You are on page 1of 6

KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MENGATASI

PENGANGGURAN PEMUDA INTELEKTUAL DI


INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kebijakan menurut James E. Anderson adalah perilaku dari aktor (pejabat, kelompok, instansi
pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson, 1978 dalam Utomo, 2009).
Orang-orang yang menyusun kebijakan disebut dengan pembuat kebijakan. Kebijakan dapat disusun di semua
tingkatan– pemerintah pusat atau daerah, perusahan multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit,
dimana kebijakan publik mengacu kepada kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Thomas Dye menyatakan
bahwa kebijakan umum adalah segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak (Dye,
2001 dalam Utomo, 2009). Ia berpendapat bahwa kegagalan untuk membuat keputusan atau bertindak atas
suatu permasalahan juga merupakan suatu kebijakan, namun hal ini tampaknya berlawanan dengan asumsi yang
lebih formal bahwa segala kebijakan disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu. Untuk lebih
mudahnya, kebijakan publik dapat diartikan sebagai keputusan (formal) pemerintah yang berisi program-
program pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara, serta dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan nasional (Utomo, 2009).
Kebijakan ketenagakerjaan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta. Dalam paper ini kebijakan
ketenagakerjaan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan yang mempengaruhi tatanan
kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam sistem ketenagakerjaan. Selain itu perhatian
juga diperlukan pada segala tindakan dan rencana tindakan dari organisasi diluar sistem ketenagakerjaan yang
memiliki dampak pada ketenagakerjaan seperti pendidikan, migrasi, standar hidup dll. Isi kebijakan ini juga
tidak dapat dipisahkan dari politik penyusunan kebijakan. Sebagai contohnya adalah di Indonesia dimana
kebijakan yang pro pekerja biasanya di susun setelah adanya tekanan dari masyarakat berupa demo atau lainnya,
bisa juga pengesahannya baru disetujui saat mau pemilihan umum untuk mendapatkan dukungan agar dipilih
lagi.

Terkait masalah pengangguran pemuda intelektual yang merupakan fokus yang Penulis angkat
dalam paper ini, memiliki signifikansi sebagai berikut yaitu masa depan suatu negara bergantung pada kaum
mudanya. Bilamana generasi muda yang diharapkan sumbangsihnya ini sudah meraih gelar sarjananya yang
notabenenya sering dijadikan prasyarat oleh beberapa perusahaan untuk diterima kerja maupun untuk
memperoleh gaji yang lebih tinggi, namun justru menjadi pengangguran maka hal ini perlu penyelesaian lebih
lanjut berupa kebijakan dari pemerintah. Jika dibiarkan saja, permasalahan ini justru menjadi beban negara dan
dapat memicu terjadinya berbagai tindak kriminalitas akibat beratnya tuntutan hidup- seperti sandang, pangan,
dan berbagai keperluan lainnya.
Kaum muda memang fenomenal, gerak sejarah republik ini juga mencatat eksistensi mereka dalam
berbagai peristiwa nasional seperti sumpah pemuda 1928 hingga reformasi 1998. Dapat dikatakan, kaum muda
(intelektual) mampu menunjukkan peranannya sebagai agen transformasi sosial. Namun yang perlu juga
dipahami adalah transformasi sosial ini tidak selalu berbentuk gerakan politik atau berkutat pada suprastruktur
melainkan juga berupa transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terhadap masyarakat di tingkatan
basis struktur. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan jika peran kaum muda intelektual dalam melakukan
transformasi IPTEK masih jauh dari harapan (Wijaksono, 2008). Apalagi pada era global seperti saat ini,
berbagai perubahan terjadi secara cepat di segala aspek kehidupan manusia. Di era global inilah kemandirian
manusia dituntut untuk memenangkan kompetisi, karena salah satu ciri dari globalisasi adalah kompetisi. Untuk
dapat memenangkan kompetisi, maka suatu negara harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas dan memenuhi standar kompetensi dunia. Sumber daya yang berkualitas hanya akan diperoleh
melalui pendidikan yang berkualitas pula.
