You are on page 1of 18

BAB I

PEMBAHASAN

1. Definisi
Menurut Salter, FES adalah sindrom yang terdiri dari suatu respiratory
distress syndrome dan hipoksia arterial yang berat yang disebabkan oleh
adanya suatu emboli lemak yang sistemik.
Menurut Harry B. Skinner et al, FES adalah manifestasi orthopedic khusus
dari acute respiratory distress syndrome (ARDS) yang disebabkan oleh
lepasnya lemak sumsum tulang ke dalam sirkulasi yang dapat muncul setelah
terjadinya fraktur.
Menurut Mark F. Sloane, FES adalah sindrom yang ditandai dengan
insufisiensi respiratorik, abnormalitas saraf pusat, dan petekhie yang biasanya
muncul 24-72 jam setelah kejadian pencetus yang biasanya adalah trauma
tulang panjang atau pelvis.
Dapat disimpulkan bahwa FES adalah suatu sindrom yang disebabkan
oleh lepasnya lemak sumsum tulang ke dalam sirkulasi sehingga
menyebabkan suatu embolisasi lemak yang sistemik dan ditandai dengan
insufisiensi respiratorik (ARDS), hipoksia arterial berat, abnormalitas saraf
pusat, dan petekhie yang muncul 24-72 jam setelah kejadian pencetus yang
biasanya adalah trauma tulang panjang atau pelvis.
2. Insiden
Insiden dari FES dan angka kematian karena FES belum dapat ditentukan
dengan jelas. Hal yang seringkali membingungkan adalah karena studi yang
ada berkonsentrasi pada pasien dengan cedera multipel dan seringkali dengan
problem kesehatan yang telah ada. FES dapt terjadi pada semua umur dan
jenis kelamin meskipun tampaknya lebih sering terjadi pada dewasa muda,
mungkin karena predileksinya terhadap kecelakaan kendaraan bermotor. FES

paling sering terjadi setelah fraktur pada tulang panjang, terutama femur dan
tibia. Insiden FES pada fraktur tulang panjang bervariasi dari 1 hingga 20%.
Namun embolisasi lemak dapat terjadi tanpa manifestasi klinis dari FES.
Risiko terjadinya FES terbesar pada pasien dengan cedera multipel
terutama pasien dengan fraktur femur yang juga mengalami fraktur tulang
panjang yang lain. Magerl et al (1966) meneliti 4.197 fraktur dan menemukan
insiden dari FES adalah 0,9% sedangkan penelitian yang serupa oleh Peltier et
al (1974) menemukan insiden sebesar 1%-2,2% untuk fraktur tibia dan femur.
Namun studi yang lebih baru dilakukan oleh Ganong (1991) menemukan
angka kejadian yang lebih tinggi pada fraktur tibia dan femur pada pemain ski
muda yang sehat. Secara keseluruhan, insiden dari FES adalah 23%(13 dan 56
fraktur tibial dan femoral). Insiden pada FES adalah 19% pada fraktur tibia
dan 75% pada fraktur femur. Selain itu, fraktur tibia dengan displace
transversal memiliki angka kejadian FES sebesar 33%. Pada studi ini tidak ada
pasien yang memerlukan ventilasi mekanik dan mortalitasnya adalah 0%.
Telah dicatat bahwa fraktur tertutup memiliki insiden FES yang lebih
tinggi daripada fraktur terbuka. Hal ini dilaporkan oleh Collins et al (1968)
yang meneliti lebih dari 40 pasien dengan fraktur terbuka femur yang dirawat
selama perang Vietnam. Hanya 1 pasien yang menderita FES. Hal ini
diperkirakan karena tekanan tulang intramedular lebih rendah pada fraktur
terbuka sehingga mereduksi adanya emboli lemak yang terdorong masuk ke
aliran darah.
Studi oleh Herndon et al (1974) menemukan bahwa emboli lemak
mungkin terjadi pada semua kasus Total Hip Replacement yang menggunakan
methylmethacrylate cement ketika memasukkan komponen femoral, namun
gambaran FES selama Total Hip Replacement dan Total Knee Replacement
sekali lagi tidak tampak dengan jelas.

