You are on page 1of 54

PENYUSUNAN RENCANA STRATEGIS

DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH

I.

Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan Dan Pusat Pembudayaan

Dalam pengelolaan pendidikan menganut konsep demokratisasi sebagaimana


dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan
(pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan,
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk
mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni pandangan
hidup, sikap dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut
bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan
dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di
luar sekolah, meski telah memiliki rencana dan program namun pelaksanaannya relatif
longgar dengan berbagai pedoman yang lebih fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi lokal. Pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang
dirumuskan secara baku dan tertulis.
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan
merupakan pembudayaan (encultural), suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu
hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pernyataan ini, maka praktik
pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat (Zamroni, 2000:82).
Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemampuan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat. Pembinaannya pun harus oleh semua guru. Semua
guru harus menjadi sosok teladan yang berwibawa bagi para siswanya.
Kebijakan Strategis Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan
1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management adalah penyerasian
sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua
kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah dalam mencapai tujuan
mutu sekolah dalam pendidikan nasional.
Makna dari MBS yaitu otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk
mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian)
yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai
dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan


pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan
yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan
berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan
melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru,
karyawan, siswa,orang tua, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam
proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan
sekolah. Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan
merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab
dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Dengan demikian semakin besar
tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar
pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula
dedikasinya.
Melalui MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam
mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan
sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana
peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga
memiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang berkepentingan dengan
sekolah (Anonim,2000).
Melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah
mandiri, di antaranya sebagai berikut : i) pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik, ii)
perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar
sekolah, iii) regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana, iv) peranan para pengawas bergeser
dari mengontrol menjadi mempengaruhi dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari
menghindari resiko menjadi mengelola resiko, v) akan mengalami peningkatan manajemen,
vi) dalam bekerja akan menggunakan team work , vii). pengelolaan informasi akan lebih
mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah, viii) manajemen sekolah akan lebih
menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih
sederhana dan efisien.
2. Pendidikan Berbasis Pada Partisipasi Komunitas (Community Based Education)
Adanya reformasi yang menimbulkan tuntutan demokratisasi, yang mengarah kepada
dua hal yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Ini
artinya peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat.
Demikian juga peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah
berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih
besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini
harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan
paradigma lama yang sentralistis.
Dengan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, maka pendanaan pendidikan
menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan
masyarakat (pasal 46 ayat 1 UU Siskdiknas). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah
daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal
31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 - ("Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional") - (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji
guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49
ayat 2).
Sehubungan dengan hal tersebut konsep pendidikan berbasis pada partisipasi
masyarakat layak diterapkan, salah satu wujud kerjasama sekolah dengan masyarakat adalah
pembentukan Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran
serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan
pendidikan di satuan pendidikan baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah
maupun jalur pendidikan luar sekolah.
Komite sekolah berkedudukan di satuan pendidikan. Komite sekolah dapat terdiri
dari satu satuan pendidikan, atau beberapa satuan pendidikan dalam jenjang yang sama atau
beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang tetapi berada pada lokasi yang berdekatan,
atau satuan pendidikan yang dikelola oleh suatu penyelenggara pendidikan.
Komite sekolah bertujuan untuk mewadahi dan menjalankan aspirasi dan prakarsa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan dan meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan serta menciptakan suasana dan kondisi
trasnparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang
bermutu di satuan pendidikan.
Peran komite sekolah sebagai pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol dan mediator.
Keanggotaan Komite Sekolah terdiri dari unsur masyarakat dan dewan guru/penyelenggara
sekolah/aparat desa dengan anggota sekurang-kurangnya 9 orang.
Tata hubungan antara komite sekolah dengan satuan pendidikan Dewan Pendidikan dan
institusi lain yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pendidikan bersifat koordinatif.
3. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education)
Agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yakni
memiliki keberanian dari kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan yang wajar
tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya
diperlukan pendidikan yang menerapkan prinsip pendidikan berbasis luas (Broad Based
Education) yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau keterampilan saja tetapi
juga belajar teori dan mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupannya.
Pendidikan dengan berorientasi pada kecakapan hidup (Life Skill) bertujuan untuk
mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan
problema yang dihadapi dan memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas serta
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah dengan memberi peluang
pemanfaatan sesuai dengan yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah.
Kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, kecakapan hidup dapat
dipilah menjadi kecakapan mengenal diri (kemampuan personal) kecakapan berfikir rasional,
kecakapan sosial kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.
Prinsip Pelaksanaan pendidikan life skill adalah :
a. Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini
b. Tidak menurunkan pendidikan menjadi pelatihan terintegrasi
c. Penerapan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat
d. Mengarahkan peserta didik agar hidup sehat dan berkualitas, memperoleh wacana
pengetahuan yang luas dan memiliki keinginan untuk mampu hidup layak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

4. Pengelolaan sekolah Yang Efektif Dan Efisien


Pengertian tentang sekolah efektif dikemukakan oleh Cheng (1994) yakni sekolah
efektif menunjukkan pada kemampuan sekolah dalam menjalankan fungsinya secara
maksimal, baik fungsi ekonomis, fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya
maupun fungsi pendidikan. Fungsi ekonomis sekolah adalah memberi bekal kepada siswa
agar dapat melakukan aktivitas ekonomi sehingga dapat hidup sejahtera. Fungsi sosial
kemanusiaan sekolah adalah sebagai media bagi siswa untuk beradaptasi dengan kehidupan
masyarakat. Fungsi politis sekolah adalah sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan
tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara. Fungsi budaya adalah media untuk
melakukan transmisi dan transformasi budaya. Adapun fungsi pendidikan adalah sekolah
sebagai wahana untuk proses pendewasaan dan pembentukkan kepribadian siswa.
Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah
yang efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut (i) visi dan misi yang jelas dan
target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal, (ii) Sekolah
memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.(iii) Lingkungan sekolah aman, tertib,
dan menyenangkan bagi warga sekolah.(iv) Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan
harapan yang tinggi untuk berprestasi secara optimal (v) Sekolah memiliki sistem evaluasi
yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.
Disamping efektif sekolah juga efisien dalam penyelenggaraan sekolah. Efisiensi
dalam pendidikan artinya pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas sehingga
mencapai optimalisasi yang tinggi. Sekolah akan dikatakan efisien jika tercapai: i)
penurunan DO dan mengulang kelas, ii) pemetaan mutu sekolah berdasarkan pada SPM
(Standar Pelayanan Minimal) dan Manajemen, iii) Pengembangan sistem penilaian hasil
belajar (penilaian kelas dan ujian akhir sekolah), iv) pengawasan dengan prinsip transparansi
dan akuntabilitas publik.
II.

IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKAN TERHADAP MODEL


PERENCANAAN PENDIDIKAN DALAM RANGKA IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai


kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah
manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis
daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk UndangUndang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan
menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pedoman
pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah
bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam
bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru,
yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal,
paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan
pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh
Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi daerah :
lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas
(perguruan tinggi), dan lainnya yang terintegrasi dalam pendidikan nasionalPIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta


berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional. Selain itu,
implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan
pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.
Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan
yang serius. Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara
sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi
memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam
pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya
akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.
Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari kesuksesan
dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah diotonomikan di daerah.
Sayangnya, kata Abdul Madjid dalam tulisannya Pendidikan Tanpa Planning (Kedaulatan
Rakyat, 2006), bahwa rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum
komprehensifnya pendekatan perencanaan yang digunakan. Perencanaan pendidikan,
katanya, hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen tanpa makna sehingga sering
terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Dapat juga terjadi, seperti
dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa pembuatan implementasi kebijakan
berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para eksekutif tanpa penelitian lebih
dahulu. Kemungkinan resikonya beragam, misalnya membuat kesalahan yang sama dengan
eksekutif terdahulu, tidak realistis, tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat,
sampai ke dugaan manipulatif-koruptif .
Konsep Desentralisasi Pendidikan
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat,
maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau
menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan
desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah
tersebut berasal dari bahasa Latin de, artinya lepas dan centrum, yang berarti pusat,
sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32
tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania
Andria & Yulia Indrawati Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagai systematic and
rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to
allow multisectoral decision making as close as possible to problem area. Lain halnya
dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai delegations of
responsibilities and powers to authorities at the lower levels.
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan
demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan
demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini
diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah
pedesaan dimana sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat
karena jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan
sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal. Sementara itu,
Kotter (1997) dalam buku Leading Change, menyatakan bahwa lembaga yang
terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat
memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah,
(2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi,
lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi
(1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat
yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.
Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas pengambilan
keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes dan
konstruktif.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang
pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk
melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske
(Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga
yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan
segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta
penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite
(1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai the devolution of authority from
a higher level of government, such as a departement of education or local education
authority, to a lower organizational level, such as individual schools. Sementara itu,
menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen
untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan
sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk
memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya,
baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang
diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas
(kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah
yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi
administrasi (administrative decentralization).Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal
tingkat kewenangan yang dilimpahkan.
Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda
menerima kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang
otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk
masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem
pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangankewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan yang
dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan
kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang bersifat
implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini,
pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro,
sedangkan pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan,
mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai
pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan
desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of schools, (b) the
belief that local participation is a logical form of governance in a democracy, dan (c) in
relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic
growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat alasan rasional diterapkannya sistem


desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan
stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah,
sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk menumbuhkan
kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat
lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen
lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan
antusiasme guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti
meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat
pembangunan ekonomi.
Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi pendidikan di Indonesia
dikemukakan oleh Nuril Huda (1998:3-5). Ia berpendapat bahwa desentralisasi pendidikan di
Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi
masyarakat lokal. Ia juga memberi alasan rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi
pendidikan didesentralisasikan, yaitu:
Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara mendemokratiskan manajemen urusanurusan publik (politically decentralization is a way of democratizing the
management of public affairs). Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban
pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD mengawasi
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah. Dengan melibatkan wakil
rakyat di dalam urusan pendidikan, diharapkan akan mendukung partisipasi
masyarakat yang lebih besar di dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam
memecahkan masalah yang berhubungan dengannya.
Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di dalam sebuah
wilayah yang luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to manage
education efficiently in a vast area consisting of islands). Masalah komunikasi dan
transportasi antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya pada masa lalu, telah
menjadi pertimbangan penting untuk desentralisasi. Lagi pula, sentralisasi akan
membuat sulit untuk memecahkan masalah - masalah perbedaan-perbedaan regional
dan untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus mereka. Perbedaanperbedaan budaya dan tingkat perkembangan masing-masing daerah menyumbang
perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk
menyelesaikan masalah.
Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi dan efektifitas dalam
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan
(efficiency and effectiveness in handling problems related to the implementation of
education). Dan, alasan keempat, untuk mengurangi beban administrasi yang
berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of
administration of the central government).
Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung Marijan
(Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia justru
sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Sedangkan
Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum sebagai jalan keluar
bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal.
Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari asumsi pemberian sebagian
kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka
mencapai tujuan nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi
kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1)
ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

(4) eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga
kultural.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan
keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan
integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi,
kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka
memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif
dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas
yang akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.
Model-Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda membawa konsekuensi pada
model pelaksanaannya. William (Depdiknas, 2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga
model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi
(devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan
pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga
lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh.
Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk lembaga setingkat
direktorat di daerah yang dapat melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan
kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom.
Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah
memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi
pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi
pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang diberikan ini
lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan
pemegang kekuasaan di pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan.
Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model
delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang
dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar
kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus
dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi
penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan kewenangan itu,
termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai membantu dan
menguntungkan mereka.
Rondinelli (Husen & Postlethwaite, 1994:1412) menambahkan satu kategori lagi,
yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan
pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi
penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61), dalam kasus pembicaraan
desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung
mengambil model yang terakhir, swastanisasi. Selain tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk
ini terkesan hanya sekedar pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah
menjadi urusan masyarakat.
Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model desentralisasi
pendidikan, yaitu (1) manajemen berbasis lokasi (site-based management), (2) pengurangan
administrasi pusat, dan (3) inovasi kurikulum. Pada model manajemen berbasis lokasi
dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah.
Model pengurangan administrasi pusat merupakan konsekuensi dari model pertama.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Pengurangan administrasi pusat diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada
masing-masing sekolah. Model ketiga, inovasi kurikulum menekankan pada inovasi
kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua
peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau
sekolah yang bervariasi. Di antara ketiga model ini, model manajemen berbasis lokasi yang
banyak diterapkan, untuk meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan
kepada guru-guru, orang tua, siswa dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma
pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang
saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top
down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi
orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya
peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi
non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren, maupun
dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).
Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang Materi
Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari
sentralistik ke desentralistik dan orientasi pendekatan dari atas ke bawah (top down
approach) ke pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach) sebagaimana yang
sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru pendidikan
lainnya, yaitu dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi, dari Manajemen Tertutup
(Closed Management) ke Manajemen Terbuka (Open Management), dan pengembangan
pendidikan, termasuk biayanya, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke
sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran
paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.
a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh
kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud.
Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota,
bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-kebijakan
yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan
sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah
ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi,
potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.
Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik
dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas
Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan
juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada
rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota
dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah,
mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan
tersebut, Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah
Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masingmasing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam
bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masingmasing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis
masyarakat
Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan
dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses
demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di
unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan
berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolahsekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.
b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan
dengan mekanisme pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) Berbagai
kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh
Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam
hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan
oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah.
Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan
dilakukan dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach).
Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi,
misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan, dan
sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai
kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi unjuk rasa para
guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang
tidak sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya
diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan
lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan
teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif,
sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul
Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam
pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang
lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di
Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik
lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah
kebanyakan terpisah-pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri,
seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik.
Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan
budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif,
dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan
holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan
(connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

10

Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu


bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak
mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagianbagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu
interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non linier (Hent, 2001). Interdependensi adalah
saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh
berkembang tanpa yang lain. Ada saling ketergantungan antara guru dengan siswa, antara
siswa dengan siswa lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain.
Interrelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara
unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan
yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini
bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia, sebagai
pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam sistem itu. Dalam
pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila terlibat, ikut aktif didalamnya.
Non linier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya.
Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski kita
telah menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala macam
nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan
yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan
bila langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada
keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada
penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan
memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara
menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua
mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga
mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan banyak segi.
Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan
dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan
IQ, SQ, dan EQ secara integral.
Prinsip proses menjadi mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang
menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan,
tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan
sangat penting. Proses itu terus-menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru.
Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa
diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan
tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami sendiri,
berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa dibantu sungguh
menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
d. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara
kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari
pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah
terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola tanpa
mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan
partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan
tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak
mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya
orang tua dan masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan nasional yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

11

terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta
didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam
pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong
partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di
tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada
keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah.
Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan,
akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara
terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia
persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi
calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil
pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah
hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan
kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan
pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan
melalui pemungutan suara.
e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.
Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi,
masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama
institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi
kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat
berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan
tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda
bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi
pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang
terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor
swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi
kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau
berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan anak-anak kurang beruntung
(miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan sebagainya).
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai
kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan,
pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment) dan
pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).
f. Dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi.
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan
dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan
(regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh
Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-sekolah,
dalam iklim birokrasi berlebihan. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan
adanya kasus birokrasi yang berlebihan dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan
kekuasaan berlebihan dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini
telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah.
Dalam era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan jalan memperpendek
jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

12

atas dasar kekuasaan atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme
dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi.
Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan aturan-aturan
kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan
kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk
gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk
sekolah.
g. Dari manajemen tertutup (close management) ke management terbuka (open
management).
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk manajemen tertutup, sehingga tidak
transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.
Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan manajemen terbuka dari
pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan
kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan
secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka
untuk menerima kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
h. Dari pengembangan pendidikan terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah
berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan
masyarakat (stakeholders)
Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar
menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang
tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa
gaji honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lain-lain,
diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan
masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak
bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah
Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan
pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari
Dinas Propinsi.
Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan
pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma
baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma
dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh lima
aspek, yaitu sifat, pendekatan, kewenangan pengambilan keputusan, produk serta pola
perencanaan anggaran.
Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada tingkat
daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk kegiatan yang
wajib dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan
kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam pelaksanaannya telah dituangkan dalam
bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
Pada tingkat Departemen, Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen Rencana
Strategis (Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai tujuan program
pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan Menteri.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

13

Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program pembangunan tahunan yang
disingkat Propeta yang dituangkan dalam Keputusan Menteri, sesuai dengan lingkup tugas
dan kewenangan masing-masing
Selain itu, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan
prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan
masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah
Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah yang baik
dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang makro, tetapi juga
dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah masing-masing
sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Perencanaan program
pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian atau fotokopi dari perencanaan program
tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan
mandiri sehingga beragam, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan
nasional.
Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma
dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit sektoral menjadi
integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran
pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan,
Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah
otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana
Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu
meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana perbantuan,
pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat. Dengan demikian, telah terjadi perubahan
sumber anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamakfungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor.
Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang
sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di bidang
pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis kegiatan, bahkan
dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi Daerah dapat dan harus
menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan sampai dengan alokasi
anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan
kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditetapkan.
Sementara dari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk
perencanaan pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan
pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk
perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan
pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program, sasaran dan
kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan pembangunan Daerah secara
terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara spesifik sesuai dengan kemampuan
dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas
nasional, dan program-program strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dampak dari pergeseran paradigma dari keempat aspek tersebut di atas juga
membawa dampak pada perubahan pola perencanaan anggarannya. Pola perencanaan
anggaran menggunakan pendekatan integratif, sehingga pola dalam merencanakan anggaran
selain mengacu pada sifat prosedural juga menggunakan prinsip efisiensi dengan berorientasi
outcomes karena tingkat keberhasilan pendidikan dikontraskan dengan tingkat keberhasilan
sektor lain. Pola manajemen anggaran yang tepat adalah manajemen strategik anggaran yang
lebih berorientasi kepada pencapaian program dan upaya pengembangan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

14

Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota


Dalam upaya perumusan dokumen-dokumen perencanaan pendidikan tersebut, Slamet
P.H. (2005), mengemukakan sebuah model proses perencanaan pendidikan Kabupaten/ Kota
sebagai berikut

Gambar 1.1
Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Model proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus memberi gambaran mengenai
tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya adalah
sebagai berikut.
1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan
eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya:
Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb),
tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan,
pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan lingkungan strategis harus
diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan
tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.
2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam
kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi,
dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya
pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini.
3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang dituangkan
dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya
pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan
kabupaten/kota.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

15

4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi
penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana
jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan
kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen
pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.
5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun
(rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya
nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan
kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap
hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan
sesuai dengan yang direncanakan.
Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-tahap perencanaan
pendidikan di atas bisa digambarkan dalam bentuk sebagai berikut.