Secara historis masyarakat Indonesia cenderung memiliki sikap feodal yang diwarisi dari penjajah
Belanda. Sebagian besar anggota masyarakat mengharapkan output pendidikan sebagai pekerja, sebab mereka
berpandangan bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang memiliki status sosial cukup tinggi
dan disegani oleh warga masyarakat. Hal ini mewarnai orientasi pendidikan bangsa Indonesia. Ironisnya
pendidik maupun institusi pendidikan memiliki persepsi yang sama terhadap harapan outputpendidikan.
Apabila hal ini tidak segera diantisipasi, bukan hal yang mustahil suatu saat akan terjadi ledakan pengangguran
terdidik yang tak terkendali di Indonesia, karena para lulusan lembaga pendidikan tidak dikader sejak dini untuk
menjadi pencipta lapangan kerja atau berusaha secara mandiri, mereka cenderung lebih senang bekerja pada dan
untuk orang lain. Lebih memprihatinkan lagi jika lulusan lembaga pendidikan kita tidak mampu mengolah
potensi yang ada dan hanya sekedar menjadi penonton di negerinya sendiri.
Di samping permasalahan di atas, krisis ekonomi yang telah melanda perekonomian Indonesia mulai
pertengahan tahun 1997 telah berdampak pada aspek kehidupan yang lain, seperti krisis politik, budaya, krisis
kepercayaan, dan sebagainya. Kondisi ini mengakibatkan pola kehidupan masyarakat pun berubah. Tingkat
kemiskinan semakin banyak, pengangguran juga semakin meningkat akibat adanya pemutusan hubungan kerja
(PHK), dan penghasilan riil masyarakat menurun karena naiknya harga barang dan jasa. Menurut BPS, angka
pengangguran terbuka[1] pada Agustus 2007 mencapai 10,55 juta orang (9,11%) dari jumlah penduduk
Indonesia, sedangkan jumlah penduduk miskin sebesar 37,17 juta (16,58%). Jumlah pengangguran lulusan
perguruan tinggi tahun 2008 mencapai 740.206 orang (pakarbisnisonline.com). Kondisi di atas jika dibiarkan
berlarut-larut akan memiliki dampak negatif yang semakin luas. Selain itu Indonesia sebagai negara berkembang
yang kaya akan sumber daya alam lebih memilih untuk melakukan ekspor bahan mentah daripada mengolahnya
menjadi barang jadi atau setengah jadi karena terbatasnya teknologi yang ada serta adanya stagnasi inovasi
dalam berkarya akibat kurangnya dukungan pengetahuan dan ilmu yang dimiliki para sarjana yang bisa
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Padahal pengolahan menjadi barang jadi membutuhkan lebih
banyak pekerja sehingga penyerapan tenaga kerja dapat diharapkan mengurangi angka pengangguran.
Pemerintah yang diharapkan menjadi contoh yang baik bagi rakyat yang dipimpinnya pun, justru
mengekspos data yang tidak valid mengenai jumlah pengangguran di Surabaya. Meskipun ini tidak terjadi di
seluruh wilayah Indonesia, namun hal ini menunjukkan buruknya transparansi dan kegagalan pemerintah
khususnya Surabaya dalam pengimplementasian kebijakannya terkait masalah pengangguran. Menurut Fakhtur
Rohaman yang merupakan anggota DPRD Surabaya, data pengangguran sampai tahun 2009 kemarin masih
menggunakan data tahun 2005, selain itu adanya penurunan jumlah pengangguran pada laporan tahunan bukan
di dapat dari pengentasan orang yang menganggur, tapi dengan mengurangkan angka pengangguran pada tahun
sebelumnya, dengan sejumlah orang yang ikut pelatihan keterampilan di tahun tersebut (vivanews.com). Padahal
dalam penerapan otonomi daerah seperti saat ini, tanggung jawab mengenai masalah pendidikan dan
pengangguran tidak hanya ditangani pusat tapi sebagian langkah tersebut melibatkan peran serta pemerintah
daerah untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi pembangunan nasional.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang kemudian muncul dari pemaparan di atas adalah bagaimana efektivitas
pengimplementasian kebijakan publik dalam mengatasi masalah pengangguran pemuda intelektual di Indonesia
saat ini?

