You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan


jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan
perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Struma
merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme
dapat didiagnosis secara tepat.
Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan
lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding
pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari
1.000 pria.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi, Anatomi, dan Histologi Kelenjar Tiroid


Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang
anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali
sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu
penyakit atau kelainan.
Embriologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus
pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara branchial pouch pertama
dan kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm pada akhir bulan pertama
kehamilan. Dari bagian tersebut timbul divertikulum yang kemudian membesar, jaringan
endodermal ini turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang
kemudian membentuk 2 lobus, yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Penurunan ini
terjadi pada garis tengah. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang
berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang
pada usia dewasa. Sisa ujung kaudal duktus tiroglossus lebih sering mengalami obliterasi
menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan yang masih
menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara
kartilago tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan
mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya abnormal, dinamakan persisten
duktus tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus, tiroid lingual atau tiroid
servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substernal.
Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan
merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang memproduksi kalsitonin.
Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan
intrauterin.

Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang dihubungkan oleh
ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian
ketiga yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis
tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal. Setiap
lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat
kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat
normalnya antara 10-20 gram. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang
disebut true capsule.
Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul
fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid
dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih
superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang
membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi lateral
berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri
tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus
rekuren dan esophagus. Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan
n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal dari
a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia, dan
a.tiroidea ima berasal dari a.brakhiosefalik salah sau cabang arkus aorta. Saraf yang
melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal tiroid sebelum masuk
ke laring.
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50 kali
lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar
bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.

Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan
system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan
membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid
menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas
ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke
duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Gambar 2. Vaskularisasi dan Persarafan Kelenjar Tiroid


3

Gambar 4. Vaskularisasi Kelenjar Tiroid

Gambar 4. Anatomi Tiroid Potongan Melintang


Histologi Kelenjar Tiroid
Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:

1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu massa


koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner katika folikel
lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang
berjauhan.

Gambar 5. Histologi Kelenjar Tiroid

Fisiologi Hormon Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4). Bentuk
aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4
di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Yodida anorganik
yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan
kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida
anorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian
dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau
diyodotirosin (DIT). Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang
lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian
besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang
kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam
sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid
binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA).

Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid
stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.
Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon
tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior
hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin.
Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu
menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah, yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin)
dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh
enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.

8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan


kompleks golgi.

Gambar 6. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

2.2. Definisi Struma


Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar
tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga
mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan
disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi
serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang
besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
2.3. Epidemiologi Struma
2.3.1. Distribusi dan Frekuensi
a. Orang
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005 struma
nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %) dan 435
orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%),
struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang diantaranya orang laki-laki (8,9
%) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun
berjumlah 65 orang (34,03 %).
b.

Tempat dan Waktu


Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau pemeriksaan

benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81 anak (8,0%)
mengalami struma endemis atau gondok. Penelitian Tenpeny K.E di Haiti pada tahun

2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang dilakukan pemeriksaan pada 1.862
anak usia 6-12 tahun.
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak yang
terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita gondok menunjukan
PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan 0,65 % di Desa Mejaya (daerah
non endemik).

2.3.2. Determinan Struma


a. Host
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun
dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada. Struma
dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang semakin tua akan
meningkatkan resiko penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh
dan imunitas seseorang yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan penelitian Hemminichi K, et al yang dilakukan berdasarkan data
rekam medis pasien usia 0-75 tahun yang dirawat di rumah sakit tahun 1987- 2007 di
Swedia ditemukan 11.659 orang (50,9 %) mengalami struma non toxic, 9.514 orang (41,5
%) Graves disease, dan 1.728 orang (7,54%) struma nodular toxic.
b. Agent
Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang
terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia penyebab struma
adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu hormogenesis tiroid.
Goitrogen menyebabkan membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat dalam
kandungan kol, lobak, padi-padian, singkong dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen
juga terdapat dalam obat-obatan seperti propylthiouraci, lithium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium secara berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang merupakan
9

salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang
sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada
tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui.
Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah di
Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi profilaksis
tidak menjangkau masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau,
Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.
Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada tahun
1993 dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah pesisir, pedalamam
serta diantara pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450 orang dengan usia >15 tahun
ditemukan PR GAKY 23 % di wilayah pesisir dengan kelompok usia terbanyak pada usia
36-45 tahun (33,9 %) , 35,9 % di wilayah pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan
44,9 % diantara pedalaman dan pesisir pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).
Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634 orang yang
berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %) mengalami goiter
multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter multinodular toxic, 27 orang (4,3%)
Graves disease, dan 8 orang (1,3 %) simple goiter.

