Professional Documents
Culture Documents
indb 1
24/10/2011 11:39:38
Editor
Prof. Dr. Ir. Sri Harto, Br., Dip., H., PU-SDA
Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, M.Sc., PU-SDA
Prof. Dr. Ir. Rafael Marthinus Osok, M.Sc.
Doddi Yudianto, S.T., M.Sc., Ph.D.
We regret for any errors or omissions that we may have unintentionally made.
ISBN : 978-979-17093-5-4
Full Tema1.indb 2
24/10/2011 11:39:38
iii
Daftar Isi
2. Analisis Muka Air Tanah Di Rawa Pasang Surut Distrik Padang Sugihan
Dan Simpang Heran ...............................................................................................
13
25
.............
36
..................
44
60
69
78
87
95
Susilawati
Rosmina Zuchri
L. Budi Triadi
Muchlish Amat
Happy Mulya
Bambang Hargono
12. Mengatasi Kerusakan Daerah Tangkapan Air Pada Pulau-Pulau Kecil Dengan
Upaya Konservasi Tanah Dan Air Yang Didukung Oleh Ketersediaan Air
Melalui Sistem Jebakan Air Berantai Pada Alur-Alur Alam ........................ 110
Susilawati, Novrini Soan, Prisela Pentewati
Full Tema1.indb 3
24/10/2011 11:39:39
iv
. ....................................
190
Full Tema1.indb 4
................
232
24/10/2011 11:39:39
. ...........................
235
. ....................................
313
Full Tema1.indb 5
24/10/2011 11:39:39
vi
40. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Untuk Masyarakat Pada Pulau-Pulau
Kecil Daerah Kering Dengan Menggalakkan Program Pengembangan Sistem
Terpadu Penampungan Air Hujan 1-2-1 Dan Jebakan Air Berantai Pada AlurAlur Alam (Studi Kasus Di Pulau Palue, Kabupaten Sikka NTT) . ........... 382
Susilawati, Tunggul Sutanhaji
Full Tema1.indb 6
24/10/2011 11:39:39
Sub-Tema I
Pengelolaan
Sumber Daya Air
Kepulauan
Full Tema1.indb 7
24/10/2011 11:39:40
Full Tema1.indb 8
24/10/2011 11:39:40
Intisari
Perubahan iklim memicu terjadinya bencana banjir dan kekeringan, khususnya
pada pulau-pulau kecil daerah kering Indonesia seperti NTT. Hal ini disebabkan
karena karakteristik hujan yang cenderung berintensitas tinggi-durasi singkat
menyebabkan limpasan permukaan besar sebagai banjir bandang yang langsung
cepat terbuang ke-laut karena ukuran pulau kecil. Akibatnya tidak sempat meresap
ke-dalam tanah, tidak terjadi penyimpanan dan penambahan cadangan air tanah yang
mengakibatkan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini mendorong dilakukannya
upaya konservasi dengan sistem jebakan air berantai pada pulau-pulau kecil.Usaha
ini didasarkan pada prinsip konservasi, ekologi, kearifan lokal dan pemberdayaan
masyarakat, sehingga berkelanjutan. Dari survey lapangan ditemukan gambaran
situasi geologi dan struktur tanah, khususnya berkaitan dengan sifat kelulusan
air, jenis tanah, alur-alur alam untuk menentukan konstruksi dan letak jebakan air
berantai. Selanjutnya dilakukan simulasi analisis hidrologi terpadu dengan sistem
informasi geografis, untuk menemukan letak, jumlah dan sistem jebakan air yang
efektif dan efisien dapat mengurangi banjir dan kekeringan yang terjadi. Dari
upaya konservasi tanah dan air dengan sistem jebakan air berantai ini diharapkan
dapat mengatasi masalah banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim
kemarau.
Kata kunci: konservasi air, jebakan air berantai, banjir, kekeringan,
daerah kering pulau-pulau kecil.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perubahan iklim memicu terjadinya bencana banjir dan kekeringan yang semakin
intensif, khususnya pada pulau-pulau kecil daerah kering Indonesia seperti di NTT.
Hal ini disebabkan karena karakteristik hujan yang cenderung mempunyai intensitas
tinggi dengan durasi yang singkat, menyebabkan limpasan permukaan yang besar
sebagai banjir bandang yang langsung cepat terbuang ke laut karena ukuran pulau
yang kecil. Sebagai akibat dari terbuang-cepatnya air hujan yang jatuh di daratan
tersebut, maka air hujan yang jatuh tersebut tidak memiliki kesempatan untuk
1
Full Tema1.indb 1
24/10/2011 11:39:40
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Aug
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah
62
60
451
43
112
142
129
76
132
56
62
86
53
0
247
99
141
87
47
36
132
89
0
42
0
129
132
96
128
78
112
138
39
107
0
0
3
49
69
0
3
16
47
101
38
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
6
0
0
25
0
0
0
0
0
36
0
123
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
51
0
26
0
0
0
0
0
98
46
56
140
0
57
0
83
0
0
0
122
67
100
97
62
76
247
131
426
155
451
668
507
604
632
266
459
656
505
Di lain pihak, bencana banjir dan kekeringan ysng semakin intens dari waktu ke
waktu tersebut, menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat di permukiman karena
Full Tema1.indb 2
24/10/2011 11:39:40
Full Tema1.indb 3
24/10/2011 11:39:40
dikembangkan juga teknik konservasi tanah dan air secara tradisional yang mirip
dengan sistem zai, disebut tassa (Reij, 2001). Lubang tanaman secara tradisional
yang disebut tassa ini dipakai oleh beberapa desa untuk memperbaiki tanah yang
rusak. Mereka mengubah ukuran lubang dengan diameter 25-40 cm, kedalaman 1530 cm dan jarak tiap lubang 80-100 cm. Tanah galian tidak diletakan di sekeliling
lubang lagi untuk memungkinkan limpasan air terkumpul dalam lubang, dan mereka
menambahkan pupuk kandang ke dalam lubang. Kalekye Mutunga (Mutunga
et.al, 2001), mengembangkan sistem untuk merehabilitasi alur aliran air (gully
rehabilitation) di Kyuso Distrik Mwingi (Gambar 2). Kakundi mengembangkan
sistem yang dikenal sebagai sugar cane planting pits, seperti dapat dilihat dalam
Gambar 3.
Gambar 2. Reklamasi Alur Aliran Air Sistem Kalekye (Mutunga et.al, 2001).
Gambar 3. Sistem Lubang Tanam Tebu dari Kakundi (Mutunga et.al, 2001).
Konservasi Tanah dan Air di Cina, diterapkan dalam unit-unit cekungan kecil (luas
kurang dari 30 km2) dengan mempertimbangkan banyak hal seperti kondisi alam,
ekonomi, sosial dan kondisi lain yang ada dalam daerah cekungan tersebut. Teknik
ini meliputi sistem penghijauan, sistem teras, perlindungan lereng, cek dam dan
bendung. Sistem penghijauan atau penghutanan kembali di daerah yang mempunyai
masalah dengan kelangkaan lengas tanah dilakukan dengan sistem mempersiapkan
lubang-lubang untuk meningkatkan lengas tanah yang dikenal dengan lubanglubang sisik ikan (fish scale pits, Gambar 4). Lubang-lubang digali berbentuk
setengah lingkaran dan tanah galian dimanfaatkan untuk membentuk dinding di
sekeliling lubang sehingga mencegah air lari ke luar. Fungsi dari lubang sisik ikan
ini adalah menampung air sehingga meresap ke dalam tanah.
Full Tema1.indb 4
24/10/2011 11:39:41
Full Tema1.indb 5
24/10/2011 11:39:42
m.a.t
Laut
Laut
Full Tema1.indb 6
24/10/2011 11:39:42
Full Tema1.indb 7
24/10/2011 11:39:43
Gambar 10. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Kiri.
Gambar 11. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Tengah.
Gambar 12. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Kanan
Full Tema1.indb 8
24/10/2011 11:39:45
Gambar 13. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Empat.
Gambar 14. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Kiri
Gambar 15. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Tengah
Full Tema1.indb 9
24/10/2011 11:39:48
10
Gambar 16. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Kanan.
Gambar 17. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Empat.
Gambar 18. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Tersier di Mbay Kiri.
Full Tema1.indb 10
24/10/2011 11:39:50
11
Gambar 19. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Tersier di Mbay Tengah
Full Tema1.indb 11
Primer
Sekunder
Primer
Sekunder
Tertier
Primer
Sekunder
Tertier
Primer
Sekunder
Tertier
1.237
0.472
4.481
1.721
0.773
6.625
1. 916
0.486
2.461
1.219
0.221
0.221
0.002
3.671
1.103
0.421
5.368
1.546
0.393
1.993
0.988
0.186
0.185
0.0016
2.506
0.772
0.341
4.467
1.291
0.108
1.373
0.702
0.148
97 %
0.06773
0.00066
1.158
0.492
0.180
1.625
0.468
0.0394
0.499
0.207
0.05421
24/10/2011 11:39:52
12
KESIMPULAN
Dari simulasi sistem jebakan air untuk mengatasi banjir dan kekeringan di daerah
studi ke dalam model SPK-Mbay (Tabel 2), dapat disimpulkan bahwa penempatan
sistem jebakan air berantai pada alur yang makin kecil (tersier) sangat efektif untuk
mengurangi debit limpasan yang terjadi dibandingkan penempatan pada alur primer.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem jebakan air berantai yang kecil-kecil namun
banyak lebih efektif dalam mengurangi banjir dan mencegah kekeringan. Sistem
ini mampu mengatasi masalah banjir dan kekeringan yang terjadi pada daerah studi
secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Batchelor, C, Rama Mohan Rao and Manohar Rao, 2003. Watershed development:
A solution to water shortages in semi-arid India or part of the problem?
LUWRR 3:1-10. http://www.luwrr.com/uploads/paper03-03.pdf.
Bouma Jetske, Erwin Bulte and Daan van Soest, 2004. Local cooperation in
rainwater harvesting and soil & water conservation in Indias semi-arid
watersheds. http://www.ictp.trieste.it/~eee/workshops/smr1558/Bouma.pdf.
BWS NT II, 2009. Data Curah Hujan Stasiun Danga, Tahun 1998 2008
Heru J.Marsudi, Soetopo T, Syaiful Mahdi, Darmono, Soenar Wirtoyoso,
Priambodo S., 2005. Sejarah Embung di Indonesia. Tidak dipublikasikan
Kabore, D and Reij Christ, 2004. The Emergence and Spreading of an Improved
Traditional Soil and Water Conservation Practice in Burkina Faso. EPTD
Discussion Paper No.114. http://www.ifpri.org/divs/eptd/dp/papers/
eptdp114. pdf.
Kerr, J, 2002. Watershed development, environmental services and poverty
alleviation in India. World Development 30 (8):1387-1400. http://
www. sciencedirect.com/science/article/B6VC6-45TTKFD-/2/
fe175768bae8c054c2d 704d3d64c65c1.
Mutunga, K. And Critchley, W., 2001 Farmers Initiatives in Land Husbandry:
Promising Technologies for The Drier Areas of East Africa. Nairobi:
Regional Land Management Unit (RELMA), Swedish International
Development Cooperation Agency (Sida), (RELMA Technical Report Series
27). http://www.wca-infonet.org/cds_ upload/1062415739024_farmers.pdf
Reij Chris, 2001. Improving Tassa Planting Pits Using Indigenous Soil and
Water Conservation Techniques to Rehabilitate Degraded Plateaus in The
Tahoua Region of Niger. http://www.unesco.org/most/bpik10.htm
Wu Bin, 2005. Soil Erosion and control Measures on the Loess Plateau, China.
http://www.unisdr.org/wcdr/thematic-sessions/presentations/session4-10/drwu -final.pdf
Powell D.N., Khan A.A and Aziz N.M. Impact of New Rainfall Patterns on
Detention Pond Design. Journal of Irrigation and Drainage Engineering,
Volume 134 No. 2, March/April 2008, ISSN 0733-9437, p. 197. ASCE
(American Society of Civil Engineers)
Susilawati, 2011. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di
Kawasan Kering Indonesia. Gita Kasih, Kupang, Indonesia
Full Tema1.indb 12
24/10/2011 11:39:52
13
Full Tema1.indb 13
24/10/2011 11:39:52
14
Full Tema1.indb 14
24/10/2011 11:39:52
15
Rancangan Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam peneltian adalah data sekunder dan primer. Data
sekunder yaitu peta PT. SBA wood industries region Palembang. Data primer yang
diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dilapangan, yaitu : tinggi muka air
tanah (water tabel).
Teknik Pengambilan Data
Data sekunder diperoleh dari PT. SBA wood industri region palembang yang selama ini berperan aktif dalam pengembangan HTI rawa pasang surut OKI , Sumatera
Selatan. .
Pengambilan data primer muka air tanah dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi penelitian, yaitu :
a. Pengamatan dilakukan melalui sumur pengamatan yang dibuat dari pipa paralon. Pipa tersebut dilubangi pada bagian sisi-sisinya dan ditanam dengan kedalaman 2-2,5 meter dari permukaan tanah. Lubang pipa bagian atas ditutup
dan hanya dibuka pada saat melakukan pengukuran muka air tanah tersebut.
b. Dua distrik lokasi penelitian muka air tanah yaitu disrik Padang Sugihan bertanah gambut ada 4 (empat) titik pengamatan dan 6 (enam) titik pengamatan
di tanah marin clay di distrik Simpang Heran.. Lokasi penelitian pengukuran
muka air tanah disajikan pada Gambar 2, 3 dan 4.
CANAL
2X2X1
CANAL
5X5X3
250
M
POINT
IV
1000
M
POINT I
CANAL
2X2X1
500 M
250
M
POINT
III
POINT
II
CANAL 5X5X3
500 M
CANAL
8X5X3
18
Gambar 2. Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah di Distrik Padang Sugihan
Full Tema1.indb 15
24/10/2011 11:39:52
16
47 20
Gambar 4. Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah di Distrik Simpang Heran
Full Tema1.indb 16
24/10/2011 11:39:53
17
2x2x1 m
5x5x3 m
500 m
Full Tema1.indb 17
24/10/2011 11:39:57
18
36,5
29,5
47,5
28,5
13.0
II
51.0
30.0
49.0
30,5
17,5
III
29.0
41,5
59.0
24,5
14,5
IV
Muka air tanah yang paling tinggi yaitu 19,0 dibawah permukaan tanah terjadi
pada tanggal 16 April yaitu di titik I dan paling rendah yaitu 59,5 cm dibawah
permukaan tanah terjadi di titik IV pada tanggal 26 April. Karena muka air
tanah tinggi ada di titik I yaitu 19,0 maka diambil untuk analisis selanjutnya
adalah muka air tanah rendah yaitu 36,5 cm.
Pada saat dilakukan pengukuran muka air tanah , masih musim hujan. Semakin
tingginya intensitas hujan, muka air tanah semakin naik. Sehingga muka air
tanah perlu di kendalikan sesuai kebutuhan tanaman.
Fluktuasi muka air di downstream disebabkan terjadinya pasang surut di sungai
Blidang. Kondisi air tanah di lahan dipengaruhi oleh fluktuasi muka air disaluran.
Pada saat pasang, air akan merembes masuk ke dalam lahan secara lateral sehingga
ketinggian muka air tanah di lahan meningkat. Sebaliknya pada saat surut, air
di lahan akan kembali merembes ke downstream sehingga muka air tanah akan
turun.
Muka air tanah merupakan batas antara zona aerasi dan zona jenuh . Pada zona
aerasi, pori tanah berisi udara dan air, sedangkan pada zona jenuh seluruh pori terisi
air. Kedalaman muka air tanah dapat berubah setiap saat, terutama dipengaruhi
oleh curah hujan dan kodisi aliran sungai. Curah hujan yang lebat dan lama dapat
memberikan air yang banyak untuk pengisian air tanah. Terjadinya perbedaan
antara pengisian dan pengurangan kembali air tanah menyebabkan permukaannya
berfluktuasi.
Muka air tanah akan mempengaruhi kondisi drainase dan aerasi pada zona
perakaran. Muka air tanah yang dangkal dapat menekan pertumbuhan tanaman
karena menghambat udara tanah dan menurunkan volume udara di zona
perakaran, sedangkan muka air tanah yang dalam merangsang perakaran, namun
Full Tema1.indb 18
24/10/2011 11:39:57
19
akan menurunkan kadar air dan zona aerasi karena pori tanah akan lebih banyak
terisi udara.
Pada lahan rawa pasang surut, fluktuasi muka air tanah dipengaruhi oleh curah
hujan, suhu dan kondisi pasang surut air di saluran. Selain dapat mendukung
pertumbuhan tanaman, pengendalian muka air tanah pada kedalaman tertentu juga
dapat mencegah terjadinya kebakaran.. Menurut Soewarso, 2003; Arifjaya,N.M;
Kalsim,D.K.2003. Muka air tanah dengan kedalaman kurang dari 1 (satu) meter
dapat mencegah kebakaran.
Muka air tanah yang paling tinggi di titik I yaitu 19,0 dari permukaan tanah
karena titik I ini jaraknya (125 cm dan 250 cm) untuk jelasnya lihat sketsa
lokasi.. Pada musim hujan, muka air tanah banyak dipengaruhi oleh curah hujan
dan pasang surut air di saluran. Air hujan akan meningkatkan ketinggian muka air
tanah secara merata, sedangkan pasang surut air di saluran akan mempengaruhi
muka air tanah melalui rembesan lateral. Pada saat pasang, tekanan air dari saluran
lebih besar dibandingkan tekanan air di lahan, akibatnya air akan merembes masuk
kedalam lahan. Dengan tekanan yang sama besar dari kedua sisi dan adanya
pengisian air tanah dari air hujan, maka akan menyebabkan muka air tanah di
lahan naik. Semakin ketengah, muka air tanah akan semakin naik dan mencapai
posisi tertinggi pada titik yang berada tepat di tengah lahan dan saluran.
Sebaliknya, pada saat air di saluran pembuang surut, tekanan air akan berbalik
dan air di lahan akan merembes menuju saluran, akibatnya akan terjadi penurunan
muka air tanah di lahan. Penurunan muka air tanah pada lahan yang letaknya
dekat dengan saluran akan lebih cepat dibandingkan dengan muka air tanah pada
lahan yang letaknya jauh dari saluran, sehingga muka air tanah di bagian tengah
akan tetap lebih tingi dibandingkan dengan lahan yang dekat saluran. Demikian
seterusnya, aliran air akan berbalik lagi ke lahan ketika air disaluran pembuang
kembali pasang.
Pada musim kemarau, muka air tanah lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut
air di saluran. Lahan relatif kering dan muka air pasang di saluran tidak setinggi
pada waktu musim hujan. Terjadinya penguapan melalui proses evapotranspirasi,
menyebabkan muka air tanah pada lahan yang terletaak di bagian tengah lebih rendah
dibandngkan dengan lahan yang terletak di tepi saluran, sebab muka air tanah yang
berada dekat dengan saluran masih dipengaruhi oleh air pasang di saluran.
Pada saat pasang, tekanan air dari saluran pembuang lebih besar dibandingkan
tekanan air dilahan, akibatnya air akan merembes masuk ke dalam lahan. Tetapi
karena waktu air pasang tidak berlagsung lama dan volume air disaluran pembuang
juga tidak terlalu besar, maka sebelum air yang merembes ke lahan mencapai
optimum, air di saluran telah kembali surut. Akibatnya, air di lahan akan berbalik
kembali ke saluran pembuang, sehingga muka air tanah pada lahan yang terletak
di tengah tetap lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang terletak di tepi
saluran. Demikian seterusnya, proses ini akan berulang ketika terjadi pasang dan
surut di saluran. Flutuasi muka air tanah Distrik Padang Sugihan disajikan pada
Gambar 7.
Full Tema1.indb 19
24/10/2011 11:39:57
20
16-Apr
20
17-Apr
10
0
I
II
III
IV
Titik pengamatan
5x5x3 m
2x2x1 m
2x2x1 m
500 m
6x5x3 m
Full Tema1.indb 20
24/10/2011 11:39:57
21
Di Distrik Simpang Heran tanggal 6 Mei muka air tanah tinggi terjadi di titik
V yaitu 13 cm, kemudian berturut-turut lebih besar yaitu di titik III 16 cm, titik
II 17 cm , titik I 23 cm, titik IV 37 cm dan titik VI 71 cm di bawah permukaan
tanah. Pada tanggal 7 Mei muka air tanah tinggi terjadi di titik VI yaitu 14 cm, ,
kemudian berturut-turut lebih besar yaitu di titik II 15 cm, titik V 16 cm , titik III
20,5 cm, titik I 26 cm dan titik IV 29 cm di bawah permukaan tanah..
Muka air tanah yang paling dangkal/tinggi yaitu 13,0 dibawah permukaan tanah
terjadi pada tanggal 6 Mei yaitu di titik V dan karena di titik ini muka air tanah
paling tinggi maka diambil untuk analisa selanjutnya/water balance water tabel
rendah yaitu 16 cm. Pengukuran muka air tanah yang dilakukan pada bulan
Mei ini, masih musim hujan. Semakin tingginya intensitas hujan, muka air tanah
semakin naik.
Muka air tanah merupakan batas antara zona aerasi dan zona jenuh . Pada zona
aerasi, pori tanah berisi udara dan air, sedangkan pada zona jenuh seluruh pori terisi
air. Kedalaman muka air tanah dapat berubah setiap saat, terutama dipengaruhi
oleh curah hujan dan kodisi aliran sungai. Curah hujan yang lebat dan lama dapat
memberikan air yang banyak untuk pengisian air tanah. Terjadinya perbedaan
antara pengisian dan pengurangan kembali air tanah menyebabkan permukaannya
berfluktuasi. Menurut Soewarso, 2003; Arifjaya,N.M; Kalsim,D.K.2003. Muka air
tanah dengan kedalaman kurang dari 1 (satu) meter dapat mencegah kebakaran.
Muka air tanah akan mempengaruhi kondisi drainase dan aerasi pada zona
perakaran. Muka air tanah yang dangkal dapat menekan pertumbuhan tanaman
karena menghambat udara tanah dan menurunkan volume udara di zona perakaran,
Full Tema1.indb 21
24/10/2011 11:39:57
22
sedangkan muka air tanah yang dalam merangsang perakaran, namun akan
menurunkan kadar air dan zona aerasi karena pori tanah akan lebih banyak terisi
udara.
Pada lahan rawa pasang surut, fluktuasi muka air tanah dipengaruhi oleh curah hujan, suhu dan kondisi pasang surut air di saluran. Selain dapat mendukung
pertum
buhan tanaman, pengendalian muka air tanah pada kedalaman tertentu juga dapat
mencegah terjadinya kebakaran.. Pola fluktuasi muka air tanah di Distrik Padang
Sugihan dan Simpang Heran relatif sama, namun kedalaman muka air tanah pada
kedua lokasi tersebut berbeda-beda sesuai dengan topografi lahan masing-masing.
Tinggi muka air di Distrik Simpang Heran lebih tinggi dibandingkan dengan Padang Sugihan yaitu 13 cm sedangkan Distrik Padang Sugihan 19 cm., karena Simpang Padang Sugihan memiliki topografi lahan yang rendah. Sedangkan Simpang
Heran yang topografi lahannya rendah, muka air tanahnya relatif tinggi dan genangan yang terjadi di lahan tinggi serta lama karena marin clay lama menurunkan
air. Itulah sebabnya di lahan perlu dibuatkan kanal tersier setiap jarak 8 m.
40
07-Mei
20
0
I
II
III
IV
VI
Titik pengamatan
Full Tema1.indb 22
24/10/2011 11:39:57
23
Full Tema1.indb 23
24/10/2011 11:39:58
24
Harto BR, Sri; Sudjarwadi. 1993. Model Hidrologi PAU Ilmu Teknik UGM Yogyakarta
Harsono, Edie. 2009. Disertasi. Hubungan Type aliran dengan Produktivitas Tanaman
Pangan. Universitas Tarumanegara. Jakarta.
Indoforest. Prospek Reformasi kebijakan kehutanan. www.google.com
Kondoatie, Robert. 2006. Jaringan Reklamasi Rawa.Makalah Seminar Nasional Peran
dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional. Jakarta.
Loebis J, Soewarno, Suprihadi,1993. Hidrologi Sungai. Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.
Maas, Azwar. 2003. Peluang dan Konsekuensi Pemanfaatan Lahan Rawa Pada Masa
Mendatang. Orasi Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada
Notohadiprawiro, T. 2006. Sarian Kumpulan Lahan Basah. www. Google.com..
Notohanagoro, Tejoyuwono. Perspektip Pengembangan Lahan Basah, Maslahat dan
Mudarat. www.google.com
Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan kendala. Kanisius.
Yogyakarta.
Noor, Muhammad. 2006. Lahan Rawa , Sifat dan Pengelolaan Tanah bermasalah Sulfat
Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ngudiantoro, 2008. Kajian Penduga Muka air Tanah untuk mendukung Pengelolaan air
pada pertanian Lahan rawa pasang Surut; kasus di sumatera selatan. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor.
PT. Bina Silva.2004. Laporan Analisis Dampak Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera
Selatan.
PT. Harimada Bimaraksa. Engineering & Management Consultan. 2000. Laporan
Pendukung Survey Hidrometri/Hidrologi periode Musim Basah (Wet Season)
Rawa Pasang Surut Sungai Lumpur Kabupaten OKI.Sumatera Selatan. Bandung.
Soewarso, 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan
menggunakan Model Prediksi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Sosrodarsono, S; Takeda, K. 1983, Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta. Hal 200 203.
Triatmojo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset Yogyakarta.Hal 107-127.
Triatmojo, B. 1996. Hidrolika I & II. Beta Offset Yogyakarta.
Full Tema1.indb 24
24/10/2011 11:39:58
INTISARI
Bendungan di Indonesia pada umumnya mengalami kemerosotan kapasitas
tampungan akibat sedimentasi rata-rata lebih besar dari rata-rata dunia 1%. Tidak
semua bendungan di Indonesia dilengkapi pintu penguras (penggelontor) sedimen.
Belum ada acuan yang baku elevasi muka air yang paling efektif dalam pelaksanaan
flushing (penggelontoran) sedimen.
