You are on page 1of 11

Sejarah Toyota

Ketika diperkenalkan ke Amerika Serikat pada awal 1970-an, produk Toyota cuma dilirik
dengan sebelah mata. Bentuknya yang kotak dan ukurannya yang kecil membuat konsumen
di AS melecehkan sedan yang dirancang di pinggiran Tokyo itu sebagai mainan. Atau kalau
pun tak dianggap mainan, citranya tak jauh dari Kijang generasi pertama yang bagai ?kotak
sabun? di tengah berbagai mobil lain, bahkan produk Jepang sendiri seperti Mitsubishi Colt
T120.
Masyarakat AS mulai mempertimbangkan Toyota dan mobil Jepang lain yang mesinnya
underpowered setelah kejutan minyak. Lantaran keberatan membeli bahan bakar yang
meroket harganya akibat embargo OPEC, mereka membutuhkan mobil yang irit bahan bakar.
Sekarang? Selama 7 tahun berturut-turut kualitas Toyota berkibar di peringkat puncak dalam
survei J.D. Powers & Associates terhadap pemilik mobil di AS. Lalu, kalau Kijang sejak lama
jadi best seller di Indonesia, di negeri dengan pasar terbesar di dunia itu Camry selama 7
tahun berturut-turut juga -- kecuali pada 2001 ketika sedikit tersusul oleh Accord (Honda) -mencatat volume penjualan terbesar. Sebelumnya, mobil terlaris di AS adalah Corolla yang
bersaing ketat dengan Civic (Honda).
Di segmen mobil mewah, sejak 2001 Lexus mengalahkan penjualan kampiun otomotif
Jerman, BMW dan Mercedes-Benz. Masih kurang? Sejak diperkenalkan pada 1997, Prius
(sedan) langsung jadi mobil hibrida bensin-listrik terlaris, disusul Estima (minivan) yang juga
buatan Toyota. Lalu, di segmen truk, Tundra menerima penilaian ?Good? dalam uji keamanan
yang dilakukan Insurance Institute of America -- sementara produk pesaing seperti Silverado
(GM), Dodge Ram (DaimlerChrysler), dan Ford F150 (Ford) hanya mendapat penilaian ?
Marginal? atau ?Poor?.
Dengan prestasi seperti ini, tak heran kalau pangsa pasar Toyota di Amerika menembus angka
10% pada 2001. Memasuki 2003, dengan 10% lebih pangsa pasar dunia, samurai industri
otomotif Jepang ini menggusur DaimlerChrysler dari posisi The Big Three. Lalu, pada 2004
(kuartal ke-3), Toyota merebut posisi perusahaan otomotif kedua terakbar di planet Bumi dari
tangan Ford Motor Co. yang telah mempertahankannya selama 70 tahun. Dalam perhitungan,
Toyota memasukkan penjualan Lexus, Daihatsu, dan Hino Sementara itu, Ford
memperhitungkan penjualan Jaguar, Volvo, Land Rover, Aston Martin (tetapi di luar Mazda
yang sahamnya hanya 30% dikuasai Ford).
"Target kami merebut 15% pangsa pasar global pada 2010 nanti," ujar Fujio Cho. Artinya,
walau sang CEO Toyota tak mengatakan secara eksplisit, memasuki dasawarsa kedua
milenium baru ini Toyota akan merebut posisi puncak jajaran perusahaan otomotif terbesar
dunia.
Sebuah impian yang kelewat muluk? Tidak juga. Ketika pada awal 1992 menetapkan target
untuk merebut 10% pangsa pasar dunia dalam tempo 10 tahun, seluruh kalangan industri
otomotif -- juga para pakar dan pengamat -- tertawa. Namun, bersamaan dengan itu, The Big
Three (waktu itu semua dari Detroit) menunjukkan taringnya karena merasa bahwa yang jadi
target utama adalah pasar domestik mereka. Buat meredakan sentimen negatif, sambil
memperbesar kapasitas produksi di AS, Toyota meluncurkan kebijakan kyosei alias kompetisi
simbiotik, dengan membantu memasukkan produk GM dan lain-lain ke pasar Jepang.

