You are on page 1of 156

Full Tema1.

indb 1

24/10/2011 11:39:38

Proceedings Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXVIII


Ambon, 28-30 Oktober 2011
400 halaman, vi
2011
Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI),
Indonesian Association of Hydraulic Engineers
Secretariat, Gedung G VII Direktorat Sumber Daya Air
Jl. Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 - Indonesia
Phone/Fax. +62-21 739 8630, 7279 2263
e-mail: hathi-patco@cbn.net.id

Editor
Prof. Dr. Ir. Sri Harto, Br., Dip., H., PU-SDA
Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, M.Sc., PU-SDA
Prof. Dr. Ir. Rafael Marthinus Osok, M.Sc.
Doddi Yudianto, S.T., M.Sc., Ph.D.

We regret for any errors or omissions that we may have unintentionally made.
ISBN : 978-979-17093-5-4

Full Tema1.indb 2

24/10/2011 11:39:38

iii

Daftar Isi

Sub-Tema I : Pengelolaan Sumber Daya Air Kepulauan


1. Upaya Konservasi Sumber Daya Air Dengan Sistem Jebakan Air Berantai
Yang Diharapkan Dapat Mengatasi Banjir Dan Kekeringan
Pada Pulau-Pulau Kecil Daerah Kering Indonesia .........................................

2. Analisis Muka Air Tanah Di Rawa Pasang Surut Distrik Padang Sugihan
Dan Simpang Heran ...............................................................................................

13

3. Penentuan Tinggi Muka Air Efektif Pada Penggelontoran Sedimen Aliran


Tertekan Berdasar Penilitian Uji Hidrolik Phisik ...........................................

25

4. Ketersediaan Air Di Wilayah Sungai Yang Berbentuk Kepulauan

.............

36

..................

44

6. Pengelolaan Air dalam Rangka Mitigasi Terhadap Degradasi


Lahan Gambut .........................................................................................................

60

7. Bendung Tenggelam Sebagai Pengendali Sedimen Pada Aliran


Dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi ....................................................................

69

8. Kajian Kinerja Embung-Embung Di Pulau-Pulau Kecil


Perbatasan/Terluar Maluku Dengan Metode Kualitatif .................................

78

9. Belajar Dari Embung Tambakboyo di Yogyakarta Untuk Mengatasi


Masalah Sumber Daya Air Di Pulau-Pulau Kecil Dan Pantai ....................

87

10. Pemberian Air Secara Rotasi Untuk Meningkatkan Efektivitas


Air Irigasi . ................................................................................................................

95

Susilawati

Rosmina Zuchri

Pranoto Samto Atmojo, Djoko Legono, Suripin

Radhika, Wildan Herwindo,Muhammad Fauzi, Waluyo Hatmoko

5. Upaya Konservasi Sumber Daya Air WS Kepulauan Madura


Hadi Moeljanto, Ainur Rofiq

L. Budi Triadi

Muchlish Amat

Happy Mulya

Bambang Hargono

Widandi Soetopo, Dwi Priyantoro

11. Teknik Penerapan Water Use Efficiency Pada Padi Sawah


Dengan Irigasi Intermitten . .................................................................................. 101
Susi Hidayah, Isdiyana, Hanhan Ahmad Sofiyuddin

12. Mengatasi Kerusakan Daerah Tangkapan Air Pada Pulau-Pulau Kecil Dengan
Upaya Konservasi Tanah Dan Air Yang Didukung Oleh Ketersediaan Air
Melalui Sistem Jebakan Air Berantai Pada Alur-Alur Alam ........................ 110
Susilawati, Novrini Soan, Prisela Pentewati

Full Tema1.indb 3

24/10/2011 11:39:39

iv

13. Studi Laju Erosi Tanah Pasir Kelempungan Yang Distabilisasi


Dengan Aspal Emulsi ............................................................................................ 121
Elifas Bunga, H. Muh. Saleh Pallu, Mary Selintung, M. Arsyad Thaha

14. Penerapan Program Computer Cubic Spline Interpolation Untuk


Perhitungan Debit Kanal Di Rawa Pasang Surut . .......................................... 131
Rosmina Zuchri

15. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Model Hidrologi Untuk


Mendukung Pengembangan Sistem Jebakan Air Berantai Yang Diharapkan
Dapat Mengatasi Banjir Dan Kekeringan Pada Pulau-Pulau Kecil Di
Indonesia . ................................................................................................................. 139
Tunggul Sutanhaji, Susilawati

Sub-Tema II : Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Pantai dan Pesisir


16. Respon Garis Pantai Karena Pemecah Gelombang Ambang Rendah
Di Pantai Anyer, Serang, Banten ...................................................................... 151
Dede M. Sulaiman, Mahdi E. Sudjana, Suprapto

17. Perbandingan Metode Peramalan Gelombang Groen - Dorrestein Dengan


Metode SPM (Studi Kasus Perairan Lemahabang, Jepara, Jawa Tengah) . ... 161
Yati Muliati

18. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air Di Wilayah Pantai


Dan Pesisir Teluk Bone Dengan Keberadaan Bendung Gerak Tempe
Dan Jetis Ala Marunda .......................................................................................... 169
Subandi, Thomas Raya Tandisau, M.K.Nizam Lembah, Agus Hasanie

19. Aplikasi Produk Geotextile Containment Sebagai Pengganti Batu Untuk


Bangunan Pengaman Pantai . ............................................................................. 179
Andryan Suhendra, Doyo Lujeng Dwiarso

20. Laju Pendangkalan Teluk Losari Di Kota Makassar

Kamaruddin Umar, Abd. Nasser Hasan, Abd. Wahab,


Zahimu Wahid, Andi Muh. Saleh, Mappile

. ....................................

190

21. Transmisi Dan Refleksi Gelombang Pada Pemecah Gelombang


Ambang Rendah Ganda Tumpukan Batu ....................................................... 201
Bambang Surendro, Nur Yuwono , Suseno Darsono

22. Studi Pengamanan Pantai dan Pesisir Pulau Kumbang


Kabupaten Kayong Utara .................................................................................... 213
Stefanus B. Soeryamassoeka, Djono Sodikin, M. Meddy Danial

23. Penerapan Model Fvcom Untuk Pemodelan Gelombang Tsunami


Di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai ............................................................. 223
Dhemi Harlan, Hendra Achiari, Bobby Minola Ginting, Alfa Aldebaran

24. Pengkajian Peran Hutan Mangrove Untuk Pengamanan Pantai


Simon S. Brahmana

Full Tema1.indb 4

................

232

24/10/2011 11:39:39

25. Studi Tentang Perairan Pelabuhan Belawan Dengan GIS


A. Perwira Mulia Tarigan, Wiwin Nurzanah, Goentono

. ...........................

235

26. Peningkatan Efisiensi Fungsi Bangunan Pengaman Pantai (Wave Breaker)


Dengan Rekayasa Vegetasi Sebagai Pelindung Pantai
(Studi Kasus di Pesisir Kalimantan Barat . ....................................................... 245
Aji Ali Akbar, Junun Sartohadi, Tjut Sugandawaty Djohan,
Su Ritohardoyo

27. Rangkaian Batang Semi Apung Sebagai Alternatif Struktur


Pelindung Pantai .................................................................................................... 255
M. Arsyad Thaha, Willem Minggu

28. Pengujian Karakteristik Resapan Dengan Variasi Intensitas Curah Hujan,


Tingkat Kepadatan, Dan Gradasi Tanah Daerah Pesisir . .............................. 264
Halidin Arfan

29. Dampak Peningkatan Badai Tropis Terhadap Erosi Pantai


Di Pulau Bali .......................................................................................................... 278
D. M. Sulaiman, R. W. Triweko, D. Yudianto

Sub-Tema III : Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA


30. Alternatif Teknologi Sistem Penyediaan Air Bersih Penduduk Yang Sehat
Di Pulau Kecil ........................................................................................................ 291
Ratna Hidayat

31. Suatu Gagasan Pengelolaan Air dalam Peningkatan Produktifitas


Tanaman Sagu ......................................................................................................... 302
L. Budi Triadi, Parlinggoman Simanungkalit, T. Firdaus

32. Peran Masyarakat Pada Pengelolaan Polder Banger


Suseno Darsono, Mestika

. ....................................

313

33. Pengentasan Kemiskinan Melalui Identifikasi Potensi Sumber Air Baku di


Kabupaten Kapuas Hulu Untuk Mendukung Pencapaian Target Millenium
Development Goals (MDGs) Bidang Air Minum Tahun 2015 .................. 322
Kartini, Stefanus B. Soeryamassoeka

34. Pemanfaatan Sirin Meragun Sebagai Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air


Bersih Masyarakat Kecamatan Nanga Taman Kabupaten Sekadau .......... 331
Stefanus B. Soeryamassoeka, Jane E. Wuysang, M. Prima Yudistira

35. Mengungkap Peranan Dan Pengaruh Model Stakeholders Terhadap Sda


Di Pulau-Pulau Kecil ............................................................................................. 342
Soedarwoto Hadhisiswoyo

36. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Terpencil


(Studi Kasus Pulau Naen Kabupaten Minahasa Utara) ................................. 350
Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja, Happy Mulya

Full Tema1.indb 5

24/10/2011 11:39:39

vi

37. Pengelolaan Bantaran Sungai Citarum Hilir Dengan Pendekatan


Partisipasi Masyarakat . ......................................................................................... 357
Herman Idrus, Reni Mayasari, Herry Rachmadyanto

38. Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) Lokal


Menunjang Pemberdayaan Masyarakat,
Studi Kasus di Muara Sungai Bogowonto . ...................................................... 363
Nasrun Sidqi, Kisworo Rahayu

39. Peran Serta Masyarakat Secara Partisipatif Dalam Upaya Konservasi


Daerah Irigasi Anjungan Kalimantan Barat .................................................... 372
Henny Herawati, Rizki Purnaini

40. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Untuk Masyarakat Pada Pulau-Pulau
Kecil Daerah Kering Dengan Menggalakkan Program Pengembangan Sistem
Terpadu Penampungan Air Hujan 1-2-1 Dan Jebakan Air Berantai Pada AlurAlur Alam (Studi Kasus Di Pulau Palue, Kabupaten Sikka NTT) . ........... 382
Susilawati, Tunggul Sutanhaji

41. Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pengelolaan Sumber Daya


Air Melalui Sistem Swakelola Dalam Implementasi Pengembangan Model
Pengelolaan Air Hujan Untuk Pertanian Di Desa Daieko,
Kec. Hawu Mehara, Kab. Sabu-Raijua ............................................................. 393
Susilawati, Iskandar, Charisal A. Manu, Ruben Riwu

Full Tema1.indb 6

24/10/2011 11:39:39

Sub-Tema I
Pengelolaan
Sumber Daya Air
Kepulauan

Full Tema1.indb 7

24/10/2011 11:39:40

Full Tema1.indb 8

24/10/2011 11:39:40

Upaya Konservasi Sumber Daya Air Dengan Sistem


Jebakan Air Berantai Yang Diharapkan Dapat
Mengatasi Banjir Dan Kekeringan Pada PulauPulau Kecil Daerah Kering Indonesia
Susilawati
UNIKA Widya Mandira-Kupang
HATHI Kupang, NTT
srsusipi@yahoo.com, sr.susi.dp@gmail.com

Intisari
Perubahan iklim memicu terjadinya bencana banjir dan kekeringan, khususnya
pada pulau-pulau kecil daerah kering Indonesia seperti NTT. Hal ini disebabkan
karena karakteristik hujan yang cenderung berintensitas tinggi-durasi singkat
menyebabkan limpasan permukaan besar sebagai banjir bandang yang langsung
cepat terbuang ke-laut karena ukuran pulau kecil. Akibatnya tidak sempat meresap
ke-dalam tanah, tidak terjadi penyimpanan dan penambahan cadangan air tanah yang
mengakibatkan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini mendorong dilakukannya
upaya konservasi dengan sistem jebakan air berantai pada pulau-pulau kecil.Usaha
ini didasarkan pada prinsip konservasi, ekologi, kearifan lokal dan pemberdayaan
masyarakat, sehingga berkelanjutan. Dari survey lapangan ditemukan gambaran
situasi geologi dan struktur tanah, khususnya berkaitan dengan sifat kelulusan
air, jenis tanah, alur-alur alam untuk menentukan konstruksi dan letak jebakan air
berantai. Selanjutnya dilakukan simulasi analisis hidrologi terpadu dengan sistem
informasi geografis, untuk menemukan letak, jumlah dan sistem jebakan air yang
efektif dan efisien dapat mengurangi banjir dan kekeringan yang terjadi. Dari
upaya konservasi tanah dan air dengan sistem jebakan air berantai ini diharapkan
dapat mengatasi masalah banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim
kemarau.
Kata kunci: konservasi air, jebakan air berantai, banjir, kekeringan,
daerah kering pulau-pulau kecil.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perubahan iklim memicu terjadinya bencana banjir dan kekeringan yang semakin
intensif, khususnya pada pulau-pulau kecil daerah kering Indonesia seperti di NTT.
Hal ini disebabkan karena karakteristik hujan yang cenderung mempunyai intensitas
tinggi dengan durasi yang singkat, menyebabkan limpasan permukaan yang besar
sebagai banjir bandang yang langsung cepat terbuang ke laut karena ukuran pulau
yang kecil. Sebagai akibat dari terbuang-cepatnya air hujan yang jatuh di daratan
tersebut, maka air hujan yang jatuh tersebut tidak memiliki kesempatan untuk
1

Full Tema1.indb 1

24/10/2011 11:39:40

meresap ke dalam tanah, sehingga tidak terjadi penyimpanan dan penambahan


cadangan air tanah yang akan mengakibatkan kekeringan di musim kemarau.
Masalah kekeringan menjadi semakin parah karena singkatnya musim hujan (3-4
bulan) dan lamanya musim kemarau (8-9 bulan), Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Curah Hujan di Sta. Danga Mbay
Bulan
Tahun
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008

Jan

Peb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug

Sep

Okt

Nov

Des

Jumlah

62
60
451
43
112
142
129
76
132
56
62

86
53
0
247
99
141
87
47
36
132
89

0
42
0
129
132
96
128
78
112
138
39

107
0
0
3
49
69
0
3
16
47
101

38
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0

6
0
0
25
0
0
0
0
0
36
0

123
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0

4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
1
0
0
51
0
26
0
0

0
0
0
98
46
56
140
0
57
0
83

0
0
0
122
67
100
97
62
76
247
131

426
155
451
668
507
604
632
266
459
656
505

Sumber, BWS NT II, 2009

Karakteristik iklim yang tidak menguntungkan ini dipicu oleh karakteristik


permukaan tanah yang gundul, sangat minim vegetasi, sehingga menyebabkan
limpasan permukaan semakin besar dan air hujan yang melimpas tersebut cepat
terbuang ke laut karena topografi kemiringan tanah yang tidak menguntungkan
tersebut dan jarak tempuh limpasan ke laut yang pendek disebabkan oleh ukuran
pulau yang kecil (Gambar 1). Usaha-usaha untuk mengatasi situasi ini telah
banyak dilakukan, diantaranya pengembangan sistem embung di NTT yang sudah
dilakukan sejak Tahun 1982 (Heru, M., dkk, 2005), dengan segala keberhasilan
dan kegagalannya (Susilawati, 2011). Usaha konservasi tanah juga telah dilakukan
dengan jalan menanam ribuan pohon pada daerah aliran sungai, namun kurang
berhasil karena kendala kurangnya air untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan
dari pohon yang telah ditanam tersebut.

Gambar 1. Kawasan Mbay

Di lain pihak, bencana banjir dan kekeringan ysng semakin intens dari waktu ke
waktu tersebut, menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat di permukiman karena

Full Tema1.indb 2

24/10/2011 11:39:40

mengganggu kegiatan ekonomi maupun kehidupan sehari-hari dan menimbulkan


banyak kerusakan pada infrastruktur yang ada. Bagi masyarakat petani, situasi
kelebihan air menyebabkan produksi pertanian menurun bahkan gagal, begitu pula
situasi kekurangan air atau kekeringan yang terjadi.
Hal ini mendorong untuk dilakukannya suatu kegiatan upaya konservasi tanah dan
sumber daya air dengan sistem jebakan air berantai pada pulau-pulau kecil, khususnya
pada daerah kering Indonesia seperti di NTT. Kegiatan ini juga merupakan suatu
usaha alternatif pengembangan sumber daya air selain sistem embung yang selama
ini telah dikembangkan dan menemui banyak kendala teknis sehubungan dengan
besarnya evaporasi yang terjadi pada daerah kering ini dan laju sedimentasi yang
cukup besar karena kurangnya vegetasi pada permukaan tanah.
Ruang lingkup kegiatan upaya konservasi sumber daya air dengan sistem jebakan
air berantai ini adalah pulau-pulau kecil, khususnya pada daerah kering Indonesia
seperti di NTT. Hal ini merupakan usaha alternatif pengembangan sumber daya air
selain sistem embung yang selama ini telah dikembangkan dan menemui banyak
kendala teknis sehubungan dengan besarnya evaporasi yang terjadi pada daerah
kering pulau-pulau kecil ini. Sedangkan maksud dan tujuan dari upaya konservasi
sumber daya air dengan sistem jebakan air berantai ini adalah untuk mengatasi
masalah banjir yang terjadi pada musim hujan, dan kekeringan yang terjadi pada
musim kemarau, di mana banyak merugikan perkembangan kegiatan pertanian
dan ekonomi, maupun pemenuhan kebutuhan air untuk masyarakat dan untuk
pertanian
Kajian Pustaka, KONSEP DAN METODOLOGI
Kajian Pustaka
Kajian pustaka untuk menemukan konsep upaya konservasi sumber daya air dengan
sistem jebakan air berantai yang diharapkan dapat mengatasi banjir dan kekeringan
antara lain meliputi beberapa pengalaman konservasi tanah dan air yang dilakukan
di India, Afrika, dan Cina. Dari kajian tersebut, dikembangkan suatu kerangka pikir
dan konsep jebakan air untuk mengatasi permasalahan.
Daerah kering di India mempunyai karakteristik hujan yang singkat dan musim
kemarau yang panjang, sehingga pertanian hanya dimungkinkan selama 2 bulan
setiap tahun dan sangat berisiko (Walker dan Ryan, 1990 dalam Bouma et.al, 2004).
Maka dilakukan investasi besar guna menangkap air hujan dan menyimpannya ke
dalam tanah, membangun waduk air tanah dan air permukaan. Dampaknya pada
konservasi tanah dan air telah mengecewakan, meskipun pemakaian sumber daya
secara berkelanjutan dan distribusi keuntungan produktivitas tanah dan sumber air
juga meningkat (Kerr, 2002, Batchelor et.al, 2003).
Beberapa praktek konservasi tanah dan air di Afrika antara lain dilakukan di
daerah Yatenga Burkina Faso dan di daerah Tahoua Niger, serta di Kyuso
Distrik Mwingi. Praktek konservasi secara tradisional di daerah Yatenga Burkina
Faso dikenal sebagai sistem zai (Kabore & Reij, 2004). Di daerah Tahoua, Niger

Full Tema1.indb 3

24/10/2011 11:39:40

dikembangkan juga teknik konservasi tanah dan air secara tradisional yang mirip
dengan sistem zai, disebut tassa (Reij, 2001). Lubang tanaman secara tradisional
yang disebut tassa ini dipakai oleh beberapa desa untuk memperbaiki tanah yang
rusak. Mereka mengubah ukuran lubang dengan diameter 25-40 cm, kedalaman 1530 cm dan jarak tiap lubang 80-100 cm. Tanah galian tidak diletakan di sekeliling
lubang lagi untuk memungkinkan limpasan air terkumpul dalam lubang, dan mereka
menambahkan pupuk kandang ke dalam lubang. Kalekye Mutunga (Mutunga
et.al, 2001), mengembangkan sistem untuk merehabilitasi alur aliran air (gully
rehabilitation) di Kyuso Distrik Mwingi (Gambar 2). Kakundi mengembangkan
sistem yang dikenal sebagai sugar cane planting pits, seperti dapat dilihat dalam
Gambar 3.

Gambar 2. Reklamasi Alur Aliran Air Sistem Kalekye (Mutunga et.al, 2001).

Gambar 3. Sistem Lubang Tanam Tebu dari Kakundi (Mutunga et.al, 2001).
Konservasi Tanah dan Air di Cina, diterapkan dalam unit-unit cekungan kecil (luas
kurang dari 30 km2) dengan mempertimbangkan banyak hal seperti kondisi alam,
ekonomi, sosial dan kondisi lain yang ada dalam daerah cekungan tersebut. Teknik
ini meliputi sistem penghijauan, sistem teras, perlindungan lereng, cek dam dan
bendung. Sistem penghijauan atau penghutanan kembali di daerah yang mempunyai
masalah dengan kelangkaan lengas tanah dilakukan dengan sistem mempersiapkan
lubang-lubang untuk meningkatkan lengas tanah yang dikenal dengan lubanglubang sisik ikan (fish scale pits, Gambar 4). Lubang-lubang digali berbentuk
setengah lingkaran dan tanah galian dimanfaatkan untuk membentuk dinding di
sekeliling lubang sehingga mencegah air lari ke luar. Fungsi dari lubang sisik ikan
ini adalah menampung air sehingga meresap ke dalam tanah.

Full Tema1.indb 4

24/10/2011 11:39:41

Gambar 4. Sistem lubang sisik ikan (fish-scale pits), disebut demikian


karena dari kejauhan nampak seperti sisik ikan (Wu Bin, download 2005).
Beberapa bentuk bendung perlindungan lereng diciptakan dalam lembah-lembah
dataran Loess yaitu dalam selokan-selokan akibat erosi (gully). Bentuk-bentuk
bendung tersebut meliputi bendung dinding batu, bendung tanah, bendung beton,
bendung bronjong, cek-dam kantong isi tanah, bendung dari tanah halus diperkuat
dengan kayu, bendung jaringan dari kayu dan bentuk lain tergantung dari bahan
yang dipakai (Gambar 5 dan 6)

Gambar 5. Bentuk bendung dan cek-dam (Wu Bin, download 2005).

Gambar 6. Cek-dam perkuatan kayu (Wu Bin, 2005).

Full Tema1.indb 5

24/10/2011 11:39:42

Konsep Jebakan Air Berantai


Menurut Powel dkk. (2008) kolam-kolam jebakan air dapat mengurangi banjir
bandang antara 25-50 % dari air limpasan permukaan yang terjadi. Hal ini
menginspirasikan pengembangan suatu sistem jebakan air untuk mengatasi banjir
dan kekeringan. Jebakan air adalah suatu bangunan air untuk menjebak air yang
mengalir pada alur-alur drainase alam atau kali-kali mati, dengan maksud untuk
memperlambat aliran air limpasan permukaan. Jebakan air dibuat secara berantai
agar maksud memperlambat aliran air limpasan permukaan tercapai. Air yang
terbendung pada jebakan dibiarkan meresap ke dalam tanah sehingga menjadi
imbuhan bagi cadangan air tanah. Sedangkan air yang melimpas di sekitar jebakan
difungsikan untuk mengairi tanaman di sekitar bangunan jebakan (Gambar 7).

m.a.t

Laut

Laut

Gambar 7. Sketsa Hidrolika Jebakan Air Berantai (Susilawati, 2011).


Konsep jebakan air berantai adalah: pertama, memperlambat aliran air limpasan
permukaan yang terjadi pada alur-alur drainase alam atau kali mati sehingga hal
ini diharapkan dapat mengatasi banjir yang terjadi saat hujan turun (Gambar 2).
Konsep kedua adalah meresapkan air ke dalam tanah menjadi imbuhan cadangan
air tanah, sehingga hal ini diharapkan dapat mengatasi kekeringan yang terjadi saat
tidak ada air hujan yang turun.
Metodologi
Pelaksanaan kegiatan ini didasarkan pada prinsip konservasi, ekologi, kearifan
lokal dan pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat berkelanjutan. Pertamatama dilakukan survey lapangan untuk menemukan gambaran situasi geologi dan
struktur tanah, khususnya berkaitan dengan sifat kelulusan air ke dalam tanah,
jenis tanah yang ada untuk menentukan konstruksi dari jebakan air berantai.
Survey ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang alur-alur alam
yang ada untuk cek silang dengan alur-alur yang ditemukan dalam peta topografi
digital, sehingga dapat memberikan gambaran letak jebakan air berantai yang akan
direncanakan (Gambar 8). Dari hasil survey lapangan dan data hidroklimatologi
yang sesuai, selanjutnya dilakukan simulasi analisis hidrologi yang terpadu dengan
sistem informasi geografis, untuk menemukan letak, jumlah dan sistem jebakan air
yang efektif dan efisien dapat mengurangi banjir dan kekeringan yang akan terjadi
bila tidak dilakukan upaya konservasi sumber daya air dengan sistem jebakan air
berantai tersebut.

Full Tema1.indb 6

24/10/2011 11:39:42

Gambar 8. Alur Saluran Drainase Alami.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi jebakan air yang diterapkan pada alur drainase alam primer, sekunder
maupun tertier seperti ditunjukkan dalam Gambar 9. Jebakan air berantai pada alur
primer yang dimaksud adalah jebakan pada alur drainase alami utama di kawasan
perbukitan sebelah selatan Kota Mbay yang berfungsi sebagai daerah tumpahan
air dari alur sekunder dan tersier. Kawasan ini dibagi menjadi empat wilayah
penanganan berdasarkan model hidrologi yang dikembangkan, yaitu: Mbaykiri,
MbayTengah, MbayKanan dan Mbay Empat (Gambar 9). Setiap wilayah mewakili
daerah tangkapan air yang berpotensi menyebabkan permasalahan erosi dan
limpasan permukaan di Kota Mbay.

Gambar 9. Empat Daerah Tangkapan Kritis pada Kawasan Kota Mbay.


Layout jebakan air berantai dengan daerah tangkapannya, pada alur primer di Mbay
Kiri dapat dilihat pada Gambar 10, sedangkan untuk wilayah Mbay Tengah, Mbay
Kanan dan Mbay Empat dapat dilihat pada Gambar 11, 12, dan 13. Sedangkan
untuk alur sekunder dan tersier dapat dilihat pada Gambar 14-20. Untuk Mbay
Kanan tidak terdapat alur tersier sehingga tidak terdapat juga jebakan air berantai
pada alur tersebut..

Full Tema1.indb 7

24/10/2011 11:39:43

Gambar 10. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Kiri.

Gambar 11. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Tengah.

Gambar 12. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Kanan

Full Tema1.indb 8

24/10/2011 11:39:45

Gambar 13. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Primer di Mbay Empat.

Gambar 14. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Kiri

Gambar 15. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Tengah

Full Tema1.indb 9

24/10/2011 11:39:48

10

Gambar 16. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Kanan.

Gambar 17. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Sekunder di Mbay Empat.

Gambar 18. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Tersier di Mbay Kiri.

Full Tema1.indb 10

24/10/2011 11:39:50

11

Gambar 19. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya Pada Alur
Tersier di Mbay Tengah

Gambar 20. Layout Jebakan Air Berantai dengan Daerah Tangkapannya


Pada Alur Tersier di Mbay Empat
Debit yang melimpas didapatkan dengan cara simulasi dalam model SPK-Mbay.
Penilaian dilihat dari limpasan yang dihasilkan setelah adanya daerah tangkapan.
Simulas dilakukan pada titik yang dinilai kritis, dengan hujan andalan 25%, 50%,
75% dan 97%. Selanjutnya dilakukan simulasi dengan menjebak air pada alur
primer, sekunder dan tersier dengan harapan dapat diketahui efektifitas masing
masing titik. Hasil simulasi analisa neraca air dari areal studi Kota Mbay untuk
keempat daerah tangkapan yang ditinjau dituliskan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Debit Hasil Simulasi dengan Model SPK-Mbay
Qlimpasan (m3/det)
Daerah
Alur Drainase
Tangkapan
Alam
25 %
50 %
75 %
Mbay Kanan
Mbay Tengah
Mbay Empat
Mbay Kiri

Full Tema1.indb 11

Primer
Sekunder
Primer
Sekunder
Tertier
Primer
Sekunder
Tertier
Primer
Sekunder
Tertier

1.237
0.472
4.481
1.721
0.773
6.625
1. 916
0.486
2.461
1.219
0.221

0.221
0.002
3.671
1.103
0.421
5.368
1.546
0.393
1.993
0.988
0.186

0.185
0.0016
2.506
0.772
0.341
4.467
1.291
0.108
1.373
0.702
0.148

97 %

0.06773
0.00066
1.158
0.492
0.180
1.625
0.468
0.0394
0.499
0.207
0.05421

24/10/2011 11:39:52

12

KESIMPULAN
Dari simulasi sistem jebakan air untuk mengatasi banjir dan kekeringan di daerah
studi ke dalam model SPK-Mbay (Tabel 2), dapat disimpulkan bahwa penempatan
sistem jebakan air berantai pada alur yang makin kecil (tersier) sangat efektif untuk
mengurangi debit limpasan yang terjadi dibandingkan penempatan pada alur primer.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem jebakan air berantai yang kecil-kecil namun
banyak lebih efektif dalam mengurangi banjir dan mencegah kekeringan. Sistem
ini mampu mengatasi masalah banjir dan kekeringan yang terjadi pada daerah studi
secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Batchelor, C, Rama Mohan Rao and Manohar Rao, 2003. Watershed development:
A solution to water shortages in semi-arid India or part of the problem?
LUWRR 3:1-10. http://www.luwrr.com/uploads/paper03-03.pdf.
Bouma Jetske, Erwin Bulte and Daan van Soest, 2004. Local cooperation in
rainwater harvesting and soil & water conservation in Indias semi-arid
watersheds. http://www.ictp.trieste.it/~eee/workshops/smr1558/Bouma.pdf.
BWS NT II, 2009. Data Curah Hujan Stasiun Danga, Tahun 1998 2008
Heru J.Marsudi, Soetopo T, Syaiful Mahdi, Darmono, Soenar Wirtoyoso,
Priambodo S., 2005. Sejarah Embung di Indonesia. Tidak dipublikasikan
Kabore, D and Reij Christ, 2004. The Emergence and Spreading of an Improved
Traditional Soil and Water Conservation Practice in Burkina Faso. EPTD
Discussion Paper No.114. http://www.ifpri.org/divs/eptd/dp/papers/
eptdp114. pdf.
Kerr, J, 2002. Watershed development, environmental services and poverty
alleviation in India. World Development 30 (8):1387-1400. http://
www. sciencedirect.com/science/article/B6VC6-45TTKFD-/2/
fe175768bae8c054c2d 704d3d64c65c1.
Mutunga, K. And Critchley, W., 2001 Farmers Initiatives in Land Husbandry:
Promising Technologies for The Drier Areas of East Africa. Nairobi:
Regional Land Management Unit (RELMA), Swedish International
Development Cooperation Agency (Sida), (RELMA Technical Report Series
27). http://www.wca-infonet.org/cds_ upload/1062415739024_farmers.pdf
Reij Chris, 2001. Improving Tassa Planting Pits Using Indigenous Soil and
Water Conservation Techniques to Rehabilitate Degraded Plateaus in The
Tahoua Region of Niger. http://www.unesco.org/most/bpik10.htm
Wu Bin, 2005. Soil Erosion and control Measures on the Loess Plateau, China.
http://www.unisdr.org/wcdr/thematic-sessions/presentations/session4-10/drwu -final.pdf
Powell D.N., Khan A.A and Aziz N.M. Impact of New Rainfall Patterns on
Detention Pond Design. Journal of Irrigation and Drainage Engineering,
Volume 134 No. 2, March/April 2008, ISSN 0733-9437, p. 197. ASCE
(American Society of Civil Engineers)
Susilawati, 2011. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di
Kawasan Kering Indonesia. Gita Kasih, Kupang, Indonesia

Full Tema1.indb 12

24/10/2011 11:39:52

Analisis Muka Air Tanah di Rawa Pasang Surut


Distrik Padang Sugihan dan Simpang Heran
Rosmina Zuchri
Dosen PNSD di Fakultas Teknik Sipil Universitas Ibnu Kholdun Bogor
roszuchribogor@yahoo.co.id
INTISARI
Muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan
waktu. Upaya pengendalian harus dilakukan agar muka air tanah dapat mendukung
pertumbuhan tanaman. Pembangunan HTI diharapkan akan memberikan kontribusi
pada pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Tujuan akhir dari
penelitian ini adalah menentukan muka air tanah pada tanaman akasia. Penelitian
telah dilaksanakan di Distrik Simpang Tiga dan Simpang Heran di rawa pasang
surut periode April hingga Mei 2011 di PT. SBA Wood Industries di Ogan Komering
Ilir, Sumatera Selatan. Hasil penelitian ini yaitu di Distrik Padang sugihan lahan
dengan lebar 500 x 500 m ditengah-tengahnya terdapat saluran tersier lebar 2 m
dan kedalaman 1 m. lebar kanal sekunder 5 x 5 x 3 m. dan kanal sekunder 8 x
6 x 3 m, muka air tanah tertinggi di Distrik Padang Sugihan yaitu 19, 0 cm dan
rendah 36,5 cm. Sedangkan di Distrik Simpang Heran lahan dengan lebar 500 x
500 m ditengah-tengahnya arah memanjang terdapat saluran tersier lebar 2 m dan
kedalaman 1 m, dan arah melintang setiap lebar 8 m terdapat saluran dengan lebar
2 m dan kedalaman 1 m . Sedangkan lebar kanal semi sekunder 5 x 5 x 3 m. dan
sekunder 6 x 5 x 3 m dan kanal primer 8 x 5 x 3 m. Adapun muka air tanah tertinggi
di Distrik Simpang Heran yaitu 13 cm dan rendah 16 cm.
Kata kunci: Rawa pasang surut, Pengelolaan air, Hutan tanaman industri, Muka
air di lahan.
1. PENDAHULUAN
Pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka air tanah di lahan. Muka air
tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Upaya
pengendalian harus dilakukan agar muka air tanah dapat mendukung pertumbuhan
tanaman..Pengendalian muka air tanah pada suatu kedalaman tertentu dapat dilakukan
melalui strategi rancangan dan/atau operasi pemeliharaan jaringan reklamasi.
Pertimbangan jenis tanah selain topografi, curah hujan, pasang surut air laut, jenis
tanaman, kedalaman lapisan pirit, untuk mendukung pengelolaan air. Pengelolaan
air merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan HTI di lahan rawa pasang
surut. Pengelolaan air dapat mengendalikan kondisi muka air tanah di lahan yang
fluktuatif ( Arifjaya dan Kalsim, 2003). Lahan rawa pasang surut memiliki potensi
yang besar dan prospek pengembangan yang baik, serta merupakan salah satu pilihan
strategis sebagai areal Hutan Tanaman Industri (HTI) (Soewarso, 2003; Maas, 2003;
Amdal, 2004; Noor, 2006). Berbagai pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam
upaya meningkatkan produksi hasil hutan tanaman industri (HTI) agar diharapkan

13

Full Tema1.indb 13

24/10/2011 11:39:52

14

memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran


rakyat (Soewarso, 2003; Litbang Sinarmas Forestry, 2005; Daryono, 2009). Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui dalam dan lebar kanal, dan menentukan muka air
tanah di Distrik. Padang Sugihan dan Simpang Heran. Manfaat penelitian ini adalah
sebagai khasanah pengembangan ilmu pengetatahuan dan teknologi khusunya untuk
pengelolaan air di rawa yang dipengaruhi pasang surut.
2. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Distrik Padang Sugihan dan Simpang Heran (PT.SBA
Wood Industries), Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) di Sumatera Selatan.. Luas
distrik Padang Sugihan adalah sekitar 28.473,0 ha dan Simpang Heran 34.853,4 ha,
Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Tapak umumnya adalah marine clay
pada Distrik Simpang Heran dan gambut dangkal padan Distrik Padang Sugihan.
Pemilihan lokasi didasarkan atas pemilihan jenis tanah yang mewakili gambut
dan marin clay.. Pengamatan muka air tanah dilakukan di Distrik Padang Sugihan
pada tanggal 15 April sampai 26 April. dan Distrik Simpang Heran. tanggal 6 - 7
Mei 2010.
B. Bahan dan Alat
1. Peta Distrik Sinarmas Forestry Region Palembang

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di HTI PT. SBA


Wood Industri Region Palembang.
2. Global Positioning System (GPS) (1 buah),
untuk menentukan posisi di lapangan.
3. Kamera Digital (1 buah), untuk Dokumentasi.
4. Pipa Paralon diameter 2-2,5 inchi panjang 2-3 meter, (10 buah)
untuk sumur pengamatan muka air tanah.
5. Bor tangan, untuk membuat lubang/sumur pengamatan muka air tanah.
6. Komputer (1 buah)

Full Tema1.indb 14

24/10/2011 11:39:52

15

Rancangan Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam peneltian adalah data sekunder dan primer. Data
sekunder yaitu peta PT. SBA wood industries region Palembang. Data primer yang
diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dilapangan, yaitu : tinggi muka air
tanah (water tabel).
Teknik Pengambilan Data
Data sekunder diperoleh dari PT. SBA wood industri region palembang yang selama ini berperan aktif dalam pengembangan HTI rawa pasang surut OKI , Sumatera
Selatan. .
Pengambilan data primer muka air tanah dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi penelitian, yaitu :
a. Pengamatan dilakukan melalui sumur pengamatan yang dibuat dari pipa paralon. Pipa tersebut dilubangi pada bagian sisi-sisinya dan ditanam dengan kedalaman 2-2,5 meter dari permukaan tanah. Lubang pipa bagian atas ditutup
dan hanya dibuka pada saat melakukan pengukuran muka air tanah tersebut.
b. Dua distrik lokasi penelitian muka air tanah yaitu disrik Padang Sugihan bertanah gambut ada 4 (empat) titik pengamatan dan 6 (enam) titik pengamatan
di tanah marin clay di distrik Simpang Heran.. Lokasi penelitian pengukuran
muka air tanah disajikan pada Gambar 2, 3 dan 4.
CANAL
2X2X1

CANAL
5X5X3

250
M
POINT
IV

1000
M
POINT I

CANAL
2X2X1

500 M

250
M

POINT
III
POINT
II

CANAL 5X5X3

500 M

CANAL
8X5X3

18

Gambar 2. Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah di Distrik Padang Sugihan

Full Tema1.indb 15

24/10/2011 11:39:52

16

LOCATION WATER TABLE MEASUREMENT ON PEAT


SOIL LAND IN DISTRIK PADANG SUGIHAN

Gambar 3. Pengukuran dan pengamatan muka air tanah


di Distrik Padang Sugihan

47 20

Gambar 4. Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah di Distrik Simpang Heran

Full Tema1.indb 16

24/10/2011 11:39:53

17

Gambar 5. Pengukuran dan pengamatan muka air tanah


di Distrik Simpang Heran.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Distrik Padang Sugihan
1). Lebar dan kedalaman kanal.
Lahan dengan lebar 500 x 500 m ditengah-tengahnya terdapat saluran tersier lebar
2 m dan kedalaman 1 m. lebar kanal sekunder 5 x 5 x 3 m. dan kanal sekunder 8 x
6 x 3 m. Lebar dan kedalaman kanal disajikan pada gambar 1.
5x5x3 m

2x2x1 m

5x5x3 m
500 m

Gambar 6. Lebar dan kedalaman kanal di Ditrik Padang Sugihan

Full Tema1.indb 17

24/10/2011 11:39:57

18

2). Muka Air Tanah.


Berdasarkan hasil pengukuran muka air tanah di Distrik Padang Sugihan untuk tanaman Acacia crassicarpa umur 3 tahun, disajikan pada Tabel 1.
Muka air tanah berkisar antara 19,0 -36,5 cm di titik I, 29,5 - 47,5 cm dititik II, 30,0
51,0 cm ditik III, 29,0 59,0 di titik IV. Diameter batang terkecil di titik I adalah
18,0 cm dan terbesar 24,5 cm. Titik II 13,0 dan 28,5 cm. Titik III 17,5 cm dan 30,5
dan di titik IV diameter batang terkecil 14,5 cm dan terbesar 24,5.
Tabel 1. Hasil pengamatan muka air tanah Tanaman Acacia crassicarpa
umur 3 tahun di Lahan Gambut Distrik Padang Sugihan
Muka Air Tanah
Diameter batang
Tinggi batang
Titik
(cm)
(cm)
(cm)
pengamatan
15-Apr 16-Apr 26-Apr Besar
Kecil
Besar
Kecil
25.0
19.0
36,5
24,5
18.0
I

36,5
29,5
47,5
28,5
13.0
II

51.0
30.0
49.0
30,5
17,5
III

29.0
41,5
59.0
24,5
14,5
IV

Sumber : Hasil Pengamatan

Muka air tanah yang paling tinggi yaitu 19,0 dibawah permukaan tanah terjadi
pada tanggal 16 April yaitu di titik I dan paling rendah yaitu 59,5 cm dibawah
permukaan tanah terjadi di titik IV pada tanggal 26 April. Karena muka air
tanah tinggi ada di titik I yaitu 19,0 maka diambil untuk analisis selanjutnya
adalah muka air tanah rendah yaitu 36,5 cm.
Pada saat dilakukan pengukuran muka air tanah , masih musim hujan. Semakin
tingginya intensitas hujan, muka air tanah semakin naik. Sehingga muka air
tanah perlu di kendalikan sesuai kebutuhan tanaman.
Fluktuasi muka air di downstream disebabkan terjadinya pasang surut di sungai
Blidang. Kondisi air tanah di lahan dipengaruhi oleh fluktuasi muka air disaluran.
Pada saat pasang, air akan merembes masuk ke dalam lahan secara lateral sehingga
ketinggian muka air tanah di lahan meningkat. Sebaliknya pada saat surut, air
di lahan akan kembali merembes ke downstream sehingga muka air tanah akan
turun.
Muka air tanah merupakan batas antara zona aerasi dan zona jenuh . Pada zona
aerasi, pori tanah berisi udara dan air, sedangkan pada zona jenuh seluruh pori terisi
air. Kedalaman muka air tanah dapat berubah setiap saat, terutama dipengaruhi
oleh curah hujan dan kodisi aliran sungai. Curah hujan yang lebat dan lama dapat
memberikan air yang banyak untuk pengisian air tanah. Terjadinya perbedaan
antara pengisian dan pengurangan kembali air tanah menyebabkan permukaannya
berfluktuasi.
Muka air tanah akan mempengaruhi kondisi drainase dan aerasi pada zona
perakaran. Muka air tanah yang dangkal dapat menekan pertumbuhan tanaman
karena menghambat udara tanah dan menurunkan volume udara di zona
perakaran, sedangkan muka air tanah yang dalam merangsang perakaran, namun

Full Tema1.indb 18

24/10/2011 11:39:57

19

akan menurunkan kadar air dan zona aerasi karena pori tanah akan lebih banyak
terisi udara.
Pada lahan rawa pasang surut, fluktuasi muka air tanah dipengaruhi oleh curah
hujan, suhu dan kondisi pasang surut air di saluran. Selain dapat mendukung
pertumbuhan tanaman, pengendalian muka air tanah pada kedalaman tertentu juga
dapat mencegah terjadinya kebakaran.. Menurut Soewarso, 2003; Arifjaya,N.M;
Kalsim,D.K.2003. Muka air tanah dengan kedalaman kurang dari 1 (satu) meter
dapat mencegah kebakaran.
Muka air tanah yang paling tinggi di titik I yaitu 19,0 dari permukaan tanah
karena titik I ini jaraknya (125 cm dan 250 cm) untuk jelasnya lihat sketsa
lokasi.. Pada musim hujan, muka air tanah banyak dipengaruhi oleh curah hujan
dan pasang surut air di saluran. Air hujan akan meningkatkan ketinggian muka air
tanah secara merata, sedangkan pasang surut air di saluran akan mempengaruhi
muka air tanah melalui rembesan lateral. Pada saat pasang, tekanan air dari saluran
lebih besar dibandingkan tekanan air di lahan, akibatnya air akan merembes masuk
kedalam lahan. Dengan tekanan yang sama besar dari kedua sisi dan adanya
pengisian air tanah dari air hujan, maka akan menyebabkan muka air tanah di
lahan naik. Semakin ketengah, muka air tanah akan semakin naik dan mencapai
posisi tertinggi pada titik yang berada tepat di tengah lahan dan saluran.
Sebaliknya, pada saat air di saluran pembuang surut, tekanan air akan berbalik
dan air di lahan akan merembes menuju saluran, akibatnya akan terjadi penurunan
muka air tanah di lahan. Penurunan muka air tanah pada lahan yang letaknya
dekat dengan saluran akan lebih cepat dibandingkan dengan muka air tanah pada
lahan yang letaknya jauh dari saluran, sehingga muka air tanah di bagian tengah
akan tetap lebih tingi dibandingkan dengan lahan yang dekat saluran. Demikian
seterusnya, aliran air akan berbalik lagi ke lahan ketika air disaluran pembuang
kembali pasang.
Pada musim kemarau, muka air tanah lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut
air di saluran. Lahan relatif kering dan muka air pasang di saluran tidak setinggi
pada waktu musim hujan. Terjadinya penguapan melalui proses evapotranspirasi,
menyebabkan muka air tanah pada lahan yang terletaak di bagian tengah lebih rendah
dibandngkan dengan lahan yang terletak di tepi saluran, sebab muka air tanah yang
berada dekat dengan saluran masih dipengaruhi oleh air pasang di saluran.
Pada saat pasang, tekanan air dari saluran pembuang lebih besar dibandingkan
tekanan air dilahan, akibatnya air akan merembes masuk ke dalam lahan. Tetapi
karena waktu air pasang tidak berlagsung lama dan volume air disaluran pembuang
juga tidak terlalu besar, maka sebelum air yang merembes ke lahan mencapai
optimum, air di saluran telah kembali surut. Akibatnya, air di lahan akan berbalik
kembali ke saluran pembuang, sehingga muka air tanah pada lahan yang terletak
di tengah tetap lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang terletak di tepi
saluran. Demikian seterusnya, proses ini akan berulang ketika terjadi pasang dan
surut di saluran. Flutuasi muka air tanah Distrik Padang Sugihan disajikan pada
Gambar 7.

