Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Obstruksi hidung adalah penyumbatan pada bagian hidung yang disebabkan lapisan
membran hidung menjadi bengkak karena proses inflamasi pada hidung. Hal ini juga dikenal
sebagai hidung tersumbat. Hidung tersumbat memiliki banyak penyebab dan mengakibatkan
gangguan ringan sampai suatu kondisi yang mengancam jiwa. Hidung tersumbat pada bayi
dalam beberapa bulan pertama kehidupan dapat mengganggu proses menyusui dan
menyebabkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa. Hidung tersumbat pada anakanak yang lebih besar dan remaja sering hanya sebuah gangguan tetapi dapat menyebabkan
kesulitan lain.
Hidung tersumbat dapat mengganggu telinga, pendengaran, dan perkembangan
berbicara. Sumbatan yang signifikan dapat mengganggu tidur, penyebab mendengkur, dan
dapat dikaitkan dengan apnea tidur. Pada anak-anak, hidung tersumbat dari pembesaran
kelenjar gondok menyebabkan apnea tidur kronis dengan ketidakcukupan oksigen tingkat dan
hipoksia, serta gagal jantung sisi kanan.
BAB II
HIDUNG
Gambar 2.1 Anatomi hidung bagian luar tampak anterolateral dan inferior
3. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os
palatum.
4. Dinding superior atau atap hidung dibentuk oleh lamina kribriformis yang memisahkan
rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang
yang berasal dari os etmoid. Tulang ini berlubang-lubang seperti saringan dan merupakan
tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sphenoid.
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun.
Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi
oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur yang membentuk kompleks ostiomeatal
adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, ager nasi,
dan resesus frontal. Kompleks ostiomeatal merupakan unit fungsional yang merupakan
tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila,
etmoid anterior, dan frontal.
Sphenoidal
sinus
Maxillary sinus
menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang yaitu saluran superior,
media, dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian
dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar
limfe retrofaringea. Kelompok media berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus konka
inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe
jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju
kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.
10
lambung untuk disterilkan sekresi lambung. Gas-gas yang larut juga dikeluarkan dari udara
saat melewati hidung. Makin larut air suatu gas, makin sempurna pengeluarannya oleh
mukosa hidung.
II.2.5. FUNGSI MUKOSILIAR
Sistem transpor mukosiliar merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut
lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa submukosa.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian
permukaannya terdiri dari mucus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma
seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung
laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA).
Lapisan atas dari lapiran mucus yang amat tipis ini kaya akan glikoprotein, lebih
kental, dengan kekuatan tegangan yang memungkinkan gerakan kaku silia ke depan untuk
mempertahankan gerakan lapisan ke posterior dalam aliran kontinu. Lapisan bawah, lapisan
perisiliaris lebih encer, menimbulkan sedikit hambatan terhadap gerak pemulihan silia.
Lapisan mucus diperbaharui oleh kelenjar submukosa dua atau tiga kali dalam satu jam.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam
mukosa dengan memacu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri.
12
13
BAB III
PENYAKIT PENYEBAB OBSTRUKSI HIDUNG
III.1 POLIP HIDUNG
Definisi
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama kompleks
osteomeatal (KOM) di meatus nasi medius berupa massa lunak yang bertangkai, bentuk bulat
atau lonjong,berwarna putih keabu-abuan. Permukaannya licin dan agak bening karena
banyak mengandung cairan.Sering bilateral dan multipel. Polip merupakan manifestasi dari
berbagai penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi, asma, dan lain-lain.
sekitarnya sehingga jaringan yang lemah ikatannya akan terisap oleh tekanan negatif tersebut.
Akibatnya timbullah edema mukosa. Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah polip
hidung. Ada juga bentuk variasi polip hidung yang disebut polip koana (polip antrum koana).
Polip koana (polip antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan
berasal dari antrum sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan ostium
asesorisnya lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana dan membesar
dalam nasofaring.
Patogenesis
Pada mulanya ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus
medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab
menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk
polip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering
adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi.
Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa
menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan
pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,
kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi.
Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh
orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi
perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga
alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus
membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus medial
Diagnosis Polip Hidung
Cara menegakkan diagnosa polip hidung, yaitu :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik : Terlihat deformitas hidung luar.
3. Rinoskopi anterior : Mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga hidung.
15
4. Endoskopi : Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks
osteomeatal.
5. Foto polos rontgen & CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis.
6. Biopsi : Dianjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut, menyerupai
keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada foto polos
rontgen.