Penelitian ini memfokuskan pada penentuan tinggi muka air efektif pada
penggelontoran sedimen aliran tertekan di waduk berdasar uji hidrolik phisik
(Model Test) di laboratorium. Tinggi muka air efektif adalah elevasi muka air
pada penggelontoran sedimen di waduk yang menghasilkan konsentrasi gerusan
sedimen yang paling besar. Penelitian dilaksanakan dengan mengatur muka air
awal rencana ,tanpa ada debit yang masuk waduk, kemudian diturunkan perlahanlahan dengan mengoperasikan pintu pembilas. Pintu pembilas dioperasikan dengan
bukaan a=1.67 m (aliran tertekan).Pelaksanaan penggelontoran dilakukan berulang
setiap variasi tebal sedimen d=1.00, 1.50, 2.00, 2.50 dan 3.00 m . Setiap muka air
turun satu meter, diamati :tinggi muka air, konsentrasi sedimen,debit yang keluar
waduk, kecepatan aliran di hulu pintu.Dari penelitian ini diharapkan akan didapat
tinggi muka air yang paling efektif pada pelaksanaan penggelontoran sedimen
aliran tertekan di waduk. Dengan demikian akan dapat membantu sebagai acuan
penggelontoran sedimen di waduk guna mengurangi kemerosotan kapasitas waduk
akibat sedimentasi, atau dengan kata lain dapat memperpanjang umur rencana
waduk.
Kata kunci: tinggi muka air efektif, penggelontoran sedimen, aliran tertekan,
uji hidraulik fisik.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bendungan yang membentuk waduk /reservoir berguna untuk berbagai macam
tujuan, antara lain: pengendali banjir, PLTA, irigasi, persediaan air baku, dan lainlain. Pembendungan sungai akan menurunkan kecepatan aliran, dan akibatnya
sedimen yang terbawa aliran sungai akan mengendap, dan mengurangi kapasitas
waduk.
25
Full Tema1.indb 25
24/10/2011 11:39:58
26
Full Tema1.indb 26
24/10/2011 11:39:58
27
Full Tema1.indb 27
24/10/2011 11:39:58
28
Full Tema1.indb 28
24/10/2011 11:39:59
Full Tema1.indb 29
Seri.2
Areal hulu Intake
Tahap.2 (ada endapan)
Qin=0 m3/dt, muka
air turun setiap 1 m
Pola Aliran
Pola Aliran.
Seri.1
Variasi Pengujian
Membandingkan Kurva Debit di 1.Pengaliran debit dari Q=50,75,100 smp1400 m3 /det , pintu
model dan eksisting (kalibrasi)
dibuka penuh
2.Pengaliran debit seperti no.1, dengan bukaan pintu a=0.50,
1.00, 1.50, 2.00, 2.50, 3.00m, dengan muka air maksimum +140m
Jenis Observasi
Seri.2
Areal hulu Intake
Tahap.1 (modifikasi sayap)
Lokasi Observasi
Seri.0
Seri/
Tahap
29
24/10/2011 11:39:59
30
Full Tema1.indb 30
24/10/2011 11:39:59
31
1.67Buka
m , tebal
sedimen:
1.00m 1.00
(+127.00)
Tabel.2 Pintu
TabelBuka
2. Pintu
1.67 m,
tebal sedimen:
m (+127.00)
Muka Air
hulu
awal
: +136.30,
turun tiap
1m
Muka
Air
Hulu
AwalL +136.30,
turun
tiap 1 m
No
T ma
Tinggi ma T. Mod. Qof Mod V. mod C Sed
u/s
(l/dt) (cm/dt) (mg/lt)
Mod (cm) (menit)
1
136.30
0
0.00
0.00
0.000
13.95
2
136.00
2
4.74
2.44
0.320
13.50
3
135.00
4
4.65
3.39
0.360
12.00
4
134.00
6
4.41
4.06
8.400
10.50
5
133.00
8
4.19
6.53
1.560
9.00
6
132.00
11
3.88
9.30
0.680
7.50
7
131.00
14
3.49
8.20
0.440
6.00
8
130.00
16
2.95
7.50
0.440
4.50
9
129.00
17
2.17
6.41
0.320
3.00
10
128.00
18
0.93
4.24
0.320
1.50
11
127.00
19
0.00
2.93
0.000
0.00
Full Tema1.indb 31
Qs
(mg/dt)
0.0000
1.5168
1.6740
37.0440
6.5364
2.6384
1.5356
1.2980
0.6944
0.2976
0.0000
24/10/2011 11:39:59
Full Tema1.indb 32
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
No
0.000
2.526
5.196
12.154
70.752
44.454
16.510
9.828
3.816
0.760
0.000
Qs
(mg/dt)
0.000
3.978
4.607
5.172
45.814
19.760
16.048
8.024
3.024
1.201
0.000
Qs
(mg/dt)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
No
C Sed
(mg/lt)
0.000
0.680
1.400
15.920
32.320
24.520
19.280
3.200
1.440
1.240
1.040
0.000
3.012
6.132
66.705
128.957
89.008
60.732
8.480
2.189
0.899
0.000
Qs
(mg/dt)
0.000
1.085
2.999
3.858
74.765
36.938
10.470
5.004
1.786
0.638
0.000
Qs
(mg/dt)
32
24/10/2011 11:40:00
33
Full Tema1.indb 33
24/10/2011 11:40:01
34
Pembahasan
Bentuk sayap hulu yang dimodifikasi dari sudut 90 menjadi sudut 45 mempunyai
pengaruh terhadap pola aliran. Semula terlihat ada aliran mati di hulu pintu kanankiri, yang akan menyebabkan adanya endapan di daerah tersebut (Gambar,7.). Dengan dimodifikasi maka aliran lancar, dan tanpa ada endapan di daerah tersebut lihat
Gambar.8.
Debit yang keluar, mendadak besar disaat awal pembukaan pintu (Gambar.9). Setelah itu, menurun perlahan dan kemudian menurun agak lebih cepat pada sekitar
elevasi muka air dibawah +130.00 m. Pada elevasi muka air yang sama endapan
yang makin tebal, debit yang keluar makin kecil.
Kecepatan aliran diukur di 100 m hulu pintu, di ukur setiap elevasi muka air turun
satu meter dimulai pada elevasi +136.00 m. Diawal pembukaan pintu kecepatan
meningkat cepat, dan agak berkurang peningkatannya antara elevasi 136.00 saqmpai +133.00 m. Kecepatan meningkat tajam lagi setelah elevasi 133.00 dan rata-rata
kecepatan maksimum pada elevasi +132.00 m. Setelah itu menurun perlahan sampai elevasi 129.00, dan menurun cepat sampai habis.
Konsentrasi sedimen maksimum yang keluar tergelontor pada variasi endapan sedimen 1.00m, terjadi pada elevasi muka air 134.00 m, pada endapan sedimen 1.50
m konsentrasi maksimum terjadi pada elevasi muka air 133.00m. Endapan 2.00 dan
2.50 m konsentrasi tinggi pada elevasi antara 133.00-132.00m.Sedangkan untuk
endapan 3.00 m, konsentrasi sedimen tinggi terjadi antara elevasi muka air 133.00
-131.00m. Dari Gambar.11 menunjukkan, endapan makin tebal, konsentrasi gerusan maksimum terjadi pada elevasi muka air makin menurun (rendah) dan lebih
lama.
Gambar.14 menunjukkan konsentrasi sedimen maksimum lebih awal dari puncak
kecepatan, dan konsentrasi menurun sampai minimum terjadi disaat kecepatan masih cukup tinggi. Hal ini sangat dimungkinkan karena diamater sedimen yang tersisa lebih besar dari diameter sedimen yang mampu tergerus oleh kecepatan yang
terjadi.
Full Tema1.indb 34
24/10/2011 11:40:01
35
Saran
1. Perlu di adakan penelitian lagi dengan pengamatan pada penurunan muka air
yang lebih rapat, misalnya setiap setengah meter, agar dicapai hasil yang lebih
tajam akurasinya.
2. Pelaksanaan penggelontoran sedimen sebaiknya pada elevasi muka air yang
tepat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada rekan rekan dosen yang telah bersedia
berdiskusi dan membantu referensi, serta rekan-rekan asisten dan laboran Balai
Sungai Surakarta yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitiaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson E., 1996, The Feasibility of Flushing Sediment from Reservoir, TDR
Project R 5839, Report OD 137, November 1996, HR Wallingford,UK
Fan,J., and Jiang,R, 1980, On Methods For The Desiltation of Reservoir,
International Seminar of Expert on Reservoir Desiltation, Tunis.
Guozhen,H., Zhengben,H.,Geoshi,W.,1987, Regulation of Streamflow and
Sediment Region by Sanmenxia Reservoir and Palticularities of Scouring
and Deposition, Selected Paper of Research on The Yellow River5 and
Present Practice , The Editors: The Yellow River Conservacy Committee.
Morris G.L, Fan J, 1998, Reservoir Sedimentation Handbook Design and
Management of Dam,Reservoir, and Watersheds for Sustainable Use,
McGrow-Hill Companies,Inc., New York.
Nippon Koei Co. LTD., 2009, Detail Design of Structural Counter Measures for
Sedimentation On Wonogiri Reservoir, Volume I : Design Report, BBWS
Bengawan Solo
Scheuerlein Helmut,1993, Estimation of Flushing Efficiency in Silted Reservoir,
Proceeding of The International Conference on Hydro-Science an
Engineering, Wasington,DC,June 7-11,1993
Xia,Z. and Zhang,Q, 1980, Reservoir Sedimentation, International Symposium
on River Sdementation, P.D(I) 1-13, Chinese Society oh Hydraulic
Engineering, Bejing, Peoples Republic of China.
Yang Chih Ted, 1996 Sediment Transport Theory and Practice, McGrawHill,Singapore.
Full Tema1.indb 35
24/10/2011 11:40:01
Intisari
Informasi mengenai ketersediaan air berperan penting dalam pengelolaan sumber
daya air. Kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya informasi mengenai
ketersediaan air di wilayah sungai yang berbentuk kepulauan masih sangat kurang.
Hal ini disebabkan minimnya data pengamatan dan jumlah pos duga air di wilayah
sungai tersebut.
Penelitian ini menyusun inventarisasi pos duga air yang berada di wilayah sungai
kepulauan, dan menghitung potensi ketersediaan air berdasarkan seluruh data
pengamatan yang diperoleh dari pos duga air yang ada.
Hasil penelitian ini berupa pangkalan data sederhana dan dapat dimutakhirkan, yang
memuat informasi pos duga air, data debit aliran sungai, dan potensi ketersediaan
air. Penelitian ini juga menghasilkan berbagai peta ketersediaan air dalam bentuk
peta tematik ketersediaan air di pos duga air, dan di wilayah sungai. Hasil-hasil ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi mengenai gambaran kondisi ketersediaan
air di wilayah sungai yang berbentuk kepulauan di Indonesia.
Kata kunci: ketersediaan air, kepulauan, pos duga air
PENDAHULUAN
Informasi mengenai ketersediaan air di wilayah sungai sangat penting untuk
perencanaan pengelolaan sumber daya air. Data dan informasi ketersediaan air di
wilayah sungai yang berbentuk kepulauan pada umumnya masih sangat kurang,
disebabkan oleh masih belum adanya pos duga air, dan minimnya data pengamatan.
Studi Nippon Koei (1993) menyajikan ketersediaan air untuk 90 Satuan Wilayah
Sungai (SWS) di Indonesia, termasuk juga wilayah sungai kepulauan, akan tetapi
dengan pendekatan rumus regresi dari curah hujan.
Makalah ini menyajikan kondisi keberadaan pos duga air pada wilayah sungai
yang berbentuk kepulauan di Indonesia, menghitung jumlah air yang tersedia pada
pos duga air tersebut, dan di wilayah sungai yang bersangkutan, dan menyajikan
informasi ketersediaan air dalam bentuk yang informatif untuk mendukung
perencanaan pengelolaan sumber daya air.
36
Full Tema1.indb 36
24/10/2011 11:40:01
37
METODOLOGI
Ketersediaan air pada wilayah sungai dihitung berdasarkan data debit aliran sungai
harian yang diukur di pos duga air, dan dipublikasikan dalam Buku Publikasi Debit
Aliran Sungai di Indonesia oleh Badan Litbang Pekerjaan Umum dan Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air. Data debit di pos duga air ini diperiksa keabsahan
datanya, dan dilakukan perhitungan statistik rata-rata, debit andalan untuk Q80%
yang biasa digunakan untuk pertanian sebagaimana disarankan pada Pedoman
Kriteria Perencanaan Irigasi KP01 (Ditjen Pengairan, 1986) dan debit andalan
Q90% untuk pasokan air baku (Goodman, 1984), serta dan variasi bulanan dalam
setahun sebagaimana pada Puslitbang Pengairan dan Delft Hydraulics (1991).
Jika tidak terdapat pos duga air di Wilayah Sungai, maka perhitungan dilakukan
berdasarkan tinggi aliran wilayah sungai terdekat (Pusat Litbang Sumber Daya Air,
2007). Ketersediaan air dinyatakan dengan satuan mm/hari untuk tebal aliran, m3/
detik untuk aliran di sungai, dan juta m3/tahun untuk potensi tahunan.
HASIL
Penelitian ini dilaksanakan untuk kepulauan-kepulauan di Indonesia dengan
menggunakan data debit pos duga air (PDA) pada wilayah sungai kepulauan
tersebut. Jika tidak terdapat PDA didalamnya wilayah sungai tersebut, maka
perhitungan dilakukan berdasarkan tinggi aliran wilayah sungai terdekat. Tabel
berikut menyajikan daftar pulau dan dasar perhitungannya.
Tabel 1 Pos duga air di wilayah sungai kepulauan
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Full Tema1.indb 37
WS
WS. Madura
WS. Kep. Seribu
WS. Kep. Karimun
WS. Bali-Penida
WS. Nias
WS. Kep. Lingga - Singkep
WS. Batam - Bintan
WS. Bengkalis - Rupat
WS. P. Bangka
WS. P. Belitung
WS. P. Siberut Pagai Sipora
WS. Pulau Laut
WS. Sangihe Talaud
WS. Kep. Banggai
WS. P. Muna
WS. P. Buton
WS. Aesesa
WS. Benenain
WS. Bima - Dompu
WS. Flotim - Lembata - Alor
WS. Noel Mina
WS. Pulau Lombok
WS. Pulau Sumba
WS. Sumbawa
WS. Wae - Jamal
PDA
5 PDA
0 PDA
16 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
1 PDA
1 PDA
0 PDA
1 PDA
2 PDA
2 PDA
2 PDA
19 PDA
0 PDA
2 PDA
1 PDA
WS TERDEKAT
WS 6Ci
WS. Kampar
24/10/2011 11:40:01
38
NO
WS
PDA
26
27
28
29
30
31
32
0 PDA
2 PDA
3 PDA
2 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
WS TERDEKAT
WS. Halmahera Utara
Full Tema1.indb 38
24/10/2011 11:40:01
39
WS
WS. Karimun
WS. Madura
WS. Nias
5
6
Catchment
Area
(km2)
2.31
Ratarata
0.65
Debit (m3/det)
Andalan Andalan
80%
90%
0.37
0.29
10.94
5.12
2.92
20
12
39.25
3.13
1.35
1.11
1.42
0.62
0.50
45
19
16
4483.56
2.32
1.03
0.80
120.38
53.36
41.43
3,796
1,683
1,306
4134.67
2.90
1.88
1.61
138.73
89.78
77.19
4375.07
2831.43
2434.20
2189.37
3.83
2.45
1.89
97.03
62.01
47.79
3059.91
1955.59
1507.26
2459.78
5.04
3.70
3.27
143.54
105.23
93.23
4526.77
3318.54
2940.24
6386.25
3.71
2.94
2.68
274.13
217.61
197.74
8644.84
6862.57
6235.97
WS. P. Bangka
6043.46
6.19
3.72
2.94
432.83
260.25
205.31
13649.65
8207.20
6474.62
11840.05
4.61
2.94
2.41
631.70
402.95
329.83
19921.22
12707.40
10401.64
10 WS. P. Belitung
4664.68
4.61
2.94
2.41
248.87
158.75
129.95
7848.46
5006.39
4097.98
2371.77
6.59
4.97
4.20
180.94
136.47
115.43
5,706
4,304
3,640
3164.66
6.81
4.45
3.74
249.36
163.07
136.82
7,864
5,143
4,315
13 WS. P. Buton
5244.28
3.51
3.15
3.00
212.79
191.39
181.96
6,711
6,036
5,738
14 WS. P. Muna
3898.31
0.33
0.28
0.25
14.80
12.48
11.15
467
394
351
717.64
2.26
1.44
1.20
18.79
11.95
9.97
592
377
314
16 WS. Bali-Penida
5752.04
2.96
1.82
1.52
197.38
121.40
101.27
6,225
3,829
3,194
17 WS. Aesesa
7840.60
2.87
2.24
2.12
260.28
203.66
192.39
8,208
6,423
6,067
18 WS. Benenain
6379.13
0.58
0.34
0.31
42.99
25.25
22.61
1,356
796
713
6783.70
0.44
0.36
0.34
34.40
28.56
26.64
1,085
901
840
6065.50
2.33
1.77
1.70
163.49
124.03
119.16
5,156
3,911
3,758
9709.60
1.43
0.87
0.74
160.42
98.18
82.93
5,059
3,096
2,615
4483.60
1.67
0.86
0.69
86.42
44.64
35.67
2,725
1,408
1,125
11082.59
1.79
1.43
1.34
229.01
183.65
171.77
7,222
5,792
5,417
24 WS. Sumbawa
8561.60
1.64
1.13
0.92
162.84
112.06
91.17
5,135
3,534
2,875
6312.30
3.23
2.58
2.41
236.21
188.46
176.33
7,449
5,943
5,561
15864.55
4.94
3.88
3.52
907.66
712.29
647.11
28,624
22,463
20,407
8208.03
4.94
3.88
3.52
469.61
368.53
334.80
14,810
11,622
10,558
19254.84
7.06
5.04
4.37
1573.62
1122.96
973.23
49,626
35,414
30,692
8564.18
2.65
2.12
1.95
262.31
210.13
193.48
8,272
6,627
6,102
9405.28
7.06
5.04
4.37
768.65
548.52
475.39
24,240
17,298
14,992
19254.84
4.14
3.26
2.97
922.18
727.06
662.55
29,082
22,929
20,894
8564.18
7.06
5.04
4.37
699.91
499.47
432.87
22,072
15,751
13,651
Hal yang menarik adalah bahwa perbedaan debit aliran sungai rata-rata, dengan debit
andalan Q80% dan debit andalan Q90% tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa variasi debit aliran sungai pada suatu bulan memiliki variasi yang rendah,
atau dengan lain perkataan, akan dapat diperkirakan dengan baik.
Disadari bahwa debit aliran sungai tidak menggambarkan secara lengkap potensi
ketersediaan air di kepulauan, sebab banyak pulau dengan sungai yang hanya
mengalir pada musim hujan, dan biasa ditampung dalam bentuk embung dan
waduk muara. Untuk itu perlu dirumuskan indikator lain untuk menyatakan potensi
ketersediaan air di kepulauan secara lebih komprehensif dan terpadu.
Full Tema1.indb 39
24/10/2011 11:40:02
40
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Rata-rata
Jul
Q80
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Nov
Dec
Q90
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Rata-rata
Jun
Jul
Q80
Aug
Sep
Oct
Q90
Full Tema1.indb 40
24/10/2011 11:40:02
41
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Rata-rata
Jul
Q80
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Q90
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Rata-rata
Jun
Jul
Q80
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Q90
Full Tema1.indb 41
24/10/2011 11:40:03
42
Full Tema1.indb 42
24/10/2011 11:40:03
43
Full Tema1.indb 43
24/10/2011 11:40:03
2)
PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur, Ahmad Yani 152
A Surabaya, Telp 031-8299585, email :hadimoeljanto@ymail.com
PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur, Ahmad Yani 152
A Surabaya, Telp 031-8299585, email :ainur.ri@gmail.com
Intisari
WS Kepulauan Madura, secara administratif terletak berada di Kepulauan madura
yang merupakan bagian dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan terdiri dari 4
Kabupaten yaitu kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep yang
memiliki luas wilayah 4.492 km2 dan berada pada posisi geografis antara 112
116 BT dan 4 7 LS. Adanya peningkatan jumlah penduduk pada 4 kabupaten tersebut berarti pula terjadi peningkatan kebutuhan hidup, dan inilah yang
menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan hutan. Ketika sistem hutan
dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman, fungsi hidrologis hutan yaitu
sebagai daerah tangkapan hujan menurun seiring dengan adanya perubahan sifat
tanah. Hal ini akan menimbulkan banjir, tanah longsor, erosi dan kekeringan serta
kekurangan air bersih
Permasalahan di atas dapat diatasi dengan melakukan upaya konservasi dan
penghematan air sebagai sumber utama kehidupan dan dirancang dengan
menggunakan pendekatan yang menyeluruh dan terpadu dan harus didukung oleh
komitmen pemerintah dan kesadaran seluruh elemen masyarakat. Tujuannya untuk
mengoptimalkan pemanfaatan fungsi dan sumber air di alam serta keberlanjutannya
untuk memenuhi kebutuhan manusia (air minum, rumah tangga, pertanian,
lingkungan, industri dan sebagainya) untuk saat ini dan di masa datang.
Maksud dari penulisan ini, untuk melakukan identifikasi kondisi lahan untuk
mengetahui permasalahan yang terjadi di WS Kepulauan Madura dengan menyusun
perencanaan (konsep) konservasi SDA di WS Kepulauan Madura baik dengan cara
sipil teknis, vegetasi (reboisasi) dan sosial ekonomi (pemberdayaan masyarakat)
dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga dan mencegah erosi
dan longsor, pelestarian sumberdaya air . Upaya konservasi air itu sendiri terdiri
atas tiga unsur, yakni upaya konservasi SDA dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain 1. Struktur dan non struktur, 2. Pemanfaatan baik dalam penggunaan
seefisien mungkin (reduce) dan pengelolaan kembali (recycling) 3. Menahan air
selama mungkin didaratan untuk memperbesar infiltasi air tanah, menghidupkan
sumber air, dan mempertahankan base flow sungai yang bermanfaat pada musim
kemarau.
Kata kunci: Konservasi SDA WS; Optimalisasi potensi SDA.
44
Full Tema1.indb 44
24/10/2011 11:40:03
45
Pendahuluan
Latar Belakang
Sejak terbitnya UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) pada Pasal
1 Butir 18 bahwa pengertian Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara
keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar
senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang,
Secara geologis, WS Kepulauan Madura terdiri atas berbagai macam batuan. Jika
di runtut dari arah Kabupaten Bangkalan hingga Kabupaten Sumenep terdiri atas
bermacam macam batuan, yaitu alluvium, pleistosin fase sedimen, pleiosin fase
gamping dan meiosin fase sedimen, Holosen Alluvium, Pliosen Limestone Facies,
Miosen Sendimentary Facies, Cleiston Clay Sedimentary.
Sungai-sungainya relatif kecil, puncak terjauh jaraknya kurang dari 18 km dari
pantai dengan pola aliran yang paralel, membentuk tata air yang khas. Perubahan
kelerengan sungai dari curam menjadi landai menghasilkan aliran berolak yang
menyebabkan banjir pada dataran pantai seperti yang terjadi pada kali Kamoning
Kabupaten Sampang. Disamping banjir, sedimentasi juga menjadi masalah, terutama
dengan adanya penggundulan hutan dan pola tanam yang tidak sesuai sehingga
menyebabkan timbulnya sedimentasi pada Waduk Klampis .
Pengelolaan sumber daya air pada WS Kepulauan Madura mendesak untuk
ditangani, seperti menurunnya daya dukung dan pelayanannya kian dirasakan yang
terjadi pada akhir akhir ini . Sebetulnya air yang disediakan gratis oleh alam sudah
memiliki daur ulang dan siklus secara alami, serta sudah memiliki resistensi sendiri
terhadap pencemaran, apabila daya dukung/kandungan polutan tidak melebihi batas
ambang yang diperkenankan, khususnya pada musim kemarau karena debit air
mengecil dan air merupakan benda terbarukan (renewable) volumenya mendekati
tetap setiap tahunnya, namun kebutuhan akan air meningkat dengan adanya
pertambahan penduduk dan terutama aktivitasnya dalam menunjang kehidupan
telah mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan ekosistem yang terdapat di
alam. Seperti amanat UU No.7 Tahun 2004, tertulis dengan jelas ada 3 komponen
yang harus kita perhatikan dan cermati secara mendalam, agar air benar-benar
bermanfaat yang berkelanjutan (sustainable) untuk lintas generasi, lintas waktu
yang diikuti yang salah satunya konservasi sumber daya air.
Ruang Lingkup.
Lingkup kegiatan menelaah upaya Konservasi Sumber Daya Air pada WS
Kepulauan Madura sesuai UUD SDA No.7 Tahun 2004 dengan membahas kegiatan
perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air dan pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air guna mengatasi degradasi DAS, seperti
terjadinya banjir dan tanah longsor, kegagalan panen, kekurangan air bersih atau
ketersediaan air bersih yang semakin sedikit, serta ancaman kekeringan. Dampak
yang perlu mendapat perhatian dari kerusakan lingkungan adalah terjadinya defisit
dan kelangkaan air. Dengan kebutuhan air yang meningkat, tekanan (ekstraksi yang
berlebihan) terhadap sumber air, pengawahutanan (deforestasi), degradasi lahan,
Full Tema1.indb 45
24/10/2011 11:40:04
46
pencemaran terhadap air dan sumber air akibat tidak adanya upaya konservasi
Sumber Daya Air yang serius dan memadai.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan adalah untuk meningkatkan kegiatan konservasi SDA
pada WS Kepulauan Madura dengan memanfaatkan Sumber Daya Air secara
berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan
masyarakat secara adil. Prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah
serta keseimbangan antara upaya konservasi sumber daya air di daerah hulu dan
pendayagunaan sumber daya air di daerah hilir, merencanakan, serta melibatkan
peran serta masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.
Sedang Tujuan untuk mengoptimalkan keberadaan sumber daya air, daya dukung
sumber daya air, serta daya tampung air dan fungsi sumber daya air yang terkait
dengan pengelolaan konservasi SDA di WS Kepulauan Madura.
Metodologi
Metodologi dengan melakukan pengamatan lapangan tentang kegiatan Konservasi
SDA di WS Kepulauan Madura serta melakukan analisa dengan kegiatan meliputi:
1. Pengumpulan data yang terkait dengan kegiatan, 2. Pengkajian lapangan, dan
pengukuran konservasi SDA, 3. Wawancara dengan berbagai pihak terkait untuk
permasalahan konservasi SDA , 4. Usulan langkah untuk meningkatkan Konsevasi
SDA pada WS Kepulauan Madura .
Hasil Kegiatan Dan Pembahasan.
Dalam pengumpulan data pada WS Kepulauan Madura terdapat data data antara
lain :
1) Daerah Rawan Kekeringan
Pada WS Kepulauan Madura terdapat daerah rawan kekeringan seperti pada
Kabupaten Bangkalan. Lokasi sering terjadi kekeringan seperti Ds. Krajan,
Kecamatan Blegah, Ds. Marparan dan Ds. Disanah, Kecamatan Sreseh. Ds.