1.3 Tinjauan Pustaka


Untuk menjawab problematika di atas, Penulis menggunakan teknik analisa stakeholder yang melakukan
pengidentifikasian dan penilaian terhadap individu, kelompok maupun institusi yang berhubungan dengan
pembuatan dan pengimplementasian kebijakan publik terkait masalah pengangguran pemuda intelektual. Ada
beberapa variabel yang tercakup di dalamnya yaitupower baik dalam bidang finansial, kendali atas manusia,
maupun politik secara legal; kepentingan; dan pengaruh agar pihak lain bersedia melaksanakan apa yang
diperintahkan. Dalam permasalahan pengangguran di Indonesia ini, menurut Penulis perlu adanya perbaikan
secara menyeluruh mulai dari tataran individu maupun institusi baik di bidang pendidikan maupun
ketenagakerjaan, agar para lulusan dari perguruan tinggi siap menghadapi tantangan hidup saat benar-benar
terjun ke masyarakat dan lingkungan kerja.
Hal ini tentu butuh dukungan dana pendidikan dan fasilitas yang memadai dari perguruan tinggi
tempat pendidikan berlangsung, dimana pelatihan keterampilan dan riset dilakukan. Untuk itulah alokasi biaya
pendidikan perlu ditambah, kalaupun tidak bisa ditambah paling tidak dioptimalkan. Selain itu perlu adanya
pengaruh sinergi yang baik dari pemerintah, rakyat, dan pengusaha untuk menjalin ikatan kerjasama dalam
mencetak lulusan yang kreatif dan mandiri, sehingga kompetensi yang diharapkan bila nanti menjadi pekerja
tidak mengecewakan. Para lulusan bisa bekerja sesuai dengan jurusan yang diambilnya saat kuliah, lulusan
tersebut juga bisa langsung disalurkan ke perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan institusi
pemerintah ataupun pendidikan, jenjang karir sarjana tersebut juga diharapkan bisa memenuhi kualifikasi
persyaratan kerja sehingga karirnya menjadi bagus dan gajinya tinggi. Bila tidak diterima kerja atau suatu saat di
PHK maka pemuda terswebut dapat berwirausaha sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga
kepentingan vital dalam hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan dapat terpenuhi dengan baik yang
sekaligus meningkatkan standar hidup serta perekonomian Indonesia
Komunikasi antar instansi yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan juga harus terjalin dengan baik agar
kebijakan yang satu dengan yang lain bisa saling mendukung. Akuntabilitas dan transparansi dari pemerintah
dalam kinerjanya seharusnya lebih dimaksimalkan bila ingin masalah pengangguran ini segera berkurang,
bukannya malah menggunakan data palsu untuk mengklaim keberhasilannya. Pemerintah juga perlu mengawasi
pemenuhan hak-hak pekerja oleh para pengusaha, apalagi di era globalisasi saat ini,
sistemoutsourcing diberlakukan sehingga pengusaha bisa seenaknya memecat pekerjanya dengan dalih efisiensi
dan menghindari tanggung jawab sosial seperti jaminan keamanan dan kesehatan para pekerjanya.

BAB II
PEMBAHASAN

Kesejahteraan rakyat Indonesia saat ini rupanya masih jauh dari harapan karena banyak kebijakan
pemerintah yang masih sebatas imbauan. Apalagi dalam persoalan tenaga kerja yang sudah cukup kompleks
seperti banyaknya kasus PHK dan pengangguran ditambah lagi pelegalan programoutsourcing. Agar kebijakan
pemerintah tidak sebatas himbauan seharusnya setiap bidang dioptimalkan dengan efektif dan efisien, selain itu
perlu adanya idealisme di tingkat pusat dan daerah bukan hanya sekedar populisme kebijakan di mana setiap
hasil keputusan yang diambil pemerintah mendapat sambutan hangat dari masyarakat, tapi tidak merubah
apapun.