Toh, dengan kerepotan ekstra seperti itu Toyota berhasil mencapai target sehingga pada 2001
itu juga mencanangkan target baru: 15%. Optimisme mereka ini sangat bisa dimengerti.
Selama merebut pangsa pasar, perusahaan yang pabriknya membentuk satu kota tersendiri di
Jepang yakni Toyota City, tak pernah harus mengorbankan perolehan laba.
Maret lalu, laba Toyota mencapai ?1,16 triliun (US$ 10,28 miliar), menjadikannya
perusahaan Jepang pertama yang mencetak laba ?1 triliun lebih. Dengan demikian, walau
tahun ini penjualan Toyota masih kalah dari GM, menurut Fortune laba yang diraup lebih
besar ketimbang laba gabungan GM, Ford, DaimlerChrysler, dan VW Group yang masuk
dalam lima besar. Pada kuartal kedua yang berakhir 30 Juni 2004, ketika seluruh pesaing
gonjang-ganjing, laba samurai industri otomotif Jepang ini melejit 29% menjadi US$ 2,6
miliar, 50% lebih ditangguk di AS.
Bagaimana Toyota bisa demikian sakti? Jawabnya: Evolusi, tepatnya penyempurnaan kecil
yang terus-menerus -- kaizen -- sehingga kualitas produk/jasa semakin memberikan kepuasan
kepada pelanggan. Dalam jangka panjang, evolusi yang dilakukan tampak membuahkan hasil
yang revolusioner.
Praktik kaizen berakar dari ide Sakichi Toyoda, yang tak lain adalah pendiri Toyota. Pada
1890, dalam upaya menyempurnakan mesin pintal, tanpa bantuan pihak ketiga Toyoda muda
mengembangkan varian dari sistem flying shuttle yang merupakan hasil penemuan 150 tahun
sebelumnya di Lancashire, Inggris. Dalam jangka waktu 35 tahun, penyempurnaan kecil
terus-menerus yang dilakukan terhadap temuan pertamanya itu membuat Toyoda mampu
menyalip kepemimpinan teknologi Eropa selama 150 tahun dengan penemuan mesin pintal
fully automatic pertama di dunia. Bahkan hak paten mesin pintal yang dapat berhenti sendiri
kalau ada benang yang lepas atau putus ini dijual ke Platt Brothers, manufaktur tekstil
terkemuka Lancashire.
Alhasil, ketika Toyoda Automatic Loom Works Ltd. Yang didirikan pada 1926 (dan sekarang
menjadi Toyota Industries Co.) mengembangkan divisi otomotif pada September 1933, gen
kaizen telah ada dalam bisnis baru yang masih muda itu. Pada 1934, Toyoda sudah berhasil
memproduksi mesin pertamanya: Type A Engine yang lalu digunakan dalam mobil
penumpang pertama, Model A1 (Mei 1935), dan truk tentara (Agustus 1935) mereka. Produk
selanjutnya, mobil penumpang Model AA diluncurkan pada 1936.
Perkembangan awal yang cepat ini membuat Sakichi Toyoda memutuskan memisahkan divisi
otomotif menjadi perusahaan independen. Di sini Toyoda mengadakan sayembara untuk
mendapatkan nama baru bagi perusahaan otomotif yang siap dikibarkan. Syaratnya: Nama itu
harus sebuah kata yang sama sekali baru dan gampang disebut. Nama Toyota dipilih karena
masih mendekati nama lama, walau tak ada artinya dalam bahasa Jepang (sehingga tak dapat
ditulis dalam Hiragana). Toyota juga dianggap lebih hoki ketimbang Toyoda karena
penulisannya dalam Katakana terdiri dari 8 goresan kuas (seperti dalam kebudayaan Cina, 8
adalah angka mujur).
Toyoda menunjuk putra tertuanya Kiichiro sebagai bos Toyota Motor Co. Ltd. Sebagai salah
satu persiapan, pada awal 1930-an, Toyoda Jr. diutus ke AS mempelajari sistem produksi
massal yang dikembangkan Henry Ford. Menyesuaikan diri dengan pasar Jepang yang kecil,
Toyoda Jr. yang mewarisi kejeniusan ayahnya menciptakan sistem yang dia namakan just-intime. Dalam sistem ini, setiap proses hanya memproduksi sejumlah komponen yang
diperlukan pada langkah selanjutnya dalam lini produksi, sesaat sebelum diperlukan.

Sistem yang telah siap inilah yang memungkinkan Toyota cepat meluncurkan produk
pertamanya. Selama Perang Dunia II, seperti perusahaan otomotif Jepang lainnya, mereka
hanya memproduksi truk buat Pasukan Kerajaan yang berperang di berbagai front Asia
Pasifik. Untuk mengatasi kelangkaan bahan baku di Jepang, truk militer itu dibuat
sesederhana mungkin, misalnya hanya dipasangi satu lampu di bagian atap.
Jepang hancur dalam perang besar tersebut. Bahkan dua kota besarnya, Hiroshima dan
Nagasaki, luluh lantak oleh bom atom. Melainkan, "unsur 8" pada nama Toyota agaknya
memang membawa kemujuran: Kaisar Hirohito menyatakan diri takluk, sehingga perang
berhenti, beberapa saat sebelum jadwal pengeboman Sekutu terhadap fasilitas produksi
Toyota di Aichi, Jepang Tengah, direalisasi. Tak heran, dengan pabrik yang utuh mereka
mampu meluncurkan mobil penumpang komersial pertamanya, Model SA, pada 1947.
Kapasitas produksinya kecil: 100 ribu/tahun.
Memasuki tahun 1950-an, Toyota mendirikan anak perusahaan di bidang penjualan: Toyota
Motor Sales Co. (pada 1950, lalu digabungkan dengan Toyota Motor Co. pada 1982) dan
rantai dealer Toyopet (pada April 1956). Perkembangan selanjutnya, mereka juga mendirikan
perusahaan khusus untuk memproduksi kendaraan berat (Hino Motors Ltd., pada Oktober
1966) dan mobil kecil (Daihatsu Motor Co. Ltd., November 1967). Ekspor pertama Toyota,
SUV model Landcruiser ke Australia, dilakukan setelah perusahaan ini berhasil
mengembangkan Toyota Production System (TPS) yang mantap pada akhir 1950-an.
TPS yang sekarang banyak ditiru oleh perusahaan dari berbagai industri (bukan hanya
produsen otomotif) itu berawal dari ketika pada 1956 Taiichi Ohno ke AS mengunjungi The
Big Three. Tujuannya, seperti Toyoda Jr. sekitar dua dasawarsa sebelumnya, buat menyadap
secara selektif teknologi dan praktik terbaik dari kampiun industri otomotif yang telah mapan
(bukan mendapatkan transfer teknologi langsung sehingga bisa tetap independen). Yang
menarik, ide TPS itu justru bukan berasal dari pengamatan Ohno terhadap pabrik GM, Ford
ataupun Chrysler. Sang VP Eksekutif mendapatkan inspirasi dari supermarket yang sejak
lama telah bertebaran di AS.
Terkesan pada kenyataan betapa konsumen bebas memilih apa dan berapa yang mereka
inginkan, timbul ide Ohno mengembangkan pull system. Dalam sistem ini, setiap lini
produksi menjadi supermarket bagi lini produksi berikutnya. Setiap lini hanya akan
mengganti item yang diperlukan atau dipilih oleh lini berikutnya sehingga sistemnya sangat
ramping (secara umum disebut sistem lean production). Ohno juga menciptakan sistem
kanban (kartu penanda) untuk pengisian stok komponen atau hasil rakitan yang belum jadi
(subassemblies).
Buat menunjang sistem yang perlu akurasi tinggi tersebut, dibentuk jaringan pemasok kelas
dunia. Koordinasi erat dengan jaringan pemasok ini memungkinkan sistem inventori just-intime yang superefisien dan efektif. Dan, ketika disertai kemajuan teknologi,
dikembangkanlah sistem perakitan supercanggih yang antara lain menggunakan robot.
Namun demikian, yang membuat Toyota berkibar di atas kampiun industri otomotif lain
adalah sistem manajemen SDM-nya yang efektif dan efisien, memiliki loyalitas tinggi dan
komitmen kuat terhadap kualitas. TPS yang berkembang secara evolusioner di tengah segala
kekurangan dan kendala pada dasawarsa awal membuat sistem yang dikembangkan secara
organik itu meresap kuat ke dalam budaya perusahaan. Dengan kata lain, di Toyota, TPS
bukan lagi sekadar sistem produksi melainkan falsafah perusahaan.

