You are on page 1of 66

LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK DALAM KEHAMILAN

DAN EKLAMPSIA ANTEPARTUM


Joint Conference

Universitas Andalas

Oleh:

MOFRI LINDO
No. CHS 19236

Pembimbing:
DR. Dr. H. JOSERIZAL SERUDJI, SpOG(K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RS DR. M. DJAMIL PADANG
2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .....................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN ...............................................................................

BAB II

KASUS .............................................................................................

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

28

A. Leukemia Granulositi Kronik ...........................................................

28

B. Kelainan Hemostasis Pada Leukemia ............................................ 33


C. Leukemia Granulositi Kronik Dalam Kehamilan .............................. 37
D. Eklampsia ........................................................................................ 38
BAB IV

Diskusi ................................................................................................ 48

BAB IV

Kesimpulan ......................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit leukemia selama kehamilan sangat jarang terjadi, diperkirakan satu


dalam 100.000 kehamilan setiap tahun. Sebagian besar merupakan leukemia akut :
dua pertiga adalah Acute Myeloid Leukemia Granulositik Akut (LGA) dan sepertiga
Leukemia Limfositik Akut (LLA), Leukemia Granulositik Kronik (LGK) ditemukan
kurang dari 10% dari leukemia selama kehamilan dan Leukemia Limfositik Kronik
(LLK) sangat jarang terjadi.(Sivers EL, 2001)
Angka kejadian LGK bersamaan dengan kehamilan jarang terjadi, karena
LGK lebih sering terjadi pada usia dewasa tua. Pengobatan LGK selama kehamilan
merupakan masalah yang rumit karena efek potensial terapi terhadap ibu dan janin.
Meskipun LGK mungkin tidak membutuhkan pengobatan segera, dan kehamilan
tidak dipengaruhi LGK, terdapatnya risiko leukostasis yang berisiko terjadinya
insufisiensi plasenta dengan akibat berat badan bayi lahir rendah, peningkatan
persalinan preterm dan kematian jika LGK tidak diterapi selama kehamilan.(Juarez, 1988)
Manajemen LGK dalam kehamilan meliputi pencegahan insufisiensi plasenta
dan komplikasi lainnya dari leukositosis dengan mengontrol leukosit ibu, disamping
mencegah efek berbahaya obat-obat sitotoksik pada janin. Busulphan dan
Hidroksiurea (HU) menghambat sintesis DNA, sehingga dapat menyebabkan
abortus, malformasi atau hambatan pertumbuhan janin intrauterin. Kelainan
kongenital telah ditemukan pada pemberian terapi busulphan selama hamil.
Preeklampsia, hambatan pertumbuhan janin intrauterin dan lahir mati dilaporkan
pada penggunaan HU selama kehamilan, tapi terapi HU belum dapat dianggap
sebagai penyebab pasti.(SAW Fadilah, 2002)
Hipertensi dalam kehamilan adalah salah satu komplikasi obstetri yang
banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas dalam bidang obstetri, selain
perdarahan dan infeksi. Insiden preeklampsia hanya 5-10% dari seluruh kehamilan
namun merupakan penyebab utama kematian ibu dan janin serta merupakan
penyumbang terbesar untuk terjadinya persalinan preterm. Saat ini diperkirakan
preeklampsia menyumbang 50.000 kematian tiap tahunnya diseluruh dunia,
disamping itu dengan adanya penyakit ini akan meningkatkan kebutuhan untuk
perawatan neonatal intensif. (Cunningham et al, 2010)

Frekwensi eklampsia bervariasi antara satu negara dengan yang lain.


Frekwensi

rendah

pada

umumnya

merupakan

petunjuk

tentang

adanya

pengawasan antenatal yang baik dan penanganan preeklampsia yang sempurna.


(Sibai BM, 1998)

Telah diketahui bahwa eklampsia masih merupakan penyebab tingginya

morbiditas dan mortalitas ibu dan anak. Mortalitas ibu di Negara berkembang masih
tinggi yaitu sekitar 5 10 %, di AS kurang dari 1 %, sedangkan kematian janin
sekitar 40 %, di AS sekitar 12 % dengan penyebab kematian ibu terjadi oleh karena
perdarahan otak, gagal jantung, edema paru, gagal ginjal dan berbagai bentuk
kegagalan multiorgan. (Cuningham 2010)
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus, seorang pasien wanita berusia 31
tahun, rujukan dari RSUD Bangko dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid preterm 34
36 minggu + eklampsi antepartum + leukemia granulositik kronik + janin gemelli,
kemudian dilakukan terminasi kehamilan secara seksio sesaria. Selesai SC pasien
dirawat di ICU selama 6 hari, selama perawatan pasien sempat mengalami perburukan
faal hemostasis dan membaik kembali pada hari keempat rawatan.

BAB II
KASUS
Identitas :
Nama

: Ny. Siti Khadijah

No. MR

: 82 68 07

Umur

: 31 th

Tgl masuk : 19 November 2013


Anamnesa :
Seorang pasien wanita umur 31 tahun masuk KB IGD RS. Dr. M. Djamil
Padang tanggal 19/11/2013 pukul 20.15 WIB kiriman RSUD Bangko dengan
diagnosa G1P0A0H0 gravid aterm + eklampsia
Riwayat Penyakit Sekarang (Heteroanamnesis)

1 hari sebelumnya pasien telah mengeluhkan sakit kepala,


namun tidak berobat, keesokan harinya pasien mengalami kejang 1x, lamanya
sekitar - 1 menit, pasien sadar setelah kejang. Pasien segera dibawa ke
RSUD Bangko, di sana didapatkan TD 160/?, lalu dipasang infus dan kateter,
keluarga mengaku pasien tidak mendapatkan obat-obatan untuk diminum.
Berdasarkan surat rujukan pasien sudah mendapatkan regimen MgSO4,
kemudian pasien dirujuk ke RS. Dr. M. Djamil Padang dengan infus dan kateter
terpasang.

Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)


Keluar lendir campur darah dari kemaluan (-)
Keluar air-air yang banyak dari kemaluan (-)
Keluar darah yang banyak dari kemaluan (-)
Riwayat nyeri kepala (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-).
Tidak haid sejak 8,5 bulan yang lalu
HPHT : pertengahan maret 2013
TP: sulit ditentukan
Gerak anak dirasakan sejak 3,5 bulan yang lalu
Riwayat hamil muda : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Antenatal care : kontrol ke bidan 3 kali sejak kehamilan 4 bulan,
poliklinik kebidanan RS. Dr. M Djamil Padang 1 kali pada bulan Juli 2013 saat
usia kehamilan 5 bulan, SpOG di pariaman 2 kali, terakhir pada akhir Oktober
2013, dikatakan usia kehamilan 32 minggu dan dianjurkan untuk melahirkan di
RS. Dr. M. Djamil Padang, karena pasien telah diketahui menderita leukemia,
dan kehamilan kembar. Selama kontrol kehamilan tidak pernah didapatkan

tekanan darah tinggi.


Riwayat hamil tua : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)

Riwayat menstruasi : menarche usia 13 tahun, siklus haid tidak


teratur, 1x/bulan lamanya 5-7 hari, banyaknya 2-3x ganti duk/hari, nyeri haid (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, diabetes melitus,

hipertensi dan riwayat alergi.


Pasien telah diketahui menderita penyakit leukemia sejak 1,5 tahun yang
lalu, kontrol ke poliklinik hematologi penyakit dalam RS. Dr. M Djamil
Padang, mendapatkan pengobatan sitodrox 1 x 1000. Pernah dirawat 1 kali
di bagian penyakit dalam pada akhir bulan Juni 2013, sudah dilakukan USG,
diketahui usia kehamilan 4 bulan dan kembar.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit keturunan,
menular ataupun kejiwaan.
Riwayat Perkawinan : 1 x tahun 2011
Riw Kehamilan/Abortus/Persalinan : 1 / 0 / 0
1. Sekarang
Riwayat Kontrasepsi : (-)
Riwayat Imunisasi

: (-)

Riwayat Pendidikan : tamat S1


Riwayat Pekerjaan

: guru SMP

Riwayat Kebiasaan :
Merokok (-), minum alkohol (-), narkoba (-).
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

lemah

apatis

TB

TD
150/100
mmHg

: 150 cm

Nadi

Nafas

96 x/mnt

24 x/mnt

36,8 0 C

BB : 44 kg (sebelum hamil) / 60 kg (sekarang)


2

BMI

: 21,3 kg/m

LILA : 23 cm

Mata

: konjungtiva anemis (-)/(-) sklera ikterik (-)/(-)

Leher : JVP 5-2 cm H2O, kelenjar tiroid normal


Thorax :
Paru :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: gerakan nafas simetris kanan = kiri


: fremitus simetris kanan = kiri
: sonor pada kedua lapangan paru
: suara nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: iktus kordis tidak terlihat


: iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
: batas-batas jantung dalam batas normal
: S1-2 reguler, bising (-)

Ekstremitas : perdarahan bawah kulit pada bekas tusukan jarum suntik, edem (-) /
(-), refleks patella (+) /(+), refleks patologis -/ Urine

: 600 cc/sewaktu, hematuria, protein urin (+3) dibakar

Status Obstetrikus :
Abdomen :
Inspeksi : tampak membuncit seperti kehamilan aterm, striae gravidarum (+),
sikatrik (-)
Palpasi

L1 : FUT 1 jari dibawah proc.xyphoideus,


teraba masa bulat keras, disamping massa lunak noduler
L 2 : teraba tahanan terbesar dikiri dan kanan ibu
L3 : teraba masa bulat, keras, tidak terfixir
L4 : tidak dilakukan
TFU : 44 cm

HIS : (-)

Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N
DJJ 1 : 135 150x/menit
DJJ 2 : 140-155 x/menit
Genitalia :
Inspeksi : vulva-uretra tenang, ppv (-)
VT :
Pembukaan tidak ada
Portio tebal 1,5 cm posterior, sedang
Ketuban sulit dinilai
Teraba kepala HI
Ukuran panggul dalam :
Promontorium tidak tercapai
Linea inominata teraba 1/3-1/3
Dinding samping panggul lurus
Os. Sacrum cekung
Spina isciadica tidak menonjol

Os. Coccigeus mudah digerakkan


Arcus pubis > 900
Ukuran panggul luar :
DIT dapat dilalui 1 tinju dewasa (>10,5cm)
Kesan: panggul luas
Diagnosa :
G1P0A0H0 gravid preterm 34 - 36 minggu + eklampsia antepartum dalam
regimen SM dosis maintenance dari luar + riwayat leukemia
Janin hidup gemeli intra uterin letkep-letsu
Sikap :

Kontrol KU, VS, DJJ, refleks patella, balance cairan dan jumlah urine

Lanjutkan regimen MgSO4 dosis maintenance

Cek laboratorium darah rutin, kimia klinik dan urinalisa

EKG

Lapor tim PEB dan Eklampsi (mata, jantung, interne, neurologi)

Anti hipertensi metildopa 250 mg

Informed consent

Hasil Ultrasonografi :

Janin hidup gemeli intrauterin letkep-letsu


Aktifitas gerak janin baik
Biometri Janin 1 :
Biometri Janin 2 :
BPD : 92
AC: 305 FL : 68,9
BPD : 87,3
AC : 310
EFW : 2562 gram
EFW : 2679 gr
AFI : Cukup
Plasenta tertanam dicorpus posterior grade II III
Kesan : gravid 35-36 minggu sesuai biometri,
Janin hidup gemeli intra uterine, letkep-letsu

FL : 69,6

Hasil Laboratorium :
Parameter
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit

Hasil

Satuan

Rujukan

11,7

gr/dl

12-14

91.400

/mm

36

5.000 10.000
37 43

Trombosit

395.000

/mm

150.000 400.000

Eritrosit

4,3 x 106

/mm3

45

Retikulosit

0,5-2,0

Basofil

0-1

Metamielosit

13/100 leuko

Eosinofil

1-3

Netrofil batang

24

2-6

Netrofil segmen

43

50-70

Limfosit

20-40

Monosit

2-8

Blast

Promielosit

Mielosit

12

27,3

pg

Eritrosit berinti

MCH

27 31

84

82 92

MCHC

32,6

g/dl

32 36

APTT

38,5

detik

29,2 39,4

PT

10,5

detik

10 13,6

D dimer

0,88

mg/l

0-0,3

Kalium

3,3

mmol/l

3,5 5,1

Kalsium

7,9

mg/dl

8,6-10,3

Natrium

142

mmol/l

139 145

Ureum darah

11

mg/dl

15 40

Kreatinin

0,6

mg/dl

0,6 1,2

3014

u/l

< 480

Gula darah sewaktu

68

mg/dl

< 200

Protein total

6,3

mg/dl

6,6 8,7

Albumin

g/dl

3,5 5,2

Globulin

3,3

g/dl

3,1 3,5

Total bilirubin

0,7

mg/dL

0,1 1,2

SGOT

50

u/l

0 31

SGPT

18

u/l

0 34

MCV

LDH

Urinalisa :
Protein

: (+++)

Silinder

: (-)

Glukosa

: (-)

Kristal

: (-)

Leukosit

: 1-2 (0-5/LPB)

Epitel

: gepeng (+)

Eritrosit

: > 350 (0-1/LPB)

Urobilinogen :(+)

Hasil Konsul Mata :

Kesan :
-

Saat ini tanda fundus eklampsi belum dapat disingkirkan

Saat ini ditemukan tanda fundus leukemia

Hasil Konsul Neuro :


Kesan :
Saat ini tidak ditemukan defisit neurorologi fokal
Observasi kejang ec. eklampsia
Leukemia

Terapi sesuai bagian TS


Hasil Konsul Jantung :
G1P0A0H0 gravid aterm + eklampsia antepartum + riwayat leukemia
Saat ini tidak ditemukan kelainan akut di bidang kardiologi
Advise Metildopa 3 x 250 mg
Konsul Penyakit dalam
Hasil Konsul Interne :
Kesan : Gravid 34-36 minggu + Eklampsia
Leukemia granulositik kronik
Toleransi Operasi :

Pasien beresiko tinggi untuk terjadi trombosis dan diastesis hemoragik


Pasien beresiko tinggi untuk terjadi infeksi

Advise :
-

Antibiotik yang adekuat

Cek ulang Hb, leukosit, trombosit, PT, APTT, D-dimer post op

Rawat bersama sub hematologi

Metildopa 3 x 250mg

Diagnosa :
G1P0A0H0 gravid preterm 34-36 minggu

+ eklampsia antepartum dalam

regimen SM dosis maintenance + HELLP syndrome parsial + leukemia


granulositik kronik dalam terapi
Janin hidup gemeli intra uterin letkep-letsu
Sikap :

