Professional Documents
Culture Documents
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang dengan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dan tak lupa mengucapkan terima kasih
kepada dosen yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk mengerjakan tugas ini,
serta temanteman yang telah ikut andil dalam pembuatan makalah ini.
Dalam proses penulisan serta penyusunan makalah ini kami menyadari makalah ini
jauh dari sempurna. Untuk itu kami berharap agar dosen tetap mendampingi mengarahkan
dan memberi petunjuk dalam mencapai suatu tujuan untuk hasil penyusunan yang maksimal.
Kami akan selalu berterima kasih bila ada kritik dan saran yang bersifat membangun
dalam terselenggaranya penyempurnaan tugas-tugas kami ke depan.
Terima kasih,
Di Masyarakat, kematian menjadi suatu fenomena yang mungkin merupakan hal yang
cukup menarik untuk dibicarakan karena setiap manusia pasti akan mengalaminya. Kematian
adalah hal mutlak dalam sejarah kehidupan manusia. Meskipun kematian itu sendiri menjadi
fenomena yang telah akrab dengan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk
menentukan kapan kematian itu benar-benar terjadi sehingga memunculkan banyak
keraguan-keraguan tentang kematian itu sendiri. Di sisi lain, kematian juga dapat
memunculkan pertanyaan apakah kematian itu datang secara tiba-tiba atau mungkin ada
tahapan-tahapan tersendiri yang akan dialami seseorang yang secara umum dapat dimengerti
sebagai suatu proses menjelang kematian? Untuk menjelaskan persoalan ini kita bisa melihat
hasil observasi yang dilakukan oleh Elisabeth Kubler-Ross atas orang-orang yang berada
dalam proses menjelang kematian mereka dalam konteks psikologinya.
Menurut Elisabeth Kubler-Ross terdapat lima tahapan yang dialami seseorang ketika
menjelang kematiannya. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahap Pertama: Penyangkalan dan Pengasingan Diri
Reaksi pertama ini mungkin terjadi dari mereka yang menyadari bahwa penyakit
mereka sudah sangat parah dan benar-benar akan membawa mereka pada kematian.
Pasien pada tahap ini akan mengalami suatu shock yang hebat. Selain rasa terkejut
yang mereka alami, biasanya mereka akan menyangkal akan kondisi mereka yang
sebenarnya. Untuk sementara waktu pasien akan terus bersikap sedemikian rupa,
tetapi pada waktu dan kesempatan lain dia akan menyingkirkan sikap dan pemikiran
tersebut
dan
menggantikannya
dengan
perjuangan
untuk
mempertahankan
tenaga medis. Hal tersebut disebabkan karena kemarahan ini ditunjukkan dan
diperlihatkan kepada lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Para dokter dianggap
tidak mampu, tidak profesional, bahkan dianggap amatir oleh pasien, dan mereka
dicap tidak tahu pemeriksaan dan usaha mana yang memang diperlukan, serta diet
mana yang harus diterapkan untuk pasien. Seringkali para perawat menjadi sasaran
kemarahan pasien pada tahap ini. Mereka dianggap menahan pasien terlalu lama di
rumah sakit atau tidak menghormati berbagai keinginan pasien sesuai dengan
kedudukan khususnya. Pendek kata, pada tahapan ini, apa pun yang dilihat pasien
akan menimbulkan keluhan dan kemarahan.
3. Tahap Ketiga: Tawar-Menawar
Tahap ketiga ini tidak terlalu diketahui namun sebenarnya tahap ini bisa sangat
menolong pasien. Mungkin pasien tidak terlalu menyadari apa yang dilakukannya,
tetapi tahap ini sangat membantu pasien, meskipun hanya untuk sementara waktu.
Bila pasien menyadari bahwa dia tidak mampu lagi menghadapi kenyataan yang
sangat menyedihkan pada awal tahap dan mengambil sikap marah terhadap orang lain
serta memberontak kepada Tuhan pada tahap kedua, boleh jadi dia kemudian
mencoba mengupayakan jalan damai dengan membuat suatu jenis perjanjian yang
dirasa dapat menunda kejadian yang tidak diharapkan. Keinginan pasien ini hampir
selalu merupakan upaya untuk memperpanjang hidup. Kemudian keinginan ini
diperhalus dengan memohon berkurangnya hari-hari yang penuh penderitaan atau
dirasa tidak enak. Tawar-menawar merupakan usaha untuk menunda kematian dan
dalam tawar-menawar ini si pasien menjanjikan imbalan hidup dengan lebih baik,
bahkan memberi batas waktu bagi dirinya sendiri. Tawar-menawar biasanya dilakukan
secara rahasia di hadapan Tuhan, atau di sela-sela pembicaraan, atau di ruang imam,
atau orang yang dipercaya dalam hidup rohaninya.
