Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Luka kronis adalah luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan. Luka kronis seperti ulkus diabetes, ulkus tekanan, dan luka kanker
dirasakan sangat tidak sedap dipandang dan bau/malodor. Bau atau odor yang
ditimbulkan mengganggu konsentrasi dan meningkatkan tanda-tanda vital seperti
respirasi rate, heart rate, meningkatkan produksi keringat dan membuat cemas dan
gelisah bagi yang merawat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan
tingkat odor yang dipersepsikan mahasiswa fakultas ilmu keperawatan Universitas
Padjadjaran angkatan 2007 saat merawat luka diabetes, luka dekubitus, dan luka
kanker. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif.
Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan sampel
sebanyak 10 orang masing-masing merawat 3 jenis luka. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini berupa skala odor dari rentang 0-6 yang akan dipersepsikan oleh
mahasiswa. Data dianalisis menggunakan uji kruskall wallis. Hasil uji dibuktikan
bahwa H1 diterima yaitu terdapat perbedaan odor pada ketiga luka kronis.
Berdasarkan uji kruskal wallis diketahui pula nilai rata-rata ranking odor pada setiap
luka kronis. Rata-rata ranking odor untuk luka diabetes paling tinggi yaitu 21.
Penurunan imunitas, abses, eksudat, jaringan nekrotik, bakteri yang lebih banyak
diketahui menjadi penyebab luka diabetes mendapatkan skala odor paling tinggi.
Oleh karena itu, informasi mengenai skala odor pada luka kronis perlu untuk
diketahui sebelumnya oleh mahasiswa.
Kata kunci : Odor, Bau, Luka kronis.
ABSTRACT
Chronic Wounds are wounds that fail to heal with standard therapy.Some
chronic wounds such as diabetic ulcers, pressure ulcers, and fungating wounds are
felt unslightly and smelly/malodours. The odor decrease the concentration and
improve the vital signs such as respiration rate, heart rate, sweat production and also
make anxiety and restlessness for the people who take care of it. The purpose of this
research was to determine the level of odor an perceived by 2007th Nursing Faculty
Student of Padjadjaran University when treating diabetic ulcer, decubitus sores and
fungating wounds. This research uses comparative descriptive research method.
Sampling was purposive sampling study conducted with a sample of 10 respondents
for each wounds type. The Instrument used in this study is an odor scale (range 0-6)
that would be perceived by students. Data were analyzed using the formula of kruskal
wallis metho. Test result proved that H1 is accepted that there are differences in all
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
1
three chronics wound odor.Based on the kruskal wallis test is also known to the
average rank of each odor on chronic wounds.Average rank of odor to the highest
diabetic wounds compared with decubitus sores and cancer sores. Lowered
immunity, abscesses, exudates, necrotic tissue, bacteria are cause diabetic wounds
have the highest odor scale than any chronic wounds. Therefore, knowledge about
odor scale that perceived by student are important.
Keywords: Odor, malodours, Chronic wounds
PENDAHULUAN
Salah satu ruang lingkup garapan perawat adalah membantu proses penyembuhan
luka melalui perawatan luka. Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu
penyembuhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu luka akut dan luka kronis. Luka akut
adalah luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang
telah disepakati.. Luka kronis adalah luka yang belum menunjukan kesembuhan yang
signifikan dalam empat minggu atau belum sepenuhnya sembuh dalam delapan
minggu (Jefferson, 2011).
Sebagian besar luka kronis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu
ulkus diabetes, ulkus tekanan, dan ulkus vena (Posnett et al, 2008). Ulkus kaki
diabetes merupakan suatu komplikasi yang umum bagi pasien dengan diabetes
mellitus (Robertson et al, 1986). Ulkus kaki diabetes biasa terjadi karena neuropati
perifer, iskemia vaskuler, dan infeksi. Klasifikasi ulkus kaki diabetes menurut
Wagner 1987, yaitu grade 0 tidak ada ulkus, grade 1 ulkus superficial yang mengenai
seluruh lapisan kulit tetapi tidak mengenai jaringan dibawahnya, grade 2 ulkus dalam
yang menembus sampai otot dan ligamentum tanpa melibatkan otot dan abses, grade
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
2
3 ulkus dalam dengan selulitis disertai abses, grade 4 gangren terlokalisasi, dan grade
5 gangren luas yang mengenai seluruh bagian region tubuh misalnya pada kaki.
