsi untuk menghomogenkan lumpur tinja yang masuk ke IPLT mengingat karakteristik
lumpur tinja yang tidak selalu seragam antar tangki septik. Selain itu, pada dasarnya fungsi utama
tangki ekualisasi adalah untuk mengatur agar debit aliran lumpur yang masuk ke unit berikutnya
menjadi konstan dan tidak berfluktuasi. Hal ini penting mengingat unit pengolahan yang
digunakan pada IPLT adalah pengolahan secara biologis yang rentan terhadap fluktuasi baik
aliran (debit/kapasitas) maupun kualitas lumpur tinja yang masuk.
Dengan adanya tangki ekualisasi ini, maka operasional IPLT dapat lebih optimal dan dapat
memperkecil ukuran/dimensi instalasi karena debit/kapasitas pengolahan ke unit berikutnya dapat
diatur menjadi konstan. Untuk menghindari bau, maka pada tangki ekualisasi ini ditambahkan
pengaduk sehingga lumpur yang masuk tidak hanya diaduk sehingga konsentrasinya menjadi
homogen tetapi juga membantu proses aerasi (penambahan oksigen).
270
3.5.2
Tangki Imhoff
Dosing
chamber
Partially
treated
effluent
Raw sludges
intlet
Upper
chamber
Sludges outlet
pipe to sludge
disposal
Gas
bubbles
Sludges
45o slope
Section
Proses pengolahan yang terjadi pada tangki imhoff dimulai dari ruang sedimentasi dimana lumpur
tinja segar dialirkan sebagai influen pada unit ini. Selanjutnya, padatan yang terpisah akan
mengendap pada bagian dasar ruang sedimentasi yang diberi bukaan (opening) sehingga padatan
tersebut dapat langsung bergerak menuju ke ruang pencernaan. Adanya sekat mencegah padatan
271
tersebut masuk kembali ke ruang sedimentasi. Pada ruang pencerna, padatan akan terdekomposisi
secara anaerobik (tanpa kehadiran oksigen) sehingga menjadi lebih stabil dalam waktu 2-4 jam.
Mekanisme aliran proses yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Proses yang terjadi pada tangki imhoff akan menghasilkan scum pada bagian permukaan tangki
dan biogas dari proses pencernaan (digestion). Biogas yang terbentuk akan terkumpul pada pipa
vent yang disediakan sehingga tidak mengganggu proses pengendapan pada ruang sedimentasi.
Frasa cairan (liquid fraction) yang telah terpisah hanya tinggal selama beberapa jam saja didalam
tangki imhoff yang selanjutnya dialirkan menuju unit pengolahan berikutnya. Sementara itu,
padatan yang terbentuk dan telah stabil akan tetap tinggal di dalam tangki selama beberapa tahun
namun tetap memerlukan pengurasan secara berkala yang selanjutnya dapat dikeringkan pada unit
pengering lumpur.
Gas
Manhole
Potongan
melintang
Ruang
pengendapan
Inflow
Outflow
Potongan memanjang
Ruang
pencernaan
Kelebihan
Menyisihkan padatan dari lumpur tinja sebelum melewati jaringan perpipaan selanjutnya
sehingga tidak hanya mengurangi potensi penyumbatan juga dapat membantu mengurangi
dimensi pipa
Operasi dan pemeliharaan mudah sehingga dapat menggunakan sumber daya manusia dengan
pengetahuan minimal
272
Kelemahan
Pemeliharaan merupakan suatu keharusan
Jika tidak dioperasikan dan dirawat dengan baik, maka resiko penyumbatan pada pipa
pengaliran
Membutuhkan pengolahan lebih lanjut untuk efluen baik pada frasa cair maupun padatan yang
telah dipisahkan
Efisiensi penyisihan rendah
Kriteria Disain
Tangki imhoff dirancang dengan waktu detensi 2-4 jam, perbandingan lebar dan panjang tangki
1:(2-4) dan dengan kedalaman (7,2-9) m. Kapasitas ruang pencerna yang disediakan sebesar 2,5
m3/kapita. Tangki dapat dibuat tertutup ataupun terbuka namun bila tertutup perlu disediakan
ventilasi untuk biogas lebih kurang 20% dari luas permukaan. Efisiensi penyisihan BOD berkisar
antara (30-50)% yang bergantung pada jenis outlet yang digunakan.
Komponen yang perlu disiapkan untuk tangki imhoff adalah ruang sedimentasi, ruang pencerna,
pipa dan ruang penampung gas, pipa atau saluran inlet dan outlet, pipa penguras lumpur, struktur
tangki dengan atau tanpa manhole (lubang kontrol). Dimensi masing-masing komponen dapat
dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20 berikut ini.
Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk mendisain tangki imhoff adalah:
Jumlah unit yang dapat diaplikasikan dalam satu tangki imhoff maksimum 2 (dua) unit
Kecepatan aliran horizontal ruang sedimentasi adalah < 1 cm/detik
Beban permukaan (surface loading) ruang sedimentasi sebesar 30 m3/(m2.hari)
Efisiensi pemisahan padatan tersuspensi (TSS) pada ruang sedimentasi (40-60)%
Waktu detensi ruang sedimentasi (2-4) jam
Waktu detensi ruang pencerna (1-2) bulan
Laju endapan lumpur tinja pada ruang sedimentasi 0,5 L/orang/hari
Laju endapan lumpur pada ruang pencerna 0,06 L/orang/hari
273
274
275
Zona Sedimentasi
Zona Lumpur
Panjang
Lebar
Kedalaman
Kedalaman
Kapasitas
(L)
(B)
(H1)
(H2)
meter
meter
7
5.3
10
5
7
3.5
300
2
10
5
Sumber: Petunjuk Teknis CT/AL/Re-TC/001/98
3.5.3
Lumpur
terbuang
meter
m3
meter
m3/hari
2
2
2
2
180
360
5
6
5
6
6
12
540
18
276
Lumpur yang terbentuk merupakan hasil dari pemisahan padatan yang terlarut di dalam influen
yang kemudian akan mengendap pada bagian dasar kolam. Selanjutnya, material organik yang
masih tersisa akan diuraikankan/didegradasi lebih lanjut.
Kelebihan
Kelemahan
277
Kriteria Disain
Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m. Pada kedalaman ini akan terbentuk
kondisi anaerob dan mampu menyimpan lumpur hingga akumulasi (30-40) L/orang/tahun. Waktu
detensi menyesuaikan dengan temperatur di lokasi pembangunan IPLT. Standar pemilihan waktu
detensi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Waktu detensi tidak disarankan terlalu lama
karena akan merubah kolam anaerobik menjadi kolam fakultatif.
Kolam berbentuk persegi panjang dengan rasio panjang banding lebar sebesar (2-4):1. Kolam
anaerobik umumnya diaplikasikan 2 (dua) unit kolam yang dibuat paralel atau seri sehingga dapat
mengantisipasi jika salah satu kolam berhenti beroperasi untuk perawatan. Kolam diberi talud
sebesar 1:3 untuk memudahkan perawatan kolam.
Untuk mendisain kolam anaerobik, laju beban BOD yang akan digunakan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (2) ataupun ditentukan dengan menggunakan Tabel 6 di bawah ini.
Laju beban BOD = [Konsentrasi BOD masuk (influen) x Debit lumpur tinja] .................. (2)
Volume kolam
Keterangan:
Laju beban BOD ( gr/m3/hari) dapat juga digunakan 500-800 gr BOD/m3.hari
Konsentrasi BOD masuk (influen (mg/L)
Debit lumpur tinja yang akan diolah (m3/hari)
Volume kolam (m3)
Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m, lebih dalam daripada kolam fakultatif
dan maturasi dengan tujuan untuk membentuk dan mempertahankan kondisi anaerobik bagi
proses degradasi oleh mikroba yang terjadi didalamnya.
278
Acuan
Waktu
Detensi
(Hari)
Barnes, Bliss,
et al (1981)
8 - 40
Metcalf and
Eddy (1979)
5 - 50
Eckenfelder
(1980)
5 - 50
Corbitt
(1989)
1 - 50
Konversi Laju
Beban BOD
(kg/m3-day)
Kedalaman
Kolam
(m)
Aplikasi
0.007 - 0.011
2.5 - 5.0
0.005 - 0.015
2.5 - 5.0
0.008 - 0.130
2.4 - 4.6
2.4 - 6.1
0.05 - 0.25
Sumber:
Barnes, D, PJ Bliss, BW Gould and HR Valentine (1981) Water and Wastewater Engineering
Systems, Longman Scientific and Technical, Essex
Metcalf and Eddy (1979) Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, Reuse, McGrawHill, New York, page 553
Cotoh perhitungan
Bila kolam anaerobik didisain dengan waktu detensi 3 hari dan beban BOD sebesar 500
gr/m3.hari. Debit lumpur tinja yang akan diolah sebesar 25 m3/hari. Konsentrasi BOD lumpur tinja
yang akan diolah adalah sebesar 2.000 mg/L.
Volume kolam
25 m3/hari x 3 hari = 75 m3
279
Volume kolam
Hasil perhitungan kedua volume dibandingkan untuk mendapatkan volume kolam maksimum dan
minimum. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka volume kolam berada di antara (75-100)
m3 yang selanjutnya ditetapkan saja menjadi 80 m3 (sebagai contoh). Untuk perhitungan dimensi
kolam yang baik maka ditetapkan rasio panjang dan lebar kolam sebesar 3:1 dan kedalaman
kolam 3 m. Maka, luas permukaan kolam adalah:
80 m3 / 3 m = 26,67 m2
26,67
3 lebar x lebar
(26,67/3)0,5 = 2,98 m 3m
Lebar
Panjang =
3mx3=9m
Sebagai cadangan maka digunakan 2 (dua) unit kolam dengan dimensi panjang 9m, lebar 3m dan
kedalaman 3m. Hasil perhitungan dapat digambarkan sebagai berikut:
3m
KOLAM
ANAEROBIK 1
9m
KOLAM
ANAEROBIK 2
9m
280
3m
6m
Kolam dibuat secara seri untuk mendapat hasil pengolahan yang lebih baik karena waktu detensi
yang akan bertambah.
3.5.4
281
Kelebihan
Sangat efektif menurunkan jumlah atau konsentrasi bakteri patogen hingga (60-99)%
Kelemahan
Waktu tinggal yang lama, bahkan beberapa Latur menyarankan waktu tinggal antara (20-150)
hari
Jika tidak dirawat dengan baik, maka kolam dapat menjadi sarang bagi serangga seperti
nyamuk
282
Kriteria Disain
Kolam fakultatif mampu mengolah limbah dengan beban BOD berkisar antara (40-60) gr/m3.
Efektifitas kolam bergantung pada lamanya limbah tinggal di dalam kolam (waktu detensi) yang
biasanya berkisar antara (20-40) hari. Dengan waktu detensi tersebut, maka efisiensi penyisihan
BOD dapat mencapai (70-90)% dan dapat pula menurunkan konsentrasi coliform sebesar (6099)%.
Kolam fakultatif dirancang berdasarkan beban BOD maksimum per-unit luas sehingga kolam
memiliki zona aerobik dan anaerobik. Besarnya beban BOD pada kolam fakultatif dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (8) berikut ini:
Persamaan ini didapat dari pengalaman sukses perancangan dan operasional kolam fakultatif yang
ada di dunia dilihat berdasarkan beban BOD dan temperatur. Penentuan beban BOD ini menjadi
sangat penting karena akan menentukan kecepatan pembentukan lumpur di dalam kolam yang
selanjutnya akan mempengaruhi stratifikasi kolam menjadi zona aerobik dan anaerobik.
Kedalaman kolam fakultatif berkisar antara (0,9-2,4) m. Kedalaman ini masih dapat mendukung
pertumbuhan algae dan juga cukup dalam untuk mendapatkan kondisi anaerobik pada bagian
dasar kolam. Kedalaman kolam arus tetap dipertahankan untuk menghindari terjadinya penguapan
yang akan mengganggu stratifikasi zona yang ada juga mencegah bau. Rasio panjang dan lebar
adalah (2-4):1.
283
Contoh Perhitungan
Kolam fakultatif akan dibangun untuk sebuah IPLT yang melayani 10.000 jiwa dimana hanya
70% populasi yang memiliki tangki septik. Cakupan layanan IPLT hanya sebesar 60%. Hasil
pengamatan temperatur rata-rata pada bulan terdingin sebesar 25oC. Volume timbulan lumpur
tinja menurut UNDP adalah sebesar 25 L/orang/tahun. Beban BOD yang akan masuk ke kolam
2.000 mg/l.
Jumlah pemakai tangki septik
Beban BOD
Rencana disain:
Volume kolam / Debit lumpur yang diolah tiap hari .... (10)
Untuk mempersingkat waktu, maka kolam fakultatif dibuat seri sehingga waktu operasi menjadi
lebih singkat.
Luas permukaan kolam = (panjang x lebar) kolam ..........................................................(7)
15,16m2
3 lebar x lebar
Lebar
Panjang
2,3 m x 3 = 6,9 m
284
Sebagai cadangan maka digunakan 2 (dua) unit kolam dengan dimensi panjang 6,9m, lebar 2,3m
dan kedalaman 2,5m. Hasil perhitungan dapat digambarkan sebagai berikut:
KOLAM
FAKULTATIF 1
2,3m
6,9m
KOLAM
FAKULTATIF2
2,5m
6,9m
3.5.5
Kelebihan
285
Kelemahan
Kriteria Disain
Kolam maturasi berbentuk kolam penampung dengan perbandingan panjang dan lebar (2-4):1.
Kedalaman kolam dibuat antara (1-2) m sehingga dapat mempertahankan kondisi aerobik.Waktu
detensi pada kolam maturasi antara (5-15) hari. Dasar kolam harus dibuat kedap air untuk
menghindari terjadinya rembesan atau infiltrasi ke dalam tanah.
Kolam maturasi didesain berdasarkan pada prinsip pemisahan kandungan fecal coliform. Selain
itu, jumlah kolam yang dibutuhkan bergantung pada jumlah bakteri fecal. Biasanya untuk dua
kolam dengan waktu detensi (5-10) hari akan memiliki air olahan dengan konsentrasi BOD di
bawah 30 mg/l. Jumlah bakteri coliform dalam lumpur tinja dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan di bawah ini:
Ne = Ni / [ 1 + (Kb x t) ] .....(11)
Keterangan:
Ne
Ni
Kb
waktu operasi
Persamaan (11) di atas digunakan untuk menghitung effluent pada satu kolam saja. Bila terdapat
beberapa kolam yang disusun secara seri, maka perhitungan menggunakan persamaan (13) di
bawah ini.
286
t1, t2, ..tn = waktu operasi kolam ke-1, kolam ke-2, kolam ke-n
Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk merancang kolam maturasi adalah sebagai
berikut:
Tinggi jagaan (free board)
(0,3-0,5) m
(40-60) gr BOD/m3.hari
60%
BOD influent
400 mg/l
BOD effluent
> 50 mg/l
Contoh perhitungan:
Kolam maturasi akan dibangun untuk sebuah IPLT yang melayani 10.000 jiwa dimana hanya 70%
populasi yang memiliki tangki septik. Cakupan layanan IPLT hanya sebesar 60%. Hasil
pengamatan temperatur rata-rata pada bulan terdingin sebesar 25oC. Konsentrasi bakteri coliform
pada air limbah (influent) yang masuk ke kolam maturasi adalah 5 x 107/100 ml. Volume timbulan
lumpur tinja menurut UNDP adalah sebesar 25 L/orang/tahun. Direncanakan akan dibangun 2
(dua) unit kolam maturasi dengan waktu detensi 12 hari.
287
Rencana disain:
Kb
Ne
3,456m3 : 2m = 1,728m21,8m2
Sehingga kolam maturasi yang direncanakan adalah: 2 (dua) kolam yang disusun seri, dengan luas
1,8m2 kedalaman 2m dan volume 3,456m3
3.5.6
Perencanaan dimensi ketiga kolam (kolam anaerobik, fakultatif, aerasi dan maturasi) dapat
menggunakan Tabel 7 berikut di bawah ini.
Kriteria perencanaan untuk inlet dan outlet kolam-kolam ini adalah sebagai berikut:
288
Panjang pipa inlet kolam stabilisasi dipasang hingga 1/3 panjang kolam atau maksimal 15m
Konstruksi interkoneksi antar kolam dibuat untuk memudahkan pengambilan sampel limbah
3.5.7
2m
0.5 m
1.5 m
0.5 m
289
Jenis Kolam
Kolam Aerasi
2m
0.5 m
Kolam Maturasi
1m
0.5 m
3
PILIHAN I
Jumlah
Penduduk
dilayani
Debit
(1.000 orang)
m3/hari
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik I
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik II
Kolam
Stabilisasi
Fakultatif
Kolam
Maturasi
lxb
lxb
lxb
lxb
m2
m2
m2
m2
20
10
63
16
25
11
89
17
40
13
30
15
94
18
38
13
133
20
10
60
15
40
20
125
20
10
50
14
178
23
11
80
16
50
25
156
22
11
63
16
222
25
12
100
18
60
30
188
24
12
75
17
267
27
13
120
19
10
PILIHAN II
Jumlah
Penduduk
dilayani
Debit
(1.000 orang)
m3/hari
290
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik I
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik II
Kolam
Stabilisasi
Fakultatif
Kolam
Maturasi
lxb
lxb
lxb
lxb
m2
m2
m2
m2
50
25
109
19
10
44
14
156
21
11
100
18
75
38
164
23
11
66
16
233
25
13
150
21
11
100
50
219
25
13
88
18
311
29
14
200
24
12
125
63
273
28
14
109
19
10
389
32
16
250
26
13
150
75
328
30
15
131
21
10
467
34
17
300
28
14
PILIHAN III
Jumlah
Penduduk
dilayani
Debit
(1.000 orang)
m3/hari
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik I
Kolam
Stabilisasi
Anaerobik II
Kolam
Stabilisasi
Fakultatif
Kolam
Maturasi
lxb
lxb
lxb
lxb
m2
m2
m2
m2
100
50
219
25
13
63
16
167
22
11
150
21
11
125
63
273
28
14
78
17
208
24
12
188
23
12
150
75
328
30
15
94
18
250
26
13
225
25
12
175
88
383
32
16
109
19
10
292
28
14
263
27
13
200
100
438
34
17
125
20
10
333
30
15
300
28
14
225
113
492
36
18
141
21
11
375
31
16
338
30
15
250
125
547
38
19
156
22
11
417
33
16
375
31
16
275
138
602
39
20
172
23
11
458
34
17
413
32
16
300
150
656
41
20
188
24
12
500
35
18
450
34
17
Kelebihan
Tidak memerlukan listrik karena proses pengeringan lumpur berjalan secara alami dengan
menggunakan sinar matahari
Kelemahan
Memerlukan lahan yang luas mengingat lapisan lumpur yang diaplikasikan tidak boleh tebal
(maksimum 20 cm) untuk mempercepat proses pengeringan
Mengeluarkan bau
291
Kriteria Disain
Bak pengering lumpur berbentuk empat persegi panjang dengan kedalaman (0,5-1)m. Rasio antara
panjang dan lebar berkisar antara (3-6): 1. Ketinggian dinding bak di atas pasir dibuat 45cm
dengan tinggi jagaan (15-25)cm. Dinding bak bisa dibuat dari beton, pasangan bata dengan spesi
semen.
Satu unit bak pengering Iumpur ditetapkan luas permukaannya 5 x 15 m2. Ketebalan lumpur basah
yang diaplikasikan pada unit pengering lumpur ini adalah setebal (30-45)cm dengan waktu detensi
7 (tujuh) hari. Dimensi bak pengering lumpur ini dapat dilihat pada Gambar 3.16 dan Tabel 3.6
berikut ini.
292
Kapasista
s Tinja
Terolah
Berat Solid
mengendap
di Imhoff
Volum
Lumpur
Mengenda
p
(m3/hari)
(gr/hari)
(m3/hari)
25
225000
(m3/hari
)
3
50
450000
11
Sisa
Lumpur
Inert
Kebutuha
n Dying
bed
Operasi
Kebutuha
n Dying
bed Standby
Kebutuha
n Lahan
untuk
Perluasan
(unit)
(unit)
(unit)
Kapasista
s Tinja
Terolah
Berat Solid
mengendap
di Imhoff
Volum
Lumpur
Mengenda
p
Kebutuha
n Dying
bed
Operasi
Kebutuha
n Dying
bed Standby
Kebutuha
n Lahan
untuk
Perluasan
(m3/hari)
(gr/hari)
(m3/hari)
75
675000
17
(m3/hari
)
10
(unit)
(unit)
(unit)
200
100
900000
23
14
250
125
1125000
28
17
300
150
1350000
34
20
350
175
1575000
39
24
400
200
1800000
45
27
450
225
2025000
51
30
500
250
2250000
56
34
550
275
2250000
62
37
600
300
2475000
68
41
650
325
2700000
73
44
10
700
350
2925000
79
47
11
750
375
3150000
84
51
11
800
400
3600000
90
54
12
850
425
3825000
96
57
13
900
450
4050000
101
61
14
950
475
4275000
107
64
14
1000
500
4500000
113
68
15
1050
525
4725000
118
71
16
1100
550
4950000
124
74
17
1150
575
5175000
129
78
17
1200
600
5400000
135
81
18
1250
625
5625000
141
84
19
Jumlah
Penduduk
Dilayani
(1.000
org)
150
Catatan:
Sisa
Lumpur
Inert
293
Pipa distribusi lumpur ke dalam bak (pipa inlet) berdiameter 150 mm yang terbuat dari bahan GI.
Namun, pipa PVC juga dapat digunakan tetapi harus ditanam ke dalam dinding bak. Pipa inlet
dipasang pada salah satu sisi memanjang tiap kompartemen bak. Pipa drainase untuk menampung
dan mengalirkan supernatan dibuat dengan diameter minimal 15cm. Pipa peluap (pelimpah)
dipasang pada dinding bak dengan diameter (100-150)mm.
Kadar air lumpur kering dapat mencapai nilai optimal pada kisaran (70-80)%, Ketebalan lumpur
kering di atas pasir (20-30)cm. Media penyaring yang digunakan adalah pasir dan kerikil.
Spesifikasi media pasir yang digunakan pada lapisan atas bak dibuat dengan kriteria:
294
295
Selanjutnya untuk media kerikil, spesifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kerikil dengan diameter (3-6)mm yang diaplikasikan 15cm di atas dasar bak
Kerikil dengan diameter (20-40)mm dipasang setebal 15cm menutupi (atas,kanan dan kiri)
pipa drainase (penangkap supernatan) dengan ketebalan (10-15)cm
Profil media pada bagian bawah bak dapat dilihat pada Gambar 3.18 berikut ini.
Untuk setiap kompartemen dibuat dengan lebar (4,5-7,5)m dan panjang (3-6) x lebar
Lebar salah satu sisi tanggul minimal 2,5 m sebagai jalan operasi
Kemiringan dinding tanggul bagian dalam I (V):2,5 (H) dan bagian luar I (V):1,5(H)
Kepadatan konstruksi tanggul mempunyai densitas kering maksimal sebesar 90% yang
ditentukan dengan tes modifikasi proktor. Shrinkage tanah yang terjadi pada saat pemadatan
harus sekitar (10-30)%. Koefisien permeabilitas tanggul padat tidak boleh lebih dan 10-7
m/detik.
Persyaratan permeabilitas tanah untuk penyediaan lapisan (lining) adalah
a. k = 10-6 m/detik maka seluruh kolam perlu diberi lining
296
b. k = (10-7-10-6) m/detik maka kolam primer dan sekunder saja yang perlu diberi lining
c. k = 10-8 m/detik maka kolam tidak perlu diberi lining
Profil Hidrolis
Profil hidrolis untuk IPLT ini dibuat dengan kriteria sebagai berikut:
Beda elevasi muka air antar kolam dibuat dengan ketinggian (5-10)cm
Elevasi dasar pengering lumpur haruslah lebih tinggi daripada muka air kolam stabilisasi
anaerobik I atau kolam aerasi aerobik
Elevasi muka air tangki imhoff harus lebih tinggi minimal 1,8m di atas pipa inlet pengering
lumpur
297
Elevasi muka air sumur pompa harus lebih tinggi daripada muka air kolam stabilisasi
anaerobik I atau kolam aerasi aerobik
Elevasi muka air maksimal badan air penerima 0,5m di bawah outlet kolam maturasi atau
dibuat lebih dalam
Profil hidrolis untuk IPLT dapat dilihat pada Tabel 3.6 di bawah ini.