Anamnesis untuk diagnosis polip hidung :
1. Hidung tersumbat.
2. Terasa ada massa didalam hidung.
3. Sukar membuang ingus.
4. Gangguan penciuman : anosmia & hiposmia.
5. Gejala sekunder : Bila disertai kelainan jaringan & organ di sekitarnya seperti post nasal
drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng/sengau), telinga rasa penuh, mendengkur,
gangguan tidur.
Terapi Polip Hidung
Ada 3 macam terapi polip hidung, yaitu :
1. Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & anti alergi.
2. Operasi : polipektomi & etmoidektomi.
3. Kombinasi : medikamentosa & operasi.
Berikan kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki rongga
hidung. Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Gunakan kortikosteroid
sistemik dosis tinggi dan dalam jangka waktu singkat. Berikan antibiotik jika ada tanda
infeksi. Berikan anti alergi jika pemicunya dianggap alergi. Polipektomi merupakan tindakan
pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal. Kategori polip
yang diangkat adalah polip yang besar namun belum memadati rongga hidung. Etmoidektomi
atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan tindakan pengangkatan
polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar,
berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal. Antibiotik sebagai terapi
kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan
antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi.
16
17
18
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga
bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman
juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
Penatalaksanaan
Pembedahan.
o
Septoplasti.
Sumbatan hidung
Rasa nyeri
Terapi
Drainase yang segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang rawan.
Dilakukan pungsi, dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian hematoma yang
19
paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh dilakukan insisi bilateral. Setelah insisi,
dipasang tampon untuk menekan perikondrium ke arah tulang rawan di bawahnya.
Antibiotika diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
Komplikasi
Komplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi: abses septum dan deformitas
hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose).
III.2.2 ABSES SEPTUM
Kebanykan abses septum disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari
oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kuman
dan menjadi abses.
Gejala klinik
Gejala abses septum adalah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri
berat, terutama di puncak hidung juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala. Pemeriksan
dengan speculum hidung tampak pembengkakan septum yang berbentuk bulat dengan
permukaan licin.
Terapi
Abses septum harus segera diobati sebagai kasus gawat darurat karena komplikasinya
dapat berat yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan nekrosis tulang rawan
septum. Terapinya dilakukan insisi dan drainase nanah serta diberikan antibiotika dosis
tinggi. Untuk nyeri dan demamnya diberikan analgetika.
Untuk mencegah terjadinya deformitas hidung bila sudah ada destruksi tulang rawan
perlu dilakukan rekonstruksi septum.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah destruksi tulang rawan septum yang dapat
menyebabkan perforasi septum atau hidung pelan. Juga dapat menyebabkan komplikasi
intracranial atau septicemia.
20
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama,
maka kedua rantai Ig E akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan oleh Newly
Formed Mediators antara lain Prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL 3, IL 4, IL
5, IL 6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll). Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengikatan sitokin seperti IL 3,
IL 4, IL 5 dan GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresposif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulanya seperti Eosinophillic Cationic Protein (ECP), Eosinophillic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophillic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain
factor spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
22
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.
23
1. Respons Primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekuder.
2. Respons Sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah imunitas
selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari system
imunologik, maka reaksi ini akan berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respons Tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini menjadi 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi
anafilasis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sititoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rhinitis alergi.
Klasifikasi Rinitis Alergi
1. Berdasarkan sifat berlangsungnya
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
dengan rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena
itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten
atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan
alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial
lebih ringan
25
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu menurut sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermittent atau kadang-kadang : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu
2. Persistent atau menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu
Menentukan usia munculnya gejala pertama kali dan apakah gejala terusmenerus ada. Serangan rinitis alergi dapat terjadi hingga usia dewasa, bahkan sebagian
besar pasien baru menunjukkan gejala pada umur 20 tahun.
Menentukan pola gejala dan apakah gejala-gejala muncul pada tingkat yang
konsisten sepanjang tahun (rhinitis persisten), hanya terjadi pada musim tertentu (rinitis
musiman), atau kombinasi dari keduanya. Selama periode eksaserbasi, menentukan
apakah gejala-gejala muncul setiap hari atau hanya pada episode tertentu saja. Tentukan
apakah gejala hadir sepanjang hari atau hanya pada waktu tertentu di siang hari. Informasi
ini dapat membantu menunjukkan diagnosis dan menentukan mungkin pemicu.
26
Menentukan sistem organ yang terkena dan gejala spesifik. Beberapa pasien
memiliki keterlibatan eksklusif hidung, sementara yang lain keterlibatan berbagai organ.
Keluhan pada beberapa pasien bersin, gatal, lakrimasi, dan hidung berair, sedangkan yang
lain mungkin hanya mengeluh hidung mampet. Keluhan mampet, terutama jika satu sisi,
mungkin merupakan obstruksi struktural, seperti polip, benda asing, atau septum deviasi.
Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada
RAFC dan kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Sering kali
gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien.
b. Faktor-faktor pemicu
Tentukan apakah gejala terkait faktor pemicu tertentu. Ini mungkin mencakup
pemaparan serbuk sari, spora jamur, binatang tertentu, atau debu ketika membersihkan
rumah.
Iritan seperti asap, polusi, dan bau kuat dapat memperburuk gejala pada pasien
dengan rhinitis alergi. Ini juga pemicu rhinitis vasomotor. Banyak pasien memiliki
keduanya.
o
27
c. Terhadap pengobatan
o
Pasien dengan rhinitis alergi atopik lain mungkin memiliki kondisi seperti
asma atau atopic dermatitis. Dari pasien dengan rhinitis alergi, 20% juga memiliki gejala
asma. Rhinitis alergi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan asma memburuk atau
bahkan dermatitis atopic
Menyelidiki riwayat medis dahulu, termasuk kondisi medis saat ini kondisikondisi medis lainnya. Penyakit-penyakit seperti hipotiroidisme atau sarcoidosis dapat
menyebabkan rhinitis nonallergic.
f. Riwayat keluarga
Pada kenyataannya, risiko rinitis alergi meningkat jika kedua orang tua memiliki
riwayat atopik daripada jika salah satu orangtua yang atopik. Namun, penyebab rhinitis
alergi multifaktor, sehingga orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga sekalipun
masih dapat memiliki rhinitis alergi.
g. Pajanan dari lingkungan dan pekerjaan
o
Kita juga harus menyelidiki tentang lingkungan tempat kerja atau sekolah. Ini
mungkin mencakup pemaparan alergen abadi biasa (misalnya, tungau, jamur, binatang
28
tanpa mengetahui efek terhadap kualitas hidup pasien. Kuesioner spesifik tersedia untuk
membantu menentukan efek terhadap kualitas hidup.
Tentukan adanya gejala seperti kelelahan, malaise, mengantuk dan sakit
kepala.
Selidikilah kualitas tidur dan kemampuan untuk beraktivitas di tempat kerja.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus fokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah, mata, telinga,
oropharynx, leher, paru-paru, dan kulit juga penting. Cari temuan fisik yang mungkin
konsisten dengan penyakit sistemik yang berhubungan dengan rhinitis.
1. Wajah
Bayangan gelap di bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease.
2. Hidung
o
Mukosa dan konka hidung dapat tampak bengkak dan pucat, dengan warna
abu-abu kebiruan. Ini merupakan gejala yang khas pada rinitis alergi. Namun tidak dapat
membedakan antara alergi dan penyebab rhinitis nonallergi Beberapa pasien mungkin
memiliki mukosa kemerahan, yang mirip pada rhinitis infeksi, atau rhinitis vasomotor
Menilai karakter dan jumlah lendir hidung. Tipis dan sekresi berair sering
dikaitkan dengan rinitis alergi, sedangkan sekresi purulen tebal dan biasanya terkait
29
dengan sinusitis, namun lebih tebal, bernanah, lendir berwarna juga dapat terjadi dengan
rhinitis alergi.
o
Septum nasal diperiksa untuk mencari setiap deviasi atau perforasi septum,
yang dapat hadir karena rhinitis kronis, penyakit granulomatosa, penyalahgunaan kokain,
dekongestan topikal atau topikal steroid berlebihan.
Memeriksa rongga hidung, apakah terdapat massa seperti polip atau tumor.
Polip adalah massa abu-abu yang sering bertangkai, yang mungkin sulit terlihat. Setelah
penyemprotan dekongestan topikal, polip tidak mengecil, sementara mukosa hidung
sekitarnya menyusut
Malocclusion
(overbite) dan langit-langit melengkung tinggi dapat diamati pada pasien yang bernapas
dari mulut mereka secara berlebihan. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid). Lidah seperti gambaran peta (geographical tongue).
4. Leher: Mencari adanya limfadenopati atau penyakit tiroid.
5. Paru-paru: Mencari karakteristik temuan asma.
6. Kulit: Evaluasi untuk kemungkinan dermatitis atopi.
30
7. Lain: Cari bukti penyakit sistemik yang dapat menyebabkan rhinitis (misalnya,
sarcoidosis, hipotiroidisme, immunodeficiency, ciliary dyskinesia sindrom, penyakit jaringan
ikat lainnya).