Ragung dan Ds. Plakaran, Kecamatan Torjun, Ds. Bringin, Ds. Batoarang dan
Ds. Somber, Kecamatan Tambelangan. Ds. Pandan, Kecamatan Omben, Kab.
Sampang Ds. Asemnunggal, Kecamatan Jrengik, Ds. Marparan dan Desa Disanah, Kecamatan Sreseh, Ds. Ragung dan Desa Plakaran, Kecamatan Torjun,
Ds. Bringin, Ds. Batoarang dan Ds. Somber, Kecamatan Tambelangan, Ds.
Pandan, Kecamatan Omben Kab Sumenep Desa Nambakor dan Desa Langsar
Kecamatan Saronggi, Desa Gondang Timur Kecamatan Gayam.
2) Daerah Rawan Banjir.
Ada beberapa DAS yang sering mengalami kebanjiran hampir setiap tahunnya seperti Kabupaten Bangkalan : DAS Pangarengan / DAS.Blegah, DAS
Asemtanto, DAS Brambang, DAS Telang, DAS Gulung, Kabupaten Sampang:
DAS Sampang / Kemuning, DAS Panyiburan, Kabupaten Pamekasan: DAS
Kloang, DAS. Semajid Kabupaten Sumenep: DAS Anjuk, DAS Sarokah, DAS
Sokrah
Full Tema1.indb 46
24/10/2011 11:40:04
47
3) Kualitas air
Dalam pengamatan kualitas air pada WS Kepulauan Madura terdapat lokasi
Pengamatan seperti dibawah ini :
Tabel 1. Lokasi Pengamatan
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
KODE
STASIUN
KSJ 1
KSJ 2
KSJ 3
K.Klg 1
K.Klg 2
K.Klg 3
KKM 1
KKM 2
KKLP1
KKNY 1
KBL 1
KBL 2
K.sbr.P 1
KBA 1
KBA 2
SUNGAI
Sungai Semajid
Sungai Semajid
Sungai Semajid
Sungai Kloang
Sungai Kloang
Sungai Kloang
Sungai Kemuning
Sungai Kemuning
Sungai Klampis
Sungai Panyiburan
Sungai Blega
Sungai Blega
Sungai Sumber Payung
Sungai Bangkalan
Sungai Bangkalan
KABUPATEN
Pamekasan
Pamekasan
Pamekasan
Sumenep
Sumenep
Sumenep
Sampang
Sampang
Sampang
Sampang
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan
Dari analisis data, suhu udara maksimum adalah 330C sedangkan temperature minimum adalah 230C, pH maksimum adalah 8,39 sedangkan pH minimum adalah 7,00. DO maksimum adalah 8,71 mg/L sedangkan DO minimum
adalah 4,6 mg/L, BOD maksimum adalah 9,00 mg/L sedangkan BOD minimum adalah 3,2 mg/L, COD maksimum adalah 18,00 mg/L sedangkan COD
minimum adalah 7,00 mg/L. TTS maksimum adalah 479 mg/L sedangkan TTS
minimum adalah 2 mg/L, DHL maksimum adalah 796 umhos/cm sedangkan
DHL minimum adalah 389 umhos/cm.
4) Kawasan Lindung
Permasalahan kawasan lindung sumber-sumber air khususnya dan DAS di 4
(empat) Kabupaten di Madura, yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekaan dan Kabupaten Sumenep, antara lain:
a. Meningkatnya kepadatan bangunan di sekitarnya yang mengganggu aliran
air.
b. Pembuangan sampah khususnya di kawasan perkotaan.
c. Kondisi kualitas air yang jelek, warna kehitaman dan berbau.
d. Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) masih banyak dijumpai tanahtanah kritis yang menjadikan penyebab erosi sehingga menimbulkan pendangkalan
sumber-sumber air, akibatnya potensi debit sumber air kian hari semakin
kecil. Disamping itu dengan sumber air yang kondisinya dangkal sehingga
pada musim kemarau, sumber-sumber air tersebut mengalami penurunan
debit yang sangat signifikan.
Full Tema1.indb 47
24/10/2011 11:40:04
48
5) Irigasi
Pada Daerah Irigasi (DI) di Jawa Timur di WS Kepulauan Madura yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sebesar 9.381 Ha. Kondisi daerah irigasi
berdasarkan fungsi pelayanan jaringan irigasi dengan luas 1.000-3.000 Ha dan
lintas kabupaten (kondisi buruk 4.632 Ha dan Baik 5.018 Ha) dengan Daerah
Irigasi Potensial seperti DI Tunjun, DI Samiran, DI Umbul, DI Klampis dan
DI. Jepun .
Pengembangan sawah selain padi juga dilakukan penerapan sistem mina padi,
tumpang sari dan sebagainya
Full Tema1.indb 48
24/10/2011 11:40:04
49
Full Tema1.indb 49
24/10/2011 11:40:04
50
Full Tema1.indb 50
24/10/2011 11:40:04
51
pasitas reduksi banjir fasilitas ini bisa ditingkatkan. Jika tiga embung ini berfungsi dengan baik maka akan mereduksi puncak hidrograf banjir sebesar 60
m3/sekon. Kapasitas eksisting sungai dari dari hasil pengukuran long dan cross
section sungai dan dengan bantuan program Hecrass didapat 110,00 m3/sekon.
Untuk pengendalian debit banjir Q25= 240,36 m3/sekon, beberapa segmen Kali
Anjuk bisa dikatakan tidak mampu lagi, sehingga perlu adanya perbaikan / normalisasi alur sungai. Normalisasi sungai untuk mengendalikan debit banjir Q25
= 240,36 m3/sekon menghasilkan dimensi : lebar dasar sungai 10,00 meter,
miring tebing lereng 1 : 2 setinggi 6,00 meter.
3. Ada sembilan bendung di DAS Sokrah dan satu bendung di DAS Anjuk yang
bisa ditingkatkan kapasitasnya sehingga menjadi embung (long storage). Pada
DAS Sokrah, pengembangan kapasitas ini bisa menekan puncak hidrograf
banjir untuk DAS Anjuk sebesar 10,13 m3/sekon dan untuk DAS Sokrah sebesar 12,28 m3/sekon.
4. Pada DAS Sarokah, kapasitas eksisting sungai dari dari hasil pengukuran long
dan cross section sungai dan dengan bantuan program Hecrass didapat 16,00
m3/sekon. Untuk pengendalian debit banjir Q25= 392,15 m3/sekon, beberapa
segmen Kali Sarokah bisa dikatakan tidak mampu lagi, dengan pengelolaan
debit banjir di hulu, sehingga puncak banjir bisa ditekan menjadi 350 m3/sekon.
Hasil normalisasi secara optimum Kali Sarokah menghasilkan kapasitas maksimum sebesar 350 m3/sekon. Debit sebesar ini menghasilkan dimensi : lebar
dasar sungai 15,00 meter, miring tebing kereng 1:2 setinggi 12,00 meter.
KESIMPULAN DAN SARAN
1) Upaya konservasi SDA itu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
melalui ; 1. Struktur dan non struktur 2. Pemanfaatan baik dalam penggunaan
seefisien mungkin (reduce) dan pengelolaan kembali (recycling) 3. Menahan air
selama mungkin didaratan untuk memperbesar inflitasi air tanah, menghidupkan sumber air, dan mempertahankan base flow sungai yang bermanfaat pada
musim kemarau.
2) Pemberdayaan masyarakat melalui forum dialog untuk mendapatkan masukan
dan formula yang tepat guna menangani sumber daya air ke depan. Dengan
mengidentifikasi dan memetakan seluruh permasalahan aktual di lapangan terkait dengan sumber daya air dan lingkungan
3) Perlunya Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) yang menyentuh pokok permasalahan konservasi SDA harus kita dukung dan dilaksanakan bersama secara nyata, karena merupakan penyatuan tekad dan pembaruan komitmen dalam upaya keterpaduan penyelamatan air atas dasar prinsip
kemitraan.
4) Koordinasi antara instansi serta belum diberdayakannya masyarakat dan Stakeholders lainnya yang menyangkut masalah konservasi SDA menuju Konservasi SDA secara berkelanjutan.
Full Tema1.indb 51
24/10/2011 11:40:04
52
Full Tema1.indb 52
24/10/2011 11:40:04
Full Tema1.indb 53
KEBIJAKAN OPERASIONAL
STAKEHOLDERS
INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB
a.
Pemeliharaan
kelangsungan
fungsi resapan
air dan daerah
tangkapan air
baik air permukaan maupun air
tanah
Dilaksanakan
secara vegetatif
dan/atau sipil
teknis, pendekatan sosial,
ekonomi, dan
budaya
Mempertahankan luas
kawasan lindung 30 %
sesuai dengan UU no
26/2007
Meningkatkan luas
OP Bendungan yang
kawasan yang berfungsi ada di masing-masing
lindung, terutama sebagai kabupaten
kawasan resapan air
Mempertahankan luas
kawasan lindung 30 %
sesuai dengan UU no
26/2007
OP Bendungan yang
ada di masing-masing
kabupaten
Rehabilitasi dan
konservasi lahan kritis
(penghijauan) dengan
bantuan tanaman produktif bagi masyarakat untuk
penghijauan pada lahan
kritis
Mempertahankan luas
kawasan lindung 30 %
sesuai dengan UU no
26/2007
OP Bendungan yang
ada di masing-masing
kabupaten
53
24/10/2011 11:40:04
Full Tema1.indb 54
Pengisian air
Menjaga daerah resapan Operasional dan Pemepada sumber air air dan mempertahankan liharaan Waduk-waduk
daerah imbuhan air tanah yang ada di Wilayah
Kabupaten Sampang
yaitu Waduk Klampis
c.
Mengembangkan dan
merehabilitasi prasarana
dan sarana untuk konservasi SDA yang telah ada
Pengendalian
pemanfaatan
sumber air
b.
KEBIJAKAN OPERASIONAL
Pembangunan Waduk
Pembangunan Waduk
Kesepakatan Balai WS
Blega di Kali Blega Kab. Blega di Kali Blega Kab. Pulau Madura, Dinas
Bangkalan
Bangkalan
Pengairan Propinsi Jawa
Timur dan Dirjen Irigasi .
Rehabilitasi dan konser- Rehabilitasi dan konser- Kesepakatan Balai DAS
vasi daerah tangkapan air vasi daerah tangkapan air Brantas Stasiun Madura
di sepanjang perbukitan di sepanjang perbukitan dan Dinas Kehutanan
di Pulau Madura
di Pulau Madura
Pembangunan embung- Pembangunan embung- Pemkab dan Balai WS
embung di beberapa
embung di beberapa
Pulau Madura
lokasi
lokasi
Rehabiltasi dan konser- Kesepakatan Balai DAS
vasi daerah tangkapan
Brantas Stasiun Madura
air lereng sepanjang per- dan Dinas Kehutanan
bukitan di Pulau madura
dan Bantaran sungai
Rehabiltasi dan konser- Rehabiltasi dan konser- Kesepakatan Balai DAS
vasi daerah tangkapan
vasi daerah tangkapan
Brantas Stasiun Madura
air di sekitar Waduk
air di sekitar Waduk
dan Dinas Kehutanan
Klampis
Klampis
Rehabilitasi dan pemban- Rehabilitasi dan pemban- Kebijakan Balai PSDA
gunan check dam di DAS gunan check dam di DAS WS Pulau Madura dan
/Sub Das Kali Blega,
/Sub Das Kali Blega,
Dinas Pengairan kabuKali Kamoning, Kali
Kali Kamoning, Kali sa- paten
sarokah
rokah dan sungai-sungai
lainnya di kepulauan
Madura
Rehabilitasi Waduk yang Rehabilitasi Waduk yang Kesepakatan Dinas
ada di WilayahKlampis ada di WilayahKlampis Pengairan kan Sampang,
Kabupaten Sampang
Kabupaten Sampang
Pemerintah Prop. Jatim
dengan Pemerintah Pusat
STAKEHOLDERS
INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB
54
24/10/2011 11:40:05
Full Tema1.indb 55
g.
f.
e.
d.
Pembangunan Embung
KEBIJAKAN OPERASIONAL
Koordinasi Pemkab.
setempat
Pembangunan waduk
Kesepakatan Dinas
blega dan Waduk Nipah Pengairan kan Sampang,
Pemerintah Prop. Jatim
dengan Pemerintah Pusat
Pengaturan
Pembangunan IPAL dan Pembangunan IPAL dan Pembangunan IPAL dan Pembangunan IPAL dan Kesepakatan Balai DAS
prasarana dan
TPA untuk pengaturan
TPA di seluruh Kabdi
TPA di seluruh Kab/kota TPA di seluruh Kab/kota Brantas Stasiun Madura
sarana sanitasi sanitasi
Pulau Madura
di WS Pulau madura
di WS Pulau madura
dan Dinas Kehutanan
PerlindunPengendalian Pemanfaa- Pengendalian pemanPengendalian pemanPengendalian pemanKesepakatan Dianas Pengan sumber
tan Ruang
faatan bantaran sungai
faatan bantaran sungai
faatan bantaran sungai
gairan kabupaten, Balai
air dalam
sebagai permukiman
sebagai permukiman
sebagai permukiman
PSDA WS Pulau madura,
hubungannya
Balai DAS Brantas Stadengan kegiatan
siun Madura
pembangunan
dan pemanfaatan lahan pada
sumber air
Pengendalian
Peran serta masyarakat Pengolahan lahan
Pengolahan lahan
Pengolahan lahan
Kesepakatan Balai DAS
pengolahan
dalam konservasi lahan sesuai dengan kaidah
sesuai dengan kaidah
sesuai dengan kaidah
Brantas Stasiun Madura
tanah di daerah dan air
konservasi (pembuatan konservasi (pembuatan konservasi (pembuatan dan Dinas Kehutanan
hulu
teras bangku, penanaman teras bangku, penanaman teras bangku, penanaman
tanaman penutup tanah, tanaman penutup tanah, tanaman penutup tanah,
pembuatan guludan, dll pembuatan guludan, dll pembuatan guludan, dll
Konservasi swadaya
Penghijauan dan pemPenghijauan dan pemPenghijauan dan pemmasyarakat
buatan teras bangku
buatan teras bangku
buatan teras bangku
Pengendalian
Peran serta masyarakat Sosialisasi pengolahan
Sosialisasi pengolahan
Sosialisasi pengolahan
Kesepakatan Balai DAS
pengolahan
dalam konservasi lahan lahan sesuai dengan kai- lahan sesuai dengan kai- lahan sesuai dengan kai- Brantas Stasiun Madura
tanah di daerah dan air
dah konservasi
dah konservasi
dah konservasi
dan Dinas Kehutanan
hulu
Konservasi swadaya
Penghijauan dan pemPenghijauan dan pemPenghijauan dan pemmasyarakat
buatan teras bangku
buatan teras bangku
buatan teras bangku
INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB
55
24/10/2011 11:40:05
Full Tema1.indb 56
Rehabilitasi
Meningkatkan, memuhutan dan lahan lihkan dan memperkritis;
tahankan daya dukung,
daya tampung dan
fungsi konservasi secara
berkelanjutan
i.
Meningkatkan daya
dukung alamiah dan buatan, serta menjaga daya
tampung dan kualitas
lingkungan
Menetapkan daerah
batas sempadan sungai,
rawa, danau dan pantai,
mata air
Pengaturan
daerah sempadan sumber
air, telah diatur
dalam RTRW
Prov.
h.
KEBIJAKAN OPERASIONAL
STAKEHOLDERS
INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB
56
24/10/2011 11:40:05
Full Tema1.indb 57
j.
Pelestarian
Menetapkan dan menSosialisasi tentang perkawasan lindung gelola daerah resapan air lunya menjaga kawasan
dalam rangka penyediaan lindung
air bagi kemanfaatan
umum secara berkelanjutan dan pengurangan
daya rusak air
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
adat)
Pengendalian kawasan
lindung (pengawasan,
pengamanan, dan pengaturan sumber daya KL)
Pengelolaan hutan
Dalam hal mengantisiberbasis masyarakat
pasi erosi, longsor akibat
baik dalam perencanaan, banjir yaitu penanaman
pelaksanaan, pengawasan Pohon Cempaka dan
Lada
Pengembangan aneka
usaha kehutanan (AUK)
perlebahan, persuteraan
alam, agro forestry,
wanafarma tapi belum
optimal. Perlu dukungan
dari berbagai pihak
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
adat)
Pelestarian kawasan
lindung di WS Pulau
Madura
Pengendalian kawasan
Kesepakatan Balai DAS
lindung (pengawasan,
Brantas Stasiun Madura
pengamanan, dan peng- dan Dinas Kehutanan
aturan sumber daya KL)
Dalam hal mengantisiKesepakatan Balai DAS
pasi erosi, longsor akibat Brantas Stasiun Madura
banjir yaitu penanaman dan Dinas Kehutanan
Pohon Camplong
STAKEHOLDERS
KEBIJAKAN OPERASIONAL
INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB
57
24/10/2011 11:40:05
Full Tema1.indb 58
KEBIJAKAN OPERASIONAL
STAKEHOLDERS
c.
b.
a.
Kampanye Gerakan
hemat air
Mengalokasikan dana
OP yang memadai untuk
sumber-sumber air yang
ada baik alami maupun
buatan (sungai, danau,
saluran, bendung)
Kampanye Gerakan
hemat air
Mengalokasikan dana
OP yang memadai untuk
sumber-sumber air yang
ada baik alami maupun
buatan (sungai, danau,
saluran, bendung)
Perda
Kampanye Gerakan
hemat air
Mengalokasikan dana
Kebijakan Ditjen SDA
OP yang memadai untuk
sumber-sumber air yang
ada baik alami maupun
buatan (sungai, danau,
saluran, bendung)
BBWS Brantas
INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB
2. PENGAWETAN AIR
Tujuan : Memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya
58
24/10/2011 11:40:05
Full Tema1.indb 59
KEBIJAKAN OPERASIONAL
STAKEHOLDERS
Mencegah
Sosialisasi kepada
masuknya
masyarakat di sekitar
pencemaran air sumber air
pada sumber air
dan prasarana
sumber daya air
b.
Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan
dengan meningkatkan
SDM dan peralatan yang
dibutuhkan
Menetapkan baku
mutu limbah cair yang
diperkenankan dibuang
kedalam sungai
Mendorong dan
mengupayakan sistem
pengendalian limbah cair
komunal dikawasan
Memperbaiki kualitas air
pada sumber air
Memperbaiki
kualitas air pada
sumber air dan
prasarana sumber daya air
a.
Kesepakatan antara
Pemkab/Kota dan Ditjen
SDA
PPLH
Penerbitan peraturan
Perda Baku Mutu Air &
yang dapat mengaLimbah Cair
komodir kepentingan
masyarakat dari hulu
hingga hilir
Sosialisasi intensif kePerda Persampahan
pada masyarakat tentang
bahaya pencemaran air
Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan
di sepanjang Wilayah
Sunagi Pulau Madura
Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan
di sepanjang Wilayah
Sunagi Pulau Madura
Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan di
sepanjang Wilayah Sungai Kepulauan Madura
Bapedal Prov
Bapedal Prov/Kab
INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB
59
24/10/2011 11:40:05
PENDAHULUAN
Full Tema1.indb 60
24/10/2011 11:40:06
61
Full Tema1.indb 61
24/10/2011 11:40:06
62
Catatan : Lahan Terbakar (warna orange) dan Sisa-Sisa Degradasi Hutan (warna hijau)
Full Tema1.indb 62
24/10/2011 11:40:06
63
Berdasar atas fakta yang terjadi dan jika gambut masih diperlakukan dengan cara
yang sama (BAU = business as usual), maka Indonesia berada di posisi ketiga setelah Amerika dan China dalam menyumbang emisi karbon global bila emisi dari
drainase gambut dan degradasi lahan (termasuk kebakaran) dan degradasi hutan
yang lain diperhitungkan. Dan tanpa memperhitungkan emisi dari lahan gambut
dan hutan, posisi Indonesia berada di urutan ke 21. Oleh karena itu pemerintah
Indonesia pada COP 15 di Copenhagen, Desember 2009 mencanangkan rencana untuk mengurangi emisi karbon sampai dengan 26 % di tahun 2020.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menentukan model sistem pengelolaan air yang
dapat mengurangi atau memitigasi degradasi kerusakan dan emisi karbon yang
sudah terjadi pada lahan gambut dangkal akibat kesalahan pengelolaan, khususnya
akibat pengeringan berlebih yang disebabkan oleh tindakan manusia untuk
berbagai kepentingan antara lain : penggundulan hutan, drainase, pengembangan
perkebunan, pertanian dan penebangan kayu yang mengakibatkan emisi karbon,
banjir dan masalah lingkungan lain.
2. KAJIAN PUSTAKA
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Jika
tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8-0,9
m3/m3gambut (Indonesia Programme, 2004). Dengan demikian lahan gambut dapat
mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Lahan gambut mempunyai sifat yang dinamis, jika mengalami gangguan seperti misalnya drainase, menyebabkan penyusutan air sehingga terjadi proses pemadatan dan kerusakan gambut
sebagai akibat dari oksidasi. Proses ini membawa perubahan pada topografi daerah
lahan gambut, yang kemudian mempengaruhi hidrologi dan penurunan permukaan
lahan (subsidence) serta menimbulkan potensi banjir. Di samping itu bila mengalami kekeringan, maka lahan gambut akan terdegradasi dan melepaskan karbon.
Pada tahun 1995, pembangunan sistem saluran dan penebangan hutan di kawasan PLG mengakibatkan terjadinya degradasi dan telah merusak mikro-topografi
alamiah secara luas. Kebakaran merupakan penyebab yang paling parah dari degradasi pada kawasan Eks-PLG. Berkurangnya kandungan air lahan gambut dan
hilangnya perlindungan hutan telah menciptakan kondisi yang memungkinkan
untuk terjadinya kebakaran besar. Hampir seluruh Kawasan Eks-PLG yang sekarang dalam kondisi terbuka telah terbakar antara tahun 1997 hingga 2006. Kubahkubah gambut mengalami kehilangan air dan penurunan lahan (subsidence) yang
disebabkan oleh dampak drainase dari saluran-saluran. Sistem saluran yang ada
di kawasan Eks-PLG juga telah menciptakan permasalahan banjir di sejumlah
kawasan selama musim hujan. (Delft Hydraulics, 2008).
Kerusakan hutan rawa gambut yang terjadi pada akhir-akhir ini telah menyebabkan
rawa gambut Indonesia menjadi sumber emisi GRK terbesar dengan kontribusi
sebesar 45% dari total emisi Indonesia, dan kontribusinya menjadi lebih besar lagi,
menjadi 65-70% pada saat musim kemarau panjang yang menyebabkan terjadinya
kebakaran gambut (World Bank, 2011)
Full Tema1.indb 63
24/10/2011 11:40:06
64
Dari sisi kebijakkan, emisi dan faktor negatif lainnya dari pengelolaan lahan gambut
yang berkelanjutan hanya dapat dikurangi jika kebijakkan pengembangan didasarkan pada tiga prinsip sebagai berikut (Delft Hydraulics, 2006) :
a. Konservasi hutan dan mengurangi drainase pada hutan rawa yang tersisa
b. Restorasi sistem hidrologi lahan gambut yang terdegradasi dan hutan rawa
gambut atau tutupan vegetasi lain yang berkelanjutan
c. Peningkatan pengelolaan air pada tanaman lahan gambut, dan membuat
rencana induk pengelolaan air di lahan gambut
3. HIPOTESA
Kerusakan lahan dan penurunan gambut terutama terjadi karena drainase yang tak
terkendali akibat pembukaan hutan gambut untuk berbagai kepentingan. Kerusakan
ini sejatinya dapat dihindari apabila elevasi paras air dapat dipertahankan atau
pengeringan lahan gambut dapat dikendalikan. Mengingat bahwa lahan rawa
gambut umumnya merupakan kesatuan yang terletak antara dua sungai besar,
maka kehilangan air berlebih pada gambut dalam ( > 3 m) atau pada kubah gambut
dapat dihindari/dikurangi bila elevasi paras air pada gambut dangkal (13 m) yang
berbatasan/bersebelahan dengan sungai dikendalikan.
Oleh karena itu, suatu teknik hidraulik pengelolaan air yang tepat pada lahan
gambut dangkal diperlukan dan diyakini dapat mempertahankan elevasi paras air
tersebut. Dengan demikian kerusakan lingkungan (termasuk emisi karbon) yang
terjadi dapat dicegah sehingga lahan gambut dapat dikembalikan pada ekosistem
yang semestinya, di samping sebagian dari wilayah itu dapat dibudidayakan untuk
membangun pertanian lokal dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan
dan ekosistem yang ada.
4.
METODOLOGI
Full Tema1.indb 64
24/10/2011 11:40:07
65
Lahan pada stasiun penelitian ini harus cukup besar untuk dapat mencakup berbagai
kondisi yang berbeda seperti jenis dan kedalaman gambut serta harus cukup
luas untuk mengaplikasikan pengujian berbagai jenis pengelolaan pada tingkat
mikro (saluran tersier) dan tingkat meso (dari sistem saluran primer ke tingkat di
bawahnya). Idealnya, stasiun penelitian ini dapat mencakup keseluruhan rentang
kedalaman gambut (0 3 meter, dari tepi sungai ke dalam) di daerah kawasan
budidaya terbatas.
Untuk menciptakan berbagai kondisi pengelolaan air, diperlukan implementasi
sejumlah prasarana pengelolaan air. Prasarana ini nantinya mencakup struktur
untuk menaikkan muka air di tepi lahan gambut dalam (misalnya canal blocking,
dengan bendung) dan struktur untuk mengoptimalkan muka air di areal pertanian
pada lahan gambut dangkal ( 3 meter).
b. Membangun Prasarana Demo/Peraga pada Stasiun Penelitian
Prasarana ini digunakan untuk mendemonstrasikan berbagai isu masalah dan
kemungkinan solusinya kepada para pemangku kepentingan. Prasarana yang
dimaksud termasuk berbagai akses (jalan darat, perahu), prasarana visualisasi
(misalnya Dipwells untuk mengukur kedalaman air tanah, Subsidence Pole untuk
mengukur penurunan tanah gambut), sarana komunikasi dan hal-hal lain yang
dipandang perlu.
c. Membangun Model Perhitungan emisi karbon
dan Penurunan Tanah Gambut
Model ini dimaksudkan untuk membantu memahami pengaruh drainase lahan
gambut, tidak hanya meninjau dari aspek emisi karbon dan resiko kebakaran tetapi
juga masalah penurunan lahan gambut dan masalah banjir. Pada model perhitungan
emisi karbon dan penurunan lahan gambut, faktor koreksi terhadap kompaksi tanah
juga perlu ditinjau. Sementara pada model peningkatan banjir akibat penurunan
lahan, pengaruh kenaikan muka air laut juga perlu diperhitungkan.
d. Mengembangkan dan Menyebarluaskan Pedoman
Pengembangan dan penyebarluasan pedoman didasarkan pada hasil temuan di
stasiun penelitian dan dari hasil penelitian. Hal ini akan membantu perencana dalam
memilih lokasi yang sesuai untuk pengembangan pertanian di lahan rendah ditinjau
dari sudut pengelolaan airnya. Selanjutnya juga akan membantu pengembang untuk
mengimplementasikan sistem yang cocok pada lahan gambut yang akan mengurangi
dampak negatif. Pedoman tersebut akan meliputi :
1). Strategi untuk mengembangkan rencana induk untuk penggunaan lahan gambut
yang berkelanjutan, termasuk delineasi zona pengelolaan, satuan pengelolaan,
klasifikasi penggunaan lahan, kriteria kesesuaian lahan,dan lain-lain.