ELEVASI (m)
Konstruksi Atas
Unit Bangunan
(Puncak)
Muka Air
Konstruksi Dasar
Unit Bangunan
(Invert)
Pilihan I
Platform
+ 0.30
- 0.10
+ 0.00
- 0.20
- 2.70
+ 0.00
- 0.30
- 2.80
+ 0.00
- 0.40
- 2.00
Kolam Maturasi
+ 0.00
- 0.50
- 1.70
Pengering Lumpur
+ 1.30
- 0.10
- 1.00/lebih dalam
+ 0.30
- 0.10
- 2.00
Ram (Tanjakan)
+ 1.70/lebih tinggi
Tangki Imhoff
+ 3.20/lebih tinggi
+ 2.90/lebih tinggi
+ 5.80/lebih tinggi
+ 0.00
- 0.20
- 2.70
+ 0.00
- 0.30
- 2.80
+ 0.00
- 0.40
- 2.00
Kolam Maturasi
+ 0.00
- 0.50
- 1.70
Pengering Lumpur
+ 1.30
- 0.10
- 1.00/lebih dalam
+ 0.30
- 0.10
- 2.00
+ 1.70/lebih tinggi
Badan Air
Pilihan II
Sumur Pompa
Badan Air
Pilihan II
Sumur Pompa
Ram (Tanjakan)
298
ELEVASI (m)
Konstruksi Atas
Unit Bangunan
Muka Air
(Puncak)
+ 3.20/lebih tinggi
+ 2.90/lebih tinggi
Konstruksi Dasar
Unit Bangunan
(Invert)
+ 5.80/lebih tinggi
+ 0.00
- 0.20
- 2.70
+ 0.00
- 0.30
- 2.80
+ 0.00
- 0.40
- 2.00
Kolam Maturasi
+ 0.00
- 0.50
- 1.70
Pengering Lumpur
+ 1.30
- 0.10
- 1.00/lebih dalam
Badan Air
Penerapan profil hidrolis haruslah menyesuaikan dengan elevasi muka tanah asli untuk
memperkecil biaya pekerjaan gali dan urug tanah. Selain itu, elevasi dibuat semaksimal
mungkin terhadap badan air penerima untuk memperkecil biaya operasi pompa.
3.6
Bangunan pelengkap yang dibutuhkan untuk IPLT mengacu pada Petunjuk Teknis No.
CT/AL/Re-TC/001/98 tentang Tata Cara Perencanaan IPLT Sistem Kolam adalah sebagai berikut:
a. Platform (dumping station) yang merupakan tempat truk tinja untuk mencurahkan (unloading)
lumpur tinja ke dalam tangki imhoff ataupun bak ekualisasi (pengumpul)
b. Kantor yang diperuntukkan bagi tenaga kerja pada IPLT
c. Gudang untuk tempat penyimpanan peralatan, suku cadang unit-unit di dalam IPLT, dan
perlengkapan lainnya
d. Laboratorium penting disediakan untuk pengontrolan kualitas effluent dari tiap-tiap unit
pengolahan serta effluent yang akan dibuang ke badan air
e. Jalan masuk dan jalan operasi untuk kelancaran operasional baik truk tinja maupun pekerja di
IPLT
f. Sumur pemantauan (monitoring) kualitas air tanah disediakan untuk memantau apakah IPLT
mengakibatkan pencemaran air terhadap sumur-sumur milik masyarakat yang berada di
sekitar IPLT
g. Fasilitas air bersih untuk mendukung kegiatan pengoperasian IPLT
h. Alat pemeliharaan dan keamanan
299
i.
j.
Pagar pembatas untuk mencegah gangguan serta mengamankan aset yang ada di dalam
lingkungan IPLT
Generator
300
MODUL 06
PERENCANAAN PENGELOLAAN
AIR LIMBAH DENGAN
SISTEM TERPUSAT
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1.
2.
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Koefisien Kekasaran Pipa ........................................................................................ 303
Tabel 1.2 Nilai Populasi Ekuivalen Untuk Setiap Kegiatan ................................................... 307
Tabel 1.3. Konversi Nilai PE Terhadap Diameter Pipa ........................................................... 308
Tabel 1.4. Jarak Antar MH Pada Jalur Lurus ........................................................................... 319
Tabel 1.5 Alternatif Kapasitas Air Penggelontor ..................................................................... 321
Tabel 1.6 Dimensi Lubang Inspeksi......................................................................................... 331
Tabel 2.1. Persyaratan Teknis Saringan ................................................................................... 333
Tabel 2.2 Kriteria Desain Grit Chamber.................................................................................. 337
Tabel 2.3 Design Kriteria Untuk Masing Masing Tipikal Bak Pengendap Pertama ............... 338
Tabel 2.4. Ciri-ciri Beberapa Bangunan Pengolahan Biologis Untuk Air Limbah ..343
Tabel 2.5. Parameter Desain untuk Kolam Stailisasi345
Tabel 2.6. Perbandingan Sistem Dengan Aerasi 349
Tabel 2.7. Karakteristik Peralatan Aerator .354
Tabel 2.8. Hubungan inlet BOD dan beban BOD 363
Tabel 2.9. Kriteria Perencanaan Gravity Sludge Thickener 370
Tabel 2.10. Desain Kriteria untuk Pengeraman Anaerobik
371
Tabel 2.11. Penggunaan Daur Ulang dan Kendala Potensial 375
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1-1 Perpipaan Retikulasi ............................................................................................. 302
Gambar 1-2 Pipa Induk Air Limbah ......................................................................................... 302
Gambar 1-3 Beberapa bangunan pelengkap pada perpipaan air limbah ................................... 318
Gambar 2-1. Skematik Gambar Saringan Sampah.................................................................... 334
Gambar 2-2 Tipikal Pemasangan Communitor ......................................................................... 335
Gambar 2-3 Skematik Grit Chamber ........................................................................................ 336
Gambar 2-4 Grafik Surface Loading Rate (SLR) dan Waktu Detensi (td) ............................... 338
Gambar 2-5 Skema Bak Persegi Panjang Tipe Aliran Horizontal ........................................... 338
Gambar 2-6 Skema Tipikal Bak Pengendap Pertama Tipe Aliran Radial Dan Aliran Ke Atas 339
Gambar 2-7 Bentuk Bangunan Secondary Clarifier ................................................................. 340
Gambar 2-8 Prinsip Pengolahan Biologis Secara Aerob dan Anaerob ..................................... 340
Gambar 2-9 Skema Kolam Aerasi Fakultatif ............................................................................ 340
Gambar 2-10 Skema Aerated Lagoon Flow Through ............................................................... 340
Gambar 2-11 Proses Ekologi Di Dalam Kolam Fakultatif ....................................................... 340
Gambar 2-12 Skema Proses Lumpur Aktif Aerasi Berlanjut (Extended Aeration)... 340
Gambar 2-13 Kolam Extended Aeration Menggunakan Tangki Pengendap Terpisah ............. 340
iii
Gambar 2-14 Extended Aeration Lagoon Dengan Zona Pengendapan .................................... 351
Gambar 2-15 Extended Aerated Lagoon Dengan 2 Sel Dengan Operasi Secara Intermittent .. 352
Gambar 2-16 Lumpur Aktif Tipe Konvensional Dengan Oxidation Ditch............................... 353
Gambar 2-17 Oxidation Ditch ................................................................................................... 354
Gambar 2-18 Skema Kombinasi Unit Pengolahan Kolam Stabilisasi.. 356
Gambar 2-19 Diagram Alir Proses Pengolahan Air Limbah Dengan RBC .............................. 357
Gambar 2.20. Skema Sistem Pengolahan Air Limbah Dengan Sistem RBC . 357
Gambar 2-21 Skema bagian Trickling Filter. 361
Gambar 2.22 Skema Tangki Biofilter.. 362
Gambar 2.23 Bak Phytoremediasi 369
Gambar 2.24 Pilihan Proses Pengolahan Lumpur ....................369
Gambar 2.25. Skema Anaerobic Sludge Digester .371
Gambar 2.26.Kriteria Sludge Drying Bed..372
Gambar 2.27 Beberapa Proses Pengolahan Tersier yang Sering Digunakan untuk Reklamasi
Atau Daur Ulang Air Limbah (Nusa Idaman Said, 2012) ................ .....378
Gambar 2.28 Diagram alir proses daur ulang air limbah di Denever Potable Water Reuse
Demonstration Plant (Nusa, 2012).... .378
Gambar 2.29. Skema diagram proses reklamasi air limbah Water Factory 21, Orange County,
California . 379
Gambar 2.30. Pengolahan Daur Ulang Air Limbah/Reklamasi Air Limbah di NEWater,
Singapura . 380
iv
1.
Sumber yang digunakan pada bagian ini adalah Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana
Pengelolaan Air Limbah, PPLP Pekerjaan Umum 2006.
1.1
Umum
Sistem jaringan perpipaan diperlukan untuk mengumpulkan air limbah dari tiap rumah dan
bangunan di daerah pelayanan menuju instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpusat.
Perencanaan yang komprehensif ini akan sangat penting mengingat kaitannya dengan masalah
kebijakan tata guna lahan, pembangunan, pembiayaan, opaerasional dan pemeliharaan,
keberlanjutan penggunaan fasilitas dan secara umum akan berpengaruh juga pada perencanaan
infrastruktur daerah layanan. Perencanaan system perpipaan ini akan menyangkut dua hal
penting yakni perencananaan jaringan perpipaan dan perencanaan perpipaannya sendiri.
1.2
Sistem perpipaan pada pengaliran air limbah berfungsi untuk membawa air limbah dari satu
tempat ketempat lain agar tidak terjadi pencemaran pada lingkungan sekitarnya. Prinsip
pengaliran air limbah pada umumnya adalah gravitasi tanpa tekanan, sehingga pola aliran
adalah seperti pola aliran pada saluran terbuka. Dengan demikian ada bagian dari penampang
pipa yang kosong. Pada umumnya perbandingan luas penampang basah (a) dengan luas
penampang pipa (A) adalah sebagai berikut:
1.3
Pipa retikulasi adalah saluran pengumpul air limbah untuk disalurkan ke pipa utama
Pipa retikulasi terdiri dari pipa servis dan pipa lateral
Pipa servis adalah saluran pengumpul air limbah dari beberapa bangunan (blok bangunan)
ke pipa lateral
Pipa lateral adalah saluran pengumpul air limbah dari pipa servis ke pipa induk/utama
301
Pipa utama (main pipe) sebagai pipa penerima aliran dari pipa kolektor/lateral untuk
disalurkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau ke trunk sewer
Trunk sewer digunakan pada jaringan pelayanan air limbah yang luas (> 1.000 ha) untuk
menerima aliran dari pipa utama dan untuk dialirkan ke IPAL.
Jaringan pipa retikulasi dan pipa induk air limbah dapat dilihat pada Gambar 1.1 dan Gambar
1.2 berikut ini.
302
1.4
Pola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan air perlu diperhatikan dalam merencanakan
instalasi pengolahan air limbah. Umumnya pemakaian maksimum air terjadi pada pagi dan sore
hari, dan saat minimum umumnya terjadi pada larut malam. Besarnya fluktuasi aliran air limbah
yang masuk ke pipa bergantung pada jumlah populasi di suatu kawasan. Besarnya fluktuasi
terhadap aliran rata-rata adalah sebagai berikut:
Untuk pelayanan < 10.000 jiwa Q max/ Q rata = 4 s/d 3,5 dan Q min/ Q rata = 0,2 s/d 0.35
Untuk pelayanan > 100.000 jiwa Q max/ Q rata = 2,0 s/d 1,5 dan Q min/ Q rata = 0,55 s/d 0,6
max/
min/
Q rata =
Rata-rata pemakaian air adalah sebesar 100-200 L/org/hari dan air limbah yang masuk ke
jaringan perpipaan perpipaan adalah 80 % dari konsumsi air tersebut atau kira-kira 80-160
L/org/hari.
Kecepatan aliran maksimum tergantung jenis pipa yang digunakan dan pada umumnya berkisar
antara 2-3 m/det. Kecepatan aliran minimum diharapkan dapat menghindari terjadinya
pengendapan dalam pipa sehingga kecepatan aliran minimum harus lebih besar dari 0,6 m/det.
1.5
Jenis Saluran
Pipa Besi Tanpa lapisan
Dengan lapisan semen
Pipa Berlapis gelas
Pipa Asbestos Semen
Saluran Pasangan batu bata
Pipa Beton
Pipa baja Spiral & Pipa Kelingan
Pipa Plastik halus ( PVC)
Pipa Tanah Liat (Vitrified clay)
- 0,015
- 0,013
- 0,017
- 0,015
- 0,017
- 0,016
- 0,017
- 0,012
- 0,015
303
1) Kecepatan pengaliran pipa minimal saat aliran penuh (fiull flow) atas dasar tractive
force
Diameter, D
[mm]
200
250
300
375
450
0,47
0,49
0,50
0,52
0,54
n = 0,015
0,41
0,42
0,44
0,45
0,47
2) Kemiringan pipa minimal praktis untuk berbagai diameter atas dasar kecepatan 0,60
m/dtk saat pengaliran penuh adalah :
Kemiringan minimal
[m/m]
Diameter
[mm]
200
250
300
375
450
n = 0,013
n = 0,015
0,0033
0,0025
0,0019
0,0014
0,0011
0,0044
0,0033
0,0026
0,0019
0,0015
Smin =
2
atau
0,01 Q0,667
3D
di mana Smin (m/m), D (mm) dan Q (L/dtk)
304
..................................(1)
3) Kemiringan muka tanah yang lebih curam daripada kemiringan pipa minimal bisa
dipakai sebagai kemiringan desain selama kecepatannya masih di bawah kecepatan
maksimal.
1.6
Kedalaman Pipa
1. Kedalaman perletakan pipa minimal diperlukan untuk perlindungan pipa dari beban di
atasnya dan gangguan lain;
2. Kedalaman galian pipa :
-
Persil > 0,4 m (bila beban ringan) dan > 0,8 m (bila beban berat)
Pipa service 0,75 m
Pipa lateral (1-1,2) m
3. Kedalaman maksimal pipa induk untuk saluran terbuka (open trench) 7 m atau dipilih
kedalaman ekonomis dengan pertimbangan biaya dan kemudahan/resiko pelaksanaan galian
dan pemasangan pipa
1.7
Hidrolika Pipa
1. Metode atau formula desain pipa pengaliran penuh (full flowi) yang digunakan dalam
pedoman ini adalah Manning
2. Ada 4 parameter utama dalam mendesain pipa alira penuh, dengan kaitan persamaan antarparameter sebagai berikut:
a. Debit, QF (m3/dtk)
QF =
12,5505
n3VF4
1,5
= 0.785 VF (D/1000)2
.. (2)
n
b. Kecepatan, VF (m/dtk)
VF =
0,397
(D/1000)2/3 S0,5 =
10,3 L (n QF)2
(D/1000)16/3
1,2739 QF
(D/1000)2
....(3)
6,3448 (n VF)2
=
[(D/1000)/4]4/3
5,4454 n2 VF 8/3
QF 2/3
...(4)
305
d. Diameter, D (mm)
D=
1,5485 (n QF)3/8
3/16
S
1,1287 QF0.5
VF0.5
0,75
S
.(5)
Allowance
Debit puncak
(QP)
Debit penuh
(QF)
6. Dari data kemiringan pipa rencana (S) dan debit penuh (QF), dengan menggunakan formula
[3] dan [1] di atas dapat dihitung diameter (D) dan kecepatan pipa (VF).
7. v/VF dan d/D dihitung dengan formula
(1/ ) * [1/ArcCos
di mana
306
]0,6667 * [ArcCos
-Sin(ArcCos
)*Cos(ArcCos
)]1,667 ...(6)
Aliran penuh
Q, V, D
8. Perhitungan hidrolika pipa bisa dilakukan secara manual atau menggunakan perhitungan
cepat dengan program komputer seperti Microsoft Excell.
1.8
Dari perhitungan dimensi pipa berdasarkan aliran atau tiap jalur pipa dari berbagai sumber air
limbah dapat dihitung dimensi pipa. Perhitungan dimensi pipa dari rumah tangga akan mudah
diketahui bila sudah diketahui jumlah populasi dan jumlah pemakaian air bersihnya. Untuk
mengetahui secara cepat dimensi pipa dari kegiatan lain seperti bisnis area, rumah sakit, pasar
dan sebagainya digunakan populasi ekuivalen. Berikut ini disampaikan besaran population
ekuivalen dari berbagai jenis kegiatan:
Tabel 1.2 Nilai Populasi Ekuivalen Untuk Setiap Kegiatan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kegiatan
Rumah Biasa
Rumah Mewah
Apartemen
Rumah Susun
Puskesmas
Rumah Sakit Mewah
Rumah Sakit Menengah
Rumah Sakit Umum
SD
SLTP
SLTA
Perguruan Tinggi
Ruko
Kantor
Stasiun
Restoran
Nilai PE
1
1,67
1,67
0,67
0,02
6,67
5
2,83
0,27
0,33
0,53
0,53
0,67
0,33
0,02
0,11
Acuan
Study JICA 1990
Sofyan M Noerlambang
Sofyan M Noerlambang
Sofyan M Noerlambang
Sofyan M Noerlambang
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
SNI 03 7065-2005
307
1. Setiap SR atau dimensi pipa secara praktis dapat melayani suatu jumlah penduduk ekivalen
(PE)
2. Setiap SR dari permukiman akan melayani (3-10) PE bergantung pada jumlah penghuninya.
3. Setiap SR atau suatu seksi pipa akan melayani :
qr [ m3/hr ]
PE =
(0,80-1,50) [ m /(org/hr) ]
........................................................(8)
Jumlah PE di sini kemungkinan tidak sama dengan jumlah penduduk yang dilayani.
4. Jumlah PE untuk masing-masing SR atau pipa
Tabel 1.3. Konversi Nilai PE Terhadap Diameter Pipa
PE
DIAMETER
(mm)
MIRING MINIMAL
(m/m)
< 150
150 - 300
300 - 500
500 1.000
1.000 2.000
100
125
150
180
200
0,020
0,017
0,015
0,013
0,012
1.9
1.9.1
Conventional Sewer
Tingkat kepadatan penduduk lebih dari 300 jiwa/Ha, permeabilitas tanah tidak
memenuhi syarat (> 4,2 x 10-3 atau < 2,7 x10-4 L/m2/det)
308
Kecepatan aliran dalam pipa harus minimal berada > 0,6 m/det sehingga memerlukan
kemiringan hidrolis yang lebih curam sehingga memerlukan galian penanaman pipa
yang lebih dalam.
Kedalaman galian terbuka (open trench) tidak boleh lebih dari 6 meter.
Galian pada tanah pasir atau tanah dengan air tanah tinggi pada saat penggalian harus
dilengkapi turap penahan longsor (trench protection). Untuk penanaman pipa > 6m,
diusahakan dengan menggunakan metode pipe jacking atau micro tunnelling.
1.9.2
Shallow sewer
Digunakan untuk penduduk kepadatan tinggi > 200 jiwa/ha agar jumlah volume air cukup
untuk penggelontoran (self cleansing)
Disarankan untuk tipe perumahan teratur dan permanen dalam suatu lingkungan yang
terbatas
Maximum genangan air 0.8 diameter pipa dan minimum 0,2 diameter pipa
Penggunaan shallow sewer dikembangkan atas dasar system pengaliran yang mengandalkan
penggelontoran pada penggunaan air saat pemakaian puncak sehingga memerlukan kemiringan
hidrolis yang lebih landai dari sistem konvensional. Perencanaan aliran debit minimum hanya
309
0,3-0,4 m/detik. Sistem ini sebaiknya dilengkapi dengan sarana air penggelontor/pembilas yang
disadap dari saluran drainase.
Sedangkan manhole yang digunakan, hanya berupa pipa yang dihubungkan vertikal dengan pipa
sewer dengan Tee Y yang memungkinkan selang water jet dapat dimasukkan. Kecuali pada
pertemuan silang pipa, maka manhole yang digunakan harus sejenis dengan manhole yang
digunakan pada sistem konvensional.
1.9.3
Saluran drainase tertutup digunakan sebagai kolektor air limbah dari rumah rumah
Penyadapan dilengkapi bak penangkap pasir dan saringan sampah sebelum masuk pipa
utama
Pada jangka panjang saluran drainase sebagai kolektor air limbah diganti dengan pipa
Air yang disadap dari saluran drainase adalah air limbah saja (dry weather flow). Jika saluran
drainase melebihi daya tampung penyadapan, maka air akan lolos menuju badan air.
Perbandingan debit aliran air hujan dengan air buangan sangat besar berkisar 100:5, sehingga
memerlukan saluran kecil untuk menampung dry weather flow sehingga dapat mengalir lancar
pada saat kemarau dan menghindari terjadinya endapan.
1.10
Bahan Perpipaan
Pemilihan bahan pipa harus betul-betul dipertimbangkan mengingat air limbah banyak
mengandung bahan dapat yang mengganggu atau menurunkan kekutan pipa. Demikian pula
selama pengangkutan dan pemasangannya, diperlukan kemudahan serta kekuatan fisik yang
memadai. Sehingga berbagai faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pipa secara
menyeluruh adalah :
a. Umur ekonomis
b. Pengalaman pipa sejenis yang telah diaplikasikan di lapangan
c. Resistensi terhadap korosi (kimia) atau abrasi (fisik)
d. Koefisiensi kekasaran (hidrolik)
e. Kemudahan transpor dan handling
f. Kekuatan struktur
g. Biaya suplai, transpor dan pemasangan
h. Ketersediaan di lapangan
310
311
c. Sambungan
1. Tongue dan groove (khusus beton bertulang)
a. Untuk diameter > 760 mm
b. Dengan menggunakan sambungan senyawa mastik atau gasket karet yang
membentuk seal kedap air dengan plastik atau tar panas mastik, clay tile, atau
senyawa asphatik
2. Spigot dan soket dengan semen
a. Untuk diameter (305-760) mm
b. Ekonomis
c. Mudah pemasangannya
d. Aman dan memuaskan
3. Cincin karet fleksibel
d. Lining (Lapisan Dasar Pipa)
Penerapan lining dilakukan bila pipa yang bersangkutan menyalurkan air limbah yang
belum terolah dengan bahan tahan korosi seperti:
1. Spesi semen alumina tinggi
- Tebal 12 mm untuk diameter 675 mm
- Tebal 20 mm untuk diameter (750-825) mm
2. PVC atau ekuivalen untuk diameter 900 mm
3. PVC sheet
4. Penambahan ketebalan dinding sebagai beton deking
e. Komponen bahan
Komponen bahan pipa beton menggunakan agregat limestone atau dolomite dengan semen
tipe 5.
f.
312
:
:
kuat
tersedia dalam variasi yang besar, dan dapat dipesan.
Diameter
Klas dan/atau kekuatan
Metode manufakturf
Metode sambungan
Lining
Komposisi bahan (macam agregat bila limestone)
313
314
d. Tipe Sambungan
Lengan (coupling) dari asbes semen dengan cincin karet fleksibel
e. Lining
Bahan lining pipa asbes berupa bitumen
f.
Keuntungan
1. Ringan
2. Penanganan mudah
3. Sambungan kedap
4. Peletakan panjang hingga 4 m
5. Permukaan halus, dengan koefisien kekasaran n = 0,01 sehingga dapat dipasang lebih
landai atau diameter lebih kecil
6. Durabel (lebih tahan)
g. Kerugian
Tidak tahan terhadap korosi asam dan H2S
1.10.4 Vitrified Clay Pipe (VCP)
a. Aplikasi
1. Untuk pipa pengaliran gravitasi
2. Sebagai sambungan rumah (SR)
a) SR pipa standar
b) SR pipa dengan riser vertikal
b. Aksesoris
1. T dan Y, sebagai penyambung sambungan rumah ke pipa lateral (common sewer)
2. Penutup (stopper), sebagai penutup ujung bell, yang diperkuat dengan spesi, sampai
saatnya dilakukan koneksi.
3. Saddle, dipakai bila dilakukan panyambungan pada puncak sewer, atau bila akan
dibuat koneksi secara vertikal, atau common sewer yang dalam.
4. Slant, digunakan untuk membuat koneksi ke saluran beton atau pasangan batu.
Tentunya dibutuhkan spesi beton untuk menutup sekitar sambungan agar tidak bocor.