4. Tahap Keempat: Depresi
Bila pasien tidak mampu lagi menghindari penyakitnya, bila dia terpaksa menjalani
pembedahan atau masuk rumah sakit untuk perawatan, bila dia mulai mempunyai
symptom lain atau menjadi lemah dan kurus, maka dia tidak akan dapat tersenyum
dengan mudah lagi. Muncul lah suatu perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan ini
mungkin berhubungan langsung dengan penyakitnya. Mungkin pula perasaan
kehilangan ini berhubungan dengan akibat sakitnya. Tetapi yang paling terasa sebagai
suatu kesedihan adalah rasa duka yang begitu mendalam karena dia harus bersiap-siap
untuk berpisah dengan dunia seluruhnya untuk selama-lamanya. Dia bersedih karena
harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, yang menjadi pusat perjuangan
Selanjutnya muncul persoalan lebih jauh yaitu tentang kapan seseorang dapat
dinyatakan telah mengalami kematian. Meskipun kematian merupakan hal yang fenomenal di
tengah kehidupan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk memutuskan bahwa
seseorang telah mengalami kematian.
Di masa sekarang pun ternyata tidak mudah untuk menentukan apakah seseorang
telah mengalami kematian atau tidak. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menghasilkan
berbagai peralatan canggih dalam dunia kedokteran. Pendapat yang sudah cukup lama dianut
oleh banyak kalangan masyarakat bahwa kematian dapat ditetapkan ketika jantung berhenti
berdenyut dan pernafasan sudah tidak ada lagi, saat sekarang ini sudah tidak bisa dijadikan
tolak ukur dan acuan ketentuan kematian. Dengan bantuan life support system, orang yang
menurut pendapat-pendapat yang dibenarkan di masa lampau dianggap telah mati, bisa
diyakinkan masih hidup, atau setidaknya diperpanjang masa kehidupannya. Namun
kebenaran apakah orang tersebut benar-benar hidup atau hanya efek yang ditimbulkan oleh
life support system bisa menjadi masalah tersendiri. Bisa jadi, orang yang bernapas di
hadapan kita dengan bantuan life support system itu hanyalah mayat, yakni mayat yang
bernapas. Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri, apa tindakan yang harus
diambil terhadap mayat yang seperti itu. Maka perlu adanya definisi yang bisa diterima
secara universal sebagai tolak ukur untuk menentukan kapan dan bagaimana seseorang
dinyatakan telah mati.
Robert M. Veatch dalam bukunya Death, Dying and the Biological Revolution,
sebagaimana yang dikutip oleh Shannon, mengemukakan empat pendekatan untuk
mendefinisikan kematian, yaitu:
1. Pertama, berkaitan dengan jantung dan paru. Definisi ini mencerminkan pengertian
tradisional tentang kehidupan dan kematian. Karena napas dan darah merupakan
bahan yang utama penentu kehidupan. Maka bila pernapasan dan aliran darah tidak
terjadi lagi berarti kematian telah menjadi kenyataan. Tetapi hal ini masih bisa
menjadi pernyataan yang meragukan.
2. Kedua, berkenaan dengan pemisahan tubuh dan jiwa. Definisi ini dilatarbelakangi
oleh perspektif filosofis dan religius. Manusia dipahami sebagai kesatuan tubuh
dengan jiwa, atau kesatuan tubuh dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau
materi. Dari kondisi itu maka tersusunlah makhluk yang disebut manusia. Kematian
berlangsung bila dua unsur ini dipisahkan. Kematian diartikan sebagai terputusnya
kesatuan tubuh dengan jiwa. Definisi ini pun menimbulkan persoalan, yakni kapan
saat terputusnya kesatuan itu.