2). Kriteria desain untuk sistem pengelolaan air di gambut dangkal (ketebalan
03 meter), termasuk survey dan prosedur penyelidikan serta bagaimana mengkombinasikannya dengan sistem irigasi pasang surut
3). Metode untuk memprediksi dampak penurunan lahan gambut, banjir, kualitas
air akibat drainase lahan gambut jangka panjang, terutama pada lahan gambut
dengan ketebalan lebih dari 3 meter
Full Tema1.indb 65
24/10/2011 11:40:07
66
5. RENCANA IMPLEMENTASI
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa lokasi penelitian dapat dipilih pada
salah satu lokasi di lahan gambut sejuta hektar, yaitu di Katunjung, Blok A, propinsi
Kalimantan Tengah. Pada lokasi ini tanah mineral, gambut dangkal dan gambut
dalam dapat ditemukan dalam jarak relatif pendek, dimana gambut telah terbakar,
terdegradasi cukup berat, tidak produktif dan masing-masing mempunyai saluransaluran yang dapat mematus air dari lahan gambut dalam ke sungai Kapuas.
Prinsip dasar pengelolaan Kawasan Penyangga Budidaya Terbatas mempersyaratkan
adanya pengelolaan air untuk mengurangi pengeringan gambut/drainase yang
tidak berlebihan (Delft Hydraulics 2006). Pada gambut sedang/dangkal tersebut,
drainase harus dibatasi, tetapi apabila ada, maka perlu dibangun sarana/struktur
pengendali air (pintu air) untuk memastikan bahwa berkurangnya air sepanjang
musim kemarau dapat diminimalisir, sedangkan pada musim hujan kelebihan air
dapat dialirkan keluar.
Di seluruh kawasan, pendekatan berbasis masyarakat diperlukan untuk
merencanakan, mengoperasikan dan merawat struktur pengendali air. Dan
mengingat bahwa saluran
dimanfaatkan untuk transportasi, sementara
pembangunan tabat juga diperlukan pada saluran tersebut maka keterlibatan
masyarakat dalam memperbaiki pengelolaan lahan gambut adalah kunci sukses
untuk merehabilitasi lahan tersebut dan untuk mensukseskan konsep REDD
(Reduced Emissions from Deforestation and Degradation).
Pada lokasi penelitian, diusulkan untuk membangun struktur pengendali air dengan
konsep dasar jaringan pengelolaan air sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.
Selanjutnya pembangunan jaringan pengelolaan air perlu ditindak lanjuti dengan
langkah-langkah monitoring untuk memantau kinerja dan kondisi dari prasarana
hidraulik yang telah dibangun tersebut.
Full Tema1.indb 66
24/10/2011 11:40:07
67
Lebih jauh lagi prasarana demo/peraga juga perlu dibangun, dimana prasarana
ini digunakan untuk mendemonstrasikan berbagai isu masalah dan kemungkinan
solusinya kepada para pemangku kepentingan sebagaimana telah disinggung
sebelumnya. Untuk lebih jelasnya konsep monitoring dan peragaan disajikan pada
Gambar 4 di bawah ini.
KESIMPULAN
1. Pengelolaan lahan gambut sering dilakukan secara tidak proporsional, dimana
sebagian besar lahan terdegradasi akibat dari penggundulan hutan, drainase dan
pembakaran hutan.
2. Degradasi lahan gambut atau pengeringan gambut akan menyebabkan gambut
kontak dengan udara sehingga terjadi oksidasi dan menyebabkan pelepasan
karbon ke udara di samping kebakaran gambut.
3. Degradasi lahan gambut juga menimbulkan masalah banjir akibat penurunan
lahan gambut (land subsidence) dan penurunan kualitas air akibat berkurangnya
debit aliran rendah (baseflows) dari pengeringan gambut.
4. Lahan rawa dengan gambut dalam (> 3 m) perlu dikonservasi sesegera mungkin
dan dilakukan secara konsisten dan menyeluruh dengan tindakan koordinasi
yang terpadu dari semua pemangku kepentingan.
5. Pengembangan rawa pada kawasan penyangga budidaya terbatas dengan
kedalaman gambut kurang dari 3 meter memerlukan pengelolaan air yang tepat
untuk mencegah terjadinya drainase berlebih atau degradasi lahan gambut
dalam yang berbatasan.
Full Tema1.indb 67
24/10/2011 11:40:07
68
Full Tema1.indb 68
24/10/2011 11:40:07
Bendung Tenggelam
Sebagai Pengendali Sedimen
Pada Aliran dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi
Muchlish Amat
Anggota HATHI Cabang Sulawesi Selatan
muchlishamat@gmail..com
Intisari
Waduk atau danau berfungsi menampung air baku untuk berbagai macam keperluan
pertanian, rumah tangga, industri, transportasi, dan sebagainya. Ancaman utama
waduk atau danau adalah sedimentasi. Saat ini, ancaman tsb meningkat pesat
seiring meningkatnya laju erosi dalam daerah aliran sungai. Aliran sungai membawa
hasil erosi berupa angkutan sedimen. Proses sedimentasi meliputi proses erosi,
transportasi, pengendapan, dan pemadatan. Hasil erosi tersebut bergerak bersama
air sungai dalam bentuk angkutan dasar (bed-load), angkutan layang (suspendedload), dan angkutan bilas (wash-load). Kedua jenis angkutan yang pertama akan
mengendap pada dasar waduk atau danau sedang wash-load memerlukan waktu
yang lama untuk mengendap dan menjadi penyebab menurunnya kwalitas air.
Masuknya sedimentasi pada waduk akan mengakibatkan pendangkalan, sehingga
akan mengurangi kapasitas tampung waduk dan umur ekonomis waduk. Bila hal
tersebut berlangsung terus menerus maka fungsi waduk akan terus menurun dan
dapat berakhir lebih cepat kecuali dilakukan pengendalian sedimen yang efektif.
Untuk mengatasi hal tersebut, selama ini, dibangun pengendali sedimen berupa
sabo dam dan kantong pasir sebelum aliran masuk kedalam waduk. Namun ini
tidak cukup sehubungan dengan makin berkembangnya luas daerah alira sungai
yang keritis menyebabkan makin tingginya erosi dan besarnya sedimentasi sejak
dua dekade terakhir.
Bendung tenggelam dapat berfungsi efektif menangkap sedimen dalam waduk
sebelum jauh masuk kemulut outlet. Penelitian terhadap efektifitas bendung
tenggelam ini dibuktikan dibuktikan dengan membandingkan bentuk profil sebaran
sedimen pada kondisi tanpa bendung tenggelam dan kondisi dengan bendung
tenggelam sedimen. Bendung tenggelam yang dipasang dalam waduk bagian hulu
maka sedimen seperti pasir, pasir halus, dapat diendapakn di bagian hulu Bendung
tenggelam sehingga yang menerus kemulut outlet hanya sedimen yang sangat
halus.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang pengendalian
sedimentasi baik bagi badan air yang telah mengalami permasalahan sedimentasi
maupun pada perencanaan dan desain bangunan penampung air yang berpotensi
mengalami aliran dengan tingkat kekeruhan tinggi.
Kata kunci: Sedimen, pendangkalan, bendung tenggelam, pengendalian.
69
Full Tema1.indb 69
24/10/2011 11:40:08
70
1.
PENDAHULUAN
Full Tema1.indb 70
24/10/2011 11:40:08
71
Full Tema1.indb 71
24/10/2011 11:40:08
72
semula. Kondisi aliran seperti ini dapat dikategorikan sebagai mengalami kekeruhan
tinggi dan akan berakibat pada terancamnya fungsi-fungsi waduk.
Kondisi seperti tersebut diatas terjadi diberbagai daerah aliran sungai (DAS)
seperti DAS Citarum, DAS Limboto, DAS Jeneberang, DAS Bila-Walanae, dan
lain-lain. Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa kondisi seperti tersebut
diatas akan terus meningkat oleh karena pengendalian erosi tidak berhasil sehingga semakin lama DAS cenderung menghasilkan aliran dengan kekeruhan yang
makin tinggi pula.
Rumusan masalah untuk penelitian ini dapat simpulkan denga pertanyaan hypotetik
sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk dan karakteristik endapan sedimen dari aliran dengan tingkat kekeruhan tinggi dalam suatu wadah air seperti danau atau waduk sebelum
dan sesudah dipasang Bendung tenggelam?
b. Bagaimana perbedaan karakteristik endapan akibat bendung tenggelam dan
berapa besar efektifitas bendung tenggelam dalam penanggulangan masalah
endapan sedimen tersebut?
c. Bagaiman bentuk dan pola pergerakan sedimen pada waduk dengan inflow kekeruhan tinggi?
1.3 Ruang Lingkup
Topik utama pembahasan meliputi penggunaan Bendung tenggelam sedimen
tenggelam untuk mengatasi masalah sedimentasi tersebut diatas. Pokok bahasan
untuk analisis meliputi perkiraan besarnya laju sedimentasi yang masuk ke waduk,
deposisi sedimen pada dasar waduk, perkiraan umur ekonomis waduk tanpa dan
dengan bendung tenggelam sedimen.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian diatas maka penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan
model alternatif dalam penanggulangan sedimentasi dalam badan air seperti danau,
waduk, dan badan air lainnya. Model tersebut berupa bangunan melintang arus
aliran dan berfungsi mengisolasi sedimen yang terbawa oleh aliran sehingga
sebagian sedimen tertinggal dibagian hulu bendung tenggelam.
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengembangkan suatu pendekatan alternatif sebagai model pengendalian sedimen
b. Untuk mempelajari karakteristik endapan sedimen pada dasar badan air yang
mengalami aliran kekeruhan tinggi
c. Untuk mengetahui efektifitas daya tangkap bendung tenggelam dan perubahan
karakteristik endapan setelah dipasang bendung tenggelam.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal sbb:
a. Menambah model penanggulangan sedimentasi sebagai suatu alternatif pemecahan masalah di bidang teknik sedimentasi disamping cara-cara yang su-
Full Tema1.indb 72
24/10/2011 11:40:08
73
(1)
dimana :
A : Erosi aktual (ton/ha/tahun)
R : Nilai indeks erosivitas hujan
K : Nilai indeks erodibilitas tanah
L : Nilai indeks panjang lereng
S : Nilai indeks kemiringan lereng
C : Nilai indeks penutupan tanah
P : Nilai indeks kegiatan konservasi tan
Full Tema1.indb 73
24/10/2011 11:40:08
74
2.2.2 Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan material terangkut oleh air di alur sungai,
danau, atau waduk sebagai akibat dari erosi. Sedimen berasal dari erosi lahan
hutan, tegalan, pekarangan, dan persawahan. Selain diakibatkan oleh faktor erosi,
sedimentasi dipengaruhi oleh luas daerah tangkapan dan karakteristik sungai,
kekasaran bentuk dasar dan ukuran butiran sedimen yang terangkut. Tingginya
tingkat bahaya erosi lebih lanjut menyebabkan tingginya sedimentasi pada alur-alur
dan sungai hingga sampai pada muara.
Sedimen tersebut terbawa hanyut oleh aliran yang dapat dibedakan sebagai angkutan
dasar (bed load) dan angkutan layang (suspended - load). Angkutan dasar bergerak
dalam aliran air sungai dengan cara bergulir, meluncur dan meloncat-loncat di atas
permukaan dasar sungai. Sedang angkutan layang terdiri dari butiran-butiran halus
yang ukurannya lebih kecil dari 0,1 mm senantiasa melayang di dalam aliran air
dan mengendap saat kecepatan aliran rendah. Angkutan layang tidak berpengaruh
pada naik turunnya dasar sungai, tetapi dapat mengendap di dasar waduk yang
menimbulkan pendangkalan pada waduk dan menyebabkan timbulnya berbagai
masalah. Angkutan bilas (wash load) mempunyai butiran yang sangat halus,
walaupun air tidak mengalir, tetapi butiran tersebut tetap melayang dan airnya tetap
saja keruh.
Sedimen layang yang terbawa aliran pada akhirnya akan mengendap pada bagian
hilir kecuali beban bilas ( wash load ). Pengendapan terjadi karena daya angkut aliran
menjadi kecil. Kecilnya daya angkut itu karena kecepatan aliran yang mengecil
akibat adanya pembendungan. Kecepatan jatuh partikel tersebut tergantung pada
ukuran, bentuk, berat, jenis partikel, serta tingkat kekentalan air. Penggumpalan
sedimen terjadi karena banyak faktor, antara lain bertemunya dengan air payau,
Air sungai yang masuk ke waduk sebagian besar akan mengalami pengendapan.
Kepadatan sedimen setelah mengendap akan berubah dari waktu ke waktu. Untuk
waduk besar hampir seluruh sedimen mengendap setelah proses sedimentasi,
Analisis sedimen adalah untuk memperkirakan besarnya volume material endapan
yang mungkin terjadi selama umur ekonomis waduk. Perbandingan sedimen yang
lewat pada suatu titik keluaran dengan hilangnya bahan terangkut dalam suatu
daerah tangkapan disebut Sediment Delivery Ratio (SDR). Berdasarkan luas
daerah aliran sungai maka SDR dapat ditentukan menggunakan Tabel Morgan,
1980.
Angkutan Sedimen
Berdasar pengukuran debit dan sampel sedimen layang yang sudah diperoleh, maka
angkutan sedimen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Qs = 0.0864 x C x Q
(2)
Dimana:
Qs : Angkutan sedimen (ton/hari)
Q : Debit inflow (m3/sekon)
C : Konsentrasi sedimen layang (mg/l)
0.0864 : Faktor konversi dari kg/sekon ke ton/hari
Full Tema1.indb 74
24/10/2011 11:40:08
75
Laju Sedimentasi
Laju sedimentasi pada waduk didefinisikan sebagai :
SR =
EQs
V
(3)
Dimana:
SR : laju sedimentasi tahunan (%)
E : reservoir trap efficiency
Qs : debit sedimen per tahun
V : volume awal waduk
Trap efficiency dapat diformulasikan :
E = 100 -
c
1+ k( )
w
(4)
Full Tema1.indb 75
24/10/2011 11:40:08
76
(5)
Full Tema1.indb 76
24/10/2011 11:40:08
77
4. HASIL PENELITIAN
Bendung tenggelam dapat berfungsi efektif menangkap sedimen dalam waduk
sebelum jauh masuk kemulut outlet. Ini dibuktikan dengan membandingkan bentuk
penyebaran sedimen pada kondisi tanpa bendung tenggelam dan kondisi dengan
bendung tenggelam sedimen. Bendung tenggelam yang dipasang pada pada waduk
bagian hulu maka sedimen seperti pasir, pasir halus, temasuk sebagian lanau dapat
diendapakn di bagian hulu bendung tenggelam sehingga yang menerus kemulut
outlet hanya sedimen yang sangat halus. Pada saat muka air rendah (LWL),
maka akumulasi sedimen ini dapat diangkut keluar waduk secara berkala tanpa
mengganggu operasi waduk.
Dari penelitian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Perbedaan profil endapan sedimen sangat berbeda antara kondisi tanpa dan
dengan bendung tenggelam.
b. Bendung tenggelam tenggelam berfungsi secara efektif menahan sedimen sehingga volume sedimen yang bergerak menuju bendungan berkurang cukup
besar.
c. Memudahkan pengerukan sedimen pada setiap muka air rendah tanpa harus
mengosongkan dan mengganggu operasional waduk. Dengan demikian dapat
mempertahankan fungsi waduk sebagai pengendali banjir dan penyediaan cadangan air baku untuk berbagai keperluan.
DAFTAR PUSTAKA
Bureau of Reclamation, Design of Small Dams Oxford & IBH Publishing
Co.,Janpath, New Delhi, 1974.
Chaundry, M., H., 1993, Open channel Flow, Prentice Hall.Inc.
Chow., V., T., 1959, Open Channel Hydraulics, New York, Mc Graw Hill.
Chih Ted Yang, Sediment Transport Theory and Practice, The McGraw-Hill
Companies, Inc., 1996.
Foster, J., W., and Skrinde, R., A., 1950, Control of hydraulics Jump by Sills,
Trans., Amer, Soc. Civil Engrs., 115:973 1022.
K. N. Mutreja, Applied Hydrology, Tata McGraw Hill Publishing Company
Limited New Delhi, 1986.
Mohd. Arief Iiyas dkk. , Kaji Ulang dan identifikasi Kondisi Sedimentasi Wadukwaduk Di P. Jawa, Dep. PU Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pengairan,
1999.
Mohd. Arief Ilyas dkk, Monitoring dan Evaluasi Sedimentasi di DPS Cimanuk
Dan Perkiraan Distribusi Sedimentasi Pada Rencana Waduk Jatigede, Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Pengairan, 1992
Full Tema1.indb 77
24/10/2011 11:40:08
Full Tema1.indb 78
24/10/2011 11:40:08
79
Iklim kawasan ini pada umumnya cukup kering, curah hujan tahunan rata-rata
1.000 mm dan evapotranspirasi tahunan terhitung (1.8001.850) mm.
Musim hujan umumnya berlangsung selama 35 bulan, sedangkan musim kering
berlangsung selama 79 bulan. Karena keterbatasan daratan pulau-pulau kecil,
sebagian besar curah hujan yang turun mengalir dan terbuang percuma ke laut dan
hanya sebagian kecil yang menyerap ke dalam tanah menjadi air tanah (Laurentia,
2006 ; Kodoatie dan Suripin 2006). Sungai-sungai perennial dan mata air-mata
air hanya terjadi ketika curah hujan relatif tinggi dan terdistribusi dengan baik
sepanjang tahun bila kondisi topografi dan geologi yang memungkinkan (Falkland,
1991). Mata air yang merupakan sumber aliran dasar suatu sungai jarang sekali
dijumpai di musim kering. Menurut Hehanussa (1987), air tanah di pulau-pulau
kecil merupakan lensa yang mengapung di atas air payau atau air asin, dengan
ketebalan yang sangat tergantung pada imbuhan (recharge) dan rentan terhadap
penyusutan/ intrusi air laut.
Dengan curah hujan yang relatif rendah dengan durasi yang pendek hanya 3 4 bulan
dalam setahun dan terbatasnya potensi SDA lainnya, merupakan kendala tersendiri
dalam upaya pengembangan dan pengelolaan SDA pada kawasan Kepulauan
Maluku ini, terutama untuk memenuhi kebutuhan air baku untuk penduduk, ternak
dan ladang/ kebun.
Bangunan penyimpan air untuk cadangan air di musim kemarau sangat diperlukan,
oleh karena itu embung sebagai bangunan penampung air yang relatif kecil sangat
cocok dengan keadaan alam setempat, bangunan semacam ini dapat dibangun
secara masal dengan cepat dan menyebar mendekati pemukiman penduduk (Kasiro
dkk, 1994).
Sampai sekarang ini belum pernah dilakukan evaluasi terhadap kinerja embungembung yang telah dibangun baik dari aspek fungsi, struktur bangunan maupun
efektifitas tampungan embung untuk memenuhi kebutuhan pengguna air, ini
disebabkan karena sumber air utama sangat tergantung dari curah hujan yang
turun, sehingga fungsi dan manfaat embung hanya dapat terlihat pada saat musim
hujan atau beberapa bulan setelah musim penghujan, sedangkan pada musim
kemarau embung-embung tersebut terlihat bagaikan monumen-monumen yang
tidak bermanfaat, bahkan seperti mubasir pembangunannya.
Sesuai dengan Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering
di Indonesia (Kasiro dkk, 1994), bangunan embung harus memenuhi beberapa
persyaratan, seperti : stabilitas , fungsi dan manfaat.
Persyaratan stabilitas bangunan dapat dilihat dari kinerja komponen bangunan yaitu
tubuh embung termasuk : pelimpah/ spillway, daerah genangan air, pipa drainase
pada tubuh embung, jaringan pipa transmisi, jaringan pipa distribusi, bak-bak
distribusi. Persyaratan fungsi, meliputi: kemampuan untuk menampung air dan
mengkonservasi air dan lahan. Sedangkan persyaratan manfaat meliputi: kebutuhan
untuk mandi, cuci, ternak dan ladang/ kebun.
Persyaratan fungsi embung sangat susah dibuat kriteria penilaiannya, karena
embung-embung tersebut hanya berfungsi di musim hujan dan atau beberapa bulan
Full Tema1.indb 79
24/10/2011 11:40:09
80
setelah musim penghujan, atau dengan kata lain embung-embung tersebut tidak
dapat berfungsi sepanjang tahun (Gambar 2.a. dan Gambar 2.b.), sehingga dalam
evaluasi kinerja ini hanya memberi penilaian fungsi tampungan embung di musim
penghujan dan atau bila embung telah berhasil/ berfungsi mengkonservasi air dan
lahan pada lokasi embung dan daerah sekitarnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Evaluasi kinerja bangunan embung yang meliputi kinerja, fungsi dan manfaat ini
dilakukan pada 38 embung yang lokasinya tersebar, yaitu : 2 embung di Pulau
Fordata, 8 embung di Pulau Yamdena, 1 embung di Pulau Wetan, 7 embung di
Pulau Sermata, 2 embung di Pulau Luang, 4 embung di Pulau Moa, 6 embung di
Pulau Leti, 7 embung di Pulau Kisar dan 1 embung di Pulau Wetar, atau lokasi
studi dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini :
Full Tema1.indb 80
24/10/2011 11:40:09
81
Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau RataFordata Yamdena Wetan Sermata Luang Moa Leti Kisar Wetar Rata
Kinerja
Fungsi
Manfaat
B
D
B
C
C
C
B
C
C
C
D
D
C
E
D
B
D
B
B
C
C
C
D
B
B
D
D
C
D
C
1 Tubuh Embung
2
- 75.00 25.00
- 3.75
B
2 Pelimpah/ Spillway
2
- 50.00 50.00
- 2.50
C
3 Daerah genangan/
2
- 80.00 20.00
- 3.80
B
Sedimentasi
4 Pipa Drainase pd
2
- 100.00
- 4.00
B
tubuh embung
5 Jaringan Transmisi
2
- 50.00
- 50.00 2.00
D
6 Jaringan Distribusi
2
- 50.00
- 50.00 2.00
C
7 Bak-Bak Distribusi
2
- 75.00 25.00
- 3.75
B
Rata-rata kondisi
- 47.14 31.43 7.14 14.29 3.11
B
untuk semua embung
Catatan : Baik Sekali A (4-5); Baik B (3-4); Cukup C (2-3); Sedang D (1-2) ; Kurang E (0-1)
Komponen
Bangunan
Full Tema1.indb 81
24/10/2011 11:40:09
82
Full Tema1.indb 82
24/10/2011 11:40:09
83
Full Tema1.indb 83
24/10/2011 11:40:10
84
Dengan cara yang sama sebagai contoh : Pulau Yamdena evaluasi keberhasilan
fungsi sbg embung penampung air dan embung konservasi dapat dilihat pada Tabel
3 di bawah ini.
Tabel 3. Prosentase keberhasilan sebagai embung penampung air dan embung
konservasi Pulau Yamdena (Atubul Da, Atubul Dol, Amdasa, Sangliat Dol,
Aruibab, Lorulun, Aruidas dan Tumbur, = 8 embung)
No
Komponen
Fungsi Bangunan
1
2
Persentase Keberhasilan
Jumlah
Fungsi Bangunan (%)
Komponen
Fungsi
Baik Baik
CuSeBangunan Sekali
kup dang
12.50 62.50 -
Kurang
E=1
25.00
25.00
25.00
Nilai
Rata- Kriteria
Rata
2.75
2.50
C
C
2.63
Keberhasilan sebagai embung penampung air dan atau sebagai embung konservasi
pada umumnya menunjukkan kriteria Baik (B) dengan angka (3,05, 3,05 dan 3,17)
di Pulau Fordata, Pulau Moa dan Pulau Kisar, di Pulau Yamdena, Wetan, dan
Leti menunjukkan angka (2,63, 3,00 dan 2,50) kriteria Cukup (C) , sedangkan di
Pulau Sermata, Luang dan Wetar menunjukkan angka (1,33, 2,00 dan 2,00) kriteria
Sedang (D).
Di Pulau Leti secara keseluruhan embung-embung yang ada berhasil menampung
air di musim hujan, selain itu telah berhasil pula mengkonservasi air dan lahan
seperti terlihat di Desa Serwaru, Tomra, Nuwewang dan Batumeau sumursumur penduduk yang dulunya terasa asin/ payau, sekarang sudah terasa tawar,
sehingga bisa dikonsumsi sebagai air minum, di Pulau Kisar embung-embung
berfungsi sangat baik sebagai embung konservasi, sedangkan di Pulau Wetar
karena rendahnya curah hujan sehingga Embung Ilwaki kurang berhasil sebagai
embung tampungan air, namun daerah di hilir embung sampai di Desa Ilwaki
sumur-sumur dangkal dengan kedalaman 4-5 m dibuat oleh penduduk dengan
kualitas air yang sangat baik.
Dengan cara yang sama sebagai contoh : Pulau Wetan, evaluasi terhadap Manfaat
Bangunan Embung dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Prosentase pemanfaatan embung untuk keperluan lain.
Pulau wetan (pota kecil = 1 embung)
Jumlah
Komponen
Komponen
No Manfaat
Bangunan Manfaat Baik
Bangunan Sekali
A=5
1 Air Minum
1
2 Mandi
1
3 Cuci
1
4 Ladang/ Kebun
1
5 Ternak
1
Rata-rata keberhasilan
Manfaat embung
Full Tema1.indb 84
Persentase Keberhasilan
Nilai
Manfaat Bangunan (%)
RataSeKuRata
Baik Cukup dang
rang
B=4 C=3 D=2 E=1
100.00
- 4.00
100.00
- 4.00
- 100,00
- 3.00
- 100,00
- 3.00
40.00 40.00
- 2.80
Kriteria
B
B
C
C
C
24/10/2011 11:40:10
85
Full Tema1.indb 85
24/10/2011 11:40:10
86
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, H.R, Rais, J, Ginting, S.P, dan Sitepu, M.J, 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Delinom M. Robert, 2005. Sumber Daya Air di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia.