Full Tema1.indb 19

24/10/2011 11:39:57

20

kedalaman muka air


tanah (water table) ,
cmi

PENGAMATAN WATER TABEL DISTRIK


PADANG SUGIHAN
50
40
30

16-Apr

20

17-Apr

10
0
I

II

III

IV

Titik pengamatan

Gambar 7. Muka air tanah Distrik Padang Sugihan


B. Distrik Simpang Heran
1). Lebar dan kedalaman kanal
Lahan dengan lebar 500 x 500 m ditengah-tengahnya arah memanjang terdapat
saluran tersier lebar 2 m dan kedalaman 1 m, dan arah melintang setiap lebar 8
m terdapat saluran dengan lebar 2 m dan kedalaman 1 m . Sedangkan lebar kanal
semi sekunder 5 x 5 x 3 m. dan sekunder 6 x 5 x 3 m dan kanal primer 8 x 5 x 3 m.
Lebar, kedalaman dan jarak kanal disajikan pada Gambar 8.

5x5x3 m
2x2x1 m

2x2x1 m
500 m
6x5x3 m

Gambar 8. Lebar, kedalaman dan jarak kanal di Distrik Simpang Heran

Full Tema1.indb 20

24/10/2011 11:39:57

21

2). Muka air tanah


Berdasarkan hasil pengukuran water table di Distrik Simpang Heran untuk tanaman
Acacia mangium umur 6 bulan. disajikan pada Table 2. Muka air tanah berkisar
antara 23,0 - 26,0 cm di titik I, 15,0 - 17,0 cm dititik II, 16,0 20,5 cm ditik III,
29,0 37,0 di titik IV.
Diameter batang terkecil di titik I adalah 2,0 cm dan terbesar 3,1 cm. Titik II 2,0 dan 2,3 cm. Titik III 2,0 dan 3,5 cm dan di titik IV diameter
batang terkecil 3,4 dan terbesar 4,0 cm. Tinggi batang berkisar antara 125 cm
sampai 236 cm.
Tabel 2. Hasil pengamatan muka air tanah Tanaman Acacia mangium
umur 6 bulan di Lahan Shallowpeat Distrik Simpang Heran
Muka Air Tanah
Diameter batang Tinggi batang (cm)
Titik
(cm)
(cm)
Pengamatan
6 Mei
7 Mei
Besar
Kecil
Besar
Kecil
I
23
26
3,1
2,0
212
127
II
17
15
2,3
2,0
181
125
III
16
20,5
3,5
2,0
195
120
IV
37
29
4,0
3,4
236
210
13
16
V
3,3
2,0
213
124
VI
71
14
2,8
2,0
189
131
Sumber : Hasil Pengamatan

Di Distrik Simpang Heran tanggal 6 Mei muka air tanah tinggi terjadi di titik
V yaitu 13 cm, kemudian berturut-turut lebih besar yaitu di titik III 16 cm, titik
II 17 cm , titik I 23 cm, titik IV 37 cm dan titik VI 71 cm di bawah permukaan
tanah. Pada tanggal 7 Mei muka air tanah tinggi terjadi di titik VI yaitu 14 cm, ,
kemudian berturut-turut lebih besar yaitu di titik II 15 cm, titik V 16 cm , titik III
20,5 cm, titik I 26 cm dan titik IV 29 cm di bawah permukaan tanah..
Muka air tanah yang paling dangkal/tinggi yaitu 13,0 dibawah permukaan tanah
terjadi pada tanggal 6 Mei yaitu di titik V dan karena di titik ini muka air tanah
paling tinggi maka diambil untuk analisa selanjutnya/water balance water tabel
rendah yaitu 16 cm. Pengukuran muka air tanah yang dilakukan pada bulan
Mei ini, masih musim hujan. Semakin tingginya intensitas hujan, muka air tanah
semakin naik.
Muka air tanah merupakan batas antara zona aerasi dan zona jenuh . Pada zona
aerasi, pori tanah berisi udara dan air, sedangkan pada zona jenuh seluruh pori terisi
air. Kedalaman muka air tanah dapat berubah setiap saat, terutama dipengaruhi
oleh curah hujan dan kodisi aliran sungai. Curah hujan yang lebat dan lama dapat
memberikan air yang banyak untuk pengisian air tanah. Terjadinya perbedaan
antara pengisian dan pengurangan kembali air tanah menyebabkan permukaannya
berfluktuasi. Menurut Soewarso, 2003; Arifjaya,N.M; Kalsim,D.K.2003. Muka air
tanah dengan kedalaman kurang dari 1 (satu) meter dapat mencegah kebakaran.
Muka air tanah akan mempengaruhi kondisi drainase dan aerasi pada zona
perakaran. Muka air tanah yang dangkal dapat menekan pertumbuhan tanaman
karena menghambat udara tanah dan menurunkan volume udara di zona perakaran,

Full Tema1.indb 21

24/10/2011 11:39:57

22

sedangkan muka air tanah yang dalam merangsang perakaran, namun akan
menurunkan kadar air dan zona aerasi karena pori tanah akan lebih banyak terisi
udara.
Pada lahan rawa pasang surut, fluktuasi muka air tanah dipengaruhi oleh curah hujan, suhu dan kondisi pasang surut air di saluran. Selain dapat mendukung
pertum
buhan tanaman, pengendalian muka air tanah pada kedalaman tertentu juga dapat
mencegah terjadinya kebakaran.. Pola fluktuasi muka air tanah di Distrik Padang
Sugihan dan Simpang Heran relatif sama, namun kedalaman muka air tanah pada
kedua lokasi tersebut berbeda-beda sesuai dengan topografi lahan masing-masing.
Tinggi muka air di Distrik Simpang Heran lebih tinggi dibandingkan dengan Padang Sugihan yaitu 13 cm sedangkan Distrik Padang Sugihan 19 cm., karena Simpang Padang Sugihan memiliki topografi lahan yang rendah. Sedangkan Simpang
Heran yang topografi lahannya rendah, muka air tanahnya relatif tinggi dan genangan yang terjadi di lahan tinggi serta lama karena marin clay lama menurunkan
air. Itulah sebabnya di lahan perlu dibuatkan kanal tersier setiap jarak 8 m.

Kedalaman muka air


tanah (water tabel),
cm

PENGAMATAN WATER TABLE DISTRIK


SIMPANG HERAN
80
60
06-Mei

40

07-Mei

20
0
I

II

III

IV

VI

Titik pengamatan

Gambar 9. Muka air tanah di Distrik Simpang Heran.


Pembangunan jaringan kanal baik di Distrik Padang Sugihan maupun di Distrik
Simpang Heran akan m enyebabkan penurunan muka air tanah dan penurunan
permukaan tanah (subsidence). Di Distrik Padang Sugihan yang bertanah gambut
Apabila tidak terkendali, maka akan memberikan dampak pengeringan gambut
yang berlebihan (overdrain) sehingga gambut akan kehilangan fungsinya sebagai
penyimpan cadangan air yang tidak bisa dikembalikan lagi ke fungsinya.
Penurunan muka air tanah yang berlebihan baik dalam musim hujan apalagi
jika musim kemarau akan menyebabkan pengeringan gambut yang berlebihan dan
akibatnya akan terjadi kebakaran hutan oleh karena itu pengelolaan air harus tepat
dan dikendalikan dengan bangunan dan pintu air. jika manajemen pengelolaan
air tidak didesain secara tepat, maka oleh karena sifatnya yang kering tak balik
(irreversible), gambut yang kering tidak akan mampu menyimpan air hujan tiba.
Akibatnya air tidak ada yang mengikat dan akan terlimpas. Dalam keadaan curah
hujan tinggi, akan bisa mengakibatkan banjir.

Full Tema1.indb 22

24/10/2011 11:39:57

23

4. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Kanal di Distrik Padang Sugihan yang bertanah gambut berbeda dengan di
Distrik Simpang Heran yang bertanah marin clay, di Distrik Padang Sugihan Lahan
dengan lebar 500 x 500 m ditengah-tengahnya terdapat kanal tersier lebar 2 m dan
kedalaman 1 m. lebar kanal sekunder 5 x 5 x 3 m. dan kanal sekunder 8 x 6 x 3 m.
Kanal di Distrik Simpang heran lahan dengan lebar 500 x 500 m ditengah-tengahnya
arah memanjang terdapat saluran tersier lebar 2 m dan kedalaman 1 m, dan arah
melintang setiap lebar 8 m terdapat saluran dengan lebar 2 m dan kedalaman 1 m.
Sedangkan lebar kanal semi sekunder 5x5x3m dan sekunder 6x5x3m dan kanal
primer 8x5x3m.
Di Distrik Padang Sugihan diperoleh muka air tanah tinggi 19,0 cm dan rendah
36,5 cm, sedangkan di distrik Simpang Heran diperoleh muka air tanah tinggi 13
cm dan rendah 15 cm. Muka Air Tanah (water tabel) selalu berubah setiap saat
untuk itu perlu dikendalikan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui persamaan neraca air (water balance) agar dapat diketahui hubungan antara muka air tanah dan water level
yang optimum untuk kebutuhan tanaman.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan
dari IPB dan PT. SBA Woods Industres Region Palembang, khususnya Direktur
Utama Bapak Dr. Ir. Soewarso, MS, juga untuk Dr. Ir. Dwi Setyawan, Msi dari
Unsri Palembang yang telah memberi kesempatan kepada penulis melakukan
penelitian, sehingga tersusunnya makalah ini. Makalah ini adalah bagian dari
penelitian Analisis kebutuhan dimensi bangunan overflow untuk pengelolaan
air di rawa pasang surut. Yang sudah diterbitkan oleh Jurnal Irigasi Bekasi Mei
2011 dan juga sudah dipresentasikan pada Seminar Internasional HATHI 15-17
Juli di Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Arifjaya, N.M; Kalsim,D.K.2003. Rancangan Desain Sistem Tata Air Pada
Pengembangan Lahan Gambut Pasang Surut Berwawasan Lingkungan. www.
Google.com
Badan Litbang Sinar Mas Forestry. 2005. Basic Forestry Training. Sinarmas Forestry
Jakarta.
Daryono, H.2009. Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam
Pengelolaan Hutan dan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, Vol 6, No.2, Hal : 78-101.
Hardjoamijoyo, S; Setiawan, B.I. . April 2001. Pengembangan dan pengelolaan Air di
Lahan basah. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol.15, No.1. Hal 40-47
Harto BR, Sri.. 1993. Hidrologi Teori Masalah dan Penyelesaian. PAU Ilmu Teknik
UGM Yogyakarta

Full Tema1.indb 23

24/10/2011 11:39:58

24

Harto BR, Sri; Sudjarwadi. 1993. Model Hidrologi PAU Ilmu Teknik UGM Yogyakarta
Harsono, Edie. 2009. Disertasi. Hubungan Type aliran dengan Produktivitas Tanaman
Pangan. Universitas Tarumanegara. Jakarta.
Indoforest. Prospek Reformasi kebijakan kehutanan. www.google.com
Kondoatie, Robert. 2006. Jaringan Reklamasi Rawa.Makalah Seminar Nasional Peran
dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional. Jakarta.
Loebis J, Soewarno, Suprihadi,1993. Hidrologi Sungai. Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.
Maas, Azwar. 2003. Peluang dan Konsekuensi Pemanfaatan Lahan Rawa Pada Masa
Mendatang. Orasi Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada
Notohadiprawiro, T. 2006. Sarian Kumpulan Lahan Basah. www. Google.com..
Notohanagoro, Tejoyuwono. Perspektip Pengembangan Lahan Basah, Maslahat dan
Mudarat. www.google.com
Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan kendala. Kanisius.
Yogyakarta.
Noor, Muhammad. 2006. Lahan Rawa , Sifat dan Pengelolaan Tanah bermasalah Sulfat
Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ngudiantoro, 2008. Kajian Penduga Muka air Tanah untuk mendukung Pengelolaan air
pada pertanian Lahan rawa pasang Surut; kasus di sumatera selatan. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor.
PT. Bina Silva.2004. Laporan Analisis Dampak Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera
Selatan.
PT. Harimada Bimaraksa. Engineering & Management Consultan. 2000. Laporan
Pendukung Survey Hidrometri/Hidrologi periode Musim Basah (Wet Season)
Rawa Pasang Surut Sungai Lumpur Kabupaten OKI.Sumatera Selatan. Bandung.
Soewarso, 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan
menggunakan Model Prediksi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Sosrodarsono, S; Takeda, K. 1983, Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta. Hal 200 203.
Triatmojo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset Yogyakarta.Hal 107-127.
Triatmojo, B. 1996. Hidrolika I & II. Beta Offset Yogyakarta.

Full Tema1.indb 24

24/10/2011 11:39:58

Penentuan Tinggi Muka Air Efektif Pada


Penggelontoran Sedimen Aliran Tertekan
Berdasar Penilitian Uji Hidraulik Fisik
Pranoto Samto Atmojo1), Djoko Legono2), Suripin3)
1)

Teknik Sipil Undip, HATHI-Semarang, pranotosa2001@yahoo.com


2)
Profesor Teknik Sipil UGM, djokolegono@yahoo.com
3)
Profesor Teknik Sipil Undip, ucallme09@yahoo.com

INTISARI
Bendungan di Indonesia pada umumnya mengalami kemerosotan kapasitas
tampungan akibat sedimentasi rata-rata lebih besar dari rata-rata dunia 1%. Tidak
semua bendungan di Indonesia dilengkapi pintu penguras (penggelontor) sedimen.
Belum ada acuan yang baku elevasi muka air yang paling efektif dalam pelaksanaan
flushing (penggelontoran) sedimen.
Penelitian ini memfokuskan pada penentuan tinggi muka air efektif pada
penggelontoran sedimen aliran tertekan di waduk berdasar uji hidrolik phisik
(Model Test) di laboratorium. Tinggi muka air efektif adalah elevasi muka air
pada penggelontoran sedimen di waduk yang menghasilkan konsentrasi gerusan
sedimen yang paling besar. Penelitian dilaksanakan dengan mengatur muka air
awal rencana ,tanpa ada debit yang masuk waduk, kemudian diturunkan perlahanlahan dengan mengoperasikan pintu pembilas. Pintu pembilas dioperasikan dengan
bukaan a=1.67 m (aliran tertekan).Pelaksanaan penggelontoran dilakukan berulang
setiap variasi tebal sedimen d=1.00, 1.50, 2.00, 2.50 dan 3.00 m . Setiap muka air
turun satu meter, diamati :tinggi muka air, konsentrasi sedimen,debit yang keluar
waduk, kecepatan aliran di hulu pintu.Dari penelitian ini diharapkan akan didapat
tinggi muka air yang paling efektif pada pelaksanaan penggelontoran sedimen
aliran tertekan di waduk. Dengan demikian akan dapat membantu sebagai acuan
penggelontoran sedimen di waduk guna mengurangi kemerosotan kapasitas waduk
akibat sedimentasi, atau dengan kata lain dapat memperpanjang umur rencana
waduk.
Kata kunci: tinggi muka air efektif, penggelontoran sedimen, aliran tertekan,
uji hidraulik fisik.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bendungan yang membentuk waduk /reservoir berguna untuk berbagai macam
tujuan, antara lain: pengendali banjir, PLTA, irigasi, persediaan air baku, dan lainlain. Pembendungan sungai akan menurunkan kecepatan aliran, dan akibatnya
sedimen yang terbawa aliran sungai akan mengendap, dan mengurangi kapasitas
waduk.

25

Full Tema1.indb 25

24/10/2011 11:39:58

26

Sebagian besar bendungan direncanakan dan dioperasikan untuk umur tertentu,


yaitu oleh karena - terutama - adanya akumulasi endapan lumpur dan bukan oleh
karena keusangan konstruksi (Morris,1998). Pada saat perencanaan harus sudah
dipersiapkan alokasi ruang untuk endapan sedimen (Dead Strorage) yang cukup,
agar endapan tidak mengganggu fungsi bendungan selama umur rencana (Strand
1998 dalam Morris 1998). Dimana umur rencana didifinisikan sebagai : umur waduk
yang sama dengan waktu penuhnya tampungan mati oleh endapan lumpur (James
and Lee,1971 dalam Morris, 98). Sehingga bila terjadi laju endapan lebih besar dari
laju endapan rencana , maka umur bendungan akan lebih pendek dari umur rencana
semula. Di Indonesia pada umumnya, laju endapan yang masuk ke bendungan
cukup tinggi. Bendungan Wonogiri laju pengurangan kapasitas akibat sedimentasi
rata-rata 2,70 % per tahun (Jica, 2007). Hal ini cukup tinggi bila dibandingkan
dengan laju pengurangan kapasitas reservoir akibat sedimentasi dunia yang ratarata 1% (Yoon,1992 dalam Atkinson,1996).
Salah satu usaha untuk mengurangi/mengeluarkan endapan yang telah terlanjur
masuk dan atau mengendap di dalam reservoir, yaitu dengan pembilasan hidrolis
(Hydraulic Flushing) dan Penggalian / manual (Dredging).
Ada tiga jenis cara pembilasan hidrolis, yaitu: pengoperasian pembilasan (Sluicing
Operation), pengoperasian pembuangan aliran lumpur (Venting of density current)
dan pengoperasian penggelontoran (Flushing Operation), (Basson dan Rooseboom,
1966 dan Tomasi, 1996).
Pengoperasian pembilasan (sluicing) adalah pengeluaran dengan mengendalikan sedimen yang masuk ke waduk supaya tidak segera mengendap dengan menurunkan
muka air waduk. Sluicing biasanya dilakukan disaat banjir. Pengoperasian pembuangan aliran lumpur
(Venting) adalah mengendalikan muatan sedimen agar
tidak mengendap, dan dikeluarkan secara menerus dengan pintu bawah bendungan, tanpa menurunkan muka air waduk. Sedangkan pengoperasian penggelontoran
(Flushing) adalah penggelontoran yang ditujukan untuk menggerus sedimen yang
telah mengendap di dasar waduk. Endapan sedimen yang telah tergerus atau tererosi akan terbawa ke hilir oleh aliran air dalam waduk dan keluar melalui pintu penggelontoran. Teknik pengoperasian ini diterapkan dengan meningkatkan kecepatan
aliran pada pintu pembuangan, sehingga kecepatan di dalam waduk lebih besar dan
cukup untuk menggerus /menggelontor sedimen yang telah terakumulasi melalui
sistem pintu pembuangan (misalnya: bottom outlet sistem) (Tomasi, 1996).
Teknik penggelontoran ini secara efektif diterapkan pada level muka air waduk
yang rendah dan mencapai kondisi aliran bebas (free flow condition) (White dan
Bettes,1984). Pengoperasian Flushing akan lebih efektif bila dilakukan dengan
pengosongan reservoir, tetapi hal ini harus mengorbankan tampungan air dalam
reservoir(Yang,1996). Flushing sebetulnya juga dapat dilakukan dengan atau tanpa
menurunkan muka air waduk yang rendah (Morris 1998). Cara penggelontoran (Hidraulic Flushing) adalah cara yang lebih baik untuk mengembalikan kapasitas reservoir bila disbanding dengan cara lain , misalnya dredging (Atkinson,1996).
Dari referensi yang ada, belum ada yang menerangkan secara nyata pada ketinggian
muka air berapa akan menghasilkan penggelontoran sedimen yang paling efektif.

Full Tema1.indb 26

24/10/2011 11:39:58

27

Penelitian ini akan memfokuskan pada penggelontoran (Flushing) aliran tertekan


untuk mengetahui pada ketinggian muka air berapa akan menghasilkan penggelontoran yang paling efektif dengan uji hidraulik fisik di laboratorium.
Diharapkan dengan mengetahui hal tersebut diatas, maka akan dapat digunakan
sebagai masukan cara operasional Flushing ,sehingga akan dapat memperpanjang
umur rencana bendungan.
Kajian Pustaka
Beberapa peneliti terdahulu yang terkait dengan flushing sedimen antara lain:
Fan and Jiang (1980), mengembangkan rumus empirik berdasar penelitian di
Bendungan Sanmenxia China. Rumus tersebut mengkaitkan antara : debit sedimen
yang keluar waduk merupakan fungsi dari lebar dasar saluran dan debit . Penelitian
tersebut dilaksanakan selama tahun 1963 dan 1964. Diameter yang tergelontor saat
operasi antara 0.06-0.09 mm.
Xia (1983), menyampaikan formula besarnya debit sedimen sebagai fungsi dari
kemiringan dasar saluran, besarnya debit yang keluar , lebar saluran dan nilai
erodibilitas tanah.
Makin besar nilai erodibilitas tanah, makin mudah sediment tergerus, hal ini
menunjukkan material sedimen yang mudah tererosi. Dilain pihak, nilai koefisien
erodibilitas rendah mengindikasikan material sediment kasar atau terkonsolidasi.
Guozhen, et. (1987) merumuskan untuk menghitung debit sedimen dalam reservoir
yang tergelontor sebagai fungsi lebar dasar saluran, debit penggelontor, kerapatan
air, dan debit yang masuk reservoir .
Xia dan Zhang (1980) yang mengembangkan rumus debit sediment yang keluar
akibat penggelontoran merupakan fungsi dari : debit yang keluar, berat spesifik
campuran air dan sediment, kemiringan sungai, tinggi muka air di reservoir, diameter
median sediment, dan konstanta yang berdasarkan penelitian tersebut besarnya ko
=1.6x10-6
Pitt and Thomson (1984 ) dan Atkinson (1996), dalam studinya menyimpulkan
bahwa Flushing efektif hanya bila tinggi muka air lebih rendah dari setengah tinggi
bendungan, dan sediment terflushing meningkat setelah waktu 3 jam.
Dari beberapa peneliti terdahulu tersebut belum terindikasi adanya Tinggi muka air
yang efektif pada penggelontoran sedimen.
METODOLOGI
Perlunya Uji Hidraulik Fisik
Analisis proses flushing sangat komplek, karena menyangkut arah aliran tiga dimensi.
Permasalahan terutama pada verifikasi beberapa parameter terkait dengan karakter
stokastik air dan data sedimen (Scheuerlein,1993). Untuk menghindari kesulitan
dan guna mendapatkan hasil yang memuaskan, maka penelitian ini akan dilakukan
dengan analisis Uji Model Hidraulik Fisik (Model Test) di Laboratorium.

Full Tema1.indb 27

24/10/2011 11:39:58

28

Model Bahan dan Alat Penunjang Model


Situasi Prototip yang akan di modelkan (waduk ,Alur dan Bangunan Penggelontor
Sedimen) adalah Bendungan Wonogiri hasil desain Nippon Koei,2009, seperti pada
Gambar.1. Model Waduk yang dibuat meliputi sebagian daerah genangan, Closure
Dyke, pintu intake eksistimg dan pintu pembilas baru. Foto model reservoir dan
Closure Dyke seperti Gambar 2, sedangkan foto Model Pintu Penggelontor seperti
Gamabar 3. Bahan tiruan sedimen yang digunakan adalah serbuk abu batubara.
Skenario Pengujian: secara matrik seperti Tabel 1.

Gambar 1. Situasi Prototip Yang Akan di Modelkan.

Gambar 2. Model Reservoir dan


Closure Dyke.

Full Tema1.indb 28

Gambar 3. Model Pintu Penggelonto.

24/10/2011 11:39:59

Full Tema1.indb 29

Hubungan Debit dan Muka Air


hulu
Waktu penurunan m.a tiap 1 m
Kecepatan di hulu pintu setiap
m.a turun 1 m
Konsentrasi sedimen yang keluar
waduk, setiap m.a turun 1 m

Seri.2
Areal hulu Intake
Tahap.2 (ada endapan)
Qin=0 m3/dt, muka
air turun setiap 1 m

Pengaliran Q=100, 200, 400 dengan pintu di buka penuh

Pola Aliran

Qin=0 (tidak ada debit masuk), muka air waduk awal=+136.30,


ma diturunkan dengan bukaan pintu 1.67m,dan setiap ma turun
satu meter didata. Running dilaksanankan berulang untuk variasi
endapan sedimen:1,00, 1.50 dan 2.00, 2.50, 3.00 m

1.Mengalirkan debit Q=100, 200, 400, pintu buka penuh.

1.Pengaliran debit dari Q=50,75,100 smp600 m3 /det, pintu


dibuka penuh
2.Pengaliran debit seperti no.1, dengan bukaan pintu: a=1.00,
2.00, 3.00,4.00m, dengan muka air maksimum +142m

1.Rating curves/ kapasitas pintu


penggelontor baru

Pola Aliran.

Model Pintu Penggelontor / spillway


Baru,dan di Alur
hulu pintu

Seri.1

Variasi Pengujian

Membandingkan Kurva Debit di 1.Pengaliran debit dari Q=50,75,100 smp1400 m3 /det , pintu
model dan eksisting (kalibrasi)
dibuka penuh
2.Pengaliran debit seperti no.1, dengan bukaan pintu a=0.50,
1.00, 1.50, 2.00, 2.50, 3.00m, dengan muka air maksimum +140m

Jenis Observasi

Seri.2
Areal hulu Intake
Tahap.1 (modifikasi sayap)

Model Pintu Penggelontor/ spillway


Eksisting

Lokasi Observasi

Seri.0

Seri/
Tahap

Tabel 1. Skenario Pengujian

29

24/10/2011 11:39:59

30

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
1. Hasil uji Seri.0 (kalibrasi) antara kurva debit model spillway eksisting dan
kurva debit operasional spillway eksisting sangat mendekati, dengan perbedaan
rata-rata hanya 0.0005 m3/dt lihat Gambar 4 dan 5. Model mempunyai kesamaan
geometri, dan model selanjutnya dapat dilaksanakan tanpa perlu modifikasi kekasaran.

Gambar 4. Kurva Debit Model Pintu


Eksisting.

Gambar 5. Kurva Debit Pintu


Eksisting.

2. Uji Seri.1 Kapasitas Pintu Penggelontor Baru dan Pola Aliran.


Kapasitas pintu penggelontor baru mampu mengalirkan debit Q=400m3/
dt,dibawah elevasi muka air +140.00 m dengan bukaan pintu a=3.00 m atau
lebih, Gambar 6. Pola aliran yang dihasilkan tidak begitu bagus, ada aliran mati
lihat Gambar 7.

Gambar 6. Kurva Debit Pintu


Penggelontor Baru.

Gambar 7. Pola Aliran Uji Seri 1.

3. Uji Seri.2 Modifikasi Sayap Hulu dan Konsentrasi Sedimen Tergelontor.


Modifikasi sayap hulu dari sudut 90 menjadi sudut 45. Pengujian dua tahap:
Uji Tahap.1: mengamati Pola Aliran. Hasilnya bagus, tidak ada aliran mati Gambar.8. Uji Tahap.2: menurunkan muka air setiap satu meter tanpa ada debit masuk. Pengamatan meliputi : Elevasi ma, waktu yang diperlukan muka air turun
satu meter, debit yang keluar, kecepatan aliran, dan konsentrasi sedimen yang

Full Tema1.indb 30

24/10/2011 11:39:59

31

tergelontor. Dari 5 kali running dengan variasi tebal sedimen d=1.00,1.50,2.00,


2.50, dan 3.00m, hasilnya berturut - turut seperti pada Tabel.2.,3,4,5 dan 6.
Gambar grafiknya seperti pada Gambar. 9,10 ,11,12 ,13dan 14.

Gambar.8 Pola Aliran Uji Seri.2

1.67Buka
m , tebal
sedimen:
1.00m 1.00
(+127.00)
Tabel.2 Pintu
TabelBuka
2. Pintu
1.67 m,
tebal sedimen:
m (+127.00)
Muka Air
hulu
awal
: +136.30,
turun tiap
1m
Muka
Air
Hulu
AwalL +136.30,
turun
tiap 1 m
No
T ma
Tinggi ma T. Mod. Qof Mod V. mod C Sed
u/s
(l/dt) (cm/dt) (mg/lt)
Mod (cm) (menit)
1
136.30
0
0.00
0.00
0.000
13.95
2
136.00
2
4.74
2.44
0.320
13.50
3
135.00
4
4.65
3.39
0.360
12.00
4
134.00
6
4.41
4.06
8.400
10.50
5
133.00
8
4.19
6.53
1.560
9.00
6
132.00
11
3.88
9.30
0.680
7.50
7
131.00
14
3.49
8.20
0.440
6.00
8
130.00
16
2.95
7.50
0.440
4.50
9
129.00
17
2.17
6.41
0.320
3.00
10
128.00
18
0.93
4.24
0.320
1.50
11
127.00
19
0.00
2.93
0.000
0.00

Full Tema1.indb 31

Qs
(mg/dt)

0.0000
1.5168
1.6740
37.0440
6.5364
2.6384
1.5356
1.2980
0.6944
0.2976
0.0000

24/10/2011 11:39:59

Full Tema1.indb 32

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

No

Muka Air hulu awal : +136.30, turun tiap 1 m


T ma
Tinggi ma T. Mod. Qof Mod V. mod C Sed
u/s
(l/dt) (cm/dt) (mg/lt)
Mod (cm) (menit)
136.30
0.00 0.00
0.00
0.000
13.95
136.00
2.00 4.51
2.96
0.560
13.50
135.00
4.00 4.33
4.00
1.200
12.00
134.00
6.00 4.22
5.00
2.880
10.50
133.00
8.00
4.02
5.83
17.600
9.00
132.00
10.00 3.68
9.55
12.080
7.50
131.00
12.00 3.25
8.30
5.080
6.00
130.00
13.00 2.70
7.84
3.640
4.50
129.00
14.00 1.59
7.05
2.400
3.00
128.00
15.00
0.76
4.30
1.000
1.50
127.00
17.00 0.00
2.84
0.600
0.00

Tabel.5 Pintu Buka 1.67 m , tebal sedimen: 2.50m (+128.50)

Tabel.3 Pintu Buka 1.67 m , tebal sedimen: 1.50m (+127.50)


Muka Air hulu awal : +136.30, turun tiap 1 m
No
T ma
Tinggi ma T. Mod. Qof Mod V. mod C Sed
u/s
(l/dt) (cm/dt) (mg/lt)
Mod (cm) (menit)
1
136.30
0.00
0.00
0.00
0.000
13.95
2
136.00
2.00
4.52
3.11
0.880
13.50
3
135.00
4.00
4.43
3.42
1.040
12.00
4
134.00
6.00
4.31
4.06
1.200
10.50
5
133.00
8.00
4.12
5.40
11.120
9.00
6
132.00
11.00
3.80
9.42
5.200
7.50
7
131.00
14.00
3.40
8.05
4.720
6.00
8
130.00
16.00
2.95
7.66
2.720
4.50
9
129.00
17.00
2.10
6.65
1.440
3.00
10
128.00
18.00
0.88
3.87
1.360
1.50
11
127.00
19.00
0.00
2.71
0.000
0.00

0.000
2.526
5.196
12.154
70.752
44.454
16.510
9.828
3.816
0.760
0.000

Qs
(mg/dt)

0.000
3.978
4.607
5.172
45.814
19.760
16.048
8.024
3.024
1.201
0.000

Qs
(mg/dt)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

No

Muka Air hulu awal : +136.30, turun tiap 1 m


T ma
Tinggi ma T. Mod. Qof Mod V. mod
u/s
(l/dt) (cm/dt)
Mod (cm) (menit)
136.30 13.95
0.00
0.00
0.00
136.00 13.50
2.00
4.43
2.82
135.00 12.00
4.00
4.38
3.80
134.00 10.50
6.00
4.19
4.65
133.00
8.00
3.99
6.00
9.00
132.00
10.00
3.63
9.19
7.50
131.00
12.00
3.15
8.21
6.00
130.00
13.00
2.65
7.84
4.50
129.00
14.00
1.52
6.86
3.00
128.00
15.00
0.73
4.29
1.50
127.00
16.00
0.00
2.69
0.00

C Sed
(mg/lt)
0.000
0.680
1.400
15.920
32.320
24.520
19.280
3.200
1.440
1.240
1.040

Tabel.6 Pintu Buka 1.67 m , tebal sedimen: 3.00m (+129.00)

Tabel.4 Pintu Buka 1.67 m , tebal sedimen: 2.00m (+128.00)


Muka Air hulu awal : +136.30, turun tiap 1 m
No
T ma
C Sed
Tinggi ma T. Mod. Qof Mod V. mod
u/s
(l/dt) (cm/dt) (mg/lt)
Mod (cm) (menit)
1
136.30
0.00
0.00
0.00
0.000
13.95
2
136.00
2.00
4.52
3.17
0.240
13.50
3
135.00
4.00
4.41
3.36
0.680
12.00
4
134.00
6.00
4.19
3.87
0.920
10.50
5
133.00
8.00
4.09
5.25
18.280
9.00
6
132.00
10.00
3.88
9.33
9.520
7.50
7
131.00
12.00
3.49
7.99
3.000
6.00
8
130.00
13.00
2.78
7.47
1.800
4.50
9
129.00
14.00
2.03
6.65
0.880
3.00
10 128.00
15.00
0.84
3.75
0.760
1.50
11 127.00
16.00
0.00
2.78
0.680
0.00

0.000
3.012
6.132
66.705
128.957
89.008
60.732
8.480
2.189
0.899
0.000

Qs
(mg/dt)

0.000
1.085
2.999
3.858
74.765
36.938
10.470
5.004
1.786
0.638
0.000

Qs
(mg/dt)

32

24/10/2011 11:40:00

33

Full Tema1.indb 33

Gambar 9. Kurva Debit Pintu di buka


1.67 m

Gambar 10. Hub. Elev ma Kecepatan

Gambar 11. Hub. Elevasi ma


Konsentrasi Sed

Gambar 12. Hub. Elevasi ma Debit


Sedimen

Gambar 13. Hub. Elevasi Debit


Kecepatan

Gambar. 14 Hub. Elev Konsentrasi


Debit Sed

24/10/2011 11:40:01

34

Pembahasan
Bentuk sayap hulu yang dimodifikasi dari sudut 90 menjadi sudut 45 mempunyai
pengaruh terhadap pola aliran. Semula terlihat ada aliran mati di hulu pintu kanankiri, yang akan menyebabkan adanya endapan di daerah tersebut (Gambar,7.). Dengan dimodifikasi maka aliran lancar, dan tanpa ada endapan di daerah tersebut lihat
Gambar.8.
Debit yang keluar, mendadak besar disaat awal pembukaan pintu (Gambar.9). Setelah itu, menurun perlahan dan kemudian menurun agak lebih cepat pada sekitar
elevasi muka air dibawah +130.00 m. Pada elevasi muka air yang sama endapan
yang makin tebal, debit yang keluar makin kecil.
Kecepatan aliran diukur di 100 m hulu pintu, di ukur setiap elevasi muka air turun
satu meter dimulai pada elevasi +136.00 m. Diawal pembukaan pintu kecepatan
meningkat cepat, dan agak berkurang peningkatannya antara elevasi 136.00 saqmpai +133.00 m. Kecepatan meningkat tajam lagi setelah elevasi 133.00 dan rata-rata
kecepatan maksimum pada elevasi +132.00 m. Setelah itu menurun perlahan sampai elevasi 129.00, dan menurun cepat sampai habis.
Konsentrasi sedimen maksimum yang keluar tergelontor pada variasi endapan sedimen 1.00m, terjadi pada elevasi muka air 134.00 m, pada endapan sedimen 1.50
m konsentrasi maksimum terjadi pada elevasi muka air 133.00m. Endapan 2.00 dan
2.50 m konsentrasi tinggi pada elevasi antara 133.00-132.00m.Sedangkan untuk
endapan 3.00 m, konsentrasi sedimen tinggi terjadi antara elevasi muka air 133.00
-131.00m. Dari Gambar.11 menunjukkan, endapan makin tebal, konsentrasi gerusan maksimum terjadi pada elevasi muka air makin menurun (rendah) dan lebih
lama.
Gambar.14 menunjukkan konsentrasi sedimen maksimum lebih awal dari puncak
kecepatan, dan konsentrasi menurun sampai minimum terjadi disaat kecepatan masih cukup tinggi. Hal ini sangat dimungkinkan karena diamater sedimen yang tersisa lebih besar dari diameter sedimen yang mampu tergerus oleh kecepatan yang
terjadi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Bentuk geometri sayap hulu sangat berpengaruh terhadap pola aliran dan endapan.
2. Tinggi muka air efektif dalam pelaksanaan penggelontoran aliran tertekan berdasar hasil uji model ( kecepatan) adalah antara + 132.00-131.00 m.
3. Pelaksanaan penggelontoran pada muka air terlalu tinggi dan terlalu rendah
menghasilkan kecepatan rendah, dan hasilnya tidak efektif.

Full Tema1.indb 34

24/10/2011 11:40:01

35

Saran
1. Perlu di adakan penelitian lagi dengan pengamatan pada penurunan muka air
yang lebih rapat, misalnya setiap setengah meter, agar dicapai hasil yang lebih
tajam akurasinya.
2. Pelaksanaan penggelontoran sedimen sebaiknya pada elevasi muka air yang
tepat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada rekan rekan dosen yang telah bersedia
berdiskusi dan membantu referensi, serta rekan-rekan asisten dan laboran Balai
Sungai Surakarta yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitiaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson E., 1996, The Feasibility of Flushing Sediment from Reservoir, TDR
Project R 5839, Report OD 137, November 1996, HR Wallingford,UK
Fan,J., and Jiang,R, 1980, On Methods For The Desiltation of Reservoir,
International Seminar of Expert on Reservoir Desiltation, Tunis.
Guozhen,H., Zhengben,H.,Geoshi,W.,1987, Regulation of Streamflow and
Sediment Region by Sanmenxia Reservoir and Palticularities of Scouring
and Deposition, Selected Paper of Research on The Yellow River5 and
Present Practice , The Editors: The Yellow River Conservacy Committee.
Morris G.L, Fan J, 1998, Reservoir Sedimentation Handbook Design and
Management of Dam,Reservoir, and Watersheds for Sustainable Use,
McGrow-Hill Companies,Inc., New York.
Nippon Koei Co. LTD., 2009, Detail Design of Structural Counter Measures for
Sedimentation On Wonogiri Reservoir, Volume I : Design Report, BBWS
Bengawan Solo
Scheuerlein Helmut,1993, Estimation of Flushing Efficiency in Silted Reservoir,
Proceeding of The International Conference on Hydro-Science an
Engineering, Wasington,DC,June 7-11,1993
Xia,Z. and Zhang,Q, 1980, Reservoir Sedimentation, International Symposium
on River Sdementation, P.D(I) 1-13, Chinese Society oh Hydraulic
Engineering, Bejing, Peoples Republic of China.
Yang Chih Ted, 1996 Sediment Transport Theory and Practice, McGrawHill,Singapore.

Full Tema1.indb 35

24/10/2011 11:40:01

Ketersediaan Air Di Wilayah Sungai


Yang Berbentuk Kepulauan
Radhika, Wildan Herwindo,
Muhammad Fauzi, Waluyo Hatmoko
Pusat Litbang Sumber Daya Air
radhikatlh@gmail.com, whatmoko@yahoo.com

Intisari
Informasi mengenai ketersediaan air berperan penting dalam pengelolaan sumber
daya air. Kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya informasi mengenai
ketersediaan air di wilayah sungai yang berbentuk kepulauan masih sangat kurang.
Hal ini disebabkan minimnya data pengamatan dan jumlah pos duga air di wilayah
sungai tersebut.
Penelitian ini menyusun inventarisasi pos duga air yang berada di wilayah sungai
kepulauan, dan menghitung potensi ketersediaan air berdasarkan seluruh data
pengamatan yang diperoleh dari pos duga air yang ada.
Hasil penelitian ini berupa pangkalan data sederhana dan dapat dimutakhirkan, yang
memuat informasi pos duga air, data debit aliran sungai, dan potensi ketersediaan
air. Penelitian ini juga menghasilkan berbagai peta ketersediaan air dalam bentuk
peta tematik ketersediaan air di pos duga air, dan di wilayah sungai. Hasil-hasil ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi mengenai gambaran kondisi ketersediaan
air di wilayah sungai yang berbentuk kepulauan di Indonesia.
Kata kunci: ketersediaan air, kepulauan, pos duga air

PENDAHULUAN
Informasi mengenai ketersediaan air di wilayah sungai sangat penting untuk
perencanaan pengelolaan sumber daya air. Data dan informasi ketersediaan air di
wilayah sungai yang berbentuk kepulauan pada umumnya masih sangat kurang,
disebabkan oleh masih belum adanya pos duga air, dan minimnya data pengamatan.
Studi Nippon Koei (1993) menyajikan ketersediaan air untuk 90 Satuan Wilayah
Sungai (SWS) di Indonesia, termasuk juga wilayah sungai kepulauan, akan tetapi
dengan pendekatan rumus regresi dari curah hujan.
Makalah ini menyajikan kondisi keberadaan pos duga air pada wilayah sungai
yang berbentuk kepulauan di Indonesia, menghitung jumlah air yang tersedia pada
pos duga air tersebut, dan di wilayah sungai yang bersangkutan, dan menyajikan
informasi ketersediaan air dalam bentuk yang informatif untuk mendukung
perencanaan pengelolaan sumber daya air.

36

Full Tema1.indb 36

24/10/2011 11:40:01

37

METODOLOGI
Ketersediaan air pada wilayah sungai dihitung berdasarkan data debit aliran sungai
harian yang diukur di pos duga air, dan dipublikasikan dalam Buku Publikasi Debit
Aliran Sungai di Indonesia oleh Badan Litbang Pekerjaan Umum dan Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air. Data debit di pos duga air ini diperiksa keabsahan
datanya, dan dilakukan perhitungan statistik rata-rata, debit andalan untuk Q80%
yang biasa digunakan untuk pertanian sebagaimana disarankan pada Pedoman
Kriteria Perencanaan Irigasi KP01 (Ditjen Pengairan, 1986) dan debit andalan
Q90% untuk pasokan air baku (Goodman, 1984), serta dan variasi bulanan dalam
setahun sebagaimana pada Puslitbang Pengairan dan Delft Hydraulics (1991).
Jika tidak terdapat pos duga air di Wilayah Sungai, maka perhitungan dilakukan
berdasarkan tinggi aliran wilayah sungai terdekat (Pusat Litbang Sumber Daya Air,
2007). Ketersediaan air dinyatakan dengan satuan mm/hari untuk tebal aliran, m3/
detik untuk aliran di sungai, dan juta m3/tahun untuk potensi tahunan.
HASIL
Penelitian ini dilaksanakan untuk kepulauan-kepulauan di Indonesia dengan
menggunakan data debit pos duga air (PDA) pada wilayah sungai kepulauan
tersebut. Jika tidak terdapat PDA didalamnya wilayah sungai tersebut, maka
perhitungan dilakukan berdasarkan tinggi aliran wilayah sungai terdekat. Tabel
berikut menyajikan daftar pulau dan dasar perhitungannya.
Tabel 1 Pos duga air di wilayah sungai kepulauan
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Full Tema1.indb 37

WS
WS. Madura
WS. Kep. Seribu
WS. Kep. Karimun
WS. Bali-Penida
WS. Nias
WS. Kep. Lingga - Singkep
WS. Batam - Bintan
WS. Bengkalis - Rupat
WS. P. Bangka
WS. P. Belitung
WS. P. Siberut Pagai Sipora
WS. Pulau Laut
WS. Sangihe Talaud
WS. Kep. Banggai
WS. P. Muna
WS. P. Buton
WS. Aesesa
WS. Benenain
WS. Bima - Dompu
WS. Flotim - Lembata - Alor
WS. Noel Mina
WS. Pulau Lombok
WS. Pulau Sumba
WS. Sumbawa
WS. Wae - Jamal

PDA
5 PDA
0 PDA
16 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA
1 PDA
1 PDA
0 PDA
1 PDA
2 PDA
2 PDA
2 PDA
19 PDA
0 PDA
2 PDA
1 PDA

WS TERDEKAT

WS 6Ci
WS. Kampar

WS. Batang Angkola Batang Gadis


WS. Indragiri
WS. Kampar
WS. Siak
WS. Sugihan
WS. Sugihan
WS. Silaut Tarusan
WS. Cengal Batulicin
WS Ppoigar Ranoyapo dan WS Tondano Likupang
WS. Bongka Mentawa

WS. Flotim - Lembata Alor dan WS. Wae - Jamal

WS. Wae Jamal dan WS. Bima - Dompu

24/10/2011 11:40:01

38

NO

WS

PDA

26
27
28
29
30
31
32

WS. Halmahera Selatan


WS. Halmahera Utara
WS. Pulau Ambon - Pulau Seram
WS. Pulau Buru
WS. Kepulauan Kei - Aru
WS. Kepulauan Sula - Obi
WS. Kepulauan Yamdena - Wetar

0 PDA
2 PDA
3 PDA
2 PDA
0 PDA
0 PDA
0 PDA

WS TERDEKAT
WS. Halmahera Utara

WS. Pulau Ambon - Pulau Seram


WS. Halmahera Selatan dan WS. Pulau Buru
WS. Kepulauan Kei - Aru

Penelitian ini telah menghasilkan sistem pangkalan data sederhana, dengan


menggunakan perangkat lunak Microsoft-Excel yang menyajikan: 1) Daftar pos
duga air; 2) Bar-chart data debit; 3) Data debit bulanan; 4) Hasil analisis potensi
ketersediaan air per pos duga air; dan 5) Hasil analisis potensi ketersediaan air
per wilayah sungai. Selain dari pangkalan data, penelitian ini juga menghasilkan
berbagai peta ketersediaan air, dalam bentuk: 1) Peta batas wilayah sungai; 2) Peta
sebaran pos duga air; 3) Peta tematik ketersediaan air di pos duga air; dan 4) Peta
tematik ketersediaan air di wilayah sungai.
PEMBAHASAN
Berdasarkan debit aliran sungai pada pos duga air yang ada, selanjutnya dihitung
rata-rata tinggi aliran tahunan dalam satuan milimeter/hari, m3/detik, dan juta m3/
tahun, untuk masing-masing wilayah sungai kepulauan di Indonesia sebagaimana
disajikan pada tabel berikut.
Dari 133 Wilayah Sungai di Indonesia, terdapat 32 buah Wilayah Sungai yang
berbentuk pulau dan kepulauan, yaitu Wilayah Sungai Madura, Kep. Seribu, Kep.
Karimun, Bali-Penida, Nias, Kep. Lingga Singkep, Batam Bintan, Bengkalis
Rupat, Bangka, Belitung, Siberut Pagai Sipora, Pulau Laut, Sangihe Talaud,
Kep. Banggai, Muna, Buton, Aesesa, Benenain, Dompu, Flotim - Lembata Alor,
NoelMina, Pulau Lombok, Pulau Sumba, Sumbawa, Wae Jamal, Halmahera
Selatan, Halmahera Utara, Pulau Ambon - Pulau Seram, Pulau Buru, Kepulauan Kei
Aru, Kepulauan Sula Obi, dan Kepulauan Yamdena Wetar. Dari 32 Wilayah
Sungai kepulauan ini, ternyata hanya hanya 14 Wilayah Sungai yang memiliki pos
duga air, dan itupun datanya relatif minim, pada umumnya kurang dari 10 tahun
data.
Grafik dan peta hasil perhitungan rata-rata tinggi aliran bulanan untuk masingmasing wilayah sungai kepulauan di Indonesia disajikan pada gambar-gambar
berikut. Tinggi aliran rata-rata bervariasi mulai dari 0,44 mm/hari di WS FlotimLembata-Alor sampai 7,06 mm/hari di WS Pulau Ambon-Pulau Seram. Pola
musiman dari masing-masing wilayah sungai juga berbeda, sesuai dengan pola
musiman hujannya. Wilayah sungai di Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
pada umumnya memiliki pola yang sama, yaitu debit yang tinggi pada bulan
Oktober sampai dengan Maret. Sedangkan pada kepulauan di Sulawesi seperti di
wilayah sungai Buton cenderung memiliki debit tinggi pada bulan Mei.