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Tes Alergi: Pengujian untuk reaksi terhadap alergen yang spesifik dapat membantu untuk
mengkonfirmasikan diagnosis rhinitis alergi, juga untuk menentukan pemicu terjadinya
alergi. Jika pemicu terjadinya alergi diketahui, maka langkah-langkah pencegahan yang tepat
dapat direkomendasikan. Penting untuk mengetahui alergen yang tepat untuk dilakukan
immunotherapy (desensitisasi perawatan). Pengujian memberikan pengetahuan dari tingkat
sensitivitas terhadap alergi tertentu. Yang paling sering digunakan metode untuk menentukan
alergi terhadap zat tertentu adalah uji kulit alergi (tes reaksi hipersensitivitas langsung) dan in
vitro diagnostik tes, seperti tes radioallergosorbent (RAST), yang secara tidak langsung
mengukur jumlah IgE spesifik untuk antigen tertentu.
Skin test allergy (tes hipersensitivitas langsung) adalah metode dalam
dilakukan dengan menempatkan setetes ekstrak pada kulit dan menggaruk atau
menusuk jarum melalui epidermis bawah tetesan ekstrak alergen. Tergantung pada
teknik yang tepat digunakan, pengujian ini disebut Skin Prick test.
Antigen dalam ekstrak mengikat IgE pada sel mast kulit, menuju ke fase awal
(langsung-type) reaksi, yang menyebabkan pelepasan mediator seperti histamine. Hal
ini biasanya terjadi dalam waktu 15-20 menit. Histamin yang dilepaskan
menyebabkan reaksi ruam atau kemerahan (dihasilkan oleh infiltrasi cairan, dan
sekitarnya eritema dihasilkan karena vasodilasi, dengan seiring gatal.). Ukuran reaksi
ruam berkorelasi dengan tingkat sensitivitas terhadap alergi.
31
Ekstrak juga dapat diberikan secara intradermal (yaitu, disuntikkan ke dalam dermis
dengan jarum intradermal). Dengan teknik ini, ekstrak dapat memasuki jaringan
dermal, termasuk sel mast kulit. Pengujian intradermal sekitar 1000-kali lipat lebih
sensitif daripada pengujian perkutan. Namun hal ini harus dilakukan dengan hati-hati
oleh orang yang memang ahli dibidangnya. Namun harus tetap diingat bahwa hasil
positif palsu tinggi.
Hitung eosinofil dalam darah tepi (pemeriksaan in Vitro) dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan Ig E total (prist-paper radioimmuno sorbent test)
seringkali menunjukan nilai normal kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau
anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan.
Juka basofil (>5 sel/Lap) mungkin disebabkan oleh alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. Tes ini memungkinkan
penentuan IgE spesifik ke sejumlah alergen yang berbeda dari satu sampel darah, tetapi
sensitivitas dan spesifisitas tidak selalu sebaik akurat tes kulit (tergantung pada uji
laboratorium dan digunakan untuk RAST). Seperti pada pengujian kulit, hampir semua
alergen yang menyebabkan alergi rhinitis dapat ditentukan dengan menggunakan RAST,
walaupun tes untuk beberapa alergen kurang mapan dibandingkan dengan orang lain.
32
Sitologi hidung: Sebuah sampel cairan dan sel dikorek dari permukaan mukosa
hidung dengan menggunakan probe sampling khusus. Sekresi yang ditiup dari hidung
tidak memadai. Hasil yang tidak sensitif maupun spesifik untuk alergi rhinitis dan
tidak boleh digunakan secara eksklusif untuk menetapkan diagnosis.
33
Penatalaksanaan
Pengelolaan rhinitis alergi terdiri dari 3 kategori utama perawatan, (1) lingkungan
pengendalian dan penghindaran penyebab alergi, (2) farmakologis, dan (3) immunotherapy.
1. Penghindaran penyebab alergi
Pengendalian lingkungan dan penghindaran penyebab alergi:
Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari alergen atau iritasi,
pemicu. Mempertimbangkan tindakan pengendalian lingkungan, cukup baik dalam semua
kasus rhinitis alergi.
o
Serbuk sari : Tersebar luas di udara bebas, sehingga sangat sulit untuk
dihindari. Secara umum, serbuk sari pohon hadir di musim semi, rumput serbuk sari dari
akhir musim semi menuju musim panas, dan gulma serbuk sari dari akhir musim panas
sampai musim gugur. Cenderung lebih tinggi pada kering, cerah, berangin. Paparan
terhadap udara bebas dapat dibatasi selama ini, tapi ini mungkin tidak dapat diandalkan
karena dianggap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Menjaga jendela dan pintu
rumah dan mobil tertutup sebanyak mungkin selama musim tepung sari (dengan AC, jika
perlu, pada modus sirkulasi) dapat membantu. Mandi setelah dari luar ruangan dapat
membantu dengan membuang serbuk sari yang menempel di rambut dan kulit.
