You are on page 1of 3

Menggagas Asuransi Bencana

Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan


Dalam buku The 100 Greatest Disasters of All Time karya Stephen J Spignesi, dua bencana di Indonesia
masuk peringkat ke-22 dan 30. Letusan Gunung Tambora di Sumbawa tahun 1815 merenggut 150.000
jiwa dan menurunkan suhu Bumi. Adapun letusan Gunung Krakatau tahun 1883 menelan 36.000 nyawa.
Jika buku tersebut disusun setelah tsunami Aceh, bencana yang merenggut nyawa sekitar 300.000 jiwa
itu akan bertengger di posisi 18.
Pada 27 Mei 2006 gempa meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Info yang dirilis website Satuan
Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) per 27 Juni 2006, terdapat 5.778 korban tewas dan 37.883 luka.
Sebanyak 612.000 lebih rumah dan fasilitas umum rusak. Kerugian material diperkirakan Rp 29,2 triliun.
Sejak tsunami Aceh pada akhir 2004 hingga saat ini, setidaknya terjadi lima bencana besar, seperti
longsor di TPA Leuwigajah, gempa Nias, gempa Yogyakarta, lumpur panas Sidoarjo, dan banjir di Sinjai,
dan sekitarnya.
Kini kita masih hangat memperbincangkan gempa dan dampak negatifnya serta kesulitan yang dihadapi
pemerintah dalam menolong rakyatnya, sehubungan gempa bumi dan tsunami di wilayah selatan Pulau
Jawa. Data korban jiwa dan harta benda belum selesai dihimpun. Entah berapa lagi korban manusia dan
harta bendanya yang tertelan peristiwa itu.
Dari aspek geografis, klimatologis, dan geologis, Indonesia berada di bawah ancaman bencana alam.
Berada di antara dua benua dan dua samudra, serta puluhan gunung api aktif, Indonesia sangat rawan
tanah longsor, badai, dan letusan gunung berapi. Belum lagi ancaman banjir dan kekeringan.
Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, IndoAustralia, dan Pasifik, menjadikan wilayah Indonesia termasuk dalam Pacific ring of fire yang bisa
menimbulkan gempa dahsyat. Dari aspek demografis, besarnya populasi dapat memicu bencana
kerusuhan atau bencana akibat ulah manusia (man made disaster).
Asuransi dan RUUPB
Atas dasar inilah Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) diusulkan DPR.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana direncanakan meliputi empat bidang, yaitu pengurangan
risiko bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatakelolaan
bencana.
RUUPB didesain untuk menggeser cara pandang respons darurat yang berorientasi jangka pendek ke
manajemen risiko bencana (catastrophe risk management) dan lebih menjamin keberlangsungan
(sustainability).
Namun, sayang, RUUPB sama sekali tidak menyinggung aspek asuransi. Sebagai salah satu teknik
pengelolaan risiko, tak perlu disangsikan bahwa asuransi dapat berkontribusi pada tahap mitigasi risiko
bencana, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Pada tahapan mitigasi risiko, perusahaan