"Di Toyota, pelatihan terjadi bukan karena kami mengirim karyawan ke seminar pelatihan
sekian hari di bidang Toyota Production System. Pelatihan itu berjalan dengan sendirinya
karena kami menceburkan seluruh karyawan dalam praktik, hari demi hari," ujar Ken
Kreafle. "Maka, begitu orang baru masuk ke lingkungan kerjanya, dia akan terserap dalam
budaya yang telah terbentuk."
Kreafle yang telah bergabung dengan Toyota selama 18 tahun ini menerangkan, tantangan
terbesar sistem lean production, untuk tak mengatakan TPS, adalah ketelatenan
menerapkannya secara terus-menerus, hari demi hari, tahun demi tahun. Sebab, sekali lagi,
penyempurnaan yang dilakukan bersifat gradual, sedikit demi sedikit, tetapi tak pernah henti.
Itu sebabnya, ketika ingin menerapkan TPS di AS, para bos di Toyota City tak yakin kalau
akan berhasil. Maklum, ada jurang budaya yang lebar antara masyarakat di Jepang dengan di
AS. Buat menjajaki kemungkinannya, Toyoda Jr. pada 1984 meneken kerja sama dengan GM
untuk mengoperasionalkan fasilitas produksi patungan yang diberi nama New United Motor
Manufacturing Inc. di Fremont, Kalifornia. Pabrik NUMMI ini memproduksi sedan Corolla
dan truk Tacoma (milik Toyota) serta Chevrolet Prism (milik GM). Hasilnya ternyata positif.
"Saya tahu betul bahwa satu-satunya cara agar TPS bisa dijalankan di AS adalah kalau setiap
karyawan bahu-membahu ke arah yang sama," ujar Gary L. Convis. Bergabung dengan tim
manajemen NUMMI sejak awal, Convis menjadi bos pabrik Toyota terbesar kedua yang
didirikan pada 1986 di Georgetown, Kentucky. "Inti TPS adalah menemukan cara membuat
semua karyawan terlibat," ujar orang non-Jepang pertama yang mengomandani pabrik Toyota
ini.
Hampir bersamaan dengan pabrik di Georgetown, Toyota juga mendirikan fasilitas produksi
di Cambridge, Ontario (Kanada). Sepuluh tahun kemudian, 1996, pabrik di Indiana dibuka
dan markas besar manufaktur untuk kawasan Amerika Utara diresmikan di Erlanger,
Kentucky, sekitar 60 mil sebelah utara Georgetown. Setelah itu didirikan lagi tiga pabrik
komponen dan peralatan industri, plus sebuah fasilitas manufaktur di Huntsville, Alabama.
Keberhasilan Toyota melakukan ekspansi ke AS diiringi serbuan ke benua lain: Eropa,
Australia, Afrika, selain Asia sendiri. Buat melayani pasar yang sangat beragam, mereka
mendirikan pusat penelitian dan desain di beberapa tempat di luar Jepang, tentu saja di AS.
Perhatian besar terhadap pasar AS (yang memang menyumbang laba terbesar) telah membuat
Toyota mengalami Amerikanisasi. "Amerika mulai jadi laboratorium uji global Toyota," catat
Fortune dalam edisi Desember 2003. Secara tradisional, masih menurut majalah ekonomibisis bergengsi ini, Toyota melakukan eksperimen konsep baru di pasar Jepang, dan baru
diluncurkan ke AS setelah segala kekurangan yang ada ditambal. Sekarang, Lexus yang
diperkenalkan sebagai sedan mewah di AS pada 1989 akan dikapalkan ke Jepang pada 2005.
Lebih dari itu, Toyota juga meluncurkan lagi merek baru, Scion, di AS. Lebih stylish, produk
ini membidik para kawula muda sebagai target konsumen. "Kami menyuguhkan Generation
Y... konsep yang lain dari yang lain!" ujar Jim Farley, VP Scion, dalam peluncuran dua model
pertama produk anyar itu di L.A. Lalu, diiringi ingar-bingar musik hip-hop, muncullah dua
minivan unik ketika tirai yang berwarna perak diturunkan.
Bentuknya? Yang satu, Scion xB, 15 cm lebih pendek ketimbang VW New Beetle tetapi lebih
tinggi dan bersudut tajam (alias berbentuk kotak). Menggunakan mesin 108 PK yang sama,