34
dan menjaga noncarpeted seluruhnya keluar dari kamar tidur dapat sangat
menguntungkan.
o
kuat, asap, perubahan suhu yang cepat, dan polusi udara terbuka dapat memicu pada
pasien dengan rinitis alergi. Pertimbangkan untuk menghindari situasi ini atau pemicu
jika tampaknya dapat memperburuk gejala.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secar
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)
dan generasi 2 (non sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga slit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif menghambat reseptor H1 perifer dan tidak mempunyai sifat antikolinergik,
antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral
dengan cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala
obstruktif hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi dalam dua
golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan oleh karena
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung
dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, levoseterisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal.
35
Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
rinitis medikamentosa.
Preparat Kortikosteroid dipilih jika gejala terutama sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal
(beklometason,
budesonid,
flunisolid,
flutikason,
mometason
furoat
dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofik, mengurangi
aktivitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
responsive terhadap rangsangan alergen (baik yang bekerja pada respon fase cepat maupun
lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehiingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktivasi sel netrofil,
eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dicapai dengan pemberian sebagai profilaksis.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
Triklor Asetat.
Komplikasi
3. Sinusitis paranasal.
Konka yang hipertrofi dapat membuat meatus media menjadi lebih sempit, serta kondisi
peradangan yang terus menerus dapat menjadi factor pemicu terjadinya polip yang akan ikut
menjadi penyebab ostium sinus menjadi sempit. Sirkulasi pembuangan sekret yang tidak
lancar akan mengakibatkan terbendungnya sekret serta terjadinya infeksi, karena sekretadalah
tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
37
Penghindaran alergen
intermittent
ringan
Persisten/menetap
Sedang/berat
ringan
Sedang/berat
KS topikal
Pertimbangkan
imunoterapi
Sumbatan hidung
menetap
membaik
Tidak ada
Th/ mundur 1
langkah dan th/
diteruskan
untuk 1 bulan
KS topikal
ditingkatkan
-salah diagnosis
-nilai kepatuhan
pasien
-komlikasi/infeksi
-faktor kelainan
anatomis
Gatal hidung
rinore
gagal
Kaustika konka/konkotomi
38
Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan
bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan
hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari
kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis
sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi
sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai
penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang
parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler
disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi
cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti
sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide
intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh
darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem
saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptidepeptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor.
Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa
diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi
udara dan stress ( emosional atau fisikal ). Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu
penatalaksanaan rinitis vasomotor yaitu :
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh
darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai
alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini
merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non spesifik. Serangan dapat
muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu.
1. Latar belakang
- adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem Saraf otonom
dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung vasodilatasi dan edema
pembuluh darah mukosa hidung hidung tersumbat dan rinore.
- disebut juga rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis )
40
rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.
Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi
dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya
mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak
mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak
gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap
atau merah tua (karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka
dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya
sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan
jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam
batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi
dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema
dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.
Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor:
Riwayat penyakit
- Tidak berhubungan dengan musim
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa
- Keluhan gatal dan bersin ( - )
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda tanda infeksi ( - )
42
Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung
tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin
dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya
digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan.
Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
43
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh :
Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat
( chemical cautery ) maupun secara elektrik
( electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior turbinate )
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.
vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada
pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka
kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.
Komplikasi
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan
tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.
44
KESIMPULAN
Obstruksi hidung adalah gejala yang umum seperti rhinitis alergi, polip hidung,
kelainan septum nasi. Obstruksi diakibatkan oleh peradangan mukosa hidung, yang
merupakan hasil dari interaksi kompleks antara berbagai mediator, sitokin, kemokin, dan
molekul adhesi sel, bereaksi terhadap paparan alergen terus menerus. Teknik pengukuran
dinamis dan statis kuantitatif sumbatan hidung yang tersedia. Pengukuran ini sangat
membantu untuk penilaian objektif dalam menentukan patologi struktural saluran hidung.
Saat ini pilihan yang baik dari obat-obat untuk menghilangkan gejala dan mengurangi
obstruksi yang dapat secara efektif digunakan pada pasien kebanyakan. Pedoman terbaru
menyarankan pengobatan antiinflamasi IGC sebagai lebih efektif daripada pengobatan
simtomatik saja, tetapi biaya dan kepatuhan mungkin tidak selalu memungkinkan opsi ini
untuk digunakan. Dalam beberapa, immunotherapy operasi pasien, atau keduanya akan
diperlukan. Pada anak muda dan pada kehamilan, pengobatan sumbatan hidung lebih sulit,
karena keterbatasan obat yang tersedia.
45