You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar prostat adalah salah satu organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli dan membungkus uretra posterior. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak
maupun ganas. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa 20 gram. Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara
lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona
periuretra.

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran prostat bersifat jinak


yang dapat menghambat aliran urin dari buli-buli. Pembesaran ukuran prostat ini akibat
adanya hiperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Kejadian BPH erat kaitannya
dengan kadar Dihydrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Pembesaran dari prostat mengakibatkan uretra pars prostatika menyempit dan
menekan dasar dari kandung kemih, penyempitan ini dapat menghambat keluarnya urine dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrauretra. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung
kemih harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus
ini menyebabkan perubahan anatomi kandung kemih, dimana perubahan struktur ini
menimbulkan keluhan/gejala Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Keluhan pasien BPH
berupa LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms).
Obstruksi yang disebabkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa
prostat (merupakan komponen statis) yang menyumbat uretra posterior tetapi juga disebabkan

oleh peningkatan tonus otot polos (merupakan komponen dinamis) yang terdapat pada stroma
prostat, kapsul prostat, dan leher kandung kemih.

BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Umur

: 64 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Cipulir

No RM

: 365845

Tanggal Masuk

: 1 April 2015

B. ANAMNESIS
Dilakukan anamnesis pada tanggal 1 April 2015
A.Keluhan utama:
Pasien tidak bisa mengendalikan buang air kecil sejak 2 bulan sebelum masuk
rumah sakit.
B.

Riwayat Penyakit Sekarang:


2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh tidak bisa mengendalikan
buang air kecil. Pasien merasa buang air kecil tidak tuntas, seperti masih ada sisa
urin. Pasien merasakan nyeri saat buang air kecil, terutama saat berusaha
mengedan. Pada malam hari pasien bisa terbangun sampai 3x untuk buang air kecil
sehingga mengganggu waktu tidur pasien. Tiap 2 jam sekali pasien buang air
kecil. Riwayat buang air kecil disertai darah disangkal. Riwayat buang air kecil
disertai nanah disangkal. Riwayat buang air kecil disertai batu atau pasir disangkal.
Demam dan nyeri pinggang disangkal. Kemudian pasien dipasang selang kencing
buang air kecil menjadi lancar dan nyeri berkurang.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Memiliki riwayat darah tinggi. Memiliki riwayat kencing manis, riwayat alergi,
riwayat trauma dan kelainan penyakit saraf disangkal.
3

D.

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat DM disangkal

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat alergi disangkal

5
3

2
5
5
5
4
4

Gejala pasien berdasarkan skor IPSS 29 yaitu didapatkan pasien mengalami kasus
BPH bergejala berat.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukam pada tanggal 1 April 2015:
Kesadaran: Compos Mentis, GCS = 15
Tekanan Darah: 130/80 mmHg

Respirasi Rate:18x/menit

Suhu: 36 C

Nadi: 84x/menit
4

Status Generalis
1. Kepala
Bentuk

: Normocephal, simetris

Rambut

: Distribusi merata, tidak mudah dicabut

Edema

: Tidak ada

2. Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).


3. Hidung
4. Mulut

: Sekret (-), deviasi septum (-)


:

Bibir

tidak

sianosis,

faring

tidak

hiperemis, tonsil T1-T1


tidak hiperemis
5. Leher

: KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak

membesar, deformitas (-)


6. Thoraks
Cor

: Inspeksi

: Iktus kordis tak tampak.

Palpasi

: Iktus kordis tidak teraba, tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas pinggang jantung ICS III parasternal kiri


Batas kiri jantung : ICS V midklavikularis kiri
Batas kanan jantung : ICS V midstrenalis kanan

Auskultasi
Pulmo : Inspeksi

: BJ I-II reguler, murmur(-), gallop (-)


: Dinding dada simetris. retraksi interkostal (-), tidak ada
gerakan napas yang tertinggal

Palpasi

: Vokal fremitus paru kanan = kiri normal

Perkusi

: Hipersonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar

: Vesikuler +/+

Suara tambahan : Ronkhi basah kasar (-/-), wheezing (-/-)


7. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi

: Datar, benjolan (-), urin: jernih, produksi urin: (+)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), ballotement (-)


Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani, pekak beralih (-), undulasi (-), nyeri ketok


kostovertebre (-/-)

8. Pemeriksaan Extremitas
Superior

: Edema (-/-), akral hangat (+), CRT < 2 detik

Inferior

: Edema (-/-), akral hangat (+), CRT < 2 detik

9. Rektum/Anal
Inspeksi

: Benjolan (-)

Rectal Toucher : TSA (+), ampula kosong, mukosa licin,


kelenjar prostat kesan membesar (batas atas tidak
teraba), konsistensi kenyal, lobus kanan dan kiri
simetris, nodul (-), krepitasi (-)
Sarung Tangan : Feses (-), Darah (-), Lendir (-)

D. Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan
Hematologi

Hasil

Nilai Rujukan

12,16

5-10 ribu/mm3

Darah Rutin
Leukosit
Hitung Jenis

Netrofil

73,2%

50-70%

Limfosit

21%

25-40%

Monosit

4,8%

2-8%

Eosinofil

2,3%

2-4%

Basofil

0,2%

0-1%

4,8

4,5-6,5 juta/L

13,6

13,0-18,0 g/dL

43

40-52 %

88,2

80-100 fL

29,2

26-34 mg/dl

33,2

32-36%

11,9

11,5-14,5%

Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV

334

150-440ribu/mm3

Elektrolit

135

135-145 mmol/L

Natrium (Na)

5.1

3,5-5,5 mmol/L

Kalaium (K)

101

98-109 mmol/L

Hasil

Nilai Rujukan

Trombosit
Kimia Klinik

Klorida (Cl)

Jenis Pemeriksaan
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu

120

<180 mg/dL

SGOT

18

0-37 U/L

SGPT

20

0-40 U/L

Ureum

21

20-40 mg/dL

Kreatinin

1,1

0,8-1,5 mg/dL

Urin lengkap
Kimia urin

Kuning tua

Kuning

Warna urin

Keruh

Jernih

Kejernihan

1,015

1,005-1,030

Berat jenis urine

6,0

5,5-8,0

POS (++)

Negatif

Protein urine

Neg (-)

Negatif

Glukosa urine

Neg (-)

Negatif

Keton urine

Neg (-)

Negatif

Bilirubin urine

Neg (-)

0,1-1,0

Urobilinogen urine

Neg (-)

Negatif

POS (++++)

Negatif

POS (+)

Negatif

pH urine

Nitrit urine
Darah Samar Urine
Lekosit Esterase
Mikroskopis Urine

8-10

3-6/lpb

PENUH

0-1/lpb
7

Lekosit

(+)

Positif

Eritrosit

Negatif

Sel Epitel

Negatif

Silinder Granular Cast

Negatif

Silinder Hyalin

Negatif

Bakteri

Negatif

Kristal
Lain

E. RESUME
Pasien masuk rawat inap karena pasien mengeluh tidak bisa mengendalikan buang
air kecil sejak 2 bulan SMRS, pasien sudah mencoba untuk mengendalikan namun
tetap tidak bisa. 2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh ada tahanan
saat buang air kecil, pasien sudah mencoba untuk mengedan namun terasa nyeri.
Pasien juga merasakan sebelumnya setiap buang air kecil tidak tuntas. Pada malam
hari pasien bisa terbangun sampai 3x untuk buang air kecil sehingga mengganggu
waktu tidur pasien, dan pagi hingga sore tiap 2 jam sekali pasien buang air kecil.
Riwayat buang air kecil disertai darah disangkal. Riwayat buang air kecil disertai
nanah disangkal. Riwayat buang air kecil disertai batu atau pasir disangkal. Kemudian
pasien dipasang selang kencing buang air kecil menjadi lancar dan nyeri berkurang
Kesadaran pasien compos mentis dengan GCS 15 pemeriksaan fisik tandatanda
vital TD: 150/90 Nadi 98x/menit RR: 24x/menit S: 37C Pasien terpasang kateter dan
pada rectal toucher didapatkan TSA (+), Ampula kosong, mukosa licin, kelenjar
prostat kesan membesar (batas atas tidak teraba) , konsistensi kenyal teraba, lobus
kanan dan kiri simetris, nodul (-), krepitasi (-), pada sarung tangan darah (-), feses (-),
dan lender (-) pemeriksaan lain dalam batas normal. Lalu pemeriksaan laboratorium
didapakan Leukosit 12,16ribu/mm3, neutrofil73,2. Pada urin lengkap warna kuning
tua, protein urin pos ++, darah samar urin pos ++++, lekosit esterasi pos+, secara
mikros lekosit 8-10/lpb, eritrosit penuh/lpb dan yang lainnya dalam batas normal.
.