yang satunya lagi, Scion xA, lebih bundar dan cenderung seperti telur. Pendek kata, apa yang
ditampilkan Toyota dengan Scionnya sangat berbeda dari Camry, Corolla atau produk Toyota
lain yang kita kenal. Ternyata, sambutan Gen Y di AS sangat meriah. Model selanjutnya yang
didesain di AS dan dibanderol US$ 16.500, Scion tC, laku 6.297 unit selama tiga bulan sejak
sejak diluncurkan pada Juli lalu.
Penerimaan pasar di kalangan Gen Y ini jelas melegakan para petinggi Toyota. Dikenal
sebagai merek yang memiliki reliabilitas tinggi -- bukan yang cool -- usia rata-rata pembeli
Toyota tak kurang dari 48 tahun, salah satu yang tertua di antara pembeli mobil Jepang.
Guyon di antara kalangan industri otomotif, Toyota Avalon adalah Buick terbaik yang tidak
dibuat oleh GM.
Karenanya, tanpa sukses Scion, perusahaan bernilai US$ 121 miliar itu akan tergelincir ke
jalan yang membuat merek uzur semacam Mercury (milik Ford) dan Oldmobile (milik GM
yang sudah dihentikan produksinya). Maklum, pasar kawula muda sudah dijenuhi oleh mobil
Korea yang relatif murah (Hyundai dan Kia), serta model low-end dari Nissan, Honda,
Chevrolet, dan Ford.
Agar tak terjebak ke dalam lingkaran produk low-end yang hanya memberikan margin tipis,
Scion mengandalkan desain yang imajinatif -- bukan lagi reliabilitas produk seperti biasanya.
Artinya, Toyota harus melakukan lompatan kuantum, alias kaikaku.
Dalam sejarah Toyota, kaikaku telah beberapa kali diayun (salah satunya adalah pembukaan
pabrik di AS ketika nilai mata uang yen meroket tak tertahankan). Kendati demikian,
lompatan kuantum dalam desain adalah hal yang baru bagi mereka. Di sini, para manajer
dengan latar belakang (pasar) AS berperan penting. Harus diakui, keberanian CEO Fujio Cho,
nakhoda pabrik Toyota di Georgetown sejak didirikan pada 1987 sampai dia kembali ke
Jepang pada 1994, dalam Amerikanisasi tidaklah kecil.
Petinggi lain di balik Amerikanisasi Toyota adalah Jim Press, satu dari hanya dua orang nonJepang yang oleh Cho diangkat jadi managing officer, jabatan setingkat di bawah direksi
yang hanya diisi 14 orang di seluruh dunia. Memiliki pengalaman dan keahlian di bidang
engineering, EVP dan COO Toyota Motor Sales USA inilah yang mendorong tim AS-nya
menciptakan desain yang sesuai dengan selera pasar terbesar dunia.
Press mulai menunjukkan ketajaman penciumannya terhadap selera AS ketika pada 1991
membujuk para insinyur Toyota untuk mengubah desain Previa yang waktu itu memiliki
mesin di tengah menjadi minivan yang diinginkan konsumen: Sebuah kotak besar dengan tiga
baris kursi dan banyak cup holder. Toh, namanya baru berkibar setelah pada 1995 dia
dipercaya membenahi Lexus yang lini produknya mulai menua. Toyota sendiri waktu itu
sedang terancam apresiasi mata uang yen dan rencana kenaikan pajak barang mewah yang
diajukan Presiden Clinton. Dengan peluncuran SUV mewah di bawah bendera Lexus (model
LX450), Press memberikan solusi untuk masalah multidimensi itu.
Ketika presaing seperti BMW dan Mercedes-Benz meluncurkan produk SUV eksklusif
mereka, Lexus sudah memperkenalkan produk generasi kedua. Bahkan Press membawa
Lexus ke lini produk crossover SUV. Dia memperbarui kategori ini dengan menawarkan
Lexus RX300, kendaraan all-wheel-drive yang serasa sedan karena dibangun di atas platform
kendaraan penumpang bukan truk. Sekarang RX (yang sudah sampai pada model RX330)
menjadi produk Lexus terlaris.