315
Sambungan
1. Sambungan karet fleksibel
2. Sambungan senyawa poured bituminous
3. Sambungan slip seal
g. Lining
Tidak perlu menggunakan lining
1.10.5 Pipa Plastik
a. Bahan
1. PVC (polyvinyl chloride)
2. PE (polyethylene)
b. Aplikasi
1. PVC: untuk sambungan rumah dan pipa cabang
2. PE: untuk daerah rawa atau persilangan di bawah air
c. Klasifikasi
1. Standar JIS K 6741-1984
316
Keuntungan
1. Ringan
2. Sambungan kedap
3. Peletakan pipa panjang
4. Beberapa jenis pipa tahan korosi
g. Kerugian
1. Kekuatannya mudah terpengaruh sinar matahari dan temperatur rendah
2. Ukuran tersedia terbatas
3. Perlu lateral support
1.11
Bangunan Pelengkap
Beberapa bangunan pelengkap yang dipergunakan dalam sistem perpipaan air limbah
diantaranya di bawah ini dan dapat dilihat pada Gambar 1.3:
-
Manhole
Ventilasi udara
Terminal Clean out
Drop Manhole
317
Tikungan (Bend)
Transition dan Junction
Bangunan penggelontor
Syphon
Rumah pompa
a. Manhole
d. Manhole Belokan
b. Drop Manhole
318
Jarak antar MH
(m)
50 75
75 - 125
125 150
150 200
100 -150
:
:
:
Referensi
Materi Training + Hammer
Materi Training + Hammer
Materi Training + Hammer
Materi Training + Hammer
Bandung (Jl. Soekarno - Hatta)
319
di atas pipa.
E. Bentuk MH
Pada umumnya bentuk manhole empat persegi panjang, kubus atau bulat
F. Dimensi MH
1. Dimensi horizontal harus cukup untuk melakukan pemeriksaan dan pembersihan
dengan masuk ke dalam saluran. Dimensi vertikal bergantung pada kedalamannya.
2. Lubang masuk (access shaft), minimal 50 cm x 50 cm atau diameter 60 cm
3. Dimensi minimal di sebelah bawah lubang masuk dengan kriteria sebagai berikut:
a. Untuk kedalaman MH sampai 0,8 m, dimensi yang digunakan 75cm x 75cm
b. Untuk kedalaman MH (0,8-2,1) m, dimensi yang digunakan 120cm x 90cm atau
diameter 1,2 m
c. Untuk kedalaman MH > 2,1 m, dimensi yang digunkan 120cm x 90cm atau
diameter 140 cm
G. Manhole step atau ladder ring
1. Perlengkapan ini merupakan sebuah tangga besi yang dipasang menempel di dinding
manhole sebelah dalam untuk keperluan operasional.
2. Dipasang vertikal dan zig zag 20 cm dengan jarak vertikal masing-masing (30-40) cm.
H. Bottom invert
Dasar manhole pada jalur pipa dilengkapi saluran terbuka dari beton berbentuk U (cetak di
tempat) dengan konstruksi dasar setengah bundar menghubungkan invert pipa masuk dan ke
luar. Ketinggian saluran U dibuat sama dengan diameter saluran terbesar dan diberi
benching ke kanan/kiri dengan kemiringan 1: 6 hingga mencapai dinding manhole.
I.
Notasi
1. MH yang ada, dengan no. urut 9, contoh :
MH 9
MHR 9
2. MH rencana, dengan no. urut 9, contoh :
320
20 cm
25 cm
30 cm
2240
1540
1260
560
420
2520
1820
1540
840
560
2800
2240
1960
930
672
321
terminal cleanout, dengan debit 15 liter/detik, selama (5 -15) menit. Bila tidak ada kran
kebakaran, dapat menggunakan tangki air bersih.
2. Alternatif lain adalah dengan pintu-pintu pada pipa air limbah
1.11.3 Syphon
A. Aplikasi
Sebagai bangunan perlintasan, seperti pada sungai/kali, jalan kereta, api, atau depressed
highway.
B. Komponen Struktur
A. Inlet dan outlet (box)
Berfungsi sebagai pengendalian debit dan fasilitas pembersihan pipa.
B. Depressed sewer (pipa syphon)
Berfungsi sebagai perangkap, sehingga kecepatan pengaliran harus cukup tinggi, di
atas 1 m/detik pada saat debit rata-rata
Terdiri dari minimal 3 unit (ruas) pipa sifon dengan dimensi yang berbeda,
minimal 150 mm. Pipa ke 1 didesain dengan Qmin, pipa ke 2 didesain dengan (QrQmin) dan pipa ke 3 didesain dengan (Qp-Qr)
1.11.4 Terminal Clean Out
A. Fungsi/aplikasi
Terminal clean-out dapat berfungsi sebagai (alternatif) pengganti manhole.
B. Lokasi
Di ujung saluran, terutama pada pipa lateral yang pendek dengan jarak dari manhole <50 m.
1.11.5
Stasiun Pompa
A. Aplikasi
322
Sebagai stasiun angkat (lift station), dipasang pada setiap jarak tertentu pada jaringan
perpipaan yang sudah cukup dalam
Sebagai booster station, untuk menyalurkan air limbah yang tidak memerlukan
pengaliran secara gravitasi. Misal dari zona rendah ke zona yang lebih tinggi atau pada
conveyance sewer ke instalasi. Di sini dapat digunakan manhole pompa.
B. Kriteria Lokasi
Tidak banjir dan mudah menerima air limbah secara gravitasi
Dapat memompa air limbah hingga ke elevasi yang direncanakan
Dapat memompa seluruh air limbah, meskipun dalam keadaan darurat
Fleksibel dan kompak
Biaya investasi dan pemeliharaannya rendah
Desain pompa harus dapat mengikuti fluktuasi debit
Bahan yang dipilih tidak mudah korosi oleh air limbah
Sedikit mungkin adanya pengaruh bising pada masyarakat sekitarnya
Kebutuhan jarak tidak banyak
Tidak membutuhkan keahlian tinggi
C. Komponen Rumah Pompa
Rumah pompa (termasuk pondasi)
Pompa
Mesin penggerak atau motor
Ruang pompa atau dry well
Sump atau wet well
Screen dan grit chamber
Perpipaan, valve, fitting, pencatat debit, dan overflow darurat
Sumber listrik, dan pengendali pompa (panel)
D. Rencana Rinci Stasiun Pompa
Konstruksi beton bertulang rumah pompa
Tipe masing-masing unit pompa dan karakteristiknya
Proteksi penyumbatan pompa
Lokasi pompa dan jarak antarpompa
Wet well dan dry well, dimensi dan konstruksi rinci
Valve
Level kontrol untuk permukaan air limbah
Overflow (by pass)
323
Paling baik memasang pompa di dalam dry well/pit dengan pipa isap berada di bawah
muka air terendah pada wet well terdekat agar dapat meniadakan priming.
Pengoperasian pompa secara otomatis diatur dengan pelampung pada wet well.
324
Kapasitas wet well tergantung pada waktu pengoperasian, jumlah pompa dan waktu
siklus
Waktu siklus > 4 menit, berarti dalam 1 jam terjadi < 15 x start
Waktu pengoperasian pompa > (15-20) menit
Kapasitas efektif wet well guna memberikan periode penampungan sebaiknya tidak
melebihi 10 menit pada desain rata-rata
F. Jenis Pompa
Pompa sentrifugal merupakan jenis pompa yang umum digunakan untuk memompa air
limbah karena tidak mudah tersumbat. Penggunaan pompa rendam (submersible) untuk air
limbah lebih baik karena dapat mencegah terjadinya kavitasi sebagaimana sering terjadi
pada penggunaan pompa bukan rendam(non submersibel) dengan posisi tekanan negatif
(posisi pompa berada diatas permukaan air).
G. Kapasitas (Debit)
Kapasitas atau debit pompa adalah volume cairan yang dipompa dalam satuan m3/detik atau
L/detik. Debit desain pompa adalah debit jam puncak.
H. Hidrolika pompa
-
325
Daya pompa
Pip = Q T
p (10)
Pim = Pip / em ........................................................... (11)
di mana :
Pip =
Pim =
Q
=
T =
g
=
H
=
=
Hstat =
hf
=
=
hm
hv
ep
em
I.
=
=
=
=
(D/1000)16/3
10,3 L (n Q)
......................................................(12)
326
327
b) Spesifikasi
- Tipe atau kelas
- Daya (HP)
328
Phase
Tipe bearing
Kecepatan
Voltase
Frekuensi
Tipe insulasi
Tipe penggerak
Konstruksi mekanik
c) Mesin Diesel
- Dipakai sebagai unit stand-by pada sanitary sewage pump
- Pemilihannya tetap mempertimbangkan biaya energi, biaya konstruksi,
kebutuhan O & M, geografis, musim dan sosial
d) Voltase
Akan lebih ekonomis bila memakai voltase berikut untuk suatu energi tertentu:
- (37 - 45) kW gunakan 230 V
- (45 - 150) kW gunakan 460 V
- > 150 kW
gunakan 23.000 V
1.11.6 Sambungan Rumah
1. Pipa dari kloset (black water)
a. Diameter pipa minimal 75 mm
b. Bahan dari PVC, asbes semen,
c. Kemiringan pipa (1-3)%
2. Pipa untuk pengaliran air limbah non tinja (grey water)
a.
b.
c.
d.
3. Pipa persil ke HI
a. Dimensi dibuat sama atau lebih besar daripada dimensi pipa plambing utama.
Biasanya sebesar (100-150) mm yang menuju ke IC.
b. Kemiringan dipasang selurus mungkin, dengan kemiringan minimal 2 %.
329
Lateral
HI
PB
HI
Service
Persil (HC)
alternatif
MH
IC
Pagar
PB
PB
SR
Sewerage system
HI : House inlet
IC : Inspection chamber
HC : House connection
SR : Sambungan rumah
4. Perangkap Pasir/Lemak
a. Unit ini dimaksudkan untuk mencegah penyumbatan akibat masuknya lemak dan pasir
ke dalam pipa persil dan lateral dalam jumlah besar
b. Disarankan dipasang pada dapur, tempat cuci, atau pada daerah dengan pemakaian air
rendah
c. Lokasinya sedekat mungkin dengan sumbernya
5. Private boxes (bak kontrol pekarangan)
a. Luas permukaan minimal 40x40 cm (bagian dalam), dan diberi tutup plat beton yang
mudah dibuka-tutup.
b. Kedalaman bak, minimal 30 cm, disesuaikan dengan kebutuhan kemiringan pipa-pipa
yang masuk/keluar bak.
c. Dinding bagian atas dipasang 10cm lebih tinggi daripada muka tanah agar dapat
dicegah masuknya limpasan air hujan.
d. Bahan dinding dan dasar dari batu bata kedap atau beton. Tutup dari beton bertulang
atau plat baja yang bisa dibuka tutup.
6. Pipa persil ke HI
a. Dimensi dibuat sama atau lebih besar daripada dimensi pipa plambing utama. Biasanya
330
Kedalaman Pipa
(m)
0,75
0,75-1,35
1,35-2,5
Dimensi IC (m2)
Bujur sangkar
Persegi panjang
0,4 x 0,4
0,4 x 0,6
0,7 x 0,7
0,6 x 0,8
0,8 x 1,2
d. Bila kedalaman IC 1 m, maka di sisi dalamnya dilengkapi tangga dari mild steel
ukuran 20 mm yang ditancapkan ke dinding sedalam 20 cm dengan masing-masing
panjang 75 cm. Bagian tangga teratas berada 45 cm di bawah tutup, dan yang terbawah
30 cm di atas benching.
e. Bahan IC terdiri dari beton tanpa tulangan untuk lantai dan pasangan batu untuk
dinding. Tutupnya harus dari beton bertulang atau plat baja yang bisa dibuka tutup.
f. Level tutup IC harus berada 10 cm di atas level muka tanah agar dapat mencegah
masuknya limpasan air hujan.
331
9. Survey SR
a. Buat sketsa tata letak bangunan dan titik-titik lokasi sumber air limbah
b. Catat (rencana) elevasi invert pipa lateral dan/atau invert IC
c. Plot rencana titik-titik lokasi private box dan HI
d. Buat sketsa panjang, kemiringan dan diameter private persil
e. Kebutuhan minimal beda elevasi antara elevasi dasar titik-titik sumber air limbah
terhadap elevasi dasar IC dengan kemiringan minimal 2 %:
1. Jarak 10 m
=
20 cm
2. Jarak 20 m
=
40 cm
3. Jarak 30 m
=
60 cm
f. Periksa kembali berturut-turut elevasi dasar PB, HI dan IC harus menurun dan masih
berada di atas elevasi dasar pipa lateral
g. Buat lay-out SR dan total kebutuhan pengadaan/pemasangan mencakup
1. Pipa-pipa dari sumber air limbah ke PB
2. Pipa-pipa dari PB ke HI
2.
Materi pada bagian ini bersumber dari Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air
Limbah, PPLP Pekerjaan Umum 2006.
2.1
Pengolahan Fisik
Maksud pengolahan fisik adalah memisahkan zat yang tidak diperlukan dari dalam air tanpa
menggunakan reaksi kimia dan reaksi biokimia hanya menggunakan proses secara fisik sebagai
variabel pertimbangan untuk rekayasa pemisahan dari air dengan polutan atau zat-zat pencemar
yang ada di dalam air limbah tersebut.
Beberapa cara pemisahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
a. Pemisahan sampah dari aliran dengan saringan (screen),
b. Pemisahan grit (pasir) dengan pengendapan melalui grit chamber, kecepatan aliran dalam
grit chamber tersebut diatur sedemikian rupa sehingga yang diendapkan hanya pasir yang
relatif mempunyai spesifik grafiti yang lebih berat dari partikel lain.
c. Pemisahan partikel discrete (sendiri tidak mengelompok) dari suspensi melalui
pengendapan bebas (unhindered settling),
d. Pemisahan pengendapan material flocculant (hasil proses flokkulasi atau proses sintesa oleh
bakteri) yaitu parikel yang mengelompok oleh gaya saling tarik menarik (van der waals
332
forces) menjadi menggumpal lebih besar dan kemudian menjadi lebih berat dan mudah
mengendap.
e. Pemisahan partikel melalui metoda sludge blanked yang disebut juga hindered
sedimentation.
f.
2.1.1
Meskipun air limbah lewat kamar mandi, WC dan wastafel dapur (kitchen sink), namun tetap
saja ada sampah-sampah yang masuk pada aliran air limbah. Bila material ini masuk, dapat
mengganggu proses kerja impeller pompa atau bila masuk dalam proses di instalasi pengolah air
limbah (IPAL) akan mengganggu proses purifikasi. Kriteria desain saringan sampah pada aliran
air limbah dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Saringan Material Lepas
Menggunakan bar screen (saringan batang) untuk mencegah objek yang kasar karena dapat
merusak pompa dan proses air limbah selanjutnya. Ditempatkan sebelum pompa dan
sebelum grit chamber.
Tabel 2.1. Persyaratan Teknis Saringan
Faktor Disain
Kecepatan aliran lewat celah (m/dt)
Ukuran penampang batang
Lebar (mm)
Tebal (mm)
Jarak bersih dua batang (mm)
Kemiringan terhadap horizontal (derajat)
Kehilangan tekanan lewat celah (mm)
Kehilangan tekanan Max.(saat tersumbat) (mm)
Pembersihan Cara
Manual
0,3 0,6
Pembersihan Dengan
Alat Mekanik
0,6 1
48
25 50
25 75
45 60
150
800
8 10
50 75
10 50
75 85
150
800
333
Minimum flow
Maximum flow
2.1.2
Beberapa partikel lunak yang berukuran lebih kecil dari bukan bar screen akan lolos melewati
bar screen yang antara lain adalah kotoran manusia (fecal). Secara estetika dan untuk proses
pengolahan selanjutnya hal ini menganggu sehingga perlu dihancurkan agar lebih mudah
didegradasi secara biologis. Alat yang dipergunakan adalah communitor yang biasanya
ditempatkan setelah bar screen. Partikel lunak yang sudah dihancurkan tidak akan turut
mengendap pada unit grit chamber karena jauh lebih ringan dari partikel grit.
Desain
Communitor terdiri dari 3 ruangan utama, yaitu kolom, rumah, dan dasar atau alas, serta
rotating drum yang terbuat dari besi tuang yang dilengkapi dengan slot berukuran inch untuk
communitor berukuran kecil dan 3/8 inch untuk yang berukuran besar. Communitor
ditempatkan pada sbeuah bak beton dan ke dalam bak tersebut air limbah dimasukkan. Air
limbah kemudian mengalir melalui slot masuk kedalam drum yang kemudian dibawa melalui
pipa ke bagian hilir (Gambar 2.3). Partikel tersaring yang masuk melalui slot akan terbawa oleh
putarann drum dengan kecepatan rendah hingga terangkat keatas menuju sisir baja dan akan
terpotong-potong oleh gigi-gigi yang diatur pada sisi slot drumnya.
334
2.1.3
Grit chamber diperlukan untuk memisahkan kandungan pasir atau grit dari aliran air limbah.
Kunci dari pemisahan ini adalah mengendapkan pasir pada kecepatan horizontal tetapi
kecepatan tersebut tidak telalu pelan sehingga bahan-bahan lain (organik) selain pasir tidak ikut
mengendap.
Seperti diketahui bahwa debit air limbah berfluktuasi yang terdiri dari aliran maksimum,
minimum dan rata-rata. Maka untuk menghadapi variasi debit tersebut beberapa hal yang dapat
dilakukan atau dipertimbangkan pada saat merencanakan grit chamber, yaitu:
Grit chamber dibagi menjadi dua kompartemen atau lebih, untuk aliran minimum bekerja
hanya satu kompartemen dan maksimum bekerja keduanya
Penampang melintang grit chamber tersebut dibuat mendekati bentuk parabola untuk
mengakomodasi setiap perubahan debit dengan kecepatan konstan/tetap.
Melengkapi grit chamber dengan pengatur aliran yang disebut control flume yang dipasang
pada ujung aliran.
335
Kantong lumpur
Potongan
b
Plan
Control flume
336
Kriteria
Keterangan
25
7,5 20
2,5 7
1:1 s/d 5:1
2,5:1 s/d 5:1
0,6 0,8
2 5 menit
5 12
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006)
2.1.4
Fungsi utama bak pengendap I adalah mengendapkan partikel discrete. Unit ini juga dapat
menurunkan konsentrasi BOD/COD dalam aliran sehingga membantu menurunkan beban
pengolahan biologis pada tahapan pengolahan berikutnya. Unit ini dapat mengendapkan (5070)% padatan yang tersuspensi (suspended solid) dan mengurangi (30-40)% BOD.
Terdapat tiga (3) tipe unit pengedap yang biasa digunakan yaitu:
Radial flow yaitu bak sirkular, air mengalir dari tengah menuju pinggir
Upword flow yaitu aliran dari bawah ke atas dan biasanya bak yang digunakan berbentuk
kerucut menghadap ke atas. Padatan yang mengendap akan naik dan saling bertumbukan
sehinga terjadi selimut lumpur
Sebaiknya desain dimensi bak pengendap I menggunakan kecepatan aliran puncak (peak hour
flow) jika tujuannya hanya berfungsi untuk mengedapkan partikel discrete saja dan tidak untuk
menurunkan kadar bahan organik. Artinya menggunakan detention time dalam bilangan jam
saja dan bukan hari. Beberapa kriteria perencanaan berkenaan dengan bak pengendap I dapat
dilihat pada uraian berikut ini.
337
Efisiensi Pengendapan
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
80
70
60
50
40
30
20
10
0
20
40
TSS
60
80
100
2
TSS
BOD
BOD
Sumber: Syed R. Qasim, Waste water Treatment plants, CBS publishing Jepan,Ltd., 1985,
Gambar 2.4 Grafik Surface Loading Rate (SLR) dan Waktu Detensi (td)
Tabel 2.3 Design Kriteria Untuk Masing Masing Tipikal Bak Pengendap Pertama
Parameter
3
Persegi panjang
2
45 pada aliran
maksimum
2, pada aliran
maksimum
Dimensi
P/L4:1, dalam 1,5 m
Dalam 1/6s/d 1/10
P/L 2:1 dalam 3m
diameter
Weir over flow rate (m3/m.hari) 250-300
V-notch weir di sisi luar
Kinerja untuk SS > 100 mg/ltr
40-50%, sludge 3-7%
50-70%, lumpur 3-6,5%
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006)
Aliran ke atas
30 pada aliran
maksimum
2-3 pada aliran
maksimum
Piramid dgn sudut 600
Kerucut Sudut 450
V-notch weir di sisi luar
65% , lumpur 3-4%
Scum buffle
weir
effluent
influent
Lumpur
338
effluen
Sludge
Radial fow
inflow
effluent
sludge
Upword flow
Gambar 2.6 Skema Tipikal Bak Pengendap Pertama Tipe Aliran Radial dan Aliran Ke Atas
2.1.5
Perhatian khusus harus diberikan terhadap pengendapan flok dalam bentuk MLSS (mixed
liquoer suspended solid) dari proses activated sludge atau lumpur aktif dengan konsentrasi
yang tinggi mencapai 5.000 mg/l. Clarifier ini merupakan pengendapan terakhir yang disebut
juga dengan final sedimentation.
Hasil effluent yang keruh memperlihatkan suatu kegagalan proses pengendapan. Berdasarkan
pengalaman empirik untuk desain beban permukaan/surface loading (Q/A) digunakan 30-40
339
m3/m2.hari. Sedangkan untuk desagn yang aman, harus menggunakan aliran maksimum.
Kedalaman bak pengendap dengan weir minimal 3 m dan waktu detensi (td) 2 jam untuk aliran
puncak, Jika perhitungan menggunakan aliran rata-rata, maka waktu detensi berkisar antara 4,56 jam. Besarnya beban pada weir (loading rate) adalah sebesar 124 m3/m.hari.
2.2
Pengolahan Biologis
2.2.1
Beberapa peristilahan yang umum terdapat dalam pengolahan air limbah secara biologis,
diantaranya:
a. BOD5 adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram/liter (mg/l) yang diperlukan
untuk menguraikan benda organik oleh bakteri, sehingga limbah tersebut menjadi jernih
kembali. Untuk itu semua, diperlukan waktu 100 hari pada suhu 200C. Akan tetapi di
laboratorium dipergunakan waktu 5 hari sehingga dikenal dengan BOD5
b. COD adalah banyak oksigen dalam ppm atau milligram/liter yang dibutuhkan dalam
kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimiawi.
c. TSS (Total Suspended Solid) adalah jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang ada di
dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membrane berukuran 0,45 mikron
d. MLSS (Mixed Liquor Suspended Solid) adalah jumlah TSS yang berasal dari bak
pengendap lumpur aktif
e. MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solid) MLSS yang sudah dipanaskan pada suhu
6000C sehingga material volatile (mudah menguap) yang terkandung didalamnya menguap.
340
f.
Lumpur aktif (activated sludge) adalah endapan lumpur yang berasal dari air limbah yang
telah mengalami pemberian udara (aerasi) secara teratur. Lumpur ini berguna untuk
mempercepat proses stabilisasi dari air limbah. Lumpur ini sangat banyak mengandung
bakteri pengurai, sehingga sangat baik dipergunakan untuk pemakan zat organik pada air
limbah yangmasih baru.
g. Waktu tinggal (detention time) adalah waktu yang diperlukan oleh suatu tahap pengolahan
agar tujuan pengolahan dapat tercapai secara optimal. Pada setiap bagian bangunan
pengolah memiliki waktu tinggal yang berbeda-beda, sehingga waktu tinggal ini perlu
diketahui lamanya pada setiap jenis bangunan pengolah. Dengan diketahuinya waktu
tinggal ini maka besarnya bangunan pengolah dapat dibuat dalam ukuran yang tepat sesuai
dengan kebutuhan.
h. Sludge Retention Time (SRT), waktu tinggal lumpur aktif dalam kolam aerasi
i. F/M (Food to Microorganism Ratio) adalah perbandingan jumlah organik yang masuk
dengan mikroorganisma yang ada dalam kolam aerasi
j. Sludge Volume Index, volume 1 gram lumpur aktif setelah diendapkan selama 30 menit
k. Sewer adalah perlengkapan pengelolaan air limbah, bisa berupa pipa atau selokan yang
dipergunakan untuk membawa air buangan dari sumbernya ke tempt pengolahan atau ke
tempat pembuangan.
l. Efluen (Effluent) adalah cairan yang keluar dari salah satu bagian dari bangunan pengolah
atau dari bangunan pengolahan secara keseluruhan.
2.2.2
Pengolahan biologis adalah penguraian bahan organik yang terkandung dalam air limbah oleh
jasad renik /bakteri sehingga menjadi bahan kimia sederhana berupa mineral. Pemilihan metoda
pengolahan mana yang digunakan untuk pengolahan air limbah tergantung tingkat pencemaran
yang harus dihilangkan, besaran beban pencemaran, beban hidrolis dan standar buangan efluen
(effluent standard) yang diperkenankan.