3. Ketiga, kematian otak. Definisi ketiga berasal dari kriteria untuk koma ireversibel
yang ditetapkan oleh sebuah panitia ad hoc pada Harvard Medical School tahun 1968.
Kriteria ini adalah tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi
atas rangsangan, tidak ada gerak spontan atau pernapasan, tidak ada refleks; dan
situasi ini dipastikan oleh electroencephalogram (EEG). Menurut pandangan ini, otak
adalah tempat terjadinya kematian, karena otak adalah organ yang mengatur semua
sistem organ lain dan merupakan dasar bagi kehidupan sosial seseorang di dunia.
Dengan kematian otak atau ketidaksanggupannya yang ireversibel untuk berfungsi,
maka prasyarat biologis bagi keberadaan seseorang sudah tersingkir. Kematian
seluruh otak (batang otak, cortex dan neocortex) berarti kematian manusia, karena
tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan dan menjalankan fungsi
biologisnya dan karena itu juga tidak akan mampu lagi menjalankan fungsi sosialnya.
4. Keempat, kematian neocortex. Bisa terjadi, khususnya dalam kasus koma ireversibel,
bahwa hanya batang otak seseorang yang masih aktif. Karena batang otak ini
menjalankan sistem saraf kita yang spontan, bisa saja orang itu masih spontan
bernapas dan jantungnya masih berdenyut. Menurut definisi ketiga tadi orang itu
belum mati. Definisi keempat mencari jalan keluar dari situasi ini dengan hanya
menganggap neocortex sebagi dasar bagi definisi kematian. Neocortex dipilih karena
tampaknya merupakan prasyarat biologis bagi kesadaran dan kesadaran diri, yang
menandai manusia sebagai ciri khasnya.
Ilmu kedokteran modern telah mengembangkan cara yang lebih baik untuk
menentukan saat kematian, di antaranya dengan merekam kegiatan otak dengan
menggunakan alat yang disebut electroencephalogram (EEG). Bila gambar EEG kelihatan
datar, berarti semua aktivitas otak dianggap telah berhenti, maka orang yang bersangkutan
dinyatakan mati. Tetapi, seringkali orang dalam keadaan demikian masih bisa dihidupkan
lagi, misalnya dalam kasus hypothermia atau overdosis obat. Dalam dunia kedokteran dikenal
adanya kematian klinis, yakni keadaan yang di mana kegiatan pernafasan, jantung dan reaksi
otak kelihatan berhenti, tetapi resusitasi tidak dikesampingkan. Waktu untuk resusitasi
umumnya lima menit, dan di dalam kasus istimewa seperti hypothermia diberi waktu tiga
puluh menit. Tetapi lewat dari waktu itu akan terjadi kerusakan otak secara total dan diikuti
dengan kematian bilologis, yakni saat ketika sekurang-kurangnya otak sudah kehilangan
fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Kematian biologis bersifat
definitif: kehilangan fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat
direparasi lagi.
Dalam konteks Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) telah
mengeluarkan pernyataan tentang mati. Dalam pernyataan tersebut dikemukakan antara lain
bahwa dalam tubuh manusia ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam penentuan
kematian seseorang yaitu jantung, paru-paru, dan otak, khususnya batang otak.
Jantung merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan
kematian seseorang. Bila jantung berhenti maka akan mengakibatkan berhentinya
pernapasan. Bila jantung berhenti bekerja maka pengedaran darah ke seluruh tubuh tidak
akan berjalan dan pada gilirannya seluruh organ manusia menjadi kaku. Kemudian paru-paru,
oksigen dan anoksemia bagian inilah yang menerimanya. Maka bila paru-paru ini berhenti
bekerja, tidak ada lagi yang menarik oksigen masuk ke dalam tubuh manusia, sementara
oksigen merupakan kebutuhan vital manusia untuk dapat bernapas. Otak dan segala syarafnya
sangat peka terhadap kekurangan oksigen dan anoksemia. Di sinilah terdapat hubungan yang
erat antara otak dan paru-paru. Bila otak/batang otak mati, maka segala syarafnya tidak dapat
lagi bekerja secara otomatis, dan dengan demikian secara total tidak lagi dapat berfungsi.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa dalam perspektif ilmu kedokteran,
kematian terjadi bilamana fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti
secara pasti (ireversibel) atau otak, termasuk di dalamnya batang otak, telah berhenti secara
total. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru dan
jantung atau otak pada suatu makhluk.
