You are on page 1of 9

Minggu, 16 Januari 2011

SEJARAH KEMUNCULAN ASWAJA DILIHAT DARI LATAR BELAKANG


SOSIAL POLITIK, DAN AGAMA

Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk
pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jamaah
adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.
Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:


: .
Artinya : Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70
golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab :
yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada.
Hadits inilah yang sering digunakan oleh orang-orang NU sebagai salah satu dalil atau dasar
tentang Ahlussunah wal Jamaah.
Sejarah tentang paham atau aliran pemikiran Ahlussunah wal Jamaah itu kira-kira muncul mulai
kapan? Tadi sudah dikatakan paham atau aliran Ahlussunah wal Jamaah baik aliran keagamaaan
atau aliran pemikiran pada zaman Nabi belum ada. Kalau istilahnya memang sudah. Coba kita
bersama-sama melihat skema yang saya buat sebagai panduan: (gambar skema)P ernah membaca
sejarah Islam ya? Dalam sejarah Islam kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW. wafat,
sebagai khalifah (kepala negara) yang pertama terpilih itu siapa? Abu Bakar ash Sidiq. Beliau
jadi khalifah itu ditunjuk oleh Nabi Muhammad atau bagaimana? Kesepakatan atau musyawarah
para sahabat, dia terpilih melalui forum atau lembaga yang sangat demokratis. Jadi tidak ditunjuk
oleh Nabi tetapi melalui kesepakatan para Sahabat pada waktu itu. Kemudian ketika Abu Bakar
ash Shidiq meninggal diganti oleh siapa? Umar bin Khattab. Umar bin Khattab menjadi khalifah
itu ditunjuk oleh abu bakar atau siapa? Ditentukan oleh para Sahabat tetapi bersifat tidak
langsung. Setelah Umar wafat diganti oleh Utsman bin Affan, juga melalui musyawarah. Inilah
yang disebut sebagai dasar-dasar demokrasi. Jadi demokrasi itu sudah jalan. Setelah Rasulullah
SAW meninggal itu negara Islam yang pertama setelah Rasulullah SAW itu ditentukan melalui
sistem demokrasi. Setelah Utsman wafat, yang terpilih menjadi khalifah itu siapa? Shahabat Ali
bin Abi Thalib. Nah, kita melihat sejarah kemunculan Ahlussunah wal Jamaah itu bisa ditelusuri
sejak pemerintahan Ali bin Abi Thalib.Pada jaman pemerintahan Utsman itu ada seorang
Gubernur Syiria yang bernama Muawwiyah bin Abu Sufyan. Nah ketika Ali bin Abi Thalib
terpilih menjadi presiden/khalifah itu Muawwiyah tidak setuju dan melakukan pemberontakan.
Disini terjadi perang antara Ali melawan Muawwiyah.
Nah kita coba telusuri sejak ini kemunculannya (kemunculan Aswaja). Ini terjadi sekitar tahun
35 40 H. Perang antara pasukan Ali dan Muawwiyah kira-kira dimenangkan oleh siapa? Ali bin
abi Thalib. Akhirnya perang dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran-kalau
kita baca sejarahnya- ketika Muawwiyah bin Abu Sufyan pasukannya hampir terdesak dia