F. DIAGNOSIS KERJA
Benign Prostat Hiperplasia

G. PENATALAKSANAAN

Pro operasi TURP

Ceftriaxone 2gr iv 1 jam pre op

H. FOLLOW UP
3 April 2015
S : Nyeri daerah op (-) , mual (-), muntah (-)
O :KU/Kesadaran : Tampak sakit sedang/compos mentis

TTV

: TD : 150/110 mmHg

RR: 20x/menit

Nadi: 88x/menit

S: 36,8C

Mata : Konjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-

Mulut : mukosa lembab, sianosis (-)

Leher : tidak teraba KGB

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, gallop (-), Murmur (-)

Pulmo

: simetris sttis-dinamis, retraksi (-), vesikuer +/+, Rhonki -/-,


Wheezing-/-

Abdomen : Supel, Datar, BU(+) normal, hepatomegali (-), splenomegali (-),


nyeri tekan lapang abdomen (-), CVA (-/-)

Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)

FC 3 way, urin murni: 2500/24jam warna:semu merah

A : Post TURP H+1


P :

- IVFD Nacl 0,9% 500cc/12jam


- Ceftriaxone 1x2gr iv

- Vitamin K 3x1iv
- Asam traneksamat 1x50mg iv
4 April 2015
S : Nyeri pada daerah op (-), Mual (+), Muntah (+)
O :KU/Kesadaran : Tampak sakit sedang/compos mentis

TTV

: TD : 150/90 mmHg

RR: 20x/menit

Nadi: 80x/menit

S: 37,2C

Mata : Konjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-

Mulut : mukosa lembab, sianosis (-)

Leher : tidak teraba KGB

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, gallop (-), Murmur (-)

Pulmo : simetris sttis-dinamis, retraksi (-), vesikuer +/+, Rhonki -/-,


Wheezing-/

Abdomen

: Supel, Datar, BU(+) normal, hepatomegali (-), splenomegali

(-), Nyeri tekan (-), CVA (-/-)

Ekstremitas

FC 3 way, urin murni: 1950/24jam warna: kuning jernih

: akral hangat, edema (-), sianosis (-)

A : Post TURP H+2


P :

- IVFD Nacl 0,9% 500cc/12jam


- Ceftriaxone 1x2gr iv
- Vitamin K 3x1iv
- Asam traneksamat 1x50mg iv

10

Operasi tanggal 2 April 2015


Laporan operasi
Operasi TURP
1. Pasien posisi terlentang diatas meja op dalam Spinal Anastesi
2. A dan Antiseptik daerah operasi dan sekitarnya
3. TURP
4. Keluar jaringan prostat
5. Pasang FC 24 F 3 way
6. Operasi selesai

Instruksi post op :
1. IVFD Nacl 0,9% 500cc/12jam
2. Ceftriaxone 1x2gr iv
3. Asam traneksamat 1x50mg iv
4. Vitamin K 3x1iv

11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler
yang mengelilingi uretra pars prostatica. Kelenjar ini membungkus sebagian uretra
proksimal.Secara anatomi kelenjar prostat berada di pelvis.Pada bagian anterior berbatasan
dengan simpisis pubis yang dipisahkan ruang retro pubis atau ruang Retzius.Pada bagian
posterior dengan ampula rectum yang dibatasi oleh facia Denonfiliers.Pada dasar prostat
kontinu dengan leher kandung kemih dan puncak prostat berada di diafragma urogenital.
Pada sisi lateral terhubung dengan otot levator ani.

