Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kehamilan dan memiliki keturunan adalah suatu hal yang didamba-dambakan
para ibu, tetapi tidak semua kehamilan berjalan sesuai harapan kelahiran normal dan
berakhir dengan keguguran atau abortus. Hal ini tidak hanya akan berakibat pada
kematian janin, tetapi akan sangat berdampak pada ibu, baik fisik maupun psikis dan
terkadang dapat mengakibatkan kematian ibu.
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2010,
angka kematian ibu (AKI) di Indonesia mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2007. AKI di provinsi Sumatera Selatan menyumbangkan 2,4% dari keseluruhan
11.534
kasus AKI di Indonesia pada tahun 2010, dengan estimasi jumlah AKI di
Sumatera Selatan saat itu adalah 277. SDKI tahun 2010 menyatakan bahwa abortus
adalah penyebab dari 5% AKI di Indonesia. Perkiraan jumlah AKI akibat abortus pada
tahun 2010 adalah sekitar 577 kasus (Profil Kesehatan Indonesia, 2012).
Menurut Instalasi Gawat Darurat bagian kebidanan RSUP. Cipto Mangunkusumo
yang merupakan rumah sakit rujukan nasional, ada lima besar penyebab kematian ibu,
yaitu perdarahan, eklampsia, sepsis, infeksi, dan gagal paru. Hal ini menyebabkan kita
harus memperhatikan angka kejadian dan penyebab abortus, karena komplikasi dari
abortus berupa perdarahan dan sepsis dapat menyebabkan kematian.
Abortus adalah pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan, dengan berat badan janin <500 gram atau kehamilan kurang dari
20 minggu. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan. Abortus
buatan adalah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu akibat tindakan. Abortus yang
dilakukan atas indikasi medik disebut dengan abortus terapeutik (Prawihardjo, 2010).
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor
mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
Abortus spontan terjadi 15 20 % dari semua kehamilan. Angka ini bisa mencapai 50%
karena banyaknya kasus early pregnancy loss yang tidak diketahui pasien (Joseph dan
Nugroho, 2010; Prawirohardjo, 2010).
Abortus inkompletus adalah keluarnya sebagian, tetapi tidak seluruh hasil konsepsi,
sebelum kehamilan lengkap 20 minggu dan sebelum berat janin 500 gram. Pasien dapat
jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa konsepsi jaringan
dikeluarkan (SPMPOGI, 2006; Prawihardjo, 2010).
Faktor penyebab abortus spontan adalah kelainan pertumbuhan hasil konsepsi,
kelainan pada plasenta, penyakit ibu, dan kelainan traktus genetalis. Faktor lain penyebab
terjadinya abortus spontan antara lain paritas, usia ibu, penyakit infeksi, penyakit kronis,
kelainan endokrin, malnutrisi, anemia, umur kehamilan, pemakaian obat, dan faktor
lingkungan lain antara lain: alkohol, tembakau, kafein, dan radiasi (Sukriani dan
Sulistyaningsih, 2010).
Resiko terjadinya abortus spontan meningkat bersamaan dengan meningkatnya
jumlah paritas, usia ibu, jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya. Abortus
meningkat sebesar 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar
26% pada usia lebih dari 40 tahun. Untuk usia paternal yang sama, kenaikannya adalah
dari 12% menjadi 20%. (Cunningham, 2005).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sai Ho (2010) tentang prevalensi abortus di
RSUP H.Adam Malik Medan, dijumpai prevalensi abortus berkisar 7,1 % dari seluruh
kehamilan dan dijumpai distribusi abortus yang paling banyak yaitu dari kelompok usia
31-40 tahun dan multipara.
Kejadian abortus juga diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya,
baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri.Wanita
dengan riwayat abortus mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan
prematur, abortus berulang, berat badan lahir rendah (Wiknjosastro, 2007; Cunningham,
2005).