mengibarkan berndera putih tanda menyerah dengan Al Quran di atas minta perdamaian.Maka
terjadilah perundingan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah untuk merembug tentang
perdamaian maka diutuslah (cara sekarang diplomat), Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa
al Asyari kemudian Muawwiyah diwakili oleh Amru bin Ash. Terjadi perundingan yang dalam
sejarah disebut dengan Tahkim. Nah dalam perundingan disini terjadi ketidak seimbangan basic
pengetahuan atau latar belakang keilmuan. Abu Musa al Asyari adalah seorang Ulama,
sedangkan Amru bin Ash adalah seorang politisi. Tadinya adalah pejabat Gubernur, sementara
Abu Musa adalah orang tua (kasepuhan) juga seorang tokoh ulama. Sehingga terjadi
ketidakseimbangan.Disinilah kemudian menimbulkan konflik. Amru bin Ash mengatakan pada
Abu Musa al Asyari, Wahai Abu Musa, marilah kita pertama-tama membuat kesepakatan
bahwa pemerintahan itu berada ditengah-ditengah (kosong/tidak ada yang menduduki). Marilah
kita umumkan kepada publik bahwa sebelum perundingan dimulai pemerintahan kosong atau
tidak diduduki baik oleh pemerintah yang sah (Ali bin Abu Thalib) maupun Muawwiyah. Nah
kemudian Abu Musa al Asyari setuju : Kalau memang itu jalan terbaik, setuju saya. Setelah
setuju dia mengatakan : Siapa dulu yang akan mendeklarasikan, akan mengumumkan kepada
publik bahwa pemerintahan itu kosong? di sini nalar politik Amru bin Ash mulai bermain, Ini
karena panjenengan itu lebih sepuh, lebih alim maka panjenengan dulu yang mengatakan.
Akhirnya naiklah mimbar, diumumkan oleh Abu Musa Al asyari: Wahai saudara-saudara kaum
Muslimin, penduduk Makkah dan Madinah yang saya hormati, dengan ini saya Abu Musa Al
Asyari mewakili pemerintahan yang sah (Ali bin Abi Thalib) meletakkan jabatan. Akhirnya
jabatan khalifah Ali itu diletakkan. Seharusnya yang kedua (Amru bin Ash) mengatakan hal yang
serupa. Akan tetapi ternyata ketika naik panggung Amru bin Ash mengatakan: Saudara-saudara
kaum muslimin yang berbahagia, Abu Musa Al Asyari mewakili khalifah Ali telah meletakkan
jabatan, maka dengan ini jabatan khalifah saya ambil untuk diserahkan pada Muawwiyah bin
Abu Sofyan. Nah akhirnya, ketika perang itu Sahabat Ali yang menang, tetapi ketika
perundingan Muawwiyah yang menang karena taktik politik. Nah akhirnya yang kalah (kubu
Ali) inilah terpecah menjadi 2 golongan yaitu Syiah dan Khawarij.Yang Syiah adalah pendukung
setia Ali. Sedangkan Khawarij tidak setuju Muawwiyah dan tidak setuju Ali karena alasanya
karena membuat keputusan hukum tidak menggunakan hukum Allah atau hukum Al Quran
sehingga Khawarij (Kharaja: keluar). Nah sehingga pada masa pemerintahan Muawwiyah awal
ini, masyarakat ummat Islam itu sudah terpecah menjadi 3 golongan. Yang pertama pengikut Ali
yang setia, yang kedua golongan yang menolak Ali dan Muawiyah, yang ketiga adalah
pendukung Muawwiyah.
Disinilah pada tahun sekitar akhir 40an Hijriah ini ummat Islam yang tadinya satu terpecah
menjadi 3 golongan (Syiah, Khawarij dan pendukung Muawiyyah).Kemudian dalam rangka
melanggengkan kekuasaan (kekuasaan mulai turun temurun/dinasty) Muawiyah membuat aliran
keagamaan yang dikenal dengan Jabariyyah. (Disini ada juga masyarakat muslim yang netral,
tidak ngeblok kesana maupun kesini atau golput tidak ikut faksi politik) Semua masyarakat pada
waktu itu kecuali golongan Muawiyyah memandang bahwa perebutan kekuasaan dari tangan Ali
ke Muawiyyah tidak melalui proses politik yang benar atau tidak mengindahkan etika politik
Islam. Kemudian khalifah membuat paham keagamaan Jabariyyah yang antara lain mengatakan
bahwa: Semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah. Termasuk Muawiyyah salah
ketika memerangi Ali, tetapi bahwa Muawwiyah menang itu juga sudah dikehendaki oleh Allah.
Pendeknya semua apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan dinginkan oleh
Allah. Inilah ajaran dari paham Jabariyyah. Sehingga kemunculan paham Jabariyah ini adalah
dalam rangka untuk kepentingan politik untuk melegitimasi kekuasaan bani Muawiyah bin Abu