Sukses Toyota di lini produk hibrida juga berkat ketajaman Press membaca selera konsumen.
Yang pertama meluncurkan mobil yang bersahabat dengan lingkungan ini adalah Honda,
dengan Insight, pada 1999. Ketika meluncurkan produk hibrida generasi kedua, Honda
memilih menggunakan bodi Civic yang konvensional. Press menjagokan desain yang
futuristik untuk produk hibrida Toyota agar masyarakat tahu teknologi canggih di dalamnya.
Para konsumen, termasuk selebriti Hollywood, menyukainya sehingga Prius mencuri
perhatian di ajang Oscar lalu.
Ketika Press melihat kenyataan bahwa (calon) konsumen rela menunggu sampai 6 bulan
untuk mendapatkan Prius, dia mendesak Toyota meningkatkan produksi mobil yang harganya
mahal dan masih disubsidi itu. Maka Toyota pun menyalip Honda di kategori mobil masa
depan ini.
Keberhasilan Toyota merevitalisasi pasar minivan yang meredup juga tak lepas dari campur
tangan Press. Dialah yang menganjurkan agar Sienna, yang diluncurkan pada 1998 dan bagi
konsumen AS kelewat kecil didesain ulang. Ketika Sienna model 2004 yang lega dan
harganya US$ 1.500 masuk ke pasar, penjualannya langsung meledak. Strategi yang sama
sedang diterapkan untuk produk truk.
Dalam hal Scion yang membidik pasar kawula muda, upaya pertama kali dimulai dengan
Proyek Genesis, yang gagal karena Genesis hanya memoles produk yang sudah ada, seperti
Echo, ternyata justru lebih menarik kalangan tua. Press yang pertama mengusulkan untuk
memasukkan dua model yang sedang diujicobakan di pasar Jepang, Toyota ist, untuk
dimasukkan ke AS dan diberi merek baru: Scion.
Buat mendistribusikan Scion, Press memutuskan dealer tak perlu mengembangkan kanal
distribusi baru seperti pada Lexus 14 tahun sebelumnya. Mulai 2003, dia hanya menaruh
produk ini di dealer yang ada, walau dengan tata ruang tersendiri dan staf muda yang hip.
Saat ini, belum sampai dua tahun penjualan Scion telah melampuai target 100 ribu unit. Salah
satu faktor sukses Scion adalah model tC. Oleh Press, mobil sporty yang pengembangannya
diawasi ketat ini harus menggunakan bahan berkualitas tinggi, seperti trim dari aluminium
bukan plastik.
Dengan lompatan kuantum dalam desain di berbagai pusat produksinya, tak berlebihan kalau
dikatakan Toyota sedang meluncurkan Beautiful [R]evolution secara global. Pengembangan
dan produksi [Kijang] Innova -- MPV yang memiliki platform dan mesin yang sama dengan
pikap Hilux yang diluncurkan di Thailand pada waktu yang sama -- hanyalah satu mata rantai
dari Beautiful [R]evolution global Toyota. Strategi yang tandem dengan penyesuaian desain
lokal ini menjadikan produk Toyota best seller di banyak negara.
Kendati demikian, untuk merealisasi Visi 2010 tak cukup hanya dengan lompatan kuantum
dalam desain, walau telah disesuaikan dengan flavor lokal. Toyota tetap harus memperluas
sayap produksi buat melayani permintaan pasar yang meningkat. Sejauh ini, strategi global
yang terencana di bidang produksi telah membuat samurai industri otomotif ini memiliki 46
pabrik yang tersebar di 26 negara, di luar Jepang. Dan mereka terus membenamkan US$
miliaran, dari Amerika Latin sampai Cina dan Indonesia.
Dana tentu bukan masalah bagi perusahaan dengan neraca kokoh dan uang tunai US$ 20
miliar lebih, plus saham yang blue chips. Kemungkinan kendala sosial? Kecil sekali, kalau
pun ada.

Tak seperti ketika pertama mendirikan fasilitas manufaktur transplant di AS awal 1980-an,
sekarang pemerintah lokal berebut merayu Toyota untuk menanamkan investasi di negara
bagian atau kota. Maklum, para politisi lebih berkepentingan mengembangkan daerah
masing-masing ketimbang memikirkan nasib pesaing Toyota yang, di pasar domestik,
notabene adalah perusahaan (multi)nasional AS. Konsumen AS sendiri juga tak peduli bahwa
GM, Ford, dan DaimlerChrysler akan terpuruk oleh kapasitas produksi mereka yang berlebih,
terutama di segmen sedan.
Semua lapisan masyarakat di AS agaknya telah yakin walau Toyota membangun pabriknya di
luar AS tak akan membantu penjualan model mobil yang tak kompetitif, yang hanya akan
menarik pembeli kalau didiskon habis-habisan. Dalam keadaan yang sudah runyam begini,
tentu akan lebih baik kalau Toyota mendirikan fasilitas produksi di AS saja. Transplant
Toyota yang berkembang bagus setidaknya akan memberikan lapangan kerja yang langgeng.
Kecuali itu, kalau Toyota made in America itu diekspor, tentu bakal mendatangkan devisa.
Tren ke arah ini mulai kencang. Di negara-negara lain? Keadaannya tak banyak berbeda, di
tengah sistem perekonomian dunia yang kian terbuka.
Dengan demikian, agaknya hanya sedikit yang ragu bahwa Beautiful [R]evolution yang
diluncurkan melengkapi reliabilitas produk yang telah melegenda itu akan membuat Toyota
mampu merebut 15% pasar global seperti yang mereka targetkan. Dengan kondisi GM yang
pangsa pasarnya telah kurang dari 15% dan terus merosot, bukan tak mungkin mereka akan
menggusur raksasa tua Detroit itu dari singgasana perusahaan otomotif terbesar di dunia.
Riset: Ely Chandra P.
Lean Thinking ala Toyota
Di antara strategi sukses yang ada, sistem lean thinking yang merupakan inti Toyota
Production System adalah yang paling banyak diimplementasi oleh berbagai industri, bukan
hanya produsen otomotif. Inilah strategi yang ditanam Sakichi Toyoda (sang pendiri),
diperkaya oleh Kiichiro Toyoda (CEO pertama) dari pengamatannya terhadap sistem
produksi massal Ford, dan dikembangkan oleh Taiichi Ohno (VP Eksekutif di era Kiichiro)
yang menambil ide dari supermarket di AS:

Identifikasikan nilai. Disebut sebagai value stream mapping, hal ini meliputi
identifikasi siklus hidup lengkap produk/jasa, dari saat lahirnya produk/jasa sampai ke
titik ketika disampaikan ke konsumen. Di Toyota, setiap langkah sepanjang sistem
produksi harus berkontribusi pada nilai keseluruhan setiap produk/jasa.