Full Tema1.indb 38

24/10/2011 11:40:01

39

Tabel 2 Ketersediaan air di wilayah sungai kepulauan


NO

WS

WS. Kep. Seribu

WS. Karimun

WS. Madura

WS. Nias

5
6

Catchment
Area
(km2)

Tinggi Aliran (mm/hari)


Rata- Andalan Andalan
rata
80%
90%

2.31

Ratarata

0.65

Debit (m3/det)
Andalan Andalan
80%
90%

0.37

0.29

Debit (Juta m3/tahun)


Rata- Andalan Andalan
rata
80%
90%

10.94

5.12

2.92

20

12

39.25

3.13

1.35

1.11

1.42

0.62

0.50

45

19

16

4483.56

2.32

1.03

0.80

120.38

53.36

41.43

3,796

1,683

1,306

4134.67

2.90

1.88

1.61

138.73

89.78

77.19

4375.07

2831.43

2434.20

WS. Kep. Lingga - Singkep

2189.37

3.83

2.45

1.89

97.03

62.01

47.79

3059.91

1955.59

1507.26

WS. Batam - Bintan

2459.78

5.04

3.70

3.27

143.54

105.23

93.23

4526.77

3318.54

2940.24

WS. Bengkalis - Rupat

6386.25

3.71

2.94

2.68

274.13

217.61

197.74

8644.84

6862.57

6235.97

WS. P. Siberut Pagai Sipora

WS. P. Bangka

6043.46

6.19

3.72

2.94

432.83

260.25

205.31

13649.65

8207.20

6474.62

11840.05

4.61

2.94

2.41

631.70

402.95

329.83

19921.22

12707.40

10401.64

10 WS. P. Belitung

4664.68

4.61

2.94

2.41

248.87

158.75

129.95

7848.46

5006.39

4097.98

11 WS. Pulau Laut

2371.77

6.59

4.97

4.20

180.94

136.47

115.43

5,706

4,304

3,640

12 WS. Kep. Banggai

3164.66

6.81

4.45

3.74

249.36

163.07

136.82

7,864

5,143

4,315

13 WS. P. Buton

5244.28

3.51

3.15

3.00

212.79

191.39

181.96

6,711

6,036

5,738

14 WS. P. Muna

3898.31

0.33

0.28

0.25

14.80

12.48

11.15

467

394

351

717.64

2.26

1.44

1.20

18.79

11.95

9.97

592

377

314

16 WS. Bali-Penida

5752.04

2.96

1.82

1.52

197.38

121.40

101.27

6,225

3,829

3,194

17 WS. Aesesa

7840.60

2.87

2.24

2.12

260.28

203.66

192.39

8,208

6,423

6,067

18 WS. Benenain

6379.13

0.58

0.34

0.31

42.99

25.25

22.61

1,356

796

713

19 WS. Bima - Dompu

6783.70

0.44

0.36

0.34

34.40

28.56

26.64

1,085

901

840

20 WS. Flotim - Lembata - Alor

6065.50

2.33

1.77

1.70

163.49

124.03

119.16

5,156

3,911

3,758

21 WS. Noel Mina

9709.60

1.43

0.87

0.74

160.42

98.18

82.93

5,059

3,096

2,615

22 WS. Pulau Lombok

4483.60

1.67

0.86

0.69

86.42

44.64

35.67

2,725

1,408

1,125

15 WS. Sangihe Talaud

23 WS. Pulau Sumba

11082.59

1.79

1.43

1.34

229.01

183.65

171.77

7,222

5,792

5,417

24 WS. Sumbawa

8561.60

1.64

1.13

0.92

162.84

112.06

91.17

5,135

3,534

2,875

25 WS. Wae - Jamal

6312.30

3.23

2.58

2.41

236.21

188.46

176.33

7,449

5,943

5,561

15864.55

4.94

3.88

3.52

907.66

712.29

647.11

28,624

22,463

20,407

8208.03

4.94

3.88

3.52

469.61

368.53

334.80

14,810

11,622

10,558

19254.84

7.06

5.04

4.37

1573.62

1122.96

973.23

49,626

35,414

30,692

29 WS. Pulau Buru

8564.18

2.65

2.12

1.95

262.31

210.13

193.48

8,272

6,627

6,102

30 WS. Kepulauan Kei Aru

9405.28

7.06

5.04

4.37

768.65

548.52

475.39

24,240

17,298

14,992

31 WS. Kepulauan Sula Obi

19254.84

4.14

3.26

2.97

922.18

727.06

662.55

29,082

22,929

20,894

32 WS. Kepulauan Yamdena


Wetar

8564.18

7.06

5.04

4.37

699.91

499.47

432.87

22,072

15,751

13,651

26 WS. Halmahera Selatan


27 WS. Halmahera Utara
28 WS. Pulau Ambon - Pulau
Seram

Hal yang menarik adalah bahwa perbedaan debit aliran sungai rata-rata, dengan debit
andalan Q80% dan debit andalan Q90% tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa variasi debit aliran sungai pada suatu bulan memiliki variasi yang rendah,
atau dengan lain perkataan, akan dapat diperkirakan dengan baik.
Disadari bahwa debit aliran sungai tidak menggambarkan secara lengkap potensi
ketersediaan air di kepulauan, sebab banyak pulau dengan sungai yang hanya
mengalir pada musim hujan, dan biasa ditampung dalam bentuk embung dan
waduk muara. Untuk itu perlu dirumuskan indikator lain untuk menyatakan potensi
ketersediaan air di kepulauan secara lebih komprehensif dan terpadu.

Full Tema1.indb 39

24/10/2011 11:40:02

40

Tinggi Aliran WS Pulau Buton


5.00

4.50

4.00

Tinggi Aliran (mm/hari)

3.50

3.00

2.50

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Rata-rata

Jul
Q80

Aug

Sep

Oct

Nov

Dec

Nov

Dec

Q90

Gambar 1. Tinggi aliran musiman WS Pulau Buton


Tinggi Aliran WS Sanghie-Talaud
3.50

3.00

Tinggi Aliran (mm/hari)

2.50

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
Jan

Feb

Mar

Apr

May
Rata-rata

Jun

Jul
Q80

Aug

Sep

Oct

Q90

Gambar 2. Tinggi aliran musiman WS Sanghie Talaud

Full Tema1.indb 40

24/10/2011 11:40:02

41

Tinggi Aliran WS Flotim-Lembata-Alor


6.00

5.00

Tinggi Aliran (mm/hari)

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00
Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Rata-rata

Jul
Q80

Aug

Sep

Oct

Nov

Dec

Q90

Gambar 3 Tinggi aliran musiman di WS Flotim-Lembata-Alor


Tinggi Aliran WS Ambon-Seram
16.00

14.00

Tinggi Aliran (mm/hari)

12.00

10.00

8.00

6.00

4.00

2.00

0.00
Jan

Feb

Mar

Apr

May
Rata-rata

Jun

Jul
Q80

Aug

Sep

Oct

Nov

Dec

Q90

Gambar 4 Tinggi aliran musiman di WS Ambon-Seram

Full Tema1.indb 41

24/10/2011 11:40:03

42

Gambar 5. Tinggi aliran WS di Bali dan Nusa Tenggara

Gambar 6. Tinggi aliran WS di Kepulauan Maluku

Full Tema1.indb 42

24/10/2011 11:40:03

43

KESIMPULAN DAN SARAN


Penelitian ini telah menghasilkan data dan peta ketersediaan air pada wilayah sungai
di seluruh Indonesia, termasuk wilayah sungai berbentuk pulau dan kepulauan.
Jumlah ketersediaan air di wilayah sungai kepulauan ini sangat bervariasi. Hasil
penelitian ini masih terkendala akan masih minimnya jumlah pos duga air dan
kondisi kuantitas dan kualitas data debit aliran sungai pada pos duga air di wilayah
sungai berbentuk kepulauan.
Untuk menyatakan potensi ketersediaan air dalam bentuk tampungan pada embung
dan waduk muara yang banyak terdapat di kepulauan, maka perlu dirumuskan
indikator potensi ketersediaan air yang lebih komprehensif dan terpadu.
Disarankan untuk menambah jumlah pos duga air, sehingga paling tidak setiap
wilayah sungai akan memiliki sebuah pos duga air, dan meningkatkan kualitas
pengamatan dan pengolahan data debit aliran sungai, agar diperoleh data yang dapat
diandalkan untuk perencanaan pengelolaan sumber daya air dalam memanfaatkan
sumber daya air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu khususnya para pimpinan dan fungsional Pusat Litbang Sumber Daya
Air, para nara sumber, serta Balai Besar Wilayah Sungai dan Balai Wilayah Sungai
yang telah memberikan dukungan data dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Goodman, Alvin S., 1984. Principles of Water Resources Planning, Prentice-Hall,
Englewood Cliffs.
Nippon Koei, 1993. The Study for Formulation of Irrigation Development
Program in the Republic of Indonesia (FIDEP), Bappenas, Ministry of
Public Works, JICA
Anonim, 1991. Annual and Seasonal Rainfall in Indonesia, Technical Note No. 2,
Planning of Integrated Water Resources Development (BTA-155 Phase II),
Ministry of Public Works. Pusat Litbang Pengairan dan Delf Hydraulics.
Anonim, 2005. Laporan Penelitian Potensi Air Permukaan Pulau Jawa.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air.
Anonim, 2006. Laporan Penelitian Potensi Air Permukaan Pulau Sumatera.Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air.
Anonim, 2007. Buku Potensi Aliran Sungai Di Indonesia, Volume 1 : Pulau Jawa.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air.
Anonim, 2007. Laporan Penelitian Potensi Air Permukaan Pulau Sulawesi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air.

Full Tema1.indb 43

24/10/2011 11:40:03

Upaya Konservasi Sumber Daya Air WS


Kepulauan Madura
Hadi Moeljanto1), Ainur Rofiq2)
1)

2)

PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur, Ahmad Yani 152
A Surabaya, Telp 031-8299585, email :hadimoeljanto@ymail.com

PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur, Ahmad Yani 152
A Surabaya, Telp 031-8299585, email :ainur.ri@gmail.com

Intisari
WS Kepulauan Madura, secara administratif terletak berada di Kepulauan madura
yang merupakan bagian dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan terdiri dari 4
Kabupaten yaitu kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep yang
memiliki luas wilayah 4.492 km2 dan berada pada posisi geografis antara 112
116 BT dan 4 7 LS. Adanya peningkatan jumlah penduduk pada 4 kabupaten tersebut berarti pula terjadi peningkatan kebutuhan hidup, dan inilah yang
menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan hutan. Ketika sistem hutan
dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman, fungsi hidrologis hutan yaitu
sebagai daerah tangkapan hujan menurun seiring dengan adanya perubahan sifat
tanah. Hal ini akan menimbulkan banjir, tanah longsor, erosi dan kekeringan serta
kekurangan air bersih
Permasalahan di atas dapat diatasi dengan melakukan upaya konservasi dan
penghematan air sebagai sumber utama kehidupan dan dirancang dengan
menggunakan pendekatan yang menyeluruh dan terpadu dan harus didukung oleh
komitmen pemerintah dan kesadaran seluruh elemen masyarakat. Tujuannya untuk
mengoptimalkan pemanfaatan fungsi dan sumber air di alam serta keberlanjutannya
untuk memenuhi kebutuhan manusia (air minum, rumah tangga, pertanian,
lingkungan, industri dan sebagainya) untuk saat ini dan di masa datang.
Maksud dari penulisan ini, untuk melakukan identifikasi kondisi lahan untuk
mengetahui permasalahan yang terjadi di WS Kepulauan Madura dengan menyusun
perencanaan (konsep) konservasi SDA di WS Kepulauan Madura baik dengan cara
sipil teknis, vegetasi (reboisasi) dan sosial ekonomi (pemberdayaan masyarakat)
dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga dan mencegah erosi
dan longsor, pelestarian sumberdaya air . Upaya konservasi air itu sendiri terdiri
atas tiga unsur, yakni upaya konservasi SDA dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain 1. Struktur dan non struktur, 2. Pemanfaatan baik dalam penggunaan
seefisien mungkin (reduce) dan pengelolaan kembali (recycling) 3. Menahan air
selama mungkin didaratan untuk memperbesar infiltasi air tanah, menghidupkan
sumber air, dan mempertahankan base flow sungai yang bermanfaat pada musim
kemarau.
Kata kunci: Konservasi SDA WS; Optimalisasi potensi SDA.

44

Full Tema1.indb 44

24/10/2011 11:40:03

45

Pendahuluan
Latar Belakang
Sejak terbitnya UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) pada Pasal
1 Butir 18 bahwa pengertian Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara
keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar
senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang,
Secara geologis, WS Kepulauan Madura terdiri atas berbagai macam batuan. Jika
di runtut dari arah Kabupaten Bangkalan hingga Kabupaten Sumenep terdiri atas
bermacam macam batuan, yaitu alluvium, pleistosin fase sedimen, pleiosin fase
gamping dan meiosin fase sedimen, Holosen Alluvium, Pliosen Limestone Facies,
Miosen Sendimentary Facies, Cleiston Clay Sedimentary.
Sungai-sungainya relatif kecil, puncak terjauh jaraknya kurang dari 18 km dari
pantai dengan pola aliran yang paralel, membentuk tata air yang khas. Perubahan
kelerengan sungai dari curam menjadi landai menghasilkan aliran berolak yang
menyebabkan banjir pada dataran pantai seperti yang terjadi pada kali Kamoning
Kabupaten Sampang. Disamping banjir, sedimentasi juga menjadi masalah, terutama
dengan adanya penggundulan hutan dan pola tanam yang tidak sesuai sehingga
menyebabkan timbulnya sedimentasi pada Waduk Klampis .
Pengelolaan sumber daya air pada WS Kepulauan Madura mendesak untuk
ditangani, seperti menurunnya daya dukung dan pelayanannya kian dirasakan yang
terjadi pada akhir akhir ini . Sebetulnya air yang disediakan gratis oleh alam sudah
memiliki daur ulang dan siklus secara alami, serta sudah memiliki resistensi sendiri
terhadap pencemaran, apabila daya dukung/kandungan polutan tidak melebihi batas
ambang yang diperkenankan, khususnya pada musim kemarau karena debit air
mengecil dan air merupakan benda terbarukan (renewable) volumenya mendekati
tetap setiap tahunnya, namun kebutuhan akan air meningkat dengan adanya
pertambahan penduduk dan terutama aktivitasnya dalam menunjang kehidupan
telah mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan ekosistem yang terdapat di
alam. Seperti amanat UU No.7 Tahun 2004, tertulis dengan jelas ada 3 komponen
yang harus kita perhatikan dan cermati secara mendalam, agar air benar-benar
bermanfaat yang berkelanjutan (sustainable) untuk lintas generasi, lintas waktu
yang diikuti yang salah satunya konservasi sumber daya air.
Ruang Lingkup.
Lingkup kegiatan menelaah upaya Konservasi Sumber Daya Air pada WS
Kepulauan Madura sesuai UUD SDA No.7 Tahun 2004 dengan membahas kegiatan
perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air dan pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air guna mengatasi degradasi DAS, seperti
terjadinya banjir dan tanah longsor, kegagalan panen, kekurangan air bersih atau
ketersediaan air bersih yang semakin sedikit, serta ancaman kekeringan. Dampak
yang perlu mendapat perhatian dari kerusakan lingkungan adalah terjadinya defisit
dan kelangkaan air. Dengan kebutuhan air yang meningkat, tekanan (ekstraksi yang
berlebihan) terhadap sumber air, pengawahutanan (deforestasi), degradasi lahan,

Full Tema1.indb 45

24/10/2011 11:40:04

46

pencemaran terhadap air dan sumber air akibat tidak adanya upaya konservasi
Sumber Daya Air yang serius dan memadai.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan adalah untuk meningkatkan kegiatan konservasi SDA
pada WS Kepulauan Madura dengan memanfaatkan Sumber Daya Air secara
berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan
masyarakat secara adil. Prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah
serta keseimbangan antara upaya konservasi sumber daya air di daerah hulu dan
pendayagunaan sumber daya air di daerah hilir, merencanakan, serta melibatkan
peran serta masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.
Sedang Tujuan untuk mengoptimalkan keberadaan sumber daya air, daya dukung
sumber daya air, serta daya tampung air dan fungsi sumber daya air yang terkait
dengan pengelolaan konservasi SDA di WS Kepulauan Madura.
Metodologi
Metodologi dengan melakukan pengamatan lapangan tentang kegiatan Konservasi
SDA di WS Kepulauan Madura serta melakukan analisa dengan kegiatan meliputi:
1. Pengumpulan data yang terkait dengan kegiatan, 2. Pengkajian lapangan, dan
pengukuran konservasi SDA, 3. Wawancara dengan berbagai pihak terkait untuk
permasalahan konservasi SDA , 4. Usulan langkah untuk meningkatkan Konsevasi
SDA pada WS Kepulauan Madura .
Hasil Kegiatan Dan Pembahasan.
Dalam pengumpulan data pada WS Kepulauan Madura terdapat data data antara
lain :
1) Daerah Rawan Kekeringan
Pada WS Kepulauan Madura terdapat daerah rawan kekeringan seperti pada
Kabupaten Bangkalan. Lokasi sering terjadi kekeringan seperti Ds. Krajan,
Kecamatan Blegah, Ds. Marparan dan Ds. Disanah, Kecamatan Sreseh. Ds.
Ragung dan Ds. Plakaran, Kecamatan Torjun, Ds. Bringin, Ds. Batoarang dan
Ds. Somber, Kecamatan Tambelangan. Ds. Pandan, Kecamatan Omben, Kab.
Sampang Ds. Asemnunggal, Kecamatan Jrengik, Ds. Marparan dan Desa Disanah, Kecamatan Sreseh, Ds. Ragung dan Desa Plakaran, Kecamatan Torjun,
Ds. Bringin, Ds. Batoarang dan Ds. Somber, Kecamatan Tambelangan, Ds.
Pandan, Kecamatan Omben Kab Sumenep Desa Nambakor dan Desa Langsar
Kecamatan Saronggi, Desa Gondang Timur Kecamatan Gayam.
2) Daerah Rawan Banjir.
Ada beberapa DAS yang sering mengalami kebanjiran hampir setiap tahunnya seperti Kabupaten Bangkalan : DAS Pangarengan / DAS.Blegah, DAS
Asemtanto, DAS Brambang, DAS Telang, DAS Gulung, Kabupaten Sampang:
DAS Sampang / Kemuning, DAS Panyiburan, Kabupaten Pamekasan: DAS
Kloang, DAS. Semajid Kabupaten Sumenep: DAS Anjuk, DAS Sarokah, DAS
Sokrah

Full Tema1.indb 46

24/10/2011 11:40:04

47

3) Kualitas air
Dalam pengamatan kualitas air pada WS Kepulauan Madura terdapat lokasi
Pengamatan seperti dibawah ini :
Tabel 1. Lokasi Pengamatan
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

KODE
STASIUN
KSJ 1
KSJ 2
KSJ 3
K.Klg 1
K.Klg 2
K.Klg 3
KKM 1
KKM 2
KKLP1
KKNY 1
KBL 1
KBL 2
K.sbr.P 1
KBA 1
KBA 2

SUNGAI
Sungai Semajid
Sungai Semajid
Sungai Semajid
Sungai Kloang
Sungai Kloang
Sungai Kloang
Sungai Kemuning
Sungai Kemuning
Sungai Klampis
Sungai Panyiburan
Sungai Blega
Sungai Blega
Sungai Sumber Payung
Sungai Bangkalan
Sungai Bangkalan

KABUPATEN
Pamekasan
Pamekasan
Pamekasan
Sumenep
Sumenep
Sumenep
Sampang
Sampang
Sampang
Sampang
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan
Bangkalan

Dari analisis data, suhu udara maksimum adalah 330C sedangkan temperature minimum adalah 230C, pH maksimum adalah 8,39 sedangkan pH minimum adalah 7,00. DO maksimum adalah 8,71 mg/L sedangkan DO minimum
adalah 4,6 mg/L, BOD maksimum adalah 9,00 mg/L sedangkan BOD minimum adalah 3,2 mg/L, COD maksimum adalah 18,00 mg/L sedangkan COD
minimum adalah 7,00 mg/L. TTS maksimum adalah 479 mg/L sedangkan TTS
minimum adalah 2 mg/L, DHL maksimum adalah 796 umhos/cm sedangkan
DHL minimum adalah 389 umhos/cm.

4) Kawasan Lindung
Permasalahan kawasan lindung sumber-sumber air khususnya dan DAS di 4
(empat) Kabupaten di Madura, yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekaan dan Kabupaten Sumenep, antara lain:
a. Meningkatnya kepadatan bangunan di sekitarnya yang mengganggu aliran
air.
b. Pembuangan sampah khususnya di kawasan perkotaan.
c. Kondisi kualitas air yang jelek, warna kehitaman dan berbau.
d. Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) masih banyak dijumpai tanahtanah kritis yang menjadikan penyebab erosi sehingga menimbulkan pendangkalan
sumber-sumber air, akibatnya potensi debit sumber air kian hari semakin
kecil. Disamping itu dengan sumber air yang kondisinya dangkal sehingga
pada musim kemarau, sumber-sumber air tersebut mengalami penurunan
debit yang sangat signifikan.

Full Tema1.indb 47

24/10/2011 11:40:04

48

5) Irigasi
Pada Daerah Irigasi (DI) di Jawa Timur di WS Kepulauan Madura yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sebesar 9.381 Ha. Kondisi daerah irigasi
berdasarkan fungsi pelayanan jaringan irigasi dengan luas 1.000-3.000 Ha dan
lintas kabupaten (kondisi buruk 4.632 Ha dan Baik 5.018 Ha) dengan Daerah
Irigasi Potensial seperti DI Tunjun, DI Samiran, DI Umbul, DI Klampis dan
DI. Jepun .

Kondisi eksisting prasarana irigasi pada WS Kepulauan Madura bahwa fungsi


layanan jaringan irigasi tidak selalu dalam kondisi baik, hal ini dikarenakan kinerja fungsi pelayanan jaringan irigasi dipengaruhi oleh baik ataupun rusaknya
prasarana irigasi yang ada seperti bendung, saluran-saluran, bangunan bangunan air dan bangunan penunjang seperti Saluran Primer 10.538 km (kondisi
baik 6.773 km dan rusak 3.765 km), Saluran sekunder 62.017 km (kondsi baik
27.672 km dan rusak 34.345 km)

Dengan semakin tingginya perubahan fungsi tanah pertanian menjadi kawasan


terbangun, maka untuk mempertahankan kawasan pertanian khususnya sawah
beririgasi teknis dan lahan abadi pertanian pangan (sawah abadi) ini perlu ditingkatkan intensifikasinya. Untuk menunjang peningkatan dari nilai manfaat
melalui peningkatan pelayanan irigasi dari setengah teknis menjadi teknis dan
sederhana menjadi setengah teknis.

Pengembangan sawah selain padi juga dilakukan penerapan sistem mina padi,
tumpang sari dan sebagainya

Rencana Upaya Konservasi Sumber Daya Air yang harus dilakukan:


Adapun kegiatan dalam Konservasi SDA dalam WS Kepulauan Madura sesuai
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dapat dilakukan melalui 1.
Perlindungan dan pelestarian sumber air 2. Pengawetan air 3.Pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air. Adapun sesuai urutan berikut ini:
1) Pengelolaan Daerah Tangkapan air.
a. Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan lindung (penghijauan) dengan
bantuan tanaman produktif bagi masyarakat untuk penghijauan pada kawasan lindung.
b. Pelaksanaan Gerhan dan GNKPA secara rutin.
c. Mempertahankan luas kawasan lindung 30 % sesuai dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
d. OP Bendungan yang ada di masing-masing kabupaten.
e. Pembangunan Waduk Blega di Kali Blega Kab. Bangkalan.
f. Rehabilitasi dan konservasi daerah tangkapan air di sepanjang perbukitan di
Pulau Madura.
g. Rehabiltasi dan konservasi daerah tangkapan air lereng sepanjang perbukitan di Pulau madura dan bantaran sungai.
h. Rehabiltasi dan konservasi daerah tangkapan air di sekitar Waduk Klampis

Full Tema1.indb 48

24/10/2011 11:40:04

49

2) Pengelolaan Kuantitas air.


2.1 Menyimpan air.


a. Mendayagunakan infrastruktur yang sudah ada dan sebagai aset negara
yang bernilai sangat besar, sehingga sangat wajar harus dipertahankan
dan ditingkatkan dayagunanya.
b. Membuat penampungan air hujan (rainfall harvesting) dengan
membangun waduk lapangan / embung dan pengendali air pada tempat-tempat yang dimungkinkan seperti di Kabupaten Bangkalan (29
embung), Kabupaten Pamekasan (24 embung), Kabupaten Sumenep (8
embung) dan harus disertai upaya pembinaan yang berkesinambungan
untuk meningkatkan kemampuan petani dan mempertebal rasa ikut memiliki sarana dan prasarana irigasi.
c. Membuat sumur resapan baru untuk melayani daerah daerah tertentu
yang mengalami kekeringan.
d. Membangun tangki penyimpanan air atau truk tangki sehingga bisa didistribusi ke penyimpanan lebih kecil.
e. Perbaikan penampungan air hujan (ABSAH) untuk menambah persediaan air selama 5 (lima) bulan musim hujan.

2.2 Penghematan air melalui perbaikan efisiensi irigasi.


a. Teknologi baru pemberian air, antara lain metode SRI (System of Rice Intensification) dengan mendorong effisiensi penggunaan air irigasi yang
semula dengan pemberian air irigasi terus menerus sebesar
10.000
m3/ha/musim menjadi padi pola SRI 6.000 m3/ha/musim sehingga penggunaan air lebih hemat 40 % dari air pertanian secara konvensional.
b. Melakukan Management Intensive seperti drip irrigation agar pemberian air dapat dilakukan dalam jumlah yang tepat pada waktu yang tepat.
c. Perorangan tidak selalu membuang air seperti habis wudlu tidak langsung dibuang tetapi ditampung seperti pada kolam ikan .
d. Industri harus selalu melaksanakan penggunaan kembali air buangan
(water re-use) sehingga tidak selalu dalam proses menggunakan air bersih.
e. Pemerintah membuat kebijakan dan investasi yang pro air dengan membuat Master Plan SDA yang jelas yang, sekarang yang ada Pola PSDA
WS Pulau Madura.

Full Tema1.indb 49

2.3 Mengendalikan penggunaan air


a. Pemberian air berselang-seling (intermittent), mencukupi kebutuhan minimum optimal
b. Meningkatkan kedisiplinan petani dalam mentaati jadwal tanam dan aturan pemberian air.
c. Memberantas pengambilan air liar (illegal offtake).

24/10/2011 11:40:04

50

3) Pengelolaan kualitas air


a. Membangun sistem pemantauan kualitas air pada sumber air dan kualitas
limbah cair secara berkelanjutan di sepanjang Wilayah Sungai Pulau
Madura.
b. Penerbitan Perda Baku Mutu Air dan Limbah Cair di kabupaten dalam WS
Pulau Madura.
c. Pembangunan IPAL di Kabupaten/Kota di WS Pulau Madura.
d. Penerbitan peraturan yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat
dari hulu hingga hilir.
e. Sosialisasi intensif kepada masyarakat tentang bahaya pencemaran air.
f. Pembuatan perda yang mengatur pembuangan sampah oleh masyarakat
4) Pengelolaan pengendalian banjir.
DAS. Kali Kamoning.
a. Pengembangan Bozem di Gunung Madah karena Kali Gunung Madah
dan kali Kamoning bertemu jadi satu dan bermuara di laut. Salah satu
komponen sistem drainase yang berfungsi sebagai tampungan sementara
dan untuk mencegah pasang surut dari air laut
b. Pengembangan Retarding di hulu menekan banjir di Kali Kamoning
hingga mencapai debit banjir sebesar 260 m3/sekon, namun mengingat
bahwa di hulu Kali Kamoning dengan mempertimbangkan kondisi sosial
yang ada, tidak mungkin dikembangkan waduk yang cukup besar .
c. Perencanaan Flood Way
d. Konservasi hutan diharapkan dapat mencegah erosi lahan hutan mengingat
perbukitan Sampang memiliki lahan hutan dengan tingkat erosi cukup
tinggi.
e. Penyelesaian drainase kota
f. Kombinasi pengembangan retarding dan pengembangan bozem dilakukan
bersama-sama
DAS Anjuk, DAS Sokrah, DAS.Sarokah,
1. DAS Anjuk dengan fasilitas pengelolaan debit yang ada di DAS Sungai Anjuk
adalah berupa embung yaitu embung Mandala dengan kapasitas 43.485 m3
dengan kondisi masih dalam pelaksanaan. Jika embung ini berfungsi dengan
baik maka akan mereduksi puncak hidrograf banjir sebesar 36 m3/sekon, kapasitas eksisting sungai dari dari hasil pengukuran long dan cross section sungai
dan dengan bantuan program Hecrass didapat 20,00 m3/sekon. Untuk pengendalian debit banjir Q25 = 187,61 m3/dt, beberapa segmen Kali Anjuk bisa dikatakan tidak mampu lagi, sehingga perlu adanya perbaikan / normalisasi alur
sungai. Normalisasi sungai untuk debit banjir Q25 = 187,61 m3/sekon didapat
dimensi : lebar dasar sungai 6,00 meter, miring tebing lereng bawah 1:2 setinggi 6,00 meter.
2. Di DAS Sokrah yang terdiri dari tiga embung, dua embung dengan kondisi
baik dan satu embung kondisi tidak baik. Sehingga perlu perbaikan, agar ka-

Full Tema1.indb 50

24/10/2011 11:40:04

51

pasitas reduksi banjir fasilitas ini bisa ditingkatkan. Jika tiga embung ini berfungsi dengan baik maka akan mereduksi puncak hidrograf banjir sebesar 60
m3/sekon. Kapasitas eksisting sungai dari dari hasil pengukuran long dan cross
section sungai dan dengan bantuan program Hecrass didapat 110,00 m3/sekon.
Untuk pengendalian debit banjir Q25= 240,36 m3/sekon, beberapa segmen Kali
Anjuk bisa dikatakan tidak mampu lagi, sehingga perlu adanya perbaikan / normalisasi alur sungai. Normalisasi sungai untuk mengendalikan debit banjir Q25
= 240,36 m3/sekon menghasilkan dimensi : lebar dasar sungai 10,00 meter,
miring tebing lereng 1 : 2 setinggi 6,00 meter.
3. Ada sembilan bendung di DAS Sokrah dan satu bendung di DAS Anjuk yang
bisa ditingkatkan kapasitasnya sehingga menjadi embung (long storage). Pada
DAS Sokrah, pengembangan kapasitas ini bisa menekan puncak hidrograf
banjir untuk DAS Anjuk sebesar 10,13 m3/sekon dan untuk DAS Sokrah sebesar 12,28 m3/sekon.
4. Pada DAS Sarokah, kapasitas eksisting sungai dari dari hasil pengukuran long
dan cross section sungai dan dengan bantuan program Hecrass didapat 16,00
m3/sekon. Untuk pengendalian debit banjir Q25= 392,15 m3/sekon, beberapa
segmen Kali Sarokah bisa dikatakan tidak mampu lagi, dengan pengelolaan
debit banjir di hulu, sehingga puncak banjir bisa ditekan menjadi 350 m3/sekon.
Hasil normalisasi secara optimum Kali Sarokah menghasilkan kapasitas maksimum sebesar 350 m3/sekon. Debit sebesar ini menghasilkan dimensi : lebar
dasar sungai 15,00 meter, miring tebing kereng 1:2 setinggi 12,00 meter.
KESIMPULAN DAN SARAN
1) Upaya konservasi SDA itu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
melalui ; 1. Struktur dan non struktur 2. Pemanfaatan baik dalam penggunaan
seefisien mungkin (reduce) dan pengelolaan kembali (recycling) 3. Menahan air
selama mungkin didaratan untuk memperbesar inflitasi air tanah, menghidupkan sumber air, dan mempertahankan base flow sungai yang bermanfaat pada
musim kemarau.
2) Pemberdayaan masyarakat melalui forum dialog untuk mendapatkan masukan
dan formula yang tepat guna menangani sumber daya air ke depan. Dengan
mengidentifikasi dan memetakan seluruh permasalahan aktual di lapangan terkait dengan sumber daya air dan lingkungan
3) Perlunya Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) yang menyentuh pokok permasalahan konservasi SDA harus kita dukung dan dilaksanakan bersama secara nyata, karena merupakan penyatuan tekad dan pembaruan komitmen dalam upaya keterpaduan penyelamatan air atas dasar prinsip
kemitraan.
4) Koordinasi antara instansi serta belum diberdayakannya masyarakat dan Stakeholders lainnya yang menyangkut masalah konservasi SDA menuju Konservasi SDA secara berkelanjutan.

Full Tema1.indb 51

24/10/2011 11:40:04

52

5) Pembangunan waduk pada WS Kepulauan Madura itu sangat dibutuhkan dan


bisa menjamin ketersedian air bagi masyarakat, termasuk untuk pengairan.
Meski begitu pemerintah tak berhenti disana. Pembangunan embung yang
menyerupai waduk kecil akan dilakukan untuk meningkatan kapasitas
ketersediaan air.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (----), Pola PSDA WS Kepulauan Madura, PT Parigraha Konsultan.
Anonim, 2004, Undang Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air .
Anonim, 2006, Both ENDS, Pengelolaan Daerah Alliran Sungai, Sebuah
pendekatan Negosiasi, INSIST Press.
Anonim, 2007, Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Anonim, 2008, Peraturan Pemerintah No.42 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air.
Kodoatie, R. J., dan Sjarief, R., 2010, Tata Ruang Air, CV. Andi Offset.
Salim, B., (----), Sumber Daya Air dan Kesejahteraan Publik, IPB Press.

Full Tema1.indb 52

24/10/2011 11:40:04

Full Tema1.indb 53

KEBIJAKAN OPERASIONAL

STAKEHOLDERS

INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB

a.

Pemeliharaan
kelangsungan
fungsi resapan
air dan daerah
tangkapan air
baik air permukaan maupun air
tanah

Dilaksanakan
secara vegetatif
dan/atau sipil
teknis, pendekatan sosial,
ekonomi, dan
budaya

Mempertahankan luas
kawasan lindung 30 %
sesuai dengan UU no
26/2007
Meningkatkan luas
OP Bendungan yang
kawasan yang berfungsi ada di masing-masing
lindung, terutama sebagai kabupaten
kawasan resapan air

Mempertahankan luas
kawasan lindung 30 %
sesuai dengan UU no
26/2007
OP Bendungan yang
ada di masing-masing
kabupaten

Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan


lindung (penghijauan)
dengan bantuan
tanaman produktif bagi
masyarakat untuk
penghijauan pada kawasan lindung.
Pelaksanaan Gerhan dan Pelaksanaan Gerhan dan
GNKPA secara rutin
GNKPA secara rutin

Rehabilitasi dan
konservasi lahan kritis
(penghijauan) dengan
bantuan tanaman produktif bagi masyarakat untuk
penghijauan pada lahan
kritis

Mempertahankan luas
kawasan lindung 30 %
sesuai dengan UU no
26/2007
OP Bendungan yang
ada di masing-masing
kabupaten

Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan


lindung (penghijauan)
dengan bantuan
tanaman produktif bagi
masyarakat untuk
penghijauan pada kawasan lindung.
Pelaksanaan Gerhan dan
GNKPA secara rutin

Kebijakan Balai PSDA


WS Pulau Madura

Kesepakatan Balai DAS


Brantas Stasiun Madura
, Dinas Kehutanan kabupaten dan Balai WS
PSDA Pulau Madura

Kesepakatan Balai DAS Dinas Pengairan Prop


Brantas Stasiun Madura Jawa Timur Subdin
dan Dinas Kehutanan
PSDA, Pemkab ,
BAPPEDA Prop/Kab,
Dinas Kehutanan
Kabupaten, Balai DAS
Brantas Stasiun Madura

Balai DAS Brantas Stasiun Madura dan Dinas


Kehutanan Kabupaten

1. PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR



Tujuan : Melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang
disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia (dijadikan dasar dalam
penatagunaan lahan)

STRATEGI PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN


SUMBER DAYA AIR
KEBIJAKAN LANGKAH STRATNo.
SKENARIO 1
SKENARIO 2
SKENARIO 3
DASAR
EGIS
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI RENDAH EKONOMI SEDANG EKONOMI TINGGI

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR PADA WILAYAH SUNGAI KEPULAUAN MADURA


TUJUAN
: Menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air
KEGIATAN
: 1. Perlindungan dan pelestarian sumber air
2. Pengawetan air
3. Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

53

24/10/2011 11:40:04

Full Tema1.indb 54

Pengisian air
Menjaga daerah resapan Operasional dan Pemepada sumber air air dan mempertahankan liharaan Waduk-waduk
daerah imbuhan air tanah yang ada di Wilayah
Kabupaten Sampang
yaitu Waduk Klampis

c.

Mengembangkan dan
merehabilitasi prasarana
dan sarana untuk konservasi SDA yang telah ada

Pengendalian
pemanfaatan
sumber air

b.

KEBIJAKAN OPERASIONAL

Pembangunan Waduk
Pembangunan Waduk
Kesepakatan Balai WS
Blega di Kali Blega Kab. Blega di Kali Blega Kab. Pulau Madura, Dinas
Bangkalan
Bangkalan
Pengairan Propinsi Jawa
Timur dan Dirjen Irigasi .
Rehabilitasi dan konser- Rehabilitasi dan konser- Kesepakatan Balai DAS
vasi daerah tangkapan air vasi daerah tangkapan air Brantas Stasiun Madura
di sepanjang perbukitan di sepanjang perbukitan dan Dinas Kehutanan
di Pulau Madura
di Pulau Madura
Pembangunan embung- Pembangunan embung- Pemkab dan Balai WS
embung di beberapa
embung di beberapa
Pulau Madura
lokasi
lokasi
Rehabiltasi dan konser- Kesepakatan Balai DAS
vasi daerah tangkapan
Brantas Stasiun Madura
air lereng sepanjang per- dan Dinas Kehutanan
bukitan di Pulau madura
dan Bantaran sungai
Rehabiltasi dan konser- Rehabiltasi dan konser- Kesepakatan Balai DAS
vasi daerah tangkapan
vasi daerah tangkapan
Brantas Stasiun Madura
air di sekitar Waduk
air di sekitar Waduk
dan Dinas Kehutanan
Klampis
Klampis
Rehabilitasi dan pemban- Rehabilitasi dan pemban- Kebijakan Balai PSDA
gunan check dam di DAS gunan check dam di DAS WS Pulau Madura dan
/Sub Das Kali Blega,
/Sub Das Kali Blega,
Dinas Pengairan kabuKali Kamoning, Kali
Kali Kamoning, Kali sa- paten
sarokah
rokah dan sungai-sungai
lainnya di kepulauan
Madura
Rehabilitasi Waduk yang Rehabilitasi Waduk yang Kesepakatan Dinas
ada di WilayahKlampis ada di WilayahKlampis Pengairan kan Sampang,
Kabupaten Sampang
Kabupaten Sampang
Pemerintah Prop. Jatim
dengan Pemerintah Pusat

STRATEGI PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN


SUMBER DAYA AIR
KEBIJAKAN LANGKAH STRATNo.
SKENARIO 1
SKENARIO 2
SKENARIO 3
DASAR
EGIS
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI RENDAH EKONOMI SEDANG EKONOMI TINGGI

Dinas Pengairan Prop


Jawa Timur Subdin
PSDA, Pemkab ,
BAPPEDA Prop/Kab,
Dinas Kehutanan
Kabupaten, Balai DAS
Brantas Stasiun Madura

STAKEHOLDERS

Dinas Pengairan Prop


jawa Timur Subdin
PSDA dan Balai PSDA
WS Pulau Madura

INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB

54

24/10/2011 11:40:05

Full Tema1.indb 55

g.

f.

e.

d.

Pembangunan Embung

KEBIJAKAN OPERASIONAL

Koordinasi Pemkab.
setempat
Pembangunan waduk
Kesepakatan Dinas
blega dan Waduk Nipah Pengairan kan Sampang,
Pemerintah Prop. Jatim
dengan Pemerintah Pusat
Pengaturan
Pembangunan IPAL dan Pembangunan IPAL dan Pembangunan IPAL dan Pembangunan IPAL dan Kesepakatan Balai DAS
prasarana dan
TPA untuk pengaturan
TPA di seluruh Kabdi
TPA di seluruh Kab/kota TPA di seluruh Kab/kota Brantas Stasiun Madura
sarana sanitasi sanitasi
Pulau Madura
di WS Pulau madura
di WS Pulau madura
dan Dinas Kehutanan
PerlindunPengendalian Pemanfaa- Pengendalian pemanPengendalian pemanPengendalian pemanKesepakatan Dianas Pengan sumber
tan Ruang
faatan bantaran sungai
faatan bantaran sungai
faatan bantaran sungai
gairan kabupaten, Balai
air dalam
sebagai permukiman
sebagai permukiman
sebagai permukiman
PSDA WS Pulau madura,
hubungannya
Balai DAS Brantas Stadengan kegiatan
siun Madura
pembangunan
dan pemanfaatan lahan pada
sumber air
Pengendalian
Peran serta masyarakat Pengolahan lahan
Pengolahan lahan
Pengolahan lahan
Kesepakatan Balai DAS
pengolahan
dalam konservasi lahan sesuai dengan kaidah
sesuai dengan kaidah
sesuai dengan kaidah
Brantas Stasiun Madura
tanah di daerah dan air
konservasi (pembuatan konservasi (pembuatan konservasi (pembuatan dan Dinas Kehutanan
hulu
teras bangku, penanaman teras bangku, penanaman teras bangku, penanaman
tanaman penutup tanah, tanaman penutup tanah, tanaman penutup tanah,
pembuatan guludan, dll pembuatan guludan, dll pembuatan guludan, dll
Konservasi swadaya
Penghijauan dan pemPenghijauan dan pemPenghijauan dan pemmasyarakat
buatan teras bangku
buatan teras bangku
buatan teras bangku
Pengendalian
Peran serta masyarakat Sosialisasi pengolahan
Sosialisasi pengolahan
Sosialisasi pengolahan
Kesepakatan Balai DAS
pengolahan
dalam konservasi lahan lahan sesuai dengan kai- lahan sesuai dengan kai- lahan sesuai dengan kai- Brantas Stasiun Madura
tanah di daerah dan air
dah konservasi
dah konservasi
dah konservasi
dan Dinas Kehutanan
hulu
Konservasi swadaya
Penghijauan dan pemPenghijauan dan pemPenghijauan dan pemmasyarakat
buatan teras bangku
buatan teras bangku
buatan teras bangku

Operasional dan Pemeli- Pembangunan Embung


haraan Embung
Pembangunan Embung

STRATEGI PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN


SUMBER DAYA AIR
KEBIJAKAN LANGKAH STRATNo.
SKENARIO 1
SKENARIO 2
SKENARIO 3
DASAR
EGIS
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI RENDAH EKONOMI SEDANG EKONOMI TINGGI
STAKEHOLDERS

INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB

55

24/10/2011 11:40:05

Full Tema1.indb 56

Rehabilitasi
Meningkatkan, memuhutan dan lahan lihkan dan memperkritis;
tahankan daya dukung,
daya tampung dan
fungsi konservasi secara
berkelanjutan

i.

Meningkatkan daya
dukung alamiah dan buatan, serta menjaga daya
tampung dan kualitas
lingkungan

Menetapkan daerah
batas sempadan sungai,
rawa, danau dan pantai,
mata air

Menetapkan dan mengelola kawasan waduk,


bendungan, situ/embung
& mata air

Pengaturan
daerah sempadan sumber
air, telah diatur
dalam RTRW
Prov.

h.

Bantuan dana untuk konservasi mata air, sungai


dan lainnya
Pengukuhan kawasan
lindung (penunjukan
kelompok hutan dan non
hutan, penataan batas
KL, pemetaan KL)

Bantuan dana untuk konservasi mata air, sungai


dan lainnya
Penyusunan Pola RLKT
DAS Prioritas areal
Kritis Potensial

Pengembangan partisipasi dan dukungan


masyarakat dalam
pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
sekitar)

Pengendalian pemanfaata sempadan sungai di


seluruh WS
Perlu percotohan pengamanan sempadan sungai
yang sudah berpenghuni

Pengendalian pemanfaata sempadan sungai di


wilayah WS Madura
Perlu percotohan pengamanan sempadan sungai
yang sudah berpenghuni
Bantuan dana untuk konservasi mata air, sungai
dan lainnya
Pengukuhan kawasan
lindung (penunjukan
kelompok hutan dan non
hutan, penataan batas
KL, pemetaan KL)

PP no. 42 tahun 2008

Pengendalian pemanfaatan sempadan sungai di


seluruh WS
Perlu percotohan penga- Pemkab dan Balai PSDA
manan sempadan sungai WS Pulau Madura
yang sudah berpenghuni

Penetapan batas sempa- Pemkab dan Balai PSDA


dan danau/sungai di selu- WS Pulau Madura
ruh WS Madura dengan
PERDA KABUPATEN

KEBIJAKAN OPERASIONAL
STAKEHOLDERS

Rehabilitasi dan konser- Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan


vasi lahan di kawasan
lindung
lindung (penghijauan)/
GERHAN

Kesepakatan Balai DAS Dinas Pengairan Prop


Brantas Stasiun Madura Jawa Timur Subdin
dan Dinas Kehutanan
PSDA, Pemkab ,
BAPPEDA Prop/Kab,
Dinas Kehutanan
Kabupaten, Balai DAS
Brantas Stasiun Madura
Penyusunan Pola RLKT Penyusunan Pola RLKT Kesepakatan Balai DAS
DAS Prioritas
DAS Prioritas
Brantas Stasiun Madura
dan Dinas Kehutanan

Penetapan batas sempadan danau/sungai di seluruh WS Madura dengan


PERDA KABUPATEN

Penetapan batas sempadan danau/sungai di


seluruh WS Bengawan
Solo dengan PERDA
KABUPATEN

STRATEGI PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN


SUMBER DAYA AIR
KEBIJAKAN LANGKAH STRATNo.
SKENARIO 1
SKENARIO 2
SKENARIO 3
DASAR
EGIS
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI RENDAH EKONOMI SEDANG EKONOMI TINGGI

Dinas Kehutanan Prop./


Kab

INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB

56

24/10/2011 11:40:05

Full Tema1.indb 57

j.