Gambar 1.3.
Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah
perencanaan dibuat dalam rangka mengubah situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan)
menuju ke situasi pendidikan yang diharapkan di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata
kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program pendidikan.
1. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu
ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang
memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti
suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen.
Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil
keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau
terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).
Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang
dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

16

demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilainilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori,
kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi dan kebijakan etik.
Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara kebijakan substantif dan
kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus
operasionalisasi dari kebijakan substantif.
Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy)
yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang
dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau
petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai
tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai tujuan
organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut.
Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan
memperhatikan kebijakan yang sederajat yang lain;
Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;
Kebijakan yang dibuat harus adil;
Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;
Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah ada;
Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor dan
dievaluasi;
Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar dan up to date;
Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan
terlebih dulu.
Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984) menjelaskan bahwa Policy is sometimes
used in a narrow sense to refer to formal statements of action to be followed, while others use
the word policy as a synonym for words such as plan or programme. Many writers too
do not distinguish clearly between policy-making and decision-making. Selanjutnya
dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan dengan konsep lain, yaitu :
Goals : desired ends to be achieved.
Plans or proposals : specified means for achieving goals.
Programmes : authorized means, strategies and details of procedure for achieving
goals.
Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and evaluate
programmes
Effects : measurable impact of programmes
Laws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to policies.
Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather than
random or chance behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than separate
discrete decision; usually policy development and application involves a number or related
decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose
and whether they are explicitly stated. Policies may be either positive or negative in the sense
that they can have as their basis decisions to take particular action in response to a problem,
as well as developing simply from failure to act, or from decisions to delay action. Policies
include substantive policy as well as procedural or administrative policy.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya
perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan
pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai
atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

17

Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat dicapai secara efektif
dan efisien.
2. Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang
telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan
pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana
melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan
eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang bermanfaat bagi
penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk
merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku
pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan,
pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan.
Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan
dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan
pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah, oleh
karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang
serius sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah
kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang
menggunakan teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh
organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa
dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi dan programprogramnya, serta peta urutan pelaksanaannya
3. Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan
pendidikan yang telah ditetapkan.
4. Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
a. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan
yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian
kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh
haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib
berupaya untuk memenuhinya.
Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator
keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan akses
pendidikan sebagai berikut.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

18

Tabel 1.4
Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan

Studi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan
pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R Tilaar,
1994: 29) yang berjudul Equality of Educational Opportunity. Coleman membedakan secara
konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif, dengan pemerataan
pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif lebih menekankan pada
kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif
ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah kepada murid-murid terdaftar agar
memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.
Komponen-komponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas
diungkapkan oleh Schiefelbein dan Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka
menggunakan landasan konsep pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif
daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan konsep
mereka, pemerataan pendidikan atau equality of educational opportunity tidak hanya terbatas
pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah (pemerataan
kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi lebih dari itu, murid tersebut
harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk, belajar, lulus, sampai dengan
memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti dalam kehidupan di masyarakat.
Pertama, pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access). Konsep ini
berkaitan erat dengan tingkat partisipasi pendidikan sebagai indikator kemampuan sistem
pendidikan dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak usia sekolah untuk
memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan ini dapat dikaji berdasarkan dua konsep
yang berlainan, yaitu pemerataan kesempatan (equality of access) dan keadilan (equity) di
dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan.
Kedua, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival).
Konsep ini menitikberatkan pada kesempatan setiap individu untuk memperoleh keberhasilan
dalam pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis ini mencurahkan perhatian pada tingkat
efisiensi internal sistem pendidikan dilihat dari beberapa indikator yang dihasilkan dari

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

19

metode Kohort. Metode ini mempelajari efisiensi pendidikan berdasarkan murid-murid yang
berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang mengulang kelas dan yang putus sekolah.
Ketiga, pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar
(equality of output). Dilihat dari sudut pandang perseorangan equality of output ini
menggambarkan kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kemampuan dan
ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa membedakan variabel suku bangsa, daerah,
status sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep output pendidikan biasanya diukur dengan
prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu sendiri, konsep ini
menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan sumber
daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan
mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam
hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam
kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan
pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan
dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan
disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi
pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya
meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja,
fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan status attainment analytical
model, dan sebagainya.
Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan
keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk
siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi daerahdaerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM, peningkatan angka melanjutkan,
pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.
b. Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang
menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas
pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal
dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran dunia pendidikan,
seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan
faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini haruslah saling menunjang
dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu implikasi langsungnya ialah pada
perlunya program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan
prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau
masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar
lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan
bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga
pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas pendidikan,
pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas,
siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di
tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan model pembelajaran
(pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran kontektual,
pembelajaran kooperatif dan sebagainya).
c. Efisiensi pendidikan;
Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

20

internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan
input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah.
Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya yang digunakan untuk
menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan nonekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh
perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio
keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah,
dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.
d. Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs),
baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang
meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya,
program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-siswa yang tidak
melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan jumlah
siswa yang terserap di dunia kerja.
e. Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit
organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan
(UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan
kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan. Pengembangan kapasitas tingkat
makro meliputi : (1) arahan-arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol.
Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam merumuskan visi, misi,
tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan pendidikan, manajemen pada semua aspek
pendidikan (kurikulum, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi
manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan,
pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta
struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan
mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia
(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan,
perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan, pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh
kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu antara
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-masing memiliki pengaruh
terhadap pendidikan anak.
Khusus mengenai kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dalam
kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan
pendukung sebagai berikut.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

21

Tabel 1.5
Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya saing

Dalam arah pengembangan manajemen Dikdasmen juga dikemukakan mengenai kebijakan


penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik, yang konsep, indikator
keberhasilan, pendukung dan programnya sebagai berikut.
Tabel 1.6
Kebijakan Penguatan Tatakelola, Akuntabilitas dan Pencitraan publik

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

22

III.

LANDASAN KEBIJAKAN PERENCANAAN STRATEGIS PENGEMBANGAN


SEKOLAH

Sebagai pengelola satuan pendidikan, harus mendasarkan semua kebijakan yang dibuat
dan dilaksanakan di sekolah pada semua kebijakan pendidikan yang berlaku baik secara
nasional, propinsi, maupun kebupaten/kota. Adalah suatu keharusan bagi setiap pemimpin
satuan pendidikan untuk memahami dengan seksama setiap kebijakan yang berlaku di bidang
pendidikan itu. Pemahaman ini akan sangat membantu sekolah untuk memiliki wawasan
dalam skala nasional maupun regional dan lokal, kemudian mewujudkannya dalam tindakantindakan nyata pada tingkat satuan pendidikan. Dengan demikian, setiap langkah dan
kebijakan yang dilakukan di sekolah benar-benar terilhami dan didasari oleh kebijakan
nasional di bidang pendidikan dan akan mengarah pada cita-cita pendidikan nasional yang
dituangkan dalam visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional. Peraturan perundang-undangan
utama yang harus dipahami antara lain: Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Terus mengikuti perkembangan kebijakan pendidikan lainnya baik
dalam skala nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota. Berikut diuraikan hal-hal pokok
yang diatur dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut.
A Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Uraian singkat berikut menyajikan hal-hal pokok yang tercantum dalam UU Sisdiknas
nomor 20 tahun 2003 yang harus dipedomani oleh kepala sekolah dalam penyusunan rencana
pengembangan sekolah, yang meliputi visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional, sumber
daya pendidikan, pengelolaan pendidikan, dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Visi Pendidikan Nasional
Visi Pendidikan Nasional adalah wujud sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang
kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah.
Misi Pendidikan Nasional
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
b. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
c. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
d. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global; dan
e. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
1. Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi pendidikan nasional adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