Hilangkan muda atau waste, yang merupakan kata kunci penting dalam lean thinking.
Setiap aktivitas yang ditemukan dalam value stream mapping, wajib dieliminasi kalau
mengonsumsi sumber daya tetapi tak menyumbangkan nilai. Muda harus dilihat dari
perspektif pelanggan.

Buat value-creating step flow. Setelah mengidentifikasi value-creating step dan


mengeliminasi muda, langkah selanjutnya mengorganisasikan langkah yang ada
sehingga memungkinkan aliran produk/jasa dari dan ke pelanggan tak terganggu.
Prinsip ini berlawanan dengan batch-processing yang mengompartemenkan dengan
memproses sesuatu dalam batch sebelum dikirim ke departemen berikutnya. Dengan
mengubah batch-processing jadi flow, pelanggan akan segera ?menarik? produk/jasa

yang tersedia sehingga tak perlu lagi organisasi ?mendorong? produk/jasa ke


pelanggan, termasuk bagian selanjutnya yang menggunakan produk/jasa itu sebagai
input dari proses yang mereka kerjakan.

Praktikkan kaizen dan kaikaku. Kaizen adalah membuat peningkatan secara gradual
tetapi terus-menerus menuju kesempurnaan. Kaikaku adalah kebalikannya: membuat
lompatan kuantum atau perubahan radikal dalam melakukan bisnis. Kaikaku
diperlukan sebagai sumber terobosan dalam kinerja dan pemacu pertumbuhan. Agar
bisnis bisa beradaptasi dengan perubahan sehingga tetap relevan, kaikaku harus
diikuti kaizen untuk memberikan powerful drive guna menyempurnakan proses.

Belajar Hidup dari Toyoda


Kita membutuhkan pola pikir baru, yang lebih simpel dan menyelesaikan masalah. Pola pikir
yang terlalu melingkar-lingkar, penuh syarat ini itu yang tidak logis, akan menghambat kita
dari kemajuan. Salah satunya kita harus belajar dari pola pikir Bangsa Jepang.
Mathew E. May, The Elegant Solution Toyotas Formula for Mastering Sinnovation (2007)
menceritakan kisah keajaiban seorang manusia Jepang bernama Sakichi Toyoda (dialah yang
meletakkan fondasi industri otomotif Toyota):
Seorang pria muda mengamati ibunya yang seharian bekerja keras dalam rumah mereka
yang sederhana -menenun kain menggunakan alat tenun manual, suatu alat primitif yang
tidak pernah berubah selama berabad-abad. Dia merasa sedih setiap kali melihat ibunya
membuang hasil kerjanya seharian hanya gara-gara ada selembar benang yang putus di kain
yang sudah jadi itu. Pemuda itu baru berusia 20 tahun, suka menciptakan alat baru, energik,
dan sangat ingin menguasai dunia. Pertukangan kayu adalah keahliannya, tetapi bukan
panggilan jiwanya. Meskipun kaum tua tidak menyetujuinya, dia menantang dirinya untuk
membuat alat tenun yang lebih baik, merancang prototipe, membuat model percobaan, dan
menggunakan keahlian pertukangan kayu dengan cara-cara kreatif yang dianggap eksentrik
oleh orang lain. Dia menerima hak paten atas alat tenun yang digerakkan tangan yang
meningkatkan mutu dan produktivitas secara dramatis. Dia belum puas. Dia mulai
mengembangkan mesin tenun bertenaga.
Pada tahun 1898, dia menyempurnakan alat tenun pertama di Jepang yang ditenagai uap,
yang memungkinkan pabrik-pabrik tekstil meningkatkan produktivitasnya hingga empat kali
lipat dan mengurangi pengeluaran hingga setengahnya. Alat tenun buatannya adalah yang
bermutu paling tinggi, berbiaya paling rendah, dan paling gampang digunakan sehingga
mempermalukan alat-alat tenun terbaik dari Jerman dan Prancis. Bisnis berkembang pesat
dan kepopulerannya menanjak di Jepang. Perjalanannya untuk mencari kesempurnaan terus
mendorongnya maju dan menciptakan serangkaian inovasi kecil dalam waktu singkat.
Setelah mencari kesempurnaan selama tiga dekade, dia merancang sebuah mekanis untuk
secara otomatis mematikan alat tenun itu setiap kali ada benang yang putus. Hal ini
mengubah dunia. Dibutuhkan waktu lima tahun lagi untuk menyempurnakannya. Maka, dari
peningkatan kecil tetapi terus-menerus dengan hasil-hasil radikal dan hasrat kuat untuk
menolong orang, lahirlah Pabrik Alat Tenun Otomatis Toyoda, cikap bakal Toyota Motor
Company.
Setelah hampir seumur hidup terus mencari, Sakichi Totoyoda menemukan solusi masa
depan. Kisah Sakichi Toyoda bukanlah tentang penemuan atau pengembangan teknologi