Prinsip pengolahan menggunakan jasa bakteri (mikroorganisme) untuk menguraikan bahan
organik yang terkandung dalam air limbah dan enzim yang ada mikroorganisma tersebut akan
mengubah bahan organik menjadi unsur-unsur senyawa sederhana.
341
Protein
Protein
Lipids
Lipids
Karbohidrat
Protein
Bakteri hidrolisa
Oxidasi
Oxidasi
karbon
karbon
Asam lemak
enzym
Asam lemak
Bakteri Acetonogenik
Siklus Asam citric
Acetate
hydrogen
Dehdrasi /
hidrasi
Karbondioksida
enzym
Bakteri metanogonik
Methane +
Karbondioksida
Methane + Air
Lumpur mineral
Pengisapan
carbon
Pemisahan
Pengolahan Anaerobik
Pengolahan secara anaerobik menggunakan bakteri yang hidup dalam kondisi anaerob yaitu
bakteri hidrolisa, bakteri acetonogenik dan metanogenik. Semua proses penguraian bahan
organik oleh bakteri menjadi bahan sederhana dilakukan tanpa oksigen. Contoh pengolahan
342
anaerobic yang umum digunakan adalah: tangki septik, imhoff tank, kolam anarobik, UASB
(upflow anaerobic sludge blanket) dan anaerobic filter.
Pengolahan Aerobik
Pengolahan secara aerobik terjadi melalui dua proses utama yaitu penguraian bahan organik
yang disebut dengan proses oksidasi dan proses fermentasi lewat enzim yang dikeluarkan oleh
bakteri. Contoh unit pengolahan aerobik yang bisa digunakan adalah: activated sludge,
biological contact media, aerated lagoon dan stabilisasi dengan fotosintesa.
Ciri-ciri untuk beberapa unit pengolahan tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut di bawah ini.
Tabel 2.4. Ciri-ciri Beberapa Bangunan Pengolahan Biologis Untuk Air Limbah
Beban
Type
Pengolahan
Keuntungan
Kelemahan
hidraulik/biologis
Sedimentasi
Pengoperasian &
Septik tank
ditambah dengan
1 m3/m2.hari
Effisiensi < 30%
perawatan mudah
stabilisasi lumpur
Sedimentasi
Pengoperasian &
ditambah dengan
0,5 m3/m2 hari
Efisiensi < 50%
Imhoff tank
perawatan mudah
stabilisasi lumpur
4 m3/m2 hari atau
Kolam
Pengolahan
0,3 1,2 kg
Konstruksi mudah
Efisiensi < 50 %
anaerob
anaerob
BOD/m3/hari
Pengolahan
influent untuk
Kecepatan Aliran
UASB
20 m3/m2 hari
anaerob
BOD>100 mg/L
harus stabil
Kolam
Fakultatif
Kolam Aerasi
(Aerated
lagon)
Kolam
maturasi
Pengolahan
anaerob dan aerob
250 kg BOD/
ha.hari
Pengolahan aerob
Tidak
menggunakan
clarifier khusus
Endapan di dasar
kolam
Cukup luas
Pengolahan aerob
Efisiensi 70 %
RBC
Pengolahan aerob
0,02 m3/m2.luas
media
Phitoremediasi
Tenaga listrik
kecil & waktu
detensi 3 jam
Dapat mengurangi
B3 dan zat
radioaktif
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006)
343
2.2.3
Pengolahan Aerobik
Proses dekomposisi bahan organik dengan sistem aerobik digambarkan melalui proses sebagai
berikut dibawah ini:
C,H, O, N, P, S, ...+ O2
Keberadaan oksigen terlarut di dalam air mutlak diperlukan untuk proses dekomposisi tersebut.
Pada unit proses pengolahan air limbah secara aerobik, keberadaan optimal oksigen terlarut
direkayasa secara teknologi dengan menggunakan aerator mekanik, diffuser, kontak media yang
terbuka terhadap udara luar dan proses photosintesis.
Umumnya penggunaan unit pengolahan aerobik adalah untuk pengolahan lanjutan yang disebut
dengan secondary treatment atau pengolahan sekunder. Pemilihan unit yang akan dipakai untuk
pengolahan ini tergantung besar beban (biologi dan hidrolis) yang akan diolah dan bergantung
pada hasil pengolahan yang dikehendaki (ultimate objective). Dibawah ini akan diuraikan
beberapa gambaran dan kriteria desain unit-unit pengolahan aerobik yang biasa digunakan.
2.2.3.1 Kolam Aerasi (Aerated Lagoon)
Kolam aerasi menggunakan peralatan aerator mekanik berupa surface aerator yang digunakan
untuk membantu mekanisasi pasokan oksigen terlarut di dalam air.
Aerator ini menggunakan propeler yang setengah terbenam dalam air. Putaran propeller ini
akanmemecah permukaan air sehingga lebih banyak bagian air yang berkontak dengan udara
dan menyerap oksigen bebas dari udara. Pada dasarnya terdapat dua jenis kolam aerasi yang
dikembangkan yaitu:
a. Tipe fakulatif (Facultative aerated lagoon)
b. Tipe aliran aerobik langsung (aerobic flow-through)
344
Aerobik (Low
Rate)
Pencampuran
terputus-putus
(intermiten)
Aerobik (High
Rate)
Pencampuran
terputus-putus
(intermiten)
<10
Seri atau parel
0,5 -2
Seri
10 40
Tipe Kolam
Maturasi
Fakulatif
Pencampuran
terputus-putus
(intermiten)
Anaerob
Aerated
lagoon
Pencampuran
sempurna
0.5 2
Seri
46
2 10
Seri atau
pararel
5 20
Terjadi
pencampuran
pada lapisan
permukaan
2 10
Seri atau
Pararel
5 30
20 50
2 10
Seri atau
pararel
3 10
3 -4
6,5 10,5
0 30
20
60 - 120
80 95
1 15
6,5 10,5
5 30
20
80 160
80 95
3 -5
6,5 10,5
0 30
20
<15
60 80
48
6,5 8,5
0 50
20
50 180
80 95
8 16
6,5 7,2
6 50
20
200 500
50 85
6 20
6,5 8,0
0 30
20
80 95
Alga, CO2,
bakteri jaringan
sel
Alga, CO2,
bakteri jaringan
sel
Alga, CO2,
bakteri
jaringan sel,
No3
Alga, CO2,
CH4, bakteri
jaringan seal
CO2, bakteri
jaringan seal
40 100
80 140
100 260
150 300
5 10
10 30
5 20
40 60
Alga, CO2,
CH4,
bakteri
jaringan
seal
05
80 160
80 - 250
Keterangan :
Kolam aerobik konvensional dirancang untuk memaksimalkan jumlah oksigen yang diproduksi alga.
Termasuk tambahan aerasi. Untuk kolam yang tanpa tambahan aerasi, harga beban BOD adalah sepertiga
dari yang tertera ditabel
Harga tipikal. Harga yang lebih besar telah diaplikasikan dibeberapa lokasi.
Termasuk alga, mikroorganisme, dan sisa padatan tersuspensi. Didasarkan pada konsentrasi BOD terlalur
didalam influen 200mg/l, dan padatan tersuspensi 200mg/l.
Catatan :
345
kolam stabilisasi, pada lapisan bagian atas terjadi peroses dekomposisi aerobik dan pada lapisan
bawah kolam terjadi proses anaerobik.
Pada prinsipnya unit ini memerlukan energi yang cukup rendah, namun memerlukan lahan yang
cukup luas meskipun tidak seluas lahan untuk kolam stablisasi. Disamping itu, lumpur selama
proses pengendapan akan berada di dasar kolam dan secara periodik harus dibersihkan.
Akumulasi lumpur berdasarkan pengalaman dengan menggunakan kolam aerasi fakultatif
adalah 30-50 l/kapita/tahun.
1.
Tipe ini pada prinsipnya menempatkan aerator yang dapat mengangkat seluruh endapan
tersuspensi dalam aliran sehingga dianggap terjadi pengadukan lengkap dari seluruh sisi kolam
sebagaimana terjadi pada aerasi di tangki sistem activated sludge/lumpur aktif. Efisiensi
penyisihan BOD cukup tinggi namun karena aliran keluar membawa juga endapan yang
tersuspensi sehingga pengurangan suspended solid pada efluen sangat rendah.
aerobik
aerator
anaerobik
inlet chamber
effluent
baffel
Kebutuhan energi untuk aerasi hampir sama dengan jenis kolam tipe lainnya hanya karena harus
mengangkat seluruh suspensi, maka diperlukan tenaga aerator yang lebih besar yaitu 3,5-5,2
346
HP/1.000 m3 kolam. Lebih dari 4 kali tenaga yang diperlukan oleh fakultatif aerated lagoon
Keuntungan tipe ini tidak memerlukan pengurasan lumpur pada dasar kolam.
.
aerator
inlet
effluen
chamber
aerator
alga
Aerobic
CO2 ; NH3 ; PO4 ; H2O
Facultatif
Bakteri
Bakteri
Anaerobik
347
348
Unit konstuksi yang lebih besar karena waktu detensi yang diperpanjang /lebih lama
Energi lebih tinggi untuk aerasi dan resirkulasi lumpur.
Kontrol oprasional harus lebih teliti terutama menjaga rasio F/M dengan mengatur
konsentasi MLSS dalam tangki reaktor aerasi.
Extended
Aeration
Oxidation
ditch
Step
Aeration
Contact
stabilisation
High rate
Oksigen
murni
EFISIENSI
(%)
85 - 95
75 - 85
75 85
90
85 - 90
75 - 95
85 - 95
F/M ratio (g
BOD/g VSS
hari)
0,2 0,4
0,03
0,05
0,03
0,05
0,2 0,4
0,2 0,6
0,02 0,04
0,2 1,0
BOD
loading
(kg/m3 hari)
0,3 0,8
0,15
0,25
0,1 0,2
0,4 1,4
0,8 1,4
0,6 2,6
0,6 - 4
1500 - 2000
3000 6000
3000 6000
2000 4000
3000 - 6000
3000 - 6000
6000 8000
Sludge Age/
SRT (hari)
5 - 15
15 - 30
15 - 30
2-4
2-4
8 - 20
Kebutuhan
Udara (Q
udara/ Q
air)
3-7
> 15
3-7
> 15
> 12
HRT (jam)
6-8
16 - 24
24 - 48
4-6
2-3
1-3
Rasio
sirkulasi
lumpur (Q
lumpur/ Q
limbah)
20 - 40
50 - 150
50 - 150
20 - 30
40 - 100
50 - 150
25 - 50
MLSS
(mg/l)
349
aerobik. Dengan demikian, di dalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang biomassa
dalam jumlah yang besar. Biomassa atau mikroorganisme inilah yang akan menguraikan
senyawa polutan yang ada di dalam air limbah. Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap
akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan
dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi (resirkulasi) dengan pompa sirkulasi lumpur. Air
limpasan (overflow) dari bak pengendap akhir dialirkan ke bak klorinasi untuk melalui proses
desinfeksi. Di dalam bak kontaktor klor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa klor untuk
membunuh mikroorganisme pathogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses klorinasi
dapat langsung dibuang ke sungai atau badan air.
Sebagian lumpur yang terikut pada aliran outlet dari kolam akan terendapkan, sebagian lainya
dibiarkan terakumulasi di dalam kolam atau sebagian yang diendapkan kemudian dikembalikan
kedalam sistem aerasi untuk mencapai rasio ideal perbandingan makanan dan mikroorganisme
yang disebut F/M ratio. Terdapat 3 sistem yang umum digunakan yaitu :
-
Bak Aerasi
Bak
Pengendap
Akhir
Air Limbah
Blower Udara
Sirkulasi Lumpur
(Return Sludge)
Air
Olahan
Buangan Lumpur
(Waste Sludge)
Gambar 2.12 Skema Proses Lumpur Aktif Aerasi Berlanjut (Extended Aeration)
350
aerator
Outlet
351
Zona
pengendapan
Gambar 2.15. Extended Aerated dengan 2 Sel Dengan Operasi Secara Intermittent
Gambaran perbandingan antara sistem extended aeration (dalam hal ini menggunakan model
oxidation ditch) dengan sistem konvensional dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
2.2.3.6 Oxidation Ditch
Pada prinsipnya sistem oxidation ditch adalah extended aeration yang semula dikembangkan
berdasarkan saluran sirkular dengan kedalaman 1-1,5 m yang dibangun dengan pasangan batu.
Air diputar mengikuti saluran sirkular yang cukup panjang untuk tujuan aerasi dengan alat
mekanik rotor seperti sikat baja yang berbentuk silinder. Rotor diputar melalui as (axis)
horizontal dipermukaan air. Alat aerasi ini disebut juga cage rotor.
Belanda mengembangkan saluran sirkular yang lebih dalam (2,5-4 m) untuk mengurangi luas
lahan yang diperlukan. Hanya sistem rotor horizontal diganti dengan aerator dengan as (axis)
vertikal. Sistem ini dikenal dengan carroussel ditch. Umumnya sistem ini dilengkapi dengan
bak pengendap (clarifier) dan sludge drying bed (unit pengering lumpur). Resirkulasi lumpur ke
dalam reaktor untuk mendapatkan konsentrasi lumpur antara 0,8-1,2% sehingga rasio resirkulasi
lumpur dilakukan antara 50-100%. Kebutuhan luas sludge drying bed antara 0,05-0,33 m2
/capita. Besaran ini bergantung pada efektivitas digester yang digunakan. Makin efektif digester
maka kebutuhan lahan akan semakin kecil.
352
Activatedsludge
Sludge(lumpur
(Lumpur aktif)
Aktif)
Activeted
Convensional
Tipe
Konvensional
Kriteria Activated Sludge
Tangki pengendap
kriteriaActivited sludge
Tangki aerasi
Influent
Kriteria
Oxidation ditch
conventional
Consentrasi solid,mg/ltr
5000-6000
1500 -2000
Td, hari
0.7 1
0.25
Dalam kolam, m
3-5
3-5
95 - 98
90 - 93
0.13 0.35
0.10 0.35
Kebutuhan oxigen+)
1.2 1.8
0.8
HP / 1000 org
2.0 3.0
1.3 1.8
HP / 1000 m3 kolam
1.5 2.5
3.5 5.2
Pengembalian
lumpur
Pengering
lumpur
Tangki pengendap
Aeration HP*
Penangkap
lumpur
Rotor
aerasi
lumpur
Influent
Oxidation ditch
Parit Oksidasi
Air
Olahan
Parit Oksidasi
Aerator permukaan
Sirkulasi Lumpur (Return Sludge)
Buangan Lumpur (Waste Sludge)
353
2.Gelembung
sedang
3.Gelembung
besar
Uraian
Kelebihan
Menggunakan:pipa atau
sungkup keramik yang
berpori
Baik untuk
pengadukan dan
transfer oksigen
Baik untuk
pengadukan dan
biaya O&P rendah
Tidak mudah
tersumbat, biaya
O&P rendah
Menggunakan pipa
perforated
Menggunakan pipa
dengan orifice
Transfer
Efisiensi
Transfer
Rate
Biaya inisial
dan O&P
tinggi
10 30
1,2 2,0
Biaya inisial
tinggi
6 15
1,0 1,6
Biaya inisial
dan tenaga
listrik tinggi
4-8
0,6 1,2
Kekurangan
Sistem mekanikal:
1. Aliran radial 2060 rpm
Dengan diameter
impeller lebar
Fleksibel, adukan
baik
Biaya awal
tinggi
1,2 2,4
Dengan diameter
propeller pendek
Adukan
kurang
1,2 2,4
Tubular diffuser
Adukan
rendah
7 10
1,2 1,6
10 25
1,2 2,4
Cocok untuk
oxidation ditch
Perlu pompa
dan
kompresor
Efisiensi
rendah
Adukan tinggi
Energi tinggi
Jet
Brush rotor
Submed turbin
1,2 2,4
1,0 1,5
a) Kg O2/Kw.jam, (Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006)
354
Beban hidrolik permukaan (16-32) m3/(m2.hari) untuk debit rata-rata, dan (40-50)
m3/(m2.hari) untuk debit puncak.
Beban padatan (4-6) kg/(m2.jam) untuk debit rata-rata dan (8-10) kg/(m2. jam) untuk
debit puncak
Kedalaman bak pengendap (3-4,5) m
355
Inflow
Effluent
Kolam fakultatif
Kolam anaerob
Pembubuhan
disinfektant
Kolam Anaerob
Bak pencampur
Kolam fakultatif
Kolam anaerob
Kolam Anaerob
Kolam fakultatif
Kolam anaerob
Kolam
maturasi
Kolam Anaerob
Inflow
Kolam ikan
Kolam fakultatif
Kolam
ikan
Kolam
anaerob
Kolam Anaerob
Dari pengolahan lain
Kolam fakultatif
Kalam
maturasi
356
Gambar 2.19. Diagram Alir Proses Pengolahan Air Limbah Dengan RBC
clorinator
RBC
Saringan
sampah
inflow
Clari
fier
Preliminary
sedimentation
effluen
B
C
supernatan
tatannn
Drying bed
Sludge
digest
er
Piringan
sebagai
media
kontaktor
40%
di
air
Gambar 2.20. Skema Sistem Pengolahan Air Limbah Dengan Sistem RBC
357
Mampu menyediakan area permukaan yang luas untuk pertumbuhan film mikroba
Mampu menyediakan tempat mengalirnya air limbah meskipun dalam lapisan yang sangat
tipis melalui biofilm
Memiliki ruang hampa untuk mengalirkan udara secara bebas
Memiliki ruang hampa untuk melalukan padatan organic yang mengelupas dari biofilm
Inert secara biologis
Stabil secara kimia
Stabil secara mekanis
Masalah yang sering timbul pada operasi trickling filter adalah sering timbul lalat dan bau yang
berasal dari reaktor.
Sering terjadi pengelupasan lapisam biofilm dalam jumlah yang besar. Pengelupasan lapisan
biofilm ini disebabkan karena perubahan beban hidrolik atau beban organik secara mendadak
sehingga lapisan biofilm bagian dalam kurang oksigen dan suasan berubah menjadi asam karena
menerima beban asam organik sehingga daya adhesiv dari biofilm berkurang sehingga terjadi
pengelupasan.
Cara mengatasi gangguan terbut yakni dengan cara menurunkan debit air limbah yang masuk ke
dalam reaktor atau dengan cara melalukan aerasi di dalam bak ekualisasi untuk menaikkan
kensentrasi oksigen terlarut.
DESAIN
The National Research Council (NRC) mengembangkan persamaan untuk Trickling Filter
single atau tahap I :
E1
358
1
1
1 0,0561W/VF 2
1)
dimana :
E1
W1
faktor resirkulasi
1 R
2)
1 0,12
dimana :
R
rasio resirkulasi
E2
1 0,0561
W2
1
2
3)
2
V2F1 E2
atau
E2
1
1
0,0561 W2 2
1
1 E1 V2 F
4)
dimana :
E2
W2
V2
359
Dalam persamaan NRC ada 3 parameter yang dapat divariasikan untuk memperoleh nilai
efisiensi tertentu :
1. volume
2. jumlah tahapan
3. rasio resirkulasi
Persamaan (4) dikembangkan dengan asumsi bahwa intermediat clarifier ada di antara kedua
TF. Persamaan (1) dapat ditulis sebagai :
V1 0,0263QSo
1 0,1R 2
1 R
E1
1 E
5)
dimana :
V1
So
1 0,1R 2
1 R
1 E1 1 E2
E2
360
6)
361
akan tumbuh lapisan film mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat
organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap.
Air limpasan dan bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob. Di dalam bak
kontaktor aerob ini diisi dengan media dan bahan plastik tipe sarang tawon, sambil diaerasi atau
diberi dengan udara sehingga mikroonganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang
ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air
limbah akan kontak dengan mikroorgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang
menempel pada permukaan media dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik,
deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia
menjadi lebih besar. Proses ini sering dinamakan dengan Aerasi Kontak (Contact Aeration).
Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak bak pengendap akhir,
lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke
bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow)
dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan
senyawa khlor untuk membunuh microorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar
setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan
kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut, dapat menurunkan zat organik (BOD, COD),
ammonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya.
Pilihan Sistem IPAL dapat dipilih teknologi yang paling sesuai untuk kondisi setempat.
362
= 3-5 jam
= 20-50 m3/m2.hari (JWWA)
Biofilter Anaerob
Waktu Tinggal (Retention Time) rata-rata
Tinggi ruang lumpur
Tinggi Bed Media pembiakan mikroba
Tinggi air di atas bed media
Beban BOD per satuan permukaan media (LA)
= 6-8 jam
= 0,5 m
= 0,9-1,5 m
= 20 cm
= 5-30 g BOD/m2.hari
Biofilter Aerob
Waktu Tinggal (Retention Time) rata-rata
Tinggi ruang lumpur
Tinggi Bed Media pembiakan mikroba
Tinggi air di atas bed media
Beban BOD per satuan permukaan media (LA)
=
=
=
=
=
6-8 jam
0,5 m
1,2 m
20 cm
5-30 g BOD/m2.hari
Sumber :
LA g BOD/m2.hari
300
200
150
100
50
30
20
15
10
5
EBIE Kunio., Eisei Kougaku Enshu, Morikita Shuppan kabushiki Kaisha, 1992.
=
=
=
2-5 jam
10 m3/m2.hari
20-50 m3/m2.hari
363
:
:
:
:
:
:
:
:
Pengolahan Anaerobik
Pengolahan anaerobik merupakan suatu proses pengolahan yang tidak menggunakan oksigen
dalam menguraikan bahan organik oleh bakteri secara biokimia. Sebagaimana reaksi umumnya
sbb:
C,H,O, N, P, S. +NO3 -, PO43-, SO42-
Pada umumnya, untuk pengolahan secara anaerob di kawasan tropis sangat menolong
mengurangi pencemaran pada tingkat-tingkat tertentu. Sehingga kombinasi pengolahan jenis
lain dengan pengolahan aerobik merupakan pilihan untuk mendapatkan biaya optimal dalam
pengolahan limbah. Pada pengolahan anaerobik harus absen (tidak ada) dari oksigen, akibatnya
unit pengolahan sistem ini harus selalu tertutup.
Kecuali untuk kolam anaerobik, biasanya permukaannya dibiarkan terbuka, karena ada proses
fermentasi yang akan memunculkan buih/scum yang memadat di permukaan, dan akan
melindungi air dibawahnya dari udara luar sehingga proses anaerobik akan tetap berlangsung
baik. Dibawah ini diberikan beberapa kriteria untuk unit-unit pengolahan anarobik yang umum
digunakan.
Proses di dalam tangki septik adalah proses pengendapan dan pengeraman lumpur. Sistem
pemisahan antara dua kompartemen tangki dimaksudkan agar terjadi endapan sempurna.
Sedangkan besaran lumpur setelah mengalami dekomposisi pada umumnya sekitar (30-40)
l/kapita/tahun. Waktu detensi aliran untuk kesempurnaan pengendapan dan proses dekompossi
suspensi adalah (2-3) hari.
364
Jika menggunakan perkiraan kasar dapat dihitung volume (pori dan massa) anaerobik filter
(0,5-1) m3/kapita
Umumnya anaerobik filter digunakan sebagai pengolahan kedua setelah septik tank jika
alternatif peresapan ke tanah tidak mungkin dilakukan.
BOD/m3.hari. Biasanya waktu detensi (1-2) hari. Jika dinding dan dasar pada kolam anaerobik
tidak menggunakan pasangan batu, maka kolam tersebut harus dilapisi tanah kedap air (tanah
liat dan pasir 30%) setebal 30 cm atau diberi lapisan geomembran utk menghindari air dari
kolam meresap ke dalam tanah dan beresiko mencemari air tanah sekitarnya.
2.2.5
Phyto berasal dari kata Yunani - phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), Remediation
asal kata latin remediare (remedy) yaitu memperbaiki sesuatu atau membersihkan sesuatu. Jadi
Phytoremediation merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan
micro-organisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan
(pencemar/pollutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna
secara ekonomi.
Proses phytoremediasi
Proses pada sistim ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang
dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan yang berada disekitarnya.
a. Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari
media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan. Proses ini disebut juga
Hyperacumulation
b. Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengedapan zat kontaminan oleh
akar untuk menempel pada akar. Percobaan untuk proses ini dilakukan dengan menanan
bunga matahari pada kolam mengandung radio aktif untuk suatu tes di Chernobyl, Ukraine.
c. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak
mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada
akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.
d. Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted
bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba
yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri.
e. Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk
menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi
bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang
dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada
daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh
tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang
mempercepat proses proses degradasi.