Ulkus tekanan atau luka dekubitus merupakan suatu daerah kerusakan seluler
yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit sehingga mengakibatkan
iskemia tekanan maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stress
mekanik terhadap jaringan (Chapman dan Chapman, 1986). Luka dekubitus dapat
dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu : tingkat 1 adanya eritema pada kulit setempat yang
menetap, tingkat 2 adanya kerusakan pada epidermis dan dermis ditandai dengan luka
lecet atau melepuh, tingkat 3 kerusakan semua lapisan kulit atau sampai jaringan
subkutan dan mengalami nekrosis dengan kapasitas yang dalam, dan tingkat 4 adanya
kerusakan pada ketebalan kulit dan nekrosis sampai ke jaringan otot bahkan tulang
atau tendon (Suriadi, 2004)
Selain luka kronis diatas, luka kanker dikatakan pula sebagai luka kronis dilihat
dari karakteristiknya yaitu sulit sembuh, sangat menyakitkan, tidak sedap dipandang,
bau/malodor, dan sangat banyak memproduksi eksudat (Dennis et al, 2010). Di
Indonesia prevalensi angka kanker dikatakan cukup tinggi. Menurut Dowsett (2002)
memyatakan perkiraannya antara 5-10% pada pasien yang mengalami metastase
kanker akan mengalami luka kanker.
Luka kronis ditandai dengan terganggunya pasokan oksigen, terganggunya
pengiriman nutrisi, pengeluaran protease dan regulasi protein yang abnormal, fase
proliferasi yang terlalu dini, dan 80% kasus luka kronis menunjukan perkembangan
bakteri (Casey, 2012).
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
3
Teknik perawatan luka oleh perawat juga dapat meningkatkan resiko infeksi
silang, seperti infeksi bakteri streptokokus -hemolitikus, pseudomonas, dan bakteri
lainnya yang memungkinkan berkembangnya bakteri yang dapat menghasilkan bau.
Invasi bakteri sebenarnya dapat ditangani oleh komponen sistemik tubuh tetapi
kolonisasi bakteri tidak sampai melebihi batas normal, maka dari itu teknik pencucian
dan perawatan yang tepat sangat dibutuhkan. Teknik perawatan sebaiknya aseptik dan
membutuhkan perhatian yang seksama saat melakukan perawatan luka (Gitarja,
2008).
Bau yang dipersepsikan perawat dari luka kronis secara fisiologis dapat
menurunkan konsentrasi perawat dan membuat perasaan terburu-buru saat merawat
luka. Bau yang ditimbulkan dari luka kronis dapat dipersepsikan dengan pengukuran
skala malodor. Skala malodor itu sendiri mempunyai rentang dari 0-6. Skala 1
menunjukan bau sangat lemah, skala 2 bau lemah, skala 3 sedang, skala 4 bau terasa
kuat, skala 5 sangat bau, skala 6 sangat sangat bau.
Pikiran atau intepretasi dari luka kronis yang ditangani perawat dapat pula
menentukan respon emosi perawat. Salah satu respon nya adalah respon fight or
flight. Respon ini terletak di batang otak. Kalau seseorang berada dalam keadaan
tidak nyaman, hemisfer medialis hipotalamus segera mensekresikan pesan-pesan
biokimiawi (katekolamin) ke dalam sirkulasi darah. Pelepasan katekolamin yang
merupakan hormon pencentus stress dapat dilihat melalui tanda-tanda vital seperti
peningkatan heart rate, peningkatan respirasi rate, cemas, gelisah, peningkatan
produksi keringat (Atkinson, 2003).
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
4
melakukan perawatan luka diabetes grade 3, luka dekubitus grade 3 dan luka
kanker stadium lanjut
Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
Mahasiswa angkatan A 2007 Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD yang sedang
sakit flu.
Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat odor yang dipersepsikan mahasiswa
saat merawat luka kronis. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah
menggunakan odor scale. Skala odor itu sendiri mempunyai rentang dari 0-6. Skala 1
menunjukan bau sangat lemah, skala 2 bau lemah, skala 3 sedang, skala 4 bau terasa
kuat, skala 5 sangat bau, skala 6 sangat sangat bau. Skala ini memiliki nilai reabilitas
r = 0,97 (Sucker, K,et al, 2007).