Kontrol KU, VS, DJJ, his, jumlah urin, refleks patella, balance cairan

Lanjut regimen SM dosis maintenance

Antihipertensi : metildopa 3 x 250

Antibiotik (skin test) : ceftriaxon 2 x 1 gr

Siapkan darah PMI

Informed consent

Konsul Anestesi, Perinatologi

Lapor OK

Rencana :
Terminasi Kehamilan dengan SC
Tanggal 20-11-2013, jam 01.15 wib dilakukan SCTPP
Jam 01.20 WIB, lahir bayi 1, laki-laki dengan :
BB : 2600 gr
PB : 46 cm
A/S : 8/9
Dilakukan penjepitan tali pusat. Ketuban dipecahkan.
Jam 01.25 wib,Lahir bayi 2, perempuan dengan :
BB: 2400 gr
PB : 46 cm
A/S: 8/9
Tidak ditemukan tanda-tanda kelainan kongenital pada kedua bayi
Plasenta lahir dengan tarikan ringan pada tali pusat, lengkap, ukuran I : 16x15x2,5
cm, II : 16x 16 x 2,5 cm, berat 1000 gr, panjang tali pusat I : 64 cm, panjang tali
pusat II : 58 cm, insersi tali pusat I parasentralis, insersi tali pusat II parasentralis.
Kesan : dikhorion diamnion
Perdarahan selama tindakan 500 cc.
Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP ai eklamsia antepartum dalam regimen SM dosis
maintanace dari luar + HELLP syndrome parsial + leukemia granulositik kronik
dalam terapi
Ibu-anak dalam perawatan
Sikap :

Rawat ICU

Kontrol KU, VS, jumlah urin, refleks patella, balance cairan

Awasi kontraksi dan perdarahan pervaginam

Lanjut regimen SM dosis maintenance

Cek darah rutin post op

Terapi :

Ceftriaxon 2x1 gram

Metronodazol fls 3 x 500 mg

Morfin : fortanes (30:30/50 cc) 2 cc/jam

Dopamet 3 x 250 mg

Gastrul 2 tablet/rektal/6 jam

Transamin 3 x 1 amp

Vit K 3 x 1 amp

Vit C 3 x 1 amp

10

Follow up 2 jam post partum :


Anamnesa :
Pasien tidak sadar
Pemeriksaan Fisik :
KU
Buruk

Kes
dpo

Mata

TD
111/74
mmHg

Nadi
116 x/mnt

Nafas
Ventilator
(IPPV)

T
370 C

SO2
98 %

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
I

: Tampak sedikit membuncit, luka operasi tertutup verban

Pa

: FUT teraba 1 atas bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-), DM (-)

Pk

: Timpani

Au

: BU (+) normal

Genitalia : I : v/ u tenang, PPV (-)


dilakukan VT, keluar bekuan darah (stosel) 300 cc
Ektremitas : udem -/-, reflek patella +/+ N
Urine : 220 cc/3 jam
Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum (dalam reg SM dosis
maintenance) + HELLP syndrome parsial + leukemia granulositik kronik
dalam terapi
Sikap :

11

Kontrol KU, VS, jumlah urin, refleks patella, balance cairan

Awasi kontraksi dan perdarahan pervaginam

Lanjut regimen SM dosis maintenance

Cek darah rutin, faal hemostasis dan kimia klinik

Hasil laboratorium :
Parameter
Hemoglobin
Leukosit

Hasil

Satuan

Rujukan

7,7

gr/dl

12-14

124.000

/mm

24

Hematokrit
Trombosit

5.000 10.000
37 43

494.000

/mm

APTT

65,3

detik

29,2 39,4

PT

13,6

detik

10 13,6

D dimer

3,2

mg/l

0-0,3

Kalium

3,6

mmol/l

3,5 5,1

Kalsium

6,7

mg/dl

8,6-10,3

Natrium

137

mmol/l

139 145

Ureum

16

mg/dl

15 40

Kreatinin

0,7

mg/dl

0,6 1,2

2260

u/l

< 480

Gula darah sewaktu

88

mg/dl

< 200

Protein total

4,2

mg/dl

6,6 8,7

Albumin

2,1

g/dl

3,5 5,2

Globulin

2,1

g/dl

3,1 3,5

Total bilirubin

0,34

mg/dL

0,1 1,2

SGOT

40

u/l

0 31

SGPT

14

u/l

0 34

LDH

150.000 400.000

Tanggal 20 November 2013


Obgyn :
Anamnesa :
Pasien tidak sadar
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

SO2

Buruk

dpo

110/60 mmHg

103 x/mnt

ventilator (ippv)

37,90 C

99 %

Mata

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
I

: Tampak sedikit membuncit, luka operasi tertutup verban (verban


12

basah oleh darah, setelah dibuka tidak ada perdarahan aktif pada
bekas insisi)
Pa

: FUT teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi baik


NT (-), NL (-) DM (-)

Pk

: Timpani

Au

: BU (+) normal

Genitalia : I : v/ u Tenang, PPV (-)


Urine : 130 cc/3 jam (hematuri)
Ektremitas : udem -/-, reflek patella +/+ N
Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum (dalam reg SM dosis
maintenance) + HELLP syndrome parsial + leukemia granulositik kronik
dalam terapi + anemia sedang (Hb : 7,7 gr %)
Sikap :

Kontrol KU, VS, jumlah urin, refleks patella, balance cairan

Awasi kontraksi dan perdarahan pervaginam

Lanjut regimen SM dosis maintenance

Transfusi darah : PRC 2 unit

Transfusi albumin 20 %

Terapi :

Ceftriaxon 2x1 gram

Metronodazol fls 3 x 500 mg

Dopamet 3 x 250 mg, jika TD > 160 mmHg

Gastrul 2 tablet/rektal/6 jam

Transamin 3 x 1 amp

Vit K 3 x 1 amp

Vit C 3 x 1 amp

Sikap/terapi ICU (Advise dr Yose Wizano SpAn) :

Transfusi PRC 2 unit


Coba weaning
Transfusi albumin 20 %
Inj. Ca glukonas 1 gram
Tramadol inj 2 x 100 mg
Ranitidin inj 2 x 50 mg

Omeprazol inj 1 x 40 mg

13

Morfin : fortanes (30:30/50 cc) 1 cc/jam

Tamoliv 4 x 1 gram

Interne (stase hematologi) :


Anamnesa :
Pasien post SC tadi malam, sudah dikenal LGK
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

Buruk

dpo

95/52 mmHg

90 x/mnt

Ventilator

Abdomen : hepar 2 jari bawah intercostalis, lien S2


Laboratorium :
: 11,7 7,7

Hb

Leuko : 91.400 124.000

APTT : 38,5 65,3

: 36 24

Ht

: 10,5 13,6

PT

D-dimer : 0,88 3,2

Tromb : 395.000 494.000


Diagnosa :

P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum


LGK fase kronik
Hipokoagulasi

Konsul Dr. Irza Wahid, SpPD (K) :


Advise :

Transfusi cryopresipitat 5 unit


Transfusi FFP 250 cc
Skoring DIC/hari (PT, APTT, D dimer, tombosit)

Tanggal 21 November 2013


Obgyn :
Anamnesa :
Pasien tidak sadar
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

SO2

Buruk

dpo

111/66 mmHg

100 x/mnt

ventilator (ippv)

37,90 C

99 %

Mata

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
14

: Tampak sedikit membuncit, luka operasi tertutup verban

Pa

: FUT teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)

Pk

: Timpani

Au

: BU (+) normal

Genitalia : I : v/ u Tenang, PPV (-)


Urine : 300 cc/3 jam (hematuri)
Balance cairan : + 146 cc
Ektremitas : udem -/-, reflek patella +/+ N
Laboratorium :
Parameter

Hasil

Satuan

Rujukan

5,1

gr/dl

12-14

Hemoglobin
Leukosit

39.800

/mm

16

Hematokrit
Trombosit

5.000 10.000
37 43

161.000

/mm

150.000 400.000

APTT

52,4

detik

29,2 39,4

PT

12,6

detik

10 13,6

D dimer

0,95

mg/l

0-0,3

Kalium

3,7

mmol/l

3,5 5,1

Kalsium

6,6

mg/dl

8,6-10,3

Natrium

142

mmol/l

139 145

Protein total

4,7

g/dl

6,6 8,7

Albumin

2,5

g/dl

3,5 5,2

Globulin

2,2

g/dl

3,1 3,5

Magnesium

7,25

mmol/l

1,5 - 2

Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum (dalam reg SM dosis
maintenance) + HELLP syndrome parsial + leukemia granulositik kronik
dalam terapi + anemia berat
Sikap :

Kontrol KU, VS, ppv, jumlah urin, refleks patella, balance cairan

Stop regimen SM

Transfusi darah : PRC 2 unit/hari

Transfusi albumin 20 %

Terapi :

Ceftriaxon 2x1 gram

15

Metronodazol fls 3 x 500 mg

Dopamet 3 x 250 mg, jika TD > 160 mmHg

Sikap/terapi ICU (Advise dr Yose Wizano SpAn) :

Transfusi PRC 2 unit/hari


Transfusi albumin 20 %
Inj. Ca glukonas 1 gram
Tramadol inj 2 x 100 mg
Ranitidin inj 2 x 50 mg

Omeprazol inj 1 x 40 mg

Morfin : fortanes (30:30/50 cc) 0,5 cc/jam

Tamoliv 4 x 1 gram

Interne (stase hematologi) :


Anamnesa :
Perdarahan (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

lemah

dpo

122/72 mmHg

98 x/mnt

Ventilator

38

Laboratorium :
Hb

: 5,1 ()

PT

: 12,6

Leuko : 39.800

APTT : 52,4

Ht

D-dimer : 0,95

: 16

Tromb : 161.000
Diagnosa :

P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum


LGK fase kronik
Hipokoagulasi

Konsul Dr. Irza Wahid, SpPD (K) :


Advise :

Coombs test
Jika coombs test (+) transfusi darah dengan WRC (pagi 1 unit, sore 1
unit) sampai Hb 8 gr %
Post transfusi, injeksi deksametason 2 ampul
Jika Coombs test (-) transfusi PRC sampai Hb 8 gr %
Transfusi FFP 250 cc

16

Skoring DIC/hari (PT, APTT, D dimer, tombosit)

Tanggal 22 November 2013


Obgyn :
Anamnesa :
Demam (+), ppv (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

SO2

lemah

cm

126/81 mmHg

76 x/mnt

ventilator (ippv)

37,80 C

99 %

Mata

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
I

: Tampak sedikit membuncit, luka operasi tertutup verban

Pa

: FUT teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)

Pk

: Timpani

Au

: BU (+) normal

Genitalia : I : v/ u tenang, ppv (-)


Urine : 160 cc/3 jam
Balance cairan : - 462 cc
Ektremitas : udem -/-, reflek patella +/+ N
Laboratorium :
Parameter
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit

Hasil

Satuan

Rujukan

5,8

gr/dl

12-14

40.800

/mm3

5.000 10.000

18

37 43
3

248.000

/mm

150.000 400.000

APTT

48,3

detik

29,2 39,4

PT

12,1

detik

10 13,6

Kalium

4,1

mmol/l

3,5 5,1

Kalsium

6,1

mg/dl

8,6-10,3

Natrium

143

mmol/l

139 145

Protein total

4,4

g/dl

6,6 8,7

Albumin

2,4

g/dl

3,5 5,2

Globulin

g/dl

3,1 3,5

Ureum

35

mg/dl

15 40

Kreatinin

0,9

mg/dl

0,6 1,2

17

Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum, nifas hari ke-3 + HELLP
syndrome parsial + leukemia granulositik kronik dalam terapi + anemia berat
Sikap :

Kontrol KU, VS, jumlah urin, balance cairan

Transfusi darah : PRC 2 unit/hari

Transfusi albumin 20 %

Terapi :

Ceftriaxon 2x1 gram

Metronodazol fls 3 x 500 mg

Dopamet 3 x 250 mg, jika TD > 160 mmHg

Sikap/terapi ICU (Advise dr Yose Wizano SpAn) :

Setting ventilator : T piece


Transfusi PRC 2 unit/hari
Transfusi albumin 20 %
Inj. Ca glukonas 1 gram
Makanan cair 6 x 100 mg
IVFD tutofusin 3 kolf/hari
Tramadol inj 2 x 100 mg
Ranitidin inj 2 x 50 mg

Omeprazol inj 1 x 40 mg

Morfin : fortanes (30:30/50 cc) 0,5 cc/jam

Tamoliv 4 x 1 gram

Interne (stase hematologi) :


Anamnesa :
Perdarahan (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

lemah

cm

132/70 mmHg

82 x/mnt

Ventilator

370 C

Laboratorium :
Hb

: 5,1 ()

PT

: 12,6

Leuko : 39.800

APTT : 52,4

Ht

D-dimer : 0,95

: 16

Tromb : 161.000

18

Diagnosa :

Anemia berat
Hipokoagulasi (perbaikan)

Sikap :

Cek Hb, trombosit, PT, APTT, D dimer tiap hari


Transfusi PRC sampai Hb 8 gr %

Tanggal 23 November 2013


Obgyn :
Anamnesa :
Demam (+), ppv (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

SO2

sedang

cmc

122/70 mmHg

82 x/mnt

ventilator (ippv)

37,50 C

99 %

Mata

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
I

: Tampak sedikit membuncit, luka operasi tertutup verban

Pa

: FUT teraba 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)

Pk

: Timpani

Au

: BU (+) normal

Genitalia : I : v/ u tenang, ppv (-)


Urine : 180 cc/3 jam
Balance cairan : + 344 cc
Ektremitas : udem -/-, reflek patella +/+ N
Laboratorium :
Parameter
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit

Hasil

Satuan

Rujukan

7,6

gr/dl

12-14

51.500

/mm3

5.000 10.000

24

37 43
3

310.000

/mm

51,4

detik

29,2 39,4

11

detik

10 13,6

D dimer

0,73

mg/l

0-0,3

Kalium

4,4

mmol/l

3,5 5,1

Kalsium

8,0

mg/dl

8,6-10,3

Natrium

140

mmol/l

139 145

APTT
PT

150.000 400.000

19

Protein total

5,0

g/dl

6,6 8,7

Albumin

3,2

g/dl

3,5 5,2

Globulin

1,8

g/dl

3,1 3,5

Ureum

35

mg/dl

15 40

Kreatinin

0,9

mg/dl

0,6 1,2

Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum, nifas hari ke-4 + HELLP
syndrome parsial (dalam perbaikan) + leukemia granulositik kronik + anemia
sedang
Sikap :

Kontrol KU, VS, jumlah urin, balance cairan

Transfusi darah : PRC 2 unit/hari

Terapi :

