You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.1
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang
terus meningkat. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai
sekitar 10 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade
terakhir dan mengenai lebih dari 40% populasi. Rinitis alergi merupakan kondisi
kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak.
Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersamasama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi,
rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan
rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas
hidup seseorang.1,2
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibedakan atas Alergen Inhalan,
yang masuk bersama dengan udara pernafasan, alergen Ingestan, yang masuk ke
saluran cerna, alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, serta
alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa.1
Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang
cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
A. Hidung Luar2,3
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu
1. Kelompok dilator :
- m. dilator nares ( anterior dan posterior )
- m. proserus
- kaput angulare m. kuadratus labii superior

2. Kelompok konstriktor :
- m. nasalis
- m. depresor septi
B. Hidung dalam2,3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian
anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 2,3
a. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrisae.
b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari :
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista
nasalis os palatine. Bagian tulang rawan terdiri dari: kartilago septum (lamina
kuadrangularis), dan kolumela
c. Kavum nasi2,3

Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.

Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamenfilamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
kranial konka superior.

Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior,
lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.

Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Tulang dan tulang rawan hidung4

Bagian dalam hidung4

Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:2,3
1.

Arteri etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior


dan dinding lateral hidung.

2.

Arteri etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum


bagian superior posterior.

3.

Arteri sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju


ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada
septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

a.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a.


5

sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina


dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid
anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach ( Littles area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai
nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum
dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. 2,3

Perdarahan hidung2.4
Persarafan hidung2,3
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian
luar.
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu

a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik).


Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 3,
berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis
superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan
kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf
parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus
yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan
sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh
cabang palatine mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf
simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem
vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.
b.

Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik).


Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus
salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis
mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis
didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar
menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap
jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan
vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan
impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga
rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.

4. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.
2.2. Fisiologi Hidung2
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, indra penghidu (olfactory), untuk resonansi suara,
refleks nasal dan turut membantu proses bicara. 2
1. Fungsi respirasi2,3

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares


anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang di hirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung di atur sehingga berkisar 37C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
2, Fungsi penghidu2,3
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dnegan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu ondra
pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai
macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat.
Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
3. Fungsi fonetik2,3
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk
oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng)
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
4.

Reflex Nasal2,3

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan reflex bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.2 Rhinitis Alergi


2.2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1,5
2.2.2 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan penyakit kronik yang banyak diderita, dengan
angka prevalensi lebih dari 50% pada beberapa populasi. Bagaimanapun
prevalensinya meningkat pada beberapa daerah westernized.6
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang
terus meningkat. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia
mengenai sekitar 10 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi
selama dekade terakhir dan mengenai lebih dari 40% populasi. Rinitis alergi
merupakan

kondisi

kronik

tersering

pada

anak

dan

diperkirakan

mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi


berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas
beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap
sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi
diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup

seseorang.Data epidemiologi menjelaskan bahwa prevalensi rhinitis alergi


meningkat di seluruh dunia. Survey alergi di USA didapatkan lebih dari 61%
individu dapat bertoleransi dengan gejala rhinitis alergi, tetapi lebih dari
80% mengeluhkan rhinitis alergi mengganggu kualitas hidup mereka.7,8,9,10
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis
alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli
kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis
alergi mencapai 20%.8
2.2.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi). Penyebab rinitis alergi tersering
adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada
anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.1,9

Klasifikasi Etiologi Rinitis10


Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa

10

dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau


biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca.1
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:1
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
2.2.4 Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1
jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.1,10
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility

11

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).


Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.1,10
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1,10
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).1,10
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yangmenyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada

12

RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1,10
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung.1
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ
sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah
yang memberi gejala asma bronkial dan rhinitis.alergi.1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari:1
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak

13

berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon


sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau
reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi.1
2.2.5 Klasifikasi Rhinitis
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:1,8,10
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat
berlangsungnya (Peralmuni, 2006). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis
alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:1,8,10

14

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau


kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari
4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi: 1,8,10
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga,

belajar, bekerja dan hal-hal lain yang

mengganggu.
2. Sedang - berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

Klasifikasi Rinitis Alergi8,9,10

2.2.6

Manifestasi Klinis
Rhinitis merupakan inflamasi pada mukosa hidung. Rinitis alergi
ditandai dengan gejala yaitu rinorea, kongesti hidung, bersin-bersin, dan
hidung tersumbat disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih
pada hidung.1,5 Gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada telinga,
15

gatal pada palatum, gatal pada tenggorok serta asma dapat menyertainya
apabila reaksi alergi terjadi juga pada organ-organ lain. Gejala- gejala
tersebut dapat sembuh spontan atau membaik oleh obat.1,4,7
2.2.7

Penegakan diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1,7,8,9,10
A. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5).
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi
pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1,7,8,9,10

16

Algoritma Diagnosis Rinitis Alergi7


B. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit

17

yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi


(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).1,7,8,9,10

Temuan Pemeriksaan Fisik Pada Rinitis Alergi7


C. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial
atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada
bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan

18

sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetapi berguna


sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.1
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

19

Diagnosis Banding Rinitis Alergi7

Diagnosis Banding Rinitis Alergi8

20

Perbandingan Rinitis Alergi dan Non-Alergi7


2.2.8

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rhinitis alergi adalah kombinasi antara edukasi
pasien yaitu untuk menghindari faktor pencetus(Alergen), medikamentosa,
immunoglobulin serta pemperian imunoterapi.1,5,10

21

Alur Penanganan Rinitis Alergi10

22

Algoritma Tatalaksana Rinitis Alergi5


1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama

23

pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa


kombinasi dengan dekongestan secara per oral.

Terapi Rinitis Alergi5


Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan
secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat

24

reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai

efek antikolinergik,

antiadrenergic dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin


diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi
tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut
keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan
aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya

rhinitis

medikamentosa.1
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.1

25

Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide,


bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.1
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti
leukotriene (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.1

Dosis Terapi Rinitis Alergi10


2. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu
dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.1
3. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.1
26

2.2.9

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :1
1. Polip hidung
2. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu factor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
3. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
4. Sinusitis paranasal.

1.2.10 Prognosis
Rinitis alergi merupakan penyakit respirasi kronik berdasar pada
prevalensi, pengaruh terhadap kualitas hidup, pengaruh terhadap produktivitas
pekerjaan dan performa, ekonomi dan hubungan dengan asma.9
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali
anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa
muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut,
gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

27

LAPORAN KASUS
1.

IDENTITAS PASIEN
Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Alamat
:
No. RM
:

Tn. AR
26 tahun
Laki - laki
Kayangan
15 25 68

2. ANAMNESA
Keluhan utama : Pilek
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan pilek sejak 3 tahun yang lalu, pilek
hampir setiap hari dengan ingus yang encer. Bersin-bersin dikeluhkan setiap hari
dan 10x dalam sehari. Pasien mengeluhkan bahwa jika dingin dapat
memperberat keluhan pilek dan bersin-bersinnya bahkan sampai menyebabkan
hidung tersumbat. Selain itu bau bumbu-bumbu masakan serta jika banyak debu
dapat memicu kumatnya bersin-bersin dan pilek dengan ingus yang encer. Gatal
pada hidung juga dirasakan oleh pasien, sakit kepala disangkal. Pasien juga
mengeluhkan adanya telinga yang berdenging, tetapi keluar cairan dari telinga,
nyeri ataupun penurunan pendengaran disangkal oleh pasien. Nyeri tenggorokan
dan nyeri menelan disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat keluhan serupa (+) sejak 3 tahun yang lalu
Riwayat penyakit keluarga :
Pasien menyangkal adanya keluhan yang serupa pada keluarga pasien
Riwayat alergi: Pasien menyangkal adanya alergi obat ataupun makanan
Riwayat pengobatan sebelumnya :
Pasien hanya meminum obat yang dibeli sendiri di warung yaitu procold dan
misagrif
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

28

Keadaan umum: Baik


Kesadaran: Compos Mentis
Tanda vital:
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 110 x/menit
Respirasi
: 24 x/menit
Temperatur : 36,8oC

Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No

Area

Telinga Kanan

Telinga Kiri

.
1.
2.