Rekomendasi alternatif untuk mengatasi hal ini adalah perlunya koordinasi yang baik dari pihak DPRD,
LSM, maupun perguruan tinggi, yakni dengan memelopori pendirian kelompok-kelompok kecil yang berwacana
tapi untuk pengembangan realitas. Dengan begitu, kalau wacana itu sudah ada dan membentuk idealisme di
tingkat lokal, kemudian dilanjutkan hingga di tingkat pusat, karakternya masih utuh. Selain itu perlu skala
prioritas yang harus dilakukan pemerintah yakni dengan mengendalikan sistem moneter dan menciptakan
situasi di tingkat riil, dimana moneter bersifat makro sehingga siapapun akan mendapat manfaat dari kebijakan
itu, terutama bagi mereka yang memiliki daya beli yang baik (www.hangtuah.ac.id). Sementara untuk sektor rill,
yang ”digembor-gemborkan” adalah agar masyarakat bisa hidup lebih layak, supaya bisa kerja. Namun
kenyataannya di dunia kerja masih saja ada diskriminasi kesempatan kerja atas pekerjaan yang ditawarkan.
Seringkali nepotisme berlaku, dengan menitipkan orang yang dikenal atau keluarga dari pemilik perusahaan atau
pegawai yang sudah berada dalam perusahaan tersebut.
Di saat sudah memiliki pekerjaan, pekerja adakalanya juga tidak mendapat gaji yang sama padahal
sudah ada pemberlakuan upah minimum regional. Pemberlakuan UMR ini lebih kepada pengalihan peningkatan
kesejahteraan dan memberikan akses pada daerah, yang ujung-ujungnya adalah menurunkan masalah dari
tingkat nasional ke daerah. Ironisnya, perlakuan pada para karyawan juga sering tidak sama. Hal ini bagi negara
bukanlah persoalan negara lagi tapi antara pegawai dan perusahaannya, sementara masyarakat menganggap
persoalan ini adalah persoalan undang-undang atau pemerintah sehingga demonstrasi seringkali menjadi
reaksinya. Namun karena yang didemo adalah undang-undang pemerintahannya, akhirnya politiklah yang
bermain. Seharusnya masyarakat bisa juga memberikan solusi alternatif untuk disampaikan pada pemerintah.
Selain itu pemerintah juga harus peduli karena dalam pasal 27 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan penghidupan yang layak. Bila hanya memprotes, Penulis rasa itu tidak akan meyelesaikan masalah,
dan justru membuat masalah baru seperti PHK oleh perusahaan karena demo yang dilakukan. Supaya tidak
terjadi PHK besar-besaran, pemerintah akhirnya menyubsidi supaya tidak terjadi PHK. Benar atau tidaknya
subsidi tersebut menyelamatkan pegawai dari PHK, perlu diteliti ulang apakah ada kepentingan terselubung atau
tidak (Natsir, 2010).
Sebaiknya dana subsidi tersebut diberikan pada sentra kewirausahaan yang dapat di kelola sendiri oleh
kelompok masyarakat. Idealismenya adalah menciptakan pekerja yang mandiri. Pemerintah juga harus
memberikan penekanan pada perusahaan agar mampu menciptakan pegawai yang mandiri. Jika itu yang terjadi,
seorang buruh yang sudah berusia tua maupun yang di PHK, ketika keluar dari perusahaan mereka bisa
berwirausaha sendiri karena memiliki skill. Namun hal ini yang tidak dilakukan pemerintah. Bahkan, jika terjadi
krisis yang akhirnya menyebabkan PHK besar-besaran justru yang disubsidi adalah perusahaannya bukan
masyarakat mandirinya. Bukan perusahaan yang terkooptasi. Ironisnya, program kemandirian seperti ini tidak
ditopang dalam undang-undang. Karena dalam UU selama ini tidak pernah ditemukan bahwa semua perusahaan
wajib hukumnya mengedukasi karyawannya untuk bisa mandiri setelah pensiun. Itu tidak ada, kalau ada selama
ini berarti pemerintah hanya omong kosong. Apalagi pembayaran gaji dan dan tunjangan karyawan selama ini
oleh perusahaan hanya dianggap sebagai cost yang diperhitungkan bukan sebagai investasi bagi karyawannya.
Padahal karyawan yang diberi keterampilan dan teknologi yang canggih bisa memaksimalkan jalannya suatu
produksi dengan jumlah massal tapi dengan waktu yang lebih efisien, hal ini secara tidak langsung sebenarnya
menguntungkan perusahaan juga baik dari segi kuantitas maupun kualitas manajemen perusahaan.