366
f.
Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan
dalam bentuk larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di
uapkan ke admosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000
liter perhari untuk setiap batang.
Aplikasi lapangan
Beberapa penerapan lapangan dengan konsepsi phytoremediasi yang cukup berhasil di
antaranya adalah:
a. Menghilangkan logam berat yang mencemari tanah dan air tanah, seperti yang dilakukan di
New Zealand, lokasi: Opotiki, Bay of Plenty. Membersihkan tanah yang tercemar cadmium
(Cd oleh penggunaan pestisida) dengan menanam pohon poplar.
b. Membersihkan tanah dan air tanah yang mengandung bahan peledak ( TNT, RDX dan
amunisi meliter) di Tennese, USA dengan menggunakan metode wetland yaitu kolam yang
diberi media koral yang ditanami tumbuhan air dan kemudian dialirkan air yang tercemar
bahan peledak tersebut.. Tumbuhan yang digunakan seperti : Sagopond (Potomogeton
pectinatus), Water stargas (Hetrathera), Elodea (Elodea Canadensis) dan lain-lain.
c. Pengolahan limbah domestik dengan konsep phitoremediasi dengan metoda Wetland,
seperti yang diterapkan dibeberapa tempat di Bali dengan sebutan wastewater garden atau
terkenal dengan Taman Bali seperti yang terlihat di Kantor Camat Kuta, Sunrise school, dan
Kantor Gubernur.
Wetland ini berupa kolam dari pasangan batu kemudian diisi media koral setinggi 80 cm yang
ditanami tumbuhan air (Hydrophyte) selanjutnya dialirkan air limbah (grey water dan effluent
dari septic tank). Air harus dijaga berada pada ketinggian 70 cm atau 10 cm di bawah permukaan
koral agar terhindar dari bau dan lalat serangga lainnya. Untuk menghindari penyumbatan pada
lapisan koral maka air limbah sebelum masuk unit wetland ini harus dilewatkan pada unit
pengendap partikel discrete. Berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap influent dan effluent
diperoleh hasil evaluasi kinerja unit tersebut, dengan efisiensi penyisihan sebagai berikut: BOD
(80-90)%, COD (86-96) %, TSS (75-95) %, Total N (50-70) %, Total P (70-90)%, Bakteri
coliform 99 %.
Terdapat 27 spesies tumbuhan yang digunakan untuk taman di Bali ini diantaranya Keladi,
pisang, Lotus, Cana, Dahlia, Akar wangi, Bambu air, Padi-padian, Papirus, Alamadu dan
tanaman air lainnya. Pemeliharaan sistim ini sangat kecil yang umumnya hanya menyiangi daundaun tumbuhan yang layu/kering dengan demikian maitainance cost sangat rendah, Menurut
penjelasan dari pihak Sunrise school yang telah dua tahun menggunakan sistim ini belum pernah
terjadi cloging pada lapisan koral dengan rasio pori hanya 40% untuk ukuran koral hanya (5-10)
mm. Pada dasarnya proses yang terjadi pada wetland ini sangat alami artinya mikroorganisme
367
dan tanaman membetuk ekosistem sendiri untuk berhadapan dengan jenis polutan yang masuk,
jadi tingkat adaptasi/akomodasi terhadap zat dan kadar pencemararan sangat baik, berbeda
dengan misalnya fakultatif pond proses akan rusak (invalid) jika ada B3 yang masuk atau jika
beban pencemaran meningkat lebih dari 20% akan terbentuk algae bloom. Namun penerapan
yang digunakan umumnya terbatas pada skala kecil yaitu untuk perkantoran, sekolah dan
komunal skala RW, hal ini terjadi karena luas lahan yang dibutuhkan perkapitanya lebih tinggi
dibanding sistim konvensional umumnya. Meskipun dibandingkan dengan sistim kolam
stabilisasi kebutuhan lahan jauh lebih luas..
Konsep Perencanaan Wetland
Beberapa ketentuan yang diperlukan untuk merencanakan sistim di atas yaitu:
1. Unit wetland harus didahului dengan bak pengendap untuk menghidari penyumbatan pada
media koral oleh partikel-partikel besar.
2. Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman 1 m .
3. Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang-lubang untuk outlet
4. Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter (5-10) mm.
setinggi/setebal 80 cm
5. Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan
melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan.
6. Dialirkan air limbah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang
memungkinkan media selalu tergenang air berada 10 cm di bawah permukaan koral
7. Desain luas kolam berdasarkan beban BOD yang masuk tiap hari dibagi dengan loading
rate pada umumnya. Untuk Amerika utara = 32,10 kg BOD/Ha/hari. Untuk daerah tropis
kira-kira = 40 kg BOD/Ha/hari
368
Sludge atau lumpur merupakan bagaian terakhir dari proses pengelolaan air buangan yang harus
diolah terlebih dahulu sehingga aman bagi lingkungan. Pada dasarnya lumpur hasil
pengendapan dari bak pengendap pertama memiliki kadar air yang tinggi dengan bagian padat
berkisar (0,5-4)%. Alternatif cara pengelolaan lumpur dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Thickening:
Gravity
Flotation
Configuration
Sludge
masuk
Stabilisasi:
-Oksidasi
-Stabilisasi
dengan kapur
-Pengeraman
Aerobik
-Pengeraman
Anaerobik
Conditioning:
- Chemical
- Elutriation
- Pemanasan
Dewatering:
Pembuangan:
-Vaccum filter
-Filter Press
-Horizontal bed
filter
-Centrifugation
- Drying Bed
-Land
Application
-Composting
-Recalcination
-Landfilling
369
Proses thickening dan digester (pengeraman) dilakukan pada bak yang sama di imhof tank.
Lumpur disimpan pada digester hingga matang selama beberapa hari baru disalurkan ke drying
bed atau unit pengering lumpur. Penggunaan imhoff tank ini dapat dilakukan untuk jumlah
lumpur yang sedikit atau wilayah layanan sewerage yang kecil. Namun bila cakupan layanan
sewerage luas (besar), maka pengolahan lumpur haruslah dikelola dengan baik agar tidak
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, jumlah lumpur yang banyak ini memerlukan tahapan
pengolahan/proses lumpur yang lengkap untuk mendapatkan hasil yang baik dan efisiensi yang
tinggi.
2.2.6.1 Thickening
Tujuan thickening adalah mengurangi volume lumpur dengan membuang supernatannya.
Supernatan adalah cairan atau fase cair di dalam lumpur yang akan terpisah dengan fase
padatannya. Jika konsentrasi padatan dalam lumpur semula sebesar 2%, maka setelah melewati
proses thickening konsentrasi padatan dalam lumpur akan bertambah menjadi 5% sehingga
terjadi pengurangan volume sebesar 100 % - (200/5) % = 60%.
Gravity thickening adalah salah satu jenis thickening yang biasanya berbentuk silinder dengan
kedalaman 3,00 meter dan dasar berbentuk kerucut untuk memudahkan pengurasan lumpur.
Lumpur diendapkan di dalam tangki dengan waktu detensi selama1 hari. Tujuan penggunaan
thickening ini adalah mengurangi volume lumpur hingga (30-60)%. Tabel berikut di bawah ini
menyajikan kriteria perencanaan untuk gravity sludge thickener yang umum digunakan:
Tabel 2.9. Kriteria Perencanaan Gravity Sludge Thickener
Asal Lumpur
Pengendap I
Trickling
Filter
Activated
Sludge
Pengendap
I+II
Konsentrasi
Awal (%)
Consentration
Thickened
(%)
Beban
Hidraulik
(m3/m2.hr)
Laju Beban
Padatan
(kg/m2.hr)
Efisiensi
Pengendapan
(%)
Over flow
TSS
(%)
1,0-7,0
5,0-10,0
24-33
90-14,4
85-98
300-1.000
1,0-4,0
2,0-6,0
2,0-6,0
35-50
80-92
200-1.000
0,2-1,5
2,0-4,0
2,0-6,0
10-35
60-85
200-1.000
0,5-2,0
4,0-6,0
4,0-10,0
25-80
85-92
300-800
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah PU, 2006)
370
Pengaruh temperatur sangat penting dalam mempercepat proses pengeraman (digesting) yaitu
temperatur antara (350C-550C). Pada kondisi tersebut bakteri thermophilic memegang peranan
penting untuk proses pengeraman. Jadi pemanasan akan meningkatkan laju pengolahan dalam
digester menjadi lebih tinggi. Namun kawasan tropis pada dasarnya tidak memerlukan
pemanasan tambahan. Beberapa kriteria perencanaan yang dapat digunakan dapat dilihat pada
Tabel 2.10 berikut di bawah ini.
Tabel 2.10. Desain Kriteria untuk Pengeraman Anaerobik
Parameter
Standard Rate
Lama Pengeraman (SRT) (hari)
30 60
Sludge loading (kg VS/m3.hari)
0,64 1,60
Kriteria volume
Pengendapan I (m3/kapita)
0,03 0,04
Pengendapan I + II (dari activated sludge) (m3/kapita)
0,06 0,08
Pengendapan I + II (trickling filter) (m3/kapita)
0,06 0,14
Konsentrasi solid (lumpur kering) yg masuk (%)
24
Konsentrasi setelah pengeraman
46
High Rate
10 30
2,40 6,41
0,02 0,03
0,02 0,04
0,02 0,04
46
46
(Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006)
Pengeluaran gas
Pengeluaran scum
Inlet
lumpur
scum
Supernatan
Pembuangan
supernatan
Digested
sludge
Pengeluaran
lumpur
371
(0,14 0,28) m2/kapita untuk sludge drying bed tanpa atap penutup
(0,10-0,20) m2/kapita untuk sludge drying bed dengan atap penutup
30 cm lumpur
20cm pasir halus
10 cm pasir
kasar
10 cm krikil sedang
15 cm krikil
kasar
372
= 1.8519 l/dtk
1,2 x qr
1,2 x 1,8519
2,2223 l/dtk
154.1196109 l/dtk
0,154119 m3/dtk
373
0.2 x p1,2 x qr
17,38095882 l/dtk
0,017381 m3/dtk
Untuk pipa cabang/induk d/D = 0,8 sehingga dari nomogram untuk pipa bulat diperoleh :
Qp/Qf
Q penuh =
0,87
Qpuncak / 0,87
0,154119 / 0,87
0,1771482759 m3/s
D penuh =
0,4750 m
V penuh =
(4 x 0,1771482759)/(3,14 x 0,52)
0,903 m/s
Qg
Vw x (Ag - Am)
374
Vg
L x (Ag - Am)
Dg
0,4 Dg
Dm
0,4 Dm
2.2.7
Kendala Potensial
1.
2.
375
No.
3.
4.
5.
6.
7.
Kendala Potensial
Problem scale (kerak), korosi,
masalah kesehatan masyarakat
khususnya mengenai transmisi
patogen lewat aerosol di dalam
cooling tower.
Polutan organik, logam berat,
patogen, nitrat
Masalah kesehatan masyarakat
khususnya dalam hubungannya
dengan bakteria, virus, patogen
Eutrophikasi akibat nutrien N, P
Kesehatan masyarakat khususnya
mengenai transmisi patogen lewat
aerosol.
Pengaruh kualitas air, Problem
scale (kerak), korosi
Masalah polutan mikro dan efek
toksisitas, patogen.
Estetika dan penerimaan
masyarakat.
Transmisi virus dan patogen
lainnya
Teknologi pengolahan daur ulang air limbah telah berkembang seiring dengan makin besarnya
kebutuhan air dan semakin mahalnya air bersih. Beberapa teknologi pengolahan dapat dilihat
pada gambar-gambar berikut ini.
Pengolahan daur ulang air limbah menggunakan proses flokulasi dengan penambahan bahan
kimia, yang dilanjutkan dengan filtrani. Salah satu metode pengolahan daur ulang air limbah
376
IPAL di Denever menggunakan kombinasi adsorpsi karbon aktif dan reverse osmosis dan
dilanjutkan dengan kontaktor ozon..
Gambar 2.27 Beberapa Proses Pengolahan Tersier yang Sering Digunakan untuk
Reklamasi Atau Daur Ulang Air Limbah (Nusa Idaman Said, 2012)
377
Gambar 2.28. Diagram alir proses daur ulang air limbah di Denever Potable Water Reuse
Demonstration Plant (Nusa Idaman Said, 2012)
Metode pengolahan daur ulang limbah di Orange County, California sama halnya dengan di
IPAL Denever, menggunakan kombinasi adsorpsi karbon aktif dengan reverse osmosis, dan
desinfeksi klorin dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Salah satu pengolahan daur ulang air limbah di Asia Tenggara adalah di Singapura yaitu
NEWater Factory. NEWater Factory adalah pusat reklamasi air lanjut (advanced water
reclamation pant) yang mengolah air efluen sekunder dari Bedok Water Reclamation Plant
(dulu disebut Bedok Sewage Treatment Works) dengan menggunakan teknologi kombinasi
dual-membran yakni ultrafiltrasi dan reverse osmosis, dilanjutkan dengan disinfeksi
menggunakan sistem ultraviolet. Unit pengolahan dibuat dalam bentuk yang kompak dengan
kapasitas 10.000 m3 per hari.
Air yang diolah berasal dari efluen sekunder atau air olahan dari pusat rekalmasi air limbah di
Bedok yang mengolah air limbah perkotaan dengan proses lumpur aktif. Efluen sekunder
tersebut mengandung zat organik dengan konsentrasi BOD 10 mg/l, TSS 10 mg/l, ammonianitrogen 6 mg/l, Total disolved solids (TDS) 400-600 mg/l dan Total Organic Carbon (TOC) 12
mg/l.
378
Gambar 2.29 Skema diagram proses reklamasi air limbah Water Factory 21, Orange
County, California.
Pertama, efluen sekunder dialirkan ke saringan mikro (micro-screen) dengan ukuran 0,3 mm,
selanjutnya dilairkan ke unit ultra filtrasi yang dapat memisahkan padatan atau partikel dengan
ukuran 0,2 m.
Selanjutnya dilanjutkan dengan proses demineralisasi dengan menggunakan membran reverse
osmosis. Hasil dari proses Reverve omosis dilakukan proses disinfeksi menggunakan irradiasi
ultraviolet. Injeksi khlorine dilakukan di dua titik yakni sebelum dan sesudah Ultrafiltrasi untuk
mencegah terjadinya pertumbuhan biofouling didalam sistem membran.
Unit Reverse Osmosis (RO) yang digunakan terdiri dari dua unit yang dipasang paralel masingmasing kapasitas 5000 m3 per hari. Jenis membrane RO yang digunakan adalah jenis thin-film
composite dari bahan aromatic polyamide yang dirancang dengan recovery 80 -85 % dan
dipasang seri tiga tahap. Unit proses disinfeksi terdiri dari tiga buah streilisator Ultra Violet
(UV) yang dipasang seri dengan dosis 60 mJ/cm2. Selanjunya dilakukan kontrol pH dengan
menambahkan soda ash. Pendekatan Multiple Barrier untuk penghilangan polutan kimia dan
mikro-organisme patogen, NEWater, Singapura, seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Berikut
ini.
379
Gambar 2.30. Pengolahan Daur Ulang Air Limbah/Reklamasi Air Limbah di NEWater,
Singapura
380
SEDIMENTASI
381
382
383
TRICKLING FILTER
384
385
KOLAM PENGOLAHAN
386
387
LUMPUR AKTIF
388
389
MODUL 07
MENGGAMBAR TEKNIK
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
Pendahuluan
.. 391
Ketentuan-ketentuan
......... 392
Gambar Perencanaan Sistem Jaringan Perpipaan Air Limbah ..................................................... 395
Gambar Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah
..... 396
4.1 Jenis Gambar Hasil Perencanaan
............................................................................... 396
4.2 Skala Gambar Hasil Perencanaan
............................................................................... 396
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1
Gambar 2. 2
Gambar 4. 1
Gambar 4. 2
Gambar 4. 3
Gambar 4. 4
Gambar 4. 5
Gambar 4. 6
Gambar 4. 7
Gambar 4. 8
Gambar 4. 9
Gambar 4. 10
Gambar 4. 11
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Jenis Kertas ........................................................................................................................ 392
Tabel 2. 2 Jenis garis dan tebal garis ................................................................................................... 392
MENGGAMBAR TEKNIK
1.
PENDAHULUAN
Menggambar merupakan salah satu cara komunikasi antara seseorang dengan yang lainnya, sehingga
dengan melihat suatu gambar maka seseorang akan dapat mengerti arti gambar itu.
Karena gambar teknis merupakan suatu alat komunikasi, maka gambar teknis tidak boleh
menimbulkan tafsiran yang berbeda bagi orang yang melihatnya. Oleh karena itu perlu ada tandatanda atau patokan tertentu atau standar sebagai suatu perjanjian bersama.
Teknik penyampaian gambar harus :
Terukur (berskala)
Estetik (indah)
2.
KETENTUAN-KETENTUAN
1. Huruf teknis
Di dalam gambar teknis juga harus ada keseragaman bentuk huruf, yaitu huruf teknis yang berupa
huruf cetak besar.
2. Ukuran kertas
Untuk membuat gambar yang membutuhkan beberapa kertas sekaligus, dianjurkan memakai
kertas dengan ukuran yang sama. Untuk menentukan ukuran-ukuran kertas tersebut dipakai
patokan atau ukuran standar yaitu: A0, A1,A2, A3 atau A4.Kertasgambar yang sering digunakan
(kertasputih, kertaskalkir).
391
X dalam mm
Y dalam mm
A0
A1
A2
A3
A4
A5
841
594
420
297
210
148
1189
841
594
420
297
210
4. Skala gambar
Pakailah skala dengan angka-angka yang bulat dan mudah yaitu sebagai berikut:
1. Gambar situasi skala 1:5.000 sampai 1:10.000
2. Gambar tapak (site plan) skala 1 : 200/500/ 800/1000 dan seterusnya sesuai kondisi besaran
site bangunan.
Gambar tapak (Site Plan) adalah gabungan gambar denah bangunan dengan kondisi tapak
atau lahan/lingkungan alam sekitar, yang menginformasikan konteks hubungan rancangan
ruang di dalam bangunan dengan ruang di luar bangunan di dalam tapak, dan sebagai ruang
luar yang menunjang terhadap perancangan di dalam tapaknya.
392
Denah adalah gambar penampang bangunan yang dipotong secara bidang datar atau horizontal
pada ketinggian satu meter di atas lantai. Denah merupakan gambar yang mencerminkan
skema organisasi kegiatan-kegiatan dalam bangunan dan merupakan unsure penentu bentuk
bangunan.
3. Gambarpotongan skala 1:50 sampai 1:100
Potongan : penampang dari irisan vertical bangunan yang menjelaskan kondis iruang,
dimensi, skala, struktur, konstruksi, ketinggian bangunan. Pada rancangan suatu bangunan
minimal terdapat dua arah potongan yaitu potongan melintang dan potongan memanjang.
Arah potongan dilengkapi dengan penunjuk arah pandangan yang disertai dengan notasi huruf
pemotong seperti A A, B B, 1 1, 2 2, I I, II II, dst.
5. Simbol
Simbol: tanda/notasi pada gambar untuk menjelaskan bagian-bagian gambar yang lain pada
lembar yang sama atau lembar lainnya.
Besi
Kayu
393
Permukaan tanah
Permukaan air
394
MH 9
a.
b.
6. Legenda
Legenda: sistem penggambaran untuk memperlihatkan jenis bahan, struktur/susunan yang berlaku
umum dan dapat dimengerti oleh semua pihak yang berhubungan dengan pekerjaan penggambaran
tersebut
3.
1. Petakunci (key map) seluruh sistem sewerage (jaringan pipa, termasuk titik lokasi pompa dan
IPAL) yang dibagi dalam beberapa indek peta. Peta ini sebaiknyadibuat secara digital dari hasil
pemotretan udara dengan skala 1 : (30.000-50.000).
2. Peta sistem jaringan (lay-out) dalam satu indeks peta (terdiri dari satu atau beberapa seksi pipa),
sebagai hasil desain, skala 1 : 1000, yang mencakup :
a. Lay-out seks ipipa (dua atau beberapa MH yang ada dalam satu indeks peta)
b.
c.
d.
e.
f.
Elevasi muka tanah dan/atau ditunjukkan dengan kontur interval 300 mm.
3. Gambar detailed plan, sebuah profil kerja yang dapat dipakai sebagai Gambar Dokumen Tender,
dalam satu lembar gambarkerja(A1 atau A0) terdiri dari :
a. Gambar denah (sewer plan) seperti disajikan dalam indek peta, dengan letak memanjang
kertas gambar A1 atau A0, skala 1 : 1000
b. Gambar profil (sewer profile), dengan posisi di bawah gambar denah, berupa potongan
memanjang pipa dan data desain pipa mencakup
nama jalan;
utilitas kota di sekitar (jalur) jaringan;
panjang dan diameter pipa;
titik lokasi, no. dan tipe Manhole;
elevasi muka tanah eksisting;
c. Informasi penting lainnya dengan posisi di bagian kanan berupa
gambar logo dari pemberi tugas, perencana dan gambar instansi lain;
indeks peta dan nomornya; judul, nomer dan halaman gambar;
skala 1 : 100 (vertikal) dan 1 : 1000 (horisontal) untuk kertas A1;
tanggal disetujuinya gambar; nama-nama drafter, pemeriksa dan pemberi persetujuan
untuk keperluan tanda tangan yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan (kesepakatan);
395
nama proyek;
nama paket;
legenda seperti notasi jalan, jembatan, sungai, manhole, pipa air, pipa/kabel listrik,
bangunan-bangunan (perumahan, gedung dan fasilitas lain lengkap dengan namanya),
pipa air limbah dengan arah aliran, dimensi dan panjangnya, serta notasi lain yang
dianggap penting.
d. Gambar detail/tipikal yang terdiri dari detail MH, bedding, SR, bangunan pengumpul, rumah
pompa dan lain-lain.Gambar detail inidibuat dengan skala 1:1 sampai 1:10
4.
396
397
398
399
400
401
Gambar 4. 9 TipikalBangunanPenggelontor
402
403
404
MODUL 08
MANAJEMEN KONSTRUKSI
PEMBANGUNAN IPLT DAN IPAL
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
DAFTAR ISI
1. UMUM .................................................................................................................................... 405
2. TAHAPAN .............................................................................................................................. 405
2.1 Tahap Persiapan/Pra Desain ............................................................................................ 405
2.2 Tahap Perencanaan/Desain ............................................................................................. 406
2.3 Tahap Pelelangan Dan Keputusan Pemenang ................................................................. 406
2.4 Tahap Pelaksanaan/Konstruksi ....................................................................................... 407
3. PENDUKUNG TEKNIS PENGELOLAAN PROYEK ........................................................... 409
3.1 Organisasi Proyek ........................................................................................................... 409
3.2 Rapat konstruksi dan Rapat Koordinasi .......................................................................... 409
3.3 Jadwal Pelaksanaan Proyek ............................................................................................. 410
3.4 Metode Pelaksanaan Pekerjaan ....................................................................................... 414
3.5 Analisis Harga Satuan Pekerjaan .................................................................................... 415
3.6 Rencana Biaya Pekerjaan/Proyek dan Rencana Arus Kas .............................................. 416
3.7 Pengendalian Biaya Pelaksanaan Proyek ........................................................................ 417
4. KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA ................................................................... 418
5. MANAJEMEN RISIKO.......................................................................................................... 420
5.1 Manajemen Resiko dalam Proyek Konstruksi ................................................................ 421
5.2 Manfaat Manajemen Risiko ............................................................................................ 422
5.3 Tahapan Manajemen Risiko ............................................................................................ 424
6. PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN ........................................................................... 426
6.1 Ketentuan Umum ............................................................................................................ 428
6.2 Ketentuan Teknis ............................................................................................................ 430
6.3 Profil Hidrolis IPLT dan IPAL........................................................................................ 436
6.4 As Built Drawing dan Shop Drawing ............................................................................. 437
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Tabel 6.1. Penanganan Kebocoran ............................................................................................ 435
ii
MANAJEMEN KONSTRUKSI
1.
UMUM
Kegiatan Manajemen Konstruksi meliputi pengendalian waktu, biaya, pencapaian sasaran fisik
(kuantitas dan kualitas), dan tertib administrasi dalam pembangunan bangunan gedung negara,
mulai dari tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan konstruksi sampai dengan
masa pemeliharaan (Permen PU no 45 Tahun 2007)
2.