Namun demikian, selama proses meninggal dunia tetap berlangsung dalam konteks
teknologis, berbagai definisi ini akan tetap diperdebatkan. Banyaknya definisi tentang mati
memunculkan kesan yang tak terelakkan, yakni seolah-olah mati dari waktu ke waktu selalu
mengalami perubahan. Sementara di pihak lain, proses kematian sejak manusia pertama
hingga kini tidak pernah berubah sampai berakhirnya sejarah manusia. Maka sudah
sewajarnya definisi mati juga tidak berubah-ubah.
Bicara tentang mati atau kematian, tidak luput dari pembahasan tentang Tanatologi.
Tanatologi berasal dari kata thanatos (berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu).
Sehingga tanatologi dapat diartikan sebagai bagian dari ilmu kedokteran yang mempelajari
kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi
perubahan-perubahan tersebut.
Kematian itu sendiri dapat diartikan sebagai berakhirnya proses kehidupan yang dapat
dikenal secara klinis dengan tanda-tandanya berupa perubahan-perubahan pada tubuh
setelahnya. Jenis-jenis dari kematian itu sendiri terdiri atas:
1. Mati Somatis/Mati Klinis/Sistematis
Adalah terhentinya ketiga sistem penunjang tubuh (sistem pernafasan, sistem
kardiovaskular, dan sistem susunan saraf pusat) secara permanen. Bentuk klinisnya
berupa tidak didapatkan refleks-refleks, denyut jantung, gerak nafas, dan bentuk klinis
lain yang berhubungan.
2. Mati Seluler/Mati Molekuler
Adalah berhentinya aktivitas sistem jaringan, sel, dan molekuler tubuh, sehingga
terjadi kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian
somatis. Contohnya seperti pada susunan saraf yang akan mati atau terhenti
aktivitasnya dalam 4 menit, otot akan mengalami mati seluler setelah 4 jam, dll.
3. Mati Suri
Adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan yang didapat dari hasil
penggunaan alat kedokteran sederhana. Dan ketika kita menggunakan alat kedokteran
yang jauh lebih canggih, ketiga sistem penunjang kehidupan tersebut masih terlihat
aktivitasnya. Biasanya terjadi pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik,
dan tenggelam.
4. Mati Serebral
Adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang permanen kecuali batang otak dan
serebelum (otak kecil), sedangkan sistem-sistem penunjang lainnya masih berfungsi
dengan bantuan alat.
5. Mati Otak atau Mati Batang Otak
Bila terjadi kerusakan seluruh neural termasuk batang otak dan serebelum dan bersifat
permanen. Orang dengan kondisi ini dapat dikatakan mati total dan semua alat bantu
untuk penunjang kehidupannya bisa dicabut.
Seseorang dapat dinyatakan telah mati bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian
sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak
merupakan organ pertama yang kehilangan fungsinya secara permanen.
Berikut ini beberapa konsep tentang mati:
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam PP No. 18
tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.
Namun kriteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran,
teknologi resusitasi telah memungkinkan jatung dan paru-paru yang semula terhenti
dapat dipulihkan kembali.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi yang
berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik
kembali.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa
terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini
menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya
organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi
sosial.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu yang
mempunyai
kepribadian,
menyadari
kehidupannya,
kemampuan
mengingat,
mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik
maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam
batang otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa
manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan
medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not
resuscitation).
Yang penting dalam penentuan saat mati di sini adalah proses kematian tersebut sudah
tidak dapat dibalikkan lagi (irreversibel), meski menggunakan teknik penghidupan kembali
apapun.
bisa hidup. Pada saat mati yang kedua, ruh dikeluarkan dari jasad sehingga jasad tersebut
mati, namun ruh tetap hidup dan disimpan di alam barzakh. Jasad yang telah ditinggalkan
oleh ruh akan mati dan musnah di dalam tanah. Pada saat hidup yang kedua, Allah
menciptakan jasad yang baru di hari berbangkit, jasad yang baru akan hidup setelah Allah
memasukkan ruh yang selama ini disimpan di alam barzakh ke dalam tubuh tersebut.