Sufyan yang mengatakan bahwa manusia ini tidak punya kekuasaan untuk berkehendak.
Semuanya sudah dikehendaki oleh Allah SWT. Banyak Ayat al Quran yang dipakai/disitir untuk
melegitimasi diantaranya adalah : Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha
ramaaAda ayat Al Quran yang mengatakan bahwa tidaklah engkau memanah ketika engkau
memanah, melainkan Allahlah yang memanah. Ini salah satu ayat yang digunakan oleh para
ulama, para kyai yang mendukung aliran Jabariyah mungkin para ulama, para kyai yang ingin
dekat dengan kekuasaan, ingin mendapatkan fasilitas dari kekuasaan, mungkin mendukung aliran
ini dan ikut menyebarkan. Nah inilah yang kemudian kita menyebutnya sebagai ajaran fatalisme.
Mengapa Muawiyyah menyebarkan ajaran paham Jabariyah? Karena untuk melindungi caracaranya ketika mengalahkan Ali melalui peristiwa Tahkim atau arbitrase. Nah kemudian dari
akibat paham Jabariyah ini kemudian muncul banyak pengemis.Ekonomi itu hancur, manusia
banyak yang tidak berusaha (Hanya menjalankan rutinitas ritual peribadatan tanpa berusaha
mencari rizky, karena memandang bahwa rizky itu sudah diatur oleh Allah, akan datang dengan
sendirinya). Sebagai perimbangan kemudian muncullah paham baru yang dipelopori oleh cucu
Ali bin Abu Thalib (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib) yang bernama
Qodariyah. Paham ini mengajarkan sebaliknya dari paham Jabariyah. Bahwa manusia ini yang
berkehendak atau yang berkuasa, Allah tidak turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh
manusia. Oleh karena manusia berkehendak, Allah tidak turut campur maka manusia harus
bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Paham ini dalam rangka melawan terhadap
berkembangnya paham Jabariyah, ini juga menggunakan ayat-ayat Al Quran diantaranya
misalnya tentang:maa yughoyu ruqomun khatta yughoyuru bi anfusihim Artinya :
tidak akan berubah suatu kaum kecuali kaum itu yang merubah. Nah di sini mulai ada
reformasi (pembaruan). Kemudian khalifah bani Muawiyyah ini digulingkan oleh kekhalifahan
Abassiyah (Muawiyyah = Umayyah). Kekhalifahan Abassiyah ini murni, pemerintahannya
memang maju pesat. Karena berprinsip bahwa manusia tidak bisa mengandalkan pada takdir,
tetapi kalau ingin maju maka harus merubah dirinya sendiri. Kemudian aliran qodariyah ini pada
zaman Abassiyah (kalau sebelumya hanya sekedar menjadi kritik atas paham Jabariyah) menjadi
spirit pembangunan negara yang kemudian turunannya (dengan sedikit modifikasi) kita kenal
sebagai paham Mutazilah.Paham Mutazilah ini karena pada mulanya dalam rangka memberi
kekuatan pada manusia bahwa manusia mempunyai kehendak, dan prinsipnya dia menggunakan
prinsip akal, segala sesuatu yang masuk akal, segala sesuatu harus dirasionalkan, sehingga ini
keblabasan karena semuanaya serba akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai ada
terjadi peristiwa ketika salah satu keturunan Abassiyah ini menggunakan paham Mutazilah
sebagai paham resmi negara, sehingga timbul korban yang tidak mengikuti paham Mutazilah
dibunuh dan lain sebagainya.
Nah akhirnya lahirlah seorang ulama besar (dulunya pengikut Mutazilah) yang bernama Abu
Hasan Al Asyari menyatakan diri keluar dari paham Mutazilah. Beliau berada di tengah, tidak
mengikuti dua kubu ekstrim Jabariyah maupun Qodariyah. Beliau memproklamasikan kembali
pada maa anna alaihi wa ashabihi sebuah kelompok dimana Rasulullah dan para Sahabat
berada di dalamnya. Nah paham tengah ini yang merujuk kepada maa alaihi wa ashabihi yang
kemudian oleh Abu Hasan Al Asyari ini disebut sebagai Ahlussunah wal Jamaah.Kalau paham
Qodariyah dan paham Mutazilah itu mengatakan bahwa manusia punya kehendak (free will).
Sedang paham Jabariyah itu mengatakan bahwa manusia itu tidak punya kehendak
(fatalisme/taqdir). Nah, dalam teologi Aswaja yang dirumuskan Abu Hasan Al Asyari ini
menyatakan bahwa manusia itu punya kehendak Akan tetapi kehendak itu diketahui oleh Allah.
Manusia punya kehendak tetapi kehendak itu dibatasi oleh taqdir Allah. Jadi kalau Jabariyah ini