Tingginya angka abortus inkomplit dan banyaknya efek buruk yang ditimbulkan,
serta mengingat kejadian abortus inkomplit dapat berakhir pada kematian ibu, peneliti
tertarik untuk meneliti tentang Hubungan Usia dan Paritas Ibu dengan Kejadian Abortus
Inkomplit di RSUP Mohammad Husein Palembang Periode Januari 2014 Desember
2014. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam upaya pencegahan
kejadian abortus inkomplit.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana hubungan antara usia ibu dengan frekuensi kejadian abortus inkomplit
di RSUP Mohammad Husein Palembang periode Januari 2014 Desember 2014?
b. Bagaimana hubungan antara paritas ibu dengan frekuensi kejadian abortus
inkomplit di RSUP Mohammad Husein Palembang periode Januari 2014
Desember 2014?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan usia dan paritas ibu dengan kejadian abortus
Tujuan khusus
Hipotesis
: Tidak ada hubungan antara usia dan paritas ibu dengan kejadian abortus
inkomplit.
H1 : Ada hubungan antara usia dan paritas ibu dengan kejadian abortus inkomplit.
1.5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi serta perbandingan bagi penelitian
serupa berikutnya dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan
dan bahan masukan dalam upaya penurunan angka kejadian abortus inkomplit.
1.5.2 Manfaat bagi umum
Diharapkan agar penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan usaha pencegahan dini
abortus inkomplit, dengan dijadikan acuan untuk program kesehatan dan sosialisasi yang
bersifat penyuluhan dan penerangan bagi masyarakat tentang usia dan perencaan
kehamilan yang aman.
1.5.3 Manfaat bagi diri sendiri
Peneliti mendapat pengetahuan tentang proses penelitian dan penulisan karya ilmiah yang
baik melalui penelitian ini, serta menambah pengetahuan penulis mengenai abortus
inkomplit yang dapat diterapkan dengan tindakan pencegahan abortus inkomplit di
masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abortus
2.1.1 Pengertian
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia,
apapun penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia apabila berat badannya lebih
dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu (Sastrawinata, 2005).
2.1.2 Epidemiologi
Di dunia terjadi 20 juta kasus abortus tiap tahun dan 70.000 wanita meninggal
karena abortus setiap tahunnya. Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah 4,2 juta
pertahun termasuk Indonesia, sedangkan frekuensi abortus spontan di Indonesia adalah
10%-15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau 600.000 900.000, sedangkan
abortus buatan sekitar 750.000 1,5 juta setiap tahunnya, 2500 orang diantaranya
berakhir dengan kematian (Anshor, 2006).
Lebih dari 80% abortus terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan, lalu angka
tersebut menurun cepat pada usia kehamilan selanjutnya. Anomali kromosom
menyebabkan sekurang-kurangnya separuh dari abortus pada trimester pertama,
kemudian menurun menjadii 20%-30% pada trimester kedua dan 5%-10% pada trimester
ketiga (Leveno, 2003).
2.1.3 Etiologi
Patofisiologi pasti terjadinya abortus belum diketahui. Banyak faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya abortus, yaitu faktor janin, faktor ibu, dan faktor ayah.
Abortus yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan umumnya
disebabkan oleh faktor janin, pada minggu-minggu berikutnya (11 12 minggu), abortus
yang terjadi disebabkan oleh faktor maternal (Sayidun, 2001).
a. Faktor Janin
Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan
zigot, embrio, janin atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada
trimester pertama, yakni:
i.
Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau kelainan
ii.
iii.
b. Faktor Maternal
i. Infeksi
Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, dan Bacterial vaginosis ditemukan
pada traktus genetalia sebagian wanita yang mengalami abortus. Hal ini berkaitan
dengan infeksi mikoplasma yang menyangkut traktus genetalia dapat menyebabkan
abortus. Beberapa organisme seperti Treponema pallidum, Toxoplasma gondii,
Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorhoeae, dan Streptococcus agalactina diduga
memiliki kaitan dengan terjadinya abortus. Beberapa virus seperti virus herpes
simplek, cytomegalovirus, rubella, dan HIV juga dicurigai sebagai penyebab
terjadinya abortus (Cunningham, 2005; Prawirohardjo, 2010).