Kehidupan yang kedua ini adalah kehidupan yang abadi, tidak ada lagi kematian atau
perpisahan antara ruh dengan jasad sesudah itu.
Raj. 2:2).
Kematian sebagai lawan kehidupan
Menurut pandangan ini, kehidupan itu selalu ditandai dengan kebaradaan
nafas, sedangkan kematian ditandai dengan ketiadaan nafas. Selama suatu makhluk
35:18).
Kematian sebagai perusak kehidupan
Menurut pandangan ini, kematian merupakan suatu kekuatan perusak
kehidupan manusia. Mazmur menggambarkan kematian sebagai suatu kekuatan
perusak dalam bentuk banjir yang setiap saat mengancam seperti musuh yang
menyerbu masuk melalui jendela untuk membinasakan manusia (Yer. 9:21-22). Hosea
melukiskan kematian sebagai binatang buas yang mengintip dan siap menerkam
mangsanya (Hos. 13:7-8). Kadang pula kematian digambarkan sebagai malaikat
pemusnah, hantu malam, senjata serangga yang mempunyai sengat: berupa dosa,
bermacam tingkatan, ada yang asli (kualitas utama), yang sedang, rendah bahkan yang imitasi
juga banyak.
Gambaran perjalanan sang Roh antara kematian dan kelahiran kembali sebagai
berikut: Roh berpindah dengan badan astral atau suksma sarira. Badan astral ini terjadi dan
19 tattwa atau prinsip, yaitu; 5 organ penggerak, 5 organ pengetahuan, 5 prana, pikiran,
kecerdasan dan citta (bawah sadar) dan ahamkara atau keakuan (ego). Badan halus ini
membawa segala jenis samskara atau kesan, serta wawasan atau kecenderungankecenderungan dan Roh pribadi. Bila buah dan karma- karma baik telah dihabiskan, Ta
menggabungkan dirinya dengan badan fisik yang baru dan berinkarnasi pada tempat di bumi
ini. Yang perilakunya sudah baik mencapai kelahiran baik, dan yang perilakunya jahat ditarik
ke dalam kandungan yang penuh dosa atau kelahiran yang lebih rendah.
Hindu mengenal konsep Purusa-Pradhana, Brahman-Atman, Bhuana Agung-Bhuana
Alit. Pada peristiwa kematian, Atman diharapkan kembali kepada Brahman, dan jasad
(Bhuana Alit) kembali kepada alam (Ehuana Agung). Untuk proses kembalinya Bhuana alit
ke Bhuana Agung, cara yang terbaik adalah dengan membakar (kremasi). Mengapa kremasi
yang terbaik? Menurut Sri Swami Sivananda, kremasi memberikan manfaat yang tertinggi
bagi Roh. Bila badan tidak dibakar, sang Roh/Jiwa masih dihubungkan dengan bumi. Roh
terkatung-katung mengitari badan yang sudah mati disebabkan oleh moha atau keterikatan
pada badan fisik. Perjalanannya ke alam surgawi terhalang karenanya. Jika dibakar, getarangetaran yang dihasilkan dari penguncaran mantra dan persembahan sesajian air mampu
memberikan hiburan dan menyenangkan Roh yang meninggal.
Upacara sapindikarana membantu jiwa melewati Preta Loka menuju Pitri Loka. Ia
lalu diakui di antara para Pitri atau leluhur. Si anak mengelilingi jasad ayahnya tiga kali
sebelum api dinyalakan pada tumpukan kayu bakar dan memercikkan air sekali, penguncaran
mantra, Pergilah! Menyingkir dan berangkat dari sini. Tulang-tulangnya dikumpulkan pada
hari berikutnya dan dibuang ke dalam sungai. Mereka yang mampu akan membawanya ke
Banares atau Hardwar dan membuangnya ke sungai Gangga. Menjadi kepercayaan bahwa
Roh yang fana, tinggal disampaikan ke sungai Gangga yang suci maka Roh akan mencapai
wilayah yang lebih tinggi dari kecemerlangan dan sinar spiritual yang akhirnya bebas. Lewat
kremasi unsur-unsur penyusun jasad dikembalikan ke asalnya, unsur air kembali ke air, api
kembali ke api dan seterusnya.