Departemen Kimpraswil, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air,
Sosialisasi NSPM, Pemberian Advis Teknik dan Uji Keandalan Mutu Tahun
2004, Penyediaan Air Baku di Pulau Kecil.
Dietriech G. Bengen, dan Retraubun Alex. S. W., 2006. Menguak Realitas dan
Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil.
Diposaptono, Subandono, Budiman, dan Firdaus, 2009. Menyiasati Perubahan
Iklim di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Ditjen Pengairan, Dep. PU, 1986. Neraca Air Pulau di Indonesia. Rencana
Pembangunan pengairan Jangka Panjang.
Danaryanto, Robert J. Kodoatie, Satriyo Hadipurwo dan Sri Sangkarwati.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008. Manajemen Air Tanah
Berbasis Konservasi.
Falkland, 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands : a Practical
Guide.
Hehanussa P.E. dan Hendra Bakti, 2004. Sumber Daya Air di Pulau Kecil
Kasiro Ibnu, Wanny Adi Dharma, Bhre Susantini Rusli, CL. Nugroho dan
Sunarto, 1994. Pedoman Kriteria Desain dan Embung Kecil untuk Daerah
Semi Kering di Indonesia.
Kodoatie, J. Robert, 1996. Pengantar Hidrogeologi.
Kodoatie, J. Robert, dan Sjarief Roestam, 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu.
Laurentia, S. J., 2009. Disertasi Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada
Pulau Kecil di Kawasan Kering Indonesia.
Maryono Agus dan Edy Nugroho Santoso, 2006. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk
Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan,
Mawardi, dkk, 2006. Pengembangan Sumber Daya Air di Pulau-Pulau Kecil
Terluar.
Pemerintah Provinsi Maluku, Maluku Dalam Angka 2010.
Sianipar dan Entang, Lembaga Administrasi Negara-Republik Indonesia.
Teknik-Teknik Analisis Manajemen. Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III.
Sugeng Budiharsono, 2005. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan.
Susanto Andriko Noto dan Syahrul Bustaman, 2006. Data dan Informasi Sumber
Daya Lahan untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah
Kepulauan Provinsi Maluku.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
W. Gulo, 2007. Metodologi Penelitian.
Full Tema1.indb 86
24/10/2011 11:40:10
Intisari
Kebutuhan air bersih meningkat seiring dengan peningkatan jumlah dan
aktivitas penduduk yang menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu.
Potensi sumberdaya air yang ada relatif tetap bahkan cenderung mengalami
penurunan kuantitas maupun kualitas sehingga diperlukan upaya-upaya untuk
mempertahankannya. Pertambahan jumlah dan aktivitas penduduk yang semakin
meningkat, tidak hanya di kawasan perkotaan, tetapi juga meluas ke kawasan
pesisir pantai. Daerah pesisir pantai, selain potensinya yang besar misalnya sebagai
kawasan wisata dan perikanan, juga merupakan daerah dengan permasalahan
lingkungan yang relatif kompleks, untuk itu dituntut penyediaan sumber-sumber air
bersih yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat di daerah
pesisir. Banyak cara dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan penyediaan
dan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat di daerah pesisir, antara lain dengan
pembuatan sumur dangkal, penampungan air hujan, membendung sungai, dan
sebagainya.
Permasalahan yang ada di pulau-pulau kecil antara lain kelembaban udara yang
tinggi, curah hujan yang sedikit, kemiringan lereng yang landai dan luasan wilayah
yang relatif sempit menyebabkan hujan menjadi kurang dapat dimanfaatkan
secara optimal dan sebagian air langsung mengalir ke laut. Sehingga akan sangat
bermanfaat sekali apabila potensi hujan yang ada di kawasan ini dimanfaatkan
dengan semaksimal mungkin, antara lain dengan menampung air hujan pada suatu
tempat atau dengan cara yang lain.
Penampungan air dan pembendungan sungai merupakan cara yang efektif dilakukan
dengan pertimbangan berbagai macam fungsinya. Salah satu contoh upaya
pembendungan sungai adalah pembuatan Embung Tambakboyo di Yogyakarta.
Embung Tambakboyo dibangun dengan tujuan untuk melakukan konservasi sumber
daya air baik airtanah maupun air permukaan disamping itu dapat menaikkan muka
airtanah (terbukti dari pemantauan di lapangan terhadap kenaikan muka air sumur).
Cara ini merupakan salah satu bentuk konservasi sumber daya airtanah, yang tidak
hanya berfungsi untuk memanfaatkan air hujan dengan lebih maksimal melainkan
juga mempunyai berbagai fungsi, antara lain untuk pemenuhan irigasi, kebutuhan
air penduduk, rekreasi, penggelontoran sungai dan sebagainya. Meskipun Embung
Tambakboyo dibangun di ketinggian 147 mdpal yang jauh dari pesisir, tetapi
87
Full Tema1.indb 87
24/10/2011 11:40:10
88
melihat keberlanjutan dalam menaikkan muka air tanah maka besar kemungkinan
cara ini bisa diterapkan di daerah pesisir yang material tanahnya tidak jauh berbeda.
Studi kasus di atas dapat diterapkan di daerah lain khususnya di daerah kepulauan
sepanjang mempunyai kondisi fisik lingkungan yang mendekati atau hampir
sama, seperti kondisi geologi dan batuannya, dengan tujuan untuk menyelesaikan
permasalahan sumber daya air yang ada di kawasan tersebut sehingga potensi air
yang ada bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dari segi lingkungan, pengisian air
tawar di daerah pesisir amat penting. Air tanah yang tawar ini berfungsi sebagai
penahan tekanan air laut agar tidak masuk ke dalam akuifer airtanah.
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumber daya air yang
cukup besar. Akan tetapi, memang tidak dapat dipungkiri, selama ini yang terjadi
bahwa perhatian terhadap fenomena dan permasalahan sumber daya air masih
terkonsentrasi di pulau-pulau besar dengan penduduk padat. Wilayah kepulauan,
khususnya daerah pesisir dan pantai merupakan kawasan dengan potensi yang
cukup besar serta dengan keragaman ekosistem.
Permasalahan yang relatif banyak di daerah pulau-pulau kecil, pantai dan pesisir
seperti kelembaban udara yang tinggi, curah hujan yang sedikit, kemiringan lereng
yang landai dan luasan wilayah yang relatif sempit menyebabkan hujan menjadi
kurang dapat dimanfaatkan secara optimal dan sebagian air langsung mengalir
ke laut. Sehingga akan sangat bermanfaat sekali apabila potensi hujan yang ada
di kawasan ini dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, antara lain dengan
menampung air hujan pada suatu tempat atau dengan cara yang lain. Penampungan
air tersebut dapat berupa embung.
Embung secara definitif merupakan kolam berbentuk persegi empat (atau hampir
persegiempat) yang menampung air hujan dan air limpasan di lahan sawah
tadah hujan yang berdrainase baik. Embung disebut juga waduk lapangan dan
didefinisikan sebagai tempat/wadah penampung air irigasi pada waktu terjadi surplus
air di sungai atau pada saat hujan. Fungsi embung sangat erat kaitannya dengan
air dan siklus hidrologis di permukaan tanah. Secara alami, embung merupakan
cekungan yang dapat menampung airtanah dan limpasan air permukaan. Dengan
demikian keberadaaan embung dapat mencegah terjadinya bencana banjir pada
musim penghujan dan mencegah kekeringan pada musim kemarau. Embung juga
dapat mencegah meluasnya intrusi air laut ke daratan karena embung merupakan
pemasok airtanah. Selain pemasok airtanah embung juga merupakan pemasok air
bagi kantung-katung air lain seperti sungai, rawa dan sawah. Pembangunan embung
dapat menjadi sumber air bagi sumur-sumur pantek atau bor di sekitarnya (Puspita
Lani, 2005).
Embung umumnya dibangun di wilayah pedesaan dan difungsikan sebagai kantung
irigasi di wilayah pedesaan, namun tidak demikian dengan Embung Tambakboyo.
Embung Tambakboyo terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Embung
tersebut justru dibangun di daerah perkotaan yang sarat dengan permukiman
peduduk. Embung Tambakboyo membendung Sungai Tambakbayan dan Sungai
Buntung di bagian hilirnya. Pembangunan embung tersebut didasarkan pada upaya
Full Tema1.indb 88
24/10/2011 11:40:10
89
Full Tema1.indb 89
24/10/2011 11:40:10
90
Daerah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, selain potensinya yang besar, juga
merupakan daerah dengan berbagai permasalahan lingkungan yang relatif kompleks.
untuk itu dituntut penyediaan sumber-sumber air bersih yang dapat mendukung
pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat di daerah pesisir. Permasalahan yang
ada di pulau-pulau kecil, kawasan pantai dan pesisir antara lain kelembaban udara
yang tinggi, curah hujan yang sedikit, intrusi air laut, kemiringan lereng yang landai
dan luasan wilayah yang relatif sempit yang menyebabkan hujan menjadi kurang
dapat dimanfaatkan secara optimal dan sebagian air langsung mengalir ke laut.
Sehingga akan sangat bermanfaat sekali apabila potensi hujan yang ada di kawasan
ini dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, antara lain dengan menampung air
hujan pada suatu tempat atau dengan cara yang lain. Untuk itu dituntut penyediaan
sumber-sumber air yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan air bagi
masyarakat di daerah pesisir.
Hujan yang relatif tidak tinggi di daerah pulau-pulau juga merupakan tantangan
agar hujan yang ada dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendukung
kehidupan di wilayah tersebut. Sungai yang umumnya mempunyai badan sungai
yang pendek dapat dioptimalkan dengan cara membendung atau menahan air sungai,
dalam bentuk waduk, embung, atau dengan reservoir, sehingga air sungai tidak
langsung terbuang ke laut. Air sungai yang tertahan juga dapat mengalir secara
lateral untuk mengisi air tanah di sekitarnya. Banyak lagi cara yang dapat dilakukan
untuk memanfaatkan potensi hujan yang ada, antara lain dengan pembuatan sumur
dangkal, penampungan air hujan, membendung sungai seperti telah disebutkan di
atas, dan sebagainya.
Di Yogyakarta terdapat satu contoh upaya pembendungan atau menahan air sungai,
yaitu di Embung Tambakboyo. Permasalahan sumber daya air di Yogyakarta,
diantaranya turunnya muka air tanah, meningkatnya permintaan kebutuhan air,
penggelontoran kota dan sebagainya, merupakan alasan utama dibangunnya Embung
Tambakboyo. Embung Tambakboyo dibangun pada lokasi yang strategis yang
dikelilingi oleh permukiman penduduk, tepatnya terletak di Dusun Tambakboyo, di
hilir pertemuan sungai Tambakboyo dan Sungai Buntung, sedangkan genangannya
meliputi Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman dan Desa
Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
Embung Tambakboyo yang terletak di tengah Kota Yogyakarta, dengan kondisi
yang sebelumnya merupakan daerah penambangan pasir, selain itu daerah ini juga di
jadikan sebagai tempat pembuangan akhir sampah, dan telah tercemar oleh bakteri
e coli dari pembuangan limbah rumah tangga. Air yang terbendung di Embung
Tambakboyo ini selain untuk keperluan suplai air untuk penduduk Kota Yogyakarta,
juga dapat mengalir secara lateral mengisi air tanah di sekitar embung (terbukti
dari pemantauan di lapangan terhadap kenaikan muka air sumur). Terbangunnya
Embung Tambakboyo ini memberikan banyak manfaat positif bagi penduduk sekitar
dan di Kota Yogyakarta, karena tujuan awal pembangunan yang diharapkan dapat
tercapai, yaitu sebagai bentuk konservasi sumber daya air dengan hasil yang nyata
yakni menstabilkan ketersediaan air di sumur-sumur milik penduduk. Gambar 1.
menjelaskan sampel untuk pemantauan kenaikan tinggi muka airtanah di sekitar
Embung Tambakboyo Yogyakarta.
Full Tema1.indb 90
24/10/2011 11:40:10
91
Full Tema1.indb 91
Des
08
5.65
2.63
3.77
0.3
2.91
3.4
1.86
0.02
1.49
Jan
09
5.65
5.65
3.7
2.14
2.96
3.4
1.86
0.81
2.07
Mei
09
2.31
5.65
3.85
2.17
3.08
3.32
1.73
0.96
2.11
Juni
09
5.67
5.65
3.74
2.17
2.99
3.47
1.88
0.83
2.09
Kenaikan
Muka Air tanah se-telah
8 bln (m)
3.07
3.02
0.04
1.17
1.16
0.77
0.39
-0.14
0.6
24/10/2011 11:40:11
92
Jarak
No
dari
Sumur Embung
(m)
10
50
11
80
12
88
13
88
14
100
15
400
16
500
17
500
18
550
Des
08
3.02
3.27
3.68
3.12
2.3
3.03
2.75
1.86
0.72
Mei
09
4.46
3.87
3.86
3.12
3.13
3.61
3.56
3.61
0.95
Juni
09
4.42
3.85
4.41
3.12
2.32
3.07
3.18
3.26
0.76
Kenaikan
Muka Air tanah se-telah
8 bln (m)
1.4
0.58
1.21
0
0.02
0.99
0.7
0.4
0.61
0.89
Berdasarkan hasil pemantauan muka airtanah dalam kurun waktu 8 bulan, secara
umum terjadi kenaikan muka airtanah. Rata-rata kenaikan muka airtanah adalah
0.89 meter. Kenaikan tertinggi muka airtanah berada pada jarak 20 meter dari
embung yaitu 3.07 meter pada sumur 1, sedangkan sumur gali yang tidak mengalami
kenaikan muka airtanah berada pada jarak 88 meter dari embung yaitu 0 meter pada
sumur 13. Kenaikan tertinggi pada sumur 1 disebabkan karena secara spasial sumur
tersebut paling dekat dengan embung, selain itu tingkat kerapatan permukiman di
daerah ini juga relatif rendah sehingga pengambilan airtanahnya juga relatif sedikit.
Tidak semua sumur mengalami kenaikan muka airtanah. Pada sumur 13, muka
airtanah pada awal pengukuran November 2008 hingga Juni 2009, muka airtanah
terhitung tetap. Bahkan pada sumur 8, muka airtanah justru menurun setelah 8 bulan
pengukuran. Hal ini karena kepadatan penduduk pada daerah tersebut lebih tinggi
daripada daerah yang lebih dekat dengan embung sehingga pengambilan airtanah
juga lebih banyak. Hubungan jarak sumur dengan kenaikan muka airtanah disajikan
pada Gambar 2.
Full Tema1.indb 92
24/10/2011 11:40:12
93
Berdasarkan grafik tersebut, dari 18 titik sumur yang diamati di sekitar embung,
terdapat kecenderungan bahwa semakin jauh jarak dari embung, maka kenaikan
muka airtanahnya juga semakin sedikit. Jarak terjauh pengamatan adalah 550 meter
dari embung masih terdapat kenaikan muka airtanah 0.61 meter. Sampai sejauh
mana pengaruh embung terhadap kenaikan muka airtanah diperlukan pengamatan
dan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan arah alirannya, tipe sungai Tambakboyo dan Buntung adalah tipe
efluent, bahwa air sungai memberi pengaruh pada airtanah. Airtanah mendapatkan
suplai dari air sungai karena permukaan sungai lebih tinggi dari muka airtanah. Fakta
yang ada di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan muka airtanah
secara periodik dengan rata-rata 0.89 meter. Hal ini merupakan dampak positif
dari pembuatan embung, terbukti bahwa pembangunan Embung Tambakboyo ini
dapat meningkatkan ketersediaan airtanah di sekitar Embung Tambakboyo yang
sebelumnya memang sudah kekurangan air tanah. Cara ini merupakan salah
satu bentuk konservasi sumber daya airtanah, yang tidak hanya berfungsi untuk
memanfaatkan air hujan dengan lebih maksimal melainkan juga mempunyai
berbagai fungsi, antara lain untuk pemenuhan irigasi, kebutuhan air penduduk,
rekreasi, penggelontoran sungai dan sebagainya.
Studi kasus di atas dapat diterapkan di daerah lain khususnya di daerah kepulauan
sepanjang mempunyai kondisi fisik lingkungan yang mendekati atau hampir sama,
seperti kondisi geologi dan batuannya. Material di daerah ini mempunyai sifat
andesitis berupa batuan endapan volkanik merapi muda yang tersusun atas batupasir
berbutir halus menengah hingga halus, sehingga batuan ini mempunyai permeabilitas
yang cukup besar (Sir M.Mac Donald&Patners, 1984). Apabila dibandingkan
dengan Pantai Selatan Provinsi DIY yang terletak 50 km sebelah selatan Embung
Tambakboyo, material di daerah ini sebagian besar tersusun dari pasir halus, pasir
kasar dan lanau akibat rombakan bahan alluvial. Hal yang ditekankan adalah kedua
wilayah tersebut mempunyai tingkat kelulusan air yang relatif sama, sehingga dari
segi material, pembendungan embung dapat diterapkan di wilayah Pantai Selatan
Provinsi DIY. Menurut material penyusunya, Pantai Selatan Provinsi DIY termasuk
tipe sandy beach, yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas berupa endapan
pasir. Tipe pantai ini merupakan tipe pantai yang sesuai untuk pembuatan embung.
Embung yang dibangun di daerah ini, selain berfungsi menampung airtanah juga
berfungsi untuk mencegah agar tidak terjadi intrusi air laut ke darat. Upaya tersebut
di atas dilakukan agar permasalahan sumber daya air yang ada di kawasan pulaupulau kecil, pantai dan pesisir sehingga potensi air yang ada dengan keterbatasannya
dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Seperti telah disebutkan pada sub bab terdahulu, pembangunan embung di pulaupulau kecil dan pantai ini diharapkan juga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut
akibat pengambilan air tanah. Dengan air tanah yang banyak dapat menahan tekanan
air laut untuk masuk ke dalam akuifer airtanah. Selain itu, embung yang dibuat
di daerah pulau-pulau kecil dan pantai ini dapat difungsikan untuk peningkatan
pertanian di kawasan pantai sebagai contoh di kawasan pantai selatan Yogyakarta.
Untuk keperluan irigasi pertanian diperoleh dari drainase yang dipompa kemudian
ditampung di reservoir yang dibangun di puncak bukit gosong-gosong pasir dan
kemudian disalurkan dalam bentuk sumur renteng. Hal yang sama juga bisa
Full Tema1.indb 93
24/10/2011 11:40:12
94
dilakukan di daerah pulau-pulau kecil dan pantai yang disesuaikan dengan kondisi
lingkungan yang ada sehingga permasalahan sumber daya air di pulau-pulau kecil
dan pantai dapat teratasi disamping juga lingkungan juga tetap terjaga.
Beberapa hal yang penting yang dapat dijadikan kesimpulan dari pembahasan
tersebut di atas antara lain bahwa:
1. Saat ini diperlukan upaya pengelolaan sumber daya air dengan cara menampung
air sebanyak-banyaknya kedalam suatu tampungan untuk digunakan pada saat
musim kemarau.
2. Upaya pembendungan sungai/penampungan air seperti di Embung Tambakboyo
merupakan salah satu bentuk konservasi sumber daya airtanah, yang tidak hanya
berfungsi untuk memanfaatkan air hujan dengan lebih maksimal melainkan juga
mempunyai berbagai fungsi, antara lain untuk pemenuhan irigasi, kebutuhan
air penduduk, rekreasi, penggelontoran sungai dan sebagainya.
3. Studi kasus Embung Tambakboyo dapat diterapkan di daerah lain khususnya
di daerah pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir pantai sepanjang mempunyai
kondisi fisik lingkungan yang mendekati atau hampir sama, seperti kondisi
geologi dan batuannya dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan
sumber daya air yang ada di kawasan tersebut sehingga potensi air yang ada
bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Ucapan Terima Kasih
Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Panitia Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) XXVIII Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI)
tahun 2011 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berperan
serta dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXVI Himpunan Ahli Teknik
Hidraulik Indonesia (HATHI) tahun 2009 sekaligus penggunaan sebagian data
untuk penulisan artikel ini.
Daftar Pustaka
Anonim, 2007, Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air. Sekretaris Negara. Jakarta.
Anonim, 2011, http://younggeomorphologys.wordpress.com/2010. 12 September 2011
Daily, G.C., S. Alexander, P.R. Ehrlich, L. Goulder, J. Lubchenco, P.A. Matson, H.A.
Mooney, S. Postel, S.H. Schneider, D. Tilman, and G.M. Woodwell, 1997.
Ecosystem Services: Benefits Supplied to Human Societies by Natural Ecosystems.
Issues in Ecology Nr. 2 1997. Published by the Ecological Society of America.
Moeliono, I., 1997, Partisipasi Manupulatif: Catatan Refleksi Tentang Pendekatan PRA
Dalam Pembangunan, http/www.balaidesa.com, Diakses Tanggal 18 Mei 2005.
Puspita, L., 2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetlands International. Bogor.
Soemarwoto, O., 1997, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangungan (Edisi Revisi),
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Todd, D.K., 1980, Ground-Water Hydrology (Second Edition). John Wiley and Sons,
New York.
Full Tema1.indb 94
24/10/2011 11:40:12
Intisari
Air irigasi merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam usaha menghasilkan
produksi tanaman irigasi. Sementara kebutuhan akan produksi tanaman irigasi
terus meningkat, maka sebaliknya ketersediaan air untuk irigasi cenderung untuk
tetap atau bahkan menurun. Untuk dapat mengatasi kondisi ini, perlu diterapkannya
cara-cara pemberian air irigasi dengan efektivitas tinggi.
Dari berbagai acuan yang ada, maka pemberian air secara rotasi merupakan suatu
cara untuk tetap mempertahan luasan tanaman irigasi dengan pasokan air irigasi
yang kurang tanpa secara banyak menurunkan produksi tanaman irigasi. Dengan
kata lain maka rotasi dapat meningkatkan efektivitas air irigasi. Dalam studi pada
tulisan ini, dibahas mengenai peningkatan efektivitas air irigasi akibat pemberian
air irigasi secara rotasi dengan memperhitungkan dua faktor lain, yaitu curah hujan
dan kehilangan air pada saluran pembawa.
Hasil studi ini adalah berupa indikasi pengaruh pemberian air secara rotasi terhadap
efektivitas air irigasi. Dengan demikian akan membuka peluang untuk dapat
menyusun distribusi air irigasi secara lebih efektif pada kondisi ketersediaan air
irigasi yang terbatas.
Kata kunci: rotasi, efektivitas, irigasi.
Pendahuluan
Air irigasi merupakan faktor penentu akan besarnya produksi tanaman pada lahan
irigasi. Semakin tercukupinya kebutuhan air irigasi maka produksi lahan irigasi
akan semakin mendekati nilai maksimum. Dapat dikatakan bahwa air irigasi me
rupakan aset yang sangat berharga dalam menghasilkan produksi tanaman irigasi.
Akan tetapi ketersediaan daripada air, termasuk air irigasi, menjadi semakin
terbatas baik secara spasial maupun temporal. Hal ini tak terlepas dalam kaitannya
dengan realitas yang ada seperti halnya pemanasan global, berkurangnya hutan
tropis, menyempitnya lahan pertanian, meluasnya pemukiman penduduk, dan
seterusnya. Karenanya diperlukan cara pengelolaan yang dapat meningkatkan
efektivitas dari penggunaan air irigasi. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan
tentang hubungan antara pemberian air irigasi dengan produksi panen yang
dihasilkan oleh tanaman irigasi.
95
Full Tema1.indb 95
24/10/2011 11:40:12
96
Untuk dapat mengidentifikasi strategi irigasi yang optimal membutuhkan modelmodel yang lebih detail tentang hubungan antara air yang diberikan, produksi ta
naman, dan efisiensi irigasi (English et.al., 2002). Irigasi yang optimal mengimpli
kasikan pemberian air yang lebih rendah dibandingkan dengan cara konvensionil.
Penggunaan air yang menurun selanjutnya akan mengarahkan pada potensi efisiensi
irigasi yang lebih besar dan penurunan dampak terhadap lingkungan.
Kumar et.al. (2006) telah merumuskan model optimasi yang memaksimumkan
besarnya jumlah total panen relatif daripada semua jenis tanaman di petak-petak
irigasi. Model ini memperhitungan berbagai faktor-faktor yaitu debit inflow waduk,
curah hujan yang jatuh di petak-petak irigasi, persaingan penggunaan air antar ber
bagai jenis tanaman dalam semusim, dinamika kelembaban tanah di lahan, sifat
heterogen tanah, dan respon tanaman terhadap penerapan tingkat pemberian air.
Haque et al. (2004) telah menyajikan suatu model skedul pemberian air irigasi untuk
tanaman padi di Pantai Timur Malaysia. Model ini lalu digunakan untuk menghi
tung berbagai skenario dari pemberian air irigasi. Prosedurnya menggunakan pen
dekatan keseimbangan air dimana curah hujan dianggap sebagai variabel stokastik.
Hasilnya menunjukkan bahwa model ini mampu untuk menghemat air irigasi seba
nyak 19% untuk musim utama dan 11% untuk di luar musim apabila dibandingkan
dengan skedul irigasi tradisional.
Soetopo & Priyantoro (2010) telah mendiskusikan pengaruh pemberian air iri
gasi secara rotasi terhadap tingkat produksi tanaman irigasi. Ternyata cara rotasi
mempunyai potensi untuk menjaga tingkat produksi tanaman irigasi dengan jumlah
pasokan air yang berkurang.
Pada banyak studi optimasi yang telah dilakukan, maka tujuannya adalah untuk
mendapatkan produksi tanaman yang setinggi mungkin dengan menggunakan
pasokan air irigasi dengan jumlah yang tertentu. Pada studi yang disajikan pada
tulisan ini, dibahas mengenai peningkatan efektivitas pemberian air irigasi akibat
pemberian air irigasi secara rotasi. Dengan demikian maka pasokan air irigasi yang
jumlahnya terbatas dapat dimanfaatkan dengan lebih merata secara efektif.
Hubungan antara Produksi Tanaman Irigasi
dengan Pemberian Air
Apabila banyaknya air irigasi yang diberikan kepada tanaman (applied water) ada
lah sesuai dengan jumlah kebutuhan air irigasinya secara penuh (100%), maka
produksi panennya (yield) juga akan mencapai 100% menurut spesifikasi tanaman
tersebut. Sementara jika pemberian air irigasi di bawah 100%, maka produksi pa
nennya juga di bawah 100%. Adapun bentuk umum hubungan antara pemberian air
relatif (relative applied water - AWr) dengan produksi panen relatif (relative yield
- Yr) dapat dilihat pada Gambar 1 berikut (English, 2002).
Full Tema1.indb 96
24/10/2011 11:40:12
97
0.5
0
0
0.5
Full Tema1.indb 97
24/10/2011 11:40:12
98
1. Adalah lebih mudah untuk melakukan penjatahan menurut waktu dengan jumlah air irigasi yang sudah ditetapkan baik dari segi pelaksanaan maupun pengawasan. Penjatahan menurut waktu akan lebih mudah untuk diingat oleh para
petani.