TAHAPAN
2.1
Pada tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah (Permen PU no 45 Tahun 2007) :
a. membantu pengelola kegiatan melaksanakan pengadaan penyedia jasa perencanaan,
termasuk menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK), memberi saran waktu dan strategi
pengadaan, serta bantuan evaluasi proses pengadaan;
b. membantu Pengelola Kegiatan dalam mempersiapkan dan menyusun program pelaksanaan
seleksi penyedia jasa pekerjaan perencanaan;
c. membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dalam penyebarluasan pengumuman seleksi
penyedia jasa pekerjaan perencanaan, baik melalui papan pengumuman, media cetak,
maupun media elektronik;
d. membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa melakukan pra-kualifikasi calon peserta
seleksi penyedia jasa pekerjaan perencanaan;
e. membantu memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu rapat penjelasan pekerjaan;
f.
membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dalam menyusun Harga Perhitungan Sendiri
(HPS)/Owners Estimate (OE) pekerjaan perencanaan;
405
g. membantu melakukan pembukaan dan evaluasi terhadap usulan teknis dan biaya dari
penawaran yang masuk;
h. membantu menyiapkan draft surat perjanjian pekerjaan perencanaan;
i.
2.2
Tahap Perencanaan/Desain
Pada tahap perencanaan, kegiatan yang dilakukan adalah (Permen PU no 45 Tahun 2007) :
a. mengevaluasi program pelaksanaan kegiatan perencanaan yang dibuat oleh penyedia jasa
perencanaan, yang meliputi program penyediaan dan penggunaan sumber daya, strategi dan
pentahapan penyusunan dokumen lelang;
b. memberikan konsultansi kegiatan perencanaan, yang meliputi penelitian dan pemeriksaan
hasil perencanaan dari sudut efisiensi sumber daya dan biaya, serta kemungkinan
keterlaksanaan konstruksi;
c. mengendalikan program perencanaan, melalui kegiatan evaluasi program terhadap hasil
perencanaan, perubahan-perubahan lingkungan, penyimpangan teknis dan administrasi atas
persoalan yang timbul, serta pengusulan koreksi program;
d. melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat pada tahap perencanaan;
e. menyusun laporan bulanan kegiatan konsultansi manajemen konstruksi tahap perencanaan,
merumuskan evaluasi status dan koreksi teknis bila terjadi penyimpangan;
f.
2.3
Pada tahap pelelangan dan keptusan pemenang, kegiatan yang dilakukan adalah (Permen PU no.
45 Tahun 2007) :
406
2.4
Tahap Pelaksanaan/Konstruksi
407
f.
408
mengawasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dari segi kualitas, kuantitas, dan laju
pencapaian volume/ realisasi fisik;
menyusun laporan dan berita acara dalam rangka kemajuan pekerjaan dan pembayaran
angsuran pekerjaan pelaksanaan konstruksi ;
menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan, serah terima pertama, berita
acara pemeliharaan pekerjaan dan serah terima kedua pekerjaan konstruksi, sebagai
kelengkapan untuk pembayaran angsuran pekerjaan konstruksi;
3.
3.1
Organisasi Proyek
Tipe atau bentuk organisasi proyek dari kontraktor sebagai pelaksana proyek sangat bervariasi,
tergantung pada :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
409
Materi yang dibahas sekitar rencana kerja, kesiapan sumber daya, kemajuan pekerjaan,
laporan kemajuan pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan kelancaran
pelaksanaan proyek
Biasanya dilakukan dalam suasana informal dan terencana
Peserta rapat siap membawa data dan materi usulan
Melaksanakan koordinasi yang perlu untuk mendapatkan penyelesaian bersama
Rapat dipimpin oleh coordinator pelaksana lapangan atau site engineer dari pemilik
proyek
Untuk menperoleh hasil keputusan rapat konstruksi yang semaksimal mungkin dan bisa
menampung kepentingannya, manajer proyek sebagai wakil perusahaan harus mempunyai
strategi yang tepat agar keputusan rapat konstruksi mengakomodasi kepentingannya dengan
baik.
b. Internal.
Dengan periode yang hamper bersamaan atau sebaliknya, sebelum periode rapat eksternal,
rapat konstruksi dan rapat koordinasi internal dilakukan majer proyek bersama stafnya.
Terutama staf yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.
Rapat internal proyek berfungsi :
3.3
410
Ketersediaan dan keterkaitan sumber daya material, perlatan dan manual pelengkap lainnya
yang menunjang terwujudnya proyek yang bersangkutan
g. Kapasitas/daya tampung area kerja proyek terhadap sumber daya yang dipergunakan selama
operasional pelaksanaan berlangsung
h. Produktifitas sumber daya, peralatan proyek, tenaga kerja proyek selama operasional
berlangsung dengan referensi dan perhitungan yang memenuhi aturan teknis
i.
j.
Referensi hari kerja efektif (pekerjaan) dengan mempertimbangkan hari-hari libur resmi
nasional, daerah dan hari-hari keagamaan serta adat setempat dimana proyek berada.
k. Kemungkinan lain yang sering terjadi di daerah atau wilayah proyek tersebut berada
l.
Kesiapan sumber daya finansial proyek atau ketersediaan dana proye yang bersangkutan.
Bila ada kontraktor yng terlambat menyelesaikan proyeknya dari jadwal yang telah ditentukan,
maka ada dua kemungkinan yang menjadi penyebabnya yaitu :
Adanya halangan atau kejadian yang memang di luar perhitungan dan pertimbangan dalam
perencanaan waktu proyek
Program kerja dan pengendalian pelaksanaan proyek oleh ntraktor tersebut tidak berjalan
sebagai mana mestinya.
411
Pada permulaan menunjukkan progress yang sangat kecil. Maka rencana juga harus
realistis sesuai dengan kemamuan dan kondisi persiapan pekerjaan
Sangat membantu perencana proyek. Suatu proyek umumnya dimula dengan rencana
program yang cukup kecil lalu meningkat pada beberapa waktu kemudian. Dengan
demikian beberapa pekerjaan merupakan peak load yang harus dilaksanakan secara
serentak. Kurva S berguna memberikan indikasi dan koreksi pertama pada jadwal yang
kita buat.
Kurva S adalah adalah suatu kurva yang disusun untuk menunjukkan hubungan antara nilai
komulatif biaya atau jam-orang (man hours) yang telah digunakan atau persentase (%)
penyelesaian pekerjaan terhadap waktu. Dengan demikian pada kurveS dapat digambarkan
kemajuan volume pekerjaan yang diselesaikan sepanjang berlangsungnya proyek atau
pekerjaan dalam bagian dari proyek. Dengan membandingkan kurve tersebut dengan kurve
yang serupa yang disusun berdasarkan perencanaan, maka akan segera terlihat dengan jelas
apabila terjadi penyimpangan. Oleh karena kemampuannya yang dapat diandalkan dalam
melihat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan proyek, maka pengendalian
proyek dengan memanfaatkan KurveS sering kali digunakan dalam pengendalian suatu
proyek.
Bentuk kurva yang menyerupai huruf S disebabkan kegiatan proyek berlangsung sebagai
berikut :
1. Kemajuan pada awalnya bergerak lambat
2. Berikutnya kegiatan bergerak cepat dalam waktu yang lebih lama
3. Akhirnya kecepatan kemajuan menurun dann berhenti pada titik akhir
Guna kurva S :
1. Untuk perkiraan besarnya biaya yang harus dikeluarkan setiap periode waktu tertentu
selama pelaksanaan pekerjaan
2. Sebagai alat pemantauan (monitoring) dari realisasi pelaksanaan pekerjaan dibandigkan
dengan rencananya apakah masih dalam batas normal, terlalu cepat, atau terlalu lambat
412
413
3.4
414
3.5
Nilai finansial sebuah proyek diperoleh dengan menghitung hasil perkalian antara perkiraan
volume pekerjaan dan perkiraan harga satuan pekerjaan yang terkait. Namun untuk proyekproyek yang berjangka waktu lama atau disebut sebagai Multi years contract harga satuan
pekerjaan merupakan komponen penting dan mendasar, karena kontrak pekerjaan tersebut
umumnya dalam bentuk unit price contract yaitu ikatan kontrak berdasarkan nilai arga satuan
pekerjaannya.
Adapun volume pekerjaan bisa berubah-ubah sesuai realisasi kebutuhan dan pertimbangan
teknis selama pelaksanaan. Maka nilai finansial proyek pun akan berubah pada akhir
415
pelaksanaan proyek. Nilai pekerjaan tabah atau pekerjaan kurang tersebut biasa disebut sebagai
variation order.
3.6
Rencana biaya proyek adalah rencana biaya pelaksanaan proyek (RPB) atau biasa disebut
Rencana Anggaran Biaya Pelaksanaan Proyek (RAB Pelaksanaan). RPB atau RAB
pelaksanaan merupakan salah satu dokumen kelengkapan yang dibutuhkan dalam suatu
operasional pelaksanaan proyek, sebagai acuan/pedoman operasional pelaksanaan proyek.
Khususnya dalam pengelolaan yang berhubungan dengan hasil usaha proyek, yatu sebagai
pedoman dalam mencapai pendapatan proyek dan mengendalikn biaya proyek, agar minimal
tercapai seperti yang direncanakan.
416
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam membuat RPB atau RAB pelaksanaan :
1. Pengalaman atau refernsi dari realisasi pengelolaan proyek-proyek yang lalu
2. Hasil observasi ulang atas data sumber daya yang diperlukan (harga, jumlah yang tersedia,
proses administrasi srana perhubungan dan ain-lain) dan lokais/medan kerja proyek
3. Kebijaksanaan perusahaan
4. Kesepakatan atau komitmen manajer proyek dengan direksi perusahaan
Rencana arus kas pelaksanaan proyek (RAKP) atau rencana cash flow pelaksanaan proyek
adalah data perkiraan (atau realisasi) penerimaan pembayaran (pembayaran masuk/cash in) dan
pengeluaran pembayaran (pembayaran keluar/cash out). Dengan demikian diperoleh data
perkiraan kapan periode pelaksanaan proyek yang bersangkutan membutuhkan dana
operasionalnya.
Tujuan penyusunan :
1. Sebagai pedoman/acuan pengelolaan keuangan proyek agi manajer proyek dan staf terkait
2. Sebagai tolok ukur penilaian keberhasilan pengelolaan keuangan proyek
3. Sebagai sarana untuk memonitor dan mengevaluasi pengelolaan proyek dan hasil usaha
proyek, khususnya likuiditas keuangan proyek.
417
Pengendalian yang diterapkan dalam operasional pelaksanaan proyek tidak sekedar berarti
pengawasan dan atau pemeriksaan obyek dan kejadian, tetapi lebih merupakan tindakan yang
sekaligus merupakan aktivitas perencanaan, pengawasan, pemeriksaan, evaluasi dan tindakan
pencegahan atau perbaikannya.
4.
Pada setiap proyek, khususnya proyeksi konstruksi, selalu ditandai dengan keterlibatan berbagai
sumber daya. Sumber daya itu meliputi material dengan berbagai jenis dan beratnya, peraltan
dengan berbagai tipe dan kapasitasnya serta tenaga kerja dengan berbagai macam latar belakang
sosial, tingkat pendidikan dan karakter kepribadiannya. Jadi sangatlah mungkin pada kegiatan
pelaksanaan proyek terjadi kesalahan yang dapat mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja.
Oleh karena itu pada program pelaksanaa proyek yang ditangani telah diperhitungkan dan
dilaksanakan tindakan keselamatan dan kesehatan kerja.
Inspirasi dan motivasi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di bidang jasa
konstruksi :
1. Terjadinya kecelakaan di tempat kerja atau kecelakaan kerja yang membawa korban
manusia (pekerja dan yang terkait) dan harta benda berupa peralatan, material dan
bangunan.
2. Adanya kesadaran atas nilai luhur martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dalam
kebersamaan dan kesejahteraan hidup yang menuntut peningkatan perlindungan dalam
bekerja dan di tempat kerja.
3. Ada dan berlakunya peraturan dan undang-ndang yang mengatur dan mewajibkan
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
4. Kewajiban moral seluruh dunia usaha dan masyarakat sebab Indonesia termasuk Negara
dan bangsa yang menjunjung hak-hak asasi manusia dan telah menanda tangani konvensi
internasional tentang K3
418
3. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 98/KPTS/1979 tentang penggunaan surat ijin
mengemudi peralatan, poster dan buku Keselamatan dan Kesehatan Kerja di lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum
4. Undang-undang Keselamatan Kerja No. 1 tahun 1970 yang memuat ketentuan umum
tentang keselamatan kerja dalam usaha mencegah dan mengurangi kecelakaan maupun
bahaya lainnya.
5. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 yang memuat ketentuan pokok mengenai tenaga kerja
dalam mencegah, mengenal obat, perawatan, mempertinggi derajat kesehatan, mengatur
hygiene dan kesehatan kerja
6. Undang-undang No. 3 tahun 1969 tentang persetujuan konvensi organisasi perburuhan
internasional no. 120 mengenai hygiene dalam perniagaan dan kantor-kantor
419
Manfaat pelaksanaan K3 :
1. Memberi kepastian rasa aman dan nyaman dalam pelaksanaan pekerjaan
2. Kemungkinan terjadinya kecelakaan diperkecil atau ditiadakan kecuali karena factor alam
seperti gempa, banjir, angina topan, dan lain-lain.
3. Produktifitas kerja dan profit bisa dicapai lebih baik, karena :
a. Pekerjaan tidak terhenti
b. Peralatan tiak berhenti berproduksi
c. Tidak ada ganti rugi akibat pembayaran denda atau klain/penalty
d. Mobilitas dan semangat kerja normal atau lebih giat
e. Tidak terjadi masalah atau pertentangan dengan pekerja
f.
Tidak terjadi gangguan atau kehilangan tenaga terampil yang sangat dibutuhkan dalam
pelaksanaan pekerjaan
5.
MANAJEMEN RISIKO
420
Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah untuk mengurangi risiko yang berbeda-beda
yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh
masyarakat. Hal ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan,
teknologi, manusia, organisasi dan politik. Di sisi lain pelaksanaan manajemen risiko
melibatkan segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen risiko
(manusia, staff, dan organisasi).
Dalam perkembangannya risiko-risiko yang dibahas dalam manajemen risiko dapat diklasifikasi
menjadi
1. Risiko Operasional
2. Risiko Hazard
3. Risiko Finansial
4. Risiko Strategik
Hal ini menimbulkan ide untuk menerapkan pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi
Korporasi (Enterprise Risk Management). Manajemen Risiko dimulai dari proses identifikasi
risiko, penilaian risiko, mitigasi, monitoring dan evaluasi.
5.1
Ada banyak definisi tentang resiko, resiko dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan
ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future) dengan keputusan
yang diambil berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat ini. Manajemen resiko adalah proses
pengukuran atau penilaian resiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang
dapat diambil antara lain adalah memindahkan resiko kepada pihak lain, menghindari resiko,
mengurangi efek negatif resiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi resiko
tertentu. Manajemen resiko tradisional terfokus pada resiko-resiko yang timbul oleh penyebab
fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian serta tuntutan hokum).
Manajemen Resiko didefinisikan sebagai proses identifikasi, pengukuran, dan kontrol keuangan
dari sebuah resiko yang mengancam aset dan penghasilan dari sebuah perusahaan atau proyek
yang dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian pada perusahaan tersebut (Smith, 1990).
Manajemen risiko juga didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif untuk
menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian (Clough and Sears, 1994). Sementara
William, et al., (1995) menyatakan manajemen risiko juga merupakan suatu aplikasi dari
manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menangani sebab dan
akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi. Sedangkan Dorfman, (1998), berpendapat
421
bahwa manajemen risiko sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami eksposur
terhadap suatu kerugian.
Tindakan manajemen resiko diambil oleh para praktisi untuk merespon bermacam-macam
resiko. Responden melakukan dua macam tindakan manajemen resiko yaitu mencegah dan
memperbaiki. Tindakan mencegah digunakan untuk mengurangi, menghindari, atau mentransfer
resiko pada tahap awal proyek konstruksi. Sedangkan tindakan memperbaiki adalah untuk
mengurangi efek-efek ketika resiko terjadi atau ketika resiko harus diambil (Shen, 1997).
Manajemen resiko adalah sebuah cara yang sistematis dalam memandang sebuah resiko dan
menentukan dengan tepat penanganan resiko tersebut. Ini merupakan sebuah sarana untuk
mengidentifikasi sumber dari resiko dan ketidakpastian, dan memperkirakan dampak yang
ditimbulkan dan mengembangkan respon yang harus dilakukan untuk menanggapi resiko
(Uher,1996).
Pendekatan sistematis mengenai manajemen risiko dibagi menjadi 3 stage utama, yaitu
(Soeharto, 1999):
1. Identifikasi resiko
2. Analisa dan evaluasi resiko
3. Respon atau reaksi untuk menanggulangi resiko tersebut
5.2
Manfaat yang diperoleh dengan menerapkan manajemen resiko antara lain (Mok et al., 1996):
1. Berguna untuk mengambil keputusan dalam menangani masalah-masalah yang rumit.
2. Memudahkan estimasi biaya.
3. Memberikan pendapat dan intuisi dalam pembuatan keputusan yang dihasilkan dalam cara
yang benar.
4. Memungkinkan bagi para pembuat keputusan untuk menghadapi resiko dan ketidakpastian
dalam keadaan yang nyata.
5. Memungkinkan bagi para pembuat keputusan untuk memutuskan berapa banyak informasi
yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah.
6. Meningkatkan pendekatan sistematis dan logika untuk membuat keputusan.
7. Menyediakan pedoman untuk membantu perumusan masalah.
8. Memungkinkan analisa yang cermat dari pilihan-pilihan alternatif.
422
Analisis Risiko
Risiko adalah hal yang tidak akan pernah dapat dihindari pada suatu kegiatan / aktivitas yang
idlakukan manusia, termasuk aktivitas proyek pembangunan dan proyek konstyruksi. Karena
dalam setiap kegiatan, seperti kegiatan konstruksi, pasti ada berbagai ketidakpastian
(uncertainty). Faktor ketidakpastian inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya risiko pada
suatu kegiatan. Para ahli mendefinisikan risiko sebagai berikut :
1. Risiko adalah suatu variasi dari hasil hasil yang dapat terjadi selama periode tertentu pada
kondisi tertentu (William & Heins, 1985).
2. Risiko adalah sebuah potensi variasi sebuah hasil (William, et al., 1995).
3. Risiko adalah kombinasi probabilita suatu kejadian dengan konsekuensi atau akibatnya
(Siahaan, 2007).
Macam Risiko
Risiko adalah buah dari ketidakpastian, dan tentunya ada banyak sekali faktor faktor
ketidakpastian pada sebuah proyek yang tentunya dapat menghasilkan berbagai macam risiko.
Risiko dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam menurut karakteristiknya, yaitu lain:
1. Risiko berdasarkan sifat
a. Risiko Spekulatif (Speculative Risk), yaitu risiko yang memang sengaja diadakan, agar
dilain pihak dapat diharapkan hal hal yang menguntungkan. Contoh: Risiko yang
disebabkan dalam hutang piutang, membangun proyek, perjudian, menjual produk, dan
sebagainya.
b. Risiko Murni (Pure Risk), yaitu risiko yang tidak disengaja, yang jika terjadi dapat
menimbulkan kerugian secara tiba tiba. Contoh : Risiko kebakaran, perampokan,
pencurian, dan sebagainya.
2. Risiko berdasarkan dapat tidaknya dialihkan
a. Risiko yang dapat dialihkan, yaitu risiko yang dapat dipertanggungkan sebagai obyek
yang terkena risiko kepada perusahaan asuransi dengan membayar sejumlah premi.
Dengan demikian kerugian tersebut menjadi tanggungan (beban) perusahaan asuransi.
b. Risiko yang tidak dapat dialihkan, yaitu semua risiko yang termasuk dalam risiko
spekulatif yang tidak dapat dipertanggungkan pada perusahaan asuransi.
423
5.3
424
b) Kerugian atas hutang piutang, karena kerusakan kekayaan atau cideranya pribadi orang
lain.
c) Kerugian atas personil perusahaan. Misalnya akibat kematian, ketidakmampuan, usia
tua, pengangguran, sakit, dan sebagainya.
Dalam mengidentifikasi risiko, risiko dapat dibagi menjadi beberapa kategori, diantaranya
(Loosemore, et al., 2006):
1. Risiko teknologi
2. Risiko manusia
3. Risiko lingkungan
4. Risiko komersial dan legal
5. Risiko manajemen
6. Risiko ekonomi dan finansial
7. Risiko partner bisnis
8. Risiko politik
2.
Respon Manajemen
Setelah risiko risiko yang mungkin terjadi diidentifikasi dan dianalisa, kontraktor akan mulai
memformulasikan strategi penanganan risiko yang tepat. Strategi ini didasarkan kepada sifat
dan dampak potensial / konsekuensi dari risiko itu sendiri. Adapun tujuan dari strategi ini
adalah untuk memindahkan dampak potensial risiko sebanyak mungkin dan meningkatkan
kontrol terhadap risiko.
Ada lima strategi alternatif untuk menangani risiko, yaitu :
1. Menghindari risiko
2. Mencegah risiko dan mengurangi kerugian
3. Meretensi risiko
4. Mentransfer risiko
5. Asuransi
425
3. Administrasi sistem
Administrasi sistem adalah tahapan terakhir dari program manajemen risiko. Manajer risiko
harus mengandalkan kemampuan manajerialnya untuk mengkoordinasi, mengarahkan,
mengorganisasi, memotivasi, memfasilitasi dan menjalankan organisasi menuju rencana
penanganan risiko yang rasional dan terintegrasi. Menurut William, Smith, Young (1995), ada
5 hal manajerial penting yang dihadapi oleh seorang manajer risiko, yaitu :
1. Tantangan untuk menyusun prosedur dan kebijakan manajemen risiko.
2. Pengkomunikasian risiko, baik secara organisasi maupun personal.
3. Manajemen kontrak dan kontrak portfolio.
4. Pengawasan klaim.
5. Proses mengkaji ulang, memonitor, dan mengevaluasi program manajemen risiko.
6.
Pengendalian adalah usaha yang sistematis untuk menentukan standar yang sesuai dengan
sasaran perencanaan, merancang sistem informasi, membandingkan pelaksanaan dengan
standar, menganalisis kemungkinan adanya penyimpangan antara pelaksanaan dan standar,
kemudian mengambil tindakan pembetulan yang diperlukan agar sumber daya digunakan secara
efektif dan efisien dalam rangka mencapai sasaran (Mockler, 1972, dalam Imam Soeharto,
1997). Pengendalian proyek konstruksi mencakup dan tidak terbatas pada hal-hal sebagai
berikut:
1. Membuat kerangka kerja secara total;
2. Pengisian tenaga kerja termasuk penunjukan konsultan;
3. Menjamin bahwa semua informasi yang ada telah dikomunikasikan ke semua pihak terkait;
4. Adanya jaminan bahwa semua rencana yang dibuat akan dapat dilaksanakan;
5. Monitoring hasil pelaksanaan dan membandingkannya dengan rencana, dan
6. Mengadakan langkah perbaikan (corrective action) pada saat yang paling awal.
Hubungan antara fungsi-fungsi manajemen dan faktor-faktor yang menjadi ukuran suksesnya
perencanaan dan pengendalian
426
Pada pedoman pembangunan pengolahan air limbah domestik yang menggunakan sistem
pengelolaan setempat atau terpusat, terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi.
Ketentuan-ketentuan tersebut akan diuraikan pada bagian ini. Tata cara pembangunan IPLT ini
mengacu pada Petunjuk Teknis No. CT/AL/Ba-TC/ 002/98 tentang Tata Cara Pembangunan
IPLT Sistem Kolam.
427
6.1
Ketentuan Umum
1. Kontraktor Pelaksana
Kualifikasi: Nilai pekerjaan yang akan dikerjakan mementukan kualifikasi kontraktor
pelaksana. Sehingga kontraktor yang memiliki kualifikasi di bawah dari kualifikasi yang
ditetapkan untuk pelaksanaan pekerjaan berdasarkan nilai kontrak pekerjaan tidak dapat dipilih
untuk mengerjakan pengolahan air limbah domestik
Jaminan Pekerjaan: Kontraktor yang akan melaksanakan pembangunan pengolahan air limbah
domestik ini harus memiliki jaminan perkerjaan yang akan dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
keuangan yang berwenang untuk melakukan itu.