Shradh adalah upacara sembahyang setahun selepas kematian orang. Ini diadakan
setahun sekali untuk memperingati kepergian mereka. Surga dan Neraka dalam pandangan
hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini
hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian,
sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Surga dan Neraka.
Sesungguhnya konsep Surga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan
menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan
masuk Surga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta
(Brahman).
Menurut Purana Hindu, terdapat empat belas dunia di alam semesta yaitu bagian atas
tujuh dan bagian bawah tujuh.
Ketujuh dunia atas adalah:
1. Bhuh
2. Bhavah
3. Swah
4. Mahah
5. Janah
6. Tapah
7. dan Satyam
Ketujuh dunia bawah adalah
1. Atala
2. Vitala
3. Sutala
4. Rasatala
5. Talatala
6. Mahatala
7. dan Patala.
Daerah yang dikenal sebagai Bhuh adalah bumi di mana kita tinggal, sedangkan Swah
adalah dunia surgawi tempat di mana setelah kematian untuk menikmati pahala mereka di
bumi.
Bhuvah adalah wilayah antara keduanya. Janah, Tapah, dan Satyam merupakan
Brahmaloka, atau surga tertinggi, di mana jiwa setelah kematian bertemu secara rohani
dengan Tuhan pribadi, dan pada akhir siklus mencapai pembebasan, meskipun beberapa
kembali ke bumi lagi.
Dunia Mahah terletak antara Brahmaloka dan Bhuh, Bhuuah, dan Swah. Patala, yang
terendah dari tujuh dunia bawah, adalah wilayah di mana jiwa jahat akan tinggal setelah
kematian dan menerima hasil dari tindakan yang tidak benar mereka di bumi.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kematian bagi umat Buddha sesungguhnya
bukanlah akhir dari segalanya, namun kematian berarti putusnya seluruh ikatan yang
mengikat kita terhadap keberadaan kita sekarang, dan karenanya, semakin kita tidak terikat
pada dunia ini dan belenggunya, semakin siap kita dalam menghadapi kematian, dan pada
akhirnya semakin dekat kita melalui jalan yang menuju pada Keadaan Tanpa Kematian ,
inilah salah satu nama dari Nibbana: amata atau Keadaan Tanpa Kematian.
Tiga Jenis Kematian Dalam Agama Buddha
1. Khanika Maraoa
Kematian atau padamnya unsur-unsur batiniah dan jasmaniah pada tiap-tiap saat akhir
(bhanga). Sering disebut dengan kematian sesaat. Dari pengertian secara hakikat
dimana kematian adalah putus dan padamnya kombinasi atau perpaduan batinjasmani secara berulang yang terjadi pada setiap saat, ini berarti kematian tidak hanya
berhubungan dan terjadi pada saat habisnya usia suatu makhluk, tetapi juga
berhubungan dan terjadi pada saat hidup. Hal ini dapat dilihat dan diketahui dengan
memperhatikan unsur batin dan jasmani yang ada secara saksama.
Setiap waktu sel-sel tubuh manusia secara bergantian mengalami kerusakan dan
kemudian mati. Namun karena adanya penyebab berupa nutrisi dari makanan, sel-sel
baru kembali muncul menggantikan yang telah mati. Inilah mengapa jasmani
dikatakan padam atau hancur secara berulang-ulang setiap momen.
Begitu juga dengan batin. Perasaan yang merupakan salah satu unsur batin selalu
muncul dan padam. Perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan , dan netral selalu
datang dan pergi silih berganti.
Saat mata melihat sesuatu yang disukai maka perasaan senang akan muncul, namun
lambat laun kemudian padam. Saat melihat sesuatu yang lain yang menyenangkan,
maka perasaan senang akan hal yang lain tersebut muncul, menggantikan perasaan
senang yang terdahulu. Begitu seterusnya, selama adanya penyebab munculnya
perasaan yaitu kesan melalui kontak dari indera, maka perasaan akan muncul.
Demikian juga perasaan tidak senang. Begitu juga dengan unsur batin yang lainnya
seperti bentuk-bentuk pikiran, pencerapan, dan kesadaran akan mengalami
kemunculan, berlangsung, dan padam. Inilah mengapa batin dikatakan padam atau
hancur secara berulang-ulang setiap saat.