2. Jumlah air yang hilang dalam pengaliran lewat saluran pembawa akan menjadi
lebih kecil karena pengiriman air yang lebih terpusat hanya pada petak-petak
tertentu saja setiap kalinya.
3. Para petani di lapangan sudah terbiasa dengan kondisi pemberian air secara
penuh (100% kebutuhan air irigasi) walaupun dilakukan dalam jangka waktu
yang lebih singkat (giliran).
Rumus untuk lamanya (durasi) pemberian air pada setiap giliran adalah sebagai
berikut:
(1)
Dengan menggunakan rumus Pers.(1) tersebut maka dapat disusun jadwal pemberian
air irigasi sedemikian hingga setiap petak mendapatkan nilai AWr yang seragam.
Efektivitas Air Irigasi pada Pemberian Air dengan cara Rotasi
Menurut hubungan antara pemberian air relatif (AWr) dengan produksi panen relatif
(Yr), yang dinyatakan pada Gambar 1, maka kondisi pemberian air secara rotasi ini
akan mengakibatkan produksi panen di bawah 100% dari produksi panen dengan
pemberian air secara penuh (100%). Efektivitas Air Irigasi dalam hal ini didefi
nisikan sebagai nisbah antara Yr dan AWr ( Yr/AWr). Dengan menggunakan ga
ris hubungan antara AWr dan Yr tersebut, maka dilakukan simulasi nilai Yr untuk
berbagai nilai AWr yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Efektivitas Air Irigasi
Full Tema1.indb 98
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0,000000
0.159717
0.326394
0.493852
0.639430
0.758327
0.852658
0.922940
0.968937
0.993015
1.000000
--1.597
1.632
1.646
1.599
1.517
1.421
1.318
1.211
1.103
1.000
24/10/2011 11:40:12
99
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
0.1
1.497
1.386
1.272
1.156
1.042
0.934
0.2
1.440
1.316
1.193
1.071
0.952
0.842
0.3
1.322
1.196
1.073
0.950
0.832
0.723
0.4
1.189
1.066
0.945
0.824
0.707
0.601
Selanjutnya pada Tabel 3 ditunjukkan berbagai tingkat Efektivitas Air Irigasi akibat
Pemberian Air (AWr) di bawah kondisi kehilangan air yang besar bervariasi di
saluran pembawa.
Tabel 3. Efektivitas Air Irigasi dengan adanya Kehilangan Air di Saluran Pembawa
Total Pemberian Air
Relatif
(AWr)
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
0.1
1.365
1.279
1.187
1.090
0.993
0.900
0.2
1.213
1.137
1.055
0.969
0.883
0.800
0.3
1.062
0.995
0.923
0.848
0.772
0.700
0.4
0.910
0.853
0.791
0.727
0.662
0.600
Pembahasan
Dari hasil simulasi berbagai nilai-nilai Pemberian Air Relatif (AWr) di bawah
kondisi adanya Kontribusi Air Hujan dan Kehilangan Air di saluran pembawa, yang
menghasilkan berbagai tingkat Produksi Panen Relatif (Yr), maka dapat dikemuka
kan hal-hal berikut.
1. Bentuk umum hubungan antara pemberian air relatif (AWr) dengan produksi
panen relatif (Yr) mengindikasikan bahwa secara umum pemberian air irigasi
secara rotasi akan meningkatkan efektivitas air irigasi. Bentuk kurvilinier dari
hubungan antara AWr dan Yr untuk nilai AWr di atas 50% memperkuat alasan
untuk dilakukannya pemberian air secara rotasi, khususnya untuk nilai AWr (ketersediaan air) di atas 50%.
Full Tema1.indb 99
24/10/2011 11:40:13
100
2. Efektivitas air irigasi paling besar adalah untuk kondisi tanpa curah hujan dan
tanpa kehilangan air di saluran pembawa. Hal ini mengindikasikan bahwa air
irigasi terkontrol sebaiknya dialokasikan terutama ke petak-petak yang tidak
atau sedikit mendapatkan curah hujan, dan juga ke petak-petak terdekat dimana
kehilangan air selama pengiriman lewat saluran pembawa adalah kecil.
3. Semakin besar kontribusi (relatif) curah hujan, maka semakin kecil pula efek
tivitas air irigasi. Demikian pula semakin besar kehilangan air (relatif), maka
semakin kecil pula efektivitas air irigasi.
4. Semakin besar Total Pemberian Air [relatif], maka semakin kecil pula efektivitas
air irigasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian air secara rotasi akan me
ningkatkan Efektivitas Air Irigasi.
5. Yang dimaksud dengan Produksi Panen 100% adalah hasil panen apabila pem
berian air (sudah ditambah curah hujan dan dikurangi kehilangan air di saluran
pembawa) adalah 100% dari kebutuhan air tanaman menurut spesifikasi perencanaan tanam, yaitu di bawah kondisi pengelolaan pertanian yang tertentu (pemilihan bibit, pengolahan lahan, pemberian pupuk, pengaruh hama dan gulma).
Hal ini berarti bahwa nilai mutlak dari Yr (produksi panen) akan bervariasi antar
lokasi tergantung daripada kondisi pengelolaan pertanian setempat.
6. Dengan kondisi yang beragam tersebut, maka hubungan antara Pemberian Air
dan Produksi Panen tetap dapat digunakan apabila ingin dilakukan optimasi
pemberian air pada kondisi air yang tersedia kurang (di bawah 100% kebutuhan). Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengestimasi nilai Produksi Panen 100% untuk suatu wilayah irigasi tertentu.
7. Untuk dapat menghitung nilai Pemberian Air Relatif (AWr), maka dibutuhkan
nilai-nilai kebutuhan air tanaman tanpa curah hujan selama musim tanam.
8. Pemberian air secara rotasi dengan memperhatikan tingkat efektivitas air irigasi
lebih condong ke arah penghematan penggunaan air irigasi sementara tetap menjaga tingkat produksi panen pada lahan-lahan yang bersangkutan.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu kami
sehingga kami dapat melakukan studi dan membuat makalah ini dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
English, M.J., Solomon, K.H., dan Hoffman, G.J., 2002, A Paradigm Shift in
Irrigation Management, Journal of Irrigation and Drainage Engineering,
128(5), 267-277.
Haque, M.A., Najim, M.M.M., dan Lee, T.S., 2004, Modeling Irrigation Water
Delivery Schedule for Rice Cultivation in East Coast Malaysia, Tropical
Agricultural Research, Vol.16, 204-213.
Kumar, D.N., Raju, K.S., dan Ashok, B., 2006, Optimal Reservoir Operation for
Irrigation of Multiple Crops Using Genetic Algorithms, Journal of Irrigation
and Drainage Engineering, 132(2), 123-129.
Soetopo, W. & Priyantoro, D., 2010, Pengaruh Pemberian Air Secara Rotasi
Terhadap Produksi Tanaman Irigasi, Prosiding PIT XXVII HATHI Surabaya
2010, 131-134.
24/10/2011 11:40:13
Intisari
Ketersediaan air serta distribusinya yang tidak merata sepanjang musim tanam sudah
menjadi masalah umum keirigasian. Pola pemberian air yang selama ini dilakukan
pada padi sawah dengan penggenangan dalam secara terus-menerus (continuous
flooding) merupakan pola pemberian air yang kurang efisien. Akan tetapi hal
tersebut secara umum dipandang sebagai upaya mengatasi masalah ketersediaan
air di lahan.
Penelitian yang dilakukan pada tingkat lahan (field trial) dengan percobaan
rancangan split plot antara tiga perlakuan budidaya dan empat perlakuan pemberian
air pada 3 ulangan. Sedangkan pada tingkat tersier kebutuhan debit diketahui
dengan mengukur debit masuk dan debit air terdrainase. Model neraca air divalidasi
berdasarkan hasil pengukuran dan kemudian simulasi dilakukan untuk mengetahui
nilai konsumsi airnya. Simulasi dilakukan untuk pola irigasi intermittent dan
tergenang kontinyu. Perlakuan budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi
air dan WP. Namun perlakuan irigasi berpengaruh nyata terhadap konsumsi air
dan WP. Irigasi secara konvensional cenderung membutuhkan air lebih banyak
dibandingkan irigasi intermittent. Irigasi terputus pada SRI dapat menghemat air
hingga 10% dibandingkan konvensional yaitu dengan konsumsi air untuk musim
hujan dan kemarau adalah 1192, 1178, dan 1326, 1315 mm/MT. Penerapan irigasi
intermitten pada tingkat tersier pada kondisi pergiliran pemberian air antar kuarter
yang sulit dilakukan karena jadwal tanam yang tidak seragam, dapat diatasi dengan
pengendalian pemberian air di setiap lahan.
Penerapan pola irigasi intermittent yaitu pemberian air irigasi alternasi kondisi
macak-macak sampai retak rambut, berdasarkan hasil penelitian pada berbagai
tingkatan memberikan nilai positif dalam penghematan air irigasi dan produktifitas
air (water productivity).
Kata kunci: irigasi intermittent, produktivitas air, penghematan air
101
24/10/2011 11:40:13
102
Pendahuluan
24/10/2011 11:40:13
103
tanaman padi tidak akan menderita stress meski pengairan dilakukan 5-6 hari
sekali dengan menerapkan irigasi berselang. Meski demikian diakui, teknik
irigasi berselang memiliki kekurangan. Namun penggunaan air bisa dihemat hingga
mencapai 20%.
Dengan menerapkan SRI, produktifitas meningkat 48% dengan penghematan
air rata-rata 22% dibandingkan dengan penggenangan. Produktifitas air dengan
penerapan irigasi intermittent pada SRI meningkat hampir dua kali lipat (0.68 g l-1)
dibandingkan dengan konvensional tergenang (0.36 g l-1) (Amod K. Thakur et.al,
2010)4. Begitu pula beberapa hasil penelitian lain yang serupa di berbagai negara
menunjukkan kecenderungan yang sama, penghematan air yang dilaporkan adalah
berkisar 24-60%. Dari berbagai laporan penerapan irigasi intermittent pada SRI di
lebih dari 20 negara, perlakuan air tidak menurunkan produktifitas. (Satyanarayana,
2006)5.
2
Metodologi
Penelitian yang dilakukan pada tingkat lahan (field trial) dengan percobaan
rancangan split plot antara tiga perlakuan budidaya dan empat perlakuan pemberian
air pada 3 ulangan di laboratorium lapangan Lemah Abang, Bekasi Jawa Barat.
Tabel 1. Perlakuan pada Field Trial
24/10/2011 11:40:13
104
24/10/2011 11:40:13
105
Pelaksanaan Kegiatan
Sal.10
Sal.1
Thompson
CTF 2
Sal.2
CTF 1
CTF 5
Sal.7
Boks 4
Sal.6
Boks 1
Sal.9
Boks 5
Sal.8
Kw 2
(5,7 Ha)
Sal.3
Kw 1
(2,2 Ha)
Kw 4
(6,2 Ha)
CTF 6
CTF 4
Sal.4
Boks 2
Boks 3
Kw 3
(3,8 Ha)
Sal.5
CTF 3
Gambar 3. Letak
alat Tersier
ukur dan boks kwarter
Skema
3.2 Rotasi dilakukan di boks tersier (rotasi petakan kwarter)
Rotasi dilakukan dengan membagi petak-petak kwarter berdasarkan kondisi awal
jaringan irigasi dan pengambilan air tiap petak (Gambar 3). Untuk pengolahan
lahan, petak kwarter dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok 1
(kwarter 1 dan 2), serta kelompok 2 (kwarter 3 dan 4). Lama pemberian air untuk
masing-masing kwarter terdapat pada Tabel 2. Interval waktu untuk pengolahan
lahan adalah 10 harian (Tabel 3). Untuk masa budidaya interval yang digunakan
adalah 5 harian (Tabel 4).
24/10/2011 11:40:14
106
Masa Pengolahan
Lahan (10 Harian)
Kw 1 & 2 Kw 3 & 4
Luas (Ha)
7.81
10.01
Pemberian air:
Hari
4,38
5,62
Jam
105,19
134,81
Deskripsi 4 hari lebih
6 hari
9,2 jam
kurang 9,2
jam
Kw 1
2.2
0,6
14,48
14,5 jam
Masa Budidaya
(5 Harian)
Kw 2
Kw 3
5.7
3.8
Kw 4
6.2
1,59
1,08
1,73
38,11
25,86
41,55
1 hari lebih 1 hari lebih
2 hari
14,1 jam
1,9 jam
kurang 6.5
jam
24/10/2011 11:40:14
107
Gambar 4. Grafik konsumsi air (kiri) dan produktifitas air (kanan) pada berbagai
perlakuan irigasi dan budidaya di laboratorium lapangan Lemah Abang Bekasi
MT I 2008 (baris atas), MT II 2008 (baris bawah)
Perlakuan budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi air dan WP. Namun
perlakuan irigasi berpengaruh nyata terhadap konsumsi air dan WP. Irigasi secara
konvensional cenderung membutuhkan air lebih banyak dibandingkan irigasi
intermittent.
4.2 Penghematan Air di Tingkat Tersier
Irigasi terputus pada SRI dapat menghemat air hingga 10% dibandingkan
konvensional yaitu dengan konsumsi air untuk musim hujan dan kemarau adalah
1192, 1178, dan 1326, 1315 mm/MT. Perkolasi terhitung sebesar 8 mm/hari untuk
simulasi konvensional dan 7 mm/hari untuk simulasi SRI. Nilai ini sangat berbeda
dibandingkan hasil penelitian field trial karena kondisi tekstur tanah dan kemiringan
lahan yang berbeda.
Tabel 3. Hasil simulasi neraca air penelitian tingkat tersier di Tasikmalaya, Jawa Barat
Komponen neraca air
Hujan (mm)
Irigasi (mm)
Drainase (mm)
Perkolasi (mm)
Evapotranspirasi (mm)
Konsumsi air (mm)
Musim Hujan
SRI
Konv
928
928
518
759
254
361
731
880
517
517
1192
1326
Musim Kemarau
SRI
Konv
11
11
1167
1304
0
0
712
840
517
620
1178
1315
24/10/2011 11:40:15
108
Pada saat pengolahan lahan, penerapan rotasi pemberian air irigasi pada dasarnya
dapat diterapkan. Namun dengan keadaan ketersediaan air yang kurang dalam
rangka rehabilitasi saluran primer, maka belum didapat hasil yang maksimal
sehingga masih perlu diuji kembali.
Penerapan irigasi intermitten pada tingkat tersier pada kondisi pergiliran pemberian
air antarkuarter yang sulit dilakukan karena jadwal tanam yang tidak seragam,
dapat diatasi dengan pengendalian pemberian air di setiap lahan. Selain itu untuk
menjaga ketersediaan air di lahan pada musim kemarau dapat dilakukan dengan
meninggikan outlet drainase 2 cm. Sebaliknya pada saat kondisi kelebihan air
outlet drainase diturunkan agar kondisi macak-macak dapat tercapai.
Secara teknis, pemberian air irigasi secara intermittent tidak terlalu sulit untuk
dirancang namun harus didukung oleh berbagai hal. Untuk satu tersier beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah:
a. Saluran kuarter berfungsi dengan baik
b. Boks kuarter dengan prinsip lebar pintu proporsional berfungsi dengan baik
c. Masing-masing pintu boks kuarter mewakili luas lahan yang relatif tetap
d. Varietas dan tanggal tanamnya sama
e. Boks tersier lengkap dan berfungsi dengan baik
Sebesar 44% dari luas tersier yang ada menerapkan budidaya SRI dan 56% sisanya
menerapkan budidaya konvensional. Total konsumsi air yang dibutuhkan untuk
seluruh petakan tersier 561 mm. Angka ini lebih kecil 274 mm dari konsumsi air
yang dibutuhkan bila seluruh petakan menerapkan budidaya konvensional (835
mm). Dengan kata lain terjadi penghematan sebesar 33% dari konvensional yang
selama masa pertumbuhan membutuhkan debit sebesar 1,1 l/det/Ha dan masa
pematangan 0,4 l/det/Ha (sesuai debit operasi yang biasa dilakukan).
5
Kesimpulan
Hasil penelitian ini masih merupakan hasil penelitian yang dilakukan sampai
pada tingkat tersier dan nilai penghematan air yang diperoleh cukup signifikan.
Namun penelitian ini masih perlu dikembangkan pada skala yang lebih luas untuk
mengetahui pola operasi irigasi yang optimal.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Hanhan Ahmad Sofiyuddin, STP dan
Subari, ME atas bantuannya dalam mengkompilasi data penelitian.
24/10/2011 11:40:15
109
Daftar Pustaka
Anonim, 2010, Standar Perencanaan Irigasi: Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian
Saluran KP-03, Departemen Pekerjaan Umum.
Martin, H. J., W.H. Leonard and Tamp. 1976. Principles of field crop production
Mac. Millan Publishing. Co. Inc. New York.
Zohrab A. Samani and Muluneh Yitayew, 1987. Changes in soil properties under
intermittent water application. Irrigation Science. Volume 10, Number 3,
177-182, DOI: 10.1007/BF00257951
Amod K. Thakur, Sreelata Rath, D. U. Patil and Ashwani Kumar. 2010. Effects on
rice plant morphology and physiology of water and associated management
practices of the system of rice intensification and their implications for crop
performance. Paddy and Water Environment Volume 9, Number 1, 13-24,
DOI: 10.1007/s10333-010-0236-0
A. Satyanarayana, T. M. Thiyagarajan and Norman Uphoff. 2006. Opportunities
for water saving with higher yield from the system of rice intensification.
Irrigation Science .Volume 25, Number 2, 99-115, DOI: 10.1007/s00271006-0038-8
(Endnotes)
Martin, H. J., W.H. Leonard and Tamp. 1976. Principles of field crop production Mac. Millan
Publishing. Co. Inc. New York.
Zohrab A. Samani and Muluneh Yitayew. 1987. Changes in soil properties under intermittent
water application. Irrigation Science. Volume 10, Number 3, 177-182, DOI: 10.1007/
BF00257951
Amod K. Thakur, Sreelata Rath, D. U. Patil and Ashwani Kumar. 2010. Effects on rice plant
morphology and physiology of water and associated management practices of the system of
rice intensification and their implications for crop performance. Paddy and Water Environment
Volume 9, Number 1, 13-24, DOI: 10.1007/s10333-010-0236-0
24/10/2011 11:40:15
2)
3)
Intisari
Kerusakan daerah tangkapan air pada pulau-pulau kecil seringkali terjadi, karena
karakteristik hujan yang berintensitas tinggi, durasi singkat dan topografi daratan
pulau cenderung curam, dengan vegetasi sangat kurang. Akibatnya daerah tangkapan
air menjadi rusak karena erosi dan proses degradasi. Upaya konservasi tanah dan
air telah banyak diupayakan seperti penanaman pohon dan pengembangan vegetasi
penutup lahan gundul dan kersang, namun menemui kegagalan karena kendala
keterbatasan bahkan kekurangan air untuk mendukung konservasi tersebut. Hal ini
mendorong dilakukannya usaha alternatif pengembangan sumber daya air melalui
sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam, sehingga dapat memberikan
ketersediaan air bagi tanaman konservasi dan mengatasi kerusakan daerah tangkapan
air tersebut. Kegiatan didasarkan pada prinsip konservasi, ekologi, kearifan lokal
dan pemberdayaan masyarakat, sehingga berkelanjutan. Dari kajian pustaka
tentang berbagai macam perkembangan usaha konservasi tanah dan air dapat
ditemukan konsep konservasi yang akan diterapkan. Kemudian dilakukan survey
dan analisa kecocokan tanaman untuk pengembangan vegetasi yang mendukung.
Selanjutnya dilakukan analisa ketersediaan air bagi pengembangan vegetasi, melalui
pengembangan sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam yang ada, sehingga
dapat mengatasi kerusakan daerah tangkapan air secara efektif dan efisien.
Kata kunci: daerah tangkapan air, konservasi tanah dan air, pulau-pulau kecil,
vegetasi, jebakan air berantai
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kerusakan daerah tangkapan air pada pulau-pulau kecil seringkali terjadi,
khususnya pada daerah kering pulau-pulau kecil di Indonesia, seperti di NTT ini,
karena karakteristik hujan yang mempunyai intensitas tinggi dengan durasi singkat
dan topografi daratan pulau yang cenderung curam, dengan vegetasi yang sangat
kurang (Gambar 1 dan 2). Akibatnya daerah tangkapan air menjadi rusak karena
erosi dan proses degradasi (Gambar 3).
110
24/10/2011 11:40:15
111
24/10/2011 11:40:15
112
24/10/2011 11:40:15
113
tanah menjadi imbuhan bagi cadangan air tanah. Terjadinya curah hujan ekstrim
tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya,
rendahnya cadangan air dalam tanah yang disimpan pada musim penghujan
menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga merupakan
pemicu terjadinya kekeringan. Kerusakan hidrologis juga menyebabkan aliran air
sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Data dari Kementerian
PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk yang terhimpun kedalam 89
Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai induk tersebut, 600 sungai
diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan
super kritis.
Degradasi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni erosifitas hujan, erodibilitas
tanah, faktor konservasi (vegetasi dan pengelolaan), bentuk lahan (lereng), dan
kehidupan. Dengan dua kondisi lahan yang khas yakni iklim kering yang berfluktuasi
sangat tajam dan bahan induk tanah yang rentan terhadap erosi, sangat kondusif
terjadinya degradasi lahan yang intensif (Gambar 4).
24/10/2011 11:40:16
114
dataran di bagian hilirnya dan juga memicu kerusakan daerah tangkapan air karena
erosi dan proses degradasi.
Gambar 5. Kesembangan air tanah dengan lensa air tawarnya pada tipikal pulau
koral (Falkland, 2002)
Dalam workshop perencanaan pembangunan kehutanan berbasis ekosistem pulau
kecil, (UNPATTI, 2006) disebutkan tentang isu konservasi, antara lain:
1) Pola pengelolaan hutan berdasarkan pada kearifan lokal masyarakat dan daya
dukung pulau.
2) Pola tutupan hijau pada pulau 60% dan pemanfaatan lain 40%.
3) Tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan harus sesuai dengan kondisi alam
(karakteristik pulau), dengan pemilihan bibit menggunakan jenis tanaman unggul lokal.
James, dkk, 2001 dalam prosiding lokakarya wanatani se Nusa Tenggara, juga
menyebutkan bahwa pemerintah telah melakukan program nasional rehabilitasi
lahan di Nusa Tenggara untuk merehabilitasi lahan tandus Hutan Tanaman
Industri (HTI), reboisasi dan penghijauan. Tujuan program ini sangat beragam,
mencakup produksi kayu komersial, produksi hasil hutan untuk kebutuhan setempat,
perlindungan daerah aliran sungai dan pengendalian erosi, serta konservasi
keanekaragaman hayati. Keberhasilan program rebosisasi dan penghijauan masih
rendah, dengan tingkat keberhasil (survival rate) di lapang sebesar 10% atau kurang
(Monk et al., 1997 dalam James dkk, 2001). Alasan utama kegagalan program ini
24/10/2011 11:40:16
115
adalah: kekeringan, kemampuan teknis yang tidak memadai, kesesuain lahan dan
jenis kurang baik, dan rendahnya partisipasi masyarakat setempat.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dalam Rencana Aksi Nasional dalam
menghadapi perubahan iklim, 2007, menuliskan bahwa dengan berubahnya iklim,
kejadian kekeringan akan bertambah parah, air tanah akan semakin berkurang serta
kenaikan air laut akan memicu instrusi air laut ke daratan sehingga mencemari
kualitas sumber-sumber air untuk keperluan air bersih dan irigasi. Aksi strategis
yang disebutkan di atas telah secara langsung maupun tidak langsung berkaitan
dengan adaptasi perubahan iklim. Untuk memperkuat program dan inisiatif yang
telah ada sehingga menjadi tahan terhadap perubahan iklim, rencana aksi yang
perlu diimplementasikan antara lain:
1) Memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air maupun sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air
2) Mengadakan inventarisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalami pencemaran namun tingkat penggunaan airnya sangat tinggi di Jawa untuk dapat
ditentukan prioritas penanganannya
3) Melaksanakan program pembangunan situ, embung dan waduk di wilayah
Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Bali, NTB, dan NTT seperti yang
telah diprogramkan dalam RKP 2008. Tempat-tempat penampungan air tersebut dapat dipergunakan sebagai sarana penyimpan air di musim hujan sehingga
bisa dimanfaatkan airnya di musim kemarau
4) Meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki daerah tangkapan air sebagai daerah resapan air melalui upaya konservasi
lahan, baik dengan metode mekanis (misal: pembuatan terasering dan sumur
resapan) mapun vegetatif
5) Mengembangkan teknologi dam parit yang dibangun pada alur sungai untuk menambah kapasitas tampung sungai, memperlambat laju aliran dan meresapkan
air ke dalam tanah (recharging). Teknologi ini dianggap efektif karena secara
teknis dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar dan mengairi
areal yang relatif luas karena dapat dibangun berseri (cascade series)
Di NTT, telah banyak dikembangkan sistem embung, namun keberhasilan
pengembangan ini masih rendah, terutama disebabkan oleh pendekatan
pengembangan sistem ini pada masyarakat, dan sistem operasi, pengelolaan dan
pemeliharaannya yang kurang jelas, selain beberapa teknis pengembangan yang
kurang tepat (Susilawati, 2011). Kasdi, dkk, 2003, dalam Monograf Konservasi,
menyebutkan tentang teknik konservasi tanah secara vegetatif. Pada dasarnya
konservasi tanah secara vegetatif adalah segala bentuk pemanfaatan tanaman
ataupun sisa-sisa tanaman untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa
tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan
maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan
peresapan air ke dalam tanah.
24/10/2011 11:40:16
116
Kanopi berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangi tenaga kinetik
butiran air dan pelepasan partikel tanah sehingga pukulan butiran air dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela kanopi (interception) sebagian akan kembali ke
atmosfer akibat evaporasi. Fungsi perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan
butir air hujan merupakan hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi di Indonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapat penutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah oleh pukulan butiran air hujan. Batang
tanaman juga menjadi penahan erosi air hujan dengan cara merembeskan aliran air
dari tajuk melewati batang (stemflow) menuju permukaan tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang. Batang juga berfungsi memecah dan menahan laju aliran
permukaan. Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya angkut materialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yang relatif tinggi untuk meresapkan air. Beberapa jenis tanaman yang ditanam dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagar sehingga memecah aliran permukaan. Partikel
tanah yang ikut bersama aliran air permukaan akan mengendap di bawah batang
dan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliran permukaan yang lebih
stabil. Keuntungan yang didapat dari sistem vegetatif ini adalah kemudahan dalam
penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan
aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan organik
tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani dari hasil sampingan tanaman konservasi tersebut. Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat
tanah yang disebabkan oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakan habitat
yang baik bagi organisme dalam tanah, sebagai sumber bahan organik bagi tanah
dan memperkuat daya cengkeram terhadap tanah. Perakaran tanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh air hujan, memantapkan agregasi tanah
sehingga lebih mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah erosi, sehingga
tanah tidak mudah hanyut akibat aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi, dan
kapasitas memegang air.