ii. Penyakit Kronis yang Melemahkan
Tuberkulosis, karsinomatosis, dan dekompensasi kordis dapat menyebabkan gangguan
pada kehamilan, tetapi jarang menyebabkan abortus. Hipertensi jarang menyebabkan
abortus, tetapi dapat menyebabkan kelahiran prematur dan kematian janin.
iii. Pengaruh Endokrin
Hipertiroidisme, diabetes mellitus, dan defisiensi progesteron dapat meningkatkan
insiden abortus. Progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon
tersebut akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut
berperan dalam peristiwa kematiannya. Diabetes maternal pernah ditemukan oleh
sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi abortus spontan, tetapi kejadian ini tidak
ditemukan oleh peneliti lainnya. Diabetes tidak menyebabkan abortus apabila gula
darah dikendalikan dengan baik (Cunningham, 2005; Leveno KJ, 2003; Campbell S,
2000).
iv. Nutrisi
Pada saat ini, tampak bahwa hanya malnutrisi umum yang berat merupakan
predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Defisiensi salah satu zat gizi atau
defisiensi nutrisi dalam jumlah sedang tidak terbukti merupakan penyebab abortus
yang penting (Cunningham, 2005).
v. Obat-Obatan dan Lingkungan
Diketahui bahwa arsen, timbal, formaldehida, benzena, dan etilen oksida
memungkinkan untuk menjadi penyebab abortus. Diperkirakan 1 10% malformasi
janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir
dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau.
Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang
telah diketahui
mempunyai
efek
vasoaktif
uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin
serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi
fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya
abortus. Wanita yang merokok diketahui lebih sering mengalami abortus spontan
daripada wanita yang tidak merokok. Alkohol dinyatakan meningkatkan resiko abortus
spontan, meskipun hanya digunakan dalam jumlah sedang. (Cunningham 2005;
Prawirohardjo, 2010)
vi. Faktor Autoimun
Pada pasien dengan Systematic Lupus Syndrome (SLE), ditemukan Antiphospholipid
Antibodies (aPA) yang berkaitan dengan kematian janin. aPA merupakan antibodi yang
akan berkaitan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Sekitar 75% pasien dengan SLE
akan berakhir dengan terhentinya kehamilan, sering juga ditemukan beberapa keadaan
obstetrik seperti preeklampsia, IUGR dan prematuritas (Prawirohardjo, 2010).
vii. Trauma
Trauma abdomen mayor dapat menyebabkan abortus. Abortus spontan biasanya terjadi
setelah kematian embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan oleh trauma,
kemungkinan kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi, tetapi merupakan
kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus (Campbell, 2000;
Cunningham, 2005)
viii. Faktor Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, dan malpresentasi janin. Penyebab terbanyak abortus
karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40%-80%), kemudian uterus
bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 30 %). Mioma uteri dapat
menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Sindroma Asherman dapat
menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan
endometrium, hal ini membuat resiko abortus menjadi 25 80 % (Prawirohardjo,
2010).
c. Faktor Paternal
Translokasi kromosom dalam sperma dapat menyebabkan zigot mempunyai terlalu
sedikit atau terlalu banyak bahan kromosom, sehingga mengakibatkan abortus
(Cunningham, 2005).
2.1.4. Mekanisme Abortus
Proses abortus berawal dari terjadinya perdarahan di dalam desidua basalis yang
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal ini membuat hasil konsepsi terlepas dari
dinding uterus. Hasil konsepsi selanjutnya akan dianggap sebagai benda asing terhadap
uterus sehingga uterus akan berusaha untuk mengeluarkan hasil konsepsi, baik secara
langsung atau bertahan selama beberapa waktu. Hasil konsepsi biasanya akan
dikeluarkan seluruhnya pada kehamilan dibawah 8 minggu karena villi korealis belum
menembus desidua terlalu mendalam. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses
pengeluaran konsepsi.
b. Pada pemeriksaan pelvis, sisa hasil konsepsi ditemukan di dalam uterus, dapat
juga menonjol keluar, atau didapatkan di liang vagina.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu
bekuan, perdarahan, dan trombosit
b. Pemeriksaan USG ditemukan kantung gestasi tidak utuh, ada sisa hasil konsepsi
(Sai Ho, 2010)
2.2.3. Tatalaksana
Berikut adalah langkah-langkah penatalaksanaan abortus inkomplit:
1. Penanganan Umum
Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok,
tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan selanjutnya
adalah untuk menghentikan sumber perdarahan.