Dengan putus dan padamnya kombinasi atau perpaduan batin-jasmani secara berulang
yang terjadi pada setiap saat, serta diikuti dengan munculnya kombinasi atau
perpaduan batin-jasmani yang baru maka pada hakikatnya semua makhluk telah
mereka yang melakukan perbuatan buruk akan dilahirkan di alam yang berkondisi
buruk dan tidak membahagiakan.
3. Samuccheda Maraoa
Kematian mutlak atau terakhir yang merupakan terputusnya daur penderitaan bagi
para Arahat. Arahat adalah sebuah sebutan bagi mereka yang telah mencapai tingkat
kesucian batin tertinggi dan yang telah memadamkan tanha dan avijja yang
merupakan penyebab dari kelahiran kembali. Dengan telah memadamkan tanha dan
avijja maka para Arahat tidak akan terlahir kembali setelah masa kehidupannya
berakhir.
Dalam Ajaran Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis
besarnya terbagi atas: empat alam kemerosotan (apayabhumi), satu alam manusia
(manussabhumi), enam alam dewa (devabhumi), enam belas alam brahma berbentuk
(rupabhumi), dan empat alam brahma nirbentuk (arupabhumi).
Kematian tetap menjadi sebuah ketakutan bagi manusia dan hal ini menjadi kelekatan
dalam hidup manusia. Itulah mengapa begitu banyak orang yang begitu mencintai
hidupnya bahkan sering pergi untuk berdoa dan menyatakan harapan mereka agar
jiwa mereka diterima di surga. Sebagai sebuah cara untuk mengatasi kelekatan
tersebut adalah dengan melupakan kepentingan diri dan berusaha untuk menolong
orang lain dengan pancaran kasih sayang yang keluar dari dirinya sehingga berguna
bagi kemanusiaan.
Kematian cepat atau lambat akan datang dan semua orang akan mengalaminya,
semestinya tidak harus menjadi ketakutan bagi mereka yang sudah bersih baik dalam
pikiran dan perbuatan. Memang perbuatan kita pada masa lampau akan mengikuti
kelahiran berikutnya, namun hal ini bisa dihindari dengan mengumpulkan jasa-jasa
kebaikan. Oleh karena itu, pentinglah untuk tidak memaknai hidup ini dengan suram
sekalipun kematian tetap misteri bagi manusia karena hal ini akan dialami oleh semua
manusia.
Keyakinan Buddha Terhadap Akhirat
Buddha menerima ajaran-ajaran dasar reinkarnasi dan karma dari agama Hindu, serta
gagasan bahwa tujuan utama kehidupan adalah untuk keluar dari siklus kematian dan
kelahiran kembali. Buddha menegaskan bahwa apa yang membuat kita terikat pada siklus
kematian dan kelahiran kembali adalah hasrat, keinginan dalam arti hasrat atau
mendambakan apapun di dunia. Oleh karena itu, tujuan keluar dari siklus reinkarnasi harus
melibatkan pembebasan diri dari keinginan. Nirvana adalah istilah Buddhis untuk
pembebasan. Nirvana secara harfiah berarti hilang, dan mengacu pada hilangnya semua
keinginan, sebuah kehilangan yang memungkinkan seseorang untuk menjadi terbebaskan.
Agama Buddha berangkat dari Hindu yang paling radikal dalam doktrin tentang
anatta, yaitu pemikiran bahwa individu tidak memiliki jiwa yang tetap. Bukannya jiwa
yang stabil, individu terdiri dari kumpulan kebiasaan, kenangan, sensasi, keinginan, dan
sebagainya, yang bersama-sama menipu ke dalam pemikiran kita. Dalam kefanaannya, ini
adalah diri palsu yang terikat bersama sebagai sebuah unit, dan bahkan bereinkarnasi dari
tubuh ke tubuh. Dalam Buddhisme, serta dalam Hinduisme, hidup dalam tubuh jasmani
dipandang negatif, sebagai sumber segala penderitaan. Oleh karena itu, tujuannya adalah
untuk mendapatkan pelepasan. Dalam ajaran Buddha, ini berarti meninggalkan rasa palsu diri
sehingga kumpulan kenangan dan impuls melebur, tanpa meninggalkan apa-apa untuk
reinkarnasi dan karenanya tidak mengalami penderitaan.