Konsep dan Metodologi
Konsep dan metodologi dalam mengatasi kerusakan daerah tangkapan air pada
pulau-pulau kecil adalah didasarkan pada prinsip konservasi, ekologi, kearifan
lokal dan pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat berkelanjutan. Pertama-tama
dilakukan kajian pustaka tentang berbagai macam perkembangan usaha konservasi
tanah dan air yang ada, sedang dan telah dilakukan. Kemudian dilakukan survey
dan analisa kecocokan tanaman untuk pengembangan vegetasi yang mendukung
usaha konservasi tanah dan air. Selanjutnya dilakukan analisa pengembangan
sumber daya air yaitu ketersediaan air yang dapat mendukung usaha pengembangan
vegetasi, melalui pengembangan sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam
yang ada. Pada prinsipnya metodologi yang dipakai adalah untuk mengusahakan
agar upaya konservasi tanah dan air melalui pengembangan vegetasi dapat tercapai
dengan memberikan ketersediaan air yang mendukung, sehingga dengan demikian
diharapkan juga dapat mengatasi kerusakan daerah tangkapan yang ada pada pulaupulau kecil tersebut.
24/10/2011 11:40:16
117
24/10/2011 11:40:16
118
Kesambi
Turus pagar
Lontar
Turi
Reo/Kesi
Mengkudu hutan
Mahoni
Asam cina
Turi
Mangga
Kelapa
Gambar 7. Beberapa Tanaman Lokal (Tim Survey, 2010)
Beringin
24/10/2011 11:40:17
119
Gambar 10. Grafik Imbuhan Air Tanah Neraca Air Dalam Tanah yang Menjadi
Ketersediaan Air Bagi Pengembangan Vegetasi
24/10/2011 11:40:17
120
Hasil simulasi neraca air, dapat disimpulkan bahwa pengembangan vegetasi lahan
untuk mendukung upaya konservasi tanah dan air akan tercapai karena pertumbuhan
tanaman yang optimal (Tabel 1).
Tabel 1 Neraca Air Tersedia untuk Tanaman
Neraca Air Lahan Pertanian (Kebutuhan sumur di lahan) optimal
Keterangan
Area
Satuan
(Ha)
Peb
Mar
12,430
23,982
29,662
13,556
9,703
3,495
14,929
18,823
3,336
44,564
64.92
64.92
64.92
64.92
64.92
Jan
164,933
8,673
47,584
261,002
Apr
Mei
Jun
Jul
Aug
Sep
9,386
8,756
8,376
7,780
742
2,022
17,206
91
50
713
1,445
15,183
173
31,918
91,433
25,855
245,975
164,246
147,950
Okt
56,187
91,801
25,015
100,519
17,184
1,455
Nov
4,923
Des
37,312
Daftar pustaka
Agus Maryono, 2005. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
BMG Tardamu Seba, 2011. Klimatologi Stasiun Iklim Tardamu Seba, Tahun 1985
2010.
Falkland, 2002. From Vision to Action Towards Sustainable Water Management
in The Pasific.. http://www.adb.org/documents/events/2002/water_small_
island/Theme1/overview.pdf
Hehanussa, PE., 1987. Sumber Daya Air di Pulau Kecil. LIPI, Bandung
James M. Roshetko dan Mulawarman. 2001. Wanatani di Nusa Tenggara
Ringkasan Hasil Lokakarya. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa
Tenggara, ICRA.
Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003. Teknik
Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007. Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim.
Susilawati, 2007. Concept of Series Water Trap on Natural Gully as Water
Conservation Development for Maintain Ground Water Surface in Small
Islands Areas Proceeding of International Symposium and Workshop
on Current Problems in Groundwater Management and Related Water
Resources Issues, Kuta Bali, December 3 8, 2007.
UNPATTI, 2006. Perencanaan Pembangunan Kehutanan Berbasis Ekosistem
Pulau Kecil. BPFP UNPATTI. Prosiding - Ambon
24/10/2011 11:40:18
2),3)
elifasbunga@hotmail.com
Intisari
Sedimentasi yang terjadi pada bangunan-bangunan air (waduk, saluran irigasi, jalur
navigasi), tidak terlepas dari kontribusi proses erosi yang terjadi di daerah hulu.
Erosi berdampak pula pada tingkat kesuburan tanah yang semakin menurun akibat
terlepasnya lapisan humus yang banyak mengandung unsur hara yang dibutuhkan
oleh tanaman dalam pertumbuhannya. Luas lahan yang mengalami degradasi
semakin meningkat dari tahun ketahun. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009,
lahan kritis di Indonesia diluar DKI Jakarta telah mencapai luas 77,81 juta ha
pada tahun 2008.
Konservasi secara kimiawi adalah salah satu metode konservasi tanah yang
dilakukan untuk memperbaiki kemantapan struktur tanah (stabilisasi tanah) melalui
pemberian preparat-preparat kimia. Salah satu bahan stabilisasi tanah adalah aspal
emulsi. Metode penelitian adalah pengujian laboratorium melalui alat simulator
hujan (Rainfall Simulator). Contoh tanah disiapkan dalam kotak 50x50x10cm3 pada
kadar air = 15.76%, derajat kepadatan = 70.66%. Permukaan tanah disemprot aspal
emulsi (Ae) dengan konsentrasi (60, 80, dan 100 cc/m2) yang dicampur air (rasio
1:3), kemudian disimpan dalam suhu ruangan 3x24jam. Simulasi hujan buatan
di atas permukaan tanah pada derajat kemiringan lereng 200 dengan intensitas
hujan (I) (50, 65, dan 80 mm/jam). Laju erosi diukur setelah terjadi keseimbangan
antara infiltrasi dan limpasan permukaan. Analisis hasil dengan metode analisis
deskriptif kuantitatif dan analisis regresi dan korelasi parameter intensitas hujan
dan konsentrasi aspal emulsi terhadap laju erosi.
Hasil penelitian; menunjukkan rata-rata reduksi laju erosi pada stabilisasi Ae60,
Ae80, dan Ae100 terhadap laju erosi Ae0 (tanpa stabilisasi) masing-masing sebesar
62.77%, 73.26%, dan 86.61%. Model laju erosi sebagai fungsi intensitas hujan dan
konsentrasi aspal emulsi adalah : E = 174.7 e-0.00Ae/I. Model ini memberikan indikasi
bahwa laju erosi meningkat dengan bertambahnya intensitas hujan dan menurun
dengan bertambahnya konsentrasi aspal emulsi.
Kata kunci: laju erosi, tanah pasir kelempungan, aspal emulsi, simulasi hujan.
121
24/10/2011 11:40:18
122
1. Pendahuluan
Hasil penelitian Puslitbang Tanah (1997) terdapat 10,94 juta ha lahan kritis. Status
Lingkungan Hidup Indonesia 2009 luas lahan kritis di Indonesia diluar DKI Jakarta
telah mencapai luas 77,81 juta ha pada tahun 2008, dan diperkirakan luas lahan
kritis di seluruh wilayah Indonesia akan lebih besar lagi. Lahan kritis adalah lahan
yang telah rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga menyebabkan
lahan kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi,
siklus hara dan lain-lain (Statistik Kehutanan, 2008).
Arsyad (2010) dalam penelitiannya di DAS Jeneberang Hulu mendapatkan laju
erosi terbesar terjadi pada lahan terbuka 381,9 ton/ha/thn, pada tampingan sawah
229,3 ton/ha/thn, areal pertanian 163,6 ton/ha/thn, tampingan jalan 157,9 ton/
ha/thn, areal berhutan 81,85 ton/ha/thn dan padang penggembalaan 63,6 ton/ha/
thn. Pada kemiringan lereng 20%-45% (=48,4 ton/ha/thn), kemiringan 45%-65%
(=117,4 ton/ha/thn), kemiringan 65%-85% (=178,5ton/ha/thn) dan kemiringan >
85% (=225,6 ton/ha/thn).
Definisi tanah dalam ilmu mekanika tanah adalah semua bahan yang mencakup
mulai dari lempung (clay) lanau (silt), pasir (sand), kerikil (gravel) dan berangkal
(boulder) yaitu batu-batu yang besar (Wesley, 1975). Jenis tanah yang terdapat
di alam, umumnya terdiri atas beberapa macam ukuran/sifat, misalnya kerikil
bercampur pasir, pasir yang mengandung lempung, dan sebagainya. Untuk
mengklasifikasi keberadaan tanah yang beragam, digunakan sistem klasifikasi.
Sistem klasifikasi tanah didasarkan pada distribusi ukuran butir (gradasi) dan sifat
plastisitas. Ada tiga sistem klasifikasi tanah yang umum yaitu; USDA (United State
Departement of Agriculture), AASHTO (American Association of State Highway
and Transportation), dan USCS (Unified Soil Classification System).
Struktur tanah adalah salah satu sifat tanah yang sangat berpengaruh terhadap kepekaan tanah akan pengaruh gaya-gaya luar, termasuk erosi, oleh karena itu kemantapan/stabilitas struktur tanah adalah salah satu syarat yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya erosi. Untuk memperoleh kemantapan struktur tanah yang
baik, dilakukanlah usaha-usaha melalui pemberian preparat-preparat kimia (konservasi secara kimia) (Suripin, 2001). Menurut Dariah (2007), tujuan penggunaan
bahan stabilisasi tanah : (1) memantapkan agregat tanah untuk mencegah erosi
dan pencemaran, (2) merubah sifat hidrophobik dan hidrofilik, sehingga merubah
kapasitas tanah menahan air (water holding capacity), dan (3) meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah.
Penelitian pemanfaatan bahan pembenah tanah untuk meningkatkan kualitas tanah
di Indonesia sudah dirintis oleh Balai Penelitian Tanah sejak tahun 1970, dengan
memanfaatkan emulsi bitumen, poliakrilamin, dan lateks (Dariah, 2007). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, oleh karena
itu usaha-usaha kearah itu terus dikembangkan, terutama didalam memproduksi
bahan-bahan tersebut. Salah satu bahan pemantap tanah yang dikembangkan oleh
Gabriels, et.al (1977) adalah emulsi bitumen, yang harganya relatif lebih murah, sehingga bahan ini paling banyak digunakan (Suripin, 2001). Kegunaan bahan ini, ta-
24/10/2011 11:40:18
123
nah akan lebih hidropobik, yang bermanfaat bagi pembentukan agregat tanah yang
mudah mengeras dan mengurangi penguapan air jika dicampurkan pada kedalaman
5-8 cm di bawah permukaan tanah.
Ketika bitumen dicampurkan pada tanah (stabilisasi tanah), maka akan merekatkan
partikel-partikel tanah menjadi suatu kesatuan dan dapat menjadikan struktur tanah
menjadi kedap air. Hal ini terjadi oleh karena: (a) struktur tanah terflokulasi akibat
adanya daya ikat yang ditimbulkan oleh bitumen, (b) lapisan tanah menjadi kedap air
karena partikel-partikel tanah diselimuti oleh bitumen, dan (c) kedua efek tersebut
dapat juga terjadi secara bersamaan. Efek daripada pencampuran bitumen pada
tanah adalah meningkatnya nilai kuat tekan bebas (Kezdi, 1979). Marzuko (2009)
penambahan 5% aspal emulsi pada tanah berbutir halus meningkatkan nilai kohesi
168.254% terhadap tanah asli pada pemeraman 14 hari. Al-Khashab, et.al (2008)
stabilisasi tanah dengan aspal emulsi menaikkan sedikit plastisitas tanah. Yanoarius
Katmok (2008) stabilisasi tanah lempung dengan aspal emulsi meningkatkan nilai
CBR dan nilai kuat tekan bebas.
Erosi dan sedimentasi adalah dua proses yang saling berhubungan dan terkait
satu dengan yang lain. Suripin (2001) erosi dan sedimentasi merupakan proses
terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material
tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material
yang terangkut di tempat yang lain.
Hujan adalah merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya erosi tanah.
Musgrave (1947, dalam Kirby, 1980) ada suatu hubungan antara karakteristik hujan
dan banyaknya tanah yang tererosi. Tetesan air hujan yang menghantam muka bumi
mengakibatkan terlemparnya partikel tanah ke udara. Akibat dari gravitasi bumi,
maka partikel-partikel tersebut jatuh kembali ke bumi dan sebagian partikel halus
menutupi pori-pori tanah sehingga porositas tanah menurun. Tetesan air hujan juga
dapat menimbulkan pembentukan lapisan keras pada lapisan permukaan, yang dapat
mengakibatkan kapasitas infiltrasi tanah berkurang sehingga air yang mengalir di
permukaan sebagai faktor penyebab terjadinya erosi oleh aliran air akan bertambah
besar.
Sugiarto (2008), laju erosi cenderung meningkat secara eksponensial seiring dengan
peningkatan intensitas hujan dan cenderung menurun secara linier seiring dengan
peningkatan derajat kepadatan tanah. Faisal (2002) jumlah erosi yang dipengaruhi
oleh intensitas hujan dan kemiringan lereng secara simultan mengikuti kurva
linier.
Jenis erosi yang paling umum terjadi pada suatu lahan adalah erosi percikan dan
erosi aliran permukaan. Erosi percikan adalah erosi yang terjadi akibat terlepas dan
terlemparnya partikel-partikel tanah dari induknya akibat pukulan air hujan secara
langsung. McIntyre (1958) dalam Suripin (2001) proses erosi percikan terdiri atas
tiga tahap, yaitu (1) terjadinya penggemburan yang cepat pada permukaan tanah
sehingga kohesinya menurun, akibatnya laju erosi percikan akan meningkat;
(2) terjadinya pemadatan permukaan akibat pukulan butiran air hujan sehingga
terbentuk lapisan kerak (crust) tipis yang akan menurunkan jumlah partikel tanah
24/10/2011 11:40:18
124
yang terlempar ke udara dan meningkatkan akumulasi air permukaan; (3) terjadinya
turbulensi aliran permukaan yang mampu mengangkut sebagian lapisan kerak pada
permukaan tanah.
Erosi aliran permukaan adalah erosi yang terjadi hanya dan jika intensitas dan/
atau lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi atau kapasitas simpanan air tanah.
Jika aliran permukaan yang terjadi tidak merata dan arah alirannya tidak beraturan,
maka kemampuan aliran untuk mengikis tanah juga tidak sama atau tidak merata
pada semua tempat. Faktor yang berpengaruh terhadap laju erosi permukaan adalah
kecepatan dan turbulensi aliran. Pada kecepatan rendah dan aliran tenang, aliran
permukaan cenderung tidak menyebabkan terjadinya erosi. Sebaliknya pada batas
kecepatan tertentu aliran permukaan akan mampu mengikis permukaan tanah, hal
mana terjadi bila energi aliran permukaan melebihi daya tahan tanah. Salah satu
faktor yang memengaruhi kecepatan aliran permukaan adalah derajat kemiringan
lereng. Makin besar derajat kemiringan lereng makin besar pula kecepatan aliran,
dengan demikian laju erosi akan meningkat. Faisal (2002), Muliadi (2008), dan
Bakri (2008) mendapatkan laju erosi meningkat seiring dengan meningkatnya
derajat kemiringan lereng.
2. Hasil dan Pembahasan
a. Karakteristik tanah
Hasil pengujian analisis saringan contoh tanah, diperoleh persentase fraksi kasar =
74.54 %, fraksi halus = 25.46 %, dan fraksi pasir = 70.24 %. Pengujian konsistensi
Atterberg diperoleh batas cair = 30.90 %, batas plastis = 23.73 % dan indeks
plastisitas = 7.17 %. Hasil observasi secara visual di lapangan warna tanah adalah
coklat kemerahan yang oleh masyarakat setempat disebut pasir merah.
Berdasarkan klasifikasi USCS dengan persentase fraksi halus (25.46 %) > 12 % dan
persentase lolos saringan no.4 (100 %) > 50 %, tanah ini termasuk kategori pasir
(SM atau SC). Berdasarkan batas cair = 30.90 % dan indeks plastisitas = 7.17 %,
tanah berada pada daerah ML dan OL. Dapat disimpulkan tanah ini termasuk jenis
tanah pasir kelempungan dengan plastisitas rendah. Menurut sistem klasisifikasi
USDA, tanah ini termasuk dalam kelas tekstur tanah geluh lempung kepasiran
(Sandy Clay Loam). Dan sistem klasifikasi AASHTO, tanah ini termasuk kelompok
A-2-4 (tanah pasir berlempung).
b. Karakteristik laju erosi
Tabel 1, menampilkan hasil pengukuran laju erosi.
Tabel 1. Hasil pengukuran laju erosi
Intensitas hujan
(mm/jam)
Ae0
Ae60
Ae80
Ae100
50
115.71
41.36
28.89
17.60
65
166.53
66.12
46.56
20.19
80
237.70
87.17
64.91
23.47
Keterangan
Ae0 = tanah asli, Ae60, Ae80, Ae100 =
stabilisasi aspal emulsi ; 60, 80 dan
100 cc/m2
24/10/2011 11:40:18
125
24/10/2011 11:40:18
126
80
100
50
65
80
50
65
80
50
65
80
115.71
166.53
237.70
115.71
166.53
237.70
115.71
166.53
237.70
41.36
66.12
86.17
28.89
46.56
64.91
17.60
20.19
30.49
% x E0 Reduksi
(%)
(%)
35.74
39.71
36.25
24.97
27.96
27.31
15.21
12.13
12.83
64.26
60.29
63.75
75.03
72.04
72.69
84.79
87.87
87.17
Ratarata
(%)
62.77
73.26
86.61
Tabel 2 memperlihatkan perbandingan laju erosi tanah yang distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi masing-masing 60 cc/m2, 80 cc/m2, dan 100 cc/m2 terhadap
tanah tanpa stabilisasi. Terlihat bahwa laju erosi pada tanah yang distabilisasi aspal
emulsi dengan konsentrasi 60 cc/m2 mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan laju erosi yang terjadi pada tanah tanpa stabilisasi. Besarnya laju erosi yang
terjadi pada konsentrasi 60 cc/m2 rata-rata sebesar 37.23 % terhadap laju erosi pada
tanah tanpa stabilisasi. Dengan kata lain laju erosi pada tanah tanpa stabilisasi akan
tereduksi (berkurang) sebesar 62.77 % jika tanah tersebut distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 60 cc/m2. Laju erosi pada tanah yang distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 80 cc/m2 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju
erosi yang terjadi pada tanah tanpa stabilisasi. Besarnya laju erosi yang terjadi pada
konsentrasi 80 cc/m2 rata-rata sebesar 26.74 % terhadap laju erosi pada tanah tanpa
stabilisasi. Dengan kata lain bahwa laju erosi pada tanah tanpa stabilisasi akan
tereduksi (berkurang) sebesar 73.26 % jika tanah tersebut distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 80 cc/m2. Demikian halnya jika tanah distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 100 cc/m2 juga menunjukkan penurunan jika dibandingkan
dengan laju erosi yang terjadi pada tanah tanpa stabilisasi. Besarnya laju erosi
yang terjadi pada konsentrasi 100 cc/m2 rata-rata sebesar 13.39 % terhadap laju
erosi pada tanah tanpa stabilisasi. Dengan kata lain bahwa laju erosi pada tanah
tanpa stabilisasi akan tereduksi (berkurang) sebesar 86.61 % jika tanah tersebut
distabilisasi aspal emulsi dengan konsentrasi 100 cc/m2.
24/10/2011 11:40:18
127
24/10/2011 11:40:19
128
Sehingga untuk kondisi penelitian ini, laju erosi dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu intensitas hujan dan konsentrasi aspal emulsi. Jadi laju erosi adalah merupakan
fungsi dari besarnya intensitas hujan, dan konsentrasi aspal emulsi. Hubungan
fungsional antara laju erosi dengan intensitas hujan dan konsentrasi aspal emulsi
adalah merupakan model laju erosi dari tanah yang distabilisasi dengan aspal
emulsi. Model ini diperoleh melalui analisis parameter tak berdimensi antara laju
erosi, intensitas hujan dan konsentrasi aspal emulsi, dengan menggunakan metode
Basic Echelon Matrix. Dari analisis matrix ini diperoleh hubungan parameter tak
berdimensi sebagai berikut :
0
(1)
24/10/2011 11:40:19
129
emulsi dengan intensitas hujan berpengaruh sangat kuat terhadap laju erosi. Dari
grafik hubungan ini terlihat, makin besar konsentrasi aspal emulsi dan makin kecil
intensitas hujan, perbandingan kedua parameter ini akan makin besar dan laju erosi
semakin kecil. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa penambahan konsentrasi aspal
emulsi dapat mereduksi laju erosi dan kenaikan intensitas hujan memacu kenaikan
laju erosi.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Ketua Jurusan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin dan secara khusus kepada Kepala Laboratorium
Hidrolika dan Laboratorium Mekanika Tanah, yang telah memberi kesempatan
kepada penulis untuk melakukan penelitian.
Daftar Pustaka
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua Cetakan Kedua IPB
Press. Bogor.
Arsyad, U. 2010. Analisis Erosi pada berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan
Kemiringan Lereng di DAS Jeneberang Hulu. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Bakri, B. 2008. Studi Eksperimental Penentuan Laju Erosi Pada Tanah Lempung
Plastisitas Tinggi. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Bowles, J. E., Hainin, J. K. 1986. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Chaplot, V.A.M., and Bissonnais, Y.L. 2003. Runoff Features for Interrill Erosion
at Different Rainfall Intensities, Slope Lengths, and Gradients in an
Agricultural Loessial Hillslope. Soil Science Society of America Journal.
Online : (http://soil.scijournals.org/cgi/content/abstract/67/3/844)21 Juni
2010
Dariah, A. 2007. Bahan Pembenah Tanah, Prospek dan Kendala Pemanfaatannya.
Tabloid Sinar Tani. Online diakses 15 Juni 2010.
Das, B.M., Endah, N., Mochtar, I.B. 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip
Rekayasa Geoteknis) Jilid 1 dan 2, Penerbit Erlangga. Jakarta.
Faisal, U. 2002. Evaluasi Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng
Terhadap Jumlah Erosi. Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin
Hardiyatmo, H.C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hernawati. 2005. Pengaruh Penambahan Kapur dan Aspal Emulsi terhadap Daya
Dukung Tanah. UNNES. Online: (http://digilib.unnes. ac.id/gsde/collect/
wrdpdf-e/import/5114971874.pdf) diakses 2/9/2010.
Kartasapoetra, A. G., Sutedjo, M. M. 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air.
Bina Aksara. Jakarta.
24/10/2011 11:40:19
130
24/10/2011 11:40:19
INTISARI
Sebelum mencapai tahap pekerjaan fisik suatu bangunan air dibutuhkan suatu
analisis pendukung. Dalam bangunan air dikenal analisis hidrologi dan hidrometri
yang merupakan bagian analisis yang sangat dominan. Jaringan
kanal dan bangunan pengendali air sangat dibutuhkan dalam pengelolaan air agar dapat meningkatkan produksi hasil hutan tanaman industri (HTI) di lahan rawa pasang surut.
Pembangunan HTI diharapkan akan memberikan kontribusi pada pembangunan
ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah
menentukan debit kanal untuk keperluan bangunan air di rawa pasang surut Penelitian lapangan dilaksanakan di Distrik Simpang Tiga untuk pengukuran muka air
kanal di PT. SBA Wood Industries di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Pekerjaan diawali dengan mengukur geometrik penampang saluran, muka air kanal periode April hingga Juni 2010. Hasil pengukuran dijadikan masukan untuk menentukan parameter persamaan rating curve. Cara penentuannya dengan menggunakan
program komputer Cubic Spline Interpolation (CSI) dan HOBO water level. Hasil
penelitian ini yaitu lebar saluran sekitar 8-10 m, kedalaman sekitar 3-4 m. Debit
hilir (downstream) 6,044 m/sekon dan menghasilkan persamaan rating curve Qw
= a.Hwb. dimana koefisien a yaitu 1,27 dan b yaitu 1,75. dan H adalah muka air
di kanal. Pengukuran tinggi muka air kanal maksimum yaitu 2,43 m dan debit
yang diperoleh yaitu 6,393 m3/sekon, sedangkan dengan menggunakan persamaan
rating curve diperoleh tinggi muka air (Hw) max 3,110 m; min 0,270 m dan ratarata 2,887 m dan debit kanal (Qw) max yaitu 9,311 m3/sekon minimum 0,129 m3/
sekon dan rata-rata 7,243 m3/sekon. Tinggi muka air antara kedua pengukuran
tersebut yaitu 2,43 m dan 3,11 m. Sedangkan debit antara kedua pengukuran tersebut yaitu 6,393 m3/sekon dan 9,311 m3/sekon. Dari penelitian ini terbukti bahwa
daerah penelitian adalah rawa yang dipengaruhi pasang surut ini ditunjukkan dari
perbedaan hasil pengukuran tinggi muka air dan debit tersebut.
Kata kunci: Rawa pasang surut, Pengelolan air, Cubic Spline Interpolasi,
Rating curve, Hutan tanaman industri. Muka air di saluran.
131
24/10/2011 11:40:19
132
1. PENDAHULUAN
Lahan rawa pasang surut memiliki potensi yang besar dan prospek pengembangan
yang baik, serta merupakan salah satu pilihan strategis sebagai areal Hutan Tanaman
Industri (HTI) (Soewarso, 2003; Maas, 2003; Amdal, 2004; Noor, 2006). Berbagai
pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi
hasil hutan tanaman industri (HTI) agar diharapkan memberikan kontribusi pada
pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat (Soewarso, 2003; Litbang
Sinarmas Forestry, 2005; Daryono, 2009).
Pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan HTI di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan air dapat mengendalikan kondisi muka air
tanah (water table) di lahan yang fluktuatif (Arifjaya dan Kalsim, 2003). Namun
demikian, pengelolaan air masih terkendala oleh kondisi infrastruktur pengendali
air yang belum memadai. Dalam pengelolaan air harus diketahui debit drainase berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengukuran debit itu penting, tapi
terkendala dengan pengolahan datanya yang rumit (Loebis, 1989; Triatmojo, 1996;
(Setiawan, 2007). Salah satu program untuk penghitungan debit yaitu Program
Cubic Spline Interpolation (Setiawan, 1997) yang dimodifikasi oleh Setiawan dkk
(2007) menjadi program Cubic Spline Interpolation khusus untuk penghitungan
debit sungai, kedalaman muka air dapat diukur menggunakan HOBO water level .