Ceftriaxon 2x1 gram

Metronodazol fls 3 x 500 mg

Dopamet 3 x 250 mg, jika TD > 160 mmHg

Sikap/terapi ICU (Advise dr Yose Wizano SpAn) :

Setting ventilator : T piece, jika stabil ekstubasi


Transfusi PRC 2 unit/hari
Makanan cair 6 x 100 gram
IVFD tutofusin 2 kolf/hari
Ranitidin inj 2 x 50 mg

Omeprazol inj 1 x 40 mg

Morfin : fortanes (30:30/50 cc) 0,5 cc/jam

Tamoliv 1 gram (k/p)


Neurobion inj 5000 mg/hari

Tanggal 24 November 2013


Obgyn :
Anamnesa :
Demam (-), ppv (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

SO2

sedang

cmc

129/84 mmHg

74 x/mnt

22 x/mnt, NRM

36,80 C

100 %

Mata

: Konjungtiva subanemis, sklera tidak ikterik

20

Abdomen :
FUT teraba 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)
Genitalia : I : v/ u tenang, ppv (-)
Urine : 250 cc/3 jam
Laboratorium :
Parameter
Hemoglobin
Leukosit

Satuan

Rujukan

9,5

gr/dl

12-14

46.800

/mm

29,5

Hematokrit
Trombosit

Hasil

255.000

/mm

5.000 10.000
37 43

150.000 400.000

Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum, nifas hari ke-5 + HELLP
syndrome parsial (dalam perbaikan) + leukemia granulositik kronik + anemia
ringan
Sikap :
Kontrol KU, VS, jumlah urin, balance cairan

Terapi :

Ceftriaxon 2x1 gram

Metronodazol fls 3 x 500 mg

Dopamet 3 x 250 mg, jika TD > 160 mmHg

Sikap/terapi ICU (Advise dr Yose Wizano SpAn) :

Makanan cair 6 x 100 gram


IVFD tutofusin 2 kolf/hari
Ranitidin inj 2 x 50 mg

Omeprazol inj 1 x 40 mg

Tamoliv 1 gram (k/p)

Neurobion inj 5000 mg/hari

Interne (stase hematologi) :


Anamnesa :
Perdarahan (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

sedang

cmc

138/86 mmHg

89 x/mnt

20 x/mnt

370 C

21

Laboratorium :
Hb

: 9,5

PT

: 11

Leuko : 46.800

APTT : 51,4

Tromb : 255.000

D-dimer : 0,73

Kesan :

Hipokoagulasi ec HELLP syndrome (perbaikan)


LGK fase kronis

Tanggal 25 November 2013


Anamnesa :
Demam (-), sesak nafas (-), ASI (+), BAK (+) via keteter, BAB (+), ppv (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

sedang

cmc

134/84 mmHg

72 x/mnt

Mata

Nafas
20 x/mnt, O2
binasal

SO2

36,80 C

100 %

: Konjungtiva subanemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
FUT teraba 3 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)
Genitalia : I : v/ u tenang, ppv (-)
Urine : 170 cc/3 jam
Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum, nifas hari ke-6 + HELLP
syndrome parsial (dalam perbaikan) + leukemia granulositik kronik + anemia
ringan
Sikap :
Kontrol KU, VS, ppv

Terapi :

IVFD tutofusin

Ceftriaxon 2x1 gram

Metronodazol fls 3 x 500 mg

Dopamet 3 x 250 mg, jika TD > 160 mmHg

Rencana :
Pindah HCU kebidanan
Advise dr Yose Wizano SpAn :
Acc pindah kebidanan

22

Tanggal 26 November 2013


Anamnesa :
Demam (-), sesak nafas (-), ASI (+), BAK (+) via keteter, BAB (+), ppv (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

sedang

cmc

110/80 mmHg

80 x/mnt

22 x/mnt

36,80 C

Mata

: Konjungtiva subanemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
Luka operasi kering, tanda radang (-)
FUT teraba 3 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)
Genitalia : I : v/ u tenang, ppv (-)
Urine : 100 cc/ jam
Laboratorium :
Parameter
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit

Hasil

Satuan

Rujukan

gr/dl

12-14

63.000

/mm

28

5.000 10.000
37 43

/mm

150.000 400.000

3,4 x 10

/mm

45

Retikulosit

2,7

0,5-2,0

Basofil

0-1

Metamielosit

1/100 leuko

Eosinofil

1-3

Netrofil batang

15

2-6

Netrofil segmen

37

50-70

Limfosit

20-40

Monosit

2-8

Blast

Promielosit

12

Mielosit

26

26,8

pg

Trombosit
Eritrosit

Eritrosit berinti

MCH

314.000
6

27 31

82

82 92

MCHC

32,5

g/dl

32 36

APTT

41,8

detik

29,2 39,4

PT

10,5

detik

10 13,6

MCV

23

Kalium

3,7

mmol/l

3,5 5,1

Kalsium

8,5

mg/dl

8,6-10,3

Natrium

136

mmol/l

139 145

mg/dl

15 40

0,5

mg/dl

0,6 1,2

LDH

1286

u/l

< 480

Gula darah sewaktu

122

mg/dl

< 200

Protein total

4,8

mg/dl

6,6 8,7

Albumin

3,1

g/dl

3,5 5,2

Globulin

1,7

g/dl

3,1 3,5

Total bilirubin

0,37

mg/dL

0,1 1,2

SGOT

24

u/l

0 31

SGPT

47

u/l

0 34

Ureum darah
Kreatinin

Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum, nifas hari ke-7 + HELLP
syndrome parsial (dalam perbaikan) + leukemia granulositik kronik + anemia
ringan
Sikap :

Kontrol KU, VS, ppv

Mobilisasi bertahap

Diet TKTP

Aff infus dan kateter

Terapi :

Cefixime 2x500 mg

Metronodazol tab 3 x 500 mg

Antalgin 3 x 500 mg

SF 1x1

Vit C 1x1

Interne (stase hematologi) :


Anamnesa :
Demam (-), perdarahan (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

sedang

cmc

110/80 mmHg

88 x/mnt

20 x/mnt

afebris

24

Mata

: anemis +/+, ikterik -/-

Torak : nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/Laboratorium :


Hb

:9

Leuko : 63.000
Ht

: 28 %

Tromb : 314.000
MCH/MCV/MCHC : 26,8/82/32,5
LDH

: 1286

Kesan :
LGK fase kronis
Terapi : lanjut
Tanggal 27 November 2013
Anamnesa :
Demam (-), sesak nafas (-), ASI (+), BAK (+) via keteter, BAB (+), ppv (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

sedang

cmc

110/80 mmHg

82 x/mnt

20 x/mnt

Afebris

Mata

: Konjungtiva subanemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
Luka operasi kering, tanda radang (-)
FUT teraba 3 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)
Genitalia : I : v/ u tenang, ppv (-)
Diagnosa :
P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum, nifas hari ke-8 + HELLP
syndrome parsial (dalam perbaikan) + leukemia granulositik kronik + anemia
ringan
Sikap :

Kontrol KU, VS, ppv

Mobilisasi

Diet TKTP

Terapi :

25

Cefixime 2x500 mg

Metronodazol tab 3 x 500 mg

Antalgin 3 x 500 mg

SF 1x1

Vit C 1x1

Rencana :
Alih rawat interne
Interne (stase hematologi) :
Anamnesa :
Demam (-), perdarahan (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

sedang

cmc

110/80 mmHg

82 x/mnt

20 x/mnt

afebris

Mata

: anemis +/+, ikterik -/-

Torak : nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/Diagnosa :


LGK fase kronis
jika tidak ada indikasi rawat di kebidanan, pindah rawat ke bagian Penyakit
Dalam
Tanggal 28 November 2013
Anamnesa :
Demam (-), sesak nafas (-), ASI (+), BAK (+) via keteter, BAB (+), ppv (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

sedang

cmc

110/80 mmHg

84 x/mnt

20 x/mnt

Afebris

Mata

: Konjungtiva subanemis, sklera tidak ikterik

Abdomen :
Luka operasi kering, tanda radang (-)
FUT teraba 3 jari bawah pusat, kontraksi baik, NT (-), NL (-) DM (-)
Genitalia : I : v/ u tenang, ppv (-)
Diagnosa :

26

P1A0H2 post SCTPP a.i eklampsi antepartum, nifas hari ke-9 + HELLP
syndrome parsial (dalam perbaikan) + leukemia granulositik kronik + anemia
ringan
Sikap :

Kontrol KU, VS, ppv

Mobilisasi

Diet TKTP

Pindah rawat bangsal interne

Terapi :

Cefixime 2x500 mg

Metronodazol tab 3 x 500 mg

Antalgin 3 x 500 mg

SF 1x1

Vit C 1x1

pasien menolak untuk pindah rawat ke bangsal interne dan minta pulang

27

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Leukemia Granulositik Kronik


Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas,
menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. (Baldy, 2006)
Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik menurut maturitas sel
maupun turunan sel. Berdasarkan maturitas sel, leukemia dibedakan atas akut dan
kronik. Jika sel ganas tersebut sebagian besar immatur (blast) maka leukemia
diklasifikasikan akut, sedangkan jika yang dominan adalah sel matur maka
diklasifikasikan sebagai leukemia kronik. Berdasarkan turunan sel, leukemia
diklasifikasikan atas leukemia mieloid dan leukemia limfoid. Kelompok leukemia
mieloid meliputi granulositik, monositik, megakriositik dan eritrositik.(Laundher TM, 2002
Leukemia Granulositik Kronik
1. Definisi
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai
salah satu penyakit mieloproliferatif.(Price dan Wilson, 2006) Penyakit ini timbul pada tingkat
sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCRABL.(Vardiman,

2007)

Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi

dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi
dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai
granulosit.(Fadjari,

2006)

Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah disertai

dengan kromosom Philadelphia (Ph).(Hoffbrand et al, 2005)


2. Prevalensi
Leukemia mielositik kronik sering terjadi pada usia pertengahan dewasa dan
pada anak-anak. Penyakit ini menyerang 1-2 orang per 100.000 dan membuat 720% kasus leukemia.

(Dugdale, 2010)

Leukemia mielositik kronik terjadi pada kedua jenis

kelamin dengan rasio pria : wanita sebesar 1,4 : 1 dan paling sering terjadi pada
usia antara 40-60 tahun.

(Hoffbrand et

al,

2005)

Kejadian leukemia mielositik kronik

meningkat pada orang yang terpapar bom atom Hiroshima dan Nagasaki. (Besa, 2010)

28

3. Etiologi
Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang diketahui
disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal lebih dari 90% kasus. Transformasi
leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi respirokal dari gen
BCR pada kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan
gen BCR-ABL yang dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari
gabungan gen tersebut, meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari
sel ganas. (Markman, 2009)
4. Klasifikasi
Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :
a. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik
kronik, CGL).
b. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).
Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL
dengan prognosis yang tampaknya lebih buruk dari pada leukemia mielositik kronik
Ph positif. (Hoffbrand et al, 2005)
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :

Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya

penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.


Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada
beberapa pasien, perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri

atau gangguan pencernaan.


Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain

akibat fungsi trombosit yang abnormal.


Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat

pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.


Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :

Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool
dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional.
Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer dijumpai sel neoplasma
yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik
seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan,

29

penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan


laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar
leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mm3. Pada pemeriksaan apusan
darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel seperti mieloblas dan
promielosit dibawah 15 %. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat

Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke
fase akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini
dapat berlangsung selama beberapa bulan. (Hoffbrand et al, 2005)
Gejala fase akselerasi :
-

Panas tanpa penyebab yang jelas.


Spleenomegali progresif.Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi

neutrofil,

mikro

megakariosit atau mononuclear yang besar.


- Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
- Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum
tulang. Sel blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid,
megakariositik, dan limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mm3, maka
penderita memiliki resiko terkena sindrom hiperleukositosis.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, leukosit
antara 20.000-60.000/mm3. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam
darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat 500.000-600.000/mm3, tetapi
dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006)
b. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan
adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan
diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.

(Fadjari,

2006)

c. Apus Sumsum Tulang


Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia,
sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat.

30

Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami


fibrosis. (Fadjari,2006)
d. Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa
aberasi kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara
lain : +8, +9, +19, +21, i(17). (Fadjari, 2006)
e. Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurisemia.
7. Terapi
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi
lengkap, baik remisi hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif),
remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis,
dilanjutkan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. (Fadjari, 2006)
a. Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim
ribonukleotida

reduktanse

sehingga

menyebabkan

hambatan

sintesis

ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis DNA pada fase S.


Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang mendekati
100%. (Nafrialdi dan Gan, 2007)
Dosisnya adalah 30 mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun
dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditingkatkan
sampai maksimal 2,5 gram/hari. Penggunaan dihentikan bila leukosit < 8000
/mm3 atau trombosit <100.000/mm3. (Fadjari,2006)
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis,
sakit kepala, letargi, dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan
pruritus. (Nafrialdi dan Gan, 2007)
b. Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik.
Pada dosis rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis,
pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering
menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah harus
sering dilakukan. (Nafrialdi dan Gan, 2007)
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik
dosisnya sebanyak 2-6 mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12
mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit mencapai < 10.000/mm3,

31

kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung


leukosit mencapai > 50.000/mm3.(Nafrialdi dan Gan, 2007)
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah
asthenia, hopotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga
dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga
dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal.

(Nafrialdi

dan Gan, 2007)

c. Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL
dan mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk
leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai
dengan adanya kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang
menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi
dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma,
dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses.

(Nafrialdi dan Gan,

2007)

Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi


penyakit terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi
maka dapat diberikan dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib
menjadi 800mg. (Kantarjian et al, 2007)
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat
ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik
setelah 3 bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi kemudian memburuk
dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa
perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<
500/mm3) atau trombositopeni (< 50.000/mm3) atau peningkatan SGOT/SGPT
dan bilirubin. Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari. (Fadjari,
2006)

d. Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b


Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian
obat ini untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like
syndrome. Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik,
biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar hasil penelitian di
Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari. (Fadjari, 2006)
e. Cangkok sumsum tulang belakang

32

Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang


masa remisi sampai > 9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang
alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif
atau BCR-ABL negatif. (Fadjari, 2006)
B. Kelainan Hemostasis Pada Leukemia
Trombositopenia
Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat untuk mempertahankan
hemostasis normal. Pada keadaan normal jumlah trombosit darah berkisar 150.000
- 400.000/mm3. Trombositopenia adalah istilah untuk jumlah trombosit yang kurang
dari nilai normal tersebut. Trombositopenia biasanya tidak mempunyai manifestasi
klinis hingga jumlah trombosit 100.000/mm3, bahkan hingga 50.000/mm3 sekalipun.
Perdarahan spontan biasanya baru terlihat pada jumlah trombosit < 20.000/mm3.
(Liles DK et al, 2002)

Manifestasi perdarahan akibat trombositopenia dapat berupa ptekie atau


purpura, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga
perdarahan otak. Webert et al. (2006) melaporkan berbagai tingkat perdarahan
yang terjadi pada 58,4% pasien leukemia mieolositik akut akibat trombositopenia.
(Weber KE et al, 2006)

Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia akut biasanya merupakan


akibat infiltrasi sumsum tulang atau kemoterapi, selain itu dapat juga disebabkan
oleh beberapa faktor lain seperti koagulasi intravaskuler diseminata, proses
imunologis

dan

hipersplenisme

sekunder

terhadap

pembesaran

limpa.