Pengalaman Kerja: Harus memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun dalam pekerjaan
pembangunan pengolahan air limbah domestik.
Tenaga Ahli: Harus memiliki tenaga ahli dengan pengalaman kerja minimal 5 tahun dalam
bidang pekerjaan yang akan dilakukan. Jumlah tenaga ahli yang dimiliki kontraktor pelaksana
harus mencukupi untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan pengolahan air limbah
domestik.
Tenaga Lapangan: Kontraktor pelaksana harus memiliki tenaga lapangan yang telah
berpengalaman dalam bidang pembangunan pengolahan air limbah domestik dengan lama
pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun dalam bidang pekerjaan yang akan dilakukannya.
Jumlah tenaga lapangan yang dimiliki oleh kontraktor pelaksana harus mencukupi untuk
melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pembangunan pengolahan air limbah domestik.
Peralatan yang Dimiliki: Harus memiliki peralatan sendiri untuk memudahkan pekerjaan
pembangunan pengolahan air limbah domestik ini. Hal ini juga akan mempercepat waktu
pekerjaan dan menghemat biaya yang harus dikeluarkan.
Jadwal Kerja: Kontraktor pelaksana harus memiliki jadwal yang jelas agar mudah diketahui
tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan dan perkiraan selesainya pekerjaan pembangunan
pengolahan air limbah domestik.
2. Konsultan Supervisi
Pengalaman Kerja: Harus memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun dalam pekerjaan
pengolahan air limbah domestik.
Tenaga Ahli: Harus memiliki tenaga ahli dalam pelaksanaan pembangunan pengolahan air
limbah domestik dengan pengalaman kerja minimal 5 tahun. Hal ini untuk mempermudah
koordinasi pekerjaan bila terdapat perubahan-perubahan yang harus dilakukan di lapangan agar
tidak mengubah sistem pengolahan air limbah domestik yang telah direncanakan.
428
Tenaga Lapangan: Harus memiliki tenaga lapangan yang telah berpengalaman dalam bidang
pembangunan pengolahan air limbah domestik dengan pengalaman kerja minimal 5 tahun
dalam bidang pekerjaan yang akan dilakukan. Jumlah tenaga lapangan yang dimiliki harus
mencukupi untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pembangaunan pengolahan air
limbah domestik yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana.
3. Partisipasi Masyarakat
Pertisipasi masyarakat dalam pembangunan pengolahan air limbah domestik dapat
mempermudah pekerjaan pembangunan yang terutama bantuan masyarakat dalam beberapa hal,
diantaranya:
Lokasi: Mempermudah pekerjaan pembangunan serta diperoleh akses jalan menuju lokasi
sehingga dapat dicapai dengan mudah.
Bahan: Mempermudah dalam hal pengadaan, yang mana dapat mengurangi waktu
pengangkutan dan biaya pembelian bahan kerja.
Tenaga Kerja: Mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk upah buruh dan buruh lokal
akan berusaha membantu mempercepat penyelesaian program pembangunan.
429
6.2
Ketentuan Teknis
1. Pekerjaan Sipil
Persiapan
Penyiapan Lokasi: Sebelum pekerjaan dimulai, pada lokasi yang dipilih untuk pengolahan air
limbah domestik, harus dilakukan studi-studi yang terkait agar dampak yang timbul akibat
perkerjaan dapat diminimalkan. Studi-studi tersebut antara lalin:
a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
b. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
c. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
d. Izin lokasi pembangunan IPLT dan IPAL
e. Studi-studi lainnya yang dianggap perlu untuk dilakukan
Persiapan di lokasi
Lokasi yang akan dilaksanakan pembangunan pengolahan air limbah domestik harus
dibersihkan dari tanaman yang akan mengganggu pekerjaan
Persiapan Peralatan
430
Persiapan Bahan
Bahan pekerjaan yang akan digunakan harus memenuhi standar-standar yang berlaku di
Indonesia, antara lain:
o
Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai spesifik bahan bangunan dan spesifik
teknik
Perletakan dan penyimpanan bahan yang akan dipergunakan di tempat atau lokasi yang
disediakan
Penggalian
Pemasangan Pengaman: sebelum pekerjaan penggalian dilakukan harus dilakukan pemasangan
pengaman di lokasi pekerjaan pembangunan agar kecelakaan kerja dapat dihindari
Pemasangan Titik Kerja:Pemasangan titik kerja atau patok kerja akan mempermudah pekerjaan
penggalian karena akan dengan mudah diketaui batas-batas wilayah dan elevasi bangunan yang
akan digali.
431
Pembuatan Pondasi:
Dilakukan pekerjaan galian dengan lebar dan kedalaman yang sesuai dengan gambar
perencanaan/spesifikasi teknis
Sisa tanah sisa galian dibuang ke tempat yang telah disediakan atau dipindahkan ke lokasi
yang telah direncanakan
Pemadatan dan pengurugan kembali bekas galian di sekitar lokasi yang telah dibuat
Pembangunan Unit-Unit
Penggalian tanah dengan kedalaman dan lebar sesuai gambar perencanaan/spesifikasi teknis
Saat pekerjaan pembangunan unit-unit pengolahan ini harus diperhatikan dan diawasi
dengan teliti karena kesalahan pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya kebocoran pada
pengelolaan
Setelah unit pengolahan selesai dibangun sebaiknya dilakukan pengetesan kebocoran dari
unit
Konstruksi Beton
Campuran beton harus dibuat berdasarkan ukuran dan kekuatan struktur betonnya
Beton bertulang yang cocok (tanpa potongan/irisan yang cacat) adalah tipe D10-200 perbatang
Perbandingan campuran beton dasar Air : Beton : Campuran lain adalah 1 : 3: 6, dengan
kekuatan daya beton lebih dari 100 mm
Pada pekerjaan pembuatan dudukan beton untuk dasar bangunan pengolahan dilakukan
seperti campuran di atas
432
2. Pekerjaan Mekanikal
Pemasangan Pompa
Berdasarkan unit-unit pengolahan air limbah yang dibangun terdapat beberapa unit pengolahan
yang harus dibantu dengan pemasangan pompa untuk mempermudah/melaksanakan pengolahan
pada air limbah. Pemasangan pompa yang dibutuhkan tersebut adalah sebagai berikut:
Jenis pompa yang digunakan adalah pompa yang memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI)
Spesifikasi teknis pompa dilakukan oleh tenaga ahli dari penyedia pompa
Pompa yang dipasang harus dilengkapi buku panduan untuk melakukan perawatan dan
perbaikan kecil
Pemasangan Aerator
Berdasarkan pemilihan sistem pengelolaan air limbah domestik yang dibangun terdapat
beberapa sistem yang pengolahan biologisnya menggunakan bantuan aerator. Pedoman
pemasangan aerator tersebut adalah sebagai berikut:
Aerator disediakan dan harus dipasang seperti pada prencanaan unit pengolahan dan harus
sesuai dengan spesifikasi teknis unit pengolahan oleh tenaga ahli yang berasal dari penyedia
aerator atau oleh orang yang memiliki pengalaman dan pendidikan untuk melakukan itu
Spesifikasi tenis aerator harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar
internasional lain yang diakui di Indonesia
Pemasangan Perpipaan
Pengolahan air limbah domestik membutuhkan sistem perpipaan yang berfungsi dengan baik
karena sistem perpipaan tersebut merupakan peralatan penunjang yang sangant berpengaruh
pada kinerja sistem pengelolaan air limbah yang dibangun. System sewerage (sistem jaringan
pengumpul air limbah) dari daerah pelayanan ke instalasi pengolahan air limbah juga
menggunakan sistem perpipaan yang dilengkapi dengan pemasangan manhole di beberapa
lokasi untuk mempermudah pengawasan sistem tersebut. Pemasangan perpipaan pada sistem
pengolahan air limbah domestik adalah sebagai berikut:
Perpipaan dipasang pada inlet bangunan pengolahan dan antar bangunan pengolahan bila
diperlukan
433
Pipa yang dipasang harus memperhatikan profil hidrolis dari sistem pengolahan yang ada
Diameter pipa inlet air limbah ke bangunan pengolahan harus memperhitungkan elevasi
pipa pengaliran air limbah yang dilakukan secara gravitasi. Serta memperhitungkan volume
gas yang ada pada air limbah yang dialirkan
Sistem perpipaan ini dipasang mulai dari sumber air limbah menuju bangunan pengolahan
dengan kemiringan minimum pipa sebesar 1%
Pipa yang dipasang harus memperhatikan profil hidrolis dari sistem pengolahan yang ada
Karena pengaliran dilakukan secara gravitasi maka penting untuk memperhitungkan elevasi
lahan yang dilalui sistem ini. Dengan kedalaman pipa maksimum 7 m di bawah permukaan
tanha, maka bila lebih dari itu harus menggunakan pompa untuk menaikkan air limbah ke
elevasi yang cukup untuk mengalir secara gravitasi.
Pada beberapa tempat dipasang manhole untuk memudahkan pengawasan yang dilakukan
terhadap sistem
Untuk mempermudah pengaliran dalam pipa, air limbah yang berasal dari sumber
sebaiknya ditampung dulu di dalam sumur pengumpul baru dialirkan ke bangunan
pengelolaan
Tiap unit pengolahan yang akan diperiksa diisi dengan air sampai setinggi outletnya
434
= kedalaman lapisan tanah di bawah dasar unit pengelolaan hingga mencapai lapisan
tanah yang lebih permeable (m)
Satuan
Hasil Perhitungan
Penanganan
Keterangan
m/detik
10-6
Terjadi kebocoran
m/detik
m/detik
K < 10-8
m/detik
K < 10-9
Isi unit pengolahan dengan air setinggi 1/3 bagian dari kedalaman unit
Bia terjadi penurunan maka dapat dikatakan terjadi kebocoran pada dinding dan atau lantai
unit sesuai tabel di atas
Kosongkan unit dari penguji dan periksa bagian yang lembab atau proses pengeringan lama
435
6.3
Masukkan air untuk pengujian ke dalam bangunan pengolahan air limbah domestik
Periksa limpahan air pada pelimpah, kalau elevasi air pelimpah tidak merata maka perlu
penyesuaian ketinggian pelimpah
Uji semua pipa pembuang, katup, pintu air dan pompa-pompa yang ada
Periksa limpahan air kalau elevasi air pelimpah tidak merata atau tidak mengalir maka
perlu penyesuaian elevasi pipa antara inlet dan outlet pada tiap pipa
Uji semua pipa pembuang, katup, air dan pompa-pompa yang ada
436
Masukkan air penguji melalui inlet bangunan pengolahan secara terus menerus selama
pengukuran
Bila terjadi limpahan berarti terjadi pengaliran secara gravitasi pada bangunan
pengelolaan
6.4
Bila tinggi muka air/profil hidrolis tidak sama dengan profil perencanaan maka periksa
kebali/atur ketinggian pelimpah tiap unit dan perbaiki pelimpah yang salah
Dalam pengerjaan suatu proyek bangunan, kadangkala sering ditemukan gambar dengan label
Shop Drawing dan As Built Drawing, yang kalau kita amati terlihat sekilas tidak ada
perbedaan dan hampir mirip. Sebenarnya keduanya mempunyai perbedaan meskipun terlihat
hampir sama.
1. Pembuat
Gambar Shop Drawing dibuat oleh perencana/desainer bangunan yang dibangun, baik itu
perorangan ataupun perusahaan/biro gambar. Gambar-gambar yang tersaji dalam 1
bendel/jilid-an, kadangkala disertai dengan soft copy (gambar dengan program tertentu),
sedangkan gambar As Built Drawing dibuat oleh kontraktor/pelaksana pembuat bangunan,
juga bisa perorangan ataupun perusahaan kontraktor bangunan.
2. Isi yang disajikan
Gambar Shop Drawing adalah gambar detail dan menyeluruh dari bangunan yang akan
dibangun (gambar panduan pelaksanaan) dengan tujuan bangunan yang akan dibangun
akan sama/sesuai dengan maksud daripada perencana/disainer. Sedangkan gambar As Built
Drawing adalah gambar koreksi, perbaikan, revisi, dari gambar pelaksanaan yang ada,
dikarenakan adanya permasalahan di proyek pada saat bangunan dikerjakan. Juga
menerangkan pihak mana saja yang ikut mengerjakan proyek yang dibangun, seperti : sub
kontraktor-sub kontraktor, supplier-supplier, dan lain-lain, yang andil dalam pembangunan
proyek.
3. Waktu pembuatan
Gambar Shop Drawing dibuat/diserahkan pada awal/sebelum proyek dilaksanakan dan
biasanya juga dapat dipakai sebagai dokumen lelang/tender, sedangkan gambar As Built
Drawing dibuat, lebih tepatnya diserahkan pada akhir proyek bangunan.
437
Daftar Pustaka
438
MODUL 9
PEMASANGAN SISTEM PERPIPAAN AIR
LIMBAH
K E M E N T E R I A N
D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
C I P T A
U M U M
K A R Y A
LINGKUNGAN PERMUKIMAN
DAFTAR ISI
439
439
441
444
444
444
446
448
468
471
472
472
484
1. PEKERJAAN PERSIAPAN
1.1
Survey Topografi
1.2
Test Pit
1.3
Karakteristik Pipa
2.2
2.3
3. METODE JACKING
3.1
3.2
3.3
Metode Pelaksanaan
4. PIPA LATERAL
4.1
Karakteristik Pipa
484
4.2
Metode Pelaksanaan
484
4.3
490
493
494
496
500
500
5.2
6. SOSIALISASI
6.1
Tahap Perencanaan
6.2
Tahap Konstruksi
501
6.3
Tahap Operasional
502
DAFTAR TABEL
445
484
Tabel 2.1
Tabel 4.1
DAFTAR GAMBAR
439
440
Gambar 1.1
Gambar 1.3
Gambar 1.4
Gambar 1.5
440
441
442
Gambar 1.6
443
Gambar 1.7
443
Gambar 1.8
444
Gambar 2.1
444
Gambar 2.2
446
Gambar 2.3
447
Gambar 2.4
447
Gambar 2.5
448
Gambar 2.6
449
Lapangan
ii
449
450
450
451
451
452
452
453
453
454
454
456
457
458
459
460
461
..
461
462
..
463
Gambar 2.7
Pekerjaan Galian
Gambar 2.8
Gambar 2.9
464
Gambar 2.28 Ruang Kerja Pemasangan Pipa Dengan Metode Galian Terbuka
Di Tepi Jalan
466
Gambar 2.29 Ruang kerja pemasangan pipa dengan metode galian terbuka di tengah
jalan (jalan ditutup sementara untuk kendaraan)
467
Gambar 2.30 Ruang Kerja Pemasangan Pipa dengan Metode Galian Terbuka pada Jalan
dengan Lebar Lebih dari 7 m
467
iii
Gambar 2 31 Pengaturan Lalu Lintas Pada Pekerjaan Pemasangan Pipa Air Limbah .
468
470
..
471
..
472
473
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
..
474
Gambar 3.6
..
475
Gambar 3.7
..
475
Gambar 3.8
..
476
Gambar 3.9
Konstruksi Shaft
..
477
478
479
479
480
480
481
482
Gambar 3.17 Ilustrasi Sambungan Rumah (Pipa Service) Dan Jacking Pipa Utama ..
483
Gambar 4.1
..
484
Gambar 4.2
485
Gambar 4.3
486
Gambar 4.4
487
Gambar 4.5
488
Gambar 4.6
489
Lateral
Gambar 4.7a. Bentuk Sambungan Pipa Sambungan Rumah Dengan Pipa Jaringan
Pengumpu.l Ai r Limbah (1)
iv
..
491
Gambar 4.7b. Bentuk Sambungan Pipa Sambungan Rumah Dengan Pipa Jaringan
Pengumpul Ai r Limbah (2)
492
Gambar 4.7c. Bentuk Sambungan Pipa Sambungan Rumah Dengan Pipa Jaringan
Pengumpul Air Limbah (3)
493
..
494
495
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
..
495
Gambar 5.4
496
Gambar 5.5
497
Gambar 5.6
499
Gambar 5.7
500
Gambar 6.1
..
501
Gambar 6.2
..
502
Gambar 6.3
503
Gambar 6.4
503
1.
PEKERJAAN PERSIAPAN
1.1
Survey Topografi
Survey ini merupakan bagian dari pekerjaan persiapan yang mengawali seluruh rangkaian
pekerjaan. Survey topografi meliputi kegiatan:
439
Dalam pelaksanaan survey topografi digunakan titik acuan yang ditentukan oleh perencana dan
menggunakan titik Benchmark (BM) yang tersebar di seluruh wilayah survey. Titik referensi
utama adalah Benchmark Titik Tinggi Geodesi (TTG) 1615 yang ditetapkan oleh Badan
Koordinator Survey dan Pemetaan Nasional (BAKORSURTANAL) serta benchmark yang
ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) 13.
Gambar 1.3. Titik Benchmark (BM) dan Benchmark Titik Tinggi Geodesi (TTG) 1615
b. Penyebaran titik panduan di seluruh wilayah kerja dan menentukan titik (koordinat)
posisi manhole
Tujuan dari penyebaran titiktitik panduan bantuan ini adalah bila di suatu lokasi hendak
dilakukan pemasangan pipa, maka titik panduan bantuan tersebut dapat dipergunakan sebagai
acuan dalam menentukan elevasi invert saluran.
440
Gambar 1.4. Penyebaran Titik Panduan Di Wilayah Kerja Dan Penentuan Titik
Koordinat Manhole
Titik lokasi manhole dan titik panduan bantuan tersebut harus dilengkapi informasi mengenai
nomor, koordinat, elevasi invert, dan elevasi permukaan jalan.
1.2
Test Pit
Test pit adalah kegiatan untuk mengetahui utilitas yang ada di bawah permukaan tanah. Utilitas
tersebut berupa pipa PDAM, kabel PLN dan Telkom, serta utilitas lainnya yang mungkin ada.
Bila ternyata dalam test pit ditemukan adanya utilitas yang menghalangi jalur pipa, maka jalur
pipa tersebut harus disesuaikan.
441
Gambar 1.5. Diagram Alir Survey Topografi dan Penentuan Posisi Manhole di Lapangan
Penyesuaian dengan memindahkan posisi pipa (dari tepi jalan ke tengah jalan atau sebaliknya).
Atau bila ternyata memungkinkan, perubahan yang dilakukan adalah memindahkan utilitas yang
bersangkutan tentunya dengan berkoordinasi dengan instansi terkait.
442
443
1.3
2.
2.1
Karakteristik Pipa
Pipa primer dan sekunder/tersier terbuat dari beton bertulang (RC Pipe) dengan bahan dari
semen anti sulfat. Kedua jenis pipa tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu mengalirkan air
limbah secara gravitasi. Sedangkan pipa force main (pipa utama bertekanan) berfungsi untuk
mengalirkan air limbah dengan pemompaan, jenis pipa yang digunakan pipa baja (steel pipe)
diameter 500 mm dan 600 mm, serta pipa PVC diameter 150 mm dan 200 mm.
444
Diameter (mm)
Bahan
Tersier
200
Sekunder
250
Beton bertulang
(RC Pipe)
Primer
300
400
500
600
700
800
900
1000
1100
1200
Forcemain
500
600
150
200
Langkahlangkah kerja pemasangan pipa baja bertekanan lebih sederhana dari pemasangan pipa
beton. Karena kemiringan pipa bertekanan bukan merupakan faktor penting, walaupun tidak
boleh diabaikan, dan kedalaman galian tidak terlalu dalam (timbunan minimum di atas pipa 1,50
m). Hal yang penting dan perlu mendapatkan perhatian adalah penyambungan pipa baja.
445
Penyambungan dilakukan dengan pengelasan yaitu las listrik dan harus dilakukan oleh tenaga
yang berpengalaman agar diperoleh hasil yang sempurna.
2.2
Clean Construction adalah prinsip kerja pemasangan pipa yang bersih, rapi dan tertib sehingga
dapat mengurangi gangguan terhadap lingkungan sekitarnya.
446
447
2.3
Tahapan pelaksanaan pekerjaan pemasangan pipa seperti pada diagram alir berikut ini:
2.3.1
Bila pekerjaan pemasangan pipa akan dilakukan, terlebih dulu dilakukan penentuan jalur pipa
yang akan dipasang. Hal ini perlu dilakukan karena sering kali posisi jalur pipa yang tergambar
di gambar rencana perlu penyesuaian atau perubahan. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya
adalah jalan ternyata tidak benarbenar lurus seperti pada gambar rencana dan terdapat utilitas
atau bangunan yang menghalangi jalur pipa. Penandaan jalur pipa pada permukaan jalan
dilakukan untuk mempermudah pekerjaan dan sebagai batas pekerjaan galian. Posisi jalur pipa
disesuaikan dengan kondisi jalan dan utilitas yang ada di bawah jalan. Selain sebagai penanda
jalur pipa, tanda pada permukaan jalan juga berfungsi untuk memberi arah dan batas galian.
Permukaan jalan yang telah ditandai kemudian dipotong dengan mesin sampai kedalaman 57
cm. Pemotongan ini dimaksudkan agar lapis permukaan jalan di luar batas galian tidak ikut
448
2.3.2
Pekerjaan galian
Jalur pipa yang telah siap kemudian digali. Metode pelaksanaan galian disatu lokasi dengan
lokasi lain adakalanya tidak sama. Terdapat beberapa hal penting yang menjadi faktor utama
dalam menentukan metode pelaksanaan penggalian. Yaitu :
1. Lebar daerah milik jalan (Damija)
2. Jenis tanah
3. Elevasi muka air tanah dan
4. Kepadatan lalu lintas
449
Berdasarkan lebar Damija, metode pelaksanaan terbagi menjadi 2 yaitu secara manual (tenaga
manusia) dan dengan mesin gali (excavator). Bahan galian langsung diangkut ke tempat
pembuangan. Di lokasi lokasi tertentu penggalian dilakukan dengan mesin dan manual.
Bagian atas, dilakukan secara manual untuk menghindari kerusakan utilitas, dan selanjutnya
dengan excavator.
450
Sheet pile seperti terlihat pada gambar di samping dapat dipergunakan sebagai material untuk
turap karena bila sheet pile tersebut dirangkai dengan sheet pile lainnya, maka akan diperoleh
permukaan turap yang dapat menahan runtuhan tanah juga menahan masuknya air tanah ke
dalam lubang galian.
Sheet pile seperti terlihat pada gambar di samping dapat
dipergunakan sebagai material untuk turap karena bila sheet
pile tersebut dirangkai dengan sheet pile lainnya, maka akan
diperoleh permukaan turap yang dapat menahan runtuhan
tanah juga menahan masuknya air tanah ke dalam lubang
galian.
451
452
2.3.2.2 Dewatering
Gambar 2.15.
Pekerjaan
Dewatering
Untuk vertical shaft, bagian dinding menggunakan sheet pile untuk mencegah air tanah masuk,
tetapi bagian dasar galian seharusnya menggunakan bentonite (zat kimia) dan disuntikkan ke
tanah bagian dasar galian agar lapisan tanah dasar kedap air sehingga air tidak masuk ke lubang
galian dan proses dewatering tidak terus menerus dilakukan.
2.3.3
Pemasangan Pipa
Pemasangan pipa sangat terkait dengan pemasangan manhole. Data yang sangat diperlukan
diawal pemasangan pipa adalah elevasi invert manhole awal dan akhir (pipa terpasang dari
manhole ke manhole). Elevasi ini menentukan kemiringan pipa karena terjadi beda tinggi antara
invert awal dan akhir. Berdasarkan datadata tersebut, surveyor yang terlibat dalam pemasangan
453
pipa harus mengawasi dan mengecek elevasi dari masingmasing pipa karena pipa dipasang satu
per satu.
454
Pemasangan 2 pipa terakhir tersebut akan dilakukan dalam rangkaian pemasangan manhole.
Cara ini dipilih karena manhole memiliki lebar galian yang lebih besar dari galian pipa dan
terutama untuk manhole yang posisinya pada persimpangan jalan, potensi untuk menimbulkan
kemacetan arus lalu lintas sangat besar sehingga diperlukan konsentrasi dan penanganan khusus.
Hal yang penting dalam pelaksanaan pemasangan pipa adalah penyambungan, pengukuran
elevasi/kemiringan, dan pengukuran kelurusan pipa. Ketiga hal tersebut di atas bila tidak dapat
terlaksanakan dengan benar, maka jaringan pipa akan berisiko bocor, terjadi genangan atau
endapan, dan bahkan tidak mengalir.