23

nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2. Pengelolaan Pendidikan
Berkaitan dengan sumber daya pendidikan, hal-hal yang perlu dijadikan acuan dalam
perencanaan pengembangan sekolah adalah pasal-pasal dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun
2003 yang mengatur tentang pendidik dan tenaga kependidikan (pasal 39 sampai dengan
pasal 44), sarana dan prasarana pendidikan (pasal 45), dan pendanaan pendidikan (pasal 46
sampai dengan pasal 49).
Pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 merupakan pasal penting yang
harus dijadikan pijakan dalam perencanaan pengembangan sekolah. Pasal ini menentukan
bahwa pengelolaan sekolah harus menerapkan manajemen berbasis sekolah, sebagaimana
ditegaskan: Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah.
3. Peran Serta Masyarakat
Berkenaan dengan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, hal-hal
penting yang harus dipahami oleh perencana pengembangan sekolah meliputi ketentuanketentuan yang diatur dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 54, 55, dan 56. Pasal
54 mengatur bentuk dan ruang lingkup peran serta masyarakat, sebagai berikut:
a. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
b. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
Pasal 55 UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengatur prinsip-prinsip pendidikan
berbasis masyarakat. Dalam pasal ini ditetapkan bahwa:
a. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
b. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai
dengan standar nasional pendidikan.
c. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah.
Selain hal-hal pokok yang diuraikan di atas, para perencana pengembangan sekolah
juga perlu untuk mengkaji dan memahami secaha komprehensif ketentuan-kentuntuan lain
yang diatur dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 agar setiap keputusan yang dimbil
tidak bertentangan dengan kebijakan nasional di bidang pendidikan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Sasaran minimal pengembangan sekolah yang dituangkan dalam setiap rencana
pengembangan sekolah haruslah menggunakan standar penyelenggaraan pendidikan yang
berlaku secara nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan merupakan ketentuan rinci mengenai standar-standar nasional
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

24

pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Peraturan


Pemerintah ini menetapakan arah reformasi pendidikan nasional dalam rangka mencapai visi,
misi, dan tujuan pendidikan nasional.
PP nomor 19 tahun 2005 menetapkan delapan standar yang meliputi:
1. standar isi;
2. standar proses;
3. standar kompetensi lulusan;
4. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
5. standar sarana dan prasarana;
6. standar pengelolaan;
7. standar pembiayaan; dan
8. standar penilaian pendidikan.
Di antara standar-standar tersebut, standar pengelolaan pada tingkat satuan pendidikan
merupakan standar terpenting yang harus djadikan acuan dalam perencanaan pengembangan
sekolah. Untuk itu berikut diuraikan kententuan-ketentuan yang berkaitan dengan standar
pengelolaan dan pengambilan keputusan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 49 sampai
dengan pasal 58 PP nomor 19 tahun 2005
Pasal 49 ayat (1) pada Peraturan Pemerintah ini menyatakan: Pengelolaan satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis
sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas. Berkaitan dengan penerapan manajemen berbasis sekolah itu di tingkat satuan
pendidikan, PP nomor 19/2005 tersebut menetapkan sejumlah standar pengelolaan yang
mencakup pengambilan keputusan, pedoman pendidikan, rencana kerja, prinsip-prinsip dasar
pengelolaan satuan pendidikan, pengawasan, pemantauan, supervisi, dan pelaporan. Secara
ringkas standar-standar pengelolaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Pengelolaan satuan pendidikan harus berpegang pada prinsip-prinsip kemandirian,
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan
kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah.
Terkait dengan Pengambilan Keputusan, beberapa hal penting yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut meliputi bidang-bidang pengambilan keputusan, prosedur
pengambilan keputusan dan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan itu.
Pengambilan keputusan bidang akademik dilakukan melalui rapat Dewan Pendidik yang
dipimpin oleh kepala sekolah. Sedangkan bidang non-akademik pengambilan keputusan
dilakukan oleh komite sekolah/madrasah yang dihadiri oleh kepala sekolah. Rapat dewan
pendidik dan komite sekolah/madrasah dilaksanakan atas dasar prinsip musyawarah mufakat
yang berorientasi pada peningkatan mutu satuan pendidikan.
Rencana kerja yang harus dibuat oleh satuan pendidikan meliputi Rencana Kerja
Jangka Menengah (4 tahun) dan Rencana Kerja Tahunan. Rencana Kerja Satuan Pendidikan
dasar dan Menengah harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan
pertimbangan dari Komite Sekolah/Madrasah.
Pengawasan penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan mencakup
pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pemantauan
dilakukan oleh pimpinan satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah atau bentuk lain
dari lembaga perwakilan pihak-pihak yang berkepentingan secara teratur dan
berkesinambungan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan.
Supervisi yang meliputi supervisi manajerial dan akademik dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan dan kepala satuan
pendidikan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

25

Standar pengelolaan tersebut mengisyaratkan bahwa sejak saat ini sekolah sebagai
satuan pendidikan memiliki peran, wewenang dan tanggung jawab yang sangat strategis dan
jauh lebih luas di bandingkan masa sebelumnya. Sekolah dituntut untuk lebih mandiri, lebih
mampu membangun hubungan kemitraan dengan dan memperkuat partisipasi semua
pemangku kepentingan (stakeholders), bersikap lebih terbuka dan akuntabel.
Kewenangan yang begitu luas yang diberikan kepada sekolah pada gilirannya menuntut
setiap sekolah mereformasi dirinya. Setiap sekolah harus beralih dari budaya dan manajemen
yang bersifat menunggu dan bertindak sesuai kebijakan atas yang bersifat konvensional
kepada sebuah budaya dan manajemen baru yang menempatkan hasil telaah diri sebagai titik
awal usaha pengembangan, kemandirian dan akuntabilitas sebagai instrumen utama dalam
proses pengembangan dirinya, dan peningkatan mutu sebagai muara dan tujuan utama dari
setiap usaha pengembangan itu.
IV.

MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH

A Pengertian Perencanaan Pengembangan Sekolah


Perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menggerakkan atau memimpin
(actuating atau leading), dan pengendalian (controlling) merupakan fungsi-fungsi yang harus
dijalankan dalam proses manajemen. Jika digambarkan dalam sebuah siklus, perencanaan
merupakan langkah pertama dari keseluruhan proses manajemen tersebut. Perencanaan dapat
dikatakan sebagai fungsi terpenting diantara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Apapun yang
dilakukan berikutnya dalam proses manajemen bermula dari perencanaan. Daft (1988:100)
menyatakan: When planning is done well, the other management functions can be done
well.
Perencanaan pada intinya merupakan upaya penentuan kemana sebuah organisasi akan
menuju di masa depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu. Dengan kata lain, perencanaan
berarti pendefinisian tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan pembuatan keputuan
mengenai tugas-tugas dan penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
itu. Sedangkan rencana (plan) adalah hasil dari proses perencenaan yang berupa sebuah cetak
biru (blueprint) mengenai alokasi sumber daya yang dibutuhkan, jadwal, dan tindakantindakan lain yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan.
Dalam pengertian tersebut, tujuan dan alokasi sumber daya merupakan dua kata kunci
dalam sebuah rencana. Tujuan (goal) dapat diartikan sebagai kondisi masa depan yang ingin
diwujudkan oleh organisasi. Dalam organisasi, tujuan ini terdiri dari beberapa jenis dan
tingkatan. Tujuan pada tingkat yang tertinggi disebut dengan tujuan strategis (strategic goal),
kemudian berturut-turut di bawahnya dijabarkan menjadi tujuan taktis (tactical objective)
kemudian tujuan operasional (operational objective). Tujuan strategis merupakan tujuan yang
akan dicapai dalam jangka panjang, sedangkan tujuan taktis dan tujuan operasional adalah
tujuan jangka pendek yang berupa sasaran-sasaran yang terukur.
Dalam SD/MI, tujuan strategis merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai pada
tingkat sekolah. Tujuan ini bersifat umum dan biasanya tidak dapat diukur secara langsung.
Tujuan-tujuan taktis merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh bagian-bagian utama
organisasi sekolah, misalnya bidang kurikulum, kesiswaan, atau kerja sama dengan
masyarakat. Sedangkan tujuan operasional merupakan tujuan yang harus dicapai pada
bagian-bagian yang secara struktur yang lebih rendah dari bagian-bagian utama sekolah
tersebut. Tujuan mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, misalnya, dapat dikategorikan
sebagai tujuan operasional.
Masing-masing tingkatan tujuan tersebut terkait dengan proses perencanaan. Tujuan
strategis merupakan tujuan yang harus dicapai pada tingkat rencana strategis (strategic plan).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