Pelestarian
Menetapkan dan menSosialisasi tentang perkawasan lindung gelola daerah resapan air lunya menjaga kawasan
dalam rangka penyediaan lindung
air bagi kemanfaatan
umum secara berkelanjutan dan pengurangan
daya rusak air
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
adat)
Pengendalian kawasan
lindung (pengawasan,
pengamanan, dan pengaturan sumber daya KL)
Pengelolaan hutan
Dalam hal mengantisiberbasis masyarakat
pasi erosi, longsor akibat
baik dalam perencanaan, banjir yaitu penanaman
pelaksanaan, pengawasan Pohon Cempaka dan
Lada
Pengembangan aneka
usaha kehutanan (AUK)
perlebahan, persuteraan
alam, agro forestry,
wanafarma tapi belum
optimal. Perlu dukungan
dari berbagai pihak
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
adat)
Pelestarian kawasan
lindung di WS Pulau
Madura

Pengendalian kawasan
Kesepakatan Balai DAS
lindung (pengawasan,
Brantas Stasiun Madura
pengamanan, dan peng- dan Dinas Kehutanan
aturan sumber daya KL)
Dalam hal mengantisiKesepakatan Balai DAS
pasi erosi, longsor akibat Brantas Stasiun Madura
banjir yaitu penanaman dan Dinas Kehutanan
Pohon Camplong

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam


pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
adat)
Pelestarian kawasan
lindung di WS Pulau
Madura
Pengendalian kawasan
lindung (pengawasan,
pengamanan, dan pengaturan sumber daya KL)
Dalam hal mengantisipasi erosi, longsor akibat
banjir yaitu penanaman
Pohon Camplong

STAKEHOLDERS

Kesepakatan Balai DAS Dinas Pengairan Prop


Brantas Stasiun Madura Jawa Timur Subdin
dan Dinas Kehutanan
PSDA, Pemkab ,
BAPPEDA Prop/Kab,
Dinas Kehutanan
Kabupaten, Balai DAS
Brantas Stasiun Madura
Kesepakatan Balai DAS
Brantas Stasiun Madura
dan Dinas Kehutanan

Kesepakatan Balai DAS


Brantas Stasiun Madura
dan Dinas Kehutanan

Pengembangan partisipasi dan dukungan


masyarakat dalam
pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
adat)
Sosialisasi tentang perlunya menjaga kawasan
lindung

KEBIJAKAN OPERASIONAL

Pengembangan partisipasi dan dukungan


masyarakat dalam
pengelolaan KL (pengelolaan hutan bersama
masyarakat/masyarakat
adat)
Sosialisasi tentang perlunya menjaga kawasan
lindung

STRATEGI PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN


SUMBER DAYA AIR
KEBIJAKAN LANGKAH STRATNo.
SKENARIO 1
SKENARIO 2
SKENARIO 3
DASAR
EGIS
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI RENDAH EKONOMI SEDANG EKONOMI TINGGI

Dinas Kehutanan Prop./


Kab

INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB

57

24/10/2011 11:40:05

Full Tema1.indb 58

Dalam hal mengantisipasi erosi, longsor akibat


banjir yaitu penanaman
Pohon Camplong

KEBIJAKAN OPERASIONAL
STAKEHOLDERS

c.

b.

a.

Kampanye Gerakan
hemat air

Mengalokasikan dana
OP yang memadai untuk
sumber-sumber air yang
ada baik alami maupun
buatan (sungai, danau,
saluran, bendung)

Penerapan sistem tanam


padi dengan pola SRI
Mengendalikan Conjunctive use air tanah Pemberian ijin pemanpenggunaan air dan air permukaan
faatan air tanah hanya
tanah
pada kawasan yang
produksi akifernya cukup-besar, sesuai dengan
kondisi hidrogeologi dan
keberadaan cekungan air
tanah di wilayah sungai sungai di Madura

Menyimpan air Meningkatkan kapasitas


yang berlebihan tampungan air yang ada
di saat hujan
untuk dapat
dimanfaatkan
pada waktu
diperlukan
Meningkatkan pengelolaan bendung dan waduk
Menghemat air Meningkatkan efisiensi
dengan pemaka- pemakaian air
ian yang efisien
dan efektif
Penerapan sistem tanam
padi dengan pola SRI
Pemberian ijin pemanfaatan air tanah hanya
pada kawasan yang
produksi akifernya cukup-besar, sesuai dengan
kondisi hidrogeologi dan
keberadaan cekungan air
tanah di wilayah sungai
Pulau Madura

Kampanye Gerakan
hemat air

Mengalokasikan dana
OP yang memadai untuk
sumber-sumber air yang
ada baik alami maupun
buatan (sungai, danau,
saluran, bendung)

Perda

Penerapan sistem tanam Kebijakan Pola tanam


padi dengan pola SRI
Pemberian ijin pemanPP no. 43 tahun 2008
faatan air tanah hanya
pada kawasan yang
produksi akifernya cukup-besar, sesuai dengan
kondisi hidrogeologi dan
keberadaan cekungan air
tanah di wilayah sungai
Pulau Madura

Kampanye Gerakan
hemat air

Mengalokasikan dana
Kebijakan Ditjen SDA
OP yang memadai untuk
sumber-sumber air yang
ada baik alami maupun
buatan (sungai, danau,
saluran, bendung)

BBWS Brantas

INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB

Dinas Pertambangan dan Dinas Pertambangan dan


Energi Kab
Energi Kab

Dinas Pengairan Prop


Jawa Timur Subdin
PSDA, Pemkab ,
BAPPEDA Prop/Kab,
Dinas Kehutanan
Kabupaten, Balai DAS
Brantas Stasiun Madura

2. PENGAWETAN AIR
Tujuan : Memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya

Rehabilitasi hutan dan lahan bukan hanya tanggung jawab Dep.Kehutanan


saja tapi tanggung jawab para pengguna lahan. Di hulu wilayah sungai
mayoritas rusak sehingga banjir rutin akan terjadi setiap tahun maka : perlu
ditingkatkannya RHL dengan penanaman lahan kosong dengan tanaman kayukayuan dan MPTS (multi purpose tree species)

STRATEGI PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN


SUMBER DAYA AIR
KEBIJAKAN LANGKAH STRATNo.
SKENARIO 1
SKENARIO 2
SKENARIO 3
DASAR
EGIS
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI RENDAH EKONOMI SEDANG EKONOMI TINGGI

58

24/10/2011 11:40:05

Full Tema1.indb 59

KEBIJAKAN OPERASIONAL
STAKEHOLDERS

Mencegah
Sosialisasi kepada
masuknya
masyarakat di sekitar
pencemaran air sumber air
pada sumber air
dan prasarana
sumber daya air

b.

Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan
dengan meningkatkan
SDM dan peralatan yang
dibutuhkan
Menetapkan baku
mutu limbah cair yang
diperkenankan dibuang
kedalam sungai
Mendorong dan
mengupayakan sistem
pengendalian limbah cair
komunal dikawasan
Memperbaiki kualitas air
pada sumber air

Memperbaiki
kualitas air pada
sumber air dan
prasarana sumber daya air

a.

Penerbitan Perda Baku


Mutu Air dan limbah cair
di Kabupaten dalam WS
Pulau Madura
Pembangunan IPAL di
Kabupaten/Kota di WS
Pulau Madura
Penerbitan peraturan
yang dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat dari hulu
hingga hilir
Sosialisasi intensif kepada masyarakat tentang
bahaya pencemaran air

Penerbitan Perda Baku


Mutu Air dan limbah cair
di Kabupaten dalam WS
Kepulauan Madura
Pembangunan IPAL di
Kabupaten/Kota di WS
Kepulauan Madura
Penerbitan peraturan
yang dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat dari hulu
hingga hilir
Sosialisasi intensif kepada masyarakat tentang
bahaya pencemaran air

Kesepakatan antara
Pemkab/Kota dan Ditjen
SDA

Perda Baku Mutu Air &


Limbah Cair

PPLH

Penerbitan peraturan
Perda Baku Mutu Air &
yang dapat mengaLimbah Cair
komodir kepentingan
masyarakat dari hulu
hingga hilir
Sosialisasi intensif kePerda Persampahan
pada masyarakat tentang
bahaya pencemaran air

Penerbitan Perda Baku


Mutu Air dan limbah cair
di Kabupaten dalam WS
Pulau Madura
Pembangunan IPAL di
Kabupaten/Kota di WS
Pulau Madura

Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan
di sepanjang Wilayah
Sunagi Pulau Madura

Pembuatan perda yang


Pembuatan perda yang
Pembuatan perda yang
mengatur pembuangan mengatur pembuangan mengatur pembuangan
sampah oleh masyarakat sampah oleh masyarakat sampah oleh masyarakat

Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan
di sepanjang Wilayah
Sunagi Pulau Madura

Membangun sistem
pemantauan kualitas
air pada sumber air dan
kualitas limbah cair
secara berkelanjutan di
sepanjang Wilayah Sungai Kepulauan Madura

Dinas Pengairan Prop


Jawa Timur Subdin
PSDA, Pemkab ,
BAPPEDA Prop/Kab,
Dinas Kehutanan
Kabupaten, Balai DAS
Brantas Stasiun Madura

Dinas Pengairan Prop


Jawa Timur Subdin
PSDA, Pemkab ,
BAPPEDA Prop/Kab,
Dinas Kehutanan
Kabupaten, Balai DAS
Brantas Stasiun Madura

3. PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR


Tujuan : Mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber air

STRATEGI PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN


SUMBER DAYA AIR
KEBIJAKAN LANGKAH STRATNo.
SKENARIO 1
SKENARIO 2
SKENARIO 3
DASAR
EGIS
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI RENDAH EKONOMI SEDANG EKONOMI TINGGI

Bapedal Prov

Bapedal Prov/Kab

INSTANSI YANG
BERTANGGUNG
JAWAB

59

24/10/2011 11:40:05

Pengelolaan Air dalam Rangka Mitigasi


Terhadap Degradasi Lahan Gambut
L. Budi Triadi
Balai Rawa Puslitbang SDA
Jl. Gatot Subroto No. 6 Banjarmasin
buditriadi@yahoo.com, HP : 081 22 077 066
INTISARI
Pengelolaan lahan gambut sering dilakukan secara tidak proporsional, dimana
sebagian besar lahan terdegradasi akibat dari penggundulan hutan, drainasi dan
pembakaran hutan yang menyebabkan pengeringan gambut dan pelepasan karbon
ke udara di samping masalah kebakaran. Degradasi juga menimbulkan masalah
banjir akibat penurunan lahan dan penurunan kualitas air akibat berkurangnya
debit aliran dasar dari pengeringan gambut. Masalah serius tersebut hanya dapat
ditanggulangi melalui pengetahuan dan perbaikan pengelolaan air serta prasarana
tata air yang sayangnya saat ini masih belum cukup tersedia.
Tulisan ini mengusulkan pengembangan suatu stasiun penelitian di lahan gambut
dangkal untuk menetapkan lahan gambut yang cocok untuk pengembangan yang
berkelanjutan dan membuat perencanaan serta metode implementasi tata air yang
sesuai untuk pertanian di lahan gambut. Selain itu pada stasiun penelitian juga akan
dikembangkan sarana demo/peraga terhadap berbagai masalah dan kemungkinan
solusinya untuk para penentu kebijakkan dan masyarakat. Pada stasiun tersebut,
dapat dipelajari dampak dari berbagai tipe pengelolaan air pada berbagai kondisi
lahan gambut (kedalaman gambut, jenis lahan gambut, tanaman) terhadap emisi
karbon, penurunan lahan, resiko banjir dan kualitas air. Dampak tersebut akan
diimplementasikan pada model emisi gambut dan perkiraan penurunan lahan yang
akan mendukung peningkatan rencana tata ruang dan deliniasi lahan gambut dengan
input dari model hidrologi.
Selanjutnya dari penemuan di stasiun penelitian dan dari model yang dikembangkan,
termasuk dari hasil studi lain yang telah dilakukan di Indonesia, dapat dibuat suatu
pedoman umum untuk membantu perencana memilih lahan yang cocok untuk
pengembangan pertanian di lahan gambut ditinjau dari sudut pengelolaan air yang
dapat menekan dampak negatif.
Kata kunci: Pengelolaan Air, Degradasi, Drainasi, Lahan Gambut, Emisi Karbon
1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Indonesia memiliki lahan rawa seluas 33,4 juta hektar, dimana kurang lebih dua
pertiganya merupakan lahan gambut. Degradasi atau kerusakan yang terjadi pada
lahan gambut tersebut merupakan masalah nasional yang perlu segera ditanggulangi.
Drainase lahan gambut di Indonesia sering dilakukan secara tidak proporsional dan
banyak dilakukan pada tempat yang salah. Hal ini menimbulkan masalah lingkungan
yang besar dan akan terus berlanjut bahkan akan berkembang lebih buruk bila tidak
segera dilakukan perbaikan secara serius, efisien dan cepat.
60

Full Tema1.indb 60

24/10/2011 11:40:06

61

Penggundulan hutan dan drainase lahan gambut di Indonesia merupakan sumber


emisi karbon yang cukup besar dan merupakan kendala besar untuk tercapainya
pengendalian gas emisi rumah kaca sebagaimana dicanangkan oleh komunitas
internasional. Tidak hanya mencakup masalah emisi karbon dan kebakaran, tetapi
degradasi lahan gambut juga menimbulkan masalah banjir akibat penurunan lahan
gambut (land subsidence) dan penurunan kualitas air akibat berkurangnya debit
aliran dasar dari pengeringan gambut.
Oleh karenanya perlu untuk mengambil suatu tindakan untuk mengkonservasi
gambut melalui konservasi hutan dan melalui pengelolaan air yang bertujuan untuk
mempertahankan elevasi muka air.
1.2. Profil Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian disarankan lebih difokuskan pada kawasan penyangga budidaya
terbatas (Adapted Management Zone), dimana kedalaman gambut tidak lebih dari 3
(tiga) meter atau sampai dengan batas tepi gambut dalam. Wilayah tersebut dipilih
karena 3 (tiga) alasan sebagai berikut :
a. Merupakan wilayah dengan pengembangan lahan gambut yang paling banyak
berhasil dan yang paling banyak terdrainase.
b. Pengelolaan air di wilayah ini sangat menentukan kondisi lahan gambut dalam
yang berbatasan. Konservasi cadangan karbon pada lahan gambut dalam untuk
jangka panjang hanya dapat berhasil jika pembangunan yang berkelanjutan dapat diciptakan disekitar gambut dangkal dan tanah mineral.
c. Berbatasan dengan gambut dalam, dimana pada gambut dalam ini telah dilakukan penelitian oleh proyek KFCP (Kalimantan Forests and Climate Partnership).
Wilayah penelitian yang dimaksud, antara lain dapat dipilih pada salah satu lokasi
di lahan gambut sejuta hektar, yaitu di Katunjung, Blok A, sebelah timur sungai
Kapuas pada kabupaten Kapuas, propinsi Kalimantan Tengah, lihat Gambar 1.

Gambar 1. Wilayah Penelitian Katunjung Kalimantan Tengah


(Sumber : KFCP Mei 2009)

Full Tema1.indb 61

24/10/2011 11:40:06

62

1.3. Masalah Aktual


Akhir-Akhir ini pengelolaan lahan gambut dilakukan secara tidak berimbang,
dimana sebagian besar lahan terdegradasi akibat dari penggundulan hutan, drainase
dan pembakaran hutan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dan kayu,
pertanian dan penebangan kayu. Penggundulan hutan dan drainase menyebabkan
kekeringan lapisan tanah atas dan daerah perakaran yang menyebabkan kebakaran.
Lebih jauh, degradasi lahan gambut atau pengeringan gambut akan menyebabkan
gambut kontak dengan udara (oksigen) sehingga terjadi oksidasi dan menyebabkan
pelepasan karbon ke udara di samping kebakaran gambut yang selain menimbulkan
masalah emisi karbon (CO2, gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama
perubahan iklim) juga menyebabkan masalah asap yang merugikan kesehatan
umum dan dunia ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Sebagai gambaran umum,
pada Gambar 2 disajikan kondisi lahan yang terdegradasi dan terbakar.

Catatan : Lahan Terbakar (warna orange) dan Sisa-Sisa Degradasi Hutan (warna hijau)

Gambar 2. Pola Vegetasi Dominan di sekitar Katunjung


(Sumber : KFCP Mei 2009)

Dekomposisi dan kompaksi gambut juga menimbulkan penurunan permukaan


lahan dengan laju diperkirakan sebesar 5 cm per tahun (yang pernah dilaporkan)
untuk areal yang mengalami drainase secara intensif. Sebagai tambahan, kebakaran
gambut sering menyebabkan penurunan permukaan gambut sampai dengan 50 cm
dalam beberapa minggu. Dengan demikian, permukaan lahan gambut akan turun
beberapa meter dalam beberapa dekade dan mempersulit drainase secara gravitasi
sehingga akan sering terjadi banjir di saat muka air tinggi.
Jika drainase masih terus berlanjut sampai lapisan bawah tanah liat, maka akan
terjadi oksidasi dan timbul tanah asam sulfat yang akan menimbulkan masalah bagi
pertanian dan kualitas air.

Full Tema1.indb 62

24/10/2011 11:40:06

63

Berdasar atas fakta yang terjadi dan jika gambut masih diperlakukan dengan cara
yang sama (BAU = business as usual), maka Indonesia berada di posisi ketiga setelah Amerika dan China dalam menyumbang emisi karbon global bila emisi dari
drainase gambut dan degradasi lahan (termasuk kebakaran) dan degradasi hutan
yang lain diperhitungkan. Dan tanpa memperhitungkan emisi dari lahan gambut
dan hutan, posisi Indonesia berada di urutan ke 21. Oleh karena itu pemerintah
Indonesia pada COP 15 di Copenhagen, Desember 2009 mencanangkan rencana untuk mengurangi emisi karbon sampai dengan 26 % di tahun 2020.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menentukan model sistem pengelolaan air yang
dapat mengurangi atau memitigasi degradasi kerusakan dan emisi karbon yang
sudah terjadi pada lahan gambut dangkal akibat kesalahan pengelolaan, khususnya
akibat pengeringan berlebih yang disebabkan oleh tindakan manusia untuk
berbagai kepentingan antara lain : penggundulan hutan, drainase, pengembangan
perkebunan, pertanian dan penebangan kayu yang mengakibatkan emisi karbon,
banjir dan masalah lingkungan lain.
2. KAJIAN PUSTAKA
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Jika
tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8-0,9
m3/m3gambut (Indonesia Programme, 2004). Dengan demikian lahan gambut dapat
mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Lahan gambut mempunyai sifat yang dinamis, jika mengalami gangguan seperti misalnya drainase, menyebabkan penyusutan air sehingga terjadi proses pemadatan dan kerusakan gambut
sebagai akibat dari oksidasi. Proses ini membawa perubahan pada topografi daerah
lahan gambut, yang kemudian mempengaruhi hidrologi dan penurunan permukaan
lahan (subsidence) serta menimbulkan potensi banjir. Di samping itu bila mengalami kekeringan, maka lahan gambut akan terdegradasi dan melepaskan karbon.
Pada tahun 1995, pembangunan sistem saluran dan penebangan hutan di kawasan PLG mengakibatkan terjadinya degradasi dan telah merusak mikro-topografi
alamiah secara luas. Kebakaran merupakan penyebab yang paling parah dari degradasi pada kawasan Eks-PLG. Berkurangnya kandungan air lahan gambut dan
hilangnya perlindungan hutan telah menciptakan kondisi yang memungkinkan
untuk terjadinya kebakaran besar. Hampir seluruh Kawasan Eks-PLG yang sekarang dalam kondisi terbuka telah terbakar antara tahun 1997 hingga 2006. Kubahkubah gambut mengalami kehilangan air dan penurunan lahan (subsidence) yang
disebabkan oleh dampak drainase dari saluran-saluran. Sistem saluran yang ada
di kawasan Eks-PLG juga telah menciptakan permasalahan banjir di sejumlah
kawasan selama musim hujan. (Delft Hydraulics, 2008).
Kerusakan hutan rawa gambut yang terjadi pada akhir-akhir ini telah menyebabkan
rawa gambut Indonesia menjadi sumber emisi GRK terbesar dengan kontribusi
sebesar 45% dari total emisi Indonesia, dan kontribusinya menjadi lebih besar lagi,
menjadi 65-70% pada saat musim kemarau panjang yang menyebabkan terjadinya
kebakaran gambut (World Bank, 2011)

Full Tema1.indb 63

24/10/2011 11:40:06

64

Dari sisi kebijakkan, emisi dan faktor negatif lainnya dari pengelolaan lahan gambut
yang berkelanjutan hanya dapat dikurangi jika kebijakkan pengembangan didasarkan pada tiga prinsip sebagai berikut (Delft Hydraulics, 2006) :
a. Konservasi hutan dan mengurangi drainase pada hutan rawa yang tersisa
b. Restorasi sistem hidrologi lahan gambut yang terdegradasi dan hutan rawa
gambut atau tutupan vegetasi lain yang berkelanjutan
c. Peningkatan pengelolaan air pada tanaman lahan gambut, dan membuat
rencana induk pengelolaan air di lahan gambut
3. HIPOTESA
Kerusakan lahan dan penurunan gambut terutama terjadi karena drainase yang tak
terkendali akibat pembukaan hutan gambut untuk berbagai kepentingan. Kerusakan
ini sejatinya dapat dihindari apabila elevasi paras air dapat dipertahankan atau
pengeringan lahan gambut dapat dikendalikan. Mengingat bahwa lahan rawa
gambut umumnya merupakan kesatuan yang terletak antara dua sungai besar,
maka kehilangan air berlebih pada gambut dalam ( > 3 m) atau pada kubah gambut
dapat dihindari/dikurangi bila elevasi paras air pada gambut dangkal (13 m) yang
berbatasan/bersebelahan dengan sungai dikendalikan.
Oleh karena itu, suatu teknik hidraulik pengelolaan air yang tepat pada lahan
gambut dangkal diperlukan dan diyakini dapat mempertahankan elevasi paras air
tersebut. Dengan demikian kerusakan lingkungan (termasuk emisi karbon) yang
terjadi dapat dicegah sehingga lahan gambut dapat dikembalikan pada ekosistem
yang semestinya, di samping sebagian dari wilayah itu dapat dibudidayakan untuk
membangun pertanian lokal dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan
dan ekosistem yang ada.
4.

METODOLOGI

Penelitian ini diusulkan untuk dilakukan dengan metode sebagai berikut :


a. Membangun Stasiun Penelitian
Pada stasiun ini dapat dilakukan penelitian sebagai berikut :
1). Kedalaman air yang dibutuhkan untuk berbagai jenis tanaman yang berbeda di
lahan gambut dangkal.
2). Dampak dari jenis pengelolaan air yang berbeda ditinjau dari kedalaman muka
air tanah di lahan gambut dangkal.
3). Dampak dari jenis pengelolaan air yang berbeda pada lahan terdegradasi dan
yang direhabilitasi di lahan gambut dalam, ditinjau dari debit musim kemarau
dan musim hujan di lahan gambut dangkal yang berbatasan dan dampaknya
terhadap kedalaman air tanah di gambut dangkal.
4). Dampak dari kedalaman air yang berbeda pada jenis gambut yang berbeda pula
(antara 0 3 meter) terhadap emisi karbon dan penurunan lahan gambutnya.
5). Dampak dari penurunan lahan gambut terhadap banjir dan kemampuan drainase
di lahan pertanian

Full Tema1.indb 64

24/10/2011 11:40:07

65

Lahan pada stasiun penelitian ini harus cukup besar untuk dapat mencakup berbagai
kondisi yang berbeda seperti jenis dan kedalaman gambut serta harus cukup
luas untuk mengaplikasikan pengujian berbagai jenis pengelolaan pada tingkat
mikro (saluran tersier) dan tingkat meso (dari sistem saluran primer ke tingkat di
bawahnya). Idealnya, stasiun penelitian ini dapat mencakup keseluruhan rentang
kedalaman gambut (0 3 meter, dari tepi sungai ke dalam) di daerah kawasan
budidaya terbatas.
Untuk menciptakan berbagai kondisi pengelolaan air, diperlukan implementasi
sejumlah prasarana pengelolaan air. Prasarana ini nantinya mencakup struktur
untuk menaikkan muka air di tepi lahan gambut dalam (misalnya canal blocking,
dengan bendung) dan struktur untuk mengoptimalkan muka air di areal pertanian
pada lahan gambut dangkal ( 3 meter).
b. Membangun Prasarana Demo/Peraga pada Stasiun Penelitian
Prasarana ini digunakan untuk mendemonstrasikan berbagai isu masalah dan
kemungkinan solusinya kepada para pemangku kepentingan. Prasarana yang
dimaksud termasuk berbagai akses (jalan darat, perahu), prasarana visualisasi
(misalnya Dipwells untuk mengukur kedalaman air tanah, Subsidence Pole untuk
mengukur penurunan tanah gambut), sarana komunikasi dan hal-hal lain yang
dipandang perlu.
c. Membangun Model Perhitungan emisi karbon
dan Penurunan Tanah Gambut
Model ini dimaksudkan untuk membantu memahami pengaruh drainase lahan
gambut, tidak hanya meninjau dari aspek emisi karbon dan resiko kebakaran tetapi
juga masalah penurunan lahan gambut dan masalah banjir. Pada model perhitungan
emisi karbon dan penurunan lahan gambut, faktor koreksi terhadap kompaksi tanah
juga perlu ditinjau. Sementara pada model peningkatan banjir akibat penurunan
lahan, pengaruh kenaikan muka air laut juga perlu diperhitungkan.
d. Mengembangkan dan Menyebarluaskan Pedoman
Pengembangan dan penyebarluasan pedoman didasarkan pada hasil temuan di
stasiun penelitian dan dari hasil penelitian. Hal ini akan membantu perencana dalam
memilih lokasi yang sesuai untuk pengembangan pertanian di lahan rendah ditinjau
dari sudut pengelolaan airnya. Selanjutnya juga akan membantu pengembang untuk
mengimplementasikan sistem yang cocok pada lahan gambut yang akan mengurangi
dampak negatif. Pedoman tersebut akan meliputi :
1). Strategi untuk mengembangkan rencana induk untuk penggunaan lahan gambut
yang berkelanjutan, termasuk delineasi zona pengelolaan, satuan pengelolaan,
klasifikasi penggunaan lahan, kriteria kesesuaian lahan,dan lain-lain.
2). Kriteria desain untuk sistem pengelolaan air di gambut dangkal (ketebalan
03 meter), termasuk survey dan prosedur penyelidikan serta bagaimana mengkombinasikannya dengan sistem irigasi pasang surut
3). Metode untuk memprediksi dampak penurunan lahan gambut, banjir, kualitas
air akibat drainase lahan gambut jangka panjang, terutama pada lahan gambut
dengan ketebalan lebih dari 3 meter

Full Tema1.indb 65

24/10/2011 11:40:07

66

5. RENCANA IMPLEMENTASI
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa lokasi penelitian dapat dipilih pada
salah satu lokasi di lahan gambut sejuta hektar, yaitu di Katunjung, Blok A, propinsi
Kalimantan Tengah. Pada lokasi ini tanah mineral, gambut dangkal dan gambut
dalam dapat ditemukan dalam jarak relatif pendek, dimana gambut telah terbakar,
terdegradasi cukup berat, tidak produktif dan masing-masing mempunyai saluransaluran yang dapat mematus air dari lahan gambut dalam ke sungai Kapuas.
Prinsip dasar pengelolaan Kawasan Penyangga Budidaya Terbatas mempersyaratkan
adanya pengelolaan air untuk mengurangi pengeringan gambut/drainase yang
tidak berlebihan (Delft Hydraulics 2006). Pada gambut sedang/dangkal tersebut,
drainase harus dibatasi, tetapi apabila ada, maka perlu dibangun sarana/struktur
pengendali air (pintu air) untuk memastikan bahwa berkurangnya air sepanjang
musim kemarau dapat diminimalisir, sedangkan pada musim hujan kelebihan air
dapat dialirkan keluar.
Di seluruh kawasan, pendekatan berbasis masyarakat diperlukan untuk
merencanakan, mengoperasikan dan merawat struktur pengendali air. Dan
mengingat bahwa saluran
dimanfaatkan untuk transportasi, sementara
pembangunan tabat juga diperlukan pada saluran tersebut maka keterlibatan
masyarakat dalam memperbaiki pengelolaan lahan gambut adalah kunci sukses
untuk merehabilitasi lahan tersebut dan untuk mensukseskan konsep REDD
(Reduced Emissions from Deforestation and Degradation).
Pada lokasi penelitian, diusulkan untuk membangun struktur pengendali air dengan
konsep dasar jaringan pengelolaan air sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.
Selanjutnya pembangunan jaringan pengelolaan air perlu ditindak lanjuti dengan
langkah-langkah monitoring untuk memantau kinerja dan kondisi dari prasarana
hidraulik yang telah dibangun tersebut.

Gambar 3. Konsep Jaringan Pengelolaan air di Katunjung

Full Tema1.indb 66

24/10/2011 11:40:07

67

Lebih jauh lagi prasarana demo/peraga juga perlu dibangun, dimana prasarana
ini digunakan untuk mendemonstrasikan berbagai isu masalah dan kemungkinan
solusinya kepada para pemangku kepentingan sebagaimana telah disinggung
sebelumnya. Untuk lebih jelasnya konsep monitoring dan peragaan disajikan pada
Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Konsep Kegiatan Monitoring dan Lokasi Peraga di Katunjung

KESIMPULAN
1. Pengelolaan lahan gambut sering dilakukan secara tidak proporsional, dimana
sebagian besar lahan terdegradasi akibat dari penggundulan hutan, drainase dan
pembakaran hutan.
2. Degradasi lahan gambut atau pengeringan gambut akan menyebabkan gambut
kontak dengan udara sehingga terjadi oksidasi dan menyebabkan pelepasan
karbon ke udara di samping kebakaran gambut.
3. Degradasi lahan gambut juga menimbulkan masalah banjir akibat penurunan
lahan gambut (land subsidence) dan penurunan kualitas air akibat berkurangnya
debit aliran rendah (baseflows) dari pengeringan gambut.
4. Lahan rawa dengan gambut dalam (> 3 m) perlu dikonservasi sesegera mungkin
dan dilakukan secara konsisten dan menyeluruh dengan tindakan koordinasi
yang terpadu dari semua pemangku kepentingan.
5. Pengembangan rawa pada kawasan penyangga budidaya terbatas dengan
kedalaman gambut kurang dari 3 meter memerlukan pengelolaan air yang tepat
untuk mencegah terjadinya drainase berlebih atau degradasi lahan gambut
dalam yang berbatasan.

Full Tema1.indb 67

24/10/2011 11:40:07

68

6. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan membangun sistem jaringan pengelolaan


air sehingga memungkinkan pengendalian ketinggian air secara efektif.
7. Keterlibatan masyarakat adalah kunci sukses untuk merehabilitasi lahan
gambut dan untuk mensukseskan konsep REDD (Reduced Emissions from
Deforestation and Degradation).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak Aljosja
Hooijer dari Deltares, Belanda yang telah memberikan banyak informasi,
masukkan, saran dan kontribusi materi antara lain dalam pemberian gagasan dan
konsepsi pengembangan rawa yang berkelanjutan dari awal hingga tersusunnya
makalah ini.
Daftar Pustaka
Delft Hydraulics, 2006, PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained
peatlands in SE Asia, Report R&D projects Q3943 / Q3684 / Q4142, 1st
edition.
Euroconsult Mott MacDonald and Deltares | Delft Hydraulics, Oktober 2008,
Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Proyek
Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, Ringkasan Laporan
Utama.
Government of Indonesia, World Bank, May 2011, Water Management for
Climate Change Mitigation and Adaptive Development in the Lowlands
WACLIMAD, Technical Assistance - Consultancy Services, Wasap Grant
Number: Tf 056597, Working Paper 5, Lowland Regulation: Resources
Base Perspective
Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP), May 2009, Strategic
Peatland Rehabilitation Plan for Block A (North-West) in the Ex-Mega Rice
Project Area, Central Kalimantan, Project No: IFCI-C0011
Wetlands International Indonesia Programme, 2004, Peta Sebaran Lahan
Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Kalimantan 2000-2002.

Full Tema1.indb 68

24/10/2011 11:40:07

Bendung Tenggelam
Sebagai Pengendali Sedimen
Pada Aliran dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi
Muchlish Amat
Anggota HATHI Cabang Sulawesi Selatan
muchlishamat@gmail..com

Intisari
Waduk atau danau berfungsi menampung air baku untuk berbagai macam keperluan
pertanian, rumah tangga, industri, transportasi, dan sebagainya. Ancaman utama
waduk atau danau adalah sedimentasi. Saat ini, ancaman tsb meningkat pesat
seiring meningkatnya laju erosi dalam daerah aliran sungai. Aliran sungai membawa
hasil erosi berupa angkutan sedimen. Proses sedimentasi meliputi proses erosi,
transportasi, pengendapan, dan pemadatan. Hasil erosi tersebut bergerak bersama
air sungai dalam bentuk angkutan dasar (bed-load), angkutan layang (suspendedload), dan angkutan bilas (wash-load). Kedua jenis angkutan yang pertama akan
mengendap pada dasar waduk atau danau sedang wash-load memerlukan waktu
yang lama untuk mengendap dan menjadi penyebab menurunnya kwalitas air.
Masuknya sedimentasi pada waduk akan mengakibatkan pendangkalan, sehingga
akan mengurangi kapasitas tampung waduk dan umur ekonomis waduk. Bila hal
tersebut berlangsung terus menerus maka fungsi waduk akan terus menurun dan
dapat berakhir lebih cepat kecuali dilakukan pengendalian sedimen yang efektif.
Untuk mengatasi hal tersebut, selama ini, dibangun pengendali sedimen berupa
sabo dam dan kantong pasir sebelum aliran masuk kedalam waduk. Namun ini
tidak cukup sehubungan dengan makin berkembangnya luas daerah alira sungai
yang keritis menyebabkan makin tingginya erosi dan besarnya sedimentasi sejak
dua dekade terakhir.
Bendung tenggelam dapat berfungsi efektif menangkap sedimen dalam waduk
sebelum jauh masuk kemulut outlet. Penelitian terhadap efektifitas bendung
tenggelam ini dibuktikan dibuktikan dengan membandingkan bentuk profil sebaran
sedimen pada kondisi tanpa bendung tenggelam dan kondisi dengan bendung
tenggelam sedimen. Bendung tenggelam yang dipasang dalam waduk bagian hulu
maka sedimen seperti pasir, pasir halus, dapat diendapakn di bagian hulu Bendung
tenggelam sehingga yang menerus kemulut outlet hanya sedimen yang sangat
halus.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang pengendalian
sedimentasi baik bagi badan air yang telah mengalami permasalahan sedimentasi
maupun pada perencanaan dan desain bangunan penampung air yang berpotensi
mengalami aliran dengan tingkat kekeruhan tinggi.
Kata kunci: Sedimen, pendangkalan, bendung tenggelam, pengendalian.

69

Full Tema1.indb 69

24/10/2011 11:40:08

70

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akibat tekanan penduduk yang terus bertambah, penggunaan lahan yang kurang
tepat, penggundulan hutan, curah hujan yang cukup tinggi, dan berbagai aktivitas
manusia yang berlebihan telah merusak ekosistem daerah pengaliran sungai
terutama di daerah hulunya. Akibatnya terjadi peningkatan erosi yang diikuti oleh
peningkatan angkutan sedimen di sungai dan akhirnya mengendap disungai, danau,
atau waduk. Waduk atau danau berfungsi menampung air baku untuk berbagai
macam keperluan; pertanian, rumah tangga, industri, transportasi, dan sebagainya.
Ancaman utama waduk atau danau adalah sedimentasi. Saat ini, ancaman tsb
meningkat pesat seiring meningkatnya laju erosi dalam daerah aliran sungai.
Sedimentasi pada danau atau waduk semakin banyak terjadi antara lain danau
limboto 6,9 juta m3/thn, danau tempe 650.000 m3/thn, waduk Sutami pada tahun
2002 telah tersedimentasi 500 juta m3. Estimasi awal (1983) sedimentasi waduk
Bakaru 133.000 m3/th, saat ini telah menjadi 759.800 m3/th, terjadi kenaikan
lebih 5 kali lipat. Berkurangnya kapasitas tampung terjadi juga diberbagai lokasi
didunia. Waduk Weibedacht di Afrika Selatan dibangun 1973, dengan kapasitas
tampung 152 juta m3, hanya tinggal 34% setelah beroperasi selama 13 tahun. Dari
23 waduk besar di India, 21 mempunyai laju pengurangan kapasitas tampung 5 kali
lebih besar dari desain awal. Waduk Ichari (India) penuh sedimen sampai mercu
pelimpah dalam waktu 2 tahun. Waduk Austin di Sungai Colorado, Texas AS, 13
tahun operasi telah berkurang 95%. Waduk Habra, Aljazair, berkurang 58% setelah
22 tahun operasi. Di Taiwan, 28 waduk mengalami laju pengurangan kapasitas
tampung sebesar 1.45% pertahun. Beberapa provinsi di China juga mengalamai
pengurangan kapasitas tampung yang besar setiap tahunnya. Provinsi Shaanxi
3.02%, Gansu 2.4%, Mongolia 2.1%, Ningxia 2.0%, Heibei 1.1%.
Waduk Bili-Bili, sedimentasi saat ini telah mencapai 80 juta m3, melebihi dead
storage rencana 29.6 juta m3. Kapasitas tampung efektif waduk berkurang dari
325 juta m3 menjadi hanya 275 juta m3. Kwalitas air sangat menurun, dibawah
normal. Tingkat kekeruhan air pada musim kemarau mencapai 100 NTU. Sedang
pada musim banjir mencapai 500-1000 NTU. Biaya produksi air bersih meningkat.
Biaya operasi dan pemeliharaan bendungan dan jaringan irigasi meningkat akibat
besarnya volume sedimen.
Proses sedimentasi meliputi proses erosi, transportasi, pengendapan, dan pemadatan.
Aliran sungai membawa hasil erosi, baik erosi dari daerah aliran sungai maupun erosi
dari dinding dan dasar sungai itu sendiri, yaitu berupa angkutan sedimen. Hasil erosi
tersebut bergerak bersama air sungai berupa angkutan dasar (bed-load), angkutan
layang (suspended-load), dan angkutan bilas (wash-load). Kedua jenis angkutan
yang pertama akan mengendap pada dasar waduk atau danau sedang wash-load
memerlukan waktu yang lama untuk mengendap sehingga tetap melayang dalam
waduk dan berakibat pada menurunnya kwalitas air suplai.
Sedimentasi pada dasar sungai dapat mereduksi kemampuannya untuk melewatkan

Full Tema1.indb 70

24/10/2011 11:40:08

71

debit banjir secara efektif sehingga pada beberapa kejadian menyebabkan


limpasan pada tebing saat terjadi banjir. Deposisi sedimen pada dasar waduk
dapat mengurangi kapasitasnya sebagai pengendali banjir dan mempengaruhi
efektifitas operasi pintu outlet. Karena itu, diperlukan teknologi yang lebih lebih
efektif mengendalikan sedimentasi ini di pada tahap operasi dan pemeliharaan
waduk atau penampung air lainnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, selama ini, dibangun pengendali sedimen berupa
sabo dam dan kantong pasir sebelum aliran masuk kedalam waduk. Namun ini
tidak cukup sehubungan dengan makin berkembangnya luas daerah alira sungai
yang keritis menyebabkan makin tingginya erosi dan besarnya sedimentasi sejak
dua dekade terakhir. Sabo dan kantong pasir juga tidak dapat menangkap sedimen
berbutir halus seprti lanau sehingga kedua jenis bangunan tersebut tidak efektif
menanggulangi sedimentasi dalam waduk. Maka perlu mengetahui prediksi volume
sedimen pada reservoir tersebut. Setelah prediksi inflow sedimen pada reservoir
sudah ditetapkan perhatian harus dipusatkan pada efek dari deposisi sedimen ini
pada umur waduk dan operasi harian pada waduk. Inflow sedimen rata-rata tahunan,
trap efisiensi dari reservoir, spesifik weight dari sedimen, dan distribusi sedimen
dalam reservoir harus dipertimbangkan dalam perencanaan wauk.
Aliran dengan tingkat kekeruhan yang tinggi masuk kedalam waduk akan
mengakibatkan berbagai masalah utama antara lain:
a. Penurunan kualitas air danau atau waduk
b. Pendangkalan dasar danau atau waduk akibat besarnya endapan sedimen
c. Pengurangan cadangan supply air irigasi, air minum, dan lain-lain.
Bila hal tersebut berlangsung terus menerus maka fungsi waduk akan terus menurun
dan dapat berakhir lebih cepat kecuali dilakukan pengendalian sedimen yang efektif.
Masalah lain yang dihadapi akibat besarnya volume sedimen yang mengendap di
dasar waduk tersebut antara lain adalah:
a. Menganggu funsgi danau atau waduk sebagai pengendali banjir
b. Memperpendek umur ekonomis waduk dan mengurangi produktifitas dan kinerja komponen lain yang bergantung pada waduk
c. Mengurangi kapasitas saluran dan bangunan air lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Pengendalian sedimen adalah upaya menghalau, menahan, mengurangi laju
sedimentasi dalam suatu badan air seperti sungai, danau, atau waduk. Di sungai,
sedimen ditahan menggunakan sabo dam untuk material berdiameter besar seperti
batu, dan kantong pasir untuk material berdiameter kecil seperti kerikil dan pasir.
Sedang material berbutir lebih kecil selama ini dibiarkan masuk kedalam waduk.
Dalam waduk terdapat kantong sedimen yang dikenal dengan tampungan mati.
Umur ekonomis waduk didasarkan pada laju sedimentasi dan lamanya waktu yang
diperhitungakan sampai kantong sedimen tersebut penuh. Untuk waduk besar
umumnya kantong sedimen direncanakan penuh minimal 50 tahun terhitung sejak
awal pengisian waduk. Bila terjadi kenaikan laju sedimentasi lebih besar dari
perhitungan semula maka umur ekonomis waduk akan berkurang dari rencana

Full Tema1.indb 71

24/10/2011 11:40:08

72

semula. Kondisi aliran seperti ini dapat dikategorikan sebagai mengalami kekeruhan
tinggi dan akan berakibat pada terancamnya fungsi-fungsi waduk.
Kondisi seperti tersebut diatas terjadi diberbagai daerah aliran sungai (DAS)
seperti DAS Citarum, DAS Limboto, DAS Jeneberang, DAS Bila-Walanae, dan
lain-lain. Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa kondisi seperti tersebut
diatas akan terus meningkat oleh karena pengendalian erosi tidak berhasil sehingga semakin lama DAS cenderung menghasilkan aliran dengan kekeruhan yang
makin tinggi pula.
Rumusan masalah untuk penelitian ini dapat simpulkan denga pertanyaan hypotetik
sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk dan karakteristik endapan sedimen dari aliran dengan tingkat kekeruhan tinggi dalam suatu wadah air seperti danau atau waduk sebelum
dan sesudah dipasang Bendung tenggelam?
b. Bagaimana perbedaan karakteristik endapan akibat bendung tenggelam dan
berapa besar efektifitas bendung tenggelam dalam penanggulangan masalah
endapan sedimen tersebut?
c. Bagaiman bentuk dan pola pergerakan sedimen pada waduk dengan inflow kekeruhan tinggi?
1.3 Ruang Lingkup
Topik utama pembahasan meliputi penggunaan Bendung tenggelam sedimen
tenggelam untuk mengatasi masalah sedimentasi tersebut diatas. Pokok bahasan
untuk analisis meliputi perkiraan besarnya laju sedimentasi yang masuk ke waduk,
deposisi sedimen pada dasar waduk, perkiraan umur ekonomis waduk tanpa dan
dengan bendung tenggelam sedimen.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian diatas maka penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan
model alternatif dalam penanggulangan sedimentasi dalam badan air seperti danau,
waduk, dan badan air lainnya. Model tersebut berupa bangunan melintang arus
aliran dan berfungsi mengisolasi sedimen yang terbawa oleh aliran sehingga
sebagian sedimen tertinggal dibagian hulu bendung tenggelam.
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengembangkan suatu pendekatan alternatif sebagai model pengendalian sedimen
b. Untuk mempelajari karakteristik endapan sedimen pada dasar badan air yang
mengalami aliran kekeruhan tinggi
c. Untuk mengetahui efektifitas daya tangkap bendung tenggelam dan perubahan
karakteristik endapan setelah dipasang bendung tenggelam.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal sbb:
a. Menambah model penanggulangan sedimentasi sebagai suatu alternatif pemecahan masalah di bidang teknik sedimentasi disamping cara-cara yang su-

Full Tema1.indb 72

24/10/2011 11:40:08

73

dah ada saat ini.


b. Menjadi model perencanaan dan desain untuk badan air yang mempunyai potensi aliran dengan kekeruhan tinggi.
c. Mempertahankan fungsi waduk sebagai pengendali banjir dan penyediaan cadangan air baku untuk berbagai keperluan.
d. Memperpanjang umur ekonomis waduk dengan mudah melalui pengerukan sedimen tanpa harus mengosongkan dan mengganggu operasional waduk.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Studi Terdahulu
Berbagai study telah dilakukan sejak dahulu hingga sekarang dibidang ini. Berikut
beberapa hasil studi yang berkaitan dengan sediment transport dan sedimen tasi
waduk antara lain dilakukan oleh banyak peneliti seperti Shulits, Samuel,: tentang
The schoklitsch Bed-Load Formula (1935) sampai dengan Yang, C.T.: tentang
incipient motion and sediment transport (1973) dan masih banyak sesudahnya.
2.2 Studi Pustaka
2.2.1 Erosi
Erosi dan sedimentasi merupakan peristiwa yang berkaitan erat sekali karena ia
merupakan sebab dan akibat. Erosi merupakan peristiwa alam yang wajar yaitu
proses pengikisan dan terangkutnya partikel tanah dari suatu tempat ketempat lain
oleh media alami yaitu air atau udara. Terjadinya erosi menyebabkan hilangnya
lapisan permukaan tanah dan mengakibatkan kerusakan lahan. Peristiwa ini
merupakan proses geologi seperti pada terkikisnya gunung, terkikisnya pantai,
atau pada daerah aliran sungai. Erosi alami terjadi secara perlahan. Tetapi erosi
dapat terajdi cepat sekali bila ada campur tangan manusia seperti sekarang. Indikator
umum suatu lahan yang mengalami erosi adalah makin meningkatnya luas lahan
keritis. Ini akan diikuti oleh makin tingginya erosi. Parameter erosi adalah mm
pertahun, dalm volume m3/ha/tahun, atau ton/ha/tahun.
Tingkat kerusakan lahan di suatu wilayah dapat diprediksi dari nilai erosi aktual pada
wilayah tersebut. Erosi aktual dapat dihitung dengan pendekatan rumus Universal
Soil Loss Equation (USLE) yaitu :
A = R x L x LS x CP

(1)

dimana :
A : Erosi aktual (ton/ha/tahun)
R : Nilai indeks erosivitas hujan
K : Nilai indeks erodibilitas tanah
L : Nilai indeks panjang lereng
S : Nilai indeks kemiringan lereng
C : Nilai indeks penutupan tanah
P : Nilai indeks kegiatan konservasi tan

Full Tema1.indb 73

24/10/2011 11:40:08

74

2.2.2 Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan material terangkut oleh air di alur sungai,
danau, atau waduk sebagai akibat dari erosi. Sedimen berasal dari erosi lahan
hutan, tegalan, pekarangan, dan persawahan. Selain diakibatkan oleh faktor erosi,
sedimentasi dipengaruhi oleh luas daerah tangkapan dan karakteristik sungai,
kekasaran bentuk dasar dan ukuran butiran sedimen yang terangkut. Tingginya
tingkat bahaya erosi lebih lanjut menyebabkan tingginya sedimentasi pada alur-alur
dan sungai hingga sampai pada muara.
Sedimen tersebut terbawa hanyut oleh aliran yang dapat dibedakan sebagai angkutan
dasar (bed load) dan angkutan layang (suspended - load). Angkutan dasar bergerak
dalam aliran air sungai dengan cara bergulir, meluncur dan meloncat-loncat di atas
permukaan dasar sungai. Sedang angkutan layang terdiri dari butiran-butiran halus
yang ukurannya lebih kecil dari 0,1 mm senantiasa melayang di dalam aliran air
dan mengendap saat kecepatan aliran rendah. Angkutan layang tidak berpengaruh
pada naik turunnya dasar sungai, tetapi dapat mengendap di dasar waduk yang
menimbulkan pendangkalan pada waduk dan menyebabkan timbulnya berbagai
masalah. Angkutan bilas (wash load) mempunyai butiran yang sangat halus,
walaupun air tidak mengalir, tetapi butiran tersebut tetap melayang dan airnya tetap
saja keruh.
Sedimen layang yang terbawa aliran pada akhirnya akan mengendap pada bagian
hilir kecuali beban bilas ( wash load ). Pengendapan terjadi karena daya angkut aliran
menjadi kecil. Kecilnya daya angkut itu karena kecepatan aliran yang mengecil
akibat adanya pembendungan. Kecepatan jatuh partikel tersebut tergantung pada
ukuran, bentuk, berat, jenis partikel, serta tingkat kekentalan air. Penggumpalan
sedimen terjadi karena banyak faktor, antara lain bertemunya dengan air payau,
Air sungai yang masuk ke waduk sebagian besar akan mengalami pengendapan.
Kepadatan sedimen setelah mengendap akan berubah dari waktu ke waktu. Untuk
waduk besar hampir seluruh sedimen mengendap setelah proses sedimentasi,
Analisis sedimen adalah untuk memperkirakan besarnya volume material endapan
yang mungkin terjadi selama umur ekonomis waduk. Perbandingan sedimen yang
lewat pada suatu titik keluaran dengan hilangnya bahan terangkut dalam suatu
daerah tangkapan disebut Sediment Delivery Ratio (SDR). Berdasarkan luas
daerah aliran sungai maka SDR dapat ditentukan menggunakan Tabel Morgan,
1980.
Angkutan Sedimen
Berdasar pengukuran debit dan sampel sedimen layang yang sudah diperoleh, maka
angkutan sedimen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Qs = 0.0864 x C x Q

(2)

Dimana:
Qs : Angkutan sedimen (ton/hari)
Q : Debit inflow (m3/sekon)
C : Konsentrasi sedimen layang (mg/l)
0.0864 : Faktor konversi dari kg/sekon ke ton/hari

Full Tema1.indb 74

24/10/2011 11:40:08

75

Laju Sedimentasi
Laju sedimentasi pada waduk didefinisikan sebagai :
SR =

EQs

V

(3)

Dimana:
SR : laju sedimentasi tahunan (%)
E : reservoir trap efficiency
Qs : debit sedimen per tahun
V : volume awal waduk
Trap efficiency dapat diformulasikan :
E = 100 -

c
1+ k( )
w

(4)

Dimana: c : kapasitas waduk



w : luas tangkapan air

k : konstanta, bervariasi dari 0,046-1,0
Pola distribusi sedimentasi ini ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain :
1. Variasi elevasi (slope) dasar lembah waduk
2. Bentuk dan ukuran konstruksi waduk
3. Ukuran partikel sedimen
4. Rasio kapasitas inflow sedimen, dan lain-lain.
Mekanisme Deposisi Sedimen
Sediment load yang dibawa oleh aliran sungai sebagian melayang berupa suspended
load sementara yang berbutir lebih kasar bergerak sepanjang dasar berupa bed
load. Karena gaya beratnya (berat spesifik butir : Gs = 2,65) sedimen cenderung
mengendap ke dasar sungai, tetapi proses ini dihadang oleh komponen arus ke
atas (turbulensi) dalam aliran. Akhirnya aliran sampai pada mulut waduk, di mana
aliran masuk pada penampang yang luas, sehingga kecepatan arus dengan gaya
turbulensinya berubah menjadi relatif sangat kecil. Terbuka peluang bagi butir kasar
(sebagian besar bed load) mengendap lebih dahulu sebagai delta di mulut waduk.
Kondisi air di waduk relatif lebih bersih, sementara air yang masuk mengandung
sedimen. Dua macam kerapatan air yang berbeda dan dengan adanya gaya gravitasi
menyebabkan aliran masuk meneruskan gerakannya menyusuri dasar menuju tubuh
dam.

