Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.1
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang
terus meningkat. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai
sekitar 10 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade
terakhir dan mengenai lebih dari 40% populasi. Rinitis alergi merupakan kondisi
kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak.
Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersamasama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi,
rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan
rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas
hidup seseorang.1,2
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibedakan atas Alergen Inhalan,
yang masuk bersama dengan udara pernafasan, alergen Ingestan, yang masuk ke
saluran cerna, alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, serta
alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa.1
Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang
cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
A. Hidung Luar2,3
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu
1. Kelompok dilator :
- m. dilator nares ( anterior dan posterior )
- m. proserus
- kaput angulare m. kuadratus labii superior
2. Kelompok konstriktor :
- m. nasalis
- m. depresor septi
B. Hidung dalam2,3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian
anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 2,3
a. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrisae.
b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari :
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista
nasalis os palatine. Bagian tulang rawan terdiri dari: kartilago septum (lamina
kuadrangularis), dan kolumela
c. Kavum nasi2,3
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.
Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamenfilamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
kranial konka superior.
Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior,
lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.
Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.
Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.
Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:2,3
1.
2.
3.
Perdarahan hidung2.4
Persarafan hidung2,3
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian
luar.
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu
4. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.
2.2. Fisiologi Hidung2
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, indra penghidu (olfactory), untuk resonansi suara,
refleks nasal dan turut membantu proses bicara. 2
1. Fungsi respirasi2,3
Reflex Nasal2,3
kondisi
kronik
tersering
pada
anak
dan
diperkirakan
10
11
12
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1,10
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung.1
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ
sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah
yang memberi gejala asma bronkial dan rhinitis.alergi.1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari:1
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
13
14
mengganggu.
2. Sedang - berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
2.2.6
Manifestasi Klinis
Rhinitis merupakan inflamasi pada mukosa hidung. Rinitis alergi
ditandai dengan gejala yaitu rinorea, kongesti hidung, bersin-bersin, dan
hidung tersumbat disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih
pada hidung.1,5 Gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada telinga,
15
gatal pada palatum, gatal pada tenggorok serta asma dapat menyertainya
apabila reaksi alergi terjadi juga pada organ-organ lain. Gejala- gejala
tersebut dapat sembuh spontan atau membaik oleh obat.1,4,7
2.2.7
Penegakan diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1,7,8,9,10
A. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5).
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi
pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1,7,8,9,10
16
17
18
19
20
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rhinitis alergi adalah kombinasi antara edukasi
pasien yaitu untuk menghindari faktor pencetus(Alergen), medikamentosa,
immunoglobulin serta pemperian imunoterapi.1,5,10
21
22
23
24
efek antikolinergik,
rhinitis
medikamentosa.1
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.1
25
2.2.9
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :1
1. Polip hidung
2. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu factor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
3. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
4. Sinusitis paranasal.
1.2.10 Prognosis
Rinitis alergi merupakan penyakit respirasi kronik berdasar pada
prevalensi, pengaruh terhadap kualitas hidup, pengaruh terhadap produktivitas
pekerjaan dan performa, ekonomi dan hubungan dengan asma.9
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali
anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa
muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut,
gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.
27
LAPORAN KASUS
1.
IDENTITAS PASIEN
Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Alamat
:
No. RM
:
Tn. AR
26 tahun
Laki - laki
Kayangan
15 25 68
2. ANAMNESA
Keluhan utama : Pilek
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan pilek sejak 3 tahun yang lalu, pilek
hampir setiap hari dengan ingus yang encer. Bersin-bersin dikeluhkan setiap hari
dan 10x dalam sehari. Pasien mengeluhkan bahwa jika dingin dapat
memperberat keluhan pilek dan bersin-bersinnya bahkan sampai menyebabkan
hidung tersumbat. Selain itu bau bumbu-bumbu masakan serta jika banyak debu
dapat memicu kumatnya bersin-bersin dan pilek dengan ingus yang encer. Gatal
pada hidung juga dirasakan oleh pasien, sakit kepala disangkal. Pasien juga
mengeluhkan adanya telinga yang berdenging, tetapi keluar cairan dari telinga,
nyeri ataupun penurunan pendengaran disangkal oleh pasien. Nyeri tenggorokan
dan nyeri menelan disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat keluhan serupa (+) sejak 3 tahun yang lalu
Riwayat penyakit keluarga :
Pasien menyangkal adanya keluhan yang serupa pada keluarga pasien
Riwayat alergi: Pasien menyangkal adanya alergi obat ataupun makanan
Riwayat pengobatan sebelumnya :
Pasien hanya meminum obat yang dibeli sendiri di warung yaitu procold dan
misagrif
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
28
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No
Area
Telinga Kanan
Telinga Kiri
.
1.
2.
Tragus
Nyeri tekan (-), edema (-)
Nyeri tekan (-), edema (-)
Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam batas
batas normal, hematoma (-), normal, hematoma (-), nyeri
3.