2.4.Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi.
2.4.1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

10

a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini
biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme
mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar
dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara
dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut
rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan
tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, lebIh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga
terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar penderita
hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

11

2.4.2.Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan
perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
1.

Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,


seperti yang ditemukan pada Graves disease.

2.

Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu
lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.

b. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :
1.
2.

Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter.


Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.

Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:


a. Grade 0

: tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal

b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat


c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II

: struma dapat dilihat dalam posisi biasa

e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f. Grade IV : struma yang amat besar
2.5.

Patogenesis Struma
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan berkompensasi
dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula dengan kelenjat tiroid pada
12

saat masa pertumbuhan atau paa kondisi memerlukan hormon tiroksin lebih
banyak, misal saat pubertas, gravid dan sembuh dari sakit parah.
a. Non toxic goiter: difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parrys disease), difus (Graves disease)/Morbus
Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimotos disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis, anaplastik
2.6. Struma Difusa Toksik
2.6.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit ini juga
biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,
hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda
dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi
berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan
adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa
exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi

penyakit Graves tidak

diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap
reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit
ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.

13

Gambar 5 Penderita Graves disease


2.6.2 Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat.
2.6.3 Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas.
Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali
asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat
badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac
output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi
meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan
mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom

14

dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan
fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit
tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang
tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya
cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan
elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor
pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan
lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata
terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata
akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

Gambar 6. Skema Patogenesis Graves Disease


15

2.6.4 Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

2.7. Struma Nodosa Toksik


2.7.1 Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus
yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia
dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun
dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka
disebut juga Plummers disease.
2.7.2 Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid
yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam
15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah
menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon
tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.
2.7.3 Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan
Plummers disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang

16

membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
2.7.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan Graves yaitu
ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

2.8. Struma Difusa Nontoksik


2.8.1 Definisi
Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid
yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet
dalam harian. Epidemologi Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada
populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa
penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter
endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan
ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana
dengan baik
2.8.2 Patofisiologi
Umumnya,

mekanisme

terjadinya

goiter

disebabkan

oleh

adanya

defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan
sintesis

hormon

tiroid

kongenital

ataupun

goitrogen

(agen

penyebab

goiter

seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin

17

menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari
sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran
ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut
kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi
iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada.
Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid
mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya
dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi
koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris,
walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya
dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan
tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk
folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan
terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel
dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.

18

2.8.3 Gejala Klinis


Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar
tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi
mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak
dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.
2.8.4 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama
4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian
tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga
mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan
operatif.

2.9. Struma Nodosa Nontoksik


2.9.1 Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma
nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang
menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda
toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa
nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tandatanda keganasan yang mungkin ada.

2.9.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang
yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang
19

belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
2.9.3 Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan

strumanya

tanpa

keluhan.

Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke


depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai
akhirnya

terjadi

dispnea

dengan

stridor

inspiratoar.

Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring

dan

epiglotis

sehingga

terasa

berat

karena

terfiksasi

pada

trakea.

2.9.4 Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam
teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

20

d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan


sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus.

2.10. Karsinoma Tiroid


2.10.1 Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel)
yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang
memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang
menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)
dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa
disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan
membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup
banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.
2.10.2 Klasifikasi karsinoma tiroid
1.

Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis

paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda
dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab
keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau
sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe
ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus, ke paru.
2.

Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-

25 % dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas
40 tahun. Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering
daripada pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko
jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.

21

3.

Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari

kanker

tiroid.

Sedikit

lebih

sering

pada

wanita

daripada

pria.

Metastasis

terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada
mulanya orang yang hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan
menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan.
Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4.

Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik

diantara kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria
dan paling sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering
ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya
mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.

2.10.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas


Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul
tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan
kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul
yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang
sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul
ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan
enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama
yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif

22

6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi

arteri

karotis

teraba

dari

arah

tepi

belakang

muskulus

sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berrys Sign)


2.11. Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma
2.11.1 Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan
di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau
hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih
jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan
menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada
tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan
tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecendrungan
ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejalagejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo
dan ada tidaknya benjolan di leher.
2.11.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tandatanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut benar
adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien
diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak
saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan
pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :
-

Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus.

Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang.

23

Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa).

Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras.

Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi.

Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus

sternokleidomastoidea.
-

Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak.

2.11.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid
terbagi atas :
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar
T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA)
dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang
dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah
0,65-1,7 ng/dl. Kadar T3 dan TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap
macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan
penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating
hormone antibody (TSA).
c. Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau


pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa
diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan


antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak
menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid, mengukur volume

24

dari nodul tiroid, mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak,
untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah, dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

Scanning Tiroid, dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131


yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk
lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam
kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat
dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal
dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah
dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila
uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan
bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti
aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.

d.

FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar
jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.

e.

Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi


diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan
pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta
mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

2.12. Pencegahan
2.12.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri
dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
a.

Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku


makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium.

25

b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut.


c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan.
d. Iodinasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat
terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida
diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang
e.

mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.


Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria
berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan
menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis

pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.


f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun
sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan
untuk

anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

2.12.2. Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit
yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
a.

Diagnosis

1.

Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada

pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
2.

Palpasi
26

Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher
dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan
menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
3.

Tes Fungsi Hormon


Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi

tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat
diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar
tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada
pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal
penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif
(RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan
mengubah yodida.
4.

Foto Rontgen leher


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau

menyumbat trakea (jalan nafas).


5.

Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di

layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya
kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan
yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan
karsinoma.
6.

Sidikan (Scan) tiroid


Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-

99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian


27

berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
7.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus


Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi

aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang
baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

b. Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai
berikut :
1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan

menghasilkan

hipotiroidisme

permanen

yang

kurang

sering

dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme
yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan
obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil
dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang
menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total
tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein
maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi
tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari.
Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak
cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium

28

untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.


Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong operasi besar.
Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya serta ada tidaknya
penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung
jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu sisi
lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang mengandung
jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis
berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya extended:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND

Indikasi operasi pada struma adalah :


1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

29

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang


belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya.
Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi
trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher
yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
4. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah
dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan
mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah


nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan
terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid
Komplikasi awal antara lain :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu

30

c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi


kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi
lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi
pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid.
Kemungkinan nervus terligasi saat operasi.
e. Trakeomalasia
f. Infeksi
g. Tetani hipokalsemia
h. Krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. Keloid;
b. Hipotiroiditi;
c. Hipertiroiditi yang kambuh
2. Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter (volume
<100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan riwayat operasi
sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah. (AME Guideline, 2006)
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan membutuhkan
radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya efek resiten
terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi,
yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan pada penderita. (AME Guideline, 2006)
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid nodul. Masa
nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan mengecil sampai 45%
setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman, meskipun penelitian lain
melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia;
namun demikian, studi epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan
terhadap timbulnya carcinoma dan leukemia. (AME Guideline, 2006)

31

Penggunaan

high-iodine-content-drugs

(misalnya:

amiodarone)

hendaknya

dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak


mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid hendaknya
distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5
hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas
terapi. (AME Guideline, 2006)
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 1800 MBq, dosis
ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur ini simple, murah, dan
hasilnya memuaskan. (AME Guideline, 2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 IU/mL. Jika kondisi ini
belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan. (AME Guideline,
2006)
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1 IU/mL)
masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul tiroid dan
mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil massa yang serupa
dengan nodul awal. (AME Guideline, 2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering terjadi
pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan penderita
yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat mengecil, tetapi jika
hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka persentase keberhasilannya hanya
20%. (AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam sebelum
makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal. Disarankan agar minum
tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas air agar tablet lebih mudah larut
dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan
antasida karena akan menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum
yang diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-Wikipedia, 2007)
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita dengan
nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4) harus dihindari
32

pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2) pada kasus longstanding goiter, (3) jika level TSH <1 IU/mL, (4) wanita post-menopause, (5) penderita
usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit
kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan systemic illness. (AME Guideline, 2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4)
hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah penderita dan
variasi respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan dengan Levothyroxine
(LT4) hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena akan menimbulkan adverse effect.
Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan
reaspiration harus segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah
berguna untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. (AME
Guideline, 2006)
Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimasol/karbimasol.
2.12.3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
b.
c.

mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.


Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar
dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan
rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi
aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.
BAB III
KESIMPULAN

33

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting
untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk
mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat
diketahui secara dini.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis
pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh
pasie. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam
jangka waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

34

1. Lal Geeta, Clark OH. Thyroid, parathyroid and adrenal gland : Schwartz
Principles of Surgery, 10th edition, Mcgraw-Hilll Education, 2015 : 15211556.
2. Jamson, L. Diseases of Tyroid Gland : Harrisons Principles of Internal
Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division, 2005:
2104-2126.
3. Widjosono, Garitno. Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 2010 : 925-952.
4. Johan, SM. Nodul Tiroid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat,
Penerbit FKUI, Jakarta, 2006 : 757-778.
5. Djokomoeljanto, R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan hipertiroidisme : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Penerbit FKUI, Jakarta, 2006:
779-792.
6. Schteingert David E. Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,
Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
7. Liberty Kim H. Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
8. American Association of Clinical Endocrinologists and Association Medici
Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and
management of thyroid nodule : ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.
January/February2006. Diunduh dari
http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf tanggal 9 Juni
2015.

35

You might also like