Tragus
Nyeri tekan (-), edema (-)
Nyeri tekan (-), edema (-)
Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam batas
batas normal, hematoma (-), normal, hematoma (-), nyeri

3.

Liang

nyeri tarik aurikula (-)


tarik aurikula (-)
Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (+), hiperemis (-),

telinga

furunkel

(-),

edema

(-), furunkel (-), edema (-), sekret(-)

sekret (-)

4.

Membran

Retraksi (-), bulging (-), Retraksi

timpani

hiperemi
perforasi

(-),

edema

(-),

(-), hiperemi

jaringan perforasi

(-),
(-),

bulging

(-),

edema

(-),

sentral,

jaringan

granuloma (-) kolesteatom granuloma (-), kolesteatom (-),


(-), cone of light (+)

cone of light (+)

Pemeriksaan hidung

29

Pemeriksaan
Hidung
Hidung luar

Hidung Kanan

Hidung Kiri

Bentuk normal, hiperemi Bentuk normal, hiperemi (-),


(-),

nyeri

tekan

(-), nyeri tekan (-), massa (-),

deformitas (-), massa (-)

deformitaas (-)

Hidung Dalam
Vestibulum nasi

Normal, ulkus (-)

Normal, Ulkus (-)

Cavum nasi

LIvide (-),mukosa pucat LIvide (-),mukosa pucat (+),


(+), edema (-), hiperemis edema (-), hiperemis (-),

Meatus nasi media

(-), ulkus (-)


Edema (-),

Konka nasi inferior

massa (-)
(-)
Livide (+), Edema (+), Livide

Septum nasi

mukosa hiperemi (-)


mukosa hiperemi (-)
Deviasi (-), benda asing(-), Deviasi (-), benda asing(-),

sekret

ulkus (-)
(+), Edema (-), sekret (+), massa

perdarahan (-), ulkus (-)

(+),

Edema

(+),

perdarahan (-), ulkus (-)

Pemeriksaaan Sinus Paranasal


Nyeri tekan sinus maksilaris dextra dan sinistra (-), nyeri tekan sinus
frontalis dekstra dan sinistra (-).
Pemeriksaan Tenggorokan

30

Bibir & mulut


Geligi
Lidah
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatine

Mukosa bibir & mulut basah, berwarna merah muda (N)


Tidak ada lubang atau tanda infeksi pada gigi rahang atas.
Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Tidak ada hiperemi (N)
Tidak ada hiperemi, tidak ada kripta (N)
Tidak ada hiperemi, granula, kripta (N), hanya ada dahak
Tidak ada hiperemi, tidak ada pembesaran (T1/T1)

4.

DIAGNOSIS
Rhinitis Alergi
DD: Rhinitis Vasomotor

5.

PLANNING
5.1.
Diagnostik: Test Alergi, eosinophil count, Pemeriksaan IgE total,
5.2.

sitologi hidung
Rencana Terapi :
Citirizine, dosis pemberian 10 mg 1 kali/hari.

31

5.3.

Edukasi:
Hindari faktor pencetus (Alergen)
Pasien disarankan agar menggunakan masker, berhenti merokok,
serta sebisa mungkin menghindari paparan terhadap debu dan

udara yang terlalu dingin yang diketahui merupakan pemicu alergi


Istirahat yang cukup agar proses penyembuhan penyakit dapat

cepat berjalan dengan baik


Menjaga higienitas agar tidak memicu kambuhnya bersin-bersin

6. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sahationam : Dubia ad bonam