Trombositopenia yang terjadi bervariasi dan hampir selalu ditemukan pada saat
leukemia didiagnosis.(Dalimoenthe NZ, 2005)
Trombositopenia akibat purpura trombositopenik imunologik ditemukan pada
2% pasien leukemia limfositik kronik. Hal ini dihubungkan dengan terbentuknya
autoantibodi terhadap trombosit sehingga berakibat destruksi trombosit. Produksi
autoantibodi bersamaan dengan infiltrasi sel leukemik di sumsum tulang dan
hipersplenismus menyebabkan semakin berkurangnya jumlah trombosit. (Holmer LD, 2001;
Hedge et al, 2002)

Risiko terjadinya perdarahan hebat berbanding terbalik dengan jumlah


trombosit. Untuk mencegah risiko perdarahan hebat pada pasien trombositopenia
dapat dilakukan dengan transfusi trombosit, tetapi jumlah trombosit optimal sebagai
batas transfusi trombosit profilaktik masih diperdebatkan. Jumlah trombosit yang

33

dipakai sebagai batas untuk transfusi trombosit adalah dibawah 20.000/mm3.(Benyamin


RJ et al, 2002; Webert KE et al, 2006)

Disfungsi trombosit
Gangguan fungsi trombosit juga dapat menyebabkan perdarahan meskipun
jumlah trombosit tidak begitu rendah. Disfungsi trombosit ini terjadi pada 30%
pasien leukemia mielositik kronik (LMK). Gangguan fungsi trombosit yang terjadi
berupa kelainan agregasi terhadap ADP dan epinefrin, kelainan pelepasan PF3,
defisiensi granula- serta penurunan pelepasan nukleotida adenin yang berasal dari
trombosit.(Jagasia HM et al, 2004; Dalimoenthe NZ, 2005)
Manifestasi perdarahan yang muncul akibat gangguan fungsi trombosit pada
leukemia mielositik kronik dapat berupa perdarahan mukokutan, perdarahan retina
dan hematuria. Hal ini disebabkan oleh berkurang atau tidak adanya agregasi
trombosit dalam merespon ADP, epinefrin atau kolagen. Pada pasien ini akan
didapatkan waktu perdarahan yang memanjang.(Liles DK, 2002)
Patogenesis kelainan fungsi trombosit yang ditemukan pada leukemia ini
masih belum jelas. Beberapa faktor diduga sebagai penyebab perubahan fungsional
dari trombosit seperti kelainan interaksi hemostasis di sirkulasi pada saat aktivasi
dan reaksi pelepasan trombosit. Kemungkinan lain adalah kelainan produksi
trombosit yang primernya merupakan gangguan struktur dan fungsi megakariosit.
Transfusi trombosit harus diberikan pada disfungsi trombosit meskipun jumlah
trombositnya normal. Sitaferesis trombosit dapat mengurangi perdarahan bila
disfungsi trombosit berhubungan dengan trombositosis yaitu jumlah trombosit >
700.000/mm3.( Jagasia HM et al, 2004)
Metode yang dapat digunakan untuk menilai fungsi trombosit yaitu waktu
perdarahan, tes agregasi trombosit dan automated functional analyzers. Waktu
perdarahan cara Ivy adalah tes fungsi trombosit sederhana dengan mengukur lama
waktu perdarahan pasien setelah dilakukan insisi kecil pada kulit. Pemeriksaan ini
banyak mempunyai keterbatasan diantaranya reprodusibilitas rendah, sensitifitas
masih dipertanyakan dan tidak cocok untuk pemeriksaan serial serta korelasi yang
lemah dengan tendensi perdarahan.(Hasset AC, 2002)
Tes agregasi trombosit adalah mengukur kemampuan trombosit untuk
berikatan satu sama lain dan membentuk sumbat hemostatik secara automatik. Tes
ini dapat dilakukan pada platelet-rich plasma (PRP) ataupun pada whole blood.
Bahan penginduksi agregasi yang dapat digunakan yaitu ADP, ristocetin, kolagen
dan epinefrin. Tes agregasi trombosit ini dapat dipengaruhi oleh sejumlah variabel

34

seperti sampel yang hemolisis karena eritrosit juga mengandung ADP, sampel
lipemik mengaburkan perubahan pada agregasi trombosit serta trombositopenia
membuat evaluasi agregasi trombosit sulit untuk diinterpretasi. Tes ini mempunyai
biaya yang mahal dan tidak semua fasilitas kesehatan menyediakannya.( Riley RS, 2006)
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah suatu sindrom yang
ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskuler sistemik berupa pembentukan dan
penyebaran deposit fibrin dalam sirkulasi sehingga menimbulkan trombus
mikrovaskuler pada berbagai organ yang dapat mengakibatkan kegagalan
multiorgan. Aktivasi koagulasi yang terus berlangsung menyebabkan konsumsi
faktor pembekuan dan trombosit secara berlebihan sehingga mengakibatkan
komplikasi perdarahan berat. (Levi M, 2004)
KID merupakan istilah patofisiologis yang meliputi kejadian trombosis dan
perdarahan dalam tubuh yang terjadi secara bersamaan. Istilah ini juga dikenal
sebagai consumption coagulopathy karena faktor pembekuan dalam plasma
terpakai selama proses pembekuan. Selain itu berkurangnya faktor pembekuan juga
dapat disebabkan oleh degradasi plasmin akibat hiperfibrinolisis.(Bakhsi S et al, 2003)
Leukemia akut yang paling sering dihubungkan dengan KID adalah leukemia
promielositik akut (AML-M3), diikuti dengan leukemia mielomonositik akut (AMLM4), serta leukemia mieloblastik akut AML-M1 dan AML-M2. Pada leukemia
limfoblastik akut lebih kurang 10% pasien mengalami KID pada saat diagnosis.
Leukemia kronik yang lebih sering mengalami KID adalah LMK dibandingkan
dengan LLK.(Jagasia, 2004)
Pada leukemia, komplikasi KID terjadi karena dilepaskannya bahan
prokoagulan (thromboplastin-like substances) dari sel blast. Bahan prokoagulan
bersifat seperti faktor jaringan tersebut yang akan membentuk kompleks dengan
faktor VIIa sehingga mengaktifkan kaskade koagulasi melalui jalur ekstrinsik yang
membentuk fibrin secara sistemik. Koagulasi yang terus berlangsung akan
menurunkan kadar antitrombin III plasma yang merupakan inhibitor penting untuk
proses koagulasi. Selanjutnya terjadi inhibisi sistem fibrinolitik akibat aktivasi
koagulasi

yang

maksimal.

Inhibisi

ini

disebabkan

oleh

peningkatan

plasminogenactivator inhibitor tipe 1 (PAI-1) sebagai inhibitor utama untuk sistem


fibrinolitik.(Levi M, 2004)
Defek protein koagulasi

35

Infiltrasi ke hati sering ditemukan pada leukemia akut, diikuti LLK dan LMK,
yang menyebabkan menurunnya sintesis faktor koagulasi yang tergantung vitamin K
yaitu faktor II, VII, IX dan X. Dari beberapa penelitian mengenai F V ditemukan
penurunannya pada sekitar 18 45%. Pada pasien dengan AML-M3 lebih dari 90%
pasien mengalami defisiensi faktor V.(Jagasia, 2004)
Penurunan fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya pada leukemia akut
bisa juga disebabkan oleh KID. Pada KID terjadi konsumsi berlebihan dari faktor
pembekuan tersebut. Selain itu keadaan hiperfibrinolisis juga menyebabkan
degradasi beberapa faktor pembekuan yang semakin menurunkan kadar faktor
pembekuan tersebut di dalam darah.(Levi M, 2004)
Fibrinolisis primer
Beberapa peneliti menemukan bahwa leukosit pada leukemia akut memiliki
aktivitas fibrinolitik yang dapat menyebabkan fibrinolisis primer terutama pada
leukemia promielositik akut. Pada fibrinolisis primer, perdarahan disebabkan oleh
degradasi faktor pembekuan yang diinduksi plasmin seperti fibrinogen, faktor V dan
faktor VIII.(Jagasia, 2004)
Leukemia Promielositik Akut (APL) adalah leukemia yang paling sering
dihubungkan dengan perdarahan yang mengancam jiwa akibat fibrinolisis primer.
Hal ini disebabkan oleh promielosit abnormal pada leukemia tersebut mensintesis
dan mensekresi aktivator plasminogen. Selain itu juga karena tingginya ekspresi
annexin II pada sel leukemik ini yang dapat meningkatkan produksi plasmin
sehingga terjadi degradasi fibrinogen.(Seiter, 2006)
Trombosis
Pada pasien leukemia akut, risiko trombosis tidak dapat diabaikan.
Trombosis dapat merupakan salah satu gejala yang ditemukan saat diagnosis yaitu
pada leukemia promielositik akut (AML-M3) 9,6%; pada AML non-M3 3,2% dan
pada ALL 1,4%. Meskipun insiden trombosis simptomatik saat diagnosis relatif
rendah pada pasien ALL, tetapi terdapat peningkatan yang bermakna hingga 10,6%
selama pengobatan. Pasien ALL yang mendapat terapi L-asparaginase mengalami
peningkatan risiko trombosis 4,9 kali dibandingkan dengan yang tidak.(Stevano

VD et al,

2005)

C. Leukemia Granulositik Kronik Dalam Kehamilan


Leukemia selama kehamilan diperkirakan terjadi sekitar satu dari 75.000
sampai 100.000 kehamilan. Kurang dari 10 % dari ini terjadi pada pasien dengan

36

LGK. Kehamilan itu sendiri kelihatannya tidak mempengaruhi prognosis dari


penyakit. Penatalaksanaan leukemia pada pasien yang sedang hamil dan efek dari
obat antineoplastik selama konsepsi dan kehamilan belum diselidiki secara
menyeluruh. Ada dua pertimbangan penting dalam penatalaksanaan pasien dengan
leukemia selama kehamilan, yaitu ibu, yang membutuhkan terapi kanker yang
optimal, dan janin yang sedang berkembang , yang berpotensi dapat dipengaruhi
oleh penyakit dan / atau teratogenik dari obat antineoplastik.(Aul P et al, 2006)
Pendekatan terapi pada leukemia lebih rumit dengan kehamilan, karena
mungkin akan berbeda pengobatannya dari yang biasanya digunakan. Perbedaan
tersebut berdasarkan beberapa variabel, termasuk saat diagnosis, toleransi klinis
dari penyakit, dan efek toksik dari obat pada ibu dan anak.(Doll DC et al, 1988; Ridvan A et al, 2004)
Pilihan terapi konvensional dari fase kronis CML meliputi hidroksiurea (HU),
busulfan, rejimen berbasis interferon dan transplantasi stem sel. Dengan
pengembangan obat rasional, imatinib, Gleevec (sebelumnya STI571), suatu tirosin
kinase inhibitor BCR-ABL, memberikan harapan baru sebagai pilihan untuk pasien
dengan CML. Imatinib memasuki uji klinis pada tahun 1998 dan sejak itu telah
menunjukkan induksi hematologi dan respon sitogenetika secara dramatis.(Mughal
Tl,2001; Goldman JM et al, 2003)

Namun, meskipun efikasi dan profil toksisitas yang sangat baik,

hanya sedikit yang diketahui tentang potensi toksisitas jangka panjang. Dalam
penelitian preklinik, imatinib merupakan teratogenik pada tikus, tapi tidak pada
kelinci, dan gangguan spermatogenesis terjadi pada tikus, anjing dan monyet.
Karena data teratogenik pada tikus, dianjurkan bahwa wanita yang diobati dengan
imatinib harus menyadari potensi teratogenik imatinib dan kontrasepsi efektif harus
digunakan selama terapi imatinib untuk mencegah kehamilan. Belum ada data
mengenai melanjutkan terapi imatinib selama kehamilan.(Hensley ML et al, 2003)
HU dan busulfan menghambat sintesis DNA, oleh karena itu memiliki potensi
untuk menyebabkan aborsi, retardasi pertumbuhan intrauterin dan malformasi
kongenital. Namun, tidak terdapat efek teratogenik ataupun efek hematologi pada
janin dengan pengobatan HU yang telah dilaporkan. Busulfan melewati plasenta
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan hebat dan aplasia gonad pada
keturunan tikus hamil. Busulfan telah berhasil digunakan pada LGK selama
kehamilan, tetapi malformasi janin telah dilaporkan.(Szczepanski T et al, 1998; Ridvan A et al, 2004)
-Interferon telah digunakan untuk pengobatan LGK dengan keberhasilan
yang bervariasi. Bukti laboratorium menunjukkan bahwa obat ini melewati sawar
plasenta dan meningkatkan terjadinya abortus pada rhesus monyet. Tidak ada

37

laporan tentang efek samping pada kehamilan dan perkembangan janin pada
manusia, tetapi ada laporan dari bayi lahir normal setelah pengobatan dengan interferon selama kehamilan. Namun, terapi -interferon dapat menurunkan
kesuburan karena penurunan estradiol serum dan kadar progesteron. (Baer MR et al, 1991;
Ridvan A et al, 2004)

Leukapheresis telah berhasil digunakan pada kedua leukemia, akut dan


kronis untuk mengurangi dengan cepat jumlah leukosit yang tinggi pada pasien
dengan ancaman sumbatan pembuluh darah. Sejak sitoreduksi mekanik kronis tidak
memperpanjang kelangsungan hidup pada pasien, dan karena tidak nyaman, mahal
dan memakan waktu, leukapheresis saat ini tidak direkomendasikan sebagai terapi
maintenance untuk penyakit ini. Namun, bentuk pengobatan menawarkan alternatif
jangka pendek yang menarik dibandingkan kemoterapi pada pasien hamil, karena
paparan terhadap potensi efek berbahaya dari bahan kimia alternatif dapat
dihindari.( Ridvan et al, 2004)
D. Eklampsia
1. Definisi
Eklampsia, yang dianggap sebagai komplikasi preeklamsia berat, umumnya
didefinisikan sebagai onset baru dari aktivitas kejang tonik-klonik (grand mal
seizure) yang dapat disertai dengan koma, terjadi selama kehamilan atau setelah
melahirkan pada wanita yang sebelumnya telah memiliki tanda-tanda atau gejala
preeklampsia.(Prawirohardjo, 2010)
Eklampsia sangat erat kaitannya dengan preeklampsia baik ringan maupun
berat karena eklampsia merupakan komplikasi dari preeklampsia. Preeklamsia itu
sendiri adalah kelainan dari fungsi endotel vaskular dan vasospasme yang luas
yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan dapat berlangsung hingga 4-6
minggu masa nifas.(Prawirohardjo, 2010)
Eklampsia dapat didefinisikan sebagai kejang yang bukan merupakan
dikarenakan penyebab apapun pada wanita dengan preeklampsia. Preeklampsia
dibagi

menjadi

dua

yaitu

preeklampsia

ringan

dan

preeklampsia

berat.