murni taqdir apapun yang dia lakukan adalah taqdir, termasuk ketika mencuri sekalipun.
Misalanya ketika ditanya: Kenapa kamu mencuri..? Maka Jabariyah akan menjawab: Lha
wong saya ditaqdirkan mencuri, maka jangan salahkan saya donk, tanyakan sama Allah. Ini
didobrak habis-habisan oleh Qodariyah yang mengedepankan tanggung jawab individu dengan
kehendak bebas manusia, yang pada kelanjutannya keblabasan menjadi paham yang
merasionalkan ajaran-ajaran agama (Mutazilah). Kemudian lahirlah paham tengah-tengah
Ahlussunah wal Jamaah, konteksnya kembali pada semanagat awal Islam ma anna alaihi wa
ashabihi yang dipelopori oleh dua ulama besar pada waktu itu Abu Hasan Al Asyari dan Abu
Mansur Al Maturidi, ini dalam bidang teologi/tauhid.Kemudian dalam bidang Fiqih lahirlah
ulama-ulama besar yang merumuskan fiqih dengan mendasarkan kepada Ahlussunah, artinya
kepada kebiasaan-kebiasaan Rasulullah dan para Sahabat (para Sahabat itu artinya wal Jamaah
ya) kemudian lahirlah Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), kemudian Imam Malik,
Imam Syafii, kemudian Imam Hanafi. Imam Ahmad bin Hanbal inilah yang merupakan korban
dari kekuasaan Bani Abassiyah ketika mengharuskan warganya menggunakan aliran yang
dikembangkan oleh Mutazilah dalam bidang Fiqih. Dan masih banyak imam-imam yang lain
tetapi yang paling kita kenal adalah ini, yang kita sebut dengan empat madzhab.
Sehingga orang Ahlussunah wal Jamaah sering dikatakan: orang Islam yang secara teologi
mengikuti ijthad Abu Hasan Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi dan secara Fiqih mengikuti
ijtihad salah satu madzhab yang empat yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Maliki, Imam
Syafii dan Imam Maliki kemudian dalam bidang tasawuf mengikuti ijtihad ulama besar Imam
Al Ghazali.
Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita melihat ijtihadnya
ulama-ulama tersebut di atas maka pengertian yang pertama adalah. Definisi kedua adalah
(melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan); orang-orang yang
memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar moderasi menjaga keseimbangan dan toleransi. Ahlussunah wal Jamaah ini tidak
mengecam Jabariyah, Qodariyah maupun Mutazilah akan tetapi berada di tengah-tengah dengan
mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi.Nah itulah latar belakang sosial dan latar
belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab,
ada ekstrim mutazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di
tengah-tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham
keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa
Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.]
Demikian yang bisa saya sampaikan tentang latar belakang kemunculan Ahlussusnah wal
Jamaah dilihat dari latar belakang sosial dan politik.
Mengenal ASWAJA
Secara sederhana dalam perspektif teks, ASWAJA diterjemahkan sebagai: sekelompok
golongan yang mengikuti, meyakini, dan mengamalkan sikap, perbuatan, dan perkataan yang
dijalankan oleh Rasul SAW, Sahabatnya, dan para pengikut sahabatnya dimanapun berada, kapan
pun dan siapa pun (4 ulama madzab, salafussholikh, dll).
Awal munculnya ASWAJA menjadi salah satu kelompok dalam kehidupan social, adalah
karena perdebatan teologi, di sini ada Mutazilah (akal), Syiah (percaya mutlak ahlul bait),
Khowarij (tekstual), dan ASWAJA (moderat) Muncul sebagai alternatif perdebatan kelompokkelompok tersebut).

Prinsip yang dikembangkan ASWAJA adalah prinsip moderat (tengah-tengah), Wasathon,