26

Tujuan taktis dan tujuan operasional masing-masing merupakan tujuan-tujuan yang harus
dicapai pada rencana taktis (tactical plan) dan rencana operasional (operational plan).
Perlu dicatat bahwa semua sekolah, apapun bentuknya, berdiri atau didirikan atas dasar
asumsi, keyakinan, sistem nilai dan mandat tertentu. Dalam kaitannya dengan perencanaan
pengembangan, dasar-dasar keberadaan ini disebut dengan premis lembaga atau premis
sekolah. Permis-premis sekolah itu biasanya disajikan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan
nilai-nilai fundamental organisasi. Visi dapat dipandang sebagai alasan atas keberadaan
lembaga dan merupakan keadaan ideal yang hendak dicapai oleh lembaga; sedangkan misi
adalah tujuan utama dan sasaran kinerja dari lembaga. Keduanya harus dirumuskan dalam
kerangka filosofis, keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut oleh sekolah yang
bersangkutan dan digunakan sebagai konteks pengembangan dan evaluasi atas strategi yang
diinginkan.
Premis-premis tersebut harus menjadi titik-tolak dalam perencanaan. Tujuan dan cara
untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam rencana harus berada dalam kerangka premispremis itu. Untuk memudahkan pemahaman, Gambar 2.1 mengilustrasikan hubungan antara
premis organisasi, hierarki tujuan, dan bentuk rencana sebagaimana diuraikan di atas.
Visi, Misi, dan Nilai-Nilai Dasar
(Premis Sekolah)

Manajemen Puncak
(Tingkat Sekolah)

Tujuan (hasil)

Rencana (alat)

Tujuan Strategis

Rencana Strategis

Manajemen Menengah
Tujuan Taktis
(Bidang Kurikulum, Kesiswaan, dsb.)

Manajemen Bawah
(Mapel, Individu Guru)

Rencana Taktis

Tujuan Operasional Rencana Operasional

Gambar 1.7 Hubungan antara Premis, Tujuan, dan Rencana


Perencanaan pengembangan sekolah (school development planning) merupakan proses
pengembangan sebuah rencana untuk meningkatkan kinerja sebuah sekolah secara
berkesinambungan. Perbedaan pokok rencana pengembangan dengan rencana lainnya terletak
pada tujuan. Sedangkan hierarki tujuan dan rencana sebagaimana telah diuraikan di atas juga
berlaku dalam rencana pengembangan. Tujuan yang akan dicapai dalam rencana
pengembangan merupakan hasil-hasil yang lebih baik dari apa yang selama ini telah di oleh
sekolah. Rencana pengembangan sekolah disusun agar sekolah terus-menerus meningkatkan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

27

kinerjanya. Oleh karena itu, selain didasarkan pada visi dan misi sekolah, perencanaan
pengembangan harus didasarkan atas pemahaman yang mendalam tentang keberadaan dan
kondisi sekolah pada saat rencana pengembangan itu disusun. Pemahaman semacam ini dapat
dilakukan melalui kajian dan telaah mendalam terhadap kondisi internal maupun lingkungan
eksternal dimana sekolah itu berada.
a.

Model Perencanaan Pengembangan Sekolah


Standar nasional pendidikan sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya
menunjukkan bahwa proses perencanaan menjadi perangkat yang esensial dalam pengelolaan
sekolah. Dalam kaitannya dengan standar pengelolaan satuan pendidikan, sistem perencanaan
pengembangan lembaga yang diterapkan pada setiap sekolah harus mampu memfasilitasi dan
mengakomodasi lima pilar utama yang digariskan dalam standar pengelolaan, yaitu
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Model perencanaan strategis (strategis planning) hingga saat ini dipandang sebagai
proses perencanaan yang demikian itu. Dengan menerapkan pendekatan perencanaan
strategis, diharapkan sekolah akan terdorong untuk melakukan perencanaan secara sistematis.
Sekolah diharapkan akan menyediakan waktu untuk mentelaah dan menganalisis dirinya
sendiri dan lingkungannya, mengidentifikasi kebutuhannya untuk mendapatkan keunggulan
terhadap yang lain, dan melakukan komunikasi dan konsultasi secara terus-menerus dengan
berbagai pihak baik dari dalam maupun luar lingkungan lembaga selama berlangsungnya
proses perencanaan. Di samping itu perencanaan strategis juga diharapkan akan mendorong
sekolah untuk menyusun langkah-langkah untuk mencapai tujuan strategis, secara terusmenerus memantau pelaksanaan rencana itu, dan secara teratur melakukan pengkajian dan
perbaikan untuk menjaga agar perencanaan yang dibuat tetap relevan terhadap berbagai
kondisi yang terus berkembang (Nickols dan Thirunamachandran, 2000).
Perencanaan strategis (strategic planning) merupakan bagian dari proses managemen
strategis yang terkait dengan proses identifikasi tujuan jangka panjang dari sebuah lembaga
atau organisasi, penggalian gagasan dan pilihan-pilihan, pengambilan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, dan pemantauan (monitoring)
kemajuan atau kegagalan dalam rangka menentukan strategi di masa depan (Nickols dan
Thirunamachandran, 2000). Secara historis, perencanaan strategis bermula dari dunia militer.
Perkembangan selanjutnya, perencanaan strategis diadopsi oleh dunia usaha pada tahun
1950-an dan berkembang pesat dan sangat populer pada tahun 1960 hingga 1970-an, dan
berkembang kembali tahun 1990-an Mintzberg (1994) sebagai "process with particular
benefits in particular contexts."
Penerapan perencanaan strategis di dunia pendidikan baru berkembang sekitar satu
dekade yang lalu. Saat mana lembaga-lembaga pendidikan dipaksa harus berhadapan dengan
berbagai perubahan baik di dalam maupun di luar lingkungan lembaga, dan dipaksa harus
tanggap terhadap berbagai tantangan yang timbul seperti halnya menurunnya dukungan
keuangan, pesatnya perkembangan teknologi, dan berubahnya struktur kependudukan, dan
tertinggalnya program-program akademik. Sebagai dampak dari kondisi ini, sejumlah
lembaga pendidikan kemudian menggunakan perencanaan strategis sebagai alat untuk
meraih manfaat dan perubahan strategis untuk menyesuaikan diri dengan pesatnya
perubahan liungkungan (Rowley, Lujan, & Dolence, 1997).
b. Menumbuhkan Budaya Pengembangan Berencana di Sekolah
Perencanaan pengembangan sekolah pada dasarnya merupakan proses yang
berlangsung terus-menerus, bukan merupakan kegiatan sekali jadi. Agar perencanaan
pengembangan itu efektif dalam memampukan (enabling) sekolah untuk menghadapi
tantangan ganda yang berkaitan dengan peningkatan kualitas dan pengelolaan perubahan,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

28

perencanaan pengembangan harus menjadi modus operandi normal bagi setiap sekolah.
Bagi sekolah pada umumnya, perencanaan pengembangan yang sistematis akan memerlukan
perubahan mendasar dari kondisi yang ada sekarang. Bab ini memaparkan inovasi tantangan
yang harus diatasi dengan cermat untuk menjamin keberhasilan pengintegrasian perencanaan
pengembangan ke dalam kehidupan sekolah, sehingga perencanaan akan menjadi budaya
dalam manajemen sekolah.
Berdasarkan penelitian internasional terhadap perubahan pendidikan pada umumnya,
penumbuhan budaya perencanaan pengembangan sekolah dibagi menjadi tiga tahap:
Pemulaan (Inisiation): tahapan ini meliputi penetapan keputusan untuk memulai
perencanaan pengembangan sekolah, menumbuhkan komitmen terhadap proses
perencanaan, dan penyiapan partisipan.
Pembiasaan (Familirialisation): tahap ini mencakup siklus awal dari perencanaan
pengembangan sekolah, dimana masyarakat sekolah belajar bagaimana melaksanakan
proses perencanaan pengembangan itu.
Penyatuan (Embedding): tahap ini terjadi ketika perencanaan pengembangan sekolah
telah menjadi bagian pola kehidupan sekolah sehari-hari dalam melaksanakan segala
sesuatu.
1) . Tahap Pemulaan (Inisiation)
Secara formal semua pengelola sekolah bertanggung jawab atas inisiatif
perencanaan pengembangan sekolah untuk menjamin bahwa keputusan untuk
menyusun rencana pengembangan sekolah benar-benar terlaksana dan terwujud. Akan
tetapi, pada praktiknya, inisiatif itu pada umumnya diambil oleh kepala sekolah atau
komite sekolah.
Apabila diinginkan keberhasilan dalam inovasi sekolah, pengembangan
komitmen guru terhadap inovasi itu menjadi hal yang esensial. Mereka harus benarbenar memahami hal-hal pokok berkaitan dengan apa, mengapa, dan bagaimana
perencanaan pengembangan sekolah dilakukan. Guru-guru harus disadarkan tentang
peran yang harus mereka ambil dalam proses perencanaan dan manfaat apa yang dapat
mereka peroleh dari proses itu. Pemahaman mereka harus difokuskan pada keterkaitan
antara proses dengan isu-isu yang penting bagi guru pada umumnya, sehingga relevansi
proses perencanaan dan kebutuhan sekolah dapat disampaikan dengan jelas. Penjelasan
serupa juga harus dilakukan kepada semua mitra kerja yang ada di lingkungan sekolah
agar proses perencanaan pengembangan sekolah memperoleh dukungan dari mereka.
Kegiatan-kegiatan berikut merupakan cara-cara yang dapat membantu warga
sekolah untuk mempersiapkan partisipasinya dalam proses perencanaan pengembangan
sekolah.
a. Membaca berbagai panduan, buku-buku pegangan dan laporan-laporan hasil
penelitian mengenai perencanaan pengembangan sekolah.
b. Mencari saran-saran, masukan dan dukungan dari lembaga-lembaga yang peduli
terhadap pendidikan yang ada di sekitar sekolah.
c. Menghadiri seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan yang relevan dengan
perencanaan pengembangan sekolah.
d. Menghubungi sekolah-sekolah lain yang dipandang lebih maju dibidang
perencanaan pengembangan sekolah untuk menggali dan belajar dari
pengalaman yang mereka miliki.
e. Mengundang pembicara dari luar untuk menyajikan paparan tentang
perencanaan pengembangan sekolah di hadapan guru, pengelola sekolah,
komite sekolah, dan orang tua, baik secara bersama-sama atau terpisah.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