asuransi bisa berpartisipasi sebagai pihak yang memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai caracara memperkecil kerugian akibat bencana.
Dalam kasus bencana alam, beberapa jenis asuransi bisa memberikan ganti rugi. Yang paling sering
adalah asuransi harta benda, asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, asuransi jiwa, atau
asuransi kesehatan.
Dengan asuransi harta benda yang diperluas dengan jaminan risiko gempa bumi, rusaknya bangunan
akibat gempa bumi atau tsunami bisa mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi. Juga tersedia
asuransi bencana, seperti banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, atau bahkan kerusuhan sosial.
Yang selalu inheren dengan bencana adalah korban manusia. Asuransi kecelakaan diri bisa memberikan
penggantian biaya pengobatan atau memberi santunan cacat.
Bagaimana jika korban tewas? Asuransi jiwa akan memberikan santunan kepada ahli waris. Bencana
juga selalu menimbulkan pengungsi yang sering kali rentan terserang penyakit. Nah, di sinilah pentingnya
asuransi kesehatan. Pengungsi bisa berobat ke rumah sakit dengan biaya ditanggung perusahaan
asuransi.
Setiap terjadi bencana, pemerintah selalu merogoh APBN untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk
Yogyakarta dan sekitarnya, pemerintah menggelontorkan sedikitnya Rp 6 triliun. PBB pun membantu
lebih dari 80 juta dollar AS.
Di sinilah perusahaan asuransi bisa berbicara banyak. Biaya rekonstruksi dan rehabilitasi dalam bentuk
pembangunan rumah atau fasilitas umum tidak semuanya akan menjadi tanggungan pemerintah.
Asuransi wajib
Melalui RUUPB, pemerintah bisa menstimulus, bahkan bila perlu mewajibkan masyarakat (secara
bertahap) agar mengasuransikan harta benda dan jiwanya. Sebagian masyarakat kita masih berpikir
asuransi adalah nomor kesekian dalam prioritas hidupnya. Apalagi masyarakat menengah ke bawah
yang masih lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Saat terjadi bencana Departemen Sosial berperan pada lapisan (layer) pertama dalam mengoordinasi
evakuasi korban dan bantuan sosial. Pada layer kedua, mulailah berfungsi jaminan sosial yang menjamin
asuransi jiwa dan asuransi kesehatan. Adapun kerusakan aset tidak ada jaminan sosial. Untuk itulah
diperlukan asuransi wajib.
Dalam setiap bencana, persentase klaim asuransi hanya sebagian kecil dari total kerugian. Ini tidak
hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang masyarakatnya insurance minded, tidak semua
mengasuransikan rumahnya terhadap ancaman bencana. Hasil riset National Hurrican Survival Initiative
yang dirilis 16 Mei 2006 menyatakan, sepertiga rumah di wilayah rentan badai tidak ada asuransinya.
Hal yang sama terjadi di Jepang. Gempa bumi yang mengguncang Kobe pada Januari 1995
menghancurkan 100.000 bangunan dan 6.500 orang tewas dengan kerugian material lebih dari 110 miliar
dollar AS. Klaim asuransi "hanya" 6 juta dollar AS karena kurang dari 5 persen bangunan yang
diasuransikan.

Subsidi pembangunan rumah dari pemerintah pascabencana hanya bersifat jangka pendek. Idealnya,
pemerintah membuat skema asuransi wajib untuk risiko bencana yang merupakan perluasan dari
asuransi kebakaran.
Beberapa negara berkembang, seperti Turki, Iran, dan China, telah mempunyai asuransi wajib. Di Turki,
misalnya, pemerintah mewajibkan asuransi gempa bumi pada rumah, ruko, maupun apartemen melalui
The Turkish Catastrophic Pool. Pada tahun 2000 dengan limit harga pertanggungan 50.000 dollar AS,
premi tahunan sebesar 47 dollar AS.
Dimasukkannya aspek asuransi dalam RUUPB akan memberikan banyak manfaat bagi korban bencana,
pemerintah, dan industri asuransi. Dorongan berasuransi oleh pemerintah akan meningkatkan kesadaran
masyarakat Indonesia. Efeknya, pertumbuhan industri asuransi di Indonesia semakin baik.
Tahap awal, yang paling mendesak adalah asuransi bencana terhadap rumah tinggal. Selanjutnya bisa
asuransi kecelakaan diri, asuransi jiwa, dan seterusnya. Asosiasi asuransi (umum dan jiwa) hendaknya
berinisiatif untuk mengajukan usulan konkret semacam Catastrophe Risk Management kepada
pemerintah yang antara lain untuk mengetahui besar kecilnya risiko suatu daerah terhadap bencana
tertentu, serta cara penanggulangan risiko katastropik dengan memanfaatkan metodologi manajemen
risiko.
Bank Dunia juga telah mengirim utusannya ke Indonesia untuk membicarakan asuransi bencana ini, dan
siap memberikan asistensi. Tunggu apalagi!
Hotbonar Sinaga
Dosen Asuransi dan Manajemen Risiko FEUI, Mantan Ketua Dewan Asuransi Indonesia 2002-2005
Munawar Kasan
Staf PT Asuransi ASEI

You might also like