3. Etiologi
Trauma pada tulang panjang dan penekanan pada tulang pada operasi
orthopedic misalnya hip arthroplasty atau pemasangan intramedulary rod
merupakan etiologi dari terjadinya suatu FES.
4. Patogenesis
Penyebab sesungguhnya dari FES belum dapat dimengerti sepenuhnya
karena sangat kompleks dan mungin multifaktorial. Ada teori mekanik dan
teori biokimia yang tidak dapat berdiri sendiri. Di sini akan dijelaskan
beberapa teori yang ada.

Teori infiltrasi
Teori ini mengatakan bahwa partikel lemak dari kanal medularis
dapat masuk ke dalam sirkulasi vena dari lokasi fraktur dan kemudian
mengembolisasi paru dan terkadang ke pembuluh darah besar melalui
sirkulasi pulmonal atau melalui paten foramen ovale. Teori ini dikuatkan
dengan fakta bahwa droplet lemak telah ditemukan pada hematoma dari
fraktur dan embolisasi lemak dari paru telah terbukti terjadi pada fraktur
eksperimental dan setelah perusakkan medulla tanpa fraktur. Telah
dibuktikan pula bahwa droplet lemak terjadi pada aliran darah mengikuti
suatu fraktur dan operasi orthopedic serta pewarnaan vital dari sel
medulla ditemukan pada paru di dalam sebuah raktur eksperimental.
Pada 1956 Peltier meneliti komposisi lemak dari tulang panjang
manusia dan menemukan proporsi FFA yang beragam yang cocok
dengan yang ditemukan pada emboli pulmonal post fraktur. Hal ini
kemudian dikonfirmasi oleh Jones dan Sakovich (1966) dengan
penelitian pada kelinci.

Lemak
dari kanal
medularis

Sirkulasi
vena

pulmonal /
PDA

Sistemik

Gambar 10 Teori Infiltrasi

Sirkulasi

Teori de-emulsifikasi
Teori ini mengatakan bahwa ada infiltrasi lemak intravaskuler yang
mengikuti sebuah fraktur. Hal ini memicu aktivitas lipase yang
mengarah pada de-emulsifikasi dan presipitasi pada lemak darah yang
dapat menyumbat aliran darah. Teori ini diajukan oleh Kronke (1956)
ketika dia mendeteksi 50-70% peningkatan titer lipase pada 100 pasien
fraktur yang berisiko.
DeInfiltrasi
lemak
intravaskuler

Aktivasi

emulsifikasi

lipase

dan
presipitasi

Gambar 21 Teori De-emulsifikasi


Sumbatan aliran darah

Teori koalisi

Teori mengatakan bahwa mengikuti suatu traumatic stress terdapat


pelepasan

katekolamin

dan

kortikosteroid

yang

menyebabkan

pembebasan lemak dari depot lemak. Lemak yang dibebaskan mungkin


cukup banyak untuk membanjiri mekanisme transport dan membuat
chylomicron tidak stabil yang akhirnya bergabung menjadi partikel yang
lebih besar sehingga menyumbat kapiler-kapiler kecil.
Traumatik
stress

Pelepasan
katekolamin
dan
kortikosteroid

Pembebasan
lemak

Chylomicron
tidak stabil
Bergabung
menjadi
partikel yang
lebih besar

Sumbatan
kapiler-kapiler
kecil
Gambar 22 Teori Koalisi

Teori koagulasi
Pasien dengan trauma, terutama dengan beberapa fraktur tulang
panjang, seringkali berada dalam keadaan shok hemoragis. Hal ini
memperlambat mikrosirkulasi yang meningkatkan viskositas dan
menurunkan suspensi stabilitas dari komponen seluler darah. Hal ini
dikenal sebagai pengendapan (sludging). Perubahan ini menyebabkan
kapiler paru dan otak bertindak sebagai filter endapan .