Tahap Pertama :
Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke tingkat
syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang
lebih balk. Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil), tindakan tahap ke dua
umumnya akan berjalan dengan baik pula.
Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa :
a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut nadi,
frekuensi pernafasan, dan suhu badan).
b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti adanya
takipnu, sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi oksigen
melalui kateter nasal).
c. Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi
Trendelenburg.
- Kuretase
Kuretase adalah cara menimbulkan hasil konsepsi memakai alat kuretase (sendok
kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan pemeriksaan
dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya uterus.- Vacum
kuretase adalah cara mengeluarkan hasil konsepsi dengan alat vakum (Setyasworo,
2010).
2.2.4. Komplikasi
Berikut adalah komplikasi yang disebabkan oleh abortus inkomplit:
1.
2.
3.
4.
5.
Perdarahan (hemorrhage)
Perforasi akibat dilatasi dan kuretase yang dilakukan bukan oleh ahli
Infeksi dan tetanus
Payah ginjal akut
Syok
i.
Syok hemoragik akibat perdarahan yang banyak
ii.
Syok septik atau endoseptik akibat infeksi berat atau sepsis (Mochtar,
1998)
2.2.5. Prognosis
Dengan evakuasi yang cepat dan adekuat oleh dokter ahli dan tanpa
disertai dengan infeksi, abortus inkomplit memberikan prognosis yang baik pada
ibu. Resiko terjadinya abortus spontan kembali akan meningkat pada ibu yang
telah mengalami abortus spontan sebelumnya. Dianjurkan untuk merencanakan
dan mempersiapkan kehamilan berikutnya sebaik-baiknya agar tidak terjadi
kembali abortus. (Batista, 2012)
2.3. Faktor yang Mempengaruhi Abortus Inkomplit
2.3.1. Usia Ibu
Perempuan yang hamil pada usia <20 tahun akan meningkatkan resiko
terjadinya abortus akibat belum optimalnya perkembagan sistem reproduksi.
Sedangkan, perempuan yang hamil pada usia >35 tahun dapat terjadi penurunan
pada sistem reproduksi. Hal ini diakibatkan oleh kemunduran pada jaringan
sistem reproduksi dan jalan lahir, seperti penurunan elastisitas ligamentum pada
uterus (Chairiyah, 2010).
Pada kehamilan usia muda keadaan ibu masih labil dan belum siap mental
untuk menerima kehamilanya. Akibatnya, selain tidak ada persiapan,
kehamilanya tidak dipelihara dengan baik. Kondisi ini menyebabkan ibu menjadi
stress. Dan akan meningkatkan resiko terjadinya abortus (Raden, 2008).
Kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35
tahun, resiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80 pada kehamilan usia diatas 35
tahun (Prawirohardjo, 2010).
2.3.2. Paritas
Pada kehamilan rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu sering
melahirkan, rahim akan semakin melemah. Bila ibu melahirkan 4 anak atau
lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan,
persalinan, dan nifas. Resiko abortus meningkat seiring dengan paritas ibu
(Cunningham 2010; Rahmani, 2014)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Halim, Muda, dan Hiswani
(2012) di RSUD Pirngadi Medan, kejadian abortus inkomplit terjadi paling
banyak pada kelompok multipara, yaitu mencapai 54%.
2.3.3. Riwayat Abortus
Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya
abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3 5 %. Data dari beberapa studi
menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya risiko 15% untuk
mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan
meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali
abortus berurutan adalah 30 45% (Prawirohardjo, 2010).
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Jones dkk (2010) di Amerika
Serikat yang dilakukan pada pasien-pasien abortus, tercatat bahwa pada pasien
usia 35 tahun keatas, sekitar 61% memiliki riwayat abortus sebelumnya.
Sebaliknya, pada pasien kurang dari 20 tahun, 64% tidak memiliki riwayat
abortus dan hanya 22% yang memiliki riwayat abortus sebelumnya.