455
456
457
458
2.3.4
Timbunan kembali dilakukan secara bertahap lapis demi lapis. Masingmasing tahapan harus
dipadatkan. Timbunan kembali dimulai dengan timbunan pasir dan diikuti oleh timbunan
dengan material pilihan dan agregat kelas A & B. Timbunan berhenti pada ketinggian minus 90
mm dari permukaan jalan. Tujuannya adalah untuk diisi/dilapisi dengan Asphalt Treatment Base
(ATB) setebal 50 mm serta lapisan aspal (AC) setebal 40 mm. Tahapan penimbunan kembali
dilakukan seperti alur kegiatan di samping berikut ini.
459
460
Keterangan:
(A) Penurunan pasir dari truck
pasir
461
B
Gambar 2.25. Pekerjaan Penimbunan Dengan Material Tanah (A)
dan Agregat Kelas A (B)
Untuk mendapatkan kepadatan yang optimal pada pekerjaan timbunan kembali, perlu
diperhatikan teknik pemadatannya dan alat yang digunakan. Kepadatan yang kurang baik akan
menimbulkan rongga antar butiran yang berukuran besar dan dalam jumlah yang banyak.
Ronggarongga tersebut bila dibiarkan akan mengakibatkan turunnya permukaan jalan
dikemudian hari. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah kadar air material timbunan.
Kadar air yang tinggi akan menyebabkan tanah timbunan tidak padat karena butiran selalu
bergerak bersama gerakan hidrostatik air. Kadar air yang kurang juga akan menyebabkan
pemadatan tidak optimal karena tanah timbunan sulit bergerak dan hanya mengakibatkan padat
permukaan saja. Kadar air yang baik adalah kadar air optimal sesuai dengan hasil pengujian
laboratorium. Kondisi inilah yang seharusnya diterapkan di lapangan, namun kenyataannya
sering kali tidak dilakukan. Untuk mendapatkan kadar air yang cukup kontraktor melakukan
penyiraman atau menggenangi timbunan dengan air untuk keesokan harinya dipadatkan dengan
alat bantu mekanis. Peralatan yang memadai juga berperan untuk menghasilakan pemadatan
yang baik. Penggunaan alat pemadat mekanis seperti stamper, tendem, baby roller sangat
membantu menghasilkan pemadatan yang baik. Selain itu jumlah lintasan alat pemadat juga
462
harus cukup dan merata. Pemadatan yang kurang baik dapat menyebabkan penurunan
permukaan jalan di tempat bekas galian sehingga membahayakan kendaraan / pengguna jalan
2.3.4.3 Pengaspalan
Pengembalian kondisi permukaan jalan yang dilalui pipa sewer DSDP dibedakan dalam 2 tipe
penanganan sesuai kelas jalan sebaga berikut :
1. Jalan negara, pengembalian kondisi dengan hot mix ATB tebal 5 cm dan AC tebal 4 cm
hanya selebar galian pipa .
2. Jalan provinsi dan jalan kota, pengembalian kondisi dengan ATB tebal 5 cm selebar galian
pipa sewer dan AC tebal 4 cm selebar perkerasan aspal jalan tersebut.
Adapun proses penghamparan hot mix (ATB & AC) sebagai berikut :
Hot mix diproduksi pada instalasi pencampur aspal (AMP) sesuai proporsi material job mix
formula yang sudah disetujui.
Persiapan lahan hamparan dengan alat compressor untuk membersihkan permukaan
hamparan dari debu dan kotoran sampah
Aspal prime coat dengan volume + 0,8 liter/m disemprotkan di atas permukaan agregat A
sebagai perekat hamparan ATB, dilanjutkan proses pemadatan ATB dengan alat roda bagi
tandem seberat 5-8 ton pada suhu (110-125)C dengan jumlah lintasan 1-2 PP. Kemudian
dilanjutkan dengan mesin pemadat roda karet (tire roller) pada suhu antara (95-110)C
dengan jumlah lintasan 1216 PP.
463
Asphalt take coat dengan volume + 0,3 ltr / m disemprotkan di atas permukaan perkerasan
aspal lama sebagai perekat hamparan AC baru, dilanjutkan proses pemadatan AC dengan
alat roda besi tandem (5-8 ton) pada suhu (110 125)C dengan lintasan 1-2 PP. Kemudian
dilanjutkan dengan mesin pemadat roda karet (tire roller) pada suhu antara (95-110)C
dengan jumlah lintasan 12-16 PP.
Pada hari berikutnya dilakukan pengambilan sampel hamparan ATB & AC di lapangan
untuk uji laboratorium dengan core drill. Adapun pengujian yang dilakukan antara lain
untuk mengetahui kepadatan lapangan yaitu minimal 98 % dari kepadatan laboratorium (
JMF ) dan tst Extraksi( Kadar aspal dan gradasi agregat ).
Setelah hamparan AC berumur minimal 2 minggu dilanjutkan dengan pembuatan marka
jalan sesuai marka yang lama.
2.3.5
Ruang kerja yang dimaksud adalah kecukupan ruang untuk melakukan aktivitas tanpa
terhalangi. Selain untuk keperluan aktivitas, ruang kerja juga berfungsi sebagai media K3
464
(keselamatan dan keamanan kerja) bagi masyarakat umum yang melintas di sekitar lokasi kerja.
Besaran ruang kerja ini dipengaruhi oleh metode kerja yang digunakan. Penggalian dengan
menggunakan alat mekanis seperti excavator akan membutuhkan ruang yang lebih besar
dibandingkan dengan galian manual.
Selain untuk kecukupan kerja alat, ruang kerja juga dipergunakan untuk menempatkan
bahan/material, dan material hasil galian. Pembatas antara ruang kerja dengan ruang public
digunakan barikade. Barikade merupakan dinding yang bersifat sementara yang terbuat dari
seng dan diberi warna yang mencolok agar pada malam hari dapat mudah dikenali. Khusus pada
malam hari, pembatas ruang juga perlu dilengkapi dengan lampu isyarat.
465
Gambar 2.28. Ruang Kerja Pemasangan Pipa Dengan Metode Galian Terbuka Di Tepi
Jalan
466
Gambar 2.29. Ruang kerja pemasangan pipa dengan metode galian terbuka di tengah
jalan (jalan ditutup sementara untuk kendaraan)
Gambar 2.30. Ruang Kerja Pemasangan Pipa dengan Metode Galian Terbuka pada Jalan
Dengan Lebar Lebih Dari 7 m
467
2.3.6
Semakin banyak kendaraan yang melintas pada jalan di lokasi pemasangan pipa, maka
dibutuhkan usaha yang semakin kompleks dalam mengatasinya seperti pemasangan rambu dan
penempatan orang yang mengatur lalu lintas (signal man). Semakin sempit jalan, maka semakin
rumit karena harus mengatur penempatan hasil galian, persediaan pipa dan material timbunan.
Di satu sisi, jalan tidak boleh ditutup total. Sebelum dan selama pelaksanaan pekerjaan pihak
kontraktor, konsultan supervisi dan proyek berkoordinasi secara intensif dengan polisi dan para
stake holder atau tokoh masyarakat setempat Jadwal pelaksanaan pekerjaan diinformasikan
pada masyarakat dan pihakpihak terkait sebelum kegiatan dimulai.
Gambar 2.31. Pengaturan Lalu Lintas Pada Pekerjaan Pemasangan Pipa Air Limbah
Sebelum dan selama pelaksanaan pekerjaan pihak kontraktor, konsultan supervisi dan proyek
berkoordinasi secara intensif dengan polisi dan para stake holder atau tokoh masyarakat
setempat Jadwal pelaksanaan pekerjaan diinformasikan pada masyarakat dan pihakpihak terkait
sebelum kegiatan dimulai.
3.
METODE JACKING
Jacking adalah suatu metode pemasangan pipa dengan melakukan pemboran tanah di bawah
permukaan jalan lalu mendorongkan pipa dengan menggunakan tekanan hidrolis. Metode ini
merupakan salah satu metode pemasangan pipa yang dipergunakan pada proyek DSDP. Metode
jacking yang digunakan adalah tipe slurry. Lumpur (tanah bercampur air) yang dihasilkan
468
dibuang ke tempat penampungan / pengolahan, dimana tanah yang terendap dapat ditimbun
dengan baik dan airnya dibuang ke saluran umum
Jacking adalah suatu metode pemasangan pipa dengan melakukan pemboran tanah di bawah
permukaan jalan lalu mendorongkan pipa dengan menggunakan tekanan hidrolis. Metode ini
merupakan salah satu metode pemasangan pipa yang dipergunakan pada proyek DSDP. Metode
jacking yang digunakan pada Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) adalah tipe
slurry. Lumpur (tanah bercampur air) yang dihasilkan dibuang ke tempat
penampungan/pengolahan, dimana tanah yang terendap dapat ditimbun dengan baik dan airnya
dibuang ke saluran umum.
469
470
3.1
Proses ini dilakukan dengan tujuan menghindari pekerjaan galian terbuka yang cukup dalam
untuk memasang pipa yang dapat mengakibatkan gangguan ekstrim pada lingkungan dan pada
struktur atas atau permukaan jalan, berkenaan dengan arus lalu lintas, geometri jalan dan kondisi
sosial masyarakat. Dengan menggunakan metode jacking, diharapkan persoalanpersoalan
tersebut dapat teratasi atau diminimalkan karena ruang publik yang dimanfaatkan proyek dapat
direduksi, tingkat kebisingan dapat ditekan, tingkat kebersihan lokasi dapat ditingkatkan dan
tidak diperlukan penutupan jalan secara total.
471
3.2
3.3
Metode Pelaksanaan
Langkah kerja pemasangan pipa dengan metode jacking seperti diagram alir berikut:
472
473
Tahap persiapan pelaksanaan pekerjaan sama dengan pemasangan pipa dengan metode galian
terbuka. Jalur pipa yang terletak di tengan jalan dan memiliki kedalaman hingga 6,0 m, sangat
jarang terhalangi oleh utilitas kecuali pada galian shaft. Dengan demikian test pit cukup
dilakukan di posisi shaft.
3.3.1
Pekerjaan jacking memerlukan 2 buah shaft (departure dan arrival) sehingga jacking akan
efektif bila shaft diposisikan pada posisi manhole. Dengan demikian galian shaft sekaligus
galian untuk manhole. Selain itu, departure shaft sebaiknya digunakan untuk dua arah. Dan bila
ternyata terdapat lebih dari satu manhole, arah tujuan, pada posisi garis lurus, maka dapat saja
jacking diteruskan sampai manhole berikutnya. Dengan catatan mesin jacking mampu menekan
pipa hingga manhole berikutnya.
3.3.2
Karakteristik Shaft
Kegiatan pemasangan pipa dengan Jacking dilakukan di bawah permukaan tanah, namun masih
diperlukan kegiatan galian untuk pembuatan shaft. Shaft merupakan suatu lubang yang
digunakan untuk menempatkan peralatan jacking dan sebagai tempat berakhirnya pipa. Terdapat
dua buah shaft yaitu departure shaft dan arrival shaft. Departure shaft adalah tempat yang
didisain sebagai awal dari jacking dan merupakan ruang kontrol pelaksanaan jacking. Dalam
departure shaft terdapat mesin jacking dan segala perlengkapan untuk kegiatan jacking.
474
Arrival shaft adalah suatu lubang tempat berakhirnya pipa jacking dan digunakan untuk
demobilisasi mesin bor jacking. Arrival shaft dan departure shaft memiliki perbedaan dimensi.
Departure shaft memiliki dimensi yang lebih besar karena banyak digunakan peralatan jacking
dan alat lainnya. Sedangkan arrival shaft dimensinya lebih kecil dan hanya berfungsi untuk
mengeluarkan mata bor jacking. Untuk kedalaman, disesuaikan dengan kebutuhan elevasi pipa.
475
3.3.3
Konstruksi Shaft
Untuk meminimalisasi penggunaan lahan dan kemacetan lalu lintas disekitar area shaft,
digunakanlah deck beton bertulang sebagai penutup lubang galian sehingga ruang publik yang
dipergunakan lebih kecil dan kendaraan dapat melintas di atas lubang yang tertutup deck dengan
baik. Penggunaan tutup deck beton bertulang disesuaikan dengan kegiatan:
a. Pada arrival shaft: setelah seluruh pekerjaan pembuatan lubang shaft selesai, lubang akan
ditutup dengan deck beton bertulang. Tutup deck beton bertulang akan dibuka hanya pada
saat mesin jacking telah sampai dan siap dikeluarkan.
b. Pada departure shaft: tutup deck beton akan digunakan untuk menutup sebagian lubang
shaft sehingga penggunaan ruang publik dapat seminimal mungkin. Pembukaan tutup deck
beton pada departure shaft hanya dilakukan saat memasukkan pipa beton yang akan
dijacking.
476
3.3.4
Tipe jacking yang digunakan adalah slurry karena tipe ini lebih cepat dan lebih tidak merusak
struktur di atas (permukaan tanah) lokasi jacking dari pada tipe yang lainnya (Earth Pressure
Balance Jacking and Tuyure Jacking). Alur pekerjaan secara garis besar sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Jacking
Mekanisme Jacking metode slurry:
1. Mesin bor (shield machine) pada bagian depan (bulkhead) mulai bekerja dengan
mengebor tanah. Tanah hasil bor akan masuk ke dalam shield machine dan dicampur
dengan cairan slurry agar larut sehingga dapat dialirkan keluar melalui pipapipa slurry.
477
Dalam melakukan pemboran, besarnya tekanan slurry dalam mesin bor harus
disesuaikan dengan tekanan tanah dan air tanah tujuannya agar diperoleh tingkat
kestabilan yang cukup dalam melaksanakan pemotongan (pengeboran) tanah.
478
479
3.3.5
Kontrol terhadap kelurusan dan kemiringan pipa dilakukan dengan menetapkan mesin jacking
sebagai target dalam menentukan arah pemboran tanah. Mengetahui apakah arah pemboran
sudah tepat dengan menempatkan perlengkapan survey berupa laser transit di departure shaft.
Hasil survey elevasi dan poligonnya harus menjadi acuan dalam melakukan monitoring ini.
480
481
482
3.3.6
Pipa utama (main sewer) yang dipasang dengan metode jacking harus dilengkapi dengan pipa
service. Hal ini dikarenakan tidak dimungkinkan untuk memasang pipa lateral pada pipa
yangdijacking. Pipa service ini berfungsi mengalirkan air limbah dari sambungan rumah. Air
limbah yang masuk ke dalam pipa service akan dialirkan ke pipa utama melalui manhole.
Sebagai pipa service digunakan pipa beton dengan diameter 200 mm (sama dengan pipa
sekunder).
Gambar 3.17. Ilustrasi Sambungan Rumah (Pipa Service) Dan Jacking Pipa Utama
483
4.
PIPA LATERAL
4.1
Karakteristik Pipa
Pipa lateral adalah pipa yang menghubungkan jaringan pipa air limbah dengan box sambungan
rumah. Material pipa yang dipergunakan untuk pipa lateral adalah polyvinyl chloride (PVC)
untuk air limbah dengan dimensi (diameter) 150 mm. Sebagai aksesoris pelengkap dari pipa
lateral adalah rubber ring, elbow, dan socket.
4.2
Diameter (mm)
150
Bahan
Polyvinyl Chloride (PVC)
Metode Pelaksanaan
Pipa lateral dipasang setelah jaringan pipa selesai dipasang, dan penimbunan kembali dilakukan
setelah pipa lateral terpasang. Secara umum pemasangan pipa lateral terbagi atas dua teknik
yaitu socket penyambung telah terpasang dan socket penyambung belum terpasang pada badan
pipa. Perbedaan yang paling nyata dari kedua teknik tersebut adalah pada penempatan box
sambungan rumah. Jika socket lateral telah terpasang pada badan pipa, maka posisi kotak
sambungan rumah akan ditentukan oleh posisi socket. Tetapi bila socket lateral belum terpasang,
maka posisi box sambungan rumah dapat ditentukan berdasarkan kehendak pemilik properti
atau sesuai dengan situasi rumah dan posisi socket menyesuaikan.
484
Keterangan:
A = Mesin bor untuk membuat lubang pada badan pipa dan pipa diameter 200 mm yang telah
dipasangi socket lateral
B = Pipa diameter 1000 mm yang telah dipasangi socket lateral
C = Pengeboran badan pipa yang telah terpasang untuk pemasangan socket lateral
Karena pemasangan pipa lateral mempengaruhi kapan penimbunan kembali galian jaringan pipa
dilakukan, maka biasanya pemasangan pipa lateral dilakukan dua tahap. Tahap pertama adalah
menyambungkan socket lateral pada badan pipa dan memasang pipa lateral sejarak 23 m.
Tahap kedua adalah menyambung pipa yang telah terpasang tersebut hingga ke posisi box
sambungan rumah. Dengan demikian saat tahap pertama selesai, timbunan kembali dapat
dilakukan dan tahap kedua dapat dimulai setelah pemasangan jaringan pipa selesai.
485
Hal yang sangat penting dilakukan adalah memberi tanda di mana posisi pipa lateral berakhir
karena pipa lateral tersebut akan disambung di lain hari. Bila tidak diberi tanda, maka pada saat
pelaksanaan penyambungan akan mengalami kesulitan mencari ujung pipa yang berakibat
pekerjaan menjadi terlambat.
Penandaan posisi sambungan rumah dan pipa lateral untuk lanjutan pemasangan pipa lateral
tahap II
486
487
488
489
4.3
490
Gambar 4.7a. Bentuk Sambungan Pipa Sambungan Rumah Dengan Pipa Jaringan
Pengumpul Ai r Limbah (1)
491
492
Gambar 4.7c. Bentuk Sambungan Pipa Sambungan Rumah Dengan Pipa Jaringan
Pengumpul Air Limbah (3)
5.
Sambungan rumah merupakan suatu rangkaian pemasangan pipa air limbah rumah tangga
sampai dengan bak kontrol, selanjutnya dihubungkan dengan pipa lateral ke jaringan pipa air
limbah. Pemasangan sambungan rumah haruslah dengan persetujuan dari pemilik rumah
(properti). Bila pemilik setuju, maka ditindak lanjuti dengan survey sambungan rumah.
493
5.1
494
495
Gambar 5.4. Penandaan Titik Bak Kontrol Dan Penjelasan Kepada Pemilik Rumah
5.2
Pelaksanaan sambungan rumah dikerjakan setelah survey selesai dilakukan dan pemilik rumah
telah menyetujui untuk dilakukan pemasangan sambungan rumah tersebut. Pemasangan
sambungan rumah secara garis besarnya dibagi menjadi 2 jenis pekerjaan yaitu pemasangan
pipa air limbah dan pemasangan bak kontrol. Pekerjaan pemasangan pipa air limbah
menggunakan pipa PVC dengan diameter 100 mm dengan kelas untuk air limbah. Sedangkan
bak control terbuat dari pasangan batu bata yang disusun membentuk box yang bagian dasarnya
dibentuk invert sesuai dengan diameter pipa air limbah. Bak control tersebut diberi tutup pada
bagian atasnya yang terbuat dari beton bertulang. Bentuk bak kontrol ada 2 yaitu segi empat dan
lingkaran. Bak kontrol berbentuk segi empat terbuat dari batu bata sedangkan yang lingkaran
adalah fabrikasi beton bertulang (seperti buis beton). Pemasangan bak kontrol fabrikasi
dimaksudkan untuk mempercepat waktu pemasangan di lapangan.
496
497
498
5.2.1
Metode pelaksanaan
5.2.2
Tujuan dari sambungan rumah adalah untuk menyalurkan air limbah ke jaringan air limbah
kota. Dengan demikian keberadaan tangki septik tidak diperlukan lagi. Setelah tersambung
dengan jaringan pipa air limbah kota, dilakukan pengurasan tangki septik yang dilakukan
dengan mobil tangki penguras. Septictank kemudian dibilas dengan cara mengisi kembali
dengan air bersih yang kemudian disedot kembali. Pembuangan lumpur tinja harus di IPLT (
Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja ) yang telah mendapatkan izin resmi.
Tangki septik yang telah kosong harus disemprot atau diisi larutan desinfektan agar bersih dari
kuman. Bahan yang digunakan adalah kaporit [Ca(OCl)2] dengan kandungan chlorine minimal
60%. Porsi penggunaannya adalah 50 gr/m3 untuk setiap tangki septik. Kaporit dicampur
dengan air hingga homogen dengan alat pengaduk, kemudian dimasukkan ke dalam septictank
selama minimal 1 jam kemudian dikeluarkan dan dibuang ke tempat yang aman. Agar tangki
septik tersebut tidak digunakan lagi, maka harus dilakukan penutupan pada inlet tangki septik.
499
6.
SOSIALISASI
Kegiatan sosialisasi memegang peranan cukup penting dalam pembangunan sistem perpipaan
air limbah suatu kota, karena di Indonesia sistem ini baru ada di beberapa kota. Tidak mudah
memberi pemahaman pada masyarakat maupun pihakpihak terkait tentang pentingnya
penanganan air limbah, untuk itu sosialisasi perlu dilaksanakan secara menerus mengikuti
tahapan kegiatan sebagai berikut:
Tahap Perencanaan
6.1
Kegiatan sosialisasi dilaksanakan oleh pimpinan proyek dibantu konsultan dengan kegiatan
antara lain berupa :
500
Penjelasan dan diskusi dengan instansi instansi terkait, DPRD, tokoh tokoh masyarakat
Pertemuan dengan masyarakat langsung di banjar banjar
Kunjungan ke sistem serupa di kota lain yang sudah beroperasi
Dialog interaktif di stasiun radio dan televisi setempat
Penyebaran materi sosialisasi berupa brosur, poster, dsb.
6.2
Tahap Konstruksi
Kegiatan dilaksanakan bersama-sama oleh konsultan, kontraktor dan tim proyek. Kegiatan lebih
terfokus pada kelancaran pelaksanaan di lapangan, di antaranya berupa:
Koordinasi dengan instansi yang terkait langsung di lapangan seperti polisi, PDAM,
Telkom, dll
Koordinasi dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat, para kelian banjar, sehubungan
dengan jadwal, metode pelaksanaan, dll
Sosialisasi door to door untuk kegiatan khusus seperti penempatan sambungan rumah dan
kegiatan yang terkait langsung di lokasi
Dialog interaktif di stasiun radio dan televisi setempat
501
6.3
Tahap Operasional
Kegiatan dilaksanakan oleh konsultan dan badan pengelola. Kegiatan lebih ditekankan pada
operasional dan perawatan sistem yang sudah terbangun, termasuk biaya pelayanan dengan
cara:
502
Sosialisasi door to door untuk memberi penjelasan tentang operasional dan perawatan
system perpipaan air limbah, juga disampaikan informasi tentang benda-benda yang tidak
boleh dibuang ke dalam saluran yang akan mengganggu system
Sosialisasi pada anak-anak tingkat sekolah dasar dengan mengajak mereka untuk menjadi
polisi limbah di dalam keluarga dan lingkungan tempat tinggal
Penyebaran materi berupa brosur, penempatan poster di tempat-tempat umum
Penyebaran informasi melalui media televisi dan radio
503
Daftar Kepustakaa
1. Waskita, A.,Tokura, JO. 2007. Construction Package ICB2 DSDP. Denpasar.
2. Hiroshi, O. Pictural Sewer Construction. San Kai Do, Japan.
3. Pacific Consultants International and Associate. 2006. One Day Seminar of Sewer
Construction for Denpasar Sewerage Development Project. Denpasar.
4. Pacific Consultants International and Associate. 2007. Laporan Teknik Pelaksanaan
Jaringan Pipa Air Limbah dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) - DSDP. Denpasar.
5. Pacific Consultants International and Associate. 2007. Laporan Sosialisasi, TOA PP JO,
Construction Package ICB1. DSDP. Denpasar
504
TIM PENYUSUN
PEMBINA
Ir. Djoko Mursito, M.Eng, MM
PENGARAH
Ir. Emah Sudjimah, MT
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Susi MDS Simanjuntak, MT
Dadang Suryana, ST
PELAKSANA
Evy Novita Zulfiany, ST, MSi
Rina Resnawati, ST, M.Eng
Ariani Dwi Astuti, ST, MT
Ir. Ramadhani Yanidar, MT
Ir. Handy B. Legowo, MSES
Ir. Emah Sudjimah, MT
Meinar Manurung, ST, MT
Ir. Achmad Mufid, Dipl. SE
Vika Ekalestari, ST, MSc
Asri Indiyani, ST, MSc
Mahardiani Kusumaningrum, ST
Erly Silalahi, ST
Riza Taftazani, ST