Untuk menyejahterakan masyarakat, pemerintah seharusnya mengurangi nafsu politiknya dalam artian
memperbagus image dengan menggunakan data palsu atau menggunakan kebijakan populis agar terpilih lagi
dalam periode berikutnya. Padahal yang dibutuhkan rakyat adalah mekanisme keadilan bagi semua masyarakat
tanpa ada diskriminasi karena Undang-undang yang ada seperti UU No 13/2003 tidak benar-benar menjamin
perlindungan pada buruh, karena itu hanya sebatas anjuran yang tidak mengikat. Pemerintah harus mampu juga
mengintegralkan beberapa bidang dengan menyinergikan menteri ketenagakerjaaan, menteri pendidikan dan
menteri perekonomian. Di satu sisi menteri pendidikan harus mampu memberikan lulusan sesuai kebutuhan
pasar, di sisi ketenagakerjaan harus mampu menampung hasil lulusan pendidikan bila tidak tertampung maka di
bidang ekonomi harus memberikan sosialisasi tentang kewirausahaan dan pendirian UKM serta koperasi yang
mampu menyerap tenaga kerja. Selama ini dinas-dinas yang dibawahi ketiga kementrian tersebut cenderung
tidak produktif dan hanya berkutat dalam persoalan-persoalan yang sifatnya administratif bahkan tidak memiliki
kompetensi yang jelas dalam mengembangkan vokasional bidang mereka (Natsir, 2010).
Bila sistem pemerintahan sudah Penulis kritisi, maka dari segi sistem pendidikan yang merupakan basis
pemampuan mahasiswa sebelum bekerja perlu diperbaiki juga karena selama ini diyakini mampu menghasilkan
kompetensi sumber daya manusia yang berdaya saing. Menurut Penulis, tanpa disadari sistem pendidikan
perguruan tinggi di Indonesia sampai saat ini masih terjebak dalam perspektif fungsionalis saja dimana
pendidikan sebagai komponen utama pembangunan sumber daya manusia berfungsi sebagai wacana
transformasi norma dan nilai masyarakat untuk melestarikan dan memperkuat homogenitas masyarakat melalui
konformitas sikap dan keterampilan dengan serangkaian aturan yang dituntut masyarakat (www.hangtuah.acid).
Dengan kata lain, basis sistem pendidikan perguruan tinggi kita masih terkonstruksi pada logika pemenuhan
produksi.
Seharusnya, sistem pendidikan perguruan tinggi harus mendasarkan dirinya pada human centered
development model (Natsir, 2010). Sistem ini lebih dari sekedar membentuk intelektual profesional dan
kontributif terhadap pembangunan melainkan menuntut pembangkitan kesadaran kritis manusia untuk
melakukan transformasi sosial. Oleh sebab itu diperlukan pemampuan (empowerment) segala potensi manusia
dalam membaca dan menganalisa segenap kontradiksi di masyarakat kemudian menemukan solusi alternatif
untuk mengatasinya. Sehingga sistem pendidikan yang ada dapat ditujukan untuk merehumanisasi manusia dari
proses dehumanisasi, dimana mahasiswa dituntut untuk memiliki nalar kritis dalam menginterpretasikan
absurditas realitas sosial sehingga mampu memosisikan dirinya benar-benar sebagai agen pembaharu bukan
sekedar pion penguat sistem yang telah terbangun.
Kondisi perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari cita-cita human centered development.