Dari perspektif masa kini, dunia yang ditegaskan masyarakat Barat, visi Buddha tidak
bisa tetapi tampaknya jelas tidak menarik: Tidak hanya kehidupan ini digambarkan sebagai
tidak menarik, prospek nirwana, di mana orang akan larut ke dalam ketiadaan, bahkan
tampaknya kurang diinginkan. Buddha modern mungkin menanggapi, bahwa reaksi kita
untuk dihadapkan dengan sisi gelap kehidupan hanya menunjukkan bagaimana kita terisolasi
dari rasa sakit dan penderitaan yang sangat mendasar bagi eksistensi manusia.
Setelah kematian, menurut agama Buddha Tibet, jiwa pergi berjalan melalui proses
yang berlangsung selama empat puluh sembilan hari yang terbagi dalam tiga tahap yang
disebut Bardo. Di akhir bardo, orang baik masuk nirwana atau sebaliknya kembali ke bumi
untuk kelahiran kembali.
Sangat penting bahwa individu yang meninggal dijaga sepenuhnya sadar selama
mungkin karena pikiran seseorang saat melewati kematian sangat mempengaruhi kondisi
pengalaman kematian, jika seseorang gagal untuk mencapai nirwana, maka perjalanan
berikutnya adalah inkarnasi.
Tahap salah satu Bardo (disebut Chikai Bardo), bardo kematian, dimulai saat
kematian dan berlanjut dari setengah hari sampai empat hari. Ini adalah periode waktu yang
diperlukan untuk keberangkatan untuk menyadari bahwa mereka telah melepaskan tubuh
fisiknya. Kesadaran yang meninggal memiliki pengalaman ekstatik dari cahaya yang putih
dan terang pada saat kematian. Setiap orang setidaknya melihat sekilas cahaya. Semakin
berkembang secara spiritual, maka semakin mampu ia melampaui ke tingkat yang lebih
tinggi dari realitas alam roh. Namun rata-rata orang, datang ke tempat yang lebih rendah di
antara cahaya sekunder yang terang.
Tahap kedua (disebut Chonyid Bardo), adalah bardo dari Luminous Mind, yang
meninggalkan halusinasi akibat karma yang dibuat selama hidup. Kecuali jiwa yang sangat
berkembang, individu akan merasa bahwa mereka masih berada dalam tubuh. Arwah
kemudian menemukan berbagai penampakan, dewa-dewa yang damai dan murka, yang
sebenarnya adalah personifikasi dari perasaan manusia, dan bahwa untuk berhasil mencapai
nirwana, arwah harus menghadapi pertemuan tanpa berkedip. Hanya individu paling
berevolusi dapat melewati pengalaman bardo sekaligus dan transit langsung ke surga.
Tahap tiga (disebut Sidpa Bardo), bardo kelahiran kembali, yang adalah proses
reinkarnasi.
mengandung dua kelemahan. Yang pertama, pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi otak,
nafas dan jantung telah berhenti, namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena
pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. Yang kedua, dengan adanya
kata-kata denyut jantung telah berhenti, maka ini justru kurang menguntungkan untuk
transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan
mengurangi viabilitas jaringan/organ.
Menurut pernyataan IDI 1988, seseorang dinyatakan mati bila a) fungsi spontan
pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau b) telah terbukti terjadi mati batang
otak. Secara klasis dokter menyatakan mati berdasarkan butir a tersebut dan ini dapat
dilakukan di mana saja, di dalam atau di luar rumah sakit.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya
kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya
terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paruparu, jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi
oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara
permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya
konsumsi oksigen.
Hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan
dikurang-kurangi (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi
apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat. Sebagai hak yang
dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atasnama
Tuhan sekalipun.
Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa, Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (1). Berikutnya
UUD menyatakan, Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. (2)
Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pandangan
tentang hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui
apa yang dikenal oleh para filsuf dengan Hukum Kodrat, sebagaimana dijelaskan di atas,
yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang
tidak dapat dirampas dan dikurang-kurangi (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama
apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau dalam
situasi darurat.
REFERENSI
Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. 1999. Jakarta: EGC.
Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. 1995. Medan: Fakultas Kedokteran USU.