Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan
system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan
membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid
menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas
ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke
duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid
stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.
Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon
tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior
hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin.
Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu
menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah, yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin)
dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh
enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81 anak (8,0%)
mengalami struma endemis atau gondok. Penelitian Tenpeny K.E di Haiti pada tahun
2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang dilakukan pemeriksaan pada 1.862
anak usia 6-12 tahun.
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak yang
terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita gondok menunjukan
PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan 0,65 % di Desa Mejaya (daerah
non endemik).
salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang
sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada
tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui.
Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah di
Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi profilaksis
tidak menjangkau masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau,
Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.
Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada tahun
1993 dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah pesisir, pedalamam
serta diantara pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450 orang dengan usia >15 tahun
ditemukan PR GAKY 23 % di wilayah pesisir dengan kelompok usia terbanyak pada usia
36-45 tahun (33,9 %) , 35,9 % di wilayah pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan
44,9 % diantara pedalaman dan pesisir pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).
Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634 orang yang
berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %) mengalami goiter
multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter multinodular toxic, 27 orang (4,3%)
Graves disease, dan 8 orang (1,3 %) simple goiter.
2.4.Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi.
2.4.1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
10
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini
biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme
mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar
dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara
dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut
rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan
tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, lebIh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga
terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar penderita
hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
11
2.4.2.Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan
perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
1.
2.
Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu
lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.
b. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
1.
2.
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f. Grade IV : struma yang amat besar
2.5.
Patogenesis Struma
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan berkompensasi
dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula dengan kelenjat tiroid pada
12
saat masa pertumbuhan atau paa kondisi memerlukan hormon tiroksin lebih
banyak, misal saat pubertas, gravid dan sembuh dari sakit parah.
a. Non toxic goiter: difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parrys disease), difus (Graves disease)/Morbus
Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimotos disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis, anaplastik
2.6. Struma Difusa Toksik
2.6.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit ini juga
biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,
hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda
dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan
adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa
exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi
diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap
reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit
ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
13
14
dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan
fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit
tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang
tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya
cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan
elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor
pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan
lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata
terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata
akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.
2.6.4 Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
16
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
2.7.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan Graves yaitu
ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
mekanisme
terjadinya
goiter
disebabkan
oleh
adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan
sintesis
hormon
tiroid
kongenital
ataupun
goitrogen
(agen
penyebab
goiter
17
menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari
sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran
ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut
kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi
iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada.
Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid
mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya
dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi
koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris,
walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya
dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk
folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan
terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel
dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.
18
2.9.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang
yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang
19
belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
2.9.3 Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan
strumanya
tanpa
keluhan.
terjadi
dispnea
dengan
stridor
inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring
dan
epiglotis
sehingga
terasa
berat
karena
terfiksasi
pada
trakea.
2.9.4 Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam
teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
20
Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis
paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda
dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab
keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau
sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe
ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus, ke paru.
2.
Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-
25 % dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas
40 tahun. Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering
daripada pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko
jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.
21
3.
Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari
kanker
tiroid.
Sedikit
lebih
sering
pada
wanita
daripada
pria.
Metastasis
terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada
mulanya orang yang hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan
menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan.
Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4.
diantara kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria
dan paling sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering
ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya
mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.
22
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi
arteri
karotis
teraba
dari
arah
tepi
belakang
muskulus
23
sternokleidomastoidea.
-
24
dari nodul tiroid, mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak,
untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah, dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
d.
FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar
jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
e.
2.12. Pencegahan
2.12.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri
dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
a.
25
Diagnosis
1.
Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada
pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
2.
Palpasi
26
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher
dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan
menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
3.
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat
diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar
tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada
pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal
penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif
(RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan
mengubah yodida.
4.
Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di
layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya
kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan
yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan
karsinoma.
6.
berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
7.
aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang
baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
b. Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai
berikut :
1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan
menghasilkan
hipotiroidisme
permanen
yang
kurang
sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme
yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan
obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil
dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang
menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total
tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein
maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi
tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari.
Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak
cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium
28
29
30
31
Penggunaan
high-iodine-content-drugs
(misalnya:
amiodarone)
hendaknya
pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2) pada kasus longstanding goiter, (3) jika level TSH <1 IU/mL, (4) wanita post-menopause, (5) penderita
usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit
kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan systemic illness. (AME Guideline, 2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4)
hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah penderita dan
variasi respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan dengan Levothyroxine
(LT4) hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena akan menimbulkan adverse effect.
Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan
reaspiration harus segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah
berguna untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. (AME
Guideline, 2006)
Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimasol/karbimasol.
2.12.3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
b.
c.
33
Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting
untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk
mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat
diketahui secara dini.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis
pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh
pasie. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam
jangka waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
34
1. Lal Geeta, Clark OH. Thyroid, parathyroid and adrenal gland : Schwartz
Principles of Surgery, 10th edition, Mcgraw-Hilll Education, 2015 : 15211556.
2. Jamson, L. Diseases of Tyroid Gland : Harrisons Principles of Internal
Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division, 2005:
2104-2126.
3. Widjosono, Garitno. Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 2010 : 925-952.
4. Johan, SM. Nodul Tiroid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat,
Penerbit FKUI, Jakarta, 2006 : 757-778.
5. Djokomoeljanto, R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan hipertiroidisme : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Penerbit FKUI, Jakarta, 2006:
779-792.
6. Schteingert David E. Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,
Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
7. Liberty Kim H. Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
8. American Association of Clinical Endocrinologists and Association Medici
Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and
management of thyroid nodule : ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.
January/February2006. Diunduh dari
http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf tanggal 9 Juni
2015.
35