Budaya riset masih rendah, kalaupun ada sebagian besar belum memiliki nilai guna yang signifikan terhadap
masyarakat. Sebagai bukti, Tatang H. Soerawidjaja menyatakan, setiap tahunnya ITB menghasilkan sekitar 500-
an penelitian, namun dari jumlah itu yang bisa diaplikasikan di masyarakat dan dunia industri hanya belasan
(Wijaksono, 2008). Berbeda dengan perguruan tinggi di luar negeri, semisal Jepang dimana semangat riset telah
mendorong entrepreneurship dan kreativitas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk terlibat dalam
pembangunan industri nasional. Oleh sebab itu, logis jika tranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi di
Indonesia berjalan sangat lambat, bahkan mulai tertinggal dalam skala regional. Menurut Brian Yuliarto, pada
tahun 2004 misalnya, hanya 522 kertas kerja ilmiah karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal
internasional. Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada Filipina dan Brunei Darussalam, yang
jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia (Wijaksono, 2008). Pada tataran ini,
perguruan tinggi di Indonesia sebagai pusat pendidikan vokasional akhirnya menjadi fabrikasi dan mekanisasi
tenaga kerja tidak produktif, tanpasense of inovatif, serta kehilangan nalar kritis dan
jiwa entrepreneurshipsehingga terjebak untuk taat dalam iklim akademis non kritis transformatif.
Solusi permasalahannya adalah kegagalan sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia
menuju human centered developmentmengindikasikan belum adanya pembangunan keberlanjutan dalam
pemberdayaan kaum muda intelektual sebagai sumber daya manusia kolektif. Oleh sebab itu diperlukan adanya
kemitraan strategis antara pemerintah dan perguruan tinggi. Dalam era otonomi daerah, kemitraan ini dapat
termanifestasikan melalui kerja sama dalam berbagai aspek (terutama riset) antara perguruan tinggi dengan
dinas pemerintah dan instansi terkait baik negeri maupun swasta di daerah yang bersangkutan. Perguruan tinggi
unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis, pemerintah berperan dalam kebijakan
publik, sedangkan swasta berperan dalam pemasaran produk dan dukungan finansial.
Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah pertama, perguruan tinggi harus mengembangkan sistem
kurikulum yang mampu menumbuhkan minat civitas akademika untuk meningkatkan kompetensi kritis mereka.
Kondisi ini diperlukan untuk menciptakan intelektual yang potensial dan kompetitif. Kedua, pihak swasta
seharusnya lebih berpartisipasi aktif dalam membangun kemitraan mereka dengan perguruan tinggi dan
pemerintah. Artinya ikut mengembangkan potensi yang dimiliki daerah sehingga mampu menghasilkan produk-
produk yang berdaya guna dan bernilai jual di masyarakat dengan nilai mutu yang unggul. Jika kemitraan ini
dilakukan secara terpadu dan kontinyu, maka beberapa manfaat yang dapat diraih adalah perguruan tinggi akan
mampu menciptakan manusia-manusia produktif, kreatif, dan berjiwa entrepreneurship sehingga pengangguran
lulusan perguruan tinggi dapat ditekan seminimal mungkin. Para lulusan yang berkompetenpun dapat menjadi
staf ahli bagi pemerintah maupun instansi swasta untuk mengembangkan keilmuannya. Profesionalisme dinas-
dinas pun dapat ditingkatkan sehingga mampu menjalankan fungsi idealnya dalam memberdayakan masyarakat.
Satu hal yang juga penting adalah keefektivan pelaksanaan kebijakan publik dengan diiringi perbaikan
dalam pemerintahan maupun hubungan rakyat terutama mahasiswa dengan pengusaha akan menghapus stigma
negatif dan pemikiran pragmatis yang berkembang dalam masyarakat bahwa sekolah yang tinggi itu tidak
menjamin memperoleh pekerjaan. Peningkatan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya
pun menjadi bisa dikurangi. Indonesia sebagai negara berkembang yang dituntut mampu berkompetisi dengan
berbagai negara dalam era globalisasi akhirnya bisa menjadikan pembangunan sumber daya manusia sebagai
komplementator utama bagi pembangunan ekonomi dan politik yang menempati posisi sentral dalam
pembangunan nasional. Masyarakat sebaiknya juga ikut berpartisipasi aktif sehingga mampu mentransfer
pengetahuan secara langsung dan benar. Misalnya lahan produksi rakyat digunakan sebagai sentra uji riset dari
labotarorium. Bahkan alangkah baiknya bila masyarakat juga memiliki minat melakukan riset sendiri, seperti di
Thailand yang merupakan sentra penghasil produk-produk pertanian unggul. Masyarakat di sana mulai mampu
menjadikan pertanian sebagai home industri, tidak hanya melakukan penanaman saja tapi juga pengolahan.