Full Tema1.indb 75

24/10/2011 11:40:08

76

Gambar 1. Skema Gerakan Sedimentasi di Waduk


Partikel halus masih dapat mengikuti gerakan aliran yang makin pelan, hingga
akhirnya dapat juga mengendap di sepanjang dasar menuju dam. Partikel yang lebih
halus mungkin dapat berlahan melayang dalam periode waktu cukup lama sebelum
mengendap dekat tubuh dam, bahkan sebagian tidak sempat mengendap karena
sudah terbawa air yang melimpah spillway atau lewat outlets lainnya. Kecepatan
mengendap dari partikel tersuspensi pada air yang tenang diperkirakan melalui
Hukum Stokes :

(5)

di mana g dan berturut-turut adalah kerapatan partikel dan cairan, r jari-jari


partikel, dan viskositas absolut air. Biasanya dianggap dapat dipakai untuk partikel
dari diameter 0,0002 sampai 0,2 mm, persamaan tersebut mengasumsikan bahwa
viskositas hanya memberikan ketahanan terhadap pengendapan, bahwa partikel
bersifat tegar dan berbentuk bulat, dan jatuhnya tidak dipengaruhi oleh partikelpartikel lain.
3. METODE PENELITIAN
Konsep dasar penelitian ini adalah membandingkan kondisi suatu waduk yang
tersedimentasi sebelum dipasang Bendung tenggelam sedimen dan sesudah adanya
Bendung tenggelam sedimen tersebut. Fokus utama penelitian adalah seberapa besar
perbedaan profil endapan sedimentasi sebelum dan sesudah berfungsinya Bendung
tenggelam. Semakin besar perbedaan tersebut merupakan indikator efektifitas
Bendung tenggelam. Volume sedimen yang terisolasi dinilai sebagai pengurangan
volume sedimentasi waduk dan inilah yang dapat dijadikan acuan untuk menghitung
perpanjangan umur waduk. Semakin besar volume sedimen terisolasi semakin
besar potensi perpanjangan umur ekonomis waduk.

Full Tema1.indb 76

24/10/2011 11:40:08

77

4. HASIL PENELITIAN
Bendung tenggelam dapat berfungsi efektif menangkap sedimen dalam waduk
sebelum jauh masuk kemulut outlet. Ini dibuktikan dengan membandingkan bentuk
penyebaran sedimen pada kondisi tanpa bendung tenggelam dan kondisi dengan
bendung tenggelam sedimen. Bendung tenggelam yang dipasang pada pada waduk
bagian hulu maka sedimen seperti pasir, pasir halus, temasuk sebagian lanau dapat
diendapakn di bagian hulu bendung tenggelam sehingga yang menerus kemulut
outlet hanya sedimen yang sangat halus. Pada saat muka air rendah (LWL),
maka akumulasi sedimen ini dapat diangkut keluar waduk secara berkala tanpa
mengganggu operasi waduk.
Dari penelitian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Perbedaan profil endapan sedimen sangat berbeda antara kondisi tanpa dan
dengan bendung tenggelam.
b. Bendung tenggelam tenggelam berfungsi secara efektif menahan sedimen sehingga volume sedimen yang bergerak menuju bendungan berkurang cukup
besar.
c. Memudahkan pengerukan sedimen pada setiap muka air rendah tanpa harus
mengosongkan dan mengganggu operasional waduk. Dengan demikian dapat
mempertahankan fungsi waduk sebagai pengendali banjir dan penyediaan cadangan air baku untuk berbagai keperluan.
DAFTAR PUSTAKA
Bureau of Reclamation, Design of Small Dams Oxford & IBH Publishing
Co.,Janpath, New Delhi, 1974.
Chaundry, M., H., 1993, Open channel Flow, Prentice Hall.Inc.
Chow., V., T., 1959, Open Channel Hydraulics, New York, Mc Graw Hill.
Chih Ted Yang, Sediment Transport Theory and Practice, The McGraw-Hill
Companies, Inc., 1996.
Foster, J., W., and Skrinde, R., A., 1950, Control of hydraulics Jump by Sills,
Trans., Amer, Soc. Civil Engrs., 115:973 1022.
K. N. Mutreja, Applied Hydrology, Tata McGraw Hill Publishing Company
Limited New Delhi, 1986.
Mohd. Arief Iiyas dkk. , Kaji Ulang dan identifikasi Kondisi Sedimentasi Wadukwaduk Di P. Jawa, Dep. PU Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pengairan,
1999.
Mohd. Arief Ilyas dkk, Monitoring dan Evaluasi Sedimentasi di DPS Cimanuk
Dan Perkiraan Distribusi Sedimentasi Pada Rencana Waduk Jatigede, Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Pengairan, 1992

Full Tema1.indb 77

24/10/2011 11:40:08

Kajian Kinerja Embung-Embung


di Pulau-Pulau Kecil Perbatasan/Terluar
Maluku dengan Metode Kualitatif
Happy Mulya
Mahasiswa S3 Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro-Semarang
Anggota HATHI Cabang Maluku No. Anggota 190625
maggi_iwm@yahoo.com
INTISARI
Kondisi iklim dan hidrologi kawasan Bagian Selatan Kepulauan Maluku, merupakan
kawasan dengan iklim semi kering, ketersediaan air di musim kemarau merupakan
masalah besar bagi penduduk, karena terbatasnya curah hujan yang turun dan
terbatasnya potensi sumber daya air lainnya. Keterbatasan daratan pulau-pulau kecil,
sehingga sebagian besar curah hujan yang turun mengalir dan terbuang percuma ke
laut dan hanya sebagian kecil yang menyerap ke dalam tanah menjadi air tanah.
Bangunan penyimpan air untuk cadangan air di musim kemarau sangat diperlukan,
karena itu embung sebagai bangunan penampung air yang relatif kecil sangat cocok
dengan keadaan alam setempat, bangunan semacam ini dapat dibangun secara masal
dengan cepat dan menyebar mendekati pemukiman penduduk.
Penelitian dengan judul Kajian Kinerja Embung-Embung di Pulau-Pulau Kecil
Perbatasan/ Terluar Maluku dengan Metode Kualitatif ini dilakukan untuk
mengetahui keberhasilan dan kegagalan bangunan embung yang dibangun melalui
evaluasi terhadap kinerja bangunan embung yang meliputi kinerja, fungsi dan
manfaat.Hasil kajian kinerja embung-embung ini dapat digunakan sebagai
rekomendasi kepada Pemerintah Daerah dan Pihak Pengelola dalam penyusunan
program kegiatan, kebijakan pengembangan dan pengelolaan SDA, khususnya
embung-embung di kawasan ini.
Kata kunci: Kinerja-Kuantitatif-Kualitatif-Kajian-Embung-Krisis Air-PulauPulau Kecil
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Luas wilayah daratan pulau-pulau kecil perbatasan/ terluar Kepulauan Maluku
yang terdapat di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Maluku Barat
Daya (MBD) 14.584 km, sedangkan luas lautannya 7,6 kali dari luas daratan.
Pulau-pulau tersebut berjumlah 133 pulau, dimana pulau yang berpenghuni
88 pulau dan pulau tidak berpenghuni 54 pulau. Di Indonesia klasifikasi pulau
kecil berdasarkan ukurannya (Hehanussa, 2005), terdiri atas pulau kecil ( 2.000
km), pulau sangat kecil ( 200 km) dan pulau sangat sangat kecil ( 20 km),
pulau-pulau kecil dengan klasifikasi tersebut banyak dijumpai pada bagian Selatan
Kepulauan Maluku.
78

Full Tema1.indb 78

24/10/2011 11:40:08

79

Iklim kawasan ini pada umumnya cukup kering, curah hujan tahunan rata-rata
1.000 mm dan evapotranspirasi tahunan terhitung (1.8001.850) mm.
Musim hujan umumnya berlangsung selama 35 bulan, sedangkan musim kering
berlangsung selama 79 bulan. Karena keterbatasan daratan pulau-pulau kecil,
sebagian besar curah hujan yang turun mengalir dan terbuang percuma ke laut dan
hanya sebagian kecil yang menyerap ke dalam tanah menjadi air tanah (Laurentia,
2006 ; Kodoatie dan Suripin 2006). Sungai-sungai perennial dan mata air-mata
air hanya terjadi ketika curah hujan relatif tinggi dan terdistribusi dengan baik
sepanjang tahun bila kondisi topografi dan geologi yang memungkinkan (Falkland,
1991). Mata air yang merupakan sumber aliran dasar suatu sungai jarang sekali
dijumpai di musim kering. Menurut Hehanussa (1987), air tanah di pulau-pulau
kecil merupakan lensa yang mengapung di atas air payau atau air asin, dengan
ketebalan yang sangat tergantung pada imbuhan (recharge) dan rentan terhadap
penyusutan/ intrusi air laut.
Dengan curah hujan yang relatif rendah dengan durasi yang pendek hanya 3 4 bulan
dalam setahun dan terbatasnya potensi SDA lainnya, merupakan kendala tersendiri
dalam upaya pengembangan dan pengelolaan SDA pada kawasan Kepulauan
Maluku ini, terutama untuk memenuhi kebutuhan air baku untuk penduduk, ternak
dan ladang/ kebun.
Bangunan penyimpan air untuk cadangan air di musim kemarau sangat diperlukan,
oleh karena itu embung sebagai bangunan penampung air yang relatif kecil sangat
cocok dengan keadaan alam setempat, bangunan semacam ini dapat dibangun
secara masal dengan cepat dan menyebar mendekati pemukiman penduduk (Kasiro
dkk, 1994).
Sampai sekarang ini belum pernah dilakukan evaluasi terhadap kinerja embungembung yang telah dibangun baik dari aspek fungsi, struktur bangunan maupun
efektifitas tampungan embung untuk memenuhi kebutuhan pengguna air, ini
disebabkan karena sumber air utama sangat tergantung dari curah hujan yang
turun, sehingga fungsi dan manfaat embung hanya dapat terlihat pada saat musim
hujan atau beberapa bulan setelah musim penghujan, sedangkan pada musim
kemarau embung-embung tersebut terlihat bagaikan monumen-monumen yang
tidak bermanfaat, bahkan seperti mubasir pembangunannya.
Sesuai dengan Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering
di Indonesia (Kasiro dkk, 1994), bangunan embung harus memenuhi beberapa
persyaratan, seperti : stabilitas , fungsi dan manfaat.
Persyaratan stabilitas bangunan dapat dilihat dari kinerja komponen bangunan yaitu
tubuh embung termasuk : pelimpah/ spillway, daerah genangan air, pipa drainase
pada tubuh embung, jaringan pipa transmisi, jaringan pipa distribusi, bak-bak
distribusi. Persyaratan fungsi, meliputi: kemampuan untuk menampung air dan
mengkonservasi air dan lahan. Sedangkan persyaratan manfaat meliputi: kebutuhan
untuk mandi, cuci, ternak dan ladang/ kebun.
Persyaratan fungsi embung sangat susah dibuat kriteria penilaiannya, karena
embung-embung tersebut hanya berfungsi di musim hujan dan atau beberapa bulan

Full Tema1.indb 79

24/10/2011 11:40:09

80

setelah musim penghujan, atau dengan kata lain embung-embung tersebut tidak
dapat berfungsi sepanjang tahun (Gambar 2.a. dan Gambar 2.b.), sehingga dalam
evaluasi kinerja ini hanya memberi penilaian fungsi tampungan embung di musim
penghujan dan atau bila embung telah berhasil/ berfungsi mengkonservasi air dan
lahan pada lokasi embung dan daerah sekitarnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Evaluasi kinerja bangunan embung yang meliputi kinerja, fungsi dan manfaat ini
dilakukan pada 38 embung yang lokasinya tersebar, yaitu : 2 embung di Pulau
Fordata, 8 embung di Pulau Yamdena, 1 embung di Pulau Wetan, 7 embung di
Pulau Sermata, 2 embung di Pulau Luang, 4 embung di Pulau Moa, 6 embung di
Pulau Leti, 7 embung di Pulau Kisar dan 1 embung di Pulau Wetar, atau lokasi
studi dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini :

Gambar 1 Peta Kepulauan Maluku

Gambar 2.a. Embung Romean


(Pulau Fordata)

Gambar 2.b. Embung Elo


(Pulau Sermata)

Memperhatikan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja


suatu embung yang kurang didukung dengan data yang akurat, maka sulit
dinilai secara kuantitatif, untuk itu penilaian ini dilakukan secara kualitatif yang
dikuantifikasi.

Full Tema1.indb 80

24/10/2011 11:40:09

81

Studi Kajian Kinerja Embung-Embung di Pulau-Pulau Kecil Perbatasan/ Terluar


Maluku dengan Metode Kualitatif ini menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif yaitu menggunakan tolok ukur. Definisi pengukuran merupakan penelitian
yang berkaitan dengan angka dan bersifat kuantitatif, sedangkan penilaian merupakan
pekerjaan yang bersifat kualitatif. Teknik analisis ini memanfaatkan persentase yang
merupakan langkah awal saja dari keseluruhan proses analisis dan jelas ukurannya
bersifat kuantitatif bukan kualitatif. Sehingga hasil penilaian yang berupa bilangan
tersebut harus diubah menjadi sebuah predikat seperti sangat baik, baik, kurang
baik, dan sangat tidak baik. Penulisan peringkat ini disesuaikan dengan Teori Skala
Likert (Sugiono, 1999).
Rensis Likert menganjurkan suatu nilai dengan model rating scale yang selanjutnya
disebut model skala nilai. Penilaian kinerja embung dilakukan dengan cara
pembobotan (scouring) pada kinerja, fungsi dan manfaat embung. Masing-masing
komponen diberi bobot mulai dari A sampai E, dimana A = Baik Sekali, B = Baik,
C = Cukup, D = Sedang dan E = Kurang.
Adapun rekapitulasi hasil analisis terhadap kinerja, fungsi dan manfaat bangunan
embung-embung pada masing-masing pulau dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis
Unsur
Yang
Dinilai

Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau Pulau RataFordata Yamdena Wetan Sermata Luang Moa Leti Kisar Wetar Rata

Kinerja
Fungsi
Manfaat

B
D
B

C
C
C

B
C
C

C
D
D

C
E
D

B
D
B

B
C
C

C
D
B

B
D
D

C
D
C

Kajian dan analisis kinerja embung, sebagai contoh diambil embung-embung di


Pulau Fordata dapat dilihat padaTabel 2 di bawah ini :
Tabel 2. Prosentase Jumlah Bangunan Yang Mengalami Kerusakan
Pulau Fordata (Rumngeur dan Romean = 2 embung )
Persentase Kondisi Komponen
Jumlah
Nilai
Bangunan (%)
No
Komponen
Rata- Kriteria
CuSeKuBangunan Baik Baik
Rata
Sekali
kup dang rang

A=5 B=4 C=3 D=2 E=1

1 Tubuh Embung
2
- 75.00 25.00
- 3.75
B
2 Pelimpah/ Spillway
2
- 50.00 50.00
- 2.50
C
3 Daerah genangan/
2
- 80.00 20.00
- 3.80
B
Sedimentasi
4 Pipa Drainase pd
2
- 100.00
- 4.00
B
tubuh embung
5 Jaringan Transmisi
2
- 50.00
- 50.00 2.00
D
6 Jaringan Distribusi
2
- 50.00
- 50.00 2.00
C
7 Bak-Bak Distribusi
2
- 75.00 25.00
- 3.75
B
Rata-rata kondisi
- 47.14 31.43 7.14 14.29 3.11
B
untuk semua embung
Catatan : Baik Sekali A (4-5); Baik B (3-4); Cukup C (2-3); Sedang D (1-2) ; Kurang E (0-1)
Komponen
Bangunan

Full Tema1.indb 81

24/10/2011 11:40:09

82

Dari 7 komponen bangunan embung yang diteliti di 9 pulau (Fordata, Yamdena,


Wetan, Sermata, Luang, Moa, Leti, Kisar dan Wetar), ternyata bangunan embung
di Pulau (Fordata, Wetan, Moa, Leti dan Wetar) mencapai angka tertinggi (3,11,
3,88, 3,70,3,16 dan 3,43) dengan kriteria Baik (B) dan lainnya di Pulau (Yamdena,
Sermata, Luang dan Kisar) dengan angka (2,91, 2,97, 2,31, 2,97) dengan kriteria
Cukup (C).
Bangunan embung di Pulau Fordata yang diteliti sebanyak 2 embung dan rata-rata
kondisi komponen bangunan 47,14 % menunjukkan kriteria Baik (B), 31,43 %
menunjukkan kriteria Cukup (C), 7,44 % menunjukkan kriteria Sedang (D) dan
14,29 % menunjukkan kriteria Kurang (E). Kondisi ini Kurang (E) disebabkan
karena rusaknya sebagian jaringan pipa transmisi dan pipa distribusi akibat
pembakaran hutan dan tanaman untuk membuka kebun-kebun baru oleh penduduk,
selain itu pelimpah/ spillway di embung Romean telah mengalami degradasi di
bagian hilir dan robohnya dinding spillway akibat pembakaran ilalang di sekitar
spillway.
Dengan cara yang sama evaluasi dilakukan seperti pada Tabel 2 sebagai berikut:
Bangunan embung di Pulau Yamdena yang diteliti sebanyak 8 embung (Atubulda,
Atubuldol, Amdasa, Sangliat Dol, Aruibab, Lorulun, Aruidas dan Tumbur), ratarata komponen bangunan menunjukkan 40,00 % kriteria Baik (B), 28,57 %
menunjukkan kriteria Cukup (C), 12,14 % menunjukkan kriteria Sedang (D) dan
19,29 % menunjukkan kriteria Kurang (E). Bangunan embung-embung di Pulau
Yamdena mengalami permasalahan sebagai berikut : 2 embung (Amdasa dan
Aruidas) telah mengalami longsoran pada tubuh embung akibat overtopping pada
puncak embung, 2 embung (Atubulda dan Aruibab) mengalami sedimentasi ringan
dan kerusakan ringan jaringan pipa transmisi.
Bangunan embung di Pulau Wetan yang diteliti sebanyak 1 embung (Pota Kecil)
dengan rata-rata kondisi bangunan 87.86 % menunjukkan kriteria Baik (B) dan
12,14 % menunjukkan kriteria Cukup (C).
Bangunan embung di Pulau Sermata yang diteliti sebanyak 7 embung (Elo, Lelang,
Regoha, Batu Gajah, Rotnama, Mahaleta dan Pupliora) dengan rata-rata kondisi
bangunan 38,57 % menunjukkan kriteria Baik (B), 40,71 % menunjukkan kriteria
Cukup (C) dan 20,71 % menunjukkan kriteria Kurang (E). Bangunan embungembung di Pulau Sermata mengalami permasalahan sebagai berikut : 1 embung
(Regoha) telah mengalami longsoran pada tubuh embung akibat overtopping pada
puncak embung, 4 embung (Elo, Lelang, Rotnama dan Pupliora) telah mengalami
sedimentasi berat di daerah genangannya. Namun secara keseluruhan kebutuhan
air di 7 Desa di atas ditambah 4 Dusun (Loltulul, Malanno, Gerwali dan Rumkisar)
telah dapat dipenuhi dengan adanya pembangunan broncaptering/ intake yang
mengambil air dari mata air-mata air yang ada di desa dan dusun tersebut.
Bangunan embung di Pulau Luang yang diteliti sebanyak 2 embung (Luang Barat
dan Luang Timur), rata-rata kondisi komponen bangunan 28,57 % menunjukkan
kriteria Baik (B), 10,00 % menunjukkan kriteria Cukup (C), 25,71 % menunjukkan
kriteria Sedang (D) dan 35,71 % menunjukkan kriteria Kurang (E). Bangunan

Full Tema1.indb 82

24/10/2011 11:40:09

83

embung di Pulau Luang mengalami permasalahan sebagai berikut : 1 unit (Luang


Barat) mengalami rembesan pada tubuh embung dan sedimentasi berat pada daerah
genangan serta kerusakan berat pada jaringan pipa transmisi dan spillway, sedangkan
Embung Luang Timur berfungsi dengan baik sebagai embung penampung di
musim hujan, selain itu embung tersebut telah berhasil mengkonservasi air dan
lahan ini dapat terlihat dengan meningkatnya air tanah serta munculnya mata-air
mata-air baru pada saat penggalian sumur dangkal atau perigi.
Bangunan embung di Pulau Moa yang diteliti sebanyak 4 embung (Tounwawan,
Klis, Siota dan Kaiwatu), rata-rata komponen bangunan 73,57 % menunjukkan
kriteria Baik (B), 22,86 % menunjukkan kriteria Cukup (C) dan 3,57 % menunjukkan
kriteria Sedang (D). Bangunan embung di Pulau Moa mengalami permasalahan
sebagai berikut : Embung Klis dan Siota mengalami sumbatan sedimen pada pipa
drainase dalam tubuh embungdan spillway rusak ringan. Masalah lain ribuan ternak
kerbau yang banyak di pulau ini mengkomsumsi air langsung dari daerah genangan
embung, sehingga menganggu kualitas air.
Bangunan embung di Pulau Leti yang diteliti sebanyak 6 embung (Tutukey, Tomra,
Batumeau, Luhuleli, Nuwewang dan Tutuaru), rata-rata kondisi bangunan 51,19 %
menunjukkan kriteria Baik (B), 30,14 % menunjukkan kriteria Cukup (C), 2,14
% menunjukkan kriteria Sedang (D) dan 16,53 % menunjukkan kriteria Kurang
(E). Bangunan embung-embung di Pulau Leti mengalami permasalahan sebagai
berikut: 1 embung (Batumeau) mengalami longsoran pada tubuh embung, 2 embung
(Tutuaru dan Tutukey) mengalami sedimentasi ringan dan berat serta tersumbatnya
pipa drainase pada tubuh embung.
Bangunan embung di Pulau Kisar yang diteliti sebanyak 7 embung (Kota Lama,
Abusur,Lebelau, Yawuru, Woorono, Rumleher Utara dan Oirata Barat), ke tujuh
embung yang diteliti rata-rata kondisi komponen bangunan 31,43 % menunjukkan
kriteria Baik (B), 43,29 % menunjukkan kriteria Cukup (C), 15,71 % menunjukkan
kriteria Sedang (D) dan 9,57 % menunjukkan kriteria Kurang (E). Secara
keseluruhan ke tujuh embung tersebut telah berhasil mengkonservasi air dan lahan,
ini dapat dilihat dari meningkatnya air tanah di desa-desa tersebut, bahkan Kota
Wonreli (ibukota sementara Kabupaten MBD) telah memperoleh dampak positif
dari embung Abusur, dimana sumur-sumur yang ada tidak mengalami kekeringan
lagi, walaupun di musim kemarau panjang serta saluran drainase yang ada masih
terlihat air yang mengalir 2-3 bulan setelah akhir musim penghujan, dampak
dari Embung Kota Lama juga dapat terlihat dengan mengalirnya air pada saluran
drainase ke arah Pelabuhan Pantai Nama (phenomena aliran air di saluran drainase
ini pernah terjadi di sekitar tahun 70-an, walaupun ini dari cerita lama orang
tua-tua di Kisar, namun sekarang phenomena ini mulai kembali terlihat).
Bangunan embung di Pulau Wetar yang diteliti sebanyak 1 embung (Ilwaki),
kondisi komponen bangunan 71,43 % menunjukkan kriteria Baik (B) dan 28,57
% menunjukkan kriteria Sedang (D). Secara umum kondisi komponen bangunan
embung Ilwaki sangat baik, namun masalahnya curah hujan yang terjadi sangat
rendah dengan waktunya yang singkat, dari data curah hujan Stasiun Kota Lama
di Pulau Kisar (Stasiun terdekat dengan Pulau Wetar) curah hujan tahunan relatif
rendah yaitu 623 mm per tahun (data tahun 2001).

Full Tema1.indb 83

24/10/2011 11:40:10

84

Dengan cara yang sama sebagai contoh : Pulau Yamdena evaluasi keberhasilan
fungsi sbg embung penampung air dan embung konservasi dapat dilihat pada Tabel
3 di bawah ini.
Tabel 3. Prosentase keberhasilan sebagai embung penampung air dan embung
konservasi Pulau Yamdena (Atubul Da, Atubul Dol, Amdasa, Sangliat Dol,
Aruibab, Lorulun, Aruidas dan Tumbur, = 8 embung)
No

Komponen
Fungsi Bangunan

1
2

Menampung Air Hujan


Konservasi Air dan
Lahan
Rata-rata keberhasilan
fungsi embung

Persentase Keberhasilan
Jumlah
Fungsi Bangunan (%)
Komponen
Fungsi
Baik Baik
CuSeBangunan Sekali
kup dang

A=5 B=4 C=3 D=2


8
- 25.00 50.00 8
- 75.00 -

12.50 62.50 -

Kurang
E=1
25.00
25.00
25.00

Nilai
Rata- Kriteria
Rata

2.75
2.50

C
C

2.63

Keberhasilan sebagai embung penampung air dan atau sebagai embung konservasi
pada umumnya menunjukkan kriteria Baik (B) dengan angka (3,05, 3,05 dan 3,17)
di Pulau Fordata, Pulau Moa dan Pulau Kisar, di Pulau Yamdena, Wetan, dan
Leti menunjukkan angka (2,63, 3,00 dan 2,50) kriteria Cukup (C) , sedangkan di
Pulau Sermata, Luang dan Wetar menunjukkan angka (1,33, 2,00 dan 2,00) kriteria
Sedang (D).
Di Pulau Leti secara keseluruhan embung-embung yang ada berhasil menampung
air di musim hujan, selain itu telah berhasil pula mengkonservasi air dan lahan
seperti terlihat di Desa Serwaru, Tomra, Nuwewang dan Batumeau sumursumur penduduk yang dulunya terasa asin/ payau, sekarang sudah terasa tawar,
sehingga bisa dikonsumsi sebagai air minum, di Pulau Kisar embung-embung
berfungsi sangat baik sebagai embung konservasi, sedangkan di Pulau Wetar
karena rendahnya curah hujan sehingga Embung Ilwaki kurang berhasil sebagai
embung tampungan air, namun daerah di hilir embung sampai di Desa Ilwaki
sumur-sumur dangkal dengan kedalaman 4-5 m dibuat oleh penduduk dengan
kualitas air yang sangat baik.
Dengan cara yang sama sebagai contoh : Pulau Wetan, evaluasi terhadap Manfaat
Bangunan Embung dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Prosentase pemanfaatan embung untuk keperluan lain.
Pulau wetan (pota kecil = 1 embung)
Jumlah
Komponen
Komponen
No Manfaat
Bangunan Manfaat Baik
Bangunan Sekali

A=5
1 Air Minum
1
2 Mandi
1
3 Cuci
1
4 Ladang/ Kebun
1
5 Ternak
1
Rata-rata keberhasilan
Manfaat embung

Full Tema1.indb 84

Persentase Keberhasilan
Nilai
Manfaat Bangunan (%)
RataSeKuRata
Baik Cukup dang
rang
B=4 C=3 D=2 E=1

100.00
- 4.00
100.00
- 4.00
- 100,00
- 3.00
- 100,00
- 3.00
40.00 40.00
- 2.80

Kriteria

B
B
C
C
C

24/10/2011 11:40:10

85

Bangunan embung- embung di Sembilan pulau tersebut di atas, umumnya


dimanfaatkan untuk keperluan mandi, cuci dan ladang/ kebun, kecuali di Pulau
Moa dan Luang pada umumnya dimanfaatkan untuk kebutuhan ternak.
Di Pulau Wetan Fordata, Moa dan Kisar dimanfaatkan untuk mandi, cuci, ladang
dan ternak dengan nilai (3,05, 3,50 dan 3,17) dengan kriteria Baik (B), di Pulau
Yamdena, Wetan dan Leti dimanfaatkan untuk mandi, cuci dan ladang dengan nilai
(2,63, 2,80 dan 2,50) dengan kriteria Cukup (C), sedangkan di Pulau Sermata,
Luang dan Wetar dimanfaatkan untuk mandi, cuci dan ladang dengan nilai (1,33,
2,00 dan 2,00) dengan kriteria Sedang (D).
KESIMPULAN
1. Dari analisis evaluasi kinerja, fungsi dan manfaat embung-embung di Kabupaten
MTB dan MBD, dapat diperoleh gambaran bahwa di Pulau Fordata kinerja
embung menunjukkan kriteria Baik (B), fungsi menunjukkan kriteria Sedang
(D) dan manfaat menunjukkan kriteria Baik (B), di Pulau Yamdena kinerja,
fungsi dan manfaat menunjukkan kriteria Cukup (C), di Pulau Wetan kinerja
menunjukkan kriteria Baik (B), sedangkan fungsi dan manfaat menunjukkan
kriteria Cukup (C), di Pulau Sermata kinerja menunjukkan kriteria Cukup (C),
fungsi dan manfaat menunjukkan kriteria Sedang (D), di Pulau Luang kinerja
menunjukkan kriteria Cukup (C), fungsi menunjukkan kriteria Kurang (E) dan
manfaat menunjukkan kriteria Sedang (D), di Pulau Moa kinerja menunjukkan
kriteria Baik (B), fungsi menunjukkan kriteria Sedang (D) dan manfaat
menunjukkan kriteria Baik (B), di Pulau Leti kinerja menunjukkan kriteria
Baik (B), fungsi Cukup (C) dan manfaat Cukup (C), di Pulau Kisar kinerja
menunjukkan kriteria Cukup (C), fungsi Sedang (D) dan manfaat Baik (B),
di Pulau Wetar kinerja menunjukkan kriteria Baik (B) sedangkan fungsi dan
manfaat menunjukkan kriteria Sedang (D). Pada umumnya rata-rata kinerja,
fungsi dan manfaat embung embung menunjukkan kriteria Cukup (C).
2. Di Pulau Fordata, dan beberapa embung di Pulau Yamdena mengalami
kerusakan pada jaringan pipa transmisi dan pipa distribusi akibat pembakaran
ladang atau pembukaan kebun baru, sedangkan di Pulau Wetan dan Moa pada
umumnya embung dalam kondisi baik, karena selama musim hujan daerah
genangan dapat menampung air hujan dengan baik. Di Pulau Sermata sebagian
besar embung mengalami sedimentasi berat, sehingga mempengaruhi kapasitas
tampung embung.
3. Di Pulau Leti, Kisar dan Desa Luang Timur di Pulau Luang pada umumnya
embung berfungsi dengan baik, karena telah berhasil mengkonservasi air dan
lahan.
4. Pada umumnya kinerja bangunan embung menunjukkan kategori Baik (B) dan
Cukup (C), walaupun aspek fungsi dan manfaat ada yang berkriteria Kurang
(E), kerusakan-kerusakan yang ada tidak banyak mempengaruhi kinerja
bangunan, terutama dalam mengkonservasi air dan lahan.

Full Tema1.indb 85

24/10/2011 11:40:10

86

DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, H.R, Rais, J, Ginting, S.P, dan Sitepu, M.J, 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Delinom M. Robert, 2005. Sumber Daya Air di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia.
Departemen Kimpraswil, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air,
Sosialisasi NSPM, Pemberian Advis Teknik dan Uji Keandalan Mutu Tahun
2004, Penyediaan Air Baku di Pulau Kecil.
Dietriech G. Bengen, dan Retraubun Alex. S. W., 2006. Menguak Realitas dan
Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil.
Diposaptono, Subandono, Budiman, dan Firdaus, 2009. Menyiasati Perubahan
Iklim di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Ditjen Pengairan, Dep. PU, 1986. Neraca Air Pulau di Indonesia. Rencana
Pembangunan pengairan Jangka Panjang.
Danaryanto, Robert J. Kodoatie, Satriyo Hadipurwo dan Sri Sangkarwati.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008. Manajemen Air Tanah
Berbasis Konservasi.
Falkland, 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands : a Practical
Guide.
Hehanussa P.E. dan Hendra Bakti, 2004. Sumber Daya Air di Pulau Kecil
Kasiro Ibnu, Wanny Adi Dharma, Bhre Susantini Rusli, CL. Nugroho dan
Sunarto, 1994. Pedoman Kriteria Desain dan Embung Kecil untuk Daerah
Semi Kering di Indonesia.
Kodoatie, J. Robert, 1996. Pengantar Hidrogeologi.
Kodoatie, J. Robert, dan Sjarief Roestam, 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu.
Laurentia, S. J., 2009. Disertasi Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada
Pulau Kecil di Kawasan Kering Indonesia.
Maryono Agus dan Edy Nugroho Santoso, 2006. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk
Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan,
Mawardi, dkk, 2006. Pengembangan Sumber Daya Air di Pulau-Pulau Kecil
Terluar.
Pemerintah Provinsi Maluku, Maluku Dalam Angka 2010.
Sianipar dan Entang, Lembaga Administrasi Negara-Republik Indonesia.
Teknik-Teknik Analisis Manajemen. Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III.
Sugeng Budiharsono, 2005. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan.
Susanto Andriko Noto dan Syahrul Bustaman, 2006. Data dan Informasi Sumber
Daya Lahan untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah
Kepulauan Provinsi Maluku.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
W. Gulo, 2007. Metodologi Penelitian.

Full Tema1.indb 86

24/10/2011 11:40:10

Belajar Dari Embung Tambakboyo Di


Yogyakarta Untuk Mengatasi Masalah Sumber
Daya Air Di Pulau-Pulau Kecil Dan Pantai
Bambang Hargono
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak
Jl. Solo Km 6 Yogyakarta Telp (0274) 489172
bambang_hargono@gmail.com

Intisari
Kebutuhan air bersih meningkat seiring dengan peningkatan jumlah dan
aktivitas penduduk yang menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu.
Potensi sumberdaya air yang ada relatif tetap bahkan cenderung mengalami
penurunan kuantitas maupun kualitas sehingga diperlukan upaya-upaya untuk
mempertahankannya. Pertambahan jumlah dan aktivitas penduduk yang semakin
meningkat, tidak hanya di kawasan perkotaan, tetapi juga meluas ke kawasan
pesisir pantai. Daerah pesisir pantai, selain potensinya yang besar misalnya sebagai
kawasan wisata dan perikanan, juga merupakan daerah dengan permasalahan
lingkungan yang relatif kompleks, untuk itu dituntut penyediaan sumber-sumber air
bersih yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat di daerah
pesisir. Banyak cara dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan penyediaan
dan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat di daerah pesisir, antara lain dengan
pembuatan sumur dangkal, penampungan air hujan, membendung sungai, dan
sebagainya.
Permasalahan yang ada di pulau-pulau kecil antara lain kelembaban udara yang
tinggi, curah hujan yang sedikit, kemiringan lereng yang landai dan luasan wilayah
yang relatif sempit menyebabkan hujan menjadi kurang dapat dimanfaatkan
secara optimal dan sebagian air langsung mengalir ke laut. Sehingga akan sangat
bermanfaat sekali apabila potensi hujan yang ada di kawasan ini dimanfaatkan
dengan semaksimal mungkin, antara lain dengan menampung air hujan pada suatu
tempat atau dengan cara yang lain.
Penampungan air dan pembendungan sungai merupakan cara yang efektif dilakukan
dengan pertimbangan berbagai macam fungsinya. Salah satu contoh upaya
pembendungan sungai adalah pembuatan Embung Tambakboyo di Yogyakarta.
Embung Tambakboyo dibangun dengan tujuan untuk melakukan konservasi sumber
daya air baik airtanah maupun air permukaan disamping itu dapat menaikkan muka
airtanah (terbukti dari pemantauan di lapangan terhadap kenaikan muka air sumur).
Cara ini merupakan salah satu bentuk konservasi sumber daya airtanah, yang tidak
hanya berfungsi untuk memanfaatkan air hujan dengan lebih maksimal melainkan
juga mempunyai berbagai fungsi, antara lain untuk pemenuhan irigasi, kebutuhan
air penduduk, rekreasi, penggelontoran sungai dan sebagainya. Meskipun Embung
Tambakboyo dibangun di ketinggian 147 mdpal yang jauh dari pesisir, tetapi

87

Full Tema1.indb 87

24/10/2011 11:40:10

88

melihat keberlanjutan dalam menaikkan muka air tanah maka besar kemungkinan
cara ini bisa diterapkan di daerah pesisir yang material tanahnya tidak jauh berbeda.
Studi kasus di atas dapat diterapkan di daerah lain khususnya di daerah kepulauan
sepanjang mempunyai kondisi fisik lingkungan yang mendekati atau hampir
sama, seperti kondisi geologi dan batuannya, dengan tujuan untuk menyelesaikan
permasalahan sumber daya air yang ada di kawasan tersebut sehingga potensi air
yang ada bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dari segi lingkungan, pengisian air
tawar di daerah pesisir amat penting. Air tanah yang tawar ini berfungsi sebagai
penahan tekanan air laut agar tidak masuk ke dalam akuifer airtanah.
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumber daya air yang
cukup besar. Akan tetapi, memang tidak dapat dipungkiri, selama ini yang terjadi
bahwa perhatian terhadap fenomena dan permasalahan sumber daya air masih
terkonsentrasi di pulau-pulau besar dengan penduduk padat. Wilayah kepulauan,
khususnya daerah pesisir dan pantai merupakan kawasan dengan potensi yang
cukup besar serta dengan keragaman ekosistem.
Permasalahan yang relatif banyak di daerah pulau-pulau kecil, pantai dan pesisir
seperti kelembaban udara yang tinggi, curah hujan yang sedikit, kemiringan lereng
yang landai dan luasan wilayah yang relatif sempit menyebabkan hujan menjadi
kurang dapat dimanfaatkan secara optimal dan sebagian air langsung mengalir
ke laut. Sehingga akan sangat bermanfaat sekali apabila potensi hujan yang ada
di kawasan ini dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, antara lain dengan
menampung air hujan pada suatu tempat atau dengan cara yang lain. Penampungan
air tersebut dapat berupa embung.
Embung secara definitif merupakan kolam berbentuk persegi empat (atau hampir
persegiempat) yang menampung air hujan dan air limpasan di lahan sawah
tadah hujan yang berdrainase baik. Embung disebut juga waduk lapangan dan
didefinisikan sebagai tempat/wadah penampung air irigasi pada waktu terjadi surplus
air di sungai atau pada saat hujan. Fungsi embung sangat erat kaitannya dengan
air dan siklus hidrologis di permukaan tanah. Secara alami, embung merupakan
cekungan yang dapat menampung airtanah dan limpasan air permukaan. Dengan
demikian keberadaaan embung dapat mencegah terjadinya bencana banjir pada
musim penghujan dan mencegah kekeringan pada musim kemarau. Embung juga
dapat mencegah meluasnya intrusi air laut ke daratan karena embung merupakan
pemasok airtanah. Selain pemasok airtanah embung juga merupakan pemasok air
bagi kantung-katung air lain seperti sungai, rawa dan sawah. Pembangunan embung
dapat menjadi sumber air bagi sumur-sumur pantek atau bor di sekitarnya (Puspita
Lani, 2005).
Embung umumnya dibangun di wilayah pedesaan dan difungsikan sebagai kantung
irigasi di wilayah pedesaan, namun tidak demikian dengan Embung Tambakboyo.
Embung Tambakboyo terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Embung
tersebut justru dibangun di daerah perkotaan yang sarat dengan permukiman
peduduk. Embung Tambakboyo membendung Sungai Tambakbayan dan Sungai
Buntung di bagian hilirnya. Pembangunan embung tersebut didasarkan pada upaya

Full Tema1.indb 88

24/10/2011 11:40:10

89

konservasi sumber daya air. Pertumbuhan permukiman di Daerah Aliran Sungai


(DAS) Tambakbayan mengakibatkan keseimbangan hidrologi di DAS tersebut
terganggu, karena selain daerah resapan air yang menyempit, mengakibatkan
pengisian kembali (recharge) air tanah berkurang, ekspoitasi air tanah meningkat
karena sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut memanfaatkan air tanah
dengan membuat sumur dangkal untuk kebutuhan sehari-hari. Diharapkan dengan
adanya Embung Tambakboyo tersebut, recharge airtanah pada sumur sekitar
embung dapat mengalami kenaikan.
Pengembangan embung yang dikonsentrasikan di wilayah luar pedesaan telah
memberikan corak baru dalam berbagai aspek konservasi sumberdaya air. Embung
dibangun tidak hanya di wilayah pedesaan saja, melainkan dapat ditempatkan di
wilayah pulau-pulau kecil, pantai dan pesisir dengan mempertimbangkan aspek
fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Aspek penting sesuai tidaknya embung
dibangun pada daerah pesisir adalah aspek fisik. Aspek fisik ini termasuk jenis
material penyusun pantai. Berdasarkan material penyusunnya, pantai dibedakan
menjadi:
1. Pantai Batu (rocky shore), yaitu pantai yang tersusun oleh batuan induk yang
keras seperti batuan beku atau sedimen yang keras.
2. Beach, yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas. Pantai tipe ini dapat
dibedakan menjadi:
a. Sandy beach (pantai pasir), yaitu bila pantai tersusun oleh endapan pasir.
b. Gravely beach (pantai gravel, pantai berbatu), yaitu bila pantai tersusun oleh
gravel atau batuan lepas.
3. Pantai bervegetasi, yaitu pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi pantai.
Di daerah tropis, vegetasi pantai yang dijumpai tumbuh di sepanjang
garis pantai adalah mangrove sehingga dapat disebut Pantai Mangrove.
(http://younggeomorphologys.wordpress.com/2010)
2. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Wilayah pesisir/pantai adalah suatu kawasan yang lebarnya bervariasi, yang
mencakup tepi laut (shore) yang meluas kearah daratan hingga batas pengaruh
marin masih dirasakan. Dengan kata lain bahwa Wilayah pantai/pesisir merupakan
suatu daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh
sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, intrusi air laut yang dicirikan oleh
vegetasinya yang khas. Sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup
bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua, dimana ciri-ciri perairan
ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi
dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Pulau-pulau kecil, pantai dan pesisir mempunyai karakteristik khususnya sumber
daya air yang unik, yang berpotensi untuk dikembangkan. Karakteristik sumber
daya air di wilayah kepulauan pada umumnya ditandai dengan pendeknya badanbadan sungai dan daerah tangkapan air yang terbatas, terkonsentrasinya penduduk
pada wilayah muara dan pantai.