29

f. Mengundang tokoh-tokoh kunci di lingkungan sekolah untuk memaparkan


pentingnya perencanaan pengembangan sekolah dan mendorong partisipasi
semua pihak.
g. Memanfaatkan fasilitator dari luar untuk membantu memulai dan mengimplementasikan perencanaan pengembangan sekolah.
h. Keluaran yang dicapai dari tahap pemulaan meliputi:
Telah dibuatnya keputusan untuk mengawali (mengintroduksi)
perencanaan pengembangan sekolah.
Semua guru memiliki pemahaman yang benar mengenai perencanaan
pengembangan sekolah dan memiliki komitmen terhadap proses itu.
Semua mitra sekolah telah diberi penjelasan pada tahap awal proses
tersebut.
Terpilihnya fasilitator untuk membantu melaksanakan proses tersebut.
2) Tahap Pembiasaan (Familirialisation)
Pada tahap pembiasaan, biasanya merupakan langkah pertama dari siklus
perencanaan pengembangan sekolah secara utuh, masyarakat sekolah berada dalam
proses belajar dari pengalaman bagaimana melaksanakan proses perencanaan tersebut.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan tumbuh berdasarkan pengalaman dan
struktur kolaborasi yang berkembang. Hasil dari tahapan ini adalah
terkonsolidasikannya dan menguatnya komitmen terhadap proses perencanaan.
Selama berlangsungnya tahap ini, fasilitator yang terampil, koordinasi yang
cermat, dan dukungan yang cukup dan berkelanjutan, termasuk di dalamnya pelatihan
dalam jabatan, akan sangat membantu keberhasilan proses perencanaan. Perhatian
khusus harus diberikan agar timbul penguatan yang positif di kalangan guru.
a. Penyatuan (Embedding)
Tahap penyatuan terjadi ketika perencanaan pengembangan telah menjadi bagian
dari cara-cara yang biasa dilakukan sekolah dalam melaksanakan segala sesuatu.
Tatanan manajemen sekolah telah berkembang menjadi pendukung yang baik terhadap
pengembangan maupun pemeliharaan sekolah yang bersangkutan, dan menjadi bagian
dari pola prilaku yang berterima (acceptable) bagi semua pihak. Terdapat begitu luas
ragam penggunaan rencana tindakan oleh guru. Dalam hal ini rencana pengembangan
sekolah harus berfungsi sebagai kerangka acuan bagi perencanaan-perencanaan yang
terkoordinasi yang dilakukan oleh guru secara individual, unit-unit yang ada sekolah,
tim-tim lintas kurikulum, dan dampaknya akan tampak pada praktik-praktik
pembelajaran dalam kelas. Seluruh proses tersebut pada saat itu telah menjadi cara
kita melakukan segala sesuatu di sekolah ini atau "the way we do things around
here."
b. Langkah-Langkah Perencanaan Pengembangan Sekolah
Terdapat berbagai model yang dapat digunakan untuk diadopsi untuk
menyusun rencana Pengembangan Sekolah. Dalam bahan Bintek ini hanya diberikan
satu contoh struktur rencana pengembangan sekolah. Namun demikian, bukan berarti
langkah-langkah yang diberikan di sini merupakan yang paling efektif bagi semua
SD/MI, masing-masing SD/MI memiliki kebebasan untuk mengembangkan sendiri
struktur rencana pengembangan yang dipandang paling sesuai dengan kondisi masingmasing sekolah. Proses perencanaan pengembangan sekolah yang dimaksud setidaktidaknya harus mencakup lanngkah-langkah sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar
2.1.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

30

Merumuskan:
Visi
Misi
Tujuan

Telaah Diri
(Self Review)
Memilih
Prioritas dan Strategi Pengembangan

Menyusun:
Program
Pengembangan

Menyusun
Rencana Operasional Tahunan
Menyusun
Rencana Pendapatan dan Belanja Sekolah

Gambar 1.8 Proses Perencanaan Pengembangan Sekolah

V.

VISI, MISI, DAN TUJUAN

A Pengertian dan Ruang Lingkup Visi, Misi, dan Tujuan


Visi, misi dan tujuan merupakan titik sentral dalam siklus Perencanaan Pengembangan
Sekolah. Ketiganya mensarikan apa yang menjadi dasar keberadaan sekolah dan apa yang
ingin dicapai oleh sekolah. Oleh karena itu, ketiganya menjadi kerangka acuan dari semua
operasi dalam siklus perencanaan dan berfungsi sebagai (1) konteks saat melakukan telaah,
(2) arah dari rancangan dan implementasi, dan (3) tolok ukur dalam proses telaah.
Visi sekolah merupakan representasi masa depan yang diinginkan mengenai sebuah
sekolah. Visi mensarikan prinsip-prinsip umum dan bersifat aspirasional. Rumusan visi
sekolah hendaknya mencakup:
1. Sosok lembaga macam apa yang diinginkan di masa depan,
2. Yustifikasi sosial atas keberadaan sekolah yang diwujudkan dalam isu-isu pendidikan
apa yang harus ditangani oleh sekolah atau masalah-masalah pendidikan mana yang
akan diatasi oleh sekolah,
3. Apa yang harus diakui, diantisipasi, dan dijawab oleh sekolah berkaitan dengan
kebutuhan dan masalah-masalah tersebut,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

31

4. Siapa stakeholder utama sekolah ini, bagaimana sekolah merespon kebutuhan para
stakeholder itu, dan bagaimana sekolah mengetahui keinginan yang mereka harapkan
dari sekolah, dan
5. Apa yang membuat sekolah tersebut unik atau berbeda dengan yang lain, dan karena
itu, apa yang membuat sekolah ini memiliki keunggulan kompetitif.
Misi sekolah merepresentasikan raison detre atau alasan mendasar mengapa sebuah
sekolah didirikan. Rumusan misi mencakup pesan-pesan pokok tentang (1) tujuan asalmuasal (original purpose) didirikannya sekolah, (2) nilai-nilai yang dianut dan melandasi
pendirian dan operasionalisasi sekolah, dan (3) alasan mengapa sekolah itu harus tetap
dipertahankan keberadaannya.
Tujuan strategis sekolah merupakan pernyataan umum tentang tujuan pendidikan di
sekolah itu. Tujuan-tujuan itu harus berkait dengan usaha mendorong perkembangan semua
siswa baik secara intelektual, fisikal, sosial, personal, spiritual, moral, kinestetikal, maupun
estetikal. Tujuan sekolah harus memberikan fokus yang jelas bagi sekolah. Tujuan sekolah
harus dirumuskan dalam kerangka visi dan misi sekolah. Aspirasi semua stakeholder harus
terwadahi dalam konteks yang lebih luas dari rumusan visi dan misi sekolah.
Selain ketentuan yang bersifat umum tersebut visi, misi, dan tujuan strategis sekolah
harus juga dirumuskan dalam kerangka visi, misi, dan tujuan pendidikan baik pada skala
nasional, regional (propinsi) maupun, daerah (kabupaten/kota).
1

Mengapa Sekolah Perlu Merumuskan Visi, Misi, dan Tujuan?