BAB III
PENUTUP

Pengangguran terjadi disebabkan oleh jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari
kerja, kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar, dan kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para
pencari kerja. Padahal setiap pengangguran diupayakan memiliki pekerjaan yang layak sesuai dengan pasal 27
dengan partisipasi menyeluruh baik dari pemerintah, rakyat, maupun pengusaha karena kebijakan yang efektif
tidak hanya berasal dari atas ke bawah tapi juga butuh timbal balik atau inisiatif dari bawah ke atas. Apalagi dari
kalangan pemuda intelektual semestinya memiliki tingkat pengetahuan yang luas dan pola pikir yang kritis
dalam menyoroti setiap permasalahan yang ada untuk menjawab tantangan jaman di era globalisasi yang sarat
dengan kompetisi. Efektivitas pengimplementasian kebijakan publik akan berjalan baik dalam menanggulangi
masalah pengangguran bila diperhitungkan sebagai unsur utama dalam pembuatan strategi pembangunan
nasional, karena berjalan linier dengan pengentasan kemiskinan dan kenaikan standar hidup masyarakat yang
lebih baik. Hal ini tentu saja membutuhkan komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan alternatif kebijakan yang penulis simpulkan menjadi dua yaitu kebijakan makro
ekonomi yaitu moneter dan sektor riil. Dimana pada setiap keputusan rapat kabinet harus difokuskan pada
penanggulangan pengangguran dan peningkatan akuntabilitas serta transparansi kinerja baik dalam laporan
tahunan maupun dalam mengawasi pemenuhan hak pekerja oleh perusahaan. Jadi setiap lembaga pemerintah
yang terkait seperti ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan harus memiliki komitmen bersama dan
komunikasi yang baik dalam membuat kebijakan agar bisa saling mendukung. Selain itu, ada juga kebijakan
mikro yang meliputi pengembangan mindset dan wawasan pengangguran, berangkat dari kesadaran bahwa
setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan malas
mengembangkannya. Kedua, perlunya penyempurnaan kurikulum dan peningkatan fasilitas riset di perguruan
tinggi serta kerjasama kemitraan dengan perusahaan untuk menampung mahasiswa sesuai kemampuan dan
jurusan yang dipilihnya. Ketiga, masyarakat juga diharapkan menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya bukan
hanya untuk memperoleh pekerjaan tapi juga untuk memperluas pengetahuan dan bisa menciptakan lapangan
kerja sendiri. Keempat, meskipun negara berkembang diharapkan dengan peningkatan edukasi dan teknologi
dalam sistem pendidikan, Indonesia mampu mengandalkan SDM nya untuk mengekspor barang jadi sehingga
tidak hanya mengeksploitasi sumber daya mentah saja yang jumlahnya terbatas dan tidak bisa diperbarui.
Sehingga untuk ke depannya, Indonesia memiliki peluang untuk menyusul Cina dan India dalam lingkup Asia
yang telah lebih dulu bangkit perekonomiannya.

Referensi
Anonim. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran Melalui Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat. Diakses melalui pakarbisnisonline.com pada 1 Juli 2010
Anonim. Laboratorium Kewirausahaan Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Hang Tuah diakses dari www.hangtuah.ac.id pada 1 Juli 2010
Anonim. Pengangguran Terbuka diakses melalui statisticsindonesia.com pada 1 Juli 2010
Natsir, Mohammad. 2010. Angka Pengangguran capai 174 Jiwa. Diakses melalui dutamasyarakat.com pada 1
Juli 2010
Natsir, Mohammad. 2010. Cetak Sarjana sesuai Kebutuhan Pasar. Diakses melalui dutamasyarakat.com pada 1
Juli 2010
Utomo, Tri Widodo W. 2009. Analisis Kebijakan Publik diakses melaluivivanews.com pada 1 Juli 2010
Widjaja. Ismoko. 2010. DPRD: Data Pengangguran Surabaya Tidak Validdiakses melalui vivanews.com pada 1
Juli 2010
Wijaksono, Arif.2008. Sarjana, Dilema Pengangguran Intelektual diakses melalui dutamasyarakat.com pada 1
Juli 2010

You might also like