Anatomi Prostat

12

Ukuran prostat yang normal 3-4cm bagian dasar, 4-6 cm bagian puncak dan 2-3 cm
bagian anteroposterior. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang
terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu : perifer, sentral, transisional, preprostatik
sfingter dan anterior (Mc Neal 1970). Secara histopatologis kelenjar prostat terdiri atas
komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblast,
pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga lainnya.
Untuk suplai perdarahannya, arteri berasal dari cabang-cabang arteri iliaka interna,
sedangkan saluran vena melalui kompleks vena dorsal yaitu punggung, penis dan vesika
mengalir ke vena kava interna.Dan untuk persarafannya berasal dari pleksus pada pelvis.

Gambaran Beberapa Potongan Prostat

B. Fisiologi
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra untuk
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan
prostat 25% dari seluruh volume ejakulat.
Prostat mendapat innervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus
atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4
dan simpatik dari nevus hipogastrikus(T10-L2). Rangsangan parasimpatik meningkatkan
sekresi kelenjar pada epitel prostat. Sedangkan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan
prostat ke uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan innervasi
13

pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Di tempat itu terdapat banyak
reseptor adrenergik-.
C. Histologi
Prostat merupakan suatu kumpulan 30-50 kelenjar tubuloalveolar yang bercabang.
Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika. Prostat mempunyai lima zona yang
berbeda.Pertama adalah zona sentral yang meliputi 25% dari volume kelenjar.Kedua adalah
zona perifer yang meliputi 70% dari volume kelenjar dan merupakan tempat predileksi
timbulnya kanker prostat. Ketiga adalah zona transisional yang merupakan tempat asal
sebagian besar hiperplasia prostat jinak. Keempat adalah zona fibromuskuler anterior, dan
kelima adalah zona periuretral.
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau
kuboid.Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar.Prostat dikelilingi suatu simpai
fibroelastis dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya
dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas pada orang dewasa.

Gambar 3. Histologi Prostat

D. Benign Hyperplasia Prostat


a) Definisi
BPH adalah tumor jinak akibat adanya pertumbuhan jumlah sel yang tersering pada pria
dan kejadian ini terkait usia.

14

BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,


pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra
dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan
uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih.
b) Epidemiologi
Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan dengan
pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang sama. BPH merupakan
penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Sebagai
gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus
pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber
Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama. Prevalensi BPH dalam studi histologi
otopsi sekitar 20% pada pria berusia 41-50, 50% pada pria berusia 51-60, dan > 90% dilakilaki yang lebih tua dari 80. Meskipun bukti klinis penyakit lebih jarang terjadi, gejala
obstruksi prostat juga terkait usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% dari laki-laki melaporkan
gejala berkemih obstruktif. Pada usia 75 tahun, 50% daripria mengeluh penurunan kekuatan
dan kekuatan pancaran miksi. BPH mempengaruhi kualitas kehidupan pada hampir 1/3
populasi pria yang berumur > 50 tahun.
c) Faktor Risiko
Prevalensi BPH dalam studi histologi otopsi sekitar 20% pada pria berusia 41-50, 50%
pada pria berusia 51-60, dan > 90% dilaki-laki yang lebih tua dari 80. Meskipun bukti klinis
penyakit lebih jarang terjadi, gejala obstruksi prostat juga terkait usia. Pada usia 55 tahun,
sekitar 25% dari laki-laki melaporkan gejala berkemih obstruktif. Pada usia 75 tahun, 50%
daripria mengeluh penurunan kekuatan dan kekuatan pancaran miksi.
d) Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan kadar
dehidrotestosteron (DHT), proses penuaan, teori hormon (ketidakseimbangan antara
estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya
kematian sel (apoptosis), teori sel stem. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah
terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
15

perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya
sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar
100%.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat merupakan factor terjadinya penetrasi DHT
kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada
prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen
relatif tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative
meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel
stroma melalui suatu mediator yang disebut growth factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel
stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran

16

prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau
infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat
istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen,
sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
e) Klasifikasi
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
17

Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.

f) Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas
dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama
terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran
kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan

18

merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga
terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka
akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes,
kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin.
Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga
pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan
nyeri saat berkemih /disuria. Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan
terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi
dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluk akan mengakibatkan pielonefritis.
g) Gejala Klinis
Gejala klinis BPH terjadi pada hanya sekitar 10% pria yang mengalami kelainan ini.
Karena hiperplasia nodular terutama mengenai bagian dalam prostat, manifestasinya yang
tersering adalah gejala saluran kemih bawah atau Lower Urinary Track Syndrome (LUTS).
Gejala tersebut terdiri atas obstruksi dan iritasi. Sulit memulai aliran urine (hesitancy),
pancaran kencing yang lemah (weak stream), kencing tidak lampias (incomplete emptying),
mengedan saat kencing (straining), dan kencing terputus-putus (intermittency) termasuk
dalam gejala obstruktif. Sedangkan tidak dapat menunda kencing (urgency), sering kencing
(frequency), dan kencing di malam hari (nocturia) tergolong dalam gejala iritasi.
h) Pemeriksaan Fisik

19

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh dan teraba massa kistik
di daerah supra simpisis akibat retensi urin. Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal
Examination (DRE) merupakan pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat
menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan
seperti nodul atau perabaan yang keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat,
konsistensi, cekungan tengah, simetri, indurasi, krepitasi, ada tidaknya nodul, dan nyeri
tekan.
Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung
hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada
karsinoma prostat, konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus
prostat tidak simetri.

Pemeriksaan colok dubur.

i) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya
komplikasi.

1.

Darah

Ureum dan Kreatinin

Elektrolit
20

2.

Blood urea nitrogen

Prostate Specific Antigen (PSA)

Gula darah

Kultur urin + sensitifitas test

Urin :

Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi

atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam
mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk
mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada vesica urinaria.

Pencitraan
Foto polos perut tidak direkomendasikan, namun berguna untuk mencari adanya
batu opak di saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan bulibuli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensi urin. Pemeriksaan IVP
dapat menerangkan adanya :
-

kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis)

memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan indentasi


prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter bagian distal
yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)

penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi, divertikel, atau


sakulasi buli-buli

Pemeriksaan IVP tidak lagi direkomendasikan pada BPH. Pemeriksaan USG secara
Trans Rectal Ultra Sound (TRUS), digunakan untuk mengetahui besar dan volume
prostat , adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna sebagai petunjuk untuk
melakukan biopsi prostat, menentukan jumlah residual urin dan mencari
kelainan lain pada buli-buli. Pemeriksaan Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS)
dapat mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi
21

BPH yang lama.

TransRectal Ultra Sound (TRUS)

Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur:


residual urin, diukur dengan kateterisasi setelah miksi atau dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi
pancaran urin (flow rate), dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan
lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan uroflowmetri.
j) Terapi
Tujuan terapi:

mencegah progresivitas penyakit

memperbaiki keluhan miksi

meningkatkan kualitas hidup

mengurangi obstruksi infravesika

mengembalikan fungsi ginjal

mengurangi volume residu urin setelah miksi

1. Watchful waiting

22

Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu keluhan ringan yang
tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien hanya diberikan edukasi mengenai hal-hal
yang dapat memperburuk keluhan :
- Jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol
- Kurangi makanan dan minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi, coklat)
- Kurangi makanan pedas atau asin
- Jangan menahan kencing terlalu lama
2. Medikamentosa
Tujuan:
- mengurangi resistensi otot polos prostat dengan adrenergik blocker
- mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon testosteron melalui
penghambat 5-reduktase
Selain itu, masih ada terapi fitofarmaka yang masih belum jelas mekanisme kerjanya.
3. Operasi
Pasien BPH yang mempunyai indikasi pembedahan:
-

IPSS 20

Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa

Mengalami retensi urin

Infeksi Saluran Kemih berulang

Hematuri

Gagal ginjal

Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah

Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:


-

Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)


Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (100 gram).

Pembedahan endourologi
Operasi terhadap prostat dapat berupa reseksi (Trans Uretral Resection of
the Prostat/TURP), Insisi (Trans Uretral Incision of the Prostate/TUIP) atau
evaporasi.