Preeklampsia ringan didefinisikan dengan terdapatnya hipertensi (tekanan darah


140/90 mmHg) yang terjadi dua kali dalam rentang waktu paling sedikit 6 jam.
Kriteria diagnosa preeklampsia berat adalah apabila terdapat gejala dan tanda
sebagai berikut: Sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg yang terjadi dua
kali dalam waktu paling sedikit 6 jam, Proteinuria lebih dari 5 gram dalam urin 24

38

jam, edema pulmonal, oligouria (< 400 ml dalam 24 jam), sakit kepala, nyeri
epigastrium, gangguan fungsi hati, penurunan visus.(Cunningham, 2010)
Kejang pada pasien eklampsia ini tidak berhubungan dengan kelainan otak
sebelumnya. Eklampsia biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan atau dalam
periode postpartum. Meskipun demikian, eklampsia dapat muncul walaupun tidak
ada riwayat hipertensi dengan proteinuria sebelumnya, hal ini telah terbukti terjadi
pada 38% kasus yang dilaporkan di Inggris. Demikian pula, hipertensi tidak selalu
ada dalam 16% kasus terakhir di Amerika Serikat.
2. Epidemiologi
Unit bersalin di Eropa melaporkan angka kesakitan dan kematian ibu serta
perinatal yang sangat tinggi pada eklampsia. Dalam suatu laporan dari Skandinavia
yang dalam 2 tahun (2000), Adersgaard dkk (2006) menguraikan mengenai 232
wanita

dengan

eklampsia.

Meskipun

hanya

terdapat

satu

kematian

ibu,

sepertiganya mengalami komplikasi berat, yang mencakup sindroma HELLP, gagal


ginjal, edema paru, emboli paru dan stroke. United Kingdom Obstetric Surveillance
System (UKOSS) yang telah diaudit oleh Knight (2007) melaporkan hasil akhir
maternal pada 214 wanita yang mengalami eklampsia. Di Belanda selama 2 tahun
hingga 2006, terdapat tiga kematian ibu diantara 222 wanita yang mengalami
eklampsia. Dari Dublin, Akawi dkk, melaporkan empat kematian ibu diantara 247
wanita eklamptik. Jadi, di negara maju, angka kematian ibu adalah sekitar 1 persen
pada wanita yang mengalami eklampsia, angka ini 1000 kali lebih tinggi dari angka
kematian ibu nasional pada masing-masing negara tersebut.(Cunningham, 2010)
Di Indonesia preeklampsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 30-40%
kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah
menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu
diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan
penyakit ini.(Amiruddin, 2007)
3. Patogenesis
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterine dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta
memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium

39

menjadi arteri basali dan arteri basalis member cabang arteria spiralis. (Prawiroharrdjo,
2010)

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi infasi trofoblas
ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan
otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga
memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi
gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.
Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberikan dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vascular, dan peningkatan
aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodeling arteri
spiralis. (Prawiroharrdjo, 2010)
Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relative mengalami vasokonstriksi dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Dampak iskemia plasenta akan menmbulkan perubahan-perubahan yang dapat
menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya. (Prawiroharrdjo, 2010)
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklamsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal,
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10x aliran darah ke
uteroplasenta. (Prawiroharrdjo, 2010)
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan (radikal bebas), yaitu senyawa penerima electron atau atom molekul
yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting
yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membrane endotel pembuluh darah. Sebenarnya, produksi
oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang
dibutuhkan untuk perlindungan tubuh, Adanya radikal hidroksil dalam darah
mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar di dalam darah,
maka dulu HDK disebut toxaemia.

40

Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung banyak


asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan
merusak membrane sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel
endotel. Produksi oksidan dalam tubuh yang bersifat toksin, selalu diimbangi
dengan produksi antioksidan. Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat
toksis akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak
membrane sel endotel.
Peningkatan oksidan ini diikuti oleh penurunan kadar antioksidan, misalnya
vitamin E. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh
peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah
dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh
sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi
peroksida lemak.
Pada waktu terjadi kerusakan endotel yang mengakibatkan disfungsi endotel,
maka akan terjadi :
-

Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi endotel,


adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin
(PGE2); yaitu vasodilator kuat.

Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami


kerusakan.

Agregasi

ini

memproduksi

tromboksan

(TXA2);

suatu

vasokonstriktor kuat. Pada preeklamsia kadar tromboksan lebih tinggi dari


kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi.
-

Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus.

Peningkatan permeabilitas kapiler.


Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, yaitu endotelin. Kadar NO

(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat,


peningkatan faktor koagulasi.
4. Efek Pada Sistem Organ
Preeklamsia / eklamsia mengakibatkan terjadinya gangguan pada beberapa
sistem organ termasuk hematologi, hati, ginjal, dan sistem kardiovaskular serta
sistem saraf pusat. Besarnya kelainan atau gangguan tersebut sering berkorelasi
dengan kondisi kesehatan ibu (misalnya, adanya penyakit ginjal atau vaskuler) atau
faktor obstetrik (misalnya, kehamilan multifetal atau kehamilan mola). (Prawiroharrdjo, 2010;
Cunningham, 2010)

Sistem Kardiovaskuler

41

Gangguan fungsi kardiovaskular yang berat terjadi pada preeklampsia. Hal ini
terjadi karena (1) peningkatan afterload yang disebabkan oleh hipertensi, (2) cardiac
preload, yang dipengaruhi oleh hipervolemia patologis yang terjadi pada kehamilan,
dan (3) aktivasi endothelial dengan ekstravasasi ke ruang ekstrasel, terutama paru.
Kematian ibu pada preeklampsi dan eklampsi biasanya oleh karena edema paru
yang menimbulkan dekompensasi cordis.(Cunningham 2010)
Darah dan Koagulasi
Abnormalitas pada hematologi terjadi pada wanita dengan preeklampsia.
Trombositopenia dapat mengancam nyawa, oleh karena itu hitung trombosit
dilakukan rutin, jika hitung trombosit dibawah 100.000/L mengindikasikan
bertambah parahnya penyakit. Trombositopenia terjadi karena aktivasi, agregasi
dan konsumsi platelet, yang diberengi dengan peningkatan mean platelet volume,
dan penurunan masa hidup platelet. Produksi platelet meningkat dan trombopoietin,
cytokine yang membantu proliferasi platelet dari megakariosit, meningkat pula pada
preeclampsia dengan trombositopenia. (Sibai 2003;Cunningham 2010)
Perubahan pada ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi
pertanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal ratarata berkurang 20% (dari 750 ml menjadi 600ml/menit) dan filtrasi glomerulus
berkurang rata-rata 30% (dari 170 menjadi 120 ml/menit) sehingga terjadi
penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit
kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal. Penurunan hemodinamik ginjal
dan peningkatan protein urin adalah bagian dari lesi morfologi khusus yang
melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler glomerulus, yang merupakan tanda
khas patologi ginjal pada preeklampsia. (Sibai 2003;Cunningham 2010)
Perubahan pada hepar
Perubahan pada hepar wanita yang menderita preeklampsia berat adalah
dengan melihat peningkatan SGOT dan SGPT. Peningkatan hepatic serum
transaminase ini menjadi salah satu indikator dalam HELLP syndrom.

(Prawirihardjo 2010;

Cunningham 2010)

Aliran darah di mata


Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah. Bila terjadi hal-hal
tersebut, maka harus dicurigai terjadinya PEB. Gejala lain yang mengarah ke
eklampsia adalah skotoma, diplopia dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya

42

perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau dalam
retina. (Sibai 2003; Wiknjosastro 2008)
Gangguan neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa : (Prawiroharrdjo, 2010)
-

Nyeri

kepala

disebabkan

hiperperfusi

otak,

sehingga

menimbulkan

vasogenik edema.
-

Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus.

Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur, skotomata, amaurosis


yaitu kebitaan tanpa jelas adanya kelainan dan amblasio rentina.

Hiperrefleksi sering sering dijumpai pada PEB, tetapi bukan faktor prediksi
terjadinya eklamsia.

Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui


dengan jelas, faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamptik adalah
edema cerebri, vasospasme cerebri, dan iskemia cerebri.

Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklampsia


berat dan eklampsia.

5. Penatalaksanaan
a. Pengelolaan kejang : (Angsar 2005; Prawirohardjo,2010)
1) Masukkan sudip lidah (tong spatel ) ke dalam mulut penderita
2) Beri obat antikonvulsan (MgSO4 merupakan obat pilihan utama)
Adapun syarat-syarat pemberian MgSO4 :
-

Reflex patella positif

Frekuensi pernapasan >16x/menit

Produksi urin > 0,5 CC/kgBB/jam

Tersedianya antidotum kalsium glukonas 10%, 1 gram (10% dalam


10cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.

Tanda-tanda dari keracunan MgSO4:


-

Kelemahan otot

Hipotensi

Reflex fisiologis menurun

Depresi SSP

Fungsi jantung terganggu

Kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena


kelumpuhan otot-otot pernapasan

43

Kadar serum ion Magnesium pada dosis adequat adalah 4-7 mEq/liter.
refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15 mEq
terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan dan > 15 mEq/liter terjadi henti
jantung.
Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat :
-

Hentikan pemberian magnesium sulfat

Berikan calsium glukonase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV


dalam waktu 3 menit.

Berikan oksigen

Lakukan pernafasan buatan.

Obat antikonvulsan lain yang dapat diberikan selain MgSO4 :


-

100 mg IV sodium thiopental

10 mg IV diazepam

20 mgIV sodium amobarbital

Phenytoin : dosis awal 1000 mg IV, 16,7 mg/menit/1jam, 500 mg oral


setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam

3) Perlengkapan untuk penanganan kejang ( jalan nafas, penghisap lender,


masker oksigen dan oksigen)
4) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
5) Aspirasi mulut dan tenggorokan
6) Baringkan pasien pada sisi kiri, kepala sedikit lebih tinggi (posisi fowler)
untuk mengurangi risiko aspirasi
7) Berikan O2 4-6 L/menit
8) Dirawat di kamar yang cukup tenang
b. Pengelolaan Umum : (Angsar 2005)
-

Jika tekanan diastolik >110 mmHg, berikan antihipertensi Nifedipin 5-10 mg


oral yang dapat diulang sampai 8 kali/24 jam. Jika respon tidak membaik
setelah 10 menit, berikan tambahan 5 mg Nifedipin sublingual

Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar
2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .

Dipasang kateter menetap ( foley kateter) dan ukur keseimbangan cairan

Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso
Gastric Tube).

c. Pengobatan Obstetrik : (Angsar 2005; JNPK-KR, 2008)


1) Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang

44

umur kehamilan dan keadaan janin.


2) Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam sedangkan
pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia muncul
3) Jika terdapat gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam
(pada eklampsia), lakukan seksio sesaria
4) Jika serviks telah mengalami pematangan maka dapat dilakukan induksi
dengan oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml dekstrose 10 tetes/menit atau
prostatglandin/misoprostol
d. Perawatan Post Partum : (Angsar 2005)
-

Monitoring tanda-tanda vital

Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolic masih > 90 mmHg

Pemeriksaan laboratorium lengkap setelah 24 jam pasca persalinan,


biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24-48 jam pasca persalinan.

Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang terakhir

6. Sindroma HELLP
Sindroma ini merupakan kumpulan gejala multisistem pada penderita
preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya
hemolisis, peningkatan kadar enzym hepar dan penurunan jumlah trombosit
(trombositopenia).(Leindheimer, 2008) Terjadinya sindroma HELLP merupakan manifestasi
akhir kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi platelet intravaskular. Pada
sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat fragmentasi, sel
darah merah akan lebih mudah keluar dari pembuluh darah yang telah mengalami
kebocoran akibat kerusakan endotel dan adanya deposit fibrin. Pada gambaran
darah tepi akan terlihat gambaran spherocytes, schistocytes, triangular cell dan burr
cell.(Sibai, 2004; Pokharel, 2008)
Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar. Pada gambaran
histopatologisnya terlihat nekrosis parenkhim periportal atau fokal yang disertai
dengan deposit hialin dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Adanya
mikrotrombi dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran
darah di hepar yang akan merupakan dasar terjadinya peningkatan enzim hepar
dan terdapatnya nyeri perut kwadran kanan atas. Gambaran nekrosis selular dan
perdarahan dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai
adanya perdarahan intrahepatik dan hematom subkapsular atau ruptur hepar.(Sibai,
2004; Pokharel, 2008)

45

Penurunan jumlah platelet pada sindroma HELLP disebabkan oleh


meningkatnya konsumsi atau destruksi platelet. Meningkatnya konsumsi platelet
terjadi kerena agregasi platelet yang diakibatkan karena kerusakan sel endotel,
penurunan produksi prostasiklin, proses imunologis maupun peningkatan jumlah
radikal bebas. Beberapa peneliti beranggapan bahwa DIC merupakan proses primer
yang terjadi pada sindroma HELLP. Walaupun gambaran histologis mikrotrombi
yang mirip antara sindroma HELLP dan DIC tetapi pada sindroma HELLP tidak
dijumpai koagulopati intravaskular. Pada sindrom HELLP terjadi mikroangiopati
dengan kadar fibrinogen yang normal. Menurut Weinsten (1982) sindroma HELLP
lebih banyak ditemukan pada nullipara dan pada usia kehamilan yang belum aterm.
Gejala dapat muncul antepartum dan postpartum. gejala yang menonjol adalah rasa
nyeri pada daerah epigastrium kanan, nyeri kepala, mual, muntah, ikterus dan
gangguan penglihatan. Sering dijumpai tanda-tanda hemolisis berupa perdarahan
gastrointestinal dan gusi, gangguan fungsi hepar dan fungsi ginjal dan tanda-tanda
koagulopati.(Sibai, 2004; Pokharel, 2008)
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindroma HELLP : (Martin JN et al, 2006)
1. Klasifikasi Tennesse, berdasarkan jumlah kelainan yang ada :
Komplit :
1) Trombosit < 100.000/mL
2) LDH > 600 IU/L
3) SGOT > 70 IU/L.
Inkomplit/parsial : Hanya terdapat 1 atau 2 tanda pada komplit.
2. Klasifikasi Mississippi :
Kelas I : trombosit < 50.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT dan atau SGPT >
40 IU/L
Kelas II : trombosit > 50.000 tapi < 100.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT
dan atau SGPT > 40 IU/L
Kelas III : trombosit > 100.000 tapi < 150.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT
dan atau SGPT > 40 IU/L
Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan
penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya
plasmaferesis. Sindroma HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih
tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.
BAB IV
DISKUSI