Liang
telinga
furunkel
(-),
edema
sekret (-)
4.
Membran
timpani
hiperemi
perforasi
(-),
edema
(-),
(-), hiperemi
jaringan perforasi
(-),
(-),
bulging
(-),
edema
(-),
sentral,
jaringan
Pemeriksaan hidung
29
Pemeriksaan
Hidung
Hidung luar
Hidung Kanan
Hidung Kiri
nyeri
tekan
deformitaas (-)
Hidung Dalam
Vestibulum nasi
Cavum nasi
massa (-)
(-)
Livide (+), Edema (+), Livide
Septum nasi
sekret
ulkus (-)
(+), Edema (-), sekret (+), massa
(+),
Edema
(+),
30
4.
DIAGNOSIS
Rhinitis Alergi
DD: Rhinitis Vasomotor
5.
PLANNING
5.1.
Diagnostik: Test Alergi, eosinophil count, Pemeriksaan IgE total,
5.2.
sitologi hidung
Rencana Terapi :
Citirizine, dosis pemberian 10 mg 1 kali/hari.
31
5.3.
Edukasi:
Hindari faktor pencetus (Alergen)
Pasien disarankan agar menggunakan masker, berhenti merokok,
serta sebisa mungkin menghindari paparan terhadap debu dan
6. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sahationam : Dubia ad bonam
32
BAB III
PEMBAHASAN
Rhinitis merupakan inflamasi pada mukosa hidung. Rinitis alergi ditandai
dengan gejala yaitu rinorea, kongesti hidung, bersin-bersin, dan hidung tersumbat
disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih pada hidung.
Pasien datang ke poli dengan keluhan pilek sejak 3 tahun yang lalu, pilek
hampir setiap hari dengan ingus yang encer. Bersin-bersin dikeluhkan setiap hari
dan 10x dalam sehari. Pasien juga mengeluhkan bahwa jika dingin dapat
memperberat keluhan pilek dan bersin-bersinnya bahkan sampai menyebabkan
hidung tersumbat. Selain itu bau bumbu-bumbu masakan serta jika banyak debu
dapat memicu kumatnya bersin-bersin dan pilek dengan ingus yang encer. Gatal
pada hidung juga dirasakan oleh pasien, mengeluhkan adanya telinga yang
berdenging, tetapi keluar cairan dari telinga, nyeri ataupun penurunan
pendengaran disangkal oleh pasien. Nyeri tenggorokan dan nyeri menelan
disangkal oleh pasien.
Keluhan yang dirasakan oleh pasien sesuai dengan gejala trias pada rhinitis
alergi yaitu hidung beringus, bersin-bersin, dan hidung tersumbat disertai gejala
tambahan berupa gatal.
Pada pemeriksaan fisik THT didapatkan konka livide, serta edema pada
konka. Tampak mukosa basah, berwarna pucat disertai adanya secret encer.
Dari gejala, tanda dan pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat ditentukan
diagnosis kerja pada kasus ini adalah rhinitis alergi.
Terapi ataupun pengobatan pada kondisi ini yang paling penting adalah
menghindari faktor pencetus yang dapat memicu terjadinya keluhan pada pasien,
seperti dingin, debu ataupun bau-bauan yang menyengat yang dapat mengiritasi
mukosa hidung.
33
BAB IV
PENUTUP
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.
Rinitis Alergi adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari
yang ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat,
bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,
yaitu : berair, kemerahan dan gatal.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan rinitis alergika
meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi.
Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika,
penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi
penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi.
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali
anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa
muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut,
gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawatin N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.Edisi Keenam.
Jakarta: FKUI. 2007. H:128-134
2. Hilger, PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Effendi H,
Santoso K, Ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997.
H:173-188
3. Soetjipto, D. Mangunkusumo, E. Wardani NS. Sumbatan HIdung: Hidung.
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. H:118-122
4. Hilger, PA. Penyakit Hidung; Penyakit-Penyakit Radang-Rinitis. Dalam:
Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997. H:206-217
5. Sur, DK & Scandale S. Treatment of Allergic Rhinitis. David Geffen School
of Medicine, University of California, Los Angeles, California. Vol.81.
No.12. Available from http://www.aafp.org/afp/2010/0615/p1440.pdf. 2010
(Accesed: June, 20th 2015)
6. Demoly, Pascal et al. Assessment of disease control in allergic rhinitis.
Clinical
and
Translational
Allergy
2013:7.
Available
from
Vol.
73,
Number
9.
Available
from
On
Asthma,
Guide,
Available
from
10. Small, P. Kim H. Allergic Rhinitis. Asthma and Clinical Immunology 2011,7
(Suppl 1):S3. Available from http://www.aacijournal.com/content/pdf/17101492-7-S1-S3.pdf. 2011. (Accesed: June, 20th 2015)
36