Full Tema1.indb 89

24/10/2011 11:40:10

90

Daerah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, selain potensinya yang besar, juga
merupakan daerah dengan berbagai permasalahan lingkungan yang relatif kompleks.
untuk itu dituntut penyediaan sumber-sumber air bersih yang dapat mendukung
pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat di daerah pesisir. Permasalahan yang
ada di pulau-pulau kecil, kawasan pantai dan pesisir antara lain kelembaban udara
yang tinggi, curah hujan yang sedikit, intrusi air laut, kemiringan lereng yang landai
dan luasan wilayah yang relatif sempit yang menyebabkan hujan menjadi kurang
dapat dimanfaatkan secara optimal dan sebagian air langsung mengalir ke laut.
Sehingga akan sangat bermanfaat sekali apabila potensi hujan yang ada di kawasan
ini dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, antara lain dengan menampung air
hujan pada suatu tempat atau dengan cara yang lain. Untuk itu dituntut penyediaan
sumber-sumber air yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan air bagi
masyarakat di daerah pesisir.
Hujan yang relatif tidak tinggi di daerah pulau-pulau juga merupakan tantangan
agar hujan yang ada dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendukung
kehidupan di wilayah tersebut. Sungai yang umumnya mempunyai badan sungai
yang pendek dapat dioptimalkan dengan cara membendung atau menahan air sungai,
dalam bentuk waduk, embung, atau dengan reservoir, sehingga air sungai tidak
langsung terbuang ke laut. Air sungai yang tertahan juga dapat mengalir secara
lateral untuk mengisi air tanah di sekitarnya. Banyak lagi cara yang dapat dilakukan
untuk memanfaatkan potensi hujan yang ada, antara lain dengan pembuatan sumur
dangkal, penampungan air hujan, membendung sungai seperti telah disebutkan di
atas, dan sebagainya.
Di Yogyakarta terdapat satu contoh upaya pembendungan atau menahan air sungai,
yaitu di Embung Tambakboyo. Permasalahan sumber daya air di Yogyakarta,
diantaranya turunnya muka air tanah, meningkatnya permintaan kebutuhan air,
penggelontoran kota dan sebagainya, merupakan alasan utama dibangunnya Embung
Tambakboyo. Embung Tambakboyo dibangun pada lokasi yang strategis yang
dikelilingi oleh permukiman penduduk, tepatnya terletak di Dusun Tambakboyo, di
hilir pertemuan sungai Tambakboyo dan Sungai Buntung, sedangkan genangannya
meliputi Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman dan Desa
Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
Embung Tambakboyo yang terletak di tengah Kota Yogyakarta, dengan kondisi
yang sebelumnya merupakan daerah penambangan pasir, selain itu daerah ini juga di
jadikan sebagai tempat pembuangan akhir sampah, dan telah tercemar oleh bakteri
e coli dari pembuangan limbah rumah tangga. Air yang terbendung di Embung
Tambakboyo ini selain untuk keperluan suplai air untuk penduduk Kota Yogyakarta,
juga dapat mengalir secara lateral mengisi air tanah di sekitar embung (terbukti
dari pemantauan di lapangan terhadap kenaikan muka air sumur). Terbangunnya
Embung Tambakboyo ini memberikan banyak manfaat positif bagi penduduk sekitar
dan di Kota Yogyakarta, karena tujuan awal pembangunan yang diharapkan dapat
tercapai, yaitu sebagai bentuk konservasi sumber daya air dengan hasil yang nyata
yakni menstabilkan ketersediaan air di sumur-sumur milik penduduk. Gambar 1.
menjelaskan sampel untuk pemantauan kenaikan tinggi muka airtanah di sekitar
Embung Tambakboyo Yogyakarta.

Full Tema1.indb 90

24/10/2011 11:40:10

91

Gambar 1. Lokasi Pemantauan Muka Airtanah di sekitar Embung Tambakboyo


Dengan kata lain bahwa Embung Tambakboyo telah memberikan banyak manfaat
bagi penduduk di Kota Yogyakarta, yang nyata nampak dengan naiknya muka
airtanah. Fungsi lain dari embung ini adalah sebagai paru-paru kota, persediaan air
baku di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, sarana rekreasi, serta peningkatan
ekonomi masyarakat sekitar embung. Berdasarkan pengamatan yang sudah
dilakukan terlihat bahwa Embung Tambakboyo dapat meningkatkan tinggi muka
airtanah secara radial kurang lebih sampai pada jarak 550 m dari embung. Hal ini
terlihat dari rekaman pengamatan tinggi muka airtanah bahwa dari waktu ke waktu
sumur sumur penduduk mengalami peningkatan tinggi muka airtanah. Penelitian
dilakukan pada 18 sumur gali milik penduduk di sekitar Embung Tambakboyo.
Sumur gali yang diamati adalah seluruh sumur pada radius 20-550 m dari Embung
Tambakboyo. Hasil pemantauan muka air tanah disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemantauan Muka Airtanah di sekitar Embung Tambakboyo
Jarak
No
dari
Sumur Embung
(m)
1
20
2
20
3
23
4
23
5
34
6
40
7
40
8
40
9
50

Full Tema1.indb 91

Tinggi Muka Airtanah (m)


Nov
08
2.6
2.63
3.7
1
1.83
2.7
1.49
0.97
1.49

Des
08
5.65
2.63
3.77
0.3
2.91
3.4
1.86
0.02
1.49

Jan
09
5.65
5.65
3.7
2.14
2.96
3.4
1.86
0.81
2.07

Feb Maret April


09
09
09
1.99 2.15 5.67
1.99 2.15 5.7
3.32 4.5
3.72
2.26 2.28 2.23
2.61 3.27 3.2
3.55 3.65 3.36
1.56 1.75 1.74
0.8
1.04 0.99
2.57 2.24 2.18

Mei
09
2.31
5.65
3.85
2.17
3.08
3.32
1.73
0.96
2.11

Juni
09
5.67
5.65
3.74
2.17
2.99
3.47
1.88
0.83
2.09

Kenaikan
Muka Air tanah se-telah
8 bln (m)
3.07
3.02
0.04
1.17
1.16
0.77
0.39
-0.14
0.6

24/10/2011 11:40:11

92

Jarak
No
dari
Sumur Embung
(m)
10
50
11
80
12
88
13
88
14
100
15
400
16
500
17
500
18
550

Tinggi Muka Airtanah (m)


Nov
08
3.02
3.27
3.2
3.12
2.3
2.08
2.48
2.86
0.15

Des
08
3.02
3.27
3.68
3.12
2.3
3.03
2.75
1.86
0.72

Jan Feb Maret April


09
09
09
09
2.83 2.63 3.34 3.63
3.32 3.26 3.7
3.77
3.68 3.62 3.62 3.73
3.1
3.05 3.36 3.23
2.3
2.8
3.01 3.07
3.03 3.61 1.63 3.1
3.16 3.09 3.64 3.59
3.24 3.7
3.12 3.65
0.72 1.03 0.1
1.02
Rata-rata

Mei
09
4.46
3.87
3.86
3.12
3.13
3.61
3.56
3.61
0.95

Juni
09
4.42
3.85
4.41
3.12
2.32
3.07
3.18
3.26
0.76

Kenaikan
Muka Air tanah se-telah
8 bln (m)
1.4
0.58
1.21
0
0.02
0.99
0.7
0.4
0.61
0.89

Berdasarkan hasil pemantauan muka airtanah dalam kurun waktu 8 bulan, secara
umum terjadi kenaikan muka airtanah. Rata-rata kenaikan muka airtanah adalah
0.89 meter. Kenaikan tertinggi muka airtanah berada pada jarak 20 meter dari
embung yaitu 3.07 meter pada sumur 1, sedangkan sumur gali yang tidak mengalami
kenaikan muka airtanah berada pada jarak 88 meter dari embung yaitu 0 meter pada
sumur 13. Kenaikan tertinggi pada sumur 1 disebabkan karena secara spasial sumur
tersebut paling dekat dengan embung, selain itu tingkat kerapatan permukiman di
daerah ini juga relatif rendah sehingga pengambilan airtanahnya juga relatif sedikit.
Tidak semua sumur mengalami kenaikan muka airtanah. Pada sumur 13, muka
airtanah pada awal pengukuran November 2008 hingga Juni 2009, muka airtanah
terhitung tetap. Bahkan pada sumur 8, muka airtanah justru menurun setelah 8 bulan
pengukuran. Hal ini karena kepadatan penduduk pada daerah tersebut lebih tinggi
daripada daerah yang lebih dekat dengan embung sehingga pengambilan airtanah
juga lebih banyak. Hubungan jarak sumur dengan kenaikan muka airtanah disajikan
pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan jarak sumur dengan kenaikan muka airtanah

Full Tema1.indb 92

24/10/2011 11:40:12

93

Berdasarkan grafik tersebut, dari 18 titik sumur yang diamati di sekitar embung,
terdapat kecenderungan bahwa semakin jauh jarak dari embung, maka kenaikan
muka airtanahnya juga semakin sedikit. Jarak terjauh pengamatan adalah 550 meter
dari embung masih terdapat kenaikan muka airtanah 0.61 meter. Sampai sejauh
mana pengaruh embung terhadap kenaikan muka airtanah diperlukan pengamatan
dan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan arah alirannya, tipe sungai Tambakboyo dan Buntung adalah tipe
efluent, bahwa air sungai memberi pengaruh pada airtanah. Airtanah mendapatkan
suplai dari air sungai karena permukaan sungai lebih tinggi dari muka airtanah. Fakta
yang ada di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan muka airtanah
secara periodik dengan rata-rata 0.89 meter. Hal ini merupakan dampak positif
dari pembuatan embung, terbukti bahwa pembangunan Embung Tambakboyo ini
dapat meningkatkan ketersediaan airtanah di sekitar Embung Tambakboyo yang
sebelumnya memang sudah kekurangan air tanah. Cara ini merupakan salah
satu bentuk konservasi sumber daya airtanah, yang tidak hanya berfungsi untuk
memanfaatkan air hujan dengan lebih maksimal melainkan juga mempunyai
berbagai fungsi, antara lain untuk pemenuhan irigasi, kebutuhan air penduduk,
rekreasi, penggelontoran sungai dan sebagainya.
Studi kasus di atas dapat diterapkan di daerah lain khususnya di daerah kepulauan
sepanjang mempunyai kondisi fisik lingkungan yang mendekati atau hampir sama,
seperti kondisi geologi dan batuannya. Material di daerah ini mempunyai sifat
andesitis berupa batuan endapan volkanik merapi muda yang tersusun atas batupasir
berbutir halus menengah hingga halus, sehingga batuan ini mempunyai permeabilitas
yang cukup besar (Sir M.Mac Donald&Patners, 1984). Apabila dibandingkan
dengan Pantai Selatan Provinsi DIY yang terletak 50 km sebelah selatan Embung
Tambakboyo, material di daerah ini sebagian besar tersusun dari pasir halus, pasir
kasar dan lanau akibat rombakan bahan alluvial. Hal yang ditekankan adalah kedua
wilayah tersebut mempunyai tingkat kelulusan air yang relatif sama, sehingga dari
segi material, pembendungan embung dapat diterapkan di wilayah Pantai Selatan
Provinsi DIY. Menurut material penyusunya, Pantai Selatan Provinsi DIY termasuk
tipe sandy beach, yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas berupa endapan
pasir. Tipe pantai ini merupakan tipe pantai yang sesuai untuk pembuatan embung.
Embung yang dibangun di daerah ini, selain berfungsi menampung airtanah juga
berfungsi untuk mencegah agar tidak terjadi intrusi air laut ke darat. Upaya tersebut
di atas dilakukan agar permasalahan sumber daya air yang ada di kawasan pulaupulau kecil, pantai dan pesisir sehingga potensi air yang ada dengan keterbatasannya
dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Seperti telah disebutkan pada sub bab terdahulu, pembangunan embung di pulaupulau kecil dan pantai ini diharapkan juga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut
akibat pengambilan air tanah. Dengan air tanah yang banyak dapat menahan tekanan
air laut untuk masuk ke dalam akuifer airtanah. Selain itu, embung yang dibuat
di daerah pulau-pulau kecil dan pantai ini dapat difungsikan untuk peningkatan
pertanian di kawasan pantai sebagai contoh di kawasan pantai selatan Yogyakarta.
Untuk keperluan irigasi pertanian diperoleh dari drainase yang dipompa kemudian
ditampung di reservoir yang dibangun di puncak bukit gosong-gosong pasir dan
kemudian disalurkan dalam bentuk sumur renteng. Hal yang sama juga bisa

Full Tema1.indb 93

24/10/2011 11:40:12

94

dilakukan di daerah pulau-pulau kecil dan pantai yang disesuaikan dengan kondisi
lingkungan yang ada sehingga permasalahan sumber daya air di pulau-pulau kecil
dan pantai dapat teratasi disamping juga lingkungan juga tetap terjaga.
Beberapa hal yang penting yang dapat dijadikan kesimpulan dari pembahasan
tersebut di atas antara lain bahwa:
1. Saat ini diperlukan upaya pengelolaan sumber daya air dengan cara menampung
air sebanyak-banyaknya kedalam suatu tampungan untuk digunakan pada saat
musim kemarau.
2. Upaya pembendungan sungai/penampungan air seperti di Embung Tambakboyo
merupakan salah satu bentuk konservasi sumber daya airtanah, yang tidak hanya
berfungsi untuk memanfaatkan air hujan dengan lebih maksimal melainkan juga
mempunyai berbagai fungsi, antara lain untuk pemenuhan irigasi, kebutuhan
air penduduk, rekreasi, penggelontoran sungai dan sebagainya.
3. Studi kasus Embung Tambakboyo dapat diterapkan di daerah lain khususnya
di daerah pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir pantai sepanjang mempunyai
kondisi fisik lingkungan yang mendekati atau hampir sama, seperti kondisi
geologi dan batuannya dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan
sumber daya air yang ada di kawasan tersebut sehingga potensi air yang ada
bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Ucapan Terima Kasih
Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Panitia Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) XXVIII Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI)
tahun 2011 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berperan
serta dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXVI Himpunan Ahli Teknik
Hidraulik Indonesia (HATHI) tahun 2009 sekaligus penggunaan sebagian data
untuk penulisan artikel ini.
Daftar Pustaka
Anonim, 2007, Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air. Sekretaris Negara. Jakarta.
Anonim, 2011, http://younggeomorphologys.wordpress.com/2010. 12 September 2011
Daily, G.C., S. Alexander, P.R. Ehrlich, L. Goulder, J. Lubchenco, P.A. Matson, H.A.
Mooney, S. Postel, S.H. Schneider, D. Tilman, and G.M. Woodwell, 1997.
Ecosystem Services: Benefits Supplied to Human Societies by Natural Ecosystems.
Issues in Ecology Nr. 2 1997. Published by the Ecological Society of America.
Moeliono, I., 1997, Partisipasi Manupulatif: Catatan Refleksi Tentang Pendekatan PRA
Dalam Pembangunan, http/www.balaidesa.com, Diakses Tanggal 18 Mei 2005.
Puspita, L., 2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetlands International. Bogor.
Soemarwoto, O., 1997, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangungan (Edisi Revisi),
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Todd, D.K., 1980, Ground-Water Hydrology (Second Edition). John Wiley and Sons,
New York.

Full Tema1.indb 94

24/10/2011 11:40:12

Pemberian Air Secara Rotasi untuk


Meningkatkan Efektivitas Air Irigasi
Widandi Soetopo, Dwi Priyantoro
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jl. M.T. Haryono 167 Malang 65145
wid131835@yahoo.co.id

Intisari
Air irigasi merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam usaha menghasilkan
produksi tanaman irigasi. Sementara kebutuhan akan produksi tanaman irigasi
terus meningkat, maka sebaliknya ketersediaan air untuk irigasi cenderung untuk
tetap atau bahkan menurun. Untuk dapat mengatasi kondisi ini, perlu diterapkannya
cara-cara pemberian air irigasi dengan efektivitas tinggi.
Dari berbagai acuan yang ada, maka pemberian air secara rotasi merupakan suatu
cara untuk tetap mempertahan luasan tanaman irigasi dengan pasokan air irigasi
yang kurang tanpa secara banyak menurunkan produksi tanaman irigasi. Dengan
kata lain maka rotasi dapat meningkatkan efektivitas air irigasi. Dalam studi pada
tulisan ini, dibahas mengenai peningkatan efektivitas air irigasi akibat pemberian
air irigasi secara rotasi dengan memperhitungkan dua faktor lain, yaitu curah hujan
dan kehilangan air pada saluran pembawa.
Hasil studi ini adalah berupa indikasi pengaruh pemberian air secara rotasi terhadap
efektivitas air irigasi. Dengan demikian akan membuka peluang untuk dapat
menyusun distribusi air irigasi secara lebih efektif pada kondisi ketersediaan air
irigasi yang terbatas.
Kata kunci: rotasi, efektivitas, irigasi.
Pendahuluan
Air irigasi merupakan faktor penentu akan besarnya produksi tanaman pada lahan
irigasi. Semakin tercukupinya kebutuhan air irigasi maka produksi lahan irigasi
akan semakin mendekati nilai maksimum. Dapat dikatakan bahwa air irigasi me
rupakan aset yang sangat berharga dalam menghasilkan produksi tanaman irigasi.
Akan tetapi ketersediaan daripada air, termasuk air irigasi, menjadi semakin
terbatas baik secara spasial maupun temporal. Hal ini tak terlepas dalam kaitannya
dengan realitas yang ada seperti halnya pemanasan global, berkurangnya hutan
tropis, menyempitnya lahan pertanian, meluasnya pemukiman penduduk, dan
seterusnya. Karenanya diperlukan cara pengelolaan yang dapat meningkatkan
efektivitas dari penggunaan air irigasi. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan
tentang hubungan antara pemberian air irigasi dengan produksi panen yang
dihasilkan oleh tanaman irigasi.
95

Full Tema1.indb 95

24/10/2011 11:40:12

96

Untuk dapat mengidentifikasi strategi irigasi yang optimal membutuhkan modelmodel yang lebih detail tentang hubungan antara air yang diberikan, produksi ta
naman, dan efisiensi irigasi (English et.al., 2002). Irigasi yang optimal mengimpli
kasikan pemberian air yang lebih rendah dibandingkan dengan cara konvensionil.
Penggunaan air yang menurun selanjutnya akan mengarahkan pada potensi efisiensi
irigasi yang lebih besar dan penurunan dampak terhadap lingkungan.
Kumar et.al. (2006) telah merumuskan model optimasi yang memaksimumkan
besarnya jumlah total panen relatif daripada semua jenis tanaman di petak-petak
irigasi. Model ini memperhitungan berbagai faktor-faktor yaitu debit inflow waduk,
curah hujan yang jatuh di petak-petak irigasi, persaingan penggunaan air antar ber
bagai jenis tanaman dalam semusim, dinamika kelembaban tanah di lahan, sifat
heterogen tanah, dan respon tanaman terhadap penerapan tingkat pemberian air.
Haque et al. (2004) telah menyajikan suatu model skedul pemberian air irigasi untuk
tanaman padi di Pantai Timur Malaysia. Model ini lalu digunakan untuk menghi
tung berbagai skenario dari pemberian air irigasi. Prosedurnya menggunakan pen
dekatan keseimbangan air dimana curah hujan dianggap sebagai variabel stokastik.
Hasilnya menunjukkan bahwa model ini mampu untuk menghemat air irigasi seba
nyak 19% untuk musim utama dan 11% untuk di luar musim apabila dibandingkan
dengan skedul irigasi tradisional.
Soetopo & Priyantoro (2010) telah mendiskusikan pengaruh pemberian air iri
gasi secara rotasi terhadap tingkat produksi tanaman irigasi. Ternyata cara rotasi
mempunyai potensi untuk menjaga tingkat produksi tanaman irigasi dengan jumlah
pasokan air yang berkurang.
Pada banyak studi optimasi yang telah dilakukan, maka tujuannya adalah untuk
mendapatkan produksi tanaman yang setinggi mungkin dengan menggunakan
pasokan air irigasi dengan jumlah yang tertentu. Pada studi yang disajikan pada
tulisan ini, dibahas mengenai peningkatan efektivitas pemberian air irigasi akibat
pemberian air irigasi secara rotasi. Dengan demikian maka pasokan air irigasi yang
jumlahnya terbatas dapat dimanfaatkan dengan lebih merata secara efektif.
Hubungan antara Produksi Tanaman Irigasi
dengan Pemberian Air
Apabila banyaknya air irigasi yang diberikan kepada tanaman (applied water) ada
lah sesuai dengan jumlah kebutuhan air irigasinya secara penuh (100%), maka
produksi panennya (yield) juga akan mencapai 100% menurut spesifikasi tanaman
tersebut. Sementara jika pemberian air irigasi di bawah 100%, maka produksi pa
nennya juga di bawah 100%. Adapun bentuk umum hubungan antara pemberian air
relatif (relative applied water - AWr) dengan produksi panen relatif (relative yield
- Yr) dapat dilihat pada Gambar 1 berikut (English, 2002).

Full Tema1.indb 96

24/10/2011 11:40:12

Produksi Panen Relatif (Yr)

97

0.5

0
0

0.5

Pem berian Air Relatif (AWr)

Gambar 1. Hubungan Pemberian Air Relatif (AWr)


dengan Produksi Panen Relatif (Yr)
Sampai dengan nilai AWr sekitar 50%, maka Yr cenderung naik secara linier.
Setelah untuk hubungan berbentuk kurvilinier, sebagai akibat daripada percepatan
meningkatnya kehilangan akibat evaporasi permukaan yang meluas, runoff, dan
perkolasi yang dalam. Dapat dilihat bahwa untuk AWr di atas 100% maka Yr
kembali menurun yang menunjukkan terjadinya pemberian air irigasi yang berle
bihan (over-irrigation) yang mengakibatkan kondisi-kondisi zona akar anaerobik,
penyakit, dan pencucian unsur hara.
Pemberian air irigasi dengan cara rotasi
Apabila terjadi kondisi dimana jumlah air yang tersedia tidak mencukupi untuk
mengairi seluruh lahan irigasi sebanyak 100% daripada kebutuhan air, maka dalam
hal ini ada dua pilihan:
1. Memberi 100% kebutuhan air hanya pada sebagian lahan irigasi yang luasnya
sesuai dengan jumlah air yang tersedia (AWr = 100%).
2. Membagi air ke seluruh lahan irigasi dengan Pemberian Air Relatif (AWr) yang
seragam sebesar sesuai dengan jumlah air yang tersedia (AWr < 100%).
Apabila mengacu kepada Fungsi Produksi Tanaman Irigasi sebagaimana yang
ditampilkan pada Gambar 1 yang menyatakan hubungan antara AWr (Pemberian
Air Relatif) dengan Yr (Produksi Panen Relatif), maka pilihan ke-2 yang akan
menghasilkan Produksi Tanaman Irigasi yang lebih besar khususnya untuk nilai
AWr di antara 50% dan 100%. Hal ini disebabkan oleh karena bentuk hubungan
yang kurvilinier untuk AWr pada kisaran nilai-nilai tersebut.
Selanjutnya apabila jumlah air yang tersedia mendekati 100% dari kebutuhan air
irigasi (80%), maka pemberian air irigasi dapat dilakukan secara serempak di
semua petak-petak. Tetapi apabila ketersediaan air di bawah 80% dari kebutuhan
air irigasi, maka dilakukan pemberian air secara giliran atau disebut juga pemberian
air secara rotasi (intermittent irrigation). Alasan daripada pemberian air dengan
cara rotasi ini adalah sebagai berikut:

Full Tema1.indb 97

24/10/2011 11:40:12

98

1. Adalah lebih mudah untuk melakukan penjatahan menurut waktu dengan jumlah air irigasi yang sudah ditetapkan baik dari segi pelaksanaan maupun pengawasan. Penjatahan menurut waktu akan lebih mudah untuk diingat oleh para
petani.
2. Jumlah air yang hilang dalam pengaliran lewat saluran pembawa akan menjadi
lebih kecil karena pengiriman air yang lebih terpusat hanya pada petak-petak
tertentu saja setiap kalinya.
3. Para petani di lapangan sudah terbiasa dengan kondisi pemberian air secara
penuh (100% kebutuhan air irigasi) walaupun dilakukan dalam jangka waktu
yang lebih singkat (giliran).
Rumus untuk lamanya (durasi) pemberian air pada setiap giliran adalah sebagai
berikut:
(1)
Dengan menggunakan rumus Pers.(1) tersebut maka dapat disusun jadwal pemberian
air irigasi sedemikian hingga setiap petak mendapatkan nilai AWr yang seragam.
Efektivitas Air Irigasi pada Pemberian Air dengan cara Rotasi
Menurut hubungan antara pemberian air relatif (AWr) dengan produksi panen relatif
(Yr), yang dinyatakan pada Gambar 1, maka kondisi pemberian air secara rotasi ini
akan mengakibatkan produksi panen di bawah 100% dari produksi panen dengan
pemberian air secara penuh (100%). Efektivitas Air Irigasi dalam hal ini didefi
nisikan sebagai nisbah antara Yr dan AWr ( Yr/AWr). Dengan menggunakan ga
ris hubungan antara AWr dan Yr tersebut, maka dilakukan simulasi nilai Yr untuk
berbagai nilai AWr yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Efektivitas Air Irigasi

Full Tema1.indb 98

Pemberian Air Relatif


(AWr)

Produksi Panen Relatif


(Yr)

Efektivitas Air Irigasi

0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1

0,000000
0.159717
0.326394
0.493852
0.639430
0.758327
0.852658
0.922940
0.968937
0.993015
1.000000

--1.597
1.632
1.646
1.599
1.517
1.421
1.318
1.211
1.103
1.000

24/10/2011 11:40:12

99

Faktor Tambahan Air Hujan


Realitasnya di lapangan menunjukkan akan terdapat komponen curah hujan yang
langsung jatuh di petak-petak irigasi. Nilai curah hujan ini akan memberikan
kontribusi pada nilai pemberian air (AWr). Bahkan pada periode-periode tertentu
dalam masa tanam, air hujan sudah mencukupi (atau bahkan melebihi) kebutuhan
air irigasi. Dalam hal ini maka pengaruh dari pemberian air (yang berasal dari
bangunan sadap misalnya) akan berbeda. Tabel 2 menunjukkan berbagai tingkat
Efektivitas Air Irigasi akibat Pemberian Air (AWr) di bawah pengaruh kontribusi air
hujan yang besar bervariasi di lahan irigasi.
Tabel 2. Efektivitas Air Irigasi dengan adanya Kontribusi Air Hujan
Total Pemberian Air
Relatif
(AWr)

0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0

EFEKTIVITAS AIR IRIGASI


dengan kontribusi relatif air hujan sebesar
0
1.517
1.421
1.318
1.211
1.103
1.000

0.1
1.497
1.386
1.272
1.156
1.042
0.934

0.2
1.440
1.316
1.193
1.071
0.952
0.842

0.3
1.322
1.196
1.073
0.950
0.832
0.723

0.4
1.189
1.066
0.945
0.824
0.707
0.601

Selanjutnya pada Tabel 3 ditunjukkan berbagai tingkat Efektivitas Air Irigasi akibat
Pemberian Air (AWr) di bawah kondisi kehilangan air yang besar bervariasi di
saluran pembawa.
Tabel 3. Efektivitas Air Irigasi dengan adanya Kehilangan Air di Saluran Pembawa
Total Pemberian Air
Relatif
(AWr)

0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0

EFEKTIVITAS AIR IRIGASI


dengan kehilangan air relatif di saluran pembawa sebesar
0
1.517
1.421
1.318
1.211
1.103
1.000

0.1
1.365
1.279
1.187
1.090
0.993
0.900

0.2
1.213
1.137
1.055
0.969
0.883
0.800

0.3
1.062
0.995
0.923
0.848
0.772
0.700

0.4
0.910
0.853
0.791
0.727
0.662
0.600

Pembahasan
Dari hasil simulasi berbagai nilai-nilai Pemberian Air Relatif (AWr) di bawah
kondisi adanya Kontribusi Air Hujan dan Kehilangan Air di saluran pembawa, yang
menghasilkan berbagai tingkat Produksi Panen Relatif (Yr), maka dapat dikemuka
kan hal-hal berikut.
1. Bentuk umum hubungan antara pemberian air relatif (AWr) dengan produksi
panen relatif (Yr) mengindikasikan bahwa secara umum pemberian air irigasi
secara rotasi akan meningkatkan efektivitas air irigasi. Bentuk kurvilinier dari
hubungan antara AWr dan Yr untuk nilai AWr di atas 50% memperkuat alasan
untuk dilakukannya pemberian air secara rotasi, khususnya untuk nilai AWr (ketersediaan air) di atas 50%.

Full Tema1.indb 99

24/10/2011 11:40:13

100

2. Efektivitas air irigasi paling besar adalah untuk kondisi tanpa curah hujan dan
tanpa kehilangan air di saluran pembawa. Hal ini mengindikasikan bahwa air
irigasi terkontrol sebaiknya dialokasikan terutama ke petak-petak yang tidak
atau sedikit mendapatkan curah hujan, dan juga ke petak-petak terdekat dimana
kehilangan air selama pengiriman lewat saluran pembawa adalah kecil.
3. Semakin besar kontribusi (relatif) curah hujan, maka semakin kecil pula efek
tivitas air irigasi. Demikian pula semakin besar kehilangan air (relatif), maka
semakin kecil pula efektivitas air irigasi.
4. Semakin besar Total Pemberian Air [relatif], maka semakin kecil pula efektivitas
air irigasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian air secara rotasi akan me
ningkatkan Efektivitas Air Irigasi.
5. Yang dimaksud dengan Produksi Panen 100% adalah hasil panen apabila pem
berian air (sudah ditambah curah hujan dan dikurangi kehilangan air di saluran
pembawa) adalah 100% dari kebutuhan air tanaman menurut spesifikasi perencanaan tanam, yaitu di bawah kondisi pengelolaan pertanian yang tertentu (pemilihan bibit, pengolahan lahan, pemberian pupuk, pengaruh hama dan gulma).
Hal ini berarti bahwa nilai mutlak dari Yr (produksi panen) akan bervariasi antar
lokasi tergantung daripada kondisi pengelolaan pertanian setempat.
6. Dengan kondisi yang beragam tersebut, maka hubungan antara Pemberian Air
dan Produksi Panen tetap dapat digunakan apabila ingin dilakukan optimasi
pemberian air pada kondisi air yang tersedia kurang (di bawah 100% kebutuhan). Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengestimasi nilai Produksi Panen 100% untuk suatu wilayah irigasi tertentu.
7. Untuk dapat menghitung nilai Pemberian Air Relatif (AWr), maka dibutuhkan
nilai-nilai kebutuhan air tanaman tanpa curah hujan selama musim tanam.
8. Pemberian air secara rotasi dengan memperhatikan tingkat efektivitas air irigasi
lebih condong ke arah penghematan penggunaan air irigasi sementara tetap menjaga tingkat produksi panen pada lahan-lahan yang bersangkutan.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu kami
sehingga kami dapat melakukan studi dan membuat makalah ini dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
English, M.J., Solomon, K.H., dan Hoffman, G.J., 2002, A Paradigm Shift in
Irrigation Management, Journal of Irrigation and Drainage Engineering,
128(5), 267-277.
Haque, M.A., Najim, M.M.M., dan Lee, T.S., 2004, Modeling Irrigation Water
Delivery Schedule for Rice Cultivation in East Coast Malaysia, Tropical
Agricultural Research, Vol.16, 204-213.
Kumar, D.N., Raju, K.S., dan Ashok, B., 2006, Optimal Reservoir Operation for
Irrigation of Multiple Crops Using Genetic Algorithms, Journal of Irrigation
and Drainage Engineering, 132(2), 123-129.
Soetopo, W. & Priyantoro, D., 2010, Pengaruh Pemberian Air Secara Rotasi
Terhadap Produksi Tanaman Irigasi, Prosiding PIT XXVII HATHI Surabaya
2010, 131-134.

Full Tema1.indb 100

24/10/2011 11:40:13

Teknik Penerapan Water Use Efficiency


pada Padi Sawah dengan Irigasi Intermitten
Susi Hidayah, Isdiyana, Hanhan Ahmad Sofiyuddin
Balai Irigasi, Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Cut Meutia 147 Bekasi
hidayahsusi@gmail.com; isdiyana@yahoo.com;
hanhan.ahmad@gmail.com

Intisari
Ketersediaan air serta distribusinya yang tidak merata sepanjang musim tanam sudah
menjadi masalah umum keirigasian. Pola pemberian air yang selama ini dilakukan
pada padi sawah dengan penggenangan dalam secara terus-menerus (continuous
flooding) merupakan pola pemberian air yang kurang efisien. Akan tetapi hal
tersebut secara umum dipandang sebagai upaya mengatasi masalah ketersediaan
air di lahan.
Penelitian yang dilakukan pada tingkat lahan (field trial) dengan percobaan
rancangan split plot antara tiga perlakuan budidaya dan empat perlakuan pemberian
air pada 3 ulangan. Sedangkan pada tingkat tersier kebutuhan debit diketahui
dengan mengukur debit masuk dan debit air terdrainase. Model neraca air divalidasi
berdasarkan hasil pengukuran dan kemudian simulasi dilakukan untuk mengetahui
nilai konsumsi airnya. Simulasi dilakukan untuk pola irigasi intermittent dan
tergenang kontinyu. Perlakuan budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi
air dan WP. Namun perlakuan irigasi berpengaruh nyata terhadap konsumsi air
dan WP. Irigasi secara konvensional cenderung membutuhkan air lebih banyak
dibandingkan irigasi intermittent. Irigasi terputus pada SRI dapat menghemat air
hingga 10% dibandingkan konvensional yaitu dengan konsumsi air untuk musim
hujan dan kemarau adalah 1192, 1178, dan 1326, 1315 mm/MT. Penerapan irigasi
intermitten pada tingkat tersier pada kondisi pergiliran pemberian air antar kuarter
yang sulit dilakukan karena jadwal tanam yang tidak seragam, dapat diatasi dengan
pengendalian pemberian air di setiap lahan.
Penerapan pola irigasi intermittent yaitu pemberian air irigasi alternasi kondisi
macak-macak sampai retak rambut, berdasarkan hasil penelitian pada berbagai
tingkatan memberikan nilai positif dalam penghematan air irigasi dan produktifitas
air (water productivity).
Kata kunci: irigasi intermittent, produktivitas air, penghematan air

101

Full Tema1.indb 101

24/10/2011 11:40:13

102

Pendahuluan

1.1 Latar belakang


Ketersediaan air serta distribusinya sudah menjadi masalah umum keirigasian.
Berdasarkan data proyeksi water balance pada musim kering 2020 dari Subdirektorat
Hidrologi, 2002 bahwa total kebutuhan air untuk Pulau Jawa adalah 44.7 milyar m3
sedangkan ketersediaan air hanya tinggal 25.3 milyar m3. Berdasarkan pengalaman
lapangan di lahan sawah di Indonesia, kebutuhan air rata-rata 9.134 m3/ha/musim,
atau141 milyar m3 air untuk 7,469 juta ha (Kepmen PU No.390/KPTS/M/2007)
pada dua musim tanam, dimana untuk sector irigasi ini adalah 80% dari total
kebutuhan air. Pola pemberian air yang selama ini dilakukan pada padi sawah
dengan penggenangan dalam secara terus-menerus (continuous flooding) merupakan
pola pemberian air yang kurang efisien. Anggapan bahwa produktifitas maksimum
dapat dicapai dengan melakukan penggenangan Akan tetapi penggenangan tersebut
secara umum dipandang sebagai upaya mengatasi masalah ketersediaan air di lahan.
Karena itu diperlukan alternatif pola irigasi yang efisien dan mampu mengadaptasi
keterbatasan sumber daya air dengan
pemberian air yang cukup bagi tanaman dengan jumlah yang cukup pada waktu yang tepat.
1.2 Maksud dan Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai penghematan air serta produktifitas
air (water productivity) pola irigasi intermitten dibandingkan dengan irigasi
tergenang menerus (continuous flooding), serta bermaksud memberikan gambaran
penerapannya pada skala luas sehingga nilai penghematan air dapat dirasakan
pengaruhnya misalnya perluasan areal tanam.
1.3 Ruang Lingkup
Penelitian ini membahas pengaruh perlakuan irigasi intermitten dan konvensional
terhadap konsumsi air dan produktifitas air yang dilakukan pada tingkat lahan dan
tersier.
1.4 Kajian Pustaka
Mengantisipasi ketersediaan air yang semakin terbatas maka perlu dicari pola
budidaya tanaman padi yang mengarah pada penghematan konsumsi air. Cara
pemberian air terputus/berkala (intermittent irrigation) memang terbukti efektif di
lapangan dalam usaha hemat air. Salah satu metode lain yang dianjurkan dalam
Kriteria Perencanaan Irigasi 03 20101 adalah metode System of Rice Intensification
(SRI). Sistem pemberian air terputus/berkala ini sesuai untuk daerah dengan debit
tersedia aktual lebih rendah dari debit andalan 80%.
Pada budidaya padi menggunakan pengairan berselang (pengairan berkala)
aerasi tanah menjadi baik dan suhu tanahnya pun sedikit naik. Kenaikan suhu
yang disertai dengan banyaknya oksigen ini akan lebih memperbaiki penyerapan
air (bersama hara) oleh akar, sebab permeabilitas dinding sel makin tinggi dan
viskositas air makin rendah (Martin et.al, 1976)2. Penerapan irigasi intermittent
ini juga mengurangi konduktifitas hidrolik tanah serta tingkat infiltrasinya
(Zohrab A. Samani and Muluneh Yitayew, 1987)3. Menurut Fagi, 2009 bahwa

Full Tema1.indb 102

24/10/2011 11:40:13

103

tanaman padi tidak akan menderita stress meski pengairan dilakukan 5-6 hari
sekali dengan menerapkan irigasi berselang. Meski demikian diakui, teknik
irigasi berselang memiliki kekurangan. Namun penggunaan air bisa dihemat hingga
mencapai 20%.
Dengan menerapkan SRI, produktifitas meningkat 48% dengan penghematan
air rata-rata 22% dibandingkan dengan penggenangan. Produktifitas air dengan
penerapan irigasi intermittent pada SRI meningkat hampir dua kali lipat (0.68 g l-1)
dibandingkan dengan konvensional tergenang (0.36 g l-1) (Amod K. Thakur et.al,
2010)4. Begitu pula beberapa hasil penelitian lain yang serupa di berbagai negara
menunjukkan kecenderungan yang sama, penghematan air yang dilaporkan adalah
berkisar 24-60%. Dari berbagai laporan penerapan irigasi intermittent pada SRI di
lebih dari 20 negara, perlakuan air tidak menurunkan produktifitas. (Satyanarayana,
2006)5.
2
Metodologi
Penelitian yang dilakukan pada tingkat lahan (field trial) dengan percobaan
rancangan split plot antara tiga perlakuan budidaya dan empat perlakuan pemberian
air pada 3 ulangan di laboratorium lapangan Lemah Abang, Bekasi Jawa Barat.
Tabel 1. Perlakuan pada Field Trial

Full Tema1.indb 103

24/10/2011 11:40:13

104

Gambar 1. Pola pemberian air dilahan


Pada tingkat tersier penelitian dilakukan dengan menguji coba rancangan pola
operasional irigasi untuk SRI yang dirumuskan berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan. Sebagai konsep awal, pola operasional irigasi yang dilakukan
adalaha aplikasi irigasi di lahan secara intermittent. Pemberian irigasi di lahan
dilakukan mengacu pada metode pemberian air yang diduga optimal berdasarkan
hasil penelitian, yaitu pemberian air SRI Jabar seperti pada Gambar 1 (A1).

Full Tema1.indb 104

24/10/2011 11:40:13

105

Gambar 2. Kondisi lahan saat genangan 2 cm (kiri) macak-macak/jenuh lapang


(tengah) dan retak rambut/ 80%JL (kanan).

Pelaksanaan Kegiatan

Sal.10

3.1 Pengambilan debit dari intake tersier


Pengambilan debit dilakukan kontinyu dengan jumlah lebih kecil dibandingkan
dengan konvensional dan menyesuaikan dengan fase budidaya (fase pengolahan
lahan, padi muda (vegetatif anakan), padi dewasa (pembungaan dan pengisian bulir)
dan padi tua (pematangan)). Pengukuran debit yang masuk ke setiap petak diukur
dengan menggunakan alat ukur Cut Throat Flume (CTF). Letak boks kwarter dan
alat ukur tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Sal.1

Thompson

CTF 2
Sal.2

CTF 1

CTF 5
Sal.7

Boks 4

Sal.6

Boks 1

Sal.9

Boks 5

Sal.8

Kw 2
(5,7 Ha)

Sal.3

Kw 1
(2,2 Ha)

Kw 4
(6,2 Ha)

CTF 6

CTF 4

Sal.4

Boks 2

Boks 3

Kw 3
(3,8 Ha)
Sal.5

CTF 3

Gambar 3. Letak
alat Tersier
ukur dan boks kwarter
Skema
3.2 Rotasi dilakukan di boks tersier (rotasi petakan kwarter)
Rotasi dilakukan dengan membagi petak-petak kwarter berdasarkan kondisi awal
jaringan irigasi dan pengambilan air tiap petak (Gambar 3). Untuk pengolahan
lahan, petak kwarter dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok 1
(kwarter 1 dan 2), serta kelompok 2 (kwarter 3 dan 4). Lama pemberian air untuk
masing-masing kwarter terdapat pada Tabel 2. Interval waktu untuk pengolahan
lahan adalah 10 harian (Tabel 3). Untuk masa budidaya interval yang digunakan
adalah 5 harian (Tabel 4).

Full Tema1.indb 105

24/10/2011 11:40:14

106

Tabel 2. Lama pemberian air setiap kuarter

Masa Pengolahan
Lahan (10 Harian)
Kw 1 & 2 Kw 3 & 4
Luas (Ha)
7.81
10.01
Pemberian air:
Hari
4,38
5,62
Jam
105,19
134,81
Deskripsi 4 hari lebih
6 hari
9,2 jam
kurang 9,2
jam

Kw 1
2.2
0,6
14,48
14,5 jam

Masa Budidaya
(5 Harian)
Kw 2
Kw 3
5.7
3.8

Kw 4
6.2

1,59
1,08
1,73
38,11
25,86
41,55
1 hari lebih 1 hari lebih
2 hari
14,1 jam
1,9 jam
kurang 6.5
jam

Tabel 3. Jadwal rotasi pemberian air saat pengolahan lahan

Tabel 4. Jadwal rotasi pemberian air saat budidaya

4 Hasil Kegiatan dan Pembahasan


Penerapan pola irigasi intermittent yaitu pemberian air irigasi alternasi kondisi
macak-macak sampai retak rambut, berdasarkan hasil penelitian pada berbagai
tingkatan memberikan nilai positif dalam penghematan air irigasi dan produktifitas
air (water productivity, WP).
4.1 Konsumsi dan Produktifitas Air di Tingkat Lahan
Dari hasil penelitian di laboratorium lapangan didapatkan hasil seperti ditunjukkan
pada Gambar 4. Perlakuan irigasi intermittent (A1, A2, dan A3) memerlukan
konsumsi air yang lebih kecil daripada perlakuan irigasi tergenang konvensional
(A4) namun memiliki produktifitas air yang lebih tinggi. Hal ini bisa dikatakan
bahwa perlakuan irigasi ini tidak menurunkan produktifitas panen.