Di era perubahan sekarang ini, pengembangan rumusan visi, misi dan tujuan
sebuah sekolah merepresentasikan kesiapan dan kemauan sekolah untuk bertanggung
jawab atas pelaksanaan tugasnya dan untuk mengelola perubahan dengan cara-cara
yang positif dalam kaitannya dengan visinya. Rumusan misi sekolah merupakan dasar
bagi kebijakan dan praktik-praktik yang berlangsung di sekolah. Tidak diragukan lagi
bahwa nilai-nilai dan keyakinan yang membimbing kehidupan sekolah memiliki
implikasi yang penting bagi semua pilihan dan keputusan yang harus dibuat dalam
pengembangan rencana sekolah.
Maksud dirumuskannya visi dan misi sekolah adalah:
a. Untuk memberikan arah yang jelas bagi usaha-usaha yang dilakukan sekolah;
b. Untuk mengilhami masyarakat sekolah dengan sebuah tujuan yang bersifat umum;
c. Untuk memberikan kerangka yang bagi penentuan kebijakan dan prioritas;
d. Untuk membangun pusat acuan (reference point) yang digunakan sekolah dalam
mengtelaah keberhasilan kegiatan-kegiatannya.
Visi dan misi sekolah tidak dapat dipindah tangankan dengan mudah dari satu
pihak ke pihak yang lain. Keduanya harus dikembangkan dan diklarifikasi melalui
sebuah proses refleksi bersama atas nilai-nilai, keyakinan, dan aspirasi dari warga
sekolah. Visi dan misi harus mencerminkan usaha sekolah untuk memadukan nilai-nilai
yang sering saling bertentangan di kalangan warga sekolah. Kesadaran atas nilai-nilai
personal di kalangan warga sekolah merupakan hal yang sangat penting. Sekolah akan
dapat mengakomodasi sejumlah nilai asalkan terdapat nilai-nilai yang didukukung oleh
setiap individu warga sekolah. Nilai-nilai, apakah disadari atau tidak, merupakan inti
dari tindakan yang kita lakukan. Waktu yang diluangkan khusu untuk mengeksplorasi
nilai-nilai individual dan nilai-nilai kolektif kita sendiri merupakan waktu yang sangat
berharga dan kelak akan berpengaruh terhaap segala sesuatu yang kita kerjakan di
sekolah.
1. Kapan Visi, Misi, dan Tujuan Dirumuskan?
Proses Perencanaan Pengembangan Sekolah sering bermula dengan hal pokok
tersebut, yakni perumusan visi, misi, dan tujuan. Namun demikian, ada sekolah yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

32

merasa lebih terbantu untuk memulai perencanaan dengan mentelaah (review) dan
dengan mendalami pemahaman terhadap visi, misi, dan tujuan, melakukan klarifikasi
melalui partisipasi dalam proses perencanaan, dan melalui refleksi terhadap faktorfaktor kontekstual yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional yang kelak
berpengaruh terhadap pembentukan masa depan sekolah.
Apabila keputusan yang diambil adalah menunda penyiapan perumusan resmi
visi, misi, dan tujuan hingga dicapainya proses perencanaan pada tahap lebih lanjut,
sangat dianjurkan agar sedari awal dilakukan identifikasi terhadap nilai-nilai bersama
yang mendasari telaah dan mengusahakan pengembangan. Klarifikasi dan elaborasi
terhadap prinsip-prinsip dasar tersebut dijadikan bagian integral dari proses
perencanaan.
2. Perumusan Visi
Visi merupakan gambaran positif kemana kita akan menuju di masa yang akan
datang. Sistem pendidikan nasional, misalnya, memiliki visi terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk mencapai
visi ini, kita harus mengerahkan semua daya dan upaya yang untuk mengatasi berbagai
tantangan dan memanfaatkan berbagai peluang yang kita hadapi.
Rumusan visi harus spesifik dengan agenda yang jelas dan kuat, sesuatu yang
bermakna untuk dicapai. Rumusan visi harus sederhana, mudah dipahami, lengkap dan
menjadi milik semua pihak terkait, dan menjadi penentu arah yang kita tuju. Visi harus
bersifat jangka panjang. Agar memudahkan kita untuk mengingatnya, kita sering
merumuskan visi dalam bentuk yang pendek berupa sebuah frasa yang mudah
ditangkap.
Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan ketika merumuskan visi
sekolah adalah: Sosok sekolah seperti apa yang saya inginkan pada lima atau sepuluh
tahun yang akan datang?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus memanfaatkan pengatahuan tentang
kondisi sekolah yang ada saat ini untuk menentukan apa yang mungkin dicapai pada
kurun waktu lima atau sepuluh tahun mendatang. Langkah pertama untuk menjawab
pertanyaan tersebut dapat dilakukan melalui curah pendapat (brainstorming) yang
melibatkan guru, staf sekolah, orang tua, dan komite sekolah. Setiap orang diberi
kesempatan untuk mengemukakan dua atau tiga kata kunci yang mengambarkan sosok
sekolah yang diinginkan pada lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Catat semua
kata-kata kunci yang mengemuka.
Langkah berikutnya adalah mengelompok-kelompokkan berdasarkan
karakteristik tertentu. Sekolah yang berhasil biasanya memiliki karakteristik yang dapat
dikelompokkan menjadi lima kategori: hasil pendidikan, proses pendidikan, dan citra
sekolah dimasyarakat. Contoh visi SD dapat dirumuskan sebagai berikut:SDN
Kesatrian I Kecamatan Pringgondani Kabupaten Amarta
menjadi sekolah yang terunggul bertaraf internasional menjelang tahun 2015
Rumusan visi memberikan arah kemana sekolah akan dikembangkan dalam
ruang lingkup yang luas. Pada contoh tersebut, makna kata terunggul dan bertaraf
internasional harus disepakati oleh semua pihak terkait.
Bagi sekolah yang telah memiliki rumusan visi, langkah awal yang mungkin
dilakukan dalam penyusunan rencana pengembangan sekolah adalah melakukan telaah
terhadap rumusan visi yang ada untuk menentukan relevansi dan validitas dengan
kondisi terkini. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam telaah ini antara lain:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

33

1. Aspek-aspek mana dari rumusan visi yang ada masih relevan?


2. Dalam kaitannya dengan kebutuhan akan perubahan masyarakat yang berlangsung
saat ini, apa yang perlu duperbarui, ditambahkan, atau dihilangkan dari rumusan visi
tersebut?
3. Bagaimana visi tersebut dapat dipertahankan dalam masyarakat sekolah?
4. Sejauh mana kebijakan dan dokumentasi sekolah menceminkan visi tersebut?
5. Sejauh mana kurikulum merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam visi
sekolah?
6. Sejauh mana manajemen sekolah merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan yang
dinyatakan dalam rumusan visi?
7. Sejauhmana hubungan di lingkungan internal sekolah dan antara berbagai pihak di
kalangan warga sekolah merefleksikan rumusan visi tersebut?
8. Sejauhmana rumusan visi merefleksikan kebutuhan sebuah masyarakat multikultural yang kompleks?
Telaah tersebut dapat dilakukan melalui survei sederhana dangan meminta
warga sekolah untuk memberikan tanggapan atas rumusan visi sekolah yang telah ada.
Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan terdahulu dapat menjadi titik tolak untuk
mengeksplorasi persepsi warga sekolah terhadap rumusan visi yang ada dan untuk
mengidentifikasi aspek-aspek yang memerlukan perubahan dan pengembangan.
1

Merumuskan Misi Sekolah


Misi merupakan pernyataan tentang bagaimana kita memberikan layanan kepada
peserta didik dan mencapai visi yang telah dirumuskan. Misi bukan merupakan jabaran dari
visi, akan tetapi misi merupakan cara untuk mencapai visi. Merumuskan misi sekolah
berarti merumuskan pernyataan tentang bagaimana kita akan melaksanakan pendidikan dan
bagaimana kita akan mencapai visi. Kita dapat melakukan hal ini hanya jika kita mampu
memenuhi kebutuhan siswa. Selain itu, kita juga harus menerapkan berbagai pendekatan dan
strategi yang tepat. Selanjutnya kita juga harus secara intensif memastikan bahwa filosofi dan
nilai-nilai yang kita anut menjadi pijakan dan acuan dalam tindakan atau budaya yang ingin
kita terapkan dalam menjalankan roda sekolah.
Rumusan misi sekolah harus memenuhi indikator-indikator berikut:
1 Tugas utama sekolah (apa yang dikerjakan oleh sekolah)
2 Siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, stake holder lainnya (siapa yang dilayani
oleh sekolah)
3 Kebutuhan khusus peserta didik yang dipenuhi oleh sekolah (menunjukkan
keunikan dan mengapa hal itu dibutuhkan)
4 Strategi umum yang digunakan (bagaimana proses pendidikan yang
diselenggerakan akan mencapai keunggulan yang diinginkan)
5 Filosofi dan nilai-nilai (budaya yang diinginkan, mengapa kita melakukan sesuatu
dengan cara ini)
Contoh rumusan misi: SDN Kesatrian I Kecamatan Pringgondani Kabupaten Amarta
menyelenggarakan pendidikan dasar yang bertaraf internasional yang menjamin semua
siswa mencapai prestasi terbaik dalam bidang akademik dan non-akademik melalui
pendidikan yang membelajarkan dan pengelolaan yang strategis
5. Merumuskan Tujuan .
Telah dikemukakan hierarki tujuan yang meliputi tujuan strategis, tujuan taktis, dan
tujuan operasional. Tujuan yang maksud pada bagian ini adalah tujuan pada tingkat strategis,
yakni tujuan yang dirumuskan untuk dicapai oleh sekolah secara keseluruhan. Sesuai dengan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