mesin tenun otomatis di Jepang. Kisah ini adalah tentang perjalanan yang hampir bersifat
spiritual dari seorang pria untuk memecahkan problem yang sangat nyata yang dihadapi oleh
masyarakat di sekitarnya.
Bacalah kisah ini, sebuah penemuan dan ikhtiar menemukan yang terbaik diarahkan bukan
untuk pekerjaan itu sendiri melainkan untuk memecahkan problem sangat nyata yang
dihadapi masyarakat sekitarnya. Bukankah semua orang perlu juga memiliki prinsip yang
sama: menemukan yang terbaik untuk memecahkan problem sangat nyata yang dihadapi
masyarakat sekitarnya bukan untuk pekerjaan itu sendiri.
Kisah inilah kemudian yang membuat bisnis Toyota selalu lebih unggul ketimbang siapapun.
Bahkan kemudian beberapa prinsip manajemen Toyota dijadikan rujukan oleh semua
perusahaan lain, misalnya saja prinsip kaizen. Kaizen adalah melakukan perbaikan terusmenerus yang dilakukan semua orang (baik karyawan atau kepemimpinan). Kaizen
mendorong semua orang untuk tidak merasa sudah sempurna melakukan sesuatu.
Semuanya belum maksimum, semuanya bisa diusahakan menjadi lebih baik lagi. Kaizen
membuat Anda menghargai pekerjaan Anda lebih dari sekadar karena dalam pekerjaan itu
Anda mendapatkan gaji. Pekerjaan hanyalah cara yang diberi Tuhan agar Anda melayani dan
memberi manfaat kepada banyak orang.
Sakichi Toyoda, adalah seorang filsuf yang merumuskan kerja keras. Ia mengemukakan
sejumlah prinsip dasar yang kemudian memengaruhi ilmu manajemen. Mari kita teruskan
menelusuri kisah Toyoda tua ini.
Pada tahun 1929 dia mengirimkan puteranya, Kichiro Toyoda, ke Inggris untuk
merundingkan hak patennya atas mesin tenun yang bebas dari kesalahan. Hasilnya, ia
mendapatkan 100.000 pound Inggris dari Platt Brothers (produsen utama peralatan tenun).
Pada tahun 1930 dia menggunakan modal tersebut untuk membangun Toyota Motor
Corporation dengan anaknya (Kichiro Toyoda) sebagai direkturnya.
Semua semua orang meragukan kemampuan Kichiro dalam memimpin perusahaan. Kichiro
adalah pemudah yang lemah dan sering sakit, pokoknya tidak pantas memimpin. Namun
Sakichi membantah keraguan itu, ia justru menantang anaknya yang lemah itu untuk
membuka bisnis baru: mesin motor. Ya, dia bisa saja mewariskan perusahaan mesin tenun
kepada anaknya, itu lebih mudah dan aman. Tapi Sakichi melihat masa depan bahwa mesin
tenun tenaga uapnya akan segera digantikan oleh teknologi mobil, ia pun ingin anaknya
memiliki kesempatan yang sama dalam berkontribusi terhadap kehidupan manusia.
Sakichi berkata kepada Kichiro, Setiap orang harus menangani beberapa proyek besar
setidaknya satu kali dalam hidupnya. Saya mendedikasikan sebagian besar dari hidup saya
untuk menciptakan berbagai jenis alat tenun baru. Sekarang giliranmu. Kamu harus berupaya
untuk menyelesaikan sesuatu yang akan bermanfaat bagi masyarakat. Kichiro menerima
tantangan itu, maka jadilah mobil-mobil Toyota berseliweran di seluruh jalanan dunia.
Beberapa Prinsip Hidup Toyoda
Jangan menyesal tak memiliki orang tua sehebat Sakichi Toyoda, Anda bisa merubah diri
dengan belajar dari prinsip-prinsip hidupnya. Mari kita pelajari satu-satu prinsip hidup yang
dapat kita terapkan