Full Tema1.indb 106

24/10/2011 11:40:14

107

Gambar 4. Grafik konsumsi air (kiri) dan produktifitas air (kanan) pada berbagai
perlakuan irigasi dan budidaya di laboratorium lapangan Lemah Abang Bekasi
MT I 2008 (baris atas), MT II 2008 (baris bawah)
Perlakuan budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi air dan WP. Namun
perlakuan irigasi berpengaruh nyata terhadap konsumsi air dan WP. Irigasi secara
konvensional cenderung membutuhkan air lebih banyak dibandingkan irigasi
intermittent.
4.2 Penghematan Air di Tingkat Tersier
Irigasi terputus pada SRI dapat menghemat air hingga 10% dibandingkan
konvensional yaitu dengan konsumsi air untuk musim hujan dan kemarau adalah
1192, 1178, dan 1326, 1315 mm/MT. Perkolasi terhitung sebesar 8 mm/hari untuk
simulasi konvensional dan 7 mm/hari untuk simulasi SRI. Nilai ini sangat berbeda
dibandingkan hasil penelitian field trial karena kondisi tekstur tanah dan kemiringan
lahan yang berbeda.
Tabel 3. Hasil simulasi neraca air penelitian tingkat tersier di Tasikmalaya, Jawa Barat
Komponen neraca air
Hujan (mm)
Irigasi (mm)
Drainase (mm)
Perkolasi (mm)
Evapotranspirasi (mm)
Konsumsi air (mm)

Full Tema1.indb 107

Musim Hujan
SRI
Konv
928
928
518
759
254
361
731
880
517
517
1192
1326

Musim Kemarau
SRI
Konv
11
11
1167
1304
0
0
712
840
517
620
1178
1315

24/10/2011 11:40:15

108

Pada saat pengolahan lahan, penerapan rotasi pemberian air irigasi pada dasarnya
dapat diterapkan. Namun dengan keadaan ketersediaan air yang kurang dalam
rangka rehabilitasi saluran primer, maka belum didapat hasil yang maksimal
sehingga masih perlu diuji kembali.
Penerapan irigasi intermitten pada tingkat tersier pada kondisi pergiliran pemberian
air antarkuarter yang sulit dilakukan karena jadwal tanam yang tidak seragam,
dapat diatasi dengan pengendalian pemberian air di setiap lahan. Selain itu untuk
menjaga ketersediaan air di lahan pada musim kemarau dapat dilakukan dengan
meninggikan outlet drainase 2 cm. Sebaliknya pada saat kondisi kelebihan air
outlet drainase diturunkan agar kondisi macak-macak dapat tercapai.
Secara teknis, pemberian air irigasi secara intermittent tidak terlalu sulit untuk
dirancang namun harus didukung oleh berbagai hal. Untuk satu tersier beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah:
a. Saluran kuarter berfungsi dengan baik
b. Boks kuarter dengan prinsip lebar pintu proporsional berfungsi dengan baik
c. Masing-masing pintu boks kuarter mewakili luas lahan yang relatif tetap
d. Varietas dan tanggal tanamnya sama
e. Boks tersier lengkap dan berfungsi dengan baik
Sebesar 44% dari luas tersier yang ada menerapkan budidaya SRI dan 56% sisanya
menerapkan budidaya konvensional. Total konsumsi air yang dibutuhkan untuk
seluruh petakan tersier 561 mm. Angka ini lebih kecil 274 mm dari konsumsi air
yang dibutuhkan bila seluruh petakan menerapkan budidaya konvensional (835
mm). Dengan kata lain terjadi penghematan sebesar 33% dari konvensional yang
selama masa pertumbuhan membutuhkan debit sebesar 1,1 l/det/Ha dan masa
pematangan 0,4 l/det/Ha (sesuai debit operasi yang biasa dilakukan).
5
Kesimpulan
Hasil penelitian ini masih merupakan hasil penelitian yang dilakukan sampai
pada tingkat tersier dan nilai penghematan air yang diperoleh cukup signifikan.
Namun penelitian ini masih perlu dikembangkan pada skala yang lebih luas untuk
mengetahui pola operasi irigasi yang optimal.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Hanhan Ahmad Sofiyuddin, STP dan
Subari, ME atas bantuannya dalam mengkompilasi data penelitian.

Full Tema1.indb 108

24/10/2011 11:40:15

109

Daftar Pustaka
Anonim, 2010, Standar Perencanaan Irigasi: Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian
Saluran KP-03, Departemen Pekerjaan Umum.
Martin, H. J., W.H. Leonard and Tamp. 1976. Principles of field crop production
Mac. Millan Publishing. Co. Inc. New York.
Zohrab A. Samani and Muluneh Yitayew, 1987. Changes in soil properties under
intermittent water application. Irrigation Science. Volume 10, Number 3,
177-182, DOI: 10.1007/BF00257951
Amod K. Thakur, Sreelata Rath, D. U. Patil and Ashwani Kumar. 2010. Effects on
rice plant morphology and physiology of water and associated management
practices of the system of rice intensification and their implications for crop
performance. Paddy and Water Environment Volume 9, Number 1, 13-24,
DOI: 10.1007/s10333-010-0236-0
A. Satyanarayana, T. M. Thiyagarajan and Norman Uphoff. 2006. Opportunities
for water saving with higher yield from the system of rice intensification.
Irrigation Science .Volume 25, Number 2, 99-115, DOI: 10.1007/s00271006-0038-8

(Endnotes)

Full Tema1.indb 109

Departemen Pekerjaan Umum. 2010. Standar Perencanaan Irigasi: Kriteria Perencanaan


Irigasi Bagian Saluran KP-03.

Martin, H. J., W.H. Leonard and Tamp. 1976. Principles of field crop production Mac. Millan
Publishing. Co. Inc. New York.

Zohrab A. Samani and Muluneh Yitayew. 1987. Changes in soil properties under intermittent
water application. Irrigation Science. Volume 10, Number 3, 177-182, DOI: 10.1007/
BF00257951

Amod K. Thakur, Sreelata Rath, D. U. Patil and Ashwani Kumar. 2010. Effects on rice plant
morphology and physiology of water and associated management practices of the system of
rice intensification and their implications for crop performance. Paddy and Water Environment
Volume 9, Number 1, 13-24, DOI: 10.1007/s10333-010-0236-0

A. Satyanarayana, T. M. Thiyagarajan and Norman Uphoff. 2006. Opportunities for water


saving with higher yield from the system of rice intensification. Irrigation Science .Volume
25, Number 2, 99-115, DOI: 10.1007/s00271-006-0038-8

24/10/2011 11:40:15

Mengatasi Kerusakan Daerah Tangkapan Air


pada Pulau-Pulau Kecil dengan Upaya Konservasi
Tanah dan Air Yang Didukung oleh Ketersediaan
Air Melalui Sistem Jebakan Air Berantai pada
Alur-Alur Alam
Susilawati1), Novrini Soan2), Prisela Pentewati3)
1)

UNIKA Widya Mandira Kupang, HATHI Kupang, NTT


srsusipi@yahoo.com dan sr.susi.dp@gmail.com

2)

Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Nusa Cendana, HATHI Kupang, NTT


novrinis@yahoo.com

3)

Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Nusa Cendana, HATHI Kupang, NTT


seilapente@gmail.com

Intisari
Kerusakan daerah tangkapan air pada pulau-pulau kecil seringkali terjadi, karena
karakteristik hujan yang berintensitas tinggi, durasi singkat dan topografi daratan
pulau cenderung curam, dengan vegetasi sangat kurang. Akibatnya daerah tangkapan
air menjadi rusak karena erosi dan proses degradasi. Upaya konservasi tanah dan
air telah banyak diupayakan seperti penanaman pohon dan pengembangan vegetasi
penutup lahan gundul dan kersang, namun menemui kegagalan karena kendala
keterbatasan bahkan kekurangan air untuk mendukung konservasi tersebut. Hal ini
mendorong dilakukannya usaha alternatif pengembangan sumber daya air melalui
sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam, sehingga dapat memberikan
ketersediaan air bagi tanaman konservasi dan mengatasi kerusakan daerah tangkapan
air tersebut. Kegiatan didasarkan pada prinsip konservasi, ekologi, kearifan lokal
dan pemberdayaan masyarakat, sehingga berkelanjutan. Dari kajian pustaka
tentang berbagai macam perkembangan usaha konservasi tanah dan air dapat
ditemukan konsep konservasi yang akan diterapkan. Kemudian dilakukan survey
dan analisa kecocokan tanaman untuk pengembangan vegetasi yang mendukung.
Selanjutnya dilakukan analisa ketersediaan air bagi pengembangan vegetasi, melalui
pengembangan sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam yang ada, sehingga
dapat mengatasi kerusakan daerah tangkapan air secara efektif dan efisien.
Kata kunci: daerah tangkapan air, konservasi tanah dan air, pulau-pulau kecil,
vegetasi, jebakan air berantai
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kerusakan daerah tangkapan air pada pulau-pulau kecil seringkali terjadi,
khususnya pada daerah kering pulau-pulau kecil di Indonesia, seperti di NTT ini,
karena karakteristik hujan yang mempunyai intensitas tinggi dengan durasi singkat
dan topografi daratan pulau yang cenderung curam, dengan vegetasi yang sangat
kurang (Gambar 1 dan 2). Akibatnya daerah tangkapan air menjadi rusak karena
erosi dan proses degradasi (Gambar 3).
110

Full Tema1.indb 110

24/10/2011 11:40:15

111

Gambar 1. Karakteristik Hujan di Pulau Sabu


(BMG Seba, 2011)

Gambar 2. Topografi dari Pulau Sabu


(Susilawati, 2011)

Full Tema1.indb 111

24/10/2011 11:40:15

112

Gambar 3. DAS Embung Raewara


Upaya konservasi tanah dan air telah banyak diupayakan seperti penanaman pohon
dan pengembangan vegetasi untuk menutup lahan gundul dan kersang tersebut.
Namun usaha ini selalu menemui kegagalan karena kendala keterbatasan bahkan
kekurangan air untuk mendukung upaya konservasi tersebut. Hal ini mendorong
untuk dilakukannya suatu usaha alternatif pengembangan sumber daya air melalui
sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam, sehingga dapat ditemukan
ketersediaan air bagi tanaman konservasi untuk mengatasi kerusakan daerah
tangkapan air pada pulau-pulau kecil.
Ruang lingkup kegiatan untuk mengatasi kerusakan daerah tangkapan air pada
pulau-pulau kecil ini, lebih difokuskan dengan upaya konservasi tanah dan air
melalui pengembangan vegetasi penutupan lahan gundul dan kersang dengan
sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam. Berarti lingkup kegiatan ini tidak
mencakup upaya teknis penanganan daerah tangkapan, melainkan merupakan upaya
konservasi yang didukung oleh ketersediaan air melalui sistem jebakan air berantai
pada alur-alur alam tersebut.
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN METODOLOGI
Kajian Pustaka
Kerusakan hidrologis umumnya terjadi akibat degradasi Daerah Aliran Sungai
(DAS) terutama bagian hulu yang lerengnya terjal dan mengalami alih fungsi lahan
dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang tidak meloloskan air (impermeable).
Menurut data Departemen Kehutanan (dalam Agus Maryono, 2005), dari 470 DAS
di Indonesia, 62 DAS diantaranya kritis, sehingga seringkali mengalami banjir dan
kekeringan. Kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan
limpasan air permukaan menjadi tak terkendali dan tak sempat meresap ke dalam

Full Tema1.indb 112

24/10/2011 11:40:15

113

tanah menjadi imbuhan bagi cadangan air tanah. Terjadinya curah hujan ekstrim
tinggi menyebabkan airnya melimpas sehingga terjadilah banjir. Sebaliknya,
rendahnya cadangan air dalam tanah yang disimpan pada musim penghujan
menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga merupakan
pemicu terjadinya kekeringan. Kerusakan hidrologis juga menyebabkan aliran air
sungai menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Data dari Kementerian
PU, menunjukkan bahwa terdapat 5.590 sungai induk yang terhimpun kedalam 89
Satuan Wilayah Sungai (SWS). Dari sejumlah sungai induk tersebut, 600 sungai
diantaranya berpotensi menimbulkan banjir, 62 diantaranya tergolong kritis dan
super kritis.
Degradasi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni erosifitas hujan, erodibilitas
tanah, faktor konservasi (vegetasi dan pengelolaan), bentuk lahan (lereng), dan
kehidupan. Dengan dua kondisi lahan yang khas yakni iklim kering yang berfluktuasi
sangat tajam dan bahan induk tanah yang rentan terhadap erosi, sangat kondusif
terjadinya degradasi lahan yang intensif (Gambar 4).

Gambar 4. Degradasi lahan yang terjadi di Mbay


Pulau-pulau kecil yang dikelilingi lautan pada umumnya mengalami keterbatasan
sumber daya air berupa air tanah, dan rentan akan bencana alam banjir ataupun
kekeringan. Air tanah di pulau-pulau kecil merupakan lensa yang mengapung di
atas air payau atau air asin, dengan ketebalan yang sangat tergantung pada imbuhan
(recharge), dan rentan terhadap penyusupan air laut (Hehanusa, 1987). Falkland,
2002, memberikan gambaran keseimbangan air tanah yang memiliki lensa air tawar
pada tipikal pulau koral (Gambar 5). Pada pulau yang berbukit, maka air hujan yang
jatuh, cepat mengalir sebagai air limpasan permukaan menuju ke laut sehingga tak
sempat meresap ke dalam tanah menjadi imbuhan air tanah. Hal ini menyebabkan
cadangan air tanah sangat kurang dibandingkan dengan kebutuhannya sehingga
menimbulkan bencana kekeringan. Air limpasan permukaan dari wilayah perbukitan
yang dengan cepat mengalir, menjadi pemicu timbulnya bencana banjir di wilayah

Full Tema1.indb 113

24/10/2011 11:40:16

114

dataran di bagian hilirnya dan juga memicu kerusakan daerah tangkapan air karena
erosi dan proses degradasi.

Gambar 5. Kesembangan air tanah dengan lensa air tawarnya pada tipikal pulau
koral (Falkland, 2002)
Dalam workshop perencanaan pembangunan kehutanan berbasis ekosistem pulau
kecil, (UNPATTI, 2006) disebutkan tentang isu konservasi, antara lain:
1) Pola pengelolaan hutan berdasarkan pada kearifan lokal masyarakat dan daya
dukung pulau.
2) Pola tutupan hijau pada pulau 60% dan pemanfaatan lain 40%.
3) Tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan harus sesuai dengan kondisi alam
(karakteristik pulau), dengan pemilihan bibit menggunakan jenis tanaman unggul lokal.
James, dkk, 2001 dalam prosiding lokakarya wanatani se Nusa Tenggara, juga
menyebutkan bahwa pemerintah telah melakukan program nasional rehabilitasi
lahan di Nusa Tenggara untuk merehabilitasi lahan tandus Hutan Tanaman
Industri (HTI), reboisasi dan penghijauan. Tujuan program ini sangat beragam,
mencakup produksi kayu komersial, produksi hasil hutan untuk kebutuhan setempat,
perlindungan daerah aliran sungai dan pengendalian erosi, serta konservasi
keanekaragaman hayati. Keberhasilan program rebosisasi dan penghijauan masih
rendah, dengan tingkat keberhasil (survival rate) di lapang sebesar 10% atau kurang
(Monk et al., 1997 dalam James dkk, 2001). Alasan utama kegagalan program ini

Full Tema1.indb 114

24/10/2011 11:40:16

115

adalah: kekeringan, kemampuan teknis yang tidak memadai, kesesuain lahan dan
jenis kurang baik, dan rendahnya partisipasi masyarakat setempat.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dalam Rencana Aksi Nasional dalam
menghadapi perubahan iklim, 2007, menuliskan bahwa dengan berubahnya iklim,
kejadian kekeringan akan bertambah parah, air tanah akan semakin berkurang serta
kenaikan air laut akan memicu instrusi air laut ke daratan sehingga mencemari
kualitas sumber-sumber air untuk keperluan air bersih dan irigasi. Aksi strategis
yang disebutkan di atas telah secara langsung maupun tidak langsung berkaitan
dengan adaptasi perubahan iklim. Untuk memperkuat program dan inisiatif yang
telah ada sehingga menjadi tahan terhadap perubahan iklim, rencana aksi yang
perlu diimplementasikan antara lain:
1) Memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air maupun sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air
2) Mengadakan inventarisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalami pencemaran namun tingkat penggunaan airnya sangat tinggi di Jawa untuk dapat
ditentukan prioritas penanganannya
3) Melaksanakan program pembangunan situ, embung dan waduk di wilayah
Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Bali, NTB, dan NTT seperti yang
telah diprogramkan dalam RKP 2008. Tempat-tempat penampungan air tersebut dapat dipergunakan sebagai sarana penyimpan air di musim hujan sehingga
bisa dimanfaatkan airnya di musim kemarau
4) Meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki daerah tangkapan air sebagai daerah resapan air melalui upaya konservasi
lahan, baik dengan metode mekanis (misal: pembuatan terasering dan sumur
resapan) mapun vegetatif
5) Mengembangkan teknologi dam parit yang dibangun pada alur sungai untuk menambah kapasitas tampung sungai, memperlambat laju aliran dan meresapkan
air ke dalam tanah (recharging). Teknologi ini dianggap efektif karena secara
teknis dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar dan mengairi
areal yang relatif luas karena dapat dibangun berseri (cascade series)
Di NTT, telah banyak dikembangkan sistem embung, namun keberhasilan
pengembangan ini masih rendah, terutama disebabkan oleh pendekatan
pengembangan sistem ini pada masyarakat, dan sistem operasi, pengelolaan dan
pemeliharaannya yang kurang jelas, selain beberapa teknis pengembangan yang
kurang tepat (Susilawati, 2011). Kasdi, dkk, 2003, dalam Monograf Konservasi,
menyebutkan tentang teknik konservasi tanah secara vegetatif. Pada dasarnya
konservasi tanah secara vegetatif adalah segala bentuk pemanfaatan tanaman
ataupun sisa-sisa tanaman untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa
tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan
maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan
peresapan air ke dalam tanah.

Full Tema1.indb 115

24/10/2011 11:40:16

116

Kanopi berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangi tenaga kinetik
butiran air dan pelepasan partikel tanah sehingga pukulan butiran air dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela kanopi (interception) sebagian akan kembali ke
atmosfer akibat evaporasi. Fungsi perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan
butir air hujan merupakan hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi di Indonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapat penutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah oleh pukulan butiran air hujan. Batang
tanaman juga menjadi penahan erosi air hujan dengan cara merembeskan aliran air
dari tajuk melewati batang (stemflow) menuju permukaan tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang. Batang juga berfungsi memecah dan menahan laju aliran
permukaan. Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya angkut materialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yang relatif tinggi untuk meresapkan air. Beberapa jenis tanaman yang ditanam dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagar sehingga memecah aliran permukaan. Partikel
tanah yang ikut bersama aliran air permukaan akan mengendap di bawah batang
dan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliran permukaan yang lebih
stabil. Keuntungan yang didapat dari sistem vegetatif ini adalah kemudahan dalam
penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan
aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan organik
tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani dari hasil sampingan tanaman konservasi tersebut. Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat
tanah yang disebabkan oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakan habitat
yang baik bagi organisme dalam tanah, sebagai sumber bahan organik bagi tanah
dan memperkuat daya cengkeram terhadap tanah. Perakaran tanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh air hujan, memantapkan agregasi tanah
sehingga lebih mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah erosi, sehingga
tanah tidak mudah hanyut akibat aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi, dan
kapasitas memegang air.
Konsep dan Metodologi
Konsep dan metodologi dalam mengatasi kerusakan daerah tangkapan air pada
pulau-pulau kecil adalah didasarkan pada prinsip konservasi, ekologi, kearifan
lokal dan pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat berkelanjutan. Pertama-tama
dilakukan kajian pustaka tentang berbagai macam perkembangan usaha konservasi
tanah dan air yang ada, sedang dan telah dilakukan. Kemudian dilakukan survey
dan analisa kecocokan tanaman untuk pengembangan vegetasi yang mendukung
usaha konservasi tanah dan air. Selanjutnya dilakukan analisa pengembangan
sumber daya air yaitu ketersediaan air yang dapat mendukung usaha pengembangan
vegetasi, melalui pengembangan sistem jebakan air berantai pada alur-alur alam
yang ada. Pada prinsipnya metodologi yang dipakai adalah untuk mengusahakan
agar upaya konservasi tanah dan air melalui pengembangan vegetasi dapat tercapai
dengan memberikan ketersediaan air yang mendukung, sehingga dengan demikian
diharapkan juga dapat mengatasi kerusakan daerah tangkapan yang ada pada pulaupulau kecil tersebut.

Full Tema1.indb 116

24/10/2011 11:40:16

117

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari kajian pustaka yang telah dilakukan, dapat disimpulkan akan pentingnya
mengatasi kerusakan daerah tangkapan air dengan cara konservasi tanah dan air,
antara lain:
1. Daerah aliran sungai atau tangkapan air sudah dan banyak mengalami kerusakan atau kritis, karenanya sangat diperlukan suatu usaha untuk mengatasi kerusakan tersebut, sehingga dapat mendukung kehidupan.
2. Penanganan daerah tangkapan air tersebut perlu didasarkan pada kearifan loka
agar usaha ini dapat berkelanjutan.
3. Pengembangan sistem vegetasi, sangat potensial untuk mengatasi kerusakan
daerah tangkapan air.
4. Selama ini program penghijauan kembali atau vegetasi yang telah dilakukan,
banyak mengalami kegagalan disebabkan oleh faktor utamanya adalah kurang
air/kekeringan untuk menjaga keberlangsungan hidup dari tanaman penghijauan tersebut, disamping juga pemilihan tanaman penghijauan yang kurang
cocok.
5. Penghijauan kembali daerah tangkapan air, dengan jalan menanam tanaman
yang mampu hidup di daerah kering pulau-pulau kecil.
6. Pengembangan sumber daya air dapat berupa pengembangan sistem embung di
NTT, tapi hal ini dirasa kurang berhasil, terutama kendala pada sistem operasi
dan pemeliharaannya, maka perlu dikembangkan alternatif lain selain sistem
embung.
Dari survey lapangan untuk menemukan sistem alternatif pengembangan sumber
daya air dan kecocokan tanaman bagi pengembangan sistem vegetasi, didapatkan
bahwa sistem jebakan air telah dikenal oleh masyarakat lokal untuk mengatasi
kekurangan air, namun sistem ini masih dikembangkan secara tradisional dan sangat
sederhana (Gambar 6). Sedangkan beberapa tanaman yang dapat dikembangkan di
daerah kering pulau-pulau kecil, yang juga merupakan tanaman lokal ditunjukkan
dalam Gambar 7.

Gambar 6. Jebakan Air dari Kantong Pasir (Susilawati, 2007)

Full Tema1.indb 117

24/10/2011 11:40:16

118

Kesambi

Turus pagar

Lontar

Turi

Reo/Kesi

Mengkudu hutan

Mahoni

Asam cina

Turi

Mangga

Kelapa
Gambar 7. Beberapa Tanaman Lokal (Tim Survey, 2010)

Beringin

Pengembangan alternatif sistem pengembangan sumber daya air yang didasarkan


pada kearifan lokal, dapat berupa pengembangan sistem jebakan air berantai yang
pada dasarnya memperlambat arus aliran permukaan (runoff) pada alur drainase
alam. Dengan memperlambat arus limpasan permukaan ini, maka air hujan yang
jatuh tidak langsung melimpas dan terbuang ke laut, tetapi berpotensi untuk meresap
ke dalam tanah menjadi imbuhan air tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman
pada musim kemarau (Susilawati, 2007). Alur-alur drainase alam yang banyak
terdapat di pulau-pulau kecil, ditunjukkan dalam Gambar 8, sedangkan ilustrasi
penanganannya ditunjukkan dalam Gambar 9.

Full Tema1.indb 118

24/10/2011 11:40:17

119

Gambar 8. Alur drainase alam

Gambar 9. Jebakan Air pada alur drainase alam


Simulasi pengembangan sumber daya air untuk memberikan ketersediaan air
pada tanaman atau vegetasi yang dikembangkan dilakukan dengan menggunakan
model program SPK-PAHP. Dari simulasi model pengembangan sistem jebakan air
berantai ditemukan hubungan antara imbuhan air tanah dan neraca air dalam tanah,
yang menjadi ketersediaan air untuk tanaman vegetasi (Gambar 10).

Gambar 10. Grafik Imbuhan Air Tanah Neraca Air Dalam Tanah yang Menjadi
Ketersediaan Air Bagi Pengembangan Vegetasi

Full Tema1.indb 119

24/10/2011 11:40:17

120

Hasil simulasi neraca air, dapat disimpulkan bahwa pengembangan vegetasi lahan
untuk mendukung upaya konservasi tanah dan air akan tercapai karena pertumbuhan
tanaman yang optimal (Tabel 1).
Tabel 1 Neraca Air Tersedia untuk Tanaman
Neraca Air Lahan Pertanian (Kebutuhan sumur di lahan) optimal

Keterangan

Area
Satuan
(Ha)

Ketersediaan air tanah (yang diserap)

Peb

Mar

12,430

23,982

29,662

13,556

9,703

3,495

14,929

18,823

3,336

44,564

Ketersediaan air (hujan efektif)

64.92

Area lahan pertanian optimal

64.92

Kebutuhan air irigasi MT1 (Sorghum)

64.92

64.92

64.92

Kebutuhan drainase MT1


Kebutuhan air irigasi MT2 (Kc.Hijau)
Kebutuhan drainase MT2
Kebutuhan air irigasi MT3 (Kc.Tanah)
Kebutuhan drainase MT3
Neraca air tersedia untuk tanaman

Jan

164,933

8,673

47,584

261,002

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug

Sep

9,386

8,756

8,376

7,780

742

2,022

17,206

91

50

713

1,445

15,183

173

31,918

91,433

25,855

245,975

164,246

147,950

Okt

56,187

91,801

25,015

100,519

17,184

1,455

Nov

4,923

Des

37,312

Daftar pustaka
Agus Maryono, 2005. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
BMG Tardamu Seba, 2011. Klimatologi Stasiun Iklim Tardamu Seba, Tahun 1985
2010.
Falkland, 2002. From Vision to Action Towards Sustainable Water Management
in The Pasific.. http://www.adb.org/documents/events/2002/water_small_
island/Theme1/overview.pdf
Hehanussa, PE., 1987. Sumber Daya Air di Pulau Kecil. LIPI, Bandung
James M. Roshetko dan Mulawarman. 2001. Wanatani di Nusa Tenggara
Ringkasan Hasil Lokakarya. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa
Tenggara, ICRA.
Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003. Teknik
Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007. Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim.
Susilawati, 2007. Concept of Series Water Trap on Natural Gully as Water
Conservation Development for Maintain Ground Water Surface in Small
Islands Areas Proceeding of International Symposium and Workshop
on Current Problems in Groundwater Management and Related Water
Resources Issues, Kuta Bali, December 3 8, 2007.
UNPATTI, 2006. Perencanaan Pembangunan Kehutanan Berbasis Ekosistem
Pulau Kecil. BPFP UNPATTI. Prosiding - Ambon

Full Tema1.indb 120

24/10/2011 11:40:18

Studi Laju Erosi Tanah Pasir Kelempungan


yang Distabilisasi dengan Aspal Emulsi
Elifas Bunga1), H. Muh. Saleh Pallu2),
Mary Selintung3), M. Arsyad Thaha4)
1)

Mahasiswa Program S3 Teknik Sipil Universitas Hasanuddin


Guru Besar Program S3 Teknik Sipil Universitas Hasanuddin
4)
Dosen Program S3 Teknik Sipil Universitas Hasanuddin

2),3)

elifasbunga@hotmail.com

Intisari
Sedimentasi yang terjadi pada bangunan-bangunan air (waduk, saluran irigasi, jalur
navigasi), tidak terlepas dari kontribusi proses erosi yang terjadi di daerah hulu.
Erosi berdampak pula pada tingkat kesuburan tanah yang semakin menurun akibat
terlepasnya lapisan humus yang banyak mengandung unsur hara yang dibutuhkan
oleh tanaman dalam pertumbuhannya. Luas lahan yang mengalami degradasi
semakin meningkat dari tahun ketahun. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009,
lahan kritis di Indonesia diluar DKI Jakarta telah mencapai luas 77,81 juta ha
pada tahun 2008.
Konservasi secara kimiawi adalah salah satu metode konservasi tanah yang
dilakukan untuk memperbaiki kemantapan struktur tanah (stabilisasi tanah) melalui
pemberian preparat-preparat kimia. Salah satu bahan stabilisasi tanah adalah aspal
emulsi. Metode penelitian adalah pengujian laboratorium melalui alat simulator
hujan (Rainfall Simulator). Contoh tanah disiapkan dalam kotak 50x50x10cm3 pada
kadar air = 15.76%, derajat kepadatan = 70.66%. Permukaan tanah disemprot aspal
emulsi (Ae) dengan konsentrasi (60, 80, dan 100 cc/m2) yang dicampur air (rasio
1:3), kemudian disimpan dalam suhu ruangan 3x24jam. Simulasi hujan buatan
di atas permukaan tanah pada derajat kemiringan lereng 200 dengan intensitas
hujan (I) (50, 65, dan 80 mm/jam). Laju erosi diukur setelah terjadi keseimbangan
antara infiltrasi dan limpasan permukaan. Analisis hasil dengan metode analisis
deskriptif kuantitatif dan analisis regresi dan korelasi parameter intensitas hujan
dan konsentrasi aspal emulsi terhadap laju erosi.
Hasil penelitian; menunjukkan rata-rata reduksi laju erosi pada stabilisasi Ae60,
Ae80, dan Ae100 terhadap laju erosi Ae0 (tanpa stabilisasi) masing-masing sebesar
62.77%, 73.26%, dan 86.61%. Model laju erosi sebagai fungsi intensitas hujan dan
konsentrasi aspal emulsi adalah : E = 174.7 e-0.00Ae/I. Model ini memberikan indikasi
bahwa laju erosi meningkat dengan bertambahnya intensitas hujan dan menurun
dengan bertambahnya konsentrasi aspal emulsi.
Kata kunci: laju erosi, tanah pasir kelempungan, aspal emulsi, simulasi hujan.

121

Full Tema1.indb 121

24/10/2011 11:40:18

122

1. Pendahuluan
Hasil penelitian Puslitbang Tanah (1997) terdapat 10,94 juta ha lahan kritis. Status
Lingkungan Hidup Indonesia 2009 luas lahan kritis di Indonesia diluar DKI Jakarta
telah mencapai luas 77,81 juta ha pada tahun 2008, dan diperkirakan luas lahan
kritis di seluruh wilayah Indonesia akan lebih besar lagi. Lahan kritis adalah lahan
yang telah rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga menyebabkan
lahan kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi,
siklus hara dan lain-lain (Statistik Kehutanan, 2008).
Arsyad (2010) dalam penelitiannya di DAS Jeneberang Hulu mendapatkan laju
erosi terbesar terjadi pada lahan terbuka 381,9 ton/ha/thn, pada tampingan sawah
229,3 ton/ha/thn, areal pertanian 163,6 ton/ha/thn, tampingan jalan 157,9 ton/
ha/thn, areal berhutan 81,85 ton/ha/thn dan padang penggembalaan 63,6 ton/ha/
thn. Pada kemiringan lereng 20%-45% (=48,4 ton/ha/thn), kemiringan 45%-65%
(=117,4 ton/ha/thn), kemiringan 65%-85% (=178,5ton/ha/thn) dan kemiringan >
85% (=225,6 ton/ha/thn).
Definisi tanah dalam ilmu mekanika tanah adalah semua bahan yang mencakup
mulai dari lempung (clay) lanau (silt), pasir (sand), kerikil (gravel) dan berangkal
(boulder) yaitu batu-batu yang besar (Wesley, 1975). Jenis tanah yang terdapat
di alam, umumnya terdiri atas beberapa macam ukuran/sifat, misalnya kerikil
bercampur pasir, pasir yang mengandung lempung, dan sebagainya. Untuk
mengklasifikasi keberadaan tanah yang beragam, digunakan sistem klasifikasi.
Sistem klasifikasi tanah didasarkan pada distribusi ukuran butir (gradasi) dan sifat
plastisitas. Ada tiga sistem klasifikasi tanah yang umum yaitu; USDA (United State
Departement of Agriculture), AASHTO (American Association of State Highway
and Transportation), dan USCS (Unified Soil Classification System).
Struktur tanah adalah salah satu sifat tanah yang sangat berpengaruh terhadap kepekaan tanah akan pengaruh gaya-gaya luar, termasuk erosi, oleh karena itu kemantapan/stabilitas struktur tanah adalah salah satu syarat yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya erosi. Untuk memperoleh kemantapan struktur tanah yang
baik, dilakukanlah usaha-usaha melalui pemberian preparat-preparat kimia (konservasi secara kimia) (Suripin, 2001). Menurut Dariah (2007), tujuan penggunaan
bahan stabilisasi tanah : (1) memantapkan agregat tanah untuk mencegah erosi
dan pencemaran, (2) merubah sifat hidrophobik dan hidrofilik, sehingga merubah
kapasitas tanah menahan air (water holding capacity), dan (3) meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah.
Penelitian pemanfaatan bahan pembenah tanah untuk meningkatkan kualitas tanah
di Indonesia sudah dirintis oleh Balai Penelitian Tanah sejak tahun 1970, dengan
memanfaatkan emulsi bitumen, poliakrilamin, dan lateks (Dariah, 2007). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, oleh karena
itu usaha-usaha kearah itu terus dikembangkan, terutama didalam memproduksi
bahan-bahan tersebut. Salah satu bahan pemantap tanah yang dikembangkan oleh
Gabriels, et.al (1977) adalah emulsi bitumen, yang harganya relatif lebih murah, sehingga bahan ini paling banyak digunakan (Suripin, 2001). Kegunaan bahan ini, ta-

Full Tema1.indb 122

24/10/2011 11:40:18

123

nah akan lebih hidropobik, yang bermanfaat bagi pembentukan agregat tanah yang
mudah mengeras dan mengurangi penguapan air jika dicampurkan pada kedalaman
5-8 cm di bawah permukaan tanah.
Ketika bitumen dicampurkan pada tanah (stabilisasi tanah), maka akan merekatkan
partikel-partikel tanah menjadi suatu kesatuan dan dapat menjadikan struktur tanah
menjadi kedap air. Hal ini terjadi oleh karena: (a) struktur tanah terflokulasi akibat
adanya daya ikat yang ditimbulkan oleh bitumen, (b) lapisan tanah menjadi kedap air
karena partikel-partikel tanah diselimuti oleh bitumen, dan (c) kedua efek tersebut
dapat juga terjadi secara bersamaan. Efek daripada pencampuran bitumen pada
tanah adalah meningkatnya nilai kuat tekan bebas (Kezdi, 1979). Marzuko (2009)
penambahan 5% aspal emulsi pada tanah berbutir halus meningkatkan nilai kohesi
168.254% terhadap tanah asli pada pemeraman 14 hari. Al-Khashab, et.al (2008)
stabilisasi tanah dengan aspal emulsi menaikkan sedikit plastisitas tanah. Yanoarius
Katmok (2008) stabilisasi tanah lempung dengan aspal emulsi meningkatkan nilai
CBR dan nilai kuat tekan bebas.
Erosi dan sedimentasi adalah dua proses yang saling berhubungan dan terkait
satu dengan yang lain. Suripin (2001) erosi dan sedimentasi merupakan proses
terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material
tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material
yang terangkut di tempat yang lain.
Hujan adalah merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya erosi tanah.
Musgrave (1947, dalam Kirby, 1980) ada suatu hubungan antara karakteristik hujan
dan banyaknya tanah yang tererosi. Tetesan air hujan yang menghantam muka bumi
mengakibatkan terlemparnya partikel tanah ke udara. Akibat dari gravitasi bumi,
maka partikel-partikel tersebut jatuh kembali ke bumi dan sebagian partikel halus
menutupi pori-pori tanah sehingga porositas tanah menurun. Tetesan air hujan juga
dapat menimbulkan pembentukan lapisan keras pada lapisan permukaan, yang dapat
mengakibatkan kapasitas infiltrasi tanah berkurang sehingga air yang mengalir di
permukaan sebagai faktor penyebab terjadinya erosi oleh aliran air akan bertambah
besar.
Sugiarto (2008), laju erosi cenderung meningkat secara eksponensial seiring dengan
peningkatan intensitas hujan dan cenderung menurun secara linier seiring dengan
peningkatan derajat kepadatan tanah. Faisal (2002) jumlah erosi yang dipengaruhi
oleh intensitas hujan dan kemiringan lereng secara simultan mengikuti kurva
linier.
Jenis erosi yang paling umum terjadi pada suatu lahan adalah erosi percikan dan
erosi aliran permukaan. Erosi percikan adalah erosi yang terjadi akibat terlepas dan
terlemparnya partikel-partikel tanah dari induknya akibat pukulan air hujan secara
langsung. McIntyre (1958) dalam Suripin (2001) proses erosi percikan terdiri atas
tiga tahap, yaitu (1) terjadinya penggemburan yang cepat pada permukaan tanah
sehingga kohesinya menurun, akibatnya laju erosi percikan akan meningkat;
(2) terjadinya pemadatan permukaan akibat pukulan butiran air hujan sehingga
terbentuk lapisan kerak (crust) tipis yang akan menurunkan jumlah partikel tanah

Full Tema1.indb 123

24/10/2011 11:40:18

124

yang terlempar ke udara dan meningkatkan akumulasi air permukaan; (3) terjadinya
turbulensi aliran permukaan yang mampu mengangkut sebagian lapisan kerak pada
permukaan tanah.
Erosi aliran permukaan adalah erosi yang terjadi hanya dan jika intensitas dan/
atau lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi atau kapasitas simpanan air tanah.
Jika aliran permukaan yang terjadi tidak merata dan arah alirannya tidak beraturan,
maka kemampuan aliran untuk mengikis tanah juga tidak sama atau tidak merata
pada semua tempat. Faktor yang berpengaruh terhadap laju erosi permukaan adalah
kecepatan dan turbulensi aliran. Pada kecepatan rendah dan aliran tenang, aliran
permukaan cenderung tidak menyebabkan terjadinya erosi. Sebaliknya pada batas
kecepatan tertentu aliran permukaan akan mampu mengikis permukaan tanah, hal
mana terjadi bila energi aliran permukaan melebihi daya tahan tanah. Salah satu
faktor yang memengaruhi kecepatan aliran permukaan adalah derajat kemiringan
lereng. Makin besar derajat kemiringan lereng makin besar pula kecepatan aliran,
dengan demikian laju erosi akan meningkat. Faisal (2002), Muliadi (2008), dan
Bakri (2008) mendapatkan laju erosi meningkat seiring dengan meningkatnya
derajat kemiringan lereng.
2. Hasil dan Pembahasan
a. Karakteristik tanah
Hasil pengujian analisis saringan contoh tanah, diperoleh persentase fraksi kasar =
74.54 %, fraksi halus = 25.46 %, dan fraksi pasir = 70.24 %. Pengujian konsistensi
Atterberg diperoleh batas cair = 30.90 %, batas plastis = 23.73 % dan indeks
plastisitas = 7.17 %. Hasil observasi secara visual di lapangan warna tanah adalah
coklat kemerahan yang oleh masyarakat setempat disebut pasir merah.
Berdasarkan klasifikasi USCS dengan persentase fraksi halus (25.46 %) > 12 % dan
persentase lolos saringan no.4 (100 %) > 50 %, tanah ini termasuk kategori pasir
(SM atau SC). Berdasarkan batas cair = 30.90 % dan indeks plastisitas = 7.17 %,
tanah berada pada daerah ML dan OL. Dapat disimpulkan tanah ini termasuk jenis
tanah pasir kelempungan dengan plastisitas rendah. Menurut sistem klasisifikasi
USDA, tanah ini termasuk dalam kelas tekstur tanah geluh lempung kepasiran
(Sandy Clay Loam). Dan sistem klasifikasi AASHTO, tanah ini termasuk kelompok
A-2-4 (tanah pasir berlempung).
b. Karakteristik laju erosi
Tabel 1, menampilkan hasil pengukuran laju erosi.
Tabel 1. Hasil pengukuran laju erosi

Full Tema1.indb 124

Laju erosi E (gr/m2/jam)

Intensitas hujan
(mm/jam)

Ae0

Ae60

Ae80

Ae100

50

115.71

41.36

28.89

17.60

65

166.53

66.12

46.56

20.19

80

237.70

87.17

64.91

23.47

Keterangan
Ae0 = tanah asli, Ae60, Ae80, Ae100 =
stabilisasi aspal emulsi ; 60, 80 dan
100 cc/m2

24/10/2011 11:40:18

125

Tabel 1 memperlihatkan laju erosi meningkat seiring dengan meningkatnya


intensitas hujan. Peningkatan laju erosi ini terjadi pada semua perlakuan terhadap
tanah, baik pada tanah asli (tanpa stabilisasi), maupun pada tanah yang distabilisasi
aspal emulsi dengan konsentrasi (60, 80, dan 100 cc/m2). Peningkatan laju erosi
akibat peningkatan intensitas hujan dari 50 mm/jam, ke 65 mm/jam dan ke 80 mm/
jam ; untuk tanah asli meningkat sebesar 43.92 % dan 105.43 %. Pada stabilisasi
Ae60 (60 cc/m2), laju erosi meningkat sebesar 59.86 % dan 108.34 %. Demikian
pada stabilisasi Ae80 (80 cc/m2) laju erosi meningkat sebesar 61.16 % dan 124.68
%. Dan pada stabilisasi Ae100 (100 cc/m2), laju erosi meningkat sebesar 14.72 % dan
73.24 %. Rata-rata peningkatan laju erosi akibat peningkatan intensitas hujan dari
50 mm/jam ke 65 mm/jam dan ke 80 mm/jam pada tiga kondisi (Ae0, Ae60 dan Ae80)
hampir sama yaitu 54.98 % dan 112.82 %. Dan pada kondisi Ae100 peningkatan laju
erosi juga tidak terlalu besar dibandingkan dengan ketiga kondisi yang pertama
yaitu hanya sebesar 14.72 % dan 73.24 %.
Peningkatan laju erosi yang disebabkan oleh meningkatnya intensitas hujan oleh
karena meningkatnya jumlah pukulan dan percikan air hujan terhadap permukaan
tanah. Gaya pukulan dan percikan air hujan ke atas permukaan tanah menimbulkan
energi kinetik pada permukaan tanah. Free (1960) mengatakan bahwa jumlah
erosi percikan sebanding dengan besarnya energi kinetik pada permukaan tanah.
Dan Laws (1941) memberikan hubungan antara besarnya energi kinetik dengan
intensitas hujan. Makin tinggi intensitas hujan maka makin besar energi kinetik
yang ditimbulkan oleh hujan, khususnya pada peningkatan sampai intensitas 100
mm/jam. Terlihat bahwa perbedaan peningkatan laju erosi pada kondisi tanah
dengan stabilisasi Ae100 dengan ketiga kondisi pertama (Ae0, Ae60 dan Ae80) cukup
signifikan, yaitu hanya sepertiganya. Hasil ini memberikan gambaran bahwa
stabilisasi tanah dengan aspal emulsi pada konsentrasi 100 cc/m2 telah dapat
mereduksi peningkatan laju erosi sebesar 35 % dibandingkan dengan peningkatan
laju erosi pada kondisi tanah asli untuk kenaikan intensitas dari 50 mm/jam ke 65
mm/jam dan ke 80 mm/jam.
Gambar 1 memperlihatkan hubungan fungsional antara laju erosi dengan intensitas hujan.

Gambar 1. Hubungan laju erosi dengan intensitas hujan.

Full Tema1.indb 125

24/10/2011 11:40:18

126

Hubungan fungsional ini mengikuti persamaan eksponensial, baik untuk kondisi


tanah tanpa stabilisasi, maupun untuk tanah yang distabilisasi dengan aspal emulsi.
Kecenderungan peningkatan laju erosi pada tanah yang distabiliasi (Ae60, Ae80,
dan Ae100) mengikuti pola yang sama dengan peningkatan yang tidak terlalu besar
seiring dengan meningkatnya intensitas hujan. Berbeda pada tanah tanpa stabilisasi,
kecenderungan peningkatan laju erosi seiring dengan bertambahnya intensitas hujan
relatif lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa aspal emulsi dalam stabilisasi
tanah mengurangi peningkatan laju erosi yang cukup signifikan.
Tabel 2. Perbandingan laju erosi tanah stabilisasi terhadap tanpa stabilisasi
Aspal
Intensitas
Emulsi (Ae) Hujan (I)
(cc/m2)
(mm/jam)
60

80

100

50
65
80
50
65
80
50
65
80

Laju erosi (E)


(gr/m2/jam)
E0
E60,E80,E100

115.71
166.53
237.70
115.71
166.53
237.70
115.71
166.53
237.70

41.36
66.12
86.17
28.89
46.56
64.91
17.60
20.19
30.49

% x E0 Reduksi
(%)

(%)

35.74
39.71
36.25
24.97
27.96
27.31
15.21
12.13
12.83

64.26
60.29
63.75
75.03
72.04
72.69
84.79
87.87
87.17

Ratarata
(%)
62.77

73.26

86.61

Tabel 2 memperlihatkan perbandingan laju erosi tanah yang distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi masing-masing 60 cc/m2, 80 cc/m2, dan 100 cc/m2 terhadap
tanah tanpa stabilisasi. Terlihat bahwa laju erosi pada tanah yang distabilisasi aspal
emulsi dengan konsentrasi 60 cc/m2 mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan laju erosi yang terjadi pada tanah tanpa stabilisasi. Besarnya laju erosi yang
terjadi pada konsentrasi 60 cc/m2 rata-rata sebesar 37.23 % terhadap laju erosi pada
tanah tanpa stabilisasi. Dengan kata lain laju erosi pada tanah tanpa stabilisasi akan
tereduksi (berkurang) sebesar 62.77 % jika tanah tersebut distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 60 cc/m2. Laju erosi pada tanah yang distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 80 cc/m2 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju
erosi yang terjadi pada tanah tanpa stabilisasi. Besarnya laju erosi yang terjadi pada
konsentrasi 80 cc/m2 rata-rata sebesar 26.74 % terhadap laju erosi pada tanah tanpa
stabilisasi. Dengan kata lain bahwa laju erosi pada tanah tanpa stabilisasi akan
tereduksi (berkurang) sebesar 73.26 % jika tanah tersebut distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 80 cc/m2. Demikian halnya jika tanah distabilisasi aspal emulsi
dengan konsentrasi 100 cc/m2 juga menunjukkan penurunan jika dibandingkan
dengan laju erosi yang terjadi pada tanah tanpa stabilisasi. Besarnya laju erosi
yang terjadi pada konsentrasi 100 cc/m2 rata-rata sebesar 13.39 % terhadap laju
erosi pada tanah tanpa stabilisasi. Dengan kata lain bahwa laju erosi pada tanah
tanpa stabilisasi akan tereduksi (berkurang) sebesar 86.61 % jika tanah tersebut
distabilisasi aspal emulsi dengan konsentrasi 100 cc/m2.