Fraktur

Perlambatan

Sludging:

dengan
shock
hemoraghis

mikrosirkulasi

-peningkatan
viskositas
-penurunan
suspensi
stabilitas

Penyumbatan vascular
otak dan paru (filter)

Gambar 23 Teori Koagulasi

Selain itu, terdapat keadaan hiperkoagulabilitas karena sumsum


tulang adalah stimulus besar untuk aktivasi sistem pembekuan darah.
Adhesi

platelet

juga

meningkat

dan

hal

ini

menyebabkan

penumpukannya di paru dan menyebabkan turunnya jumlah platelet di


tempat lain. Peltier (1969) mengatakan bahwa platelet ini memiliki
afinitas terhadap lemak netral dan membentuk agregat pada partikel
lemak. Terjadinya obstruksi mekanik dan rilis dari komponen vasoaktif
misalnya histamine dan serotonin telah dirasakan sebagai kolapsnya
sirkulasi kapiler dan fragmentasi dari membran pembuluh darah.
Fraktur
tulang
panjang
(kerusakan
sumsum
tulang)

Aktivasi
system
pembekuan
darah

Peningkatan
adhesi
platelet

Penumpukan
platelet di
paru

Agregasi
dengan
komponen
lemak
Gambar 24 Teori Koagulasi 2

Peran dari Free Fatty Acid (FFA) dan CRP

Hasil kerja Peltier mengatakan bahwa kerusakan primer pada


kapiler disebabkan oleh hidrolisis dari lemak netral menjadi FFA yang
sangat hitotoksik. FFA menyebabkan respon inflamasi neutrofil dan
pengaruh histotoksik ini dipotensiasi fenomena sludging dan agregasi
platelet.
Hasil kerja Hulman (1995) mengatakan bahwa CRP dapat memiliki
peran dalam emboli lemak. CRP disintesis di hati dan berhubungan
dengan berbagai proses keradangan dan malignansi. CRP juga terbentuk
ketika trauma. Chylomicron diketahui mengalami calcium dependent
agglutination dengan bantuan CRP dan hal ini mungkin berperan penting
pada emboli lemak in vivo. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya,
tedapat berbagai teori mengenai patogenesa dari FES dan semua ini
mungkin dapat diterapkan pada tingkatan tertentu karena penyebabnya
mungkin mutifaktorial.
5. Signs and Symtomps
FES

adalah

suatu

kelainan

multisistem,

namun

terutama

mempengaruhi paru dan otak. Tidaklah mungkin untuk mendiagnosis


FES hanya berdasarkan suatu tanda patognomonis, gejala atau
perhitungan laboratoris, namun diagnosis memerlukan evaluasi dari
semua parameter, tanda, dan gejala. FES tampak dalam 24 jam pada 5060% kasus dan 90% kasus dalam 3 hari.

Sistem respiratorik
Didapatkan peningkatan insiden dari ARDS pada pasien cidera
multipel dengan fraktur tulang panjang. Bagaimanapun hal ini belum
tentu berhubungan dengam FES namun dapat berhubungan dengan
faktor lain misalnya trauma thoraks, penyakit kardiovaskuler, dan
anemia.

Range

penemuan

pada

pemeriksaan

respirasi

mulai

dari

asimtomatik hipoksemia sampai distress pulmonal yang memerlukan


bantuan ventilator. Bagaimanapun tanda dan gejala umumnya adalah
hiperventilasi dengan peningkatan frekuensi pernafasan dan takikardi.
Pasien dapat menjadi sianosis jika hipoksia tidak diperbaiki. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan rales halus inspiratoir.
FES

diduga

sebagai

reaksi

dari

jaringan

paru,

shock,

hiperkoagulabilitas, dan mobilisasi lemak. Halini mengarah pada


oklusi

vascular,

perdarahan

interstisial

parenkimal,

dan

mikroatelektasis. Hal ini meningkatkan ketidak cocokan ventilasiperfusi yang dapat dideteksi pada BGA. BGA menunjukkan respiratori
alkalosis dan penurunan tekanan parsial oksigen , biasanya kurang dari
60 mmHg.
Perubahan radiografis secara klasik menunjukkan bayangan
flokulen multipel (snow storm appearance) namun terkadang difus
groundglass appearance dapat terlihat. Jika pemeriksaan dilanjutkan,
perubahan X foto dapat berkomplikasi dengan infeksi atau cardiogenic
pulmonary oedema.

