Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama
dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung
dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM JanuariAgustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.1
Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama
sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan
sinus ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan
bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus
terutama berisi udara.2
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.
Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan
merupakan subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan,
diagnosis maupun tindakan selanjutnya. 3 Berbeda dengan sinusitis akut, sinusitis
kronis biasanya sukar disembuhkan dan hasil pengobatan sering mengecewakan,
baik untuk dokter dan terutama untuk penderita. Penderita biasanya mempunyai
keluhan hidung tersumbat, sakit kepala, cairan mengalir dibelakang hidung,
hidung berbau dan penciuman berkurang.6 Berbagai etiologi dan faktor
predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit ini, seperti deviasi septum, polip
1
kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta alergi.6 Menurut Lucas seperti
yang dikutip Moh. Zaman , etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25%
disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan
ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahanperubahan pada mukosa sinus.3
Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis
maksila kronis, yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini
akan menimbulkan penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini
sebagai medium infeksi yang akhirnya menyebabkan sinusitis kronis. 2 Penyakit
alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing
yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun. 3 Gangguan alergi pada
hidung ternyata lebih sering dari perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu
menyerang sekitar 10 % dari populasi umum.4
Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 10 %
panduduk diberbagai kota di dunia. Insiden rinitis di Bandung 1,5 % , di Sub
Bagian Alergi-Imunologi Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah
1,14 % dan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 1993-1994 sebesar 16,44%.5
Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata
gatal, ingus encer lebih dari satu jam dan hidung tersumbat, maka dinyatakan
positif. Hampir 50 % diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya sinusitis
maksila kronis, maka perlu dilakukan tes kulit epidermal berupa tes kulit cukit
(Prick tes, tes tusuk). 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epitel
permukaan
tampak
mengalami
deskuamasi,
regenerasi, metaplasi, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada
suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan
granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara
menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam
lapisan submukosa.10
Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronis cukup beragam.
Pada era pre-antibiotik, sinusitis hiperplastik kronis timbul akibat sinusitis
dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi
dan tahap efektor.20
Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung
sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama
inhalasi udara napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung
tersebut kemudian diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai
fagosit dan sel penyaji antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari
atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari
komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil
atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho
bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel
penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara reseftor sel T
(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta
molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu
terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus
sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.20
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji
antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel
B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang
diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan
dengan reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil
dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang
kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa
dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam
keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang dapat
belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika
dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.
10
Fase elisitasi
11
1.
Tahap aktifasi
Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang
dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa
hidung dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan
pada permukaan sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (crosslinking) (Suprihati, 2006). Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel
mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine
triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C
untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol
triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositol
triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum
endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung mengaktifkan beberapa enzim
seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-calmodulin yang mengaktifkan enzim
myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama dengan
membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi
ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed
mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet
activating factors (PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi mediator
kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator seperti histamin, tryptase dan
bradikinin.20
Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast
karena histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung
( bersin, rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek
langsung pada endotel yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang
menyebabkan proses transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin
pada reseptor saraf nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V
menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin.
Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek
meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang serous.
Selain itu histamine juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka.
12
Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau
reaksi fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan
dimetabolisme oleh histamine N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel
maupun pada endotel.20
2.
Tahap efektor
sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam).
Pada mukosa hidung penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan
patofisiologis RA karena mengandung berbagai mediator kimia seperti mayor
basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein (ECP), eosinophiel derived
neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang mempunyai efek
menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf
mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.20
Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis
alergi
Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada
rhinitis alergi ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu
hidung. Gejala-gejala tersebut diakibatkan kinerja histamine dan berbagai
mediator lain.15
1. Bersin-bersin (sneezing)
Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya
merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan
alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan
hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor
H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang
dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin.15
2. Gatal-gatal (pruritus)
Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui
dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus C tak
bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal, epidermis,atau mukosa, yang Dapat
menimbulkan rasa gatal khusus, yang disalurkan secara lambat sepanjang neuron
sensoris yang kecil didalam nervus spinalis ke thalamus dan korteks sensoris.
Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rhinitis alergi secara
khas menimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada saat histamin berikatan
dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi
langsung pasca provokasi histamine. Mungkin juga prostatglandin berperan
namun hanya kecil saja disalurkan secara lamba.15
14
3. Beringus (rhinorrhea)
Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membrane mukosa
hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan allergen dan
berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala dominan
sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar tersebut
merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan
plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh
darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang
diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi
langsung pada reseptor H1. Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus
dapat terjadi pada hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks
nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh
atrophin pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat
kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa
hidung ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.
Pacuan hidung dengan leukotriene dan bradikinin juga menyebabkan beringus
melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar.
Mediator lain yang juga berperan pada proses
beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP).15
4. Buntu hidung (nasal congestion)
Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang
tidak menetap, tetapi terjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat
vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang
berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga
terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung
juga menambah sumbatan hidung.
Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan
akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung
lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2,
LTC4, LTD4, PAF. Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung
singkat saja,tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL,
15
peran histamine terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran
leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat
dibanding histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan
tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa beringus.
PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung.
Demikian juga neuropeptida substance P dan calcitonin-gene related dapat
menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung
(Sumarman,2001).
Peran sitokin pada rinitis alergi
Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah ditemukan
oleh Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung
memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda. Berdasarkan jenis produk
sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi sel Th1 dan sel Th2.
Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi oleh jenis
antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat,
lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T
serta faktor genetik. Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebut
sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN- dan IL-2.
Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan
IL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN- dianggap sebagai prototipe
sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan protipe sitokin Th2.
Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami
polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin
yang disebut pula sebagai sitokin tipe 2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL9, IL-10, IL-13 dan GM CF yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik
yaitu menginduksi sellimfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel
dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain
yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:IFN- dan IL-2.
Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang diproduksi
oleh sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien,
dapat dideteksi dalam w aktu 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam.
16
Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalah mengarahkan sel B untuk
memproduksi IgE dan IgG4. Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk
terjadinya penyakit atopi.
Sitokin IFN- selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel
NK dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa
sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T,
sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN- sendiri. Dalam respon primernya
terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruh
lingkungan mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN- dan IL-12 terlibat
dalam menentukan diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.
Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monositmakrofag yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang
merupakan sumber utamanya adalah sel-sel dendrit yang memproses dan
menyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T. Sel dendrit merupakan sel
penyaji antigen kunci yang mengaktifkan sel T naive dan dapat dikatakan sel
dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelah
dendrit mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat yang
lain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan endositosisnya,
sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat dengan mengubah
ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi sitokin
imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan oleh tool like
receptor (TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal
bahaya ini cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk
memproduksi sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain.
Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan yang
terdapat selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan
produksi IL-12 adalah IFN- dan TNF-, sedangkan yang menghambat
produksinya adalah IL-4, IL-13, TGF-B dan IL-10. Di antara mediator-mediator
tersebut IFN- merupakan stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara
itu diketahui IL-12 mempunyai efek memicu produksi IFN-, meskipun secara
17
invitro untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-. Produksi
IL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu secara langsung oleh
lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme patogen. Dengan
demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas
seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk
diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN-
oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam
makrofag dan monosit oleh IFN- sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu
jalur feedback positif. Gangguan kerja sitokin IL-12 mengakibatkan tidak ada
respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat
ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4 dan IL-10 yang merupakan produksi sel
Th2.
Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara
sitokin Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13
akan menekan produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat
stimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama dengan kedua sitokin tersebut (IL4 dan IL-13) akan memicu produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang
penting pada penyakit alergi, yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga mempunyai
efek menekan produksi IL-12.
Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas
karena perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan
timbal balik antara imunitas humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya
penyakit alergi sebagai akibat produksi berlebihan oleh sel Th2. Sementara itu
diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN- ) dapat menghambat produksi sitokin Th2
(IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi sitokin Th1
(IFN-). Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi
penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin yang relatif
tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan tetapi
sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya
dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian
sel memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL18
asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing kedalam tubuh,
terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.Bila Ag masih ada atau ada
defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier.
Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh .20
20
Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap
normal. Ini berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal pasien itu
sendiri. Pada komplek osteomeatal yang terganggu yang menyebabkan terjadi
gangguan drainase serta ventilasi yang dapat mempengaruhi kandungan oksigen,
peningkatan p C02 dan gangguan PH serta pembengkakan mukosa hidung dan
Alergi : reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan cavitas sinus yang
22
timbulnya
infeksi,
selanjutnya
menghancurkan
epitel
sinusitis kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun
fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung
oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan
rutin tidak memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati
untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi
yang makin menurun, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus
viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis,
Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi
campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.9
c. Struktur dan anatomi hidung
Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar
secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih
mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti.
Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah
kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi
mukosiliar.22
d. Iklim
Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak langsung
berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga,
disamping memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam
jamur.
e. Hormonal
Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya kalau
sedang hamil karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid.
f. Penggunaan nasal dekongestan yang berlebihan
Obat dekongestan topikal juga terlihat dapat menghambat fungsi silia.
24
26
Penebalan mukosa,
2.
27
CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang
paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang
relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian,
harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang
berbahaya bagi mata.
Sinoscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi
akurat tentang perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus,
dan letak dan keadaan dari ostium sinus.
Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu
keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.
Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring
biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung
bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih
sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan menagspirasi pus
dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik yang sesuai untuk
membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.
28
Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri.
Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar
jenis bakterinya penyebab sinusitisnya. Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus
maksila mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18
kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp 8 kasus (20%), Streptokokus piogenes dan
Klebsiela pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%) dari 40 sampel penelitian
pada tahun 2007. Pada penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada
satu sediaan.
Legent F dkk (Prancis, 1994) menemukan kuman penyebab sinusitis
maksila kronis yang terbanyak adalah. Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus
influensa, Streptokokus
untuk kasus kasus alergi yang merupakan penyakit dasar rhinosinusitis pada
beberapa pasien.18
Talbot dkk membandingkan penggunaan larutan buffer garam hipertonik
(3 %, pH 7,6) dengan larutan garam fisiologis. Larutan garam hipertonik baik
digunakan pada sinusitis kronis atau pasca operasi karena dapat mengurangi
edema melalui difusi osmolaritas (Talbot, 1997) Selain terapi medikamentosa
yang dijelaskan diatas, rinosinusitis rekuren atau kronis memerlukan tindakan
bedah. Pada saat ini tindakan bedah yang palling direkomendasi adalah bedah
sinus endoskopi fungsional (BSEF) atau sering disebut dengan Fungsional
endoskopi sinus surgery (FESS).17
-
Antihistamin
kelenjar
pada
mukosa
hidung. Akhir-akhir
ini
antihistamin
30
mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang
antihistamin golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan
murah. Beberapa contoh antihistamin generasi lama yang sampai kini masih
popular adalah : klorfeniramin, difenhidramin dan triprolidin.16
Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan
antihistamin lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru
bersifat non-sedatif, sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat
aman dan tidak terhambat dalam melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain
antihistamin baru adalah mempunyai masa kerja yang panjang sehingga
penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali sehari.
Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin, terfenadin.
Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan
jantung pada pemakaian jangka panjang (astemizol, terfenadin), sehingga
dibeberapa negara obat obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin
yang unggul adalah yang bekerja cepat dengan waktu kerja yang panjang,
yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik terhadap jantung.16
Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat dalam
mencegah dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk
meningkatkan keamanan obat. Akhir akhir ini beberapa antihistamin
generasi baru dilaporkan mempunyai aktivitas mencegah lepasnya mediator
inflamasi dari basofil dan mastosit. Aktifitas ini berbeda ragamnya antara satu
obat dengan yang lainnya. Beberapa antihistamin dapat mencegah terlepasnya
mediator lain seperti platelet activating factor (PAF), prostaglandin serta
mencegah migrasi eosinofil, basofil dan netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten
(RAP) buntu hidung merupakan gejala yang paling menonjol terutama karena
banyaknya infiltrasi sel radang pada mukosa rongga hidung sehingga
antihistamin generasi baru inilah yang dapat memenuhi kebutuhan
pengobatan. Antihistamin baru yang dipasarkan akhir-akhir ini adalah
feksofenadin sebagai turunan terfenadin, desloratadin sebagai turunan
loratadin dan levosetirizin sebagai stereoisomer setirizin. Desloratadin adalah
antihistamin baru yang merupakan antagonis reseptor H1 yang efektif baik
31
32
Pembedahan
Radikal
a. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
33
Non Radikal
a. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
2.9 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun nyata sejak diberikannya antibiotik.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
1. Kelainan pada orbita
Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang
berdekatan dengan mata.
Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
a) Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi
pada tulang barier terutama lamina papirasea.
b) Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang
berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita
yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi
ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di
dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
34
Oftalmoplegia.
ii.
Kemosis konjungtiva.
iii.
iv.
Kelemahan pasien.
v.
berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga
dengan otak.
2. Kelainan intrakranial
a.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna
kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul
lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus
yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
35
36
3.
tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat
sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil.
Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila
terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita
dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri
tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan
hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh. Pada stadium lanjut,
radiogram memperlihatkan gambaran seperti digerogoti rayap pada batas
batas sinus, menunjukkan infeksi telah meluas melampaui sinus. Destruksi
tulang dan pembengkakan jaringan lunak, demikian pula cairan atau mukosa
sinus yang membengkak paling baik dilihat dengan CT scan. Sebelum
penggunaan antibiotik, penyebaran infeksi ke kalvaria akan mengangkat
perikranium dan menimbulkan gambaran klasik tumor Pott yang bengkak.
Pengobatan komplikasi ini termasuk antibiotik dosis tinggi yang diberikan
intravena, diikuti insisi segera abses periosteal dan trepanasi sinus frontalis
guna memungkinkan drainase. Suatu tabung drainase atau kateter dijahitkan
ke dalam sinus hingga infeksi akut mereda sepenuhnya dan duktus
frontonasalis berfungsi dengan baik. Jika duktus frontonasalis tidak lagi dapat
diperbaiki, perlu dilakukan prosedur lanjutan untuk menciptakan suatu duktus
frontonasalis baru. Pada osteomilitis kalvarium yang menyebar, diharuskan
suatu debridement yang luas dan terapi antibiotik masif. Untunglah,
komplikasi ini jarang terjadi.
4. Kelainan pada paru
Bronkitis kronik
Bronkhiektasis
5. Mukokel dan piokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul
dalam sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering
disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
37
Pencegahan
Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau
kronis. Tetapi di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:
Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering
diirigasi.
Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.
Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau
aroma bahan kimia yang keras.10
BAB III
38
PENUTUP
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing masing sisi
hidung. Seperti sinus maksilaris, sinus etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus
spenoidalis. Sinus paranasalis ini mempunyai fungsi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
anatomi dari sinus, kebiasaan atau gaya hidup, inherited atau acquired, dan
lingkungan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan
diagnosis dari sinusitis adalah transiluminasi, rontgen sinus paranasalis, CT scan,
sinoscopy, dan pemeriksaan mikrobiologi.
Pada penderita sinusitis
DAFTAR PUSTAKA
1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposium
sinusitis,Jakarta 1999, 1 6.
39
49 270
Dina,2010.
Alergi
sebagai
faktor
sinusitis
40
41
42