(Setiawan, 2007) HOBO, www.onsetcomp.com/water-level-logger.
Penelitian ini bertujuan 1) Menentukan debit drainase dan formula kurva debit
rating curve, 2) Menganalisis debit drainase mengikuti formula rating curve tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan khasanah
bagi pengelolaan lahan yang lestari dan berkelanjutan di lahan basah dengan pengaruh pasang surut.
2. BAHAN DAN METODE
2.1. Deskripsi lokasi
Penelitian dilaksanakan di Distrik Simpang Tiga (PT.SBA Wood Industries), Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Luas distrik ini sekitar 31.000 ha, lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Pengamatan lapangan dilaksanakan dalam
periode 16 April sampai 7 Juni 2010.
24/10/2011 11:40:19
133
24/10/2011 11:40:19
134
Kecepatan aliran (V) diketahui dengan melakukan pengukuran di lapangan menggunakan alat kecepatan arus (current meter). Hasil pengukuran tersebut dengan
menggunakan rumus Strikler V = 1/n. R 1/2. S2/3 akan diperoleh kemiringan saluran (S) yaitu 0,000052. Kecepatan aliran (V) dipengaruhi oleh koefisien kekasaran
Manning (n), kemiringan saluran (S) sehingga akan mempengaruhi nilai Debit air
kanal. Begitu juga jari-jari hidrolika (R) akan mempengaruhi luas penampang basah (A) dan keliling saluran (P) sehingga akan mempengaruhi nilai Debit air kanal.
Begitu juga dimensi kanal, jika terjadi erosi tebing kanal dan sedimentasi sehingga
akan mengubah dimensi kanal tersebut, dan akhirnya akan mempengaruhi nilai
Debit air kanal.
Parameter hidrolika kanal seperti : 1). Lebar penampang kanal digunakan untuk
merancang dimensi pintu pelimpas air (overflow). 2). Kecepatan air (V) dan luas
penampang basah kanal (A) digunakan untuk menentukan debit aliran Q.
Gambar 2 menyajikan hasil pengukuran dan perhitungan CSI profil kanal (cross
section). Lebar penampang kanal adalah 8,75 m, dalam kanal berkisar antara 3-4 m.
Dengan menggunakan Program Cubic Spline Interpolation Profil kanal langsung
tersaji.
Gambar 2. Hasil pengukuran dan perhitungan CSI profil kanal (cross section)
Desain awal PT. SBA untuk kanal primer lebar atas 12 m, lebar bawah 9 m,
dan kedalaman 3,5 m; kanal sekunder lebar atas 6 - 8 m, lebar bawah 4-5 m dan
kedalaman 3 m. Sedangkan hasil pengukuran diperoleh 8,75 m, kedalaman kanal
berkisar 3-4 meter Perubahan ukuran ini atas pertimbangan ekonomis dan teknis.
Dengan kedalaman 3-4 m saat tinggi air di kanal max 2,43 m air tidak keluar
kanal.
Manfaat dari tinggi air separuh penampang tadi yaitu untuk menghitung tinggi air
(Hw) dan debit air (Qw).
Gambar III-2 menyajikan estimasi hubungan debit dan tinggi air kanal (rating curve).
Tinggi air max hasil pengukuran 2,43 m, debit menggunakan CSI didapat 6,044
m/sekon. Agar debit CSI dapat digunakan untuk perhitungan selanjutnya maka
debit CSI harus sama dengan debit pengukuran, maka perlu dicoba-coba koefisien
a dan b nya, sehingga didapat koefisien a yaitu 1,27 dan b yaitu 1,75. Karena error
yang didapat 0, 00000004 dan R= 1,0 maka program ini layak digunakan.
24/10/2011 11:40:19
135
Gambar 3. Hasil estimasi hubungan debit dan tinggi air kanal (rating curve)
Menurut Setiawan, 2007. hasil estimasi hubungan debit dan tinggi air di Sungai
Krudeng Aceh menghasilkan persamaan debit (rating curve) Q = 0,1649.H.2,8884.
Pola persamaan rating curve kedua penelitian ini adalah sama karena hasil penelitian
menghasilkan persamaan debit (rating curve) yaitu Qw = a Hwb . dimana a adalah
1,27 dan b adalah 1,75 . Perbedaan kedua penelitian ini adalah pada nilai besaran
dari koefisien a dan b tersebut. Manfaat persamaan rating curve Qw= 1,27 H1,75
adalah untuk menentukan debit air kanal.
3.2. Debit air kanal dan hubungannya dengan hujan dan pasang surut
Perhitungan debit kanal yaitu dengan menggunakan persamaan rating curve Qw=a.
HWb dimana : Qw adalah debit air kanal; a adalah suatu koefisien yaitu 1,27;
Hw adalah tinggi muka air hasil pengukuran HOBO water level; b adalah suatu
koefisien adalah 1,75.
Tinggi muka air (Hw) periode 17 April 5 Juni yaitu max 3,110 m; min 0,270 m
dan rata-rata 2,687 m, dan debit kanal (Qw) max yaitu 9,311 m3/det rata-rata 0,129
m3/sekon dan min 7,243 m3/det. Tinggi muka air (Hw) periode 17 26 April yaitu
max 3,057 m; rata-rata 2,981 m dan min 2,891 m, dan debit kanal (Qw) max yaitu
9,034 m3/det rata-rata 8,646 m3/sekon dan min 8,191 m3/sekon. Data hujan periode
17 -26 April diperoleh max 15,800 mm/jam, rata-rata 0,349 mm/jam dan min 0,000
mm/jam. Evapotrasnpirasi 0,690 mm/jam; 0,139 mm/jam dan min 0,000 mm/jam.
24/10/2011 11:40:20
136
Gambar 4. Hasil pengukuran debit dan hujan periode 17-26 April 2010
Debit dengan menggunakan pengukuran parameter kanal diperoleh 6,393 m3/
sekon, sedangkan debit kanal menggunakan Data HOBO diperoleh (Qw) max yaitu
9,034 m3/det rata-rata 8,646 m3/sekon dan min 8,191 m3/sekon. Perubahan debit ini
menunjukkan ada kejadian pasang surut laut kemudian masuk ke sungai sekitar
dan sungai Blidang dan akhirnya masuk ke kanal.
Hujan merupakan salah satu parameter iklim yang mempengaruhi terjadinya
fluktuasi muka air kanal, air hujan yang jatuh di lahan akan masuk ke kanal dan
volume air atau debit air di dalam kanal akan bertambah dan akan berimplikasi pada
kedalaman muka air kanal. Hasil pengukuran hujan diperoleh max 15,800 mm/jam,
rata-rata 0,349 mm/jam dan min 0,000 mm/jam. Temperatur pada tekanan atmosfer
barometer max 39,276C; min 23,004C; rata-rata 27,927 C. Temperatur pada
muka air kanal (water level) max 32,394C; min 26,781C; rata-rata 27,792C.
Saat terjadi hujan tetapi debit air di kanal rendah ini menandakan ada pengaruh
temperatur yang tinggi pada air kanal yang akan terjadi proses penguapan
(evaporasi) pada air kanal dan juga ada kejadian air surut. Saat tidak ada hujan
tetapi ada air di kanal, ini menunjukkan ada pengaruh temperatur yang rendah
yang akan mengakibatkan penguapan air di kanal (evaporasi) juga rendah ,
selain ada proses evaporasi juga ada kejadian air pasang sehingga walau tidak
ada hujan atau hujan rendah masih ada debit air di kanal. Manfaat data hujan (R),
debit air kanal (Qw) digunakan dalam persamaan neraca air (water balance) untuk
menentukan muka air tanah (water table).
Kesimpulan
Beberapa program penghitungan debit salah satunya adalah program Cubic Spline
Interpolation (CSI) yang sangat cepat dalam penghitungan debit dan penampang
saluran langsung tersaji. Parameter kanal yang didapatkan meliputi lebar penampang
yaitu 8,75 m. Kedalaman kanal 3-4 meter. Tinggi muka air di saluran maksimum
2,43 m. Luas penampang basah (A) 17,802 m2. serta Debit yang diperoleh yaitu
6,044 m3/sekon serta persamaan rating curve yang diperoleh yaitu Qw= a.Hwb.
dimana koefisien a adalah 1,27 dan b adalah 1,75.
24/10/2011 11:40:20
137
Pengukuran tinggi muka air kanal maksimum yaitu 2,43 m dan debit yang diperoleh
yaitu 6,393 m3/sekon, sedangkan dengan menggunakan persamaan rating curve
diperoleh tinggi muka air (Hw) max 3,110 m; min 0,270 m dan rata-rata 2,887 m
dan debit kanal (Qw) max yaitu 9,311 m3/sekon minimum 0,129 m3/sekon dan ratarata 7,243 m3/sekon. Tinggi muka air antara kedua pengukuran tersebut yaitu 2,43
m dan 3,11 m. Sedangkan debit antara kedua pengukuran tersebut yaitu 6,393 m3/
sekon dan 9,311 m3/sekon. Sehingga harus jadi perhatian dan berhati- hati dalam
merencanakan bangunan air. Dari penelitian ini terbukti bahwa daerah penelitian
adalah rawa yang dipengaruhi pasang surut ini ditunjukkan dari perbedaan hasil
pengukuran tinggi muka air dan debit tersebut.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui persamaan neraca air (water
balance) untuk mengetahui hubungan antara water tabel dan water level yang
optimum.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan dari IPB
penemu dan mengembangkan Program Komputer Cubic Spline Interpolation dan
PT. SBA Woods Industres Region Palembang, Khususnya Direktur Utama Bapak
Dr. Ir. Soewarso, MS, juga untuk Dr. Ir. Dwi Setyawan, Msi dari Unsri Palembang
yang telah memberi kesempatan kepada penulis melakukan penelitian, sehingga
tersusunnya makalah ini. Makalah ini adalah bagian dari penelitian Analisis
kebutuhan dimensi bangunan overflow untuk pengelolaan air di rawa pasang
surut. Yang sudah diterbitkan oleh Jurnal Irigasi Bekasi Mei 2011 dan juga telah
dipresentasikan pada Seminar Internasional HATHI 15-17 Juli di Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Arifjaya,N.M; Kalsim,D.K. 2003. Rancangan Desain Sistem Tata Air Pada
Pengembangan Lahan Gambut Pasang Surut Berwawasan Lingkungan.
www.Google.com
Badan Litbang Sinar Mas Forestry. 2005. Basic Forestry Training. Sinarmas
Forestry Jakarta.
Chow,V.T.1989.Hidrolika Saluran Terbuka (Open Channel Hydraulics). Alih
Bahasa oleh N.Rosalina.Penerbit Erlangga.Bandung. Hal 90-103 dan. 456460
Daryono, H.2009. Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam
Pengelolaan Hutan dan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, Vol 6, No.2, Hal : 78-101.
Hardjoamijoyo, S; Setiawan, B.I. . April 2001. Pengembangan dan pengelolaan
Air di Lahan basah. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol.15, No.1. Hal 40-47
Harto BR, Sri.. 1993. Hidrologi Tiori Masalah dan Penyelesaian. PAU Ilmu
Teknik UGM Yogyakarta
24/10/2011 11:40:20
138
Harto BR, Sri; Sudjarwadi. 1993. Model Hidrologi PAU Ilmu Teknik UGM
Yogyakarta
Harsono, Edie. 2009. Disertasi. Hubungan Type aliran dengan Produktivitas
Tanaman Pangan. Universitas Tarumanegara. Jakarta.
Indoforest. Prospek Reformasi kebijakan kehutanan. www.google.com
Kondoatie, Robert. 2006. Jaringan Reklamasi Rawa.Makalah Seminar Nasional
Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional.
Jakarta.
Loebis J, Soewarno, Suprihadi,1993. Hidrologi Sungai. Yayasan Badan Penerbit
Pekerjaan Umum. Jakarta.
Maas, Azwar. 2003. Peluang dan Konsekuensi Pemanfaatan Lahan Rawa Pada
Masa Mendatang. Orasi Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah
Mada
Notohadiprawiro, T. 2006. Sarian Kumpulan Lahan Basah. www. Google.com..
Notohanagoro, Tejoyuwono. Perspektip Pengembangan Lahan Basah, Maslahat
dan Mudarat. www.google.com
Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan kendala. Kanisius.
Yogyakarta.
Noor, Muhammad. 2006. Lahan Rawa , Sifat dan Pengelolaan Tanah bermasalah
Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
PT. Bina Silva.2004. Laporan Analisis Dampak Lingkungan Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) Ogan Komering Ilir Propinsi
Sumatera Selatan.
PT. Harimada Bimaraksa. Engineering & Management Consultan. 2000. Laporan
Pendukung Survey Hidrometri/Hidrologi periode Musim Basah (Wet
Season) Rawa Pasang Surut Sungai Lumpur Kabupaten OKI.Sumatera
Selatan. Bandung.
Setiawan, B.I. 1997. Penerapan Cubic Spline Interpolation dalam Penentuan Debit
Sungai. Jurnal Teknik Pertanian. Vol.5, No.1, Hal:1-8.
Setiawan, B.I., Rudiyanto, M.Idkham, Mustafril, M.Yasar, Devianty. 2007.
Perbaikan Metode Penghitungan Debit Sungai menggunakan Cubic Spline
Interpolation. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol.21, No.3, Hal:307-312.
Soewarso, 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut
dengan menggunakan Model Prediksi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Sosrodarsono, S; Takeda, K. 1983, Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta. Hal 200 203.
Triatmojo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset Yogyakarta.Hal 107-127.
Triatmojo, B. 1996. Hidrolika I & II. Beta Offset Yogyakarta.
Water level Data Loggers. www.onsetcomp.com/water-level-logger
24/10/2011 11:40:20
2)
HATHI Cabang NTT; Staf Pengajar Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil,
UNIKA Widya Mandira-Kupang
srsusipi@yahoo.com, sr.susi.dp@gmail.com
Intisari
Salah satu tantangan pada aplikasi sistem informasi geografis dalam model hidrologi
adalah bagaimana perubahan keruangan dapat disimulasikan secara interaktif,
mudah, cepat dengan hasil yang akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk
penelitian maupun untuk pengambilan keputusan. Model hidrologi memungkinkan
prediksi proses-proses hidrologi pada Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi harus
juga dapat mengakomodasi perubahan-perubahan keruangan dalam DAS, karena
masalah hidrologi juga merupakan masalah keruangan. Dilain pihak ada sistem
informasi geografis (SIG), yang merupakan sistem berbasis komputer untuk
pengelolaan data keruangan. Maka perlu pengintegrasian antara model hidrologi
dan SIG, sehingga mampu menjawab tantangan di atas.
Pengintegrasian SIG dalam model hidrologi ini dilakukan untuk pulau-pulau kecil
di Indonesia yang dapat mendukung pengembangan sistem jebakan air berantai
yang diharapkan dapat mengatasi benjir dan kekeringan. Pertama-tama dilakukan
pengidentifikasian masalah, selanjutnya pengumpulan data lapangan.untuk persiapan
pengembangan model SIG. Model ini kemudian diaplikasikan untuk mendukung
pengembangan sistem jebakan air berantai pada pulau-pulau kecil tersebut.
Maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendukung pengembangan sistem
jebakan air berantai melalui simulasi yang dilakukan secara interaktif, mudah, cepat
dan akurat. Hasil aplikasi dari model ini sangat mendukung dalam pengembangan
sistem jebakan air berantai melalui simulasi yang interaktif, mudah, cepat dengan
hasil yang akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk penelitian maupun untuk
pengambilan keputusan, terutama untuk menunjukkan letak jebakan air berantai
dengan jumlah dan sistem yang lebih efektif dan efisien
Kata kunci: sistem informasi geografis (SIG), model hidrologi, jebakan air,
banjir dan kekeringan, pulau-pulau kecil
139
24/10/2011 11:40:20
140
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Banyak banjir di atas bumi, merupakan suatu akibat pesatnya perluasan perkotaan
atau alih fungsi lahan. Perubahan alih fungsi lahan ini seringkali juga tidak
diimbangi dengan usaha-usaha pencegahan banjir. Penyusutan lahan penutupan
vegetasi dan tampungan alami mempengaruhi keseimbangan hidrologi daerah
aliran sungai. Semakin banyak penyusutan lahan vegetasi ini terjadi, maka akan
menyebabkan semakin besarnya limpasan permukaan (runoff) yang akan terjadi,
yang akan menyebabkan banjir. Suatu model hidrologi, memungkinkan prediksi
proses hidrologi tersebut pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Tetapi model hidrologi
ini memiliki keterbatasan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan keruangan
dalam DAS, sedangkan masalah hidrologi juga merupakan masalah keruangan.
Dilain pihak, ada sistem informasi geografis (SIG), yang merupakan sistem berbasis
komputer untuk pengelolaan data keruangan. Dalam sistem informasi geografis,
dimungkinkan untuk melakukan analisis data secara keruangan, antara lain pada
analisis perubahan tata guna lahan, yang sangat menentukan terjadinya proses
hidrologi berupa limpasan permukaan (runoff) yang terjadi.
Karenanya, merupakan satu tantangan pada aplikasi sistem informasi geografis
dalam model hidrologi adalah bagaimana perubahan keruangan dapat disimulasikan
secara interaktif, mudah, cepat dengan hasil yang akurat, sehingga dapat digunakan
baik untuk penelitian maupun untuk pengambilan keputusan. Hal ini diperlukan
suatu usaha pengintegrasian antara model hidrologi dan SIG, sehingga mampu
menjawab tantangan di atas.
Ruang lingkup kegiatan ini adalah pulau-pulau kecil, khususnya pada daerah
kering Indonesia seperti di NTT. Hal ini merupakan usaha pengembangan model
integrasi sistem informasi geografis dan model hidrologi yang dapat mendukung
suatu pengembangan model sistem jebakan air berantai yang diharapkan dapat
mengatasi banjir dan kekeringan pada pulau-pulau kecil. Sedangkan maksud dan
tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendukung pengembangan sistem jebakan
air berantai melalui simulasi yang dilakukan secara interaktif, mudah, cepat dan
akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk penelitian maupun untuk pengambilan
keputusan, terutama untuk menunjukkan letak jebakan air berantai dengan jumlah
dan sistem yang lebih efektif dan efisien
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN METODOLOGI
Kajian Pustaka
Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS)
adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG
adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data
yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi
kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000 dalam Husein R, 2008). Menurut Anon
(2001) dalam As-syakur, A.R, (2007), sistem informasi geografi adalah suatu
24/10/2011 11:40:20
141
sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data
teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geogrfis di bumi (georeference).
Disamping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan
analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan
acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan
geografi. Aplikasi SIG dapat digunakan untuk berbagai kepentingan selama data
yang diolah memiliki referensi geografi, maksudnya data tersebut terdiri dari
fenomena atau objek yang dapat disajikan dalam bentuk fisik serta memiliki lokasi
keruangan (Indrawati, 2002). Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi
Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah
dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Ciri utama data yang bisa
dimanfaatkan dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat
dengan lokasi dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi (Dulbahri,
1993 dalam As-syakur, A.R, 2007).
Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data
atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah
analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan
dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data atribut
merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek
sebagai data spasial. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam
bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Struktur data spasial dibagi
dua yaitu model data raster dan model data vektor model data digital terrain model
(DTM)/digital elevation model (DEM). (Barus dan Wiradisastra, 2000). Ada dua
tipe DEM yaitu, TIN (Triangulated Irregular Network), merupakan penggambaran relief hasil interpolasi titik-titik ketinggian berdasarkan sistem triangulasi yang
beraturan, dan Grid/Lattice, yang merupakan penggambaran relief secara rastering
hasil interpolasi titik-titik ketinggian yang tersebar secara teratur.
Lukman, (1993) dalam As-syakur, A.R, (2007), menyatakan bahwa sistem informasi
geografi menyajikan informasi keruangan beserta atributnya, terdiri dari beberapa
komponen utama yaitu:
1. Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer dari peta
(peta topografi dan peta tematik), data statistik, data hasil analisis penginderaan jauh data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh, dan lain-lain.
Data-data spasial dan atribut baik dalam bentuk analog maupun data digital
tersebut dikonversikan kedalam format yang diminta oleh perangkat lunak sehingga terbentuk basisdata (database). Menurut Anon (2003) basisdata adalah
pengorganisasian data yang tidak berlebihan dalam komputer sehingga dapat
dilakukan pengembangan, pembaharuan, pemanggilan, dan dapat digunakan
secara bersama oleh pengguna.
2. Penyimpanan data dan pemanggilan kembali (data storage dan retrieval) ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat
(penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/cetak pada kertas).
24/10/2011 11:40:20
142
3. Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat dilakukan berbagai macam perintah misalnya overlay antara dua tema peta, membuat buffer zone jarak
tertentu dari suatu area atau titik dan sebagainya. Anon (2003) mengatakan bahwa manipulasi dan analisis data merupakan ciri utama dari SIG. Kemampuan
SIG dalam melakukan analisis gabungan dari data spasial dan data atribut akan
menghasilkan informasi yang berguna untuk berbagai aplikasi
4. Pelaporan data ialah dapat menyajikan data dasar, data hasil pengolahan data
dari model menjadi bentuk peta atau data tabular. Menurut Barus dan wiradisastra (2000) Bentuk produk suatu SIG dapat bervariasi baik dalam hal kualitas,
keakuratan dan kemudahan pemakainya. Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk
peta-peta, tabel angka-angka: teks di atas kertas atau media lain (hard copy),
atau dalam cetak lunak (seperti file elektronik).
Untuk pembuatan dan pengembangan SIG diperlukan: peta topografi digital dan
peta tematik digital. Peta topografi, sebagai kerangka acuan (frame work) untuk
keperluan olah data dan kegiatan analisis spasial (Rupa Bumi), sedangkan Peta
tematik, merupakan basis tematik untuk menghasilkan peta tematik sintesis. Unsurunsur geografik adalah objek-objek yang berlokasi di permukaan bumi atau di
dekat permukaan bumi. Unsur-unsur geografik dapat berbentuk secara alamiah
seperti sungai, tumbuhan; atau terbentuk karena sengaja dikonstruksi/dibangun
seperti jaringan jalan, jaringan pipa, bangunan. Objek yang sengaja diciptakan
untuk menyatakan pembagian tanah/lahan seperti batas administrasi, persil tanah
dan sebagainya (Gambar 1).
Gambar 1. Peta Sebagai Media Penyaji Unsur Geografik (Tunggul, S., 2006)
24/10/2011 11:40:20
143
Gambar 2. Konsep Integrasi Model Hidrologi dan SIG (Tunggul, S., 2006)
24/10/2011 11:40:21
144
Metodologi
Pengintegrasian SIG dalam model hidrologi ini dilakukan untuk pulau-pulau kecil
di Indonesia yang dapat mendukung pengembangan sistem jebakan air berantai
yang diharapkan dapat mengatasi benjir dan kekeringan. Pertama-tama dilakukan
pengidentifikasian masalah, selanjutnya pengumpulan data lapangan untuk
persiapan pengembangan model SIG. Diagram model hidrologi dalam sistem
informasi daerah aliran sungai ditunjukkan dalam Gambar 4. Model ini kemudian
diaplikasikan untuk mendukung pengembangan sistem jebakan air berantai pada
pulau-pulau kecil tersebut.
24/10/2011 11:40:21
145
24/10/2011 11:40:21
146
Gambar 4. Analisa Genangan Air dalam Jebakan Air Berantai (Susilawati, 2011)
Simulasi dilakukan untuk tiap alur drainase alam, yaitu pada alur primer, sekunder
maupun tersier untuk menemukan layout rencana jebakan air berantai (Gambar 5
dan 6).
24/10/2011 11:40:22
147
Gambar 5. Layout Jebakan Air Berantai pada Alur Sekunder (Susilawati, 2011)
Gambar 6. Layout Jebakan Air Berantai pada Alur Primer (Susilawati, 2011)
24/10/2011 11:40:22
148
Analisis neraca air dalam kolam jebakan ditunjukkan seperti dalam Tabel 1 berikut
ini.
Tabel 1. Hasil Analisis Neraca Air dalam Kolam Jebakan (Susilawati, 2011)
<<
<< Back
Back
Neraca air yang melimpas dan harus dapat ditampung dalam kolam jebakan 1
Keterangan
Koeff. Satuan
m3
Debit masukan air
Air yang dapat diresapkan
30% m3
Air yang melimpas
m3
Evaporasi permukaan kolam
m3
Neraca air dalam tampungan
m3
Tinggi genangan
Luas area genangan
Volume genangan
Volume air yang meresap
Maximum air melimpas/bln
6
5207
13003
50449
11507
5
3750
8991
m3
m3
Jan
Peb
3896 16643
4801 8363
0 8279
873
800
11235 13003
4
3125
5452
3
1875
3409
Mar
Apr
Mei
Jun
20984 3719
0
193
10196 5016 3643 3438
10788
0
0
0
738
861
873
794
13003 12142 11269 10475
Jul
0
3143
0
835
9641
Aug
Sep
Okt
Nov
101
56
795 1611
2923 2617
239
650
0
0
557
961
972
998
0
381
8669 7671
557 1137
Des
16926
5419
11507
536
12108
m
m2
m3
KESIMPULAN
Hasil aplikasi dari model ini sangat mendukung dalam pengembangan sistem
jebakan air berantai melalui simulasi yang interaktif, mudah, cepat dengan hasil yang
akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk penelitian maupun untuk pengambilan
keputusan, terutama untuk menunjukkan letak jebakan air berantai dengan jumlah
dan sistem yang lebih efektif dan efisien.
Daftar pustaka
Anon, 2001 dalam As-syakur, A.R, 2007. Sistem Informasi Geografis (SIG)
http://mbojo.wordpress.com/2007/04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Anon, 2003 dalam As-syakur, A.R, 2007. Sistem Informasi Geografis (SIG)
http://mbojo.wordpress.com/2007/04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Barus dan wiradisastra, 2000, dalam Husein R, 2008. Konsep Dasar Sistem
Informasi Geografis.:http://ftsi.files.wordpress.com/2008/04/rahmat-sig.pdf.
Dulbahri, 1993 dalam As-syakur, A.R, 2007. Sistem Informasi Geografis (SIG)
http://mbojo.wordpress.com/2007/04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Indrawati, 2002. dalam Husein R, 2008. Konsep Dasar Sistem Informasi
Geografis.:http://ftsi.files.wordpress.com/2008/04/rahmat-sig.pdf.
Lukman, 1993 dalam As-syakur, A.R, 2007. http://mbojo.wordpress.com/2007/
04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Susilawati, 2011. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di
Kawasan Kering Indonesia. Gita Kasih, Kupang, Indonesia
Tunggul, S., 2005. Sistem Informasi dan Model Simulasi untuk Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Manajemen Banjir, disertasi ITB, Bandung.
24/10/2011 11:40:22