Sistem saraf pusat


Pasien dapat mengalami perubahan kesadaran mulai dari
disorientasi ringan sampai keadaan kebingungan akut yang dapat
berkembang menjadi stupor dan koma. Kejang fokal atau general dapat
terjadi. Yang lebih jarang, defek neurologis fokal dapat terjadi,
termasuk pupil anisokhor, hemiplegic, skotomata, apraksia, afasia, dan
deviasi konjugae. Penemuan ini, jika ada, biasanya mengikuti
perubahan kognisi. Etiologi dari disfungsi neurologis diperkirakan
karena emboli arterial melalui paten foramen ovale dan pulmonary
arteriovenous shunt. Secara patologis, perdarahan petekhial difus
berhubungan dengan adanya globulus lemak mikrovaskular dapat
terlihat terutama pada cerebral white matter. CT scan dan MRI otak

menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Meskipun

kerusakan fokal

permanent dapat tampak, penyembuhan neurologis biasanya terjadi.

Sistem kardiovaskuler
Takikardi adalah tanda yang pasti terdapat pada semua pasien
dengan FES. Hal ini disebabkan regangan ventrikel kanan dan resisten
terhadap terapi. Namun banyak hal lain pada pasien trauma yang dapat
menyebabkan takikardi.
Emboli lemak sistemik dapat mempengaruhi jantung dan
menyebabkan nekrosis myocardial. Hal ini dapat dideteksi dengan
perubahan EKG nonspesifik misalnya ST depresi, gelombang T datar,
AV blok, dan pola bundle branch blok. Namun hal ini jarang terjadi(18)

Mata
Retinopati dan tampak pada + 50% pasien dengan FES cerebral.
Adams (1971) menggambarkan perubahan ini terjadi pada 24 jam
pertama dan terdiri dari eksudat cotton-wool dan perdarahan kecil
(seringkali streaky) di sepanjang pembuluh darah dan di daerah
macula. Juga didapatkan edema difus dan kepucatan yang juga terjadi
di zona macula.
Pasien biasanya menggambarkan terdapat kapas di dapan mata
mereka dan pemeriksaan biasanya menemukan skotomata pada
lapangan pandang.
Sebagian besar penemuan ini akan hilang dalam beberapa minggu,
namun beberapa pasien memiliki residual skotomata.
Bagaimanapun, pasien dengan perdarahan retina dan eksudat
setelah trauma memiliki FES. Beberapa pasien mengalami kompresi
thoraks dan perubahan retina mungkin dikarenakan peningkatan
tekanan vena dan intrathoraksik.

Kulit
Petekhie pada kulit dan kantung konjungtiva seringkali dianggap
sebagai diagnostic yang bernilai dari FES. Petekhie muncul pada 20-50
pasien dan terjadi 48-72 jam setelah cedera. Petekhie biasanya muncul
pada leher, thoraks anterior, dan axila, serta konjungtiva.
Etiologi dari petekhie belum sepenuhnya dimengerti dan terdapat
berbagai teori yang muncul mulai dari obstruksi mekanik simple dari
kapiler kulit sampai trombositopeni purpura murni yang tidak
berhubungan dengan lemak di sistem kardiovaskuler.

Demam sistemik
Tanda awal yang sangat umum dari FES adalah peningkatan suhu
yang seringkali ringan namun dapat mencapai 39oC. Tanda relative non
spesifik dan diperkirakan efek langsung dari purpura serebri dan
edema serebral yang

menyebabkan dekompensasi dari mekanisme

sentral pengontrol metabolisme. Infeksi paru yang terjadi kemudian


dapat menyebabkan tambahan peningkatan suhu.
6. Pemeriksaan penunjang
a. Blood Gas Analysis (BGA)
Menunjukkan PaO2 yang rendah biasanya di bawah 60 mmHg
dengan respiratori alkalosis. Penampakan PaO2 yang rendah biasanya
menentukan onset dari manifestasi klinis yang lain sehingga
monitoring pasien yang memiliki risiko adalah keharusan.
b. Pemeriksaan urine dan sputum
Bisa didapatkan globulus lemak pada sediaan namun keduanya
tidak terpercaya ataupun patognomonis.
c. Pemeriksaan darah
Pada fase akut dapat terjadi peningkatan FDP, trombositopeni, dan
abnormalitas