46

Telah dilaporkan suatu kasus, seorang pasien wanita berusia 31 tahun,


rujukan dari RSUD Bangko dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid preterm 34-36
minggu + eklampsi antepartum + leukemia granulositik kronik + janin gemelli, kemudian
dilakukan terminasi kehamilan secara seksio sesaria. Selesai SC pasien dirawat di ICU
selama 6 hari, selama perawatan pasien sempat mengalami perburukan faal
hemostasis dan membaik kembali pada hari keempat rawatan.
Ada beberapa hal yang akan dibahas pada kasus ini :
1. Diagnosa
Diagnosa gravid preterm 34-36 minggu dan janin gemelli ditegakan
berdasarkan anamnesa pasien dan keluarga pasien : tidak haid sejak 8,5 bulan
yang lalu, haid terakhir pada pertengahan maret 2013. Pasien pernah dirawat di
bagian penyakit dalam pada akhir Juni 2013, dikonsulkan ke bagian kebidanan dan
telah dilakukan USG, didapatkan saat itu usia kehamilan sekitar 16 minggu dan
janin gemelli. Kemudian pada akhir Oktober 2013 pasien juga telah kontrol ke
SpOG di Pariaman, didapatkan kesan kehamilan 32 minggu dengan janin gemelli.
Dari pemeriksaan tinggi fundus sukar ditentukan usia kehamilan, karena tinggi
fundus lebih besar dari usia kehamilan. Sedangkan dari pemeriksaan leopold
diperoleh kesan gravid gemelli, dimana teraba massa keras dan bulat di bagian atas
dan bawah, teraba 2 bagian terbesar di kiri dan kanan, serta di dapatkan punktum
maksimum dari DJJ pada 2 tempat dengan perbedaan > 10 dpm. Saat di IGD
pasien juga dilakukan pemeriksaan USG, diperoleh kesan gravid 35-36 minggu dan
janin gemelli. Ini juga dibuktikan setelah bayi lahir, dimana berdasarkan kurva
lubchenco berat bayi I dan bayi II sesuai untuk usia kehamilan 34-36 minggu.
Diagnosa eklampsia antepartum pada pasien ini, berdasarkan anamesa dari
pasien dan keluarga, bahwa pasien mengalami kejang sebanyak 1 x di rumah, dan
saat di RSUD dikatakan tekanan darah 160/?. Dari pemeriksaan tekanan darah saat
sampai di RS Dr M Djamil Padang didapatkan 150/100 mmHg, pemeriksaan protein
urin positif tiga (+3), dan hasil konsul ke bagian neurologi tidak ditemukan tandatanda defisit neurologi fokal.
Eklampsia merupakan salah satu komplikasi preeklamsia berat, umumnya
didefinisikan sebagai onset baru dari aktivitas kejang tonik-klonik (grand mal
seizure) yang dapat disertai dengan koma selama kehamilan atau setelah
melahirkan pada wanita yang sebelumnya telah memiliki tanda-tanda atau gejala
preeklampsia.(Prawirohardjo,

2010)

Eklampsia dapat didefinisikan sebagai kejang yang

47

bukan

merupakan

dikarenakan

penyebab

apapun

pada

wanita

dengan

preeklampsia.
Diagnosa HELLP syndrome parsial pada pasien ini ditegakan berdasarkan
hasil laboratorium : trombosit 395.000/mm3, LDH 3014 u/l, SGOT 50 u/l, SGPT 18
u/l. Sindroma HELLP merupakan kumpulan gejala multisistem pada penderita
preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya
hemolisis, peningkatan kadar enzym hepar dan penurunan jumlah trombosit
(trombositopenia).(Leindheimer, 2008)
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP :(Martin JN et al, 2006)
1. Klasifikasi Tennesse : berdasarkan jumlah kelainan yang ada
Komplit :
1) Trombosit < 100.000/mL
2) LDH > 600 IU/L
3) SGOT > 70 IU/L.
Inkomplit/parsial : hanya terdapat 1 atau 2 tanda pada komplit.
2. Klasifikasi Missisippi :
Kelas I : trombosit < 50.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT dan atau SGPT >
40 IU/L
Kelas II : trombosit > 50.000 tapi < 100.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT
dan atau SGPT > 40 IU/L
Kelas III : trombosit > 100.000 tapi < 150.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT
dan atau SGPT > 40 IU/L
Meskipun berdasarkan klasifikasi Tennese pasien masih tergolong HELLP
syndrome parsial dan berdasarkan klasifikasi Missippi termasuk kelas III, namun
pada pasien ini sudah terjadi hiperkoagulabilitas, ini dapat dilihat dengan
peningkatan D-dimer (0,88 mg/l), yang menandakan peningkatan fragmen
degradasi fibrin yang dihasilkan setelah berlangsungnya fibrinolisis, akibat proses
hiperkoagulabilitas.
Preeklampsia merupakan kondisi obstetrikal yang paling sering berhubungan
dengan aktivasi kaskade pembekuan darah yang menghasilkan deposit fibrin pada
banyak organ.(Levi,2009) Pada proses pembekuan darah terjadi tiga mekanisme
hemostasis, yaitu hemostasis primer, hemostasis sekunder dan fibrinolisis. Pada
hemostasis primer yang berperan adalah platelet plug pada endotelial pembuluh
darah yang mengalami cedera. Sedangkan pada hemostasis sekunder terjadi
pembentukan fibrin clot melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik. Baru setelah itu terjadi
48

proses fibrinolisis untuk mencegah pembekuan yang berkelanjutan. Pada pasien


preeklampsia yang paling berperan adalah kerusakan endotelial.(Baskett,2010)
Diagnosa leukemia granolositik kronik fase kronik ditegakan berdasarkan
anamnesa bahwa pasien sudah diketahui menderita leukemia granulositik kronik
selama 1,5 tahun dan telah mendapatkan terapi sitodrox 1000 mg, pasien juga telah
pernah dirawat di bagian penyakit dalam karena penyakit leukemianya. Dari
pemeriksaan laboratorium saat pasien masuk didapatkan leukosit 91.400/mm3, blast
3 %.
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai
salah satu penyakit mieloproliferatif.(Price dan Wilson, 2006) Leukemia mielositik kronik yang
paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph).(Hoffbrand et al, 2005)
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu : fase
kronik, fase akselerasi, fase blast. Fase kronis ditandai dengan ekspansi yang tinggi
dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit
gangguan

fungsional.

Pemeriksaan

laboratorium

dapat

ditemukan

anemia

normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000800.000/mm3. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium
diferensiasi sel seperti mieloblas dan promielosit dibawah 15 %. Kadar eosinofil dan
basofil juga meningkat.
2. Penatalaksanaan
Setelah ditegakan diagnosa eklampsia antepartum, HELLP syndrome
parsial, janin gemelli dan leukemia granulositik kronik, kemudian pasien ditatalaksana
dengan melanjutkan pemberian regimen magnesium sulfat dan kehamilan
diterminasi secara seksio sesaria. Pertimbangan pilihan seksio sesaria pada pasien
ini karena eklampsia antepartum disertai HELLP syndrome dengan pelvik skor
belum matang. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Pada preeklampsia berat,
persalinan harus terjadi dalam 24 jam sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam
sejak gejala eklampsia muncul. (Angsar 2005; JNPK-KR, 2008)
Pasien mempunyai risiko faal hemostasis berat sesuai dengan hasil konsul
bagian penyakit dalam yang mengatakan bahwa pasien berisiko tinggi untuk terjadi
trombosis dan diastesis hemoragik. Disamping itu pasien juga berisiko untuk
terjadinya perdarahan postpartum karena atonia uteri akibat overdistensi uterus
karena kehamilan gemelli, serta resiko terjadinya trombositopeni dan DIC akibat
49

dari sindroma HELLP.


Dari hasil laboratorium saat pasien masuk walaupun trombosit masih dalam
batas normal (395.000/mm3), namun nilai D-dimer sudah meningkat (0,88 mg/l),
yang menandakan sudah terjadi peningkatan proses koagulasi, yang menyebabkan
hasil degradasi fibrin yang meningkat. Dan pada pasien ini sudah terjadi hematuri,
dengan hasil laboratorium eritrosit urin > 350/LPB, dan terdapatnya perdarahan
subkutis pada bekas suntikan yang menandakan sudah terjadi perdarahan spontan
pada pasien ini.
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler
termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow,
terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran
darah dan komponen pembekuan darah (Virchow triat).(Tambunan

K, 2001)

Sedangkan

diatesis hemoragik adalah kecenderungan untuk terjadi perdarahan akibat


gangguan pada sistem hemostasis.
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan. Manifestasi
perdarahan yang paling sering ditemukan berupa ptekie, purpura atau ekimosis,
yang terjadi pada 40-70 % penderita leukemia akut pada saat didiagnosis.
Manifestasi perdarahan ini muncul sebagai akibat dari berbagai kelainan
hemostasis.(Rofinda
trombositopenia.

ZD, 2012)

Penyebab tersering perdarahan pada leukemia adalah

Berkurangnya

jumlah

trombosit

pada

leukemia

biasanya

merupakan akibat dari infiltrasi ke sumsum tulang atau kemoterapi, namun bisa juga
karena koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis dan hipersplenisme
sekunder terhadap pembesaran limpa. Selain trombositopenia, perdarahan dapat
juga akibat disfungsi trombosit, kelainan hepar dan fibrinolisis.(Rofinda ZD, 2012)
Gangguan fungsi trombosit juga dapat menyebabkan perdarahan meskipun
jumlah trombosit tidak begitu rendah. Disfungsi trombosit ini terjadi pada 30%
pasien leukemia mielositik kronik (LMK). Gangguan fungsi trombosit yang terjadi
berupa kelainan agregasi terhadap ADP dan epinefrin, kelainan pelepasan PF3,
defisiensi granula- serta penurunan pelepasan nukleotida adenin yang berasal dari
trombosit.(Jagasia HM et al, 2004; Dalimoenthe NZ, 2005) Manifestasi perdarahan yang muncul akibat
gangguan fungsi trombosit pada leukemia mielositik kronik dapat berupa
perdarahan mukokutan, perdarahan retina dan hematuria.(Liles DK, 2002)
Trombosis dapat merupakan salah satu gejala yang ditemukan saat
diagnosis yaitu pada leukemia promielositik akut (AML-M3) 9,6%; pada AML nonM3 3,2% dan pada ALL 1,4%.(Stevano VD et al, 2005)

50

Disseminated

Intravascular

Coagulation

(DIC)

merupakan

istilah

patofisiologis yang meliputi kejadian trombosis dan perdarahan dalam tubuh yang
terjadi

secara

bersamaan.

Istilah

ini

juga

dikenal

sebagai

consumption

coagulopathy karena faktor pembekuan dalam plasma terpakai selama proses


pembekuan. Selain itu berkurangnya faktor pembekuan juga dapat disebabkan oleh
degradasi plasmin akibat hiperfibrinolisis.(Bakhsi S et al, 2003)
Leukemia akut yang paling sering dihubungkan dengan DIC adalah leukemia
promielositik akut (AML-M3), diikuti dengan leukemia mielomonositik akut (AMLM4), serta leukemia mieloblastik akut AML-M1 dan AML-M2. Pada leukemia
limfoblastik akut lebih kurang 10% pasien mengalami DIC pada saat diagnosis.
Leukemia kronik yang lebih sering mengalami DIC adalah LGK dibandingkan
dengan LLK.(Jagasia, 2004)
Preeklampsia dapat mencetuskan terjadinya Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) yang merupakan suatu gangguan perdarahan dan pembekuan
darah yang sistemik yang dicirikan dengan aktivasi sistem pembekuan darah yang
mencetuskan deposit fibrin tanpa lokasi yang spesifik dan dapat menyebabkan
multiple organ failure, serta pada aktivasi faktor pembekuan yang masif dapat
menyebabkan penurunan jumlah trombosit dan faktor koagulasi sehingga terjadi
perdarahan / consumption coagulopathy.(Levi, 2009; Baskett, 2010)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium hari pertama post tindakan SC
didapatkan penurunan kadar Hemoglobin (Hb) dari 11,7 gr/dl menjadi 7,7 gr %, dan
penurunan hematokrit (Ht) dari 36 % menjadi 24 % dibandingkan dengan sebelum
operasi. Ini tidak sesuai dengan banyaknya jumlah perdarahan yang terjadi saat
tindakan dan setelah tindakan SC yaitu 800 ml. Serta tidak terdapat tanda-tanda
perdarahan intraabdomen, dengan tidak ditemukannya tanda-tanda akut abdomen
pada
Ht1)/Ht2

pasien

ini.