Setelah data diperoleh maka dilakukan uji Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis
adalah uji non-parametrik yang digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih
kelompok data sampel. Dalam uji ini akan diketahui nilai rata-rata ranking odor pada
setiap jenis luka kronis.
Penyusunan hipotesis dalam Uji Kruskal Wallis adalah sebagai berikut :
Ho : 1 = 2 = 3, Rata-rata bau pada ketiga luka sama
H1 : Paling sedikit satu bau berbeda, rata-rata ketiga bau pada luka tidak sama
Ranking
DM
Luka
DK
2
2
2
3
3
3
4
4
4
4
menggunakan rumus kruskal wallis adalah 115,3 yang artinya lebih besar
dibandingkan t-tabel yaitu 18,307 sehingga Ho ditolak, yang berarti H1 diterima yaitu
paling sedikit satu bau berbeda, rata-rata ketiga bau pada luka tidak sama.
Luka DM
Dari hasil perhitungan uji statistik kruskal wallis, luka DM merupakan luka yang
mempunyai rata-rata ranking odor paling tinggi. Hal tersebut sesuai dengan data dari
Dutch Nursing Home Physician (2009) yang mengatakan bahwa resiko infeksi pada
luka diabetes mencapai angka 91,4%. Terdapat 5 tanda dan gejala infeksi yang
umum, yaitu pus/abses, bau, eritema, terlambatnya proses penyembuhan, dan nyeri.
Bau pada luka DM merupakan tanda gejala yang biasa timbul. Timbulnya bau
pada luka ini pun merupakan salah satu dari 5 tanda dan gejala terjadinya infeksi,
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
7
tingkat kejadiannya mencapai 14% (Rondas, 2009). Bau dari luka sebagian besar
disebabkan degradasi jaringan, nekrosis, atau invasi bakteri aerob dan anaerob.
Bau yang ditimbulkan oleh luka kronis seringkali bau itu tidak dapat hilang
dengan cepat seperti bau yang lainnya. Kontak yang berulang terhadap bau tetap
dapat menimbulkan gejala mual muntah (Fleck, 2006). Pada saat mahasiswa merawat
luka mahasiswa merasakan bau yang timbul menyebabkan rangsangan mual dan
muntah. Bau ini tidak dapat teridentifikasi berasal dari bakteri aerob atau bakteri
anaerob, karena untuk mengetahui lebih lanjut perlu dilakukan kultur jaringan dan
pemeriksaan laboratorium lebih lanjut.
Bau pada luka DM dapat pula disebabkan oleh timbulnya abses. Pada luka DM
diketahui bahwa kejadian timbulnya abses/pus mencapai angka 34,4% (Rondas,
2009). Pada saat mahasiswa merawat luka DM tersebut diketahui bahwa banyak luka
yang menimbulkan abses biasanya telah pecah dan terlihat cairan putih kekuningan
pada luka.
Selain bau, karakteristik khas lain dari luka DM adalah sukar sembuh.
Keterlambatan masa penyembuhan pada luka diabetes tingkat kejadiannya mencapai
14,2 % (Rondas, 2009). Keterlambatan penyembuhan luka disebabkan karena infeksi,
suplai darah yang buruk, nekrosis, eksudat dan adanya benda asing pada luka
(Suriadi, 2004). Luka diabetes memproduksi banyak eksudat akibat proses inflamasi
dan merupakan manifestasi dari gangren (World Union of Wound Healing Societies,
2007). Peningkatan eksudat tersebut membuat proses penyembuhan semakin lama
dan apabila tidak terkontrol dengan baik akan menyebabkan maserasi (Cutting and
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
8
White, 2002). Pada saat mahasiswa merawat luka DM ditemukan beberapa luka
dalam kondisi eksudat yang berlebih dan itu dirasakan menambah bau yang timbul
pada luka.
Selain eksudat, telah dikatakan diatas bahwa tempat hidup bagi bakteri yang
menyebabkan bau salah satunya adalah jaringan nekrotik. Menurut Jurnal of Wound
Care, 2011 angka kejadian nekrosis pada pasien dengan luka diabetes mencapai 27%,
dan nekrosis merupakan port the entry untuk bakteri yang dapat menyebabkan
berkembangnya bakteri anaerob yang menyebabkan bau. Bau yang kuat berhubungan
dengan jaringan nekrotik atau merupakan indikasi Clostridium dan gangren yang
basah(Fleck, 2006). Jaringan nekrotik dikatakan berkatian erat dengan infeksi bakteri
anaerob.