mempertimbangan teks dan konteks, prinsip seperti itu sebenarnya telah ada dalam pesan risalah
nubuwwah Muhammad SAW, baik dalal al-quran maupun dalam al-hadits. Dalam prisip dan
sikap seperti ini, ASWAJA selalu menjadi solusi alternatif dalam setiap persoalan perdebatan
yang bersifat dhonni (masih butuh penafsiran), dengan mengedepankan pendapat yang paling
benar, paling bermanfaat, dan menghilangkan kemadlorotan (usulul fiqhi). Tokoh perintis faham
ASWAJA, Abu hasan al-Basri (w.110 H/728M), Abu Hasan Al-Asyari (w.324 H/935 M), dan
Abu Mansur al-Maturidzi (w.331 H/944 M), dan banyak ulama sunni lainnya.
Perkembangan ASWAJA
Menilik perjalanan ASWAJA sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah tidak lepas
dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan corak ke-sunni-annya. Di mana ulama sunni,
baik dari cina, India, maupun timur tengah sambil berdagang mampu menyebarkan Islam ala
Sunni, dengan prinsip moderat-nya, sehingga Islam bisa diterima masyarkat pribumi dengan
elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Islam mampu berdialektika dengan budaya local yang
sudah berkembang, Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan adat Istiadat masyarakat
Indonesia lainnya. Begitu pula yang dilakukan oleh para Wali Songo, mereka mampu mengislam-kan Jawa dengan wajah moderatnya.
Artinya sebenarnya model Islam yang seprti itulah, (sunni, moderat, mengedepankan
maslahah, menghilangkan madlarat) yang sejak awal berkembang dan bisa diterima oleh
masyarkat Indonesia. Sehingga nilai Islam sebagai Agama Universal (rahmatan lil alamin)
menjadi kelihatan semakin nyata.
Model Islam sunni/Islam ASWAJA inilah yang kemudian mendorong lahirnya ornganisasi
kemasyarakatan yang ber-visi sosil-keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama (NU), yang sampai
sekarang memegang teguh identitas tersebut sebagai senuah Nilai, idiologi, dan doktrin
kedisiplinan. dan PMII adalah bagi dari dinamika perkembangan ke-NU-an di kalangan pemuda,
terutama Mahasiswa (simak sejarah lahirnya PMII).
Pada perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA an-Nahdliyah yang dimotori
oleh (alm.) K.H. Hasyim Asyari (Rais Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menajdikan
al-Quran dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijama dan Qiyas,
serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan
tersebut, lahir dialektika antara tekS dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan,
pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fakir yang dikedepankan adalah menolak bahaya
(madlarat), mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum almuhafadzotu alaa qodimi al-sholikh, wal akhdzu bi al-jadiidil aslakh, Yakni menjaga tradisi
lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik.
Ethik Aswaja PMII sebagai sebuah Spirit Pikir dan Gerak Kader
Secara singkat posisi Aswaja di PMII dapat dilihat sebagai berikut. Dalam upaya
memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan ahlussunnah wal jamaah
sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtimai (perubahan sosial) untuk
mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaranajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif (dalam NDP dan
PKT PMII).
Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan
gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk

identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat
bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan
kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari citacita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang
humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas
landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah
gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja PMII:
Maqosidu Al-Syar`iy (Tujuan Syariah Islam)
- Hifdzunnafs (menjaga jiwa)
- Hifdzuddin (menjaga agama)
- Hfdzul `aqli (menjaga aqal)
- Hifdzulmaal (menjaga harta)
- Hifdzul nasab (menjaga nasab)
Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy :
Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia)
Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan)
Hfdzul `aqli (kebebasan berfikir)
Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan)
hifdzul nasab (kearifan local)
Karakteristik ulama ahlussunnah waljama`ah dalam berfikir dan bertindak
Tasamuh (toleran)
Tawazun (menimbang-nimbang)
Taadul (berkeadilan untuk semua)
`Adamu ijabi birra`yi. (tidak merasa paling benar)
`Adamuttasyau` (tidak terpecah belah).
`Adamulkhuruj. (tidak keluar dari golongan)
Alwasatu.(selalu berada ditengah-tengah)
Luzumuljamaah. (selalu berjamaah)
`Adamu itbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu)
Puncak dari semuanya adalah Taawun (saling tolong menolong)
III Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mutazilah yang pelapori oleh
Washil bin Atho, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf
yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang
pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syiah dan
Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asyari dan
Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam
beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama.
Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam
aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam
kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan
siapapun dan kelompok apapun.

Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan
akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini
selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima
begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya
merusak norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya
rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari
aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun
(seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga
memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagungagungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia
menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang
mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme
(tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII
harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan
sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita
pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan
keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah
dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan
yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai
aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik
sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di
dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun
dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki
keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa
yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada
proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap
karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
Aswaja dan tantangan masa kini dan masa depan
Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya
disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis
muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asyari dan Abu Manshur al-Maturidi.
Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal
Mutazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang
siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah,
Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor
dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan
pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang
mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara
pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij,
Ahlussunnah dan disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis
olehMutazilah dan lain-lain.

Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan
turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja
memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar
sebagaimana pandangan Mutazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas
(kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di
luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya
(sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mutazilah).
Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat:
Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Quran,
Sunnah, Ijma, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain
semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.
Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang
tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syiah di Iran,
Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mutazilah) di sejumlah tempat di
Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia
berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan
sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam
mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.
Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul
Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada
praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja.
yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap
keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten
pada sikap adil (itidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus
besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa
yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa
depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain.
Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian
pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang
dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat
pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan
pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi
menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang,
termasuk di Indonesia.
Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam
diposisikan sebagai musuh terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan
sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang
menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan
gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua
kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut perang terhadap
terorisme dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras,
bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan
praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.

Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja
selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan
dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu
bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam
(Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.
http://asyapradana646702.blogspot.com/2011/01/sejarah-kemunculan-aswajadilihat-dari.html

You might also like