Berdasarkan

(http://ether.stanford.edu/calc_mabl.html)

rumus

ABL

EBV

(Ht2-

, seharusnya diperkiraan kehilangan darah 1300

ml. Berarti perdarahan akibat HHP dapat disingkirkan Hal ini kemungkinan
disebabkan karena proses DIC yang sedang berlangsung, yang dapat dibuktikan
dengan hasil laboratorium : D-dimer meningkat menjadi 3,2 mg/l, APTT 65,3 detik
dan PT 13,6 detik. Bahkan kadar Hb terus menurun sampai 5,1 gr% pada hari
kedua dan 5,8 gr/dl pada hari ketiga post SC, walaupun telah dilakukan transfusi
darah (PRC) 2 unit perhari. Faal hemostatik mulai membaik pada hari ke-4 post SC
dengan Hb 7,6 gr %, PT 11 detik, APTT 51,4 setelah transfusi PRC 5 unit,
cryopresipitat 5 unit dan FFP 500 cc. Pada hari ke 7 post SC, faal hemostasis sudah

51

stabil, dengan Hb 9 gr/dl, APTT 41,8 detik, PT 10,5 detik, namun D-Dimer tidak
diperiksa.
Pada DIC berat semua hasil laboratorium untuk menilai fungsia koagulasi
dan fibrinolisis menjadi abnormal, sedangkan pada kasus yang lebih ringan hasilnya
bervariasi. Uji laboratorium untuk diagnosis DIC terdiri atas uji tapis dan uji penentu.
Uji tapis meliputi hitung trombosit, protombin time(PT), Partial Tromboplastin Time,
masa trombin, fibrinogen, sedangkan uji penentu adalag pemeriksaan fibrin
monomer terlarut (soluble fibrin monomer), D-dimer, fibrin degradation product dan
anti trombin. Dalam pertemuan Scientific and standardization International Society
for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) ke 47, Juli 2001 di Paris disusun sistem
skor untuk DIC, yaitu : (Tambunan K,2001)
1. Penilaian risiko : apakah terdapat kelainan dasar/etiologi yang berkaitan
dengan DIC? ( jika tidak penilaian tidak dilanjutkan )
2. Uji koagulasi : hitung trombosit, protombin time, fibrinogen, DP/D-dimer
Skor atau skala

>100

50 100

< 50

<3

4-6

>6

Fibrinogen (g/L)

>1

<1

FDP atau D-dimer


(g/L)

Tidak
meningkat
(500 g/L)

Jumlah trombosit
(x 103/mm3)
Pemanjangan PT
(detik)

Meningkat
sedang (5001000)

Sangat
meningkat
(> 1000)

3. Bagaimana Antenatal Care (ANC) pasien


Pasien sudah diketahui menderita LGK beberapa bulan sebelum hamil, dan
telah mendapatkan terapi citodrox. Seharusnya pasien ini sudah ditangani secara
komprehensif antara bagian penyakit dalam dan kebidanan sejak dari masa
prakonsepsi, dalam kehamilan sampai persalianan. Namun, sangat disayangkan
pasien ini baru ketahuan hamil saat usia kandungan sudah berusia sekitar 4 bulan.
Pasien hanya 3 kali kontrol ke poliklinik penyakit dalam dan hanya 1 kali kontrol ke
poliklinik kebidanan. Seharusnya pasien lebih rutin ANC ke poliklinik kebidanan
mengingat

resiko

pengobatan

dan

resiko

leukemia

itu

sendiri

terhadap

kehamilannya, diantaranya resiko abortus, gangguan pertumbuhan intrauterin


Berdasarkan kurva Lubchenko, kedua bayi pada pasien ini berat badannya
sesuai untuk usia kehamilan dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda kelainan
kongenital.
Penatalaksanaan leukemia pada pasien yang sedang hamil dan efek dari
obat antineoplastik selama konsepsi dan kehamilan belum diselidiki secara

52

menyeluruh. Ada dua pertimbangan penting dalam penatalaksanaan pasien dengan


leukemia selama kehamilan, yaitu ibu, yang membutuhkan terapi kanker yang
optimal, dan janin yang sedang berkembang , yang berpotensi dapat dipengaruhi
oleh penyakit dan / atau teratogenik dari obat antineoplastik.(Aul P et al, 2006)
Pilihan terapi konvensional dari fase kronis CML meliputi hidroksiurea (HU),
busulfan, rejimen berbasis interferon dan transplantasi stem sel. HU dan busulfan
menghambat sintesis DNA, oleh karena itu memiliki potensi untuk menyebabkan
aborsi, retardasi pertumbuhan intrauterin dan malformasi kongenital. Namun, tidak
terdapat efek teratogenik ataupun efek hematologi pada janin dengan pengobatan
HU yang telah dilaporkan. Busulfan melewati plasenta dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan hebat dan aplasia gonad pada keturunan tikus hamil. Busulfan telah
berhasil digunakan pada LGK selama kehamilan, tetapi malformasi janin telah
dilaporkan.(Szczepanski T et al, 1998; Ridvan A et al, 2004)

53

BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan suatu kasus, seorang pasien wanita berusia 31 tahun,


rujukan dari RSUD Bangko dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid preterm 34-36
minggu + eklampsi antepartum + leukemia granulositik kronik + janin gemelli, kemudian
dilakukan terminasi kehamilan secara seksio sesaria. Selesai SC pasien dirawat di ICU
selama 6 hari, selama perawatan pasien sempat mengalami perburukan faal
hemostasis dan membaik kembali pada hari keempat rawatan.
Ada beberapa hal yang akan dibahas pada kasus ini :
2. Diagnosa
Diagnosa gravid preterm 34-36 minggu dan janin gemelli ditegakan
berdasarkan anamnesa pasien dan keluarga pasien : tidak haid sejak 8,5 bulan
yang lalu, haid terakhir pada pertengahan maret 2013. Pasien pernah dirawat di
bagian penyakit dalam pada akhir Juni 2013, dikonsulkan ke bagian kebidanan dan
telah dilakukan USG, didapatkan saat itu usia kehamilan sekitar 16 minggu dan
janin gemelli. Kemudian pada akhir Oktober 2013 pasien juga telah kontrol ke
SpOG di Pariaman, didapatkan kesan kehamilan 32 minggu dengan janin gemelli.
Dari pemeriksaan tinggi fundus sukar ditentukan usia kehamilan, karena tinggi
fundus lebih besar dari usia kehamilan. Sedangkan dari pemeriksaan leopold
diperoleh kesan gravid gemelli, dimana teraba massa keras dan bulat di bagian atas
dan bawah, teraba 2 bagian terbesar di kiri dan kanan, serta di dapatkan punktum
maksimum dari DJJ pada 2 tempat dengan perbedaan > 10 dpm. Saat di IGD
pasien juga dilakukan pemeriksaan USG, diperoleh kesan gravid 35-36 minggu dan
janin gemelli. Ini juga dibuktikan setelah bayi lahir, dimana berdasarkan kurva
lubchenco berat bayi I dan bayi II sesuai untuk usia kehamilan 34-36 minggu.
Diagnosa eklampsia antepartum pada pasien ini, berdasarkan anamesa dari
pasien dan keluarga, bahwa pasien mengalami kejang sebanyak 1 x di rumah, dan
saat di RSUD dikatakan tekanan darah 160/?. Dari pemeriksaan tekanan darah saat
sampai di RS Dr M Djamil Padang didapatkan 150/100 mmHg, pemeriksaan protein
urin positif tiga (+3), dan hasil konsul ke bagian neurologi tidak ditemukan tandatanda defisit neurologi fokal.
Eklampsia merupakan salah satu komplikasi preeklamsia berat, umumnya
didefinisikan sebagai onset baru dari aktivitas kejang tonik-klonik (grand mal
seizure) yang dapat disertai dengan koma selama kehamilan atau setelah
48

melahirkan pada wanita yang sebelumnya telah memiliki tanda-tanda atau gejala
preeklampsia.(Prawirohardjo,
bukan

merupakan

2010)

Eklampsia dapat didefinisikan sebagai kejang yang

dikarenakan

penyebab

apapun

pada

wanita

dengan

preeklampsia.
Diagnosa HELLP syndrome parsial pada pasien ini ditegakan berdasarkan
hasil laboratorium : trombosit 395.000/mm3, LDH 3014 u/l, SGOT 50 u/l, SGPT 18
u/l. Sindroma HELLP merupakan kumpulan gejala multisistem pada penderita
preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya
hemolisis, peningkatan kadar enzym hepar dan penurunan jumlah trombosit
(trombositopenia).(Leindheimer, 2008)
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP :(Martin JN et al, 2006)
3. Klasifikasi Tennesse : berdasarkan jumlah kelainan yang ada
Komplit :
1) Trombosit < 100.000/mL
2) LDH > 600 IU/L
3) SGOT > 70 IU/L.
Inkomplit/parsial : hanya terdapat 1 atau 2 tanda pada komplit.
4. Klasifikasi Missisippi :
Kelas I : trombosit < 50.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT dan atau SGPT >
40 IU/L
Kelas II : trombosit > 50.000 tapi < 100.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT
dan atau SGPT > 40 IU/L
Kelas III : trombosit > 100.000 tapi < 150.000 mL, LDH > 600 IU/L, SGOT
dan atau SGPT > 40 IU/L
Meskipun berdasarkan klasifikasi Tennese pasien masih tergolong HELLP
syndrome parsial dan berdasarkan klasifikasi Missippi termasuk kelas III, namun
pada pasien ini sudah terjadi hiperkoagulabilitas, ini dapat dilihat dengan
peningkatan D-dimer (0,88 mg/l), yang menandakan peningkatan fragmen
degradasi fibrin yang dihasilkan setelah berlangsungnya fibrinolisis, akibat proses
hiperkoagulabilitas.
Preeklampsia merupakan kondisi obstetrikal yang paling sering berhubungan
dengan aktivasi kaskade pembekuan darah yang menghasilkan deposit fibrin pada
banyak organ.(Levi,2009) Pada proses pembekuan darah terjadi tiga mekanisme
hemostasis, yaitu hemostasis primer, hemostasis sekunder dan fibrinolisis. Pada
hemostasis primer yang berperan adalah platelet plug pada endotelial pembuluh
49

darah yang mengalami cedera. Sedangkan pada hemostasis sekunder terjadi


pembentukan fibrin clot melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik. Baru setelah itu terjadi
proses fibrinolisis untuk mencegah pembekuan yang berkelanjutan. Pada pasien
preeklampsia yang paling berperan adalah kerusakan endotelial.(Baskett,2010)
Diagnosa leukemia granolositik kronik fase kronik ditegakan berdasarkan
anamnesa bahwa pasien sudah diketahui menderita leukemia granulositik kronik
selama 1,5 tahun dan telah mendapatkan terapi sitodrox 1000 mg, pasien juga telah
pernah dirawat di bagian penyakit dalam karena penyakit leukemianya. Dari
pemeriksaan laboratorium saat pasien masuk didapatkan leukosit 91.400/mm3, blast
3 %.
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai
salah satu penyakit mieloproliferatif.(Price dan Wilson, 2006) Leukemia mielositik kronik yang
paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph).(Hoffbrand et al, 2005)
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu : fase
kronik, fase akselerasi, fase blast. Fase kronis ditandai dengan ekspansi yang tinggi
dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit
gangguan

fungsional.

Pemeriksaan

laboratorium

dapat

ditemukan

anemia

normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000800.000/mm3. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium
diferensiasi sel seperti mieloblas dan promielosit dibawah 15 %. Kadar eosinofil dan
basofil juga meningkat.
3. Penatalaksanaan
Setelah ditegakan diagnosa eklampsia antepartum, HELLP syndrome
parsial, janin gemelli dan leukemia granulositik kronik, kemudian pasien ditatalaksana
dengan melanjutkan pemberian regimen magnesium sulfat dan kehamilan
diterminasi secara seksio sesaria. Pertimbangan pilihan seksio sesaria pada pasien
ini karena eklampsia antepartum disertai HELLP syndrome dengan pelvik skor
belum matang. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Pada preeklampsia berat,
persalinan harus terjadi dalam 24 jam sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam
sejak gejala eklampsia muncul. (Angsar 2005; JNPK-KR, 2008)
Pasien mempunyai risiko faal hemostasis berat sesuai dengan hasil konsul
bagian penyakit dalam yang mengatakan bahwa pasien berisiko tinggi untuk terjadi
trombosis dan diastesis hemoragik. Disamping itu pasien juga berisiko untuk
50

terjadinya perdarahan postpartum karena atonia uteri akibat overdistensi uterus


karena kehamilan gemelli, serta resiko terjadinya trombositopeni dan DIC akibat
dari sindroma HELLP.
Dari hasil laboratorium saat pasien masuk walaupun trombosit masih dalam
batas normal (395.000/mm3), namun nilai D-dimer sudah meningkat (0,88 mg/l),
yang menandakan sudah terjadi peningkatan proses koagulasi, yang menyebabkan
hasil degradasi fibrin yang meningkat. Dan pada pasien ini sudah terjadi hematuri,
dengan hasil laboratorium eritrosit urin > 350/LPB, dan terdapatnya perdarahan
subkutis pada bekas suntikan yang menandakan sudah terjadi perdarahan spontan
pada pasien ini.
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler
termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow,
terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran
darah dan komponen pembekuan darah (Virchow triat).(Tambunan

K, 2001)

Sedangkan

diatesis hemoragik adalah kecenderungan untuk terjadi perdarahan akibat


gangguan pada sistem hemostasis.
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan. Manifestasi
perdarahan yang paling sering ditemukan berupa ptekie, purpura atau ekimosis,
yang terjadi pada 40-70 % penderita leukemia akut pada saat didiagnosis.
Manifestasi perdarahan ini muncul sebagai akibat dari berbagai kelainan
hemostasis.(Rofinda
trombositopenia.

ZD, 2012)

Penyebab tersering perdarahan pada leukemia adalah

Berkurangnya

jumlah

trombosit

pada

leukemia

biasanya

merupakan akibat dari infiltrasi ke sumsum tulang atau kemoterapi, namun bisa juga
karena koagulasi intravaskuler diseminata, proses imunologis dan hipersplenisme
sekunder terhadap pembesaran limpa. Selain trombositopenia, perdarahan dapat
juga akibat disfungsi trombosit, kelainan hepar dan fibrinolisis.(Rofinda ZD, 2012)
Gangguan fungsi trombosit juga dapat menyebabkan perdarahan meskipun
jumlah trombosit tidak begitu rendah. Disfungsi trombosit ini terjadi pada 30%
pasien leukemia mielositik kronik (LMK). Gangguan fungsi trombosit yang terjadi
berupa kelainan agregasi terhadap ADP dan epinefrin, kelainan pelepasan PF3,
defisiensi granula- serta penurunan pelepasan nukleotida adenin yang berasal dari
trombosit.(Jagasia HM et al, 2004; Dalimoenthe NZ, 2005) Manifestasi perdarahan yang muncul akibat
gangguan fungsi trombosit pada leukemia mielositik kronik dapat berupa
perdarahan mukokutan, perdarahan retina dan hematuria.(Liles DK, 2002)

51

Trombosis dapat merupakan salah satu gejala yang ditemukan saat


diagnosis yaitu pada leukemia promielositik akut (AML-M3) 9,6%; pada AML nonM3 3,2% dan pada ALL 1,4%.(Stevano VD et al, 2005)
Disseminated

Intravascular

Coagulation

(DIC)

merupakan

istilah

patofisiologis yang meliputi kejadian trombosis dan perdarahan dalam tubuh yang
terjadi

secara

bersamaan.