Full Tema1.indb 126

24/10/2011 11:40:18

127

Gambar 2. Hubungan laju erosi dengan konsentrasi aspal emulsi


Gambar 2 melukiskan hubungan fungsional antara laju erosi dengan konsentrasi
aspal emulsi pada masing-masing nilai intensitas hujan (50, 65, dan 80 mm/
jam). Ketiga hubungan ini membentuk grafik sesuai dengan persamaan regresi
eksponensial. Pada intensitas hujan I50 (50 mm/jam) E = 119.1 e-0.01Ae (R2 = 0.994),
I65 (65 mm/jam) E = 184.1 e-0.02Ae (R2 = 0.941), dan I80 (80 mm/jam) E = 254.0
e-0.01Ae (R2 = 0.963). Laju erosi dari tanah yang distabilisasi dengan aspal emulsi,
memperlihatkan kecenderungan menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi
aspal emulsi. Satu hal yang menarik dari ketiga grafik hubungan ini ialah cenderung
menyatu (konvergen) dan menuju kepada laju erosi nol pada nilai konsentrasi aspal
emulsi yang lebih besar dari 100 cc/m2. Ketiga grafik ini juga memberikan indikasi
bahwa besar konsentrasi aspal emulsi pada stabilisasi tanah berpengaruh cukup
signifikan pada penurunan laju erosi dari tanah yang distabilisasi dengan aspal
emulsi. Pengaruh ini terjadi pada semua intensitas hujan.
c. Model laju erosi tanah yang distabilisasi dengan aspal emulsi
Ada dua hal yang diperoleh dari penelitian ini. Pertama, laju erosi pada tanah
dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan. Makin besar intensitas hujan, makin
besar pula laju erosi yang terjadi, hal ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian
sebelumnya; Baver (1972), Faisal (2002), Rahim (2006), Hardiyatmo (2006),
Sugiarto (2008), dan lain-lain. Kedua, yang cukup menarik dari hasil penelitian ini
ialah tanah yang distabilisasi dengan aspal emulsi dapat mereduksi laju erosi yang
cukup signifikan. Pada konsentrasi aspal emulsi 60 cc/m2 mampu mereduksi laju
erosi 62.77 %, pada 80 cc/m2 (=72.42 %), dan pada 100 cc/m2 (=86.14 %) terhadap
laju erosi pada tanah tanpa stabilisasi.
Faktor-faktor lain yang juga memengaruhi besarnya laju erosi; faktor erodibilitas
tanah, kemiringan lereng, dan faktor penutupan lahan, pada penelitian ini dijadikan
sebagai faktor kondisi batas (parameter tetap). Contoh tanah dari satu lokasi
dikondisikan tetap dalam semua perlakuan penelitian (kepadatan dan kadar air),
kondisi permukaan tanah tanpa penutup lahan pada derajat kemiringan lereng 200.

Full Tema1.indb 127

24/10/2011 11:40:19

128

Sehingga untuk kondisi penelitian ini, laju erosi dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu intensitas hujan dan konsentrasi aspal emulsi. Jadi laju erosi adalah merupakan
fungsi dari besarnya intensitas hujan, dan konsentrasi aspal emulsi. Hubungan
fungsional antara laju erosi dengan intensitas hujan dan konsentrasi aspal emulsi
adalah merupakan model laju erosi dari tanah yang distabilisasi dengan aspal
emulsi. Model ini diperoleh melalui analisis parameter tak berdimensi antara laju
erosi, intensitas hujan dan konsentrasi aspal emulsi, dengan menggunakan metode
Basic Echelon Matrix. Dari analisis matrix ini diperoleh hubungan parameter tak
berdimensi sebagai berikut :
0

(1)

Dimana : E : laju erosi (gr/m2/jam)


I : intensitas hujan (m/jam)
A : luas daerah yang diamati (m2) yaitu 1 m2

Ae : konsentrasi aspal emulsi (gr/m2)


: derajat kemiringan lereng (0)

Berdasarkan formulasi hubungan pada persamaan 1, dibuat hubungan tak berdimensi


antara laju erosi, intensitas hujan dan konsentrasi aspal emulsi. Dari hasil analisis
parameter tak berdimensi antara laju erosi dengan perbandingan konsentrasi aspal
emulsi dan intensitas hujan, dilakukan analisis regresi antara laju erosi (E) dengan
nilai perbandingan konsentrasi aspal emulsi dengan intensitas hujan (Ae/I).

Gambar 3. Hubungan laju erosi dengan perbandingan


konsentrasi aspal emulsi dan intensitas hujan
Gambar 3 melukiskan grafik hubungan antara laju erosi dengan perbandingan
konsentrasi aspal emulsi dan intensitas hujan. Grafik ini membentuk persamaan
garis regresi yang memiliki kecenderungan mengikuti pola eksponensial. Diperoleh
model prediksi laju erosi : E = 174.7 e-0.00Ae/I, dengan syarat (Ae>0, I>0) pada
luas bidang pengamatan 1 m2. Koefisien determinasi R2 = 0.922 atau R = 0.960
(> 0.60 dan mendekati 1), hal ini berarti bahwa perbandingan konsentrasi aspal

Full Tema1.indb 128

24/10/2011 11:40:19

129

emulsi dengan intensitas hujan berpengaruh sangat kuat terhadap laju erosi. Dari
grafik hubungan ini terlihat, makin besar konsentrasi aspal emulsi dan makin kecil
intensitas hujan, perbandingan kedua parameter ini akan makin besar dan laju erosi
semakin kecil. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa penambahan konsentrasi aspal
emulsi dapat mereduksi laju erosi dan kenaikan intensitas hujan memacu kenaikan
laju erosi.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Ketua Jurusan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin dan secara khusus kepada Kepala Laboratorium
Hidrolika dan Laboratorium Mekanika Tanah, yang telah memberi kesempatan
kepada penulis untuk melakukan penelitian.

Daftar Pustaka
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua Cetakan Kedua IPB
Press. Bogor.
Arsyad, U. 2010. Analisis Erosi pada berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan
Kemiringan Lereng di DAS Jeneberang Hulu. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Bakri, B. 2008. Studi Eksperimental Penentuan Laju Erosi Pada Tanah Lempung
Plastisitas Tinggi. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Bowles, J. E., Hainin, J. K. 1986. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Chaplot, V.A.M., and Bissonnais, Y.L. 2003. Runoff Features for Interrill Erosion
at Different Rainfall Intensities, Slope Lengths, and Gradients in an
Agricultural Loessial Hillslope. Soil Science Society of America Journal.
Online : (http://soil.scijournals.org/cgi/content/abstract/67/3/844)21 Juni
2010
Dariah, A. 2007. Bahan Pembenah Tanah, Prospek dan Kendala Pemanfaatannya.
Tabloid Sinar Tani. Online diakses 15 Juni 2010.
Das, B.M., Endah, N., Mochtar, I.B. 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip
Rekayasa Geoteknis) Jilid 1 dan 2, Penerbit Erlangga. Jakarta.
Faisal, U. 2002. Evaluasi Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng
Terhadap Jumlah Erosi. Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin
Hardiyatmo, H.C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hernawati. 2005. Pengaruh Penambahan Kapur dan Aspal Emulsi terhadap Daya
Dukung Tanah. UNNES. Online: (http://digilib.unnes. ac.id/gsde/collect/
wrdpdf-e/import/5114971874.pdf) diakses 2/9/2010.
Kartasapoetra, A. G., Sutedjo, M. M. 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air.
Bina Aksara. Jakarta.

Full Tema1.indb 129

24/10/2011 11:40:19

130

Katmok, Y. 2008. Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Aspal


Emulsi untuk Diaplikasikan pada Pekerjaan Perkerasan Jalan di Kabupaten
Merauke Provinsi Papua. Master Thesis. Program Pascasarjana Undip.
Kowalski, T.E., Starry, D.W. 2007. Modern Soil Stabilization Techniques.
Presentation Paper at The 2007 Annual Conference of the Transportation
Association of Canada Saskatoon.(http://www.tac-atc.ca/english/
resourcecentre/readingroom/conference/conf2007/docs/s8/starry.pdf).
Kementerian Lingkungan Hidup. 2010. Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun
2009. Online: (http://www.menlh.go.id/slhi2009/BAB%201Pendahuluan.
pdf)
Kurniadji 2010. Stabilisasi Tanah Pasir Kelanauan Cilutung dengan Aspal Emulsi
Kationik. Jurnal Puslitbang Jalan Vol.19 No.1 ISSN 0216-412.
Kusumastuti, D. I. 1994. Model Fisis Pemanfaatan Bahan Sintetis pada Lereng
Tanah Pasir untuk Perlindungan Erosi Hujan. Skripsi, Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakata.
Marzuko, A. 2009. Pengaruh Penambahan Aspal Emulsi pada Tanah Berbutir
Halus terhadap Parameter Kuat Geser Tanah. UII Repository and Archive.
Muliadi, M, S. 2008. Studi Pengaruh Intensitas Hujan Terhadap Jumlah Erosi
Pada Berbagai Kondisi Tanah Asli. Tesis, Program Pascasarjana Unhas.
Newman, K., Tingle, J.S. 2004. Emulsion Polymers for Soil Stabilization. U.S.
Army Engineer Research and development Center Online: (http://www.
airporttech.tc.faa.gov/neptf/att07/2004%20track%20P.pdf/P04009.pdf)
Prasetya, P. 1999. Stabilisasi Lempung dengan Residu Aspal Emulid 424. ITB
Central Library.
Rahim, S.E. 2006. Pengendalian Erosi Tanah dalam rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta
Soemarto, C. D. 1987. Hidrologi Teknik. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya.
Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Penerbit Tarsito, Bandung.
Sudjana. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito, Bandung.
Sugiarto. 2008. Studi Pengaruh Intensitas Hujan dan Tingkat Kepadatan Terhadap
Laju Erosi Pada Tanah Lempung Plastisitas Rendah. Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Susanto, A. 2009. Pengaruh Stabilisasi Tanah Lempung dengan Aspal Emulsi
terhadap Penurunan Konsolidasi dan Modulus Elastis Tanah. Makalah I-014
KoNTekS 3 Kampus UPH Karawaci, 6-7 Mei 2009 diakses 19 Juli 2010.
Wesley, L. D. 1977. Mekanika Tanah. Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta.
Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses.
USDA. Agric. Handbook. 537. Washington DC.

Full Tema1.indb 130

24/10/2011 11:40:19

PENERAPAN PROGRAM COMPUTER CUBIC SPLINE


INTERPOLATION UNTUK PERHITUNGAN DEBIT KANAL
DI RAWA PASANG SURUT
Rosmina Zuchri
Dosen PNSD di Fakultas Teknik Sipil Universitas Ibnu Kholdun Bogor
roszuchribogor@yahoo.co.id

INTISARI
Sebelum mencapai tahap pekerjaan fisik suatu bangunan air dibutuhkan suatu
analisis pendukung. Dalam bangunan air dikenal analisis hidrologi dan hidrometri
yang merupakan bagian analisis yang sangat dominan. Jaringan

kanal dan bangunan pengendali air sangat dibutuhkan dalam pengelolaan air agar dapat meningkatkan produksi hasil hutan tanaman industri (HTI) di lahan rawa pasang surut.
Pembangunan HTI diharapkan akan memberikan kontribusi pada pembangunan
ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah
menentukan debit kanal untuk keperluan bangunan air di rawa pasang surut Penelitian lapangan dilaksanakan di Distrik Simpang Tiga untuk pengukuran muka air
kanal di PT. SBA Wood Industries di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Pekerjaan diawali dengan mengukur geometrik penampang saluran, muka air kanal periode April hingga Juni 2010. Hasil pengukuran dijadikan masukan untuk menentukan parameter persamaan rating curve. Cara penentuannya dengan menggunakan
program komputer Cubic Spline Interpolation (CSI) dan HOBO water level. Hasil
penelitian ini yaitu lebar saluran sekitar 8-10 m, kedalaman sekitar 3-4 m. Debit
hilir (downstream) 6,044 m/sekon dan menghasilkan persamaan rating curve Qw
= a.Hwb. dimana koefisien a yaitu 1,27 dan b yaitu 1,75. dan H adalah muka air
di kanal. Pengukuran tinggi muka air kanal maksimum yaitu 2,43 m dan debit
yang diperoleh yaitu 6,393 m3/sekon, sedangkan dengan menggunakan persamaan
rating curve diperoleh tinggi muka air (Hw) max 3,110 m; min 0,270 m dan ratarata 2,887 m dan debit kanal (Qw) max yaitu 9,311 m3/sekon minimum 0,129 m3/
sekon dan rata-rata 7,243 m3/sekon. Tinggi muka air antara kedua pengukuran
tersebut yaitu 2,43 m dan 3,11 m. Sedangkan debit antara kedua pengukuran tersebut yaitu 6,393 m3/sekon dan 9,311 m3/sekon. Dari penelitian ini terbukti bahwa
daerah penelitian adalah rawa yang dipengaruhi pasang surut ini ditunjukkan dari
perbedaan hasil pengukuran tinggi muka air dan debit tersebut.
Kata kunci: Rawa pasang surut, Pengelolan air, Cubic Spline Interpolasi,
Rating curve, Hutan tanaman industri. Muka air di saluran.

131

Full Tema1.indb 131

24/10/2011 11:40:19

132

1. PENDAHULUAN
Lahan rawa pasang surut memiliki potensi yang besar dan prospek pengembangan
yang baik, serta merupakan salah satu pilihan strategis sebagai areal Hutan Tanaman
Industri (HTI) (Soewarso, 2003; Maas, 2003; Amdal, 2004; Noor, 2006). Berbagai
pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi
hasil hutan tanaman industri (HTI) agar diharapkan memberikan kontribusi pada
pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat (Soewarso, 2003; Litbang
Sinarmas Forestry, 2005; Daryono, 2009).
Pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan HTI di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan air dapat mengendalikan kondisi muka air
tanah (water table) di lahan yang fluktuatif (Arifjaya dan Kalsim, 2003). Namun
demikian, pengelolaan air masih terkendala oleh kondisi infrastruktur pengendali
air yang belum memadai. Dalam pengelolaan air harus diketahui debit drainase berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengukuran debit itu penting, tapi
terkendala dengan pengolahan datanya yang rumit (Loebis, 1989; Triatmojo, 1996;
(Setiawan, 2007). Salah satu program untuk penghitungan debit yaitu Program
Cubic Spline Interpolation (Setiawan, 1997) yang dimodifikasi oleh Setiawan dkk
(2007) menjadi program Cubic Spline Interpolation khusus untuk penghitungan
debit sungai, kedalaman muka air dapat diukur menggunakan HOBO water level .
(Setiawan, 2007) HOBO, www.onsetcomp.com/water-level-logger.
Penelitian ini bertujuan 1) Menentukan debit drainase dan formula kurva debit
rating curve, 2) Menganalisis debit drainase mengikuti formula rating curve tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan khasanah
bagi pengelolaan lahan yang lestari dan berkelanjutan di lahan basah dengan pengaruh pasang surut.
2. BAHAN DAN METODE
2.1. Deskripsi lokasi
Penelitian dilaksanakan di Distrik Simpang Tiga (PT.SBA Wood Industries), Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Luas distrik ini sekitar 31.000 ha, lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Pengamatan lapangan dilaksanakan dalam
periode 16 April sampai 7 Juni 2010.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Full Tema1.indb 132

24/10/2011 11:40:19

133

2.2. Cara kerja


Penelitian ini dilakukan atas dasar pemahaman mengenai saluran drainase, dan
water level dengan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan yaitu mencari variabel
aliran untuk menentukan debit drainase.
Variabel aliran tersebut yaitu tampang saluran , tinggi aliran dan kecepatan aliran
dapat diukur pada suatu tampang lintang saluran. Luas tampang aliran diperoleh
dengan mengukur elevasi permukaan air dan dasar sungai. Kecepatan aliran diukur
dengan menggunakan alat ukur kecepatan current meter. Kemudian dengan mengukur elevasi muka air. Pengukuran kecepatan aliran juga diukur bersamaan dengan
pengukuran elevasi muka air. Selanjutnya dilakukan pengolahan data kecepatan.
Selanjutnya dilakukan analisis berikut ini.
a. Analisis debit dengan menggunakan program komputer Cubic Spline Interpolation. Data yang diperlukan adalah jarak penampang saluran, kedalaman saluran,
dan kecepatan aliran, serta nilai kekasaran Manning (n).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Parameter hidrolika kanal
Ada beberapa parameter dalam menghitung hidrolika kanal. Tabel III1 menyajikan hasil pengukuran dan perhitungan parameter hidrolika kanal meliputi lebar
kanal yaitu 8,75 m, kedalaman air bervariasi antara 2,17 - 2,43 m, kecepatan aliran
(V) bervariasi antara 0,28 0,38 m/sekon, dan koefisien kekasaran Manning (n)
dari Tabel II-1 yaitu 0,030. Dari parameter yang diukur dan tabel tersebut dengan
menggunakan program komputer Cubic Spline Interpolation (CSI) diperoleh luas
penampang kanal (A) yaitu 17,802 m2; keliling penampang (P) yaitu 9,680 m; jarijari hidrolika (R) yaitu 1,839 m; debit air (Q) yaitu 6,393 m3/sekon; dan kemiringan saluran (S) yaitu 0,000052.
Tabel 1 Hasil pengukuran dan perhitungan parameter hidrolika kanal

Full Tema1.indb 133

24/10/2011 11:40:19

134

Kecepatan aliran (V) diketahui dengan melakukan pengukuran di lapangan menggunakan alat kecepatan arus (current meter). Hasil pengukuran tersebut dengan
menggunakan rumus Strikler V = 1/n. R 1/2. S2/3 akan diperoleh kemiringan saluran (S) yaitu 0,000052. Kecepatan aliran (V) dipengaruhi oleh koefisien kekasaran
Manning (n), kemiringan saluran (S) sehingga akan mempengaruhi nilai Debit air
kanal. Begitu juga jari-jari hidrolika (R) akan mempengaruhi luas penampang basah (A) dan keliling saluran (P) sehingga akan mempengaruhi nilai Debit air kanal.
Begitu juga dimensi kanal, jika terjadi erosi tebing kanal dan sedimentasi sehingga
akan mengubah dimensi kanal tersebut, dan akhirnya akan mempengaruhi nilai
Debit air kanal.
Parameter hidrolika kanal seperti : 1). Lebar penampang kanal digunakan untuk
merancang dimensi pintu pelimpas air (overflow). 2). Kecepatan air (V) dan luas
penampang basah kanal (A) digunakan untuk menentukan debit aliran Q.
Gambar 2 menyajikan hasil pengukuran dan perhitungan CSI profil kanal (cross
section). Lebar penampang kanal adalah 8,75 m, dalam kanal berkisar antara 3-4 m.
Dengan menggunakan Program Cubic Spline Interpolation Profil kanal langsung
tersaji.

Gambar 2. Hasil pengukuran dan perhitungan CSI profil kanal (cross section)
Desain awal PT. SBA untuk kanal primer lebar atas 12 m, lebar bawah 9 m,
dan kedalaman 3,5 m; kanal sekunder lebar atas 6 - 8 m, lebar bawah 4-5 m dan
kedalaman 3 m. Sedangkan hasil pengukuran diperoleh 8,75 m, kedalaman kanal
berkisar 3-4 meter Perubahan ukuran ini atas pertimbangan ekonomis dan teknis.
Dengan kedalaman 3-4 m saat tinggi air di kanal max 2,43 m air tidak keluar
kanal.
Manfaat dari tinggi air separuh penampang tadi yaitu untuk menghitung tinggi air
(Hw) dan debit air (Qw).
Gambar III-2 menyajikan estimasi hubungan debit dan tinggi air kanal (rating curve).
Tinggi air max hasil pengukuran 2,43 m, debit menggunakan CSI didapat 6,044
m/sekon. Agar debit CSI dapat digunakan untuk perhitungan selanjutnya maka
debit CSI harus sama dengan debit pengukuran, maka perlu dicoba-coba koefisien
a dan b nya, sehingga didapat koefisien a yaitu 1,27 dan b yaitu 1,75. Karena error
yang didapat 0, 00000004 dan R= 1,0 maka program ini layak digunakan.

Full Tema1.indb 134

24/10/2011 11:40:19

135

Gambar 3. Hasil estimasi hubungan debit dan tinggi air kanal (rating curve)
Menurut Setiawan, 2007. hasil estimasi hubungan debit dan tinggi air di Sungai
Krudeng Aceh menghasilkan persamaan debit (rating curve) Q = 0,1649.H.2,8884.
Pola persamaan rating curve kedua penelitian ini adalah sama karena hasil penelitian
menghasilkan persamaan debit (rating curve) yaitu Qw = a Hwb . dimana a adalah
1,27 dan b adalah 1,75 . Perbedaan kedua penelitian ini adalah pada nilai besaran
dari koefisien a dan b tersebut. Manfaat persamaan rating curve Qw= 1,27 H1,75
adalah untuk menentukan debit air kanal.
3.2. Debit air kanal dan hubungannya dengan hujan dan pasang surut
Perhitungan debit kanal yaitu dengan menggunakan persamaan rating curve Qw=a.
HWb dimana : Qw adalah debit air kanal; a adalah suatu koefisien yaitu 1,27;
Hw adalah tinggi muka air hasil pengukuran HOBO water level; b adalah suatu
koefisien adalah 1,75.
Tinggi muka air (Hw) periode 17 April 5 Juni yaitu max 3,110 m; min 0,270 m
dan rata-rata 2,687 m, dan debit kanal (Qw) max yaitu 9,311 m3/det rata-rata 0,129
m3/sekon dan min 7,243 m3/det. Tinggi muka air (Hw) periode 17 26 April yaitu
max 3,057 m; rata-rata 2,981 m dan min 2,891 m, dan debit kanal (Qw) max yaitu
9,034 m3/det rata-rata 8,646 m3/sekon dan min 8,191 m3/sekon. Data hujan periode
17 -26 April diperoleh max 15,800 mm/jam, rata-rata 0,349 mm/jam dan min 0,000
mm/jam. Evapotrasnpirasi 0,690 mm/jam; 0,139 mm/jam dan min 0,000 mm/jam.

Full Tema1.indb 135

24/10/2011 11:40:20

136

Gambar 4. Hasil pengukuran debit dan hujan periode 17-26 April 2010
Debit dengan menggunakan pengukuran parameter kanal diperoleh 6,393 m3/
sekon, sedangkan debit kanal menggunakan Data HOBO diperoleh (Qw) max yaitu
9,034 m3/det rata-rata 8,646 m3/sekon dan min 8,191 m3/sekon. Perubahan debit ini
menunjukkan ada kejadian pasang surut laut kemudian masuk ke sungai sekitar
dan sungai Blidang dan akhirnya masuk ke kanal.
Hujan merupakan salah satu parameter iklim yang mempengaruhi terjadinya
fluktuasi muka air kanal, air hujan yang jatuh di lahan akan masuk ke kanal dan
volume air atau debit air di dalam kanal akan bertambah dan akan berimplikasi pada
kedalaman muka air kanal. Hasil pengukuran hujan diperoleh max 15,800 mm/jam,
rata-rata 0,349 mm/jam dan min 0,000 mm/jam. Temperatur pada tekanan atmosfer
barometer max 39,276C; min 23,004C; rata-rata 27,927 C. Temperatur pada
muka air kanal (water level) max 32,394C; min 26,781C; rata-rata 27,792C.
Saat terjadi hujan tetapi debit air di kanal rendah ini menandakan ada pengaruh
temperatur yang tinggi pada air kanal yang akan terjadi proses penguapan
(evaporasi) pada air kanal dan juga ada kejadian air surut. Saat tidak ada hujan
tetapi ada air di kanal, ini menunjukkan ada pengaruh temperatur yang rendah
yang akan mengakibatkan penguapan air di kanal (evaporasi) juga rendah ,
selain ada proses evaporasi juga ada kejadian air pasang sehingga walau tidak
ada hujan atau hujan rendah masih ada debit air di kanal. Manfaat data hujan (R),
debit air kanal (Qw) digunakan dalam persamaan neraca air (water balance) untuk
menentukan muka air tanah (water table).
Kesimpulan
Beberapa program penghitungan debit salah satunya adalah program Cubic Spline
Interpolation (CSI) yang sangat cepat dalam penghitungan debit dan penampang
saluran langsung tersaji. Parameter kanal yang didapatkan meliputi lebar penampang
yaitu 8,75 m. Kedalaman kanal 3-4 meter. Tinggi muka air di saluran maksimum
2,43 m. Luas penampang basah (A) 17,802 m2. serta Debit yang diperoleh yaitu
6,044 m3/sekon serta persamaan rating curve yang diperoleh yaitu Qw= a.Hwb.
dimana koefisien a adalah 1,27 dan b adalah 1,75.

Full Tema1.indb 136

24/10/2011 11:40:20

137

Pengukuran tinggi muka air kanal maksimum yaitu 2,43 m dan debit yang diperoleh
yaitu 6,393 m3/sekon, sedangkan dengan menggunakan persamaan rating curve
diperoleh tinggi muka air (Hw) max 3,110 m; min 0,270 m dan rata-rata 2,887 m
dan debit kanal (Qw) max yaitu 9,311 m3/sekon minimum 0,129 m3/sekon dan ratarata 7,243 m3/sekon. Tinggi muka air antara kedua pengukuran tersebut yaitu 2,43
m dan 3,11 m. Sedangkan debit antara kedua pengukuran tersebut yaitu 6,393 m3/
sekon dan 9,311 m3/sekon. Sehingga harus jadi perhatian dan berhati- hati dalam
merencanakan bangunan air. Dari penelitian ini terbukti bahwa daerah penelitian
adalah rawa yang dipengaruhi pasang surut ini ditunjukkan dari perbedaan hasil
pengukuran tinggi muka air dan debit tersebut.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui persamaan neraca air (water
balance) untuk mengetahui hubungan antara water tabel dan water level yang
optimum.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan dari IPB
penemu dan mengembangkan Program Komputer Cubic Spline Interpolation dan
PT. SBA Woods Industres Region Palembang, Khususnya Direktur Utama Bapak
Dr. Ir. Soewarso, MS, juga untuk Dr. Ir. Dwi Setyawan, Msi dari Unsri Palembang
yang telah memberi kesempatan kepada penulis melakukan penelitian, sehingga
tersusunnya makalah ini. Makalah ini adalah bagian dari penelitian Analisis
kebutuhan dimensi bangunan overflow untuk pengelolaan air di rawa pasang
surut. Yang sudah diterbitkan oleh Jurnal Irigasi Bekasi Mei 2011 dan juga telah
dipresentasikan pada Seminar Internasional HATHI 15-17 Juli di Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Arifjaya,N.M; Kalsim,D.K. 2003. Rancangan Desain Sistem Tata Air Pada
Pengembangan Lahan Gambut Pasang Surut Berwawasan Lingkungan.
www.Google.com
Badan Litbang Sinar Mas Forestry. 2005. Basic Forestry Training. Sinarmas
Forestry Jakarta.
Chow,V.T.1989.Hidrolika Saluran Terbuka (Open Channel Hydraulics). Alih
Bahasa oleh N.Rosalina.Penerbit Erlangga.Bandung. Hal 90-103 dan. 456460
Daryono, H.2009. Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam
Pengelolaan Hutan dan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, Vol 6, No.2, Hal : 78-101.
Hardjoamijoyo, S; Setiawan, B.I. . April 2001. Pengembangan dan pengelolaan
Air di Lahan basah. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol.15, No.1. Hal 40-47
Harto BR, Sri.. 1993. Hidrologi Tiori Masalah dan Penyelesaian. PAU Ilmu
Teknik UGM Yogyakarta

Full Tema1.indb 137

24/10/2011 11:40:20

138

Harto BR, Sri; Sudjarwadi. 1993. Model Hidrologi PAU Ilmu Teknik UGM
Yogyakarta
Harsono, Edie. 2009. Disertasi. Hubungan Type aliran dengan Produktivitas
Tanaman Pangan. Universitas Tarumanegara. Jakarta.
Indoforest. Prospek Reformasi kebijakan kehutanan. www.google.com
Kondoatie, Robert. 2006. Jaringan Reklamasi Rawa.Makalah Seminar Nasional
Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional.
Jakarta.
Loebis J, Soewarno, Suprihadi,1993. Hidrologi Sungai. Yayasan Badan Penerbit
Pekerjaan Umum. Jakarta.
Maas, Azwar. 2003. Peluang dan Konsekuensi Pemanfaatan Lahan Rawa Pada
Masa Mendatang. Orasi Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah
Mada
Notohadiprawiro, T. 2006. Sarian Kumpulan Lahan Basah. www. Google.com..
Notohanagoro, Tejoyuwono. Perspektip Pengembangan Lahan Basah, Maslahat
dan Mudarat. www.google.com
Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan kendala. Kanisius.
Yogyakarta.
Noor, Muhammad. 2006. Lahan Rawa , Sifat dan Pengelolaan Tanah bermasalah
Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
PT. Bina Silva.2004. Laporan Analisis Dampak Lingkungan Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) Ogan Komering Ilir Propinsi
Sumatera Selatan.
PT. Harimada Bimaraksa. Engineering & Management Consultan. 2000. Laporan
Pendukung Survey Hidrometri/Hidrologi periode Musim Basah (Wet
Season) Rawa Pasang Surut Sungai Lumpur Kabupaten OKI.Sumatera
Selatan. Bandung.
Setiawan, B.I. 1997. Penerapan Cubic Spline Interpolation dalam Penentuan Debit
Sungai. Jurnal Teknik Pertanian. Vol.5, No.1, Hal:1-8.
Setiawan, B.I., Rudiyanto, M.Idkham, Mustafril, M.Yasar, Devianty. 2007.
Perbaikan Metode Penghitungan Debit Sungai menggunakan Cubic Spline
Interpolation. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol.21, No.3, Hal:307-312.
Soewarso, 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut
dengan menggunakan Model Prediksi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Sosrodarsono, S; Takeda, K. 1983, Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta. Hal 200 203.
Triatmojo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset Yogyakarta.Hal 107-127.
Triatmojo, B. 1996. Hidrolika I & II. Beta Offset Yogyakarta.
Water level Data Loggers. www.onsetcomp.com/water-level-logger

Full Tema1.indb 138

24/10/2011 11:40:20

Aplikasi Sistem Informasi Geografis


Dalam Model Hidrologi Untuk Mendukung
Pengembangan Sistem Jebakan Air Berantai
Yang Diharapkan Dapat Mengatasi Banjir Dan
Kekeringan Pada Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia
Tunggul Sutanhaji1) dan Susilawati2)
1)

2)

Dosen Fakultas Teknik Sumber Air dan Lingkungan


Universitas Brawijaya-Malang
tunggulsutanhaji@yahoo.com

HATHI Cabang NTT; Staf Pengajar Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil,
UNIKA Widya Mandira-Kupang
srsusipi@yahoo.com, sr.susi.dp@gmail.com

Intisari
Salah satu tantangan pada aplikasi sistem informasi geografis dalam model hidrologi
adalah bagaimana perubahan keruangan dapat disimulasikan secara interaktif,
mudah, cepat dengan hasil yang akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk
penelitian maupun untuk pengambilan keputusan. Model hidrologi memungkinkan
prediksi proses-proses hidrologi pada Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi harus
juga dapat mengakomodasi perubahan-perubahan keruangan dalam DAS, karena
masalah hidrologi juga merupakan masalah keruangan. Dilain pihak ada sistem
informasi geografis (SIG), yang merupakan sistem berbasis komputer untuk
pengelolaan data keruangan. Maka perlu pengintegrasian antara model hidrologi
dan SIG, sehingga mampu menjawab tantangan di atas.
Pengintegrasian SIG dalam model hidrologi ini dilakukan untuk pulau-pulau kecil
di Indonesia yang dapat mendukung pengembangan sistem jebakan air berantai
yang diharapkan dapat mengatasi benjir dan kekeringan. Pertama-tama dilakukan
pengidentifikasian masalah, selanjutnya pengumpulan data lapangan.untuk persiapan
pengembangan model SIG. Model ini kemudian diaplikasikan untuk mendukung
pengembangan sistem jebakan air berantai pada pulau-pulau kecil tersebut.
Maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendukung pengembangan sistem
jebakan air berantai melalui simulasi yang dilakukan secara interaktif, mudah, cepat
dan akurat. Hasil aplikasi dari model ini sangat mendukung dalam pengembangan
sistem jebakan air berantai melalui simulasi yang interaktif, mudah, cepat dengan
hasil yang akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk penelitian maupun untuk
pengambilan keputusan, terutama untuk menunjukkan letak jebakan air berantai
dengan jumlah dan sistem yang lebih efektif dan efisien
Kata kunci: sistem informasi geografis (SIG), model hidrologi, jebakan air,
banjir dan kekeringan, pulau-pulau kecil

139

Full Tema1.indb 139

24/10/2011 11:40:20

140

PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Banyak banjir di atas bumi, merupakan suatu akibat pesatnya perluasan perkotaan
atau alih fungsi lahan. Perubahan alih fungsi lahan ini seringkali juga tidak
diimbangi dengan usaha-usaha pencegahan banjir. Penyusutan lahan penutupan
vegetasi dan tampungan alami mempengaruhi keseimbangan hidrologi daerah
aliran sungai. Semakin banyak penyusutan lahan vegetasi ini terjadi, maka akan
menyebabkan semakin besarnya limpasan permukaan (runoff) yang akan terjadi,
yang akan menyebabkan banjir. Suatu model hidrologi, memungkinkan prediksi
proses hidrologi tersebut pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Tetapi model hidrologi
ini memiliki keterbatasan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan keruangan
dalam DAS, sedangkan masalah hidrologi juga merupakan masalah keruangan.
Dilain pihak, ada sistem informasi geografis (SIG), yang merupakan sistem berbasis
komputer untuk pengelolaan data keruangan. Dalam sistem informasi geografis,
dimungkinkan untuk melakukan analisis data secara keruangan, antara lain pada
analisis perubahan tata guna lahan, yang sangat menentukan terjadinya proses
hidrologi berupa limpasan permukaan (runoff) yang terjadi.
Karenanya, merupakan satu tantangan pada aplikasi sistem informasi geografis
dalam model hidrologi adalah bagaimana perubahan keruangan dapat disimulasikan
secara interaktif, mudah, cepat dengan hasil yang akurat, sehingga dapat digunakan
baik untuk penelitian maupun untuk pengambilan keputusan. Hal ini diperlukan
suatu usaha pengintegrasian antara model hidrologi dan SIG, sehingga mampu
menjawab tantangan di atas.
Ruang lingkup kegiatan ini adalah pulau-pulau kecil, khususnya pada daerah
kering Indonesia seperti di NTT. Hal ini merupakan usaha pengembangan model
integrasi sistem informasi geografis dan model hidrologi yang dapat mendukung
suatu pengembangan model sistem jebakan air berantai yang diharapkan dapat
mengatasi banjir dan kekeringan pada pulau-pulau kecil. Sedangkan maksud dan
tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendukung pengembangan sistem jebakan
air berantai melalui simulasi yang dilakukan secara interaktif, mudah, cepat dan
akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk penelitian maupun untuk pengambilan
keputusan, terutama untuk menunjukkan letak jebakan air berantai dengan jumlah
dan sistem yang lebih efektif dan efisien
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN METODOLOGI
Kajian Pustaka
Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS)
adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG
adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data
yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi
kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000 dalam Husein R, 2008). Menurut Anon
(2001) dalam As-syakur, A.R, (2007), sistem informasi geografi adalah suatu

Full Tema1.indb 140

24/10/2011 11:40:20

141

sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data
teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geogrfis di bumi (georeference).
Disamping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan
analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan
acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan
geografi. Aplikasi SIG dapat digunakan untuk berbagai kepentingan selama data
yang diolah memiliki referensi geografi, maksudnya data tersebut terdiri dari
fenomena atau objek yang dapat disajikan dalam bentuk fisik serta memiliki lokasi
keruangan (Indrawati, 2002). Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi
Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah
dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Ciri utama data yang bisa
dimanfaatkan dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat
dengan lokasi dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi (Dulbahri,
1993 dalam As-syakur, A.R, 2007).
Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data
atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah
analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan
dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data atribut
merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek
sebagai data spasial. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam
bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Struktur data spasial dibagi
dua yaitu model data raster dan model data vektor model data digital terrain model
(DTM)/digital elevation model (DEM). (Barus dan Wiradisastra, 2000). Ada dua
tipe DEM yaitu, TIN (Triangulated Irregular Network), merupakan penggambaran relief hasil interpolasi titik-titik ketinggian berdasarkan sistem triangulasi yang
beraturan, dan Grid/Lattice, yang merupakan penggambaran relief secara rastering
hasil interpolasi titik-titik ketinggian yang tersebar secara teratur.
Lukman, (1993) dalam As-syakur, A.R, (2007), menyatakan bahwa sistem informasi
geografi menyajikan informasi keruangan beserta atributnya, terdiri dari beberapa
komponen utama yaitu:
1. Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer dari peta
(peta topografi dan peta tematik), data statistik, data hasil analisis penginderaan jauh data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh, dan lain-lain.
Data-data spasial dan atribut baik dalam bentuk analog maupun data digital
tersebut dikonversikan kedalam format yang diminta oleh perangkat lunak sehingga terbentuk basisdata (database). Menurut Anon (2003) basisdata adalah
pengorganisasian data yang tidak berlebihan dalam komputer sehingga dapat
dilakukan pengembangan, pembaharuan, pemanggilan, dan dapat digunakan
secara bersama oleh pengguna.
2. Penyimpanan data dan pemanggilan kembali (data storage dan retrieval) ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat
(penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/cetak pada kertas).

Full Tema1.indb 141

24/10/2011 11:40:20

142

3. Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat dilakukan berbagai macam perintah misalnya overlay antara dua tema peta, membuat buffer zone jarak
tertentu dari suatu area atau titik dan sebagainya. Anon (2003) mengatakan bahwa manipulasi dan analisis data merupakan ciri utama dari SIG. Kemampuan
SIG dalam melakukan analisis gabungan dari data spasial dan data atribut akan
menghasilkan informasi yang berguna untuk berbagai aplikasi
4. Pelaporan data ialah dapat menyajikan data dasar, data hasil pengolahan data
dari model menjadi bentuk peta atau data tabular. Menurut Barus dan wiradisastra (2000) Bentuk produk suatu SIG dapat bervariasi baik dalam hal kualitas,
keakuratan dan kemudahan pemakainya. Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk
peta-peta, tabel angka-angka: teks di atas kertas atau media lain (hard copy),
atau dalam cetak lunak (seperti file elektronik).
Untuk pembuatan dan pengembangan SIG diperlukan: peta topografi digital dan
peta tematik digital. Peta topografi, sebagai kerangka acuan (frame work) untuk
keperluan olah data dan kegiatan analisis spasial (Rupa Bumi), sedangkan Peta
tematik, merupakan basis tematik untuk menghasilkan peta tematik sintesis. Unsurunsur geografik adalah objek-objek yang berlokasi di permukaan bumi atau di
dekat permukaan bumi. Unsur-unsur geografik dapat berbentuk secara alamiah
seperti sungai, tumbuhan; atau terbentuk karena sengaja dikonstruksi/dibangun
seperti jaringan jalan, jaringan pipa, bangunan. Objek yang sengaja diciptakan
untuk menyatakan pembagian tanah/lahan seperti batas administrasi, persil tanah
dan sebagainya (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Sebagai Media Penyaji Unsur Geografik (Tunggul, S., 2006)

Full Tema1.indb 142

24/10/2011 11:40:20

143

Konsep Integrasi Model Hidrologi dan Sistem Informasi Geografis (SIG)


Konsep integrasi model hidrologi dan SIG merupakan proses hidrologi dalam media
keruangan, dengan prinsip Kebutuhan-Ketersediaan seperti digambarkan dalam
Gambar 2. Sedangkan rancangan model untuk pengembangan sistem jebakan air
berantai yang diharapkan dapat mengatasi banjir dan kekeringan pada pulau-pulau
kecil, ditunjukkan dalam Gambar 3.

Gambar 2. Konsep Integrasi Model Hidrologi dan SIG (Tunggul, S., 2006)

Gambar 3. Rancangan Model Aplikasi SIG dalam Model Hidrologi


(Tunggul, S., 2006)

Full Tema1.indb 143

24/10/2011 11:40:21

144

Metodologi
Pengintegrasian SIG dalam model hidrologi ini dilakukan untuk pulau-pulau kecil
di Indonesia yang dapat mendukung pengembangan sistem jebakan air berantai
yang diharapkan dapat mengatasi benjir dan kekeringan. Pertama-tama dilakukan
pengidentifikasian masalah, selanjutnya pengumpulan data lapangan untuk
persiapan pengembangan model SIG. Diagram model hidrologi dalam sistem
informasi daerah aliran sungai ditunjukkan dalam Gambar 4. Model ini kemudian
diaplikasikan untuk mendukung pengembangan sistem jebakan air berantai pada
pulau-pulau kecil tersebut.

Gambar 4. Model Hidrologi dalam Sistem Informasi Daerah Aliran Sungai


(Tunggul, S., 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aplikasi dari model ini dalam pengembangan sistem jebakan air berantai ditunjukkan
seperti dalam Gambar 1, dan 2. Setelah masuk ke aplikasi model ini, langsung dapat
dilihat layer peta yang merupakan form berisi kanvas untuk penampilan data spasial
atau peta. Kanvas yang dapat menampilkan data spasial ini merupakan fasilitas
Map-Object yang dapat dijalankan melalui Visual Basic. Layar ini dapat memuat
lapis-lapis peta sekaligus (Gambar 1). Selanjutnya, dengan melakukan zoom-out
pada peta Pulau Sabu, maka akan tampak peta DEM dari Pulau Sabu, dengan ikonikon aplikasi manajemen sumber daya air yang interaktif (Gambar 2).

Full Tema1.indb 144

24/10/2011 11:40:21

145

Gambar 1. Peta Manajemen Sumber Daya Air Indonesia

Gambar 2. Ikon-ikon Aplikasi Manajemen Sumber Daya Air yang Interaktif


Selanjutnya tekan tombol ikon DPS, kemudian arahkan dan klik pada titik lokasi
rencana jebakan air, maka akan muncul aliran sungai secara artifisial dan luasan
daerah tangkapan hujan. Di sudut kanan atas akan muncul kotak informasi
karakteristik daerah tangkapan air. Untuk mengaktifkan perhitungan debit dan hujan,
klik tombol potensi SDA. Untuk menemukan analisa genangan air dalam jebakan,
maka tekan tombol ikon dam, arahkan dan tarik garis memotong pada titik outlet
daerah tangkapan yang secara otomatis telah dibuat terlebih dahulu, kemudian klik
dua kali, maka akan muncul kotak gambar potongan melintang, tutup, kemudian
kursor arahkan pada titik outlet, maka akan muncul kotak informasi grafik volume
dan luasan genangan serta daerah genangan air secara otomatis (Gambar 3 dan 4).

Full Tema1.indb 145

24/10/2011 11:40:21

146

Gambar 3. Analisa Daerah Aliran Sungai (Susilawati, 2011)

Gambar 4. Analisa Genangan Air dalam Jebakan Air Berantai (Susilawati, 2011)
Simulasi dilakukan untuk tiap alur drainase alam, yaitu pada alur primer, sekunder
maupun tersier untuk menemukan layout rencana jebakan air berantai (Gambar 5
dan 6).

Full Tema1.indb 146

24/10/2011 11:40:22

147

Gambar 5. Layout Jebakan Air Berantai pada Alur Sekunder (Susilawati, 2011)

Gambar 6. Layout Jebakan Air Berantai pada Alur Primer (Susilawati, 2011)

Full Tema1.indb 147

24/10/2011 11:40:22

148

Analisis neraca air dalam kolam jebakan ditunjukkan seperti dalam Tabel 1 berikut
ini.
Tabel 1. Hasil Analisis Neraca Air dalam Kolam Jebakan (Susilawati, 2011)
<<
<< Back
Back

Neraca air yang melimpas dan harus dapat ditampung dalam kolam jebakan 1

Keterangan
Koeff. Satuan
m3
Debit masukan air
Air yang dapat diresapkan
30% m3
Air yang melimpas
m3
Evaporasi permukaan kolam
m3
Neraca air dalam tampungan
m3
Tinggi genangan
Luas area genangan
Volume genangan
Volume air yang meresap
Maximum air melimpas/bln

6
5207
13003
50449
11507

5
3750
8991
m3
m3

Jan
Peb
3896 16643
4801 8363
0 8279
873
800
11235 13003
4
3125
5452

3
1875
3409

Mar
Apr
Mei
Jun
20984 3719
0
193
10196 5016 3643 3438
10788
0
0
0
738
861
873
794
13003 12142 11269 10475

Jul
0
3143
0
835
9641

Aug
Sep
Okt
Nov
101
56
795 1611
2923 2617
239
650
0
0
557
961
972
998
0
381
8669 7671
557 1137

Des
16926
5419
11507
536
12108

m
m2
m3

KESIMPULAN
Hasil aplikasi dari model ini sangat mendukung dalam pengembangan sistem
jebakan air berantai melalui simulasi yang interaktif, mudah, cepat dengan hasil yang
akurat, sehingga dapat digunakan baik untuk penelitian maupun untuk pengambilan
keputusan, terutama untuk menunjukkan letak jebakan air berantai dengan jumlah
dan sistem yang lebih efektif dan efisien.
Daftar pustaka
Anon, 2001 dalam As-syakur, A.R, 2007. Sistem Informasi Geografis (SIG)
http://mbojo.wordpress.com/2007/04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Anon, 2003 dalam As-syakur, A.R, 2007. Sistem Informasi Geografis (SIG)
http://mbojo.wordpress.com/2007/04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Barus dan wiradisastra, 2000, dalam Husein R, 2008. Konsep Dasar Sistem
Informasi Geografis.:http://ftsi.files.wordpress.com/2008/04/rahmat-sig.pdf.
Dulbahri, 1993 dalam As-syakur, A.R, 2007. Sistem Informasi Geografis (SIG)
http://mbojo.wordpress.com/2007/04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Indrawati, 2002. dalam Husein R, 2008. Konsep Dasar Sistem Informasi
Geografis.:http://ftsi.files.wordpress.com/2008/04/rahmat-sig.pdf.
Lukman, 1993 dalam As-syakur, A.R, 2007. http://mbojo.wordpress.com/2007/
04/08/sistem-informasi-geografi-sig/
Susilawati, 2011. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di
Kawasan Kering Indonesia. Gita Kasih, Kupang, Indonesia
Tunggul, S., 2005. Sistem Informasi dan Model Simulasi untuk Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Manajemen Banjir, disertasi ITB, Bandung.

Full Tema1.indb 148

24/10/2011 11:40:22

You might also like