Prinsip #1: Setiap orang harus menangani beberapa proyek besar setidaknya satu kali dalam
hidupnya. Saya mendedikasikan sebagian besar dari hidup saya untuk menciptakan berbagai
jenis alat tenun baru. Sekarang giliranmu. Kamu harus berupaya untuk menyelesaikan
sesuatu yang akan bermanfaat bagi masyarakat (Sakichi Toyoda, pendiri utama Perusahaan
Toyota)
Lihatlah, petuah Sakichi ini: (1) Setiap orang harus menangani beberapa proyek besar
setidaknya satu kali dalam hidupnya; (2) Kamu harus berupaya untuk menyelesaikan sesuatu
yang akan bermanfaat bagi masyarakat.
So, mulailah menangani proyek-proyek kecil dulu. Buat rancangannya, kerjakan dengan
serius, nikmati hasilnya, dan evaluasilah apakah yang kamu hasilkan sesuai dengan yang
kamu rancang? (kalau lebih jelek, kenapa lebih jelek: apakah ada yang kurang dalam cara
kamu merealisasikan rencanamu?; kalau hasilnya lebih dari yang kamu rencanakan, apakah
kamu bisa melakukan yang lebih baik lagi?)
Prinsip # 2: Kami memberi nilai tertinggi pada implementasi dan tindakan nyata. Banyak hal
yang tidak dimengerti orang dan oleh karena itu, kami bertanya kepada mereka mengapa
mereka tidak terus maju saja dan bertindak; mencoba melakukan sesuatu? Anda akan
menyadari betapa sedikitnya yang Anda ketahui dan Anda akan berhadapan dengan kesalahan
Anda sendiri. Anda dapat memperbaiki kesalahan tersebut dan melakukannya sekali lagi, dan
pada percobaan kedua, Anda akan menemukan kesalahan yang lain, atau hal lain yang tidak
Anda inginkan sehingga Anda kemudian melakukannya sekali lagi. Jadi dengan perbaikan
secara konstan atau, seperti yang saya katakan, dengan melakukan perbaikan atas
tindakannya, seseorang dapat meningkatkan dirinya hingga mencapai tingkat praktik dan
pengetahuan yang lebih tinggi. (Fujio Cho, Presiden Toyota Motor Company)
Prinsip #2 ini memberi kita pelajaran hidup bahwa nilai tertinggi adalah implementasi dan
tindakan nyata. Jangan berpangku tangan, lakukanlah sesuatu. Teori saja tidak cukup. Bila
Anda menguasai banyak teori tanpa implementasi, al-Quran menyindir Anda sebagai keledai
yang membawa-bawa tumpukan buku. Ajaran Islam juga menyatakan bahwa iman harus
dibuktikan lewat tindakan; tanpa tindakan nyata, iman tak akan mengubah dunia dengan
rahmat.
Mari kita cermati filosofi berani mengimplementasikan keyakinan atau ilmu dalam tindakan
nyata. Fujio Cho bilang begitu Anda melakukan sesuatu, Anda akan menyadari betapa
sedikitnya yang Anda ketahui dan Anda akan berhadapan dengan kesalahan Anda sendiri.
Anda dapat memperbaiki kesalahan tersebut dan melakukannya sekali lagi, dan pada
percobaan kedua. Anda akan menemukan kesalahan yang lain, atau hal lain yang tidak Anda
inginkan sehingga Anda kemudian melakukannya sekali lagi! Sebaliknya berarti bila Anda
tidak pernah berani melakukan sesuatu, Anda tidak akan pernah menyadari keterbatasan
pengetahuan dan skill yang Anda miliki. Ini juga berarti Anda tidak memiliki kesempatan
untuk menemukan kesalahan dan memperbaikinya. Anda terus ditipu oleh diri sendiri,
seakan-akan Anda menguasai satu hal padahal tidak menguasai sedikitpun atau bahkan yang
Anda kira telah dikuasai itu sebenarnya keliru semua. Berabe deh
Fujio Cho juga menyatakan dengan perbaikan secara konstan atau, seperti yang saya
katakan, dengan melakukan perbaikan atas tindakannya, seseorang dapat meningkatkan
dirinya hingga mencapai tingkat praktik dan pengetahuan yang lebih tinggi. Pengetahuan
tertinggi ada pada praktek bukan pada penguasaan hafalan.
Jadi lakukanlah sesuatu, praktekkan ilmu yang Anda dapatkan dari kuliah. Dunia
menunggumu! Ingat pesan dari Ayah Sakichi Toyoda, Kamu harus berupaya untuk

menyelesaikan sesuatu yang akan bermanfaat bagi masyarakat. Tapi bagaimana? Apa yang
harus Anda lakukan padahal ilmu yang diajarkan UIN adalah ilmu-ilmu teoritis semuanya?
Kita lihat prinsip ketiga
Prinsip # 3: Kami menyambut tantangan dengan semangat kreatif dan keberanian untuk
merealisasikan mimpi kami tanpa kehilangan semangat atau tenaga. Kami melakukan
pekerjaan kami dengan penuh semangat, dengan optimisme dan keyakinan yang tulus
mengenai nilai dari kontribusi kamiKami berusaha memutuskan nasib kami sendiri. Kami
bertindak secara mandiri, percaya pada kemampuan kami sendiri. Kami menerima tanggung
jawab atas tindakan kami dan untuk mempertahankan dan meningkatkan keterampilan yang
membuat kami mampu menciptakan nilai tambah. (Taiichi Ohno, Pendamping Sakichi
Toyoda)
Prinsip #3 membakar semangatmu, kawan! Seperti Samurai, Taiichi Ohno (1) menyambut
tantangan dengan semangat kreatif dan keberanian untuk merealisasikan mimpi kami tanpa
kehilangan semangat atau tenaga. Setiap hari ada tantangan yang datang padamu, semuanya
minta diselesaikan. Tantangan itu adalah apa yang sering hinggap di kepalamu dalam bentuk
gerundelan, kenapa begini, mestinya kan begitu!. Saat Anda menyatakan mestinya begini
begitu Anda sudah dihinggapi mimpi dunia baru atau tatanan baru, realisasikan itu. Jangan
hilang semangat pada kegagalan pertama, ingat prinsip #2, setiap kesalahan adalah cara
Tuhan membuka mata bahwa ada yang kurang atau keliru dari pengetahuan yang Anda
miliki. Kesusahan, menurut surat al-Inshirah, adalah cara Tuhan memberikan Anda dua
kemudahan sesudahnya.
Taiichi Ohno juga menyatakan (2) bekerja dengan penuh semangat, optimisme, dan
keyakinan yang tulus untuk memberikan kontribusi yang bernilai pada masyarakat. Ohno
menyebut tujuan usaha dengan memberikan kontribusi yang bernilai pada masyarakat
sementara Sakichi Toyoda menyebutnya sebagai berupaya untuk menyelesaikan sesuatu yang
akan bermanfaat bagi masyarakat. Itulah yang harus Anda lakukan, juga saya! (fn/ty/kl)
www.suaramedia.com

You might also like