koagulasi. Hal ini mungkin dikarenakan lemak

menyebabkan pelepasan tromboplastin. Selain itu, pasien juga sering


mengalami anemia ringan.
d. Tes biokimia
Mungkin didapatkan hipokalsemi karena saponikasi dari sirkulasi
untuk melepaskan FFA.
e. Foto polos dada
Perubahan radiografis secara klasik menunjukkan bayangan
flokulen multipel (snow storm appearance) namun terkadang difus
groundglass appearance dapat terlihat. Jika pemeriksaan dilanjutkan,
perubahan X foto dapat berkomplikasi dengan infeksi atau cardiogenic
pulmonary oedema.
f. EKG
EKG dapat menunjukkan bukti adanya peregangan ventrikel kanan
atau pola iskemik jika otot jantung ikut terlibat. Hal ini dapat dideteksi
dengan perubahan EKG nonspesifik misalnya ST depresi, gelombang
T datar, AV blok, dan pola bundle branch blok. Namun hal ini jarang
terjadi.
g. Tes enzim
Tes ini telah digunakan, kadar lipoproteinlipase meningkat, namun
kadarnya dapat tetap tinggi setelah 5-8 hari dimana tanda klinis mulai
menghilang sehingga tes ini tidak membantu diagnosis.
h. Transesofageal echocardiografi
Transesofageal echocardiografi telah digunakan untuk memonitor
jumlah emboli yang terlepas pada pasien yang menjalani prosedur
intrameduler yang invasive.
i. Bronchioalveolar lavage
Bronchioalveolar lavage digunakan untuk menampilkan lemak
intrapulmonal. Persentase yang tinggi dari sel-sel bronkhoalveolar
yang menunjukkan adanya lemak intraseluler ( 5% ) mendukung
diagnosis dari FES.

j. Pulmonary artery catheter


Masson dan Ruggieri (1985) menyarankan penggunaan Pulmonary
artery catheter untuk mengambil sample dari darah kapiler pulmonal
untuk menentukan konten lemaknya.
k. CT scan dan MRI
Mungkin dapat membantu untuk menemukan etiologi untuk
kelainan pulmonal dan disfungsi serebral.
7. Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium seringkali terlalu sensitive dan tidak
sensitive dan tidak spesifik sehingga diagnosis dari FES secara esensial
adalah diagnosis klinis. Namun untuk membantu diagnosis maka dapat
dipakai kriteria dari Gurd (Gurds Criteria).
Menurut kriteria Gurd, diagnosis membutuhkan setidaknya 1
tanda dari kriteria mayor dan setidaknya 4 tanda dari criteria
minor. Kriteria ini telah sedikit dimodifikasi dari kriteria gurd yang
sebenarnya.
Kriteria mayor :
1. Petekhie axiler atau subkonjungtival
2. Terjadi sebentar saja ( 4 6 jam) pada 50-60% dari kasus
3. Hipoksemia PaO2 di bawah 60 mmHg
4. Depresi saraf pusat yang tidak sesuai dengan hipokseminya, dan
edema pulmona
Kriteria minor
1. Takikardi lebih dari 110 bpm
2. Demam lebih dari 38,5oC

3. Emboli tampak pada retina pada pemeriksaan fundoskopi


4. Lemak terdeteksi pada urine
5. Penurunan hematokrit atau jumlah platelet yang mendadak dan
tidak diketahui penyebabnya