23

Trans Uretral Resection of the Prostat/TURP

Selain tindakan invasif tersebut diatas, sekarang dikembangkan tindakan invasif


minimal, terutama yang mempunya resiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan tersebut
antara lain: termoterapi, Trans Uretral Needle Ablation of the Prostat/TUNA, pemasangan
stent, High Intensity Focused Ultrasound/HIFU serta dilatasi dengan balon (Transuethral
Ballon Dilatation/TUBD).
k) Komplikasi

Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

Infeksi saluran kemih

Involusi kontraksi kandung kemih

Refluk kandung kemih

Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

24

Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.

25

BAB IV

Pasien adalah seorang laki-laki berumur 64 tahun, datang dengan keluhan tidak bisa
mengendalikan buang air kecil sejak 2 bulan SMRS. Dari anamnesis didapatkan keluhan
pasien tidak bisa mengendalikan buang air kecil sejak 2 bulan SMRS. Pasien merasa
buang air kecil yang tidak tuntas, seperti masih ada sisa urin. Pasien merasakan nyeri saat
buang air kecil, terutama saat mengedan. Menurut literatur, gejala dari BPH ini terdiri
dari gejala obstruksi dan gejala iritasi, pada gejala obstruksi muncul buang air kecil yang
terputus; hesitancy; mengedan saat mulai miksi pada pasien ini terjadi akibat adanya
pembesaran prostat yang berakibat menekan uretra dan menyebabkan tahanan saat buang
air kecil dan menyebabkan pasien harus mengedan saat buang air kecil, mengedan dapat
menyebabkan rasa nyeri pada pasien karena pengosongan vesika urinaria yang tidak
sempurna akan menyebabkan rangsang pada vesika urinaria hingga sering kontraksi saat
kondisi vesika urinaria belum penuh; berkurangnya pancaran urin; sensasi tidak selesai
saat berkemih pada pasien disebabkan adanya tahanan pada prostat; miksi ganda; dan
menetes pada akhir miksi. Sedangkan pada gejala iritasi terdapat gejala frekuensi sering
miksi; urgensi; nokturia; inkontinensia.
Pada pasien ini epidemiologi yang dimiliki adalah laki-laki, umur >50 tahun. Pada
usia lanjut terjadi peningkatan kadar estrogen yang menginduksi reseptor androgen
sehingga meningkatkan sensitivitas prostat terhadap testosteron bebas.
Pada pemeriksaan fisik rectal toucher TSA (+), ampula kosong, mukosa licin, kelenjar
prostat kesan membesar (batas atas tidak teraba), konsistensi kenyal, lobus kanan dan kiri
simetris, nodul (-), krepitasi (-).
Pada pemeriksaan PSA didapatkan nilai 0,7ng/ml. Dari literatur yang saya baca, nilai
PSA 0-2,5 ng/ml belum diindikasikan untuk dilakukan biopsi prostat. Indikasi untuk
dilakukannya biopsi prostat jika nilai PSA > 4 ng/ml.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis BPH.
Pada penatalaksaan BPH pasien akan dilakukan TURP dikarenakan nilai IPSSnya 29,
rentang ini termasuk BPH dengan gejala berat dan indikasi untuk dilakukannya operasi.
TURP yaitu Transuretral Resection of Bladder Tumor. Tindakan ini ditujukan untuk
membuang massa prostat yang terbentuk akibat adanya hiperplasia.
26

Prognosis pada pasien ini adalah quo ad vitam: dubia ad bonam. Quo ad functionam:
dubia ad bonam karena setelah diangkatnya jaringan prostat yang hiperplasia, pasien bisa
buang air kecil dengan normal, tanpa adanya tahanan atau rasa tidak tuntas. Quo ad
sanactionam: dubia ad bonam.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua. Jakarta: CV.Sagung Seto. 2007. 6985
2. Leveillee. Prostate Hyperplasia, Benign. 2006. http://www.emedicine.com.
3. Kim & Belldegrun (eds). Urology Dalam Schwartzs Manual Of Surgery, 8th
4. Edition, Brunicardi et al (eds). USA: Mc Graw-Hill Medical Publishing Division.
2006. 1036-1060
5. Sjamjuhidayat & De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 2005. 782-6
6. Guidlines BPH. 2003. Diakses dari www.iaui.or.id

28

You might also like