32

BAB III
PEMBAHASAN
Rhinitis merupakan inflamasi pada mukosa hidung. Rinitis alergi ditandai
dengan gejala yaitu rinorea, kongesti hidung, bersin-bersin, dan hidung tersumbat
disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih pada hidung.
Pasien datang ke poli dengan keluhan pilek sejak 3 tahun yang lalu, pilek
hampir setiap hari dengan ingus yang encer. Bersin-bersin dikeluhkan setiap hari
dan 10x dalam sehari. Pasien juga mengeluhkan bahwa jika dingin dapat
memperberat keluhan pilek dan bersin-bersinnya bahkan sampai menyebabkan
hidung tersumbat. Selain itu bau bumbu-bumbu masakan serta jika banyak debu
dapat memicu kumatnya bersin-bersin dan pilek dengan ingus yang encer. Gatal
pada hidung juga dirasakan oleh pasien, mengeluhkan adanya telinga yang
berdenging, tetapi keluar cairan dari telinga, nyeri ataupun penurunan
pendengaran disangkal oleh pasien. Nyeri tenggorokan dan nyeri menelan
disangkal oleh pasien.
Keluhan yang dirasakan oleh pasien sesuai dengan gejala trias pada rhinitis
alergi yaitu hidung beringus, bersin-bersin, dan hidung tersumbat disertai gejala
tambahan berupa gatal.
Pada pemeriksaan fisik THT didapatkan konka livide, serta edema pada
konka. Tampak mukosa basah, berwarna pucat disertai adanya secret encer.
Dari gejala, tanda dan pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat ditentukan
diagnosis kerja pada kasus ini adalah rhinitis alergi.
Terapi ataupun pengobatan pada kondisi ini yang paling penting adalah
menghindari faktor pencetus yang dapat memicu terjadinya keluhan pada pasien,
seperti dingin, debu ataupun bau-bauan yang menyengat yang dapat mengiritasi
mukosa hidung.

33

BAB IV
PENUTUP

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.
Rinitis Alergi adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari
yang ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat,
bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,
yaitu : berair, kemerahan dan gatal.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan rinitis alergika
meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi.
Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika,
penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi
penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi.
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Prognosis yang terjadi dapat
dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali
anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa
muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut,
gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Irawatin N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.Edisi Keenam.
Jakarta: FKUI. 2007. H:128-134
2. Hilger, PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Effendi H,
Santoso K, Ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997.
H:173-188
3. Soetjipto, D. Mangunkusumo, E. Wardani NS. Sumbatan HIdung: Hidung.
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. H:118-122
4. Hilger, PA. Penyakit Hidung; Penyakit-Penyakit Radang-Rinitis. Dalam:
Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 1997. H:206-217
5. Sur, DK & Scandale S. Treatment of Allergic Rhinitis. David Geffen School
of Medicine, University of California, Los Angeles, California. Vol.81.
No.12. Available from http://www.aafp.org/afp/2010/0615/p1440.pdf. 2010
(Accesed: June, 20th 2015)
6. Demoly, Pascal et al. Assessment of disease control in allergic rhinitis.
Clinical

and

Translational

Allergy

2013:7.

Available

from

http://www.ctajournal.com/content/3/1/7. 2013 (Accesed: June, 20th 2015)


7. Quillen, DM. & Feller, DB. Diagnosing Rhinitis: Allergic vs. Nonallergic.
University of Florida Family Medicine Residency Program, Gainesville,
Florida.

Vol.

73,

Number

9.

Available

from

http://www.aafp.org/afp/2006/0501/p1583.pdf. 2006. (Accesed: June, 20th


2015)
8. Lakhani, N. North, M. Ellis, AK. Clinical Manifestation of Allergic Rhinitis.
Allergy & Theraphy. Queens University, Kingston, ON, Canada. J Aller Ther
S5:007. Available from http://omicsonline.org/. 2012. (Accesed: June, 20th
2015)
9. Global Primary Care Education. Management of Allergic Rhinitis and Its
Impact

On

Asthma,

Pocket

Guide,

Available

from

http://www.whiar.org/docs/ARIA_PG_08_View_WM.pdf. 2007. (Accesed:


June, 20th 2015)
35

10. Small, P. Kim H. Allergic Rhinitis. Asthma and Clinical Immunology 2011,7
(Suppl 1):S3. Available from http://www.aacijournal.com/content/pdf/17101492-7-S1-S3.pdf. 2011. (Accesed: June, 20th 2015)

36

You might also like