6. Peningkatan LED atau viskositas plasma


7. Gumpalan lemak tampak pada sputum
Diagnosis deferensial meliputi emboli pulmonal, kontusi jantung
atau paru, shock septic, hipervolemi, cedera intracranial, aspirasi
pneumonitis, ARDS, dan reaksi transfusi.
8. Manajemen
FES adalah suatu self limiting disease dan terapinya terutama
adalah suportif dengan kunci suksesnya adalah oksigenasi dari jaringan
perifer. Selain itu, pada penanganan awal pasien trauma, ada hal-hal yang
harus dialakukan untuk menurunkan insiden dan keparahan dari FES.
Fraktur tulang panjang perlu distabilisasi secepatnya dan seefektif
mungkin dengan menggunakan air splints dan transport yang hati-hati
dari tempat kejadian. Setelah sampai di rumah sakit, dilakukan
immobilisasi awal meliputi traksi, bebat, atau reduksi terbuka dan fiksasi
internal sangat diperlukan.
1. Oksigen dengan masker
PaO2 harus diperiksa setiap hari selama 5 hari pada pasien dengan
risiko tinggi FES, dan pasien-pasien tersebut harus diberi oksigen
tambahan sesuai keperluan dan bila perlu berikan continous positive
aeropressure melalui masker.
2. Suportif ventilator mekanik
Ini digunakan jika PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 60
mmHg atau jika terjadi distress respiratorik, hiperkarbia, dan
kelelahan.

3. Volume sirkulasi yang adekuat

Volume sirkulasi yang adekuat harus dijamin selama fase akut dari
FES yang mengikuti trauma karena shock yang tidak tertangani
menyebabkan prognosis yang buruk pada FES.
Jika stabilitas sirkulasi dapat dipertahankan, kemudian diikuti
penerapan yang tepat dari restriksi cairan dan diuretic, mungkin dapat
meningkatkan oksigenasi darah melalui menurunkan cairan paru
ekstravaskuler. Hal ini dapat dipantau dengan CVP monitor.
4. Aspirin, Mini-dose heparin, dan Dextran
Obat-obat ini mungkin perlu dibatasi penggunaannya pada
penurunan adhesi platelet namun tidak digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan perdarahan ulang dari lokasi trauma.
5. Steroid
Penggunaan

steroid

merupakan

suatu

kontroversi

namun

penggunaan nya telah ditunjukkan dalam beberapa studi misalnya oleh


Schonfeld et al (1983) membawa keuntungan. Bagaimanapun, steroid
mungkin akan membawa keuntungan yang lebih jika diberikan
secepatnya dari onset munculnya FES. Penelitian yang lebih jauh
diperlukan untuk mengevaluasi hal ini.
9. Prognosis
Kebanyakan kasus FES sembuh dengan oksigenasi yang adekuat dan
penggunaan diuretic dan garam serta restriksi air. Resolusi dari tampilan
klinis terjadi setelah 2-3 minggu kemudian. Kematian lebih karena
kegagalan nafas daripada kegagalan saraf pusat, ginjal, atau sequele
jantung. Prognosisnya, kecuali untuk kasus yang fulminan, adalah sangat
baik. Pada pasien dengan koma dan ganguan nafas mortalitasnya adalah
20%.

10. Preventif

Riska et al (1976) menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa


insiden FES dapat direduksi secara bermakna dengan immobilisasi yang
adekuat dari fraktur mulai dari transport dan operasi fiksasi dini dari
frakur tulang panjang.
Keparahan dari sindrom klinik juga dapat direduksi dengan oksigen
profilaksis. BGA berulang pada 48 jam pertama pada pasien ini adalah
petunjuk tunggal yang paling bermakna untuk diagnosis dan manajemen.
Kortikosteroid dapat digunakan untuk profilaksis hanya pada
pasien dengan risiko FES yang tinggi. Misalnya pasien dengan fraktur
tulang

panjang

atau

pelvis,

terutama

pada

fraktur

tertutup.

Metilprednisolon 1,5 mg/kg IV dapat diberikan setiap 8 jam untuk 6


dosis. Strategi lain yang dapat dilakukan untuk mencegah FES adalah
mengurangi peningkatan tekanan intraoseus selama prosedur orthopedic
dengan tujuan untuk mengurangi intravasasi lemak intrameduler dan
debris yang lain.