Kondisi di lapangan pada kasus-kasus yang ditangani mahasiswa, ada beberapa
luka yang sampai memerlukan tindakan debridement untuk meningkatkan potensi
penyembuhan jaringan yang masih sehat dan membuang jaringan nekrotik. Jaringan
nekrotik ini dapat dikatakan berhubungan erat dengan berkembangnya bakteri
anaerob. Hal ini dapat menjadi faktor penunjang bahwa luka yang dirawat mahasiswa
walaupun merupakan terbuka tetapi memungkinkan terdapat bakteri anaerob.
Oksigenasi dan perfusi jaringan yang buruk selain menimbulkan jaringan nekrotik,
dapat pula menyebabkan terjadinya hipoksia yang dapat menghalangi mitosis dalam
sel-sel epitel dan fibroblast yang bermigrasi, sintesa kolagen dan makrofag untuk
menghancurkan bakteri. Selain faktor oksigenasi dan perfusi jaringan, faktor
penurunan daya imunitas yang biasa diderita pasien diabetes menyebabkan penurunan
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
9
parfum atau aromaterapi, serta mendorong keluarga untuk membawa tanaman yang
berbau harum. Lingkungan yang ideal dirasakan lebih efektif dibandingkan hanya
memilih balutan luka yang sesuai (Morison, 2003).
Luka DK
Dari hasil perhitungan uji statistik kruskal wallis, luka DK merupakan luka yang
mempunyai rata-rata ranking odor yang terkecil. Pada luka dekubitus ini terdapat
mahasiswa yang mempersepsikan skala odor hanya pada skala 2 yaitu baunya
slemah. Dan skala odor yang paling tinggi yang dirasakan hanya sampai skala 4 yaitu
bau kuat, tidak ada yang mempersepsikan luka ini pada skala odor 5 dan 6.
Berdasarkan Dutch Nursing Home Physician (2009) resiko infeksi pada luka
dekubitus mencapai angka 53%. Pada luka dekubitus diketahui bahwa kejadian
timbulnya pus/abses mencapai 44%. Pus atau abses pada luka dekubitus yang dirawat
mahasiswa tidak selalu timbul. Oleh karena itu pus yang merupakan tempat hidup
bakteri diperkirakan jumlahnya masih sedikit, karena pus yang timbul pada luka DK
juga cenderung sedikit.
Timbulnya bau itu sendiri pada luka dekubitus angka kejadiannya mencapai 12,2%
(Rondas, 2009). Skala odor pada luka dekubitus dapat dikatakan berada di rentang 2
sampai 4. Mahasiswa menyatakan bau pada luka dekubitus masih dapat ditahan
dibandingkan dengan bau yang ditimbulkan oleh luka lainnya.Keadaan luka yang
masih dirasakan cukup baik dengan sedikit pus, sedikit eksudat dirasakan
berpengaruh dalam menimbulkan bau.
Skala odor paling tinggi dirasakan pada saat mahasiswa merawat dekubitus di
daerah sacrum, hal ini dapat terjadi salah satunya dapat terjadi karena terpajan bakteri
dari kontaminasi fekal yang berdekatan dengan sacrum. Bila bakteri E.coli dijumpai
pada tempat infeksi, E.coli akan memakai semua oksigen yang ada dan menghasilkan
lingkungan yang sesuai bagi bakteri anaerob (Muliawan, 2007).
Luka Kanker
Luka kanker atau biasa disebut luka Fungating adalah tanda keganasan metastatis.
Luka malignan ini berpotensi besar lebih eksudatif, hemoragik dan berbau busuk
(Alvares, et al, 2007). Pasien dengan luka kanker stadium lanjut menimbulkan
banyak jaringan mati, eksudat dan tentunya menimbulkan bau tak sedap (Dowsett,
2002).