Istilah

ini

juga

dikenal

sebagai

consumption

coagulopathy karena faktor pembekuan dalam plasma terpakai selama proses


pembekuan. Selain itu berkurangnya faktor pembekuan juga dapat disebabkan oleh
degradasi plasmin akibat hiperfibrinolisis.(Bakhsi S et al, 2003)
Leukemia akut yang paling sering dihubungkan dengan DIC adalah leukemia
promielositik akut (AML-M3), diikuti dengan leukemia mielomonositik akut (AMLM4), serta leukemia mieloblastik akut AML-M1 dan AML-M2. Pada leukemia
limfoblastik akut lebih kurang 10% pasien mengalami DIC pada saat diagnosis.
Leukemia kronik yang lebih sering mengalami DIC adalah LGK dibandingkan
dengan LLK.(Jagasia, 2004)
Preeklampsia dapat mencetuskan terjadinya Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) yang merupakan suatu gangguan perdarahan dan pembekuan
darah yang sistemik yang dicirikan dengan aktivasi sistem pembekuan darah yang
mencetuskan deposit fibrin tanpa lokasi yang spesifik dan dapat menyebabkan
multiple organ failure, serta pada aktivasi faktor pembekuan yang masif dapat
menyebabkan penurunan jumlah trombosit dan faktor koagulasi sehingga terjadi
perdarahan / consumption coagulopathy.(Levi, 2009; Baskett, 2010)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium hari pertama post tindakan SC
didapatkan penurunan kadar Hemoglobin (Hb) dari 11,7 gr/dl menjadi 7,7 gr %, dan
penurunan hematokrit (Ht) dari 36 % menjadi 24 % dibandingkan dengan sebelum
operasi. Ini tidak sesuai dengan banyaknya jumlah perdarahan yang terjadi saat
tindakan dan setelah tindakan SC yaitu 800 ml. Serta tidak terdapat tanda-tanda
perdarahan intraabdomen, dengan tidak ditemukannya tanda-tanda akut abdomen
pada

pasien

ini.

Berdasarkan

rumus

ABL

EBV

(Ht2-

Ht1)/Ht2(http://ether.stanford.edu/calc_mabl.html), seharusnya diperkiraan kehilangan darah 1300


ml. Berarti perdarahan akibat HHP dapat disingkirkan Hal ini kemungkinan
disebabkan karena proses DIC yang sedang berlangsung, yang dapat dibuktikan
dengan hasil laboratorium : D-dimer meningkat menjadi 3,2 mg/l, APTT 65,3 detik
dan PT 13,6 detik. Bahkan kadar Hb terus menurun sampai 5,1 gr% pada hari
kedua dan 5,8 gr/dl pada hari ketiga post SC, walaupun telah dilakukan transfusi

52

darah (PRC) 2 unit perhari. Faal hemostatik mulai membaik pada hari ke-4 post SC
dengan Hb 7,6 gr %, PT 11 detik, APTT 51,4 setelah transfusi PRC 5 unit,
cryopresipitat 5 unit dan FFP 500 cc. Pada hari ke 7 post SC, faal hemostasis sudah
stabil, dengan Hb 9 gr/dl, APTT 41,8 detik, PT 10,5 detik, namun D-Dimer tidak
diperiksa.
Pada DIC berat semua hasil laboratorium untuk menilai fungsia koagulasi
dan fibrinolisis menjadi abnormal, sedangkan pada kasus yang lebih ringan hasilnya
bervariasi. Uji laboratorium untuk diagnosis DIC terdiri atas uji tapis dan uji penentu.
Uji tapis meliputi hitung trombosit, protombin time(PT), Partial Tromboplastin Time,
masa trombin, fibrinogen, sedangkan uji penentu adalag pemeriksaan fibrin
monomer terlarut (soluble fibrin monomer), D-dimer, fibrin degradation product dan
anti trombin. Dalam pertemuan Scientific and standardization International Society
for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) ke 47, Juli 2001 di Paris disusun sistem
skor untuk DIC, yaitu : (Tambunan K,2001)
4. Penilaian risiko : apakah terdapat kelainan dasar/etiologi yang berkaitan
dengan DIC? ( jika tidak penilaian tidak dilanjutkan )
5. Uji koagulasi : hitung trombosit, protombin time, fibrinogen, DP/D-dimer
Skor atau skala

>100

50 100

< 50

<3

4-6

>6

Fibrinogen (g/L)

>1

<1

FDP atau D-dimer


(g/L)

Tidak
meningkat
(500 g/L)

Jumlah trombosit
(x 103/mm3)
Pemanjangan PT
(detik)

Meningkat
sedang (5001000)

Sangat
meningkat
(> 1000)

6. Bagaimana Antenatal Care (ANC) pasien


Pasien sudah diketahui menderita LGK beberapa bulan sebelum hamil, dan
telah mendapatkan terapi citodrox. Seharusnya pasien ini sudah ditangani secara
komprehensif antara bagian penyakit dalam dan kebidanan sejak dari masa
prakonsepsi, dalam kehamilan sampai persalianan. Namun, sangat disayangkan
pasien ini baru ketahuan hamil saat usia kandungan sudah berusia sekitar 4 bulan.
Pasien hanya 3 kali kontrol ke poliklinik penyakit dalam dan hanya 1 kali kontrol ke
poliklinik kebidanan. Seharusnya pasien lebih rutin ANC ke poliklinik kebidanan
mengingat

resiko

pengobatan

dan

resiko

leukemia

itu

sendiri

terhadap

kehamilannya, diantaranya resiko abortus, gangguan pertumbuhan intrauterin

53

Berdasarkan kurva Lubchenko, kedua bayi pada pasien ini berat badannya
sesuai untuk usia kehamilan dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda kelainan
kongenital.
Penatalaksanaan leukemia pada pasien yang sedang hamil dan efek dari
obat antineoplastik selama konsepsi dan kehamilan belum diselidiki secara
menyeluruh. Ada dua pertimbangan penting dalam penatalaksanaan pasien dengan
leukemia selama kehamilan, yaitu ibu, yang membutuhkan terapi kanker yang
optimal, dan janin yang sedang berkembang , yang berpotensi dapat dipengaruhi
oleh penyakit dan / atau teratogenik dari obat antineoplastik.(Aul P et al, 2006)
Pilihan terapi konvensional dari fase kronis CML meliputi hidroksiurea (HU),
busulfan, rejimen berbasis interferon dan transplantasi stem sel. HU dan busulfan
menghambat sintesis DNA, oleh karena itu memiliki potensi untuk menyebabkan
aborsi, retardasi pertumbuhan intrauterin dan malformasi kongenital. Namun, tidak
terdapat efek teratogenik ataupun efek hematologi pada janin dengan pengobatan
HU yang telah dilaporkan. Busulfan melewati plasenta dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan hebat dan aplasia gonad pada keturunan tikus hamil. Busulfan telah
berhasil digunakan pada LGK selama kehamilan, tetapi malformasi janin telah
dilaporkan.(Szczepanski T et al, 1998; Ridvan A et al, 2004)

54

BAB V
KESIMPULAN

1. Pasien leukemia yang menginginkan kehamilan, harus ditangani bersama


antara bagian penyakit dalam dan kebidanan mulai dari prakonsepsi,
kehamilan, persalinan dan post partum. Karena efek leukemia dan pengobatan
leukemia terhadap kehamilan.
2. Antenatal care (ANC) pada pasien dengan LGK dalam kehamilan harus lebih
intensif, mengingat efek leukemia dan pengobatannya terhadap kehamilan.
3. Perlunya kewaspadaan untuk terjadinya resiko perdarahan post partum pada
pasien leukemia karena adanya kelainan hemostasis.
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin R, dkk. Issu Mutakhir tentang Komplikasi Kehamilan (preeklampsia dan


eklampsia). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS.
2007
Angsar MD,dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di Indonesia
edisi kedua. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2005
Ault P, Kantarjian H, OBrien S, et al. Pregnancy Among Patients With Chronic
Myeloid Leukemia Treated With Imatinib. Journal Of Clinical Oncology. Volume
24, Number 7,March 1 2006
Baer MR, Ozer H, Foon KA. Interferon- therapy during pregnancy in chronic
myelogenous leukaemia and hairy cell leukaemia. Br J Haematol
1992;81:1679.
Bakhshi S, Arya LS. Etiopathophysiology of disseminated intravascular coagulation.
JAPI. 2003;51:796-800.
Baldy, Catherine M. Gangguan Sel Darah Putih dalam Price, Sylvia A. Wilson,
Lorraine M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6.
Jakarta: EGC
Baskett T. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) in Pregnancy. 2010.
Benjamin RJ, Anderson KC. What is the proper threshold for platelet transfusion in
patients with chemotherapy-induced thrombocytopenia? Crit Rev Oncol
Hematol. 2002;42(2):163-71.
Besa, E., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
Cunningham, F.G. Hipertensive Disorder in Pregnancy. In: Williams Obstetrics23rd Edition. USA: Mc Graw Hill co. 2010

55

Dalimoenthe NZ. Kelainan hemostasis pada keganasan hematologi. Dalam:


Suryaatmadja M, ed. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik. Jakarta:
Bagian Patologi Klinik FKUI. 2005;129-148
Doll DC, Ringenberg S, Yarbro JW. Management of cancer during pregnancy. Arch
Intern Med 1988;148:205864.
Dugdale, D., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
Fadjari, H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4th ed), Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Goldman JM, Marin D, Olavarria E, Apperley JF. Clinical decisions for chronic
myeloid leukemia in the imatinib era. Semin Hematol 2003;40: 98103.
Hegde UP, Wilson WH, White T, Cheson BD. Rituximab treatment of refractory
fludarabineassociated immune thrombocytopenia in chronic lymphocytic
leukemia. Blood. 2002;100(6):2260- 62.
Hensley ML, Ford JM. Imatinib treatment: specific issues related to safety, fertility
and pregnancy. Semin Hematol 2003;40:215.
Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005.
Holmer LD, Hamoudi W, Bueso-Ramos CE. Chronic leukemia and related
lymphoproliferative disorders. In: Harmening DM, eds. Clinical hematology
and fundamental of hemostasis edition 4. Philadelphia: FA. Davis Company.
2001;301-30.
Jagasia HM, Arrowsmith ER. Complications of haematopoietic neoplasms. In: Greer
JP, Foersters J, Lukens JN, et al, eds. Wintrobes Clinical Haematology, 11th
ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2004;1919-43.
JNPK-KR. Buku Acuan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar.
Jakarta. 200811. Pokharel SM, Chattopadhyay SK. HELLP Syndrome a
pregnancy disorder with poor diagnosis. 2008
Juarez S, Cuadrado Pastor JM, Feliu J, Gonzalez Baron M, Ordonez A,Montero JM.
Association of leukemia and pregnancy: clinical and obstetric aspects. Am J
Clin Oncol 1988;11:15965.
Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et
al. Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia
after failure of first-line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal of The
American Society of Hematology 2007;12: 5143-5150
Launder TM, Lawnicki LC, Perkins ML. Introduction to leukemia and the acute
leukemias. In: Harmening DM, eds. Clinical hematology and fundamental of
hemostasis edition 4. Philadelphia: FA. Davis Company. 2002;272-357
Levi M. Current understanding of disseminated intravascular coagulation. Br J
Haematol. 2004;124:567-76.

56

Liles DK, Knupp CL. Quantitative and qualitative platelet disorder and vascular
disorders. In: Harmening DM, eds. Clinical hematology and fundamental of
hemostasis edition 4. Philadelphia: FA. Davis Company. 2002;471-93.
Lindheimer MD., Taler SJ, Cunningham FG. Hipertension in pregnancy. In: Journal
of the American Society of Hypertension. 2008
Markman M. 2009. Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
Martin JN, Rose CH, Briery CM. Understanding and managing HELLP syndrome:
The integral role of aggressive glucocorticoids for mother and child. American
Journal of Obstetrics and Gynecology (2006) 195, 91434
Mughal TI, Goldman JM. Chronic myeloid leukaemia: STI 571 magnifies the
therapeutic dilemma. Eur J Cancer 2001;37:5618.
Nafrialdi, Gan, S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5th ed), Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Price

S, Wilson A, 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis


Penyakit (6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Proses-Proses

Ridvan Ali, Fahir zkalemkas, Vildan zkocaman, Tlay zelik, lk Ozan, Yalin
Kimya and Ahmet Tunali. Successful Pregnancy and Delivery in a Patient with
Chronic Myelogenous Leukemia (CML), and Management of CML with
Leukapheresis during Pregnancy: a Case Report and Review of the Literature.
Jpn J Clin Oncol 2004;34(4)215217
Riley RS, Tidwell AR, Williams D, et al. Laboratory evaluation of hemostasis.
Hemostasis. 2006;1-29
Rofinda ZD. Kelainan Hemostasis pada Leukemia. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012;
1(2)
SAW Fadilah, H Ahmad-Zailani, Soon-Keng, M Norlaila. Successful treatment of
chronic myeloid leukemia during pregnancy with hydroxyurea. Leukemia. June
2002, volume 16, no 6, 1202-1203
Seiter K. Acute lymphoblastic leukemia.Hematology. 2006;22:1-11.

Sibai BM et al. Risk factors for Preeclampsia, Abruptio Placentae, and


Adverse Neonatal Outcome among Women with Chronic Hypertension.
The New England Journal of Medicine, 1998
Sibai BM, MD. Diagnosis, Controversies, and Management of the Syndrome of
Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count. American
College of Obstetricians and Gynecologists. Vol. 103, No. 5, Part 1, May 2004
Sivers EL, Larson R, Stadtmauer E, Estey E, Lowenberg B, Dombret B, et al.
Efficacy and savety of gemtizumab ozogamicin in patiens with CD 33 positive
acute myeloid leukemia in first relaps. Journal of Clinical Oncology 2001;
19:3244-5

57

Stefano VD, Sora F, Rossi E, et al. The risk of thrombosis in patients with acute
leukemia : occurrence of thrombosis at diagnosis and during treatment. J
Thromb Haemost. 2005; 3: 1985-92
Szczepanski T, Langerak AW, Dongen JJM. Interferon-alpha therapy for chronic
myelogenous leukemia during pregnancy. Am J Hematol 1998;59:1012.
Tambunan K. Thrombosis. KONAS PHTDI Semarang, September, 2001
Tambunan KL, Sudoyo A, Mustafa, Pudjiaji A,Chen K. Tatalaksana Koagulasi
Intravaskular Diseminata (DIC) pada sepsis., konsensus nasional, 2001.
VardimanJW. 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+, American
Journal Clinical Pathology, 132, 248-249.
Webert KE, Cook RJ, Sigouin CS, et al. The risk of bleeding in thrombocytopenic
patients with acute myeloid leukemia. Haematologica. 2006; 91: 1530-37.

58

You might also like