BAB III

KESIMPULAN
Dalam suatu kejadian fraktur dapat terjadi berbagai komplikasi baik yang
dikarenakan cedera itu sendiri maupun yang terjadi secara iatrogenik. Komplikasi
yang bersifat iatrogenik adalah yang disebabkan oleh manajemen dari fraktur
tersebut. Komplikasi ini kebanyakan dapat dicegah dan berhubungan dengan tiga
faktor utama, yaitu: tekanan lokal yang berlebihan, traksi yang berlebihan, dan
infeksi.
FES adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh lepasnya lemak sumsum
tulang ke dalam sirkulasi sehingga menyebabkan suatu embolisasi lemak yang
sistemik dan ditandai dengan insufisiensi respiratorik (ARDS), hipoksia arterial
berat, abnormalitas saraf pusat, dan petekhie yang muncul 24-72 jam setelah
kejadian pencetus yang biasanya adalah trauma tulang panjang atau pelvis.
Insiden FES pada fraktur tulang panjang bervariasi dari 1 hingga 20%.
Namun embolisasi lemak dapat terjadi tanpa manifestasi klinis dari FES.
Trauma pada tulang panjang dan penekanan pada tulang pada operasi
orthopedic misalnya hip arthroplasty atau pemasangan intramedulary rod
merupakan etiologi dari terjadinya suatu FES.
Penyebab sesungguhnya dari FES belum dapat dimengerti sepenuhnya
karena sangat kompleks dan mungin multifaktorial. Ada teori mekanik dan teori
biokimia yang tidak dapat berdiri sendiri.
FES ditandai dengan insufisiensi respiratorik (ARDS), hipoksia arterial
berat, abnormalitas saraf pusat, dan petekhie yang muncul 24-72 jam setelah
kejadian pencetus.
Pemeriksaan penunjang dapat berupa Blood Gas Analysis (BGA),
pemeriksaan urine dan sputum, pemeriksaan darah, tes biokimia, foto polos dada,
EKG, tes enzim, transesofageal echocardiografi, bronchioalveolar lavage,
pulmonary artery catheter, CT scan dan MRI.
Pemeriksaan laboratorium seringkali terlalu sensitive dan tidak sensitive
dan tidak spesifik sehingga diagnosis dari FES secara esensial adalah diagnosis

klinis. Namun untuk membantu diagnosis maka dapat dipakai kriteria dari Gurd
(Gurds Criteria).
Diagnosis deferensial meliputi emboli pulmonal, kontusi jantung atau
paru, shock septic, hipervolemi, cedera intracranial, aspirasi pneumonitis, ARDS,
dan reaksi transfusi.
FES adalah suatu self limiting disease dan terapinya terutama adalah
suportif dengan kunci suksesnya adalah oksigenasi dari jaringan perifer. Setelah
sampai di rumah sakit, dilakukan immobilisasi awal meliputi traksi, bebat, atau
reduksi terbuka dan fiksasi internal sangat diperlukan.
Prognosisnya, kecuali untuk kasus yang fulminan, adalah sangat baik.
Pada pasien dengan koma dan ganguan nafas mortalitasnya adalah 20%.
Pencegahan dapat dilakukan dengan immobilisasi yang adekuat dari
fraktur mulai dari transport dan operasi fiksasi dini dari frakur tulang panjang,
oksigen profilaksis, BGA berulang pada 48 jam pertama pada pasien ini adalah
petunjuk tunggal yang paling bermakna untuk diagnosis dan manajemen,
Kortikosteroid dapat digunakan untuk profilaksis hanya pada pasien dengan risiko
FES yang tinggi, dan mengurangi peningkatan tekanan intraoseus selama prosedur
orthopedik dengan tujuan untuk mengurangi intravasasi lemak intrameduler dan
debris yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Salter R B. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal


System; edisi ke-3. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins, 1999: 464,
468-476.
2. Skinner H B. Current Diagnosis & Treatment in Orthopedics; edisi ke-2.
Singapore: The McGraw-Hill Companies, 2000: 60-61, 352, 504-506.
3. Spivak J M et al. Orthopaedics A Study Guide. Singapore: The McGrawHill Companies, 1999: 308, 466-467, 918-921, 923-935.
4. http://web.archive.org/web/20021125030724/http://www.fractures.com/ins
titute/teaching/talks/fat+embolism.htm
5. http://www.patient.co.uk/showdoc/40001215/
6. http://cmbi.bjmu.edu.cn/uptodate/critical%20care/Embolic%20disease/Fat
%20embolism%20syndrome.htm
7. Netter FH. Interactive Atlas of Human Anatomy. NDMC. 934-935.

You might also like