Bau tidak sedap disebabkan oleh produksi asam lemak yang mudah menguap
(proprionic, isobutyc, butirat, isovaleric, dan valeric). Selain itu bau tidak sedap pun
dapat disebabkan oleh jaringan nekrotik dan eksudat berlebih. Luka kanker
menimbulkan peningkatan eksudat dan peningkatan jaringan mati dan hal itu
meningkatkan resiko infeksi (Young, 2000).
Seiring dengan peningkatan masa pada sel kanker, maka akan terjadi kehilangan
vaskularisasi, pecah pembuluh darah kapiler, dan perkembangan jaringan nekrosis.
Pertumbuhan sel-sel malignan mendesak pembuluh darah di sekitarnya dan membuat
aliran darah terhambat sehingga terjadi hipoksia yang menyebabkan jaringan nekrotik
yang retan terpajan bakteri pathogen.Keadaan seperti ini sangat memungkinkan luka
terpapar infeksi (McDonald, 2006).Keadaan seperti ini merupakan tempat hidup yang
sangat digemari oleh bakteri.
Pada saat mahasiswa merawat luka kanker diketahui bahwa terdapat banyak
jaringan mati terdapat pada luka kanker.Jaringan mati ini lebih banyak ditemukan
dibandingkan saat merawat luka DM dan luka DK. Bakteri anaerob yang terkenal
gemar hidup di jaringan mati adalah penyebab timbulnya bau pada luka. Bau yang
dihasilkan bakteri Anaerob dikenal berbau tajam dan busuk.
Bau atau odor dirasakan oleh reseptor penciuman ini yang terletak di belakang
hidung (Van Toller, 1994) dan diproses baik di tingkat sadar dan bawah sadar. Bau
itu sendiri mempunyai kemampuan adaptasi. Secara umum diketahui bahwa apabila
seseorang secara terus-menerus terpajan bau tertentu (bahkan bau yang paling tidak
mengenakan), persepsi bau akan menurun dan akhirnya berhenti.
Pengendalian bau oleh perawat seperti pemilihan dressing dan memberikan
lingkungan yang menunjang mengurangi bau sangatlah penting terutama untuk
pasien paliatif karena secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Peningkatan kualitas hidup ini meliputi dalam hal menghadapi masalah yang terkait
dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan menghilangkan
penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian sempurna dan pengobatan rasa
sakit dan masalah lain, fisik, psikososial, dan spiritual (WHO, 2012).
SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada mahasiswa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Padjadjaran dengan responden sebanyak 10 orang, dapat
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
13
3.
4.
Bagi dunia kesehatan disarankan hal ini dapat menjadi perhatian baru untuk
diatasi.Penemuan baru mengenai dressing, obat, dan terapi alternatif diperlukan
untuk mengatasi hal ini.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R, et al . 2003. Pengantar Psikologi edisi delapan jilid 2.Jakarta : Penerbit
Erlangga
Casey, G.2012. Chronic Wound Healing :Leg Ulcer.
Dowsett, C.2002.Malignant Fungating Wounds : Asessment and Management.British
Journal of Community Nursing.
Fleck,C.2006.Palliative Dilemmas Wound Odour.Wound Care Canada
McDonald, A, Lesage, P.2006.Palliative Management of Pressure Ulcer and
Malignant Wound Patients with Advanced Illness.Journal of Palliative
Medicine.
Morison MJ.2003.Manajemen Luka.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Muliawan, S.2007.Bakteri Anaerob yang Erat Kaitannya dengan Problem Klinik.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Posnett, J., Franks, P.J. 2008.The Burden of Chronic Wounds in the UK. Available
online
at
http://www.nursingtimes.net/nursing-practice/clinicalspecialisms/wound-care/the-burden-of-chronic-wounds-in-theuk/527138.article . (Diakses Maret 2012)
Price, S, et al. 1997. Aromaterapi bagi Profesi Kesehatan.Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Rondas, A, et al.2009.Definition of infection in Chronic Wounds by Dutch Nursing
Home Physicians.
Setiadi. 2007 . Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Sugiyono. 2006 . Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif Dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Suriadi.2004.Perawatan Luka Edisi 1.Jakarta:Agung Setyo.
Sucker, K; Both,R; Bischoff, RG; Winneke, G.2007. Odor Frequency and Odor
Annoyance.Part I :Assesment of Frequency, Intensity and Hedonic Tone of
Environmental Odors In The Field.
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
15