34

sifatnya, tujuan strategis merupakan pernyataan umum tentang arah kemana kelak organisasi
akan menuju di masa depan.
Tujuan strategis dapat dibedakan menjadi delapan tipe. Sekolah dapat menggabungkan
dua atau lebih dari tipe-tipe tujuan itu sesuai dengan rumusan visi dan misinya serta nilainilai dasar yang dianut.
1. Pangsa Pasar Pendidikan: Tujuan yang mengindikasikan dimana posisi yang
diinginkan sekolah di masa depan relatif terhadap sekolah lain yang sejenis terkait
dengan keberterimaan lulusan oleh sekolah pada jenjang berikutnya dan juga kualitas
dan kuantitas calon siswa yang berminat menjadi siswa di sekolah tersebut.
2. Inovasi Pendidikan: Tujuan yang mengindikasikan komitmen pihak pengelola
sekolah terhadap pengembangan layanan pendidikan baru dan pendekatan, strategi,
atau metode baru dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Produktivitas Pendidikan: Tujuan yang mengarah pada level efisiensi, produktivitas
dan kualitas pendidikan.
4. Sumberdaya fisik dan keuangan: Tujuan yang berkaitan dengan penggunaan,
perolehan, dan pemeliharaan sumber-sumber investasi dan keuangan.
5. Keuntungan: Tujuan yang memfokus pada tingkat keuntungan dan indikatorindikator yang berkaitan dengan kinerja keuangan sekolah.
6. Kinerja dan Pengembangan Manajemen: Tujuan yang menekankan pada tingkat
produktivitas dan pertumbuhan manajemen.
7. Kinerja dan Sikap Pendidik dan Tenaga Kependidikan: Tujuan yang berkaitan
dengan tingkat produktivitas dan prilaku positif yang diharapkan dari kalangan staf
sekolah.
8. Tanggung Jawab Sosial: Tujuan yang mengindikasikan tanggung jawab sosial
sekolah terhadap para pihak yang berkepentingan di luar sekolah dan masyarakat.
Agar tujuan benar-benar efektif dan cukup punya peluang untuk dicapai, maka rumusan
tujuan harus memenuhi sejumlah kriteria keefektifan. Kriteria keefektifan tujuan dapat dilihat
dari karakteristik tujuan itu sendiri dan prilaku dalam proses tujuan itu dirumuskan. Dari segi
karakteristiknya, sebuah tujuan yang efektif harus memenuhi lima kriteria: spesifik dan
terukur, mencakup dimensi-dimensi kunci, realistis namun menantang, terbatasi oleh kurun
waktu tertentu, dan terkait dengan imbalan atau ganjaran. Dari segi prilaku dalam proses
perumusannya, sebuah tujuan akan efektif apabila mampu membangun kerjasama diantara
bagian-bagian yang ada dalam organisasi sekolah dan adanya partisipasi dari semua warga
sekolah untuk mengadopsi dan mengimplementasi tersebut. Uraian berikut memaparkan
secara rinci kriteria keefektifan tujuan tersebut. Untuk memudahkan kita mengingat, tujuh
kriteria tujuan yang efektif tersebut dapat diringkas menjadi lima kriteria yang disingkat
SMART. Kelima kriteria itu meliputi: spesifik (specific), dapat dikelola pencapaiannya
(manageable), disepakati (agreed upon) oleh semua warga sekolah, didukung sumber daya
yang memadai (resources supported), dan terdapat batasan waktu (time-bound).
VI.

TELAAH DIRI

Tujuan telaah diri adalah untuk memampukan (enabling) warga sekolah: (1)
mendefinisikan kondisi dari sekolah saat ini; (2) menganalisis kondisi saat ini dalam
kaitannya dengan bagaimana dan seperti apa sekolah kelak diinginkan di masa depan; dan (3)
mengidentifikasi perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Telaah diri dapat dilakukan
dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Uraian berikut ini menyajikan garis-garis besar
sejumlah pendekatan yang dapat diadaptasi sesuai dengan kondisi yang beragam.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

35

A Merencanakan Telaah Diri


1 Pastikan bahwa telaah difokuskan pada isu-isu yang berkembang, bukan
pada pribadi-pribadi
Anggota staf yang tidak terbiasa dengan proses telaah diri yang sistematis dapat
merasa tidak nyaman. Pengakuan terhadap adanya sensitifitas semacam itu dan
pengarahan berbagai bentuk ekspresi atas dasar kesadaran membuka diri merupakan hal
yang penting. Dengan demikian, perlu ditekankan sejak awal bahwa fokus telaah adalah
pada isu yang berkembang, bukan pada pribadi-pribadi, dan pembahasan mengenai
keterbatasan yang ada di sekolah saat ini hendaknya dilakukan secara santun dan dalam
niatan untuk membangun.
2 Pastikan bahwa proses telaah diri memiliki orientasi positif
Dalam rangka memperkuat moral, manfaatkan peluang yang ada untuk
membangkitkan kesadaran mengenai kekuatan sekolah dan untuk mengakui prestasi
yang dicapai sekolah. Jika fokusnya terletak pada bagaimana membuat sekolah yang
baik menjadi lebih baik, telaah tersebut dapat berupa pemberian energi pengalaman.
3 Arahkan ruang lingkup telaah diri pada kondisi sekolah secara utuh
Perlu diingat bahwa telaah diri bukan merupakan akhir dari segalanya akan tetapi
merupakan alat untuk memperjelas jalan ke masa depan, jalan menuju masa depan yang
lebih baik. Keefektifan telaah diri diukur dari apa yang terjadi berikutnya. Dengan
demikian, ruang lingkup Telaah diri harus memadai dalam memampukan warga sekolah
untuk membentuk asesmen yang realistis terhadap kebutuhan dan peluang sekolah
sebagai dasar perencanaan yang akan dilakukan. Namun demikian, telaah diri
hendaknya tidak terlalu luas sehingga menguras energi warga sekolah secara
berlebihan, yang dapat berakibat pada tidak adanya daya untuk bertindak yang
mengarah pada pencapaian dampaknya.
Akan sangat membantu apabila kita berfikir bahwa sekolah merupakan sebuah
mekanisme yang terdiri dari ratusan bagian yang sama-sama bergerak. Mekanisme itu
memerlukan pemeliharaan secara teratur untuk menjamin kesinambungan kinerja yang
optimal. Mekanisme itu memerlukan bongkar-pasang secara periodik yang dapat
mencakup pemasangan bagian-bagian baru dalam rangka membuatnya mampu
memenuhi standar-standar baru. Akan tetapi apabila Anda memisah-misahkannya untuk
mengetahui apa yang membuatnya muncul, telaah diri dengan sendirinya akan terhenti.
Dan semakin lengkap telaah tersebut dipisah-pisahkan, semakin sulit untuk
memulainya lagi.
Atau, sekolah dapat diibaratkan sebagai organisme hidup yang rumit. Untuk
menjamin kesehatannya agar selalu optimal, sekolah memerlukan asupan gizi dan
pemeliharaan secara terus-menerus. Apabila dikehendaki agar kegiatan dan
dinamikanya terus jaga, sekolah memerlukan perlakukan periodik untuk mencegah
terjadinya luka dan sakit. Jika Anda memecah-belah sekolah untuk memahami struktur
dan prosesnya, berarti Anda membunuhnya.
B Langkah-Langkah Telaah Diri: Model Analisis Strategis Komprehensif
Dalam model ini, telaah bercakupan luas dilakukan dan pandangan-pandangan
stakholder digali sebelum keputusan mengenai prioritas pengembangan sekolah dibuat.
Proses Telaah ini meliputi:
a. Pengumpulan data tentang semua faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap
pengembangan sekolah.
b. Pengintegrasian data kedalam pandangan strategis sekolah
c. Identifikasi kebutuhan dan peluang pengembangan.
d. Prioritisasi dan pemilihan opsi-opsi pengembangan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

36

Model ini dapat disajikan dalam bentuk Gambar 1.1.

Gambar 1.9 Model Analisis Strategis Komprehensif


Pengumpulan Data Yang Berkaitan Dengan Faktor-Faktor Kunci
1. Jenis Data
Sekolah membutuhkan data-data yang berkaitan dengan faktor-faktor berikut.
a. Tujuan, provisi, dan kinerja sekolah saat sekarang
1) Situasi Sekolah: Fakta dan yang diinginkan
2) Pandangan stakeholder terhadap situasi tersebut: persepsi dan opini
b. Faktor konteks yang mendorong perubahan dan pengembangan
1) Keinginan dan harapan dari siswa dan orang tua (kondisi sekarang
dan potensi);
2) Keinginan dan harapan staf;
3) Kebijakan dan peraturan yang dibuat pemerintah pusat dan daerah;
4) Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi populasi jumlah siswa,
seperti: Pertumbuhan penduduk, Transportasi, Keberadaan sekolah
lain, dan Reputasi sekolah di masyarakat;
5) Tren perkembangan pendidikan, ekonomi, dan sosial.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Data mengenai tujuan, provisi, dan kinerja sekolah saat ini.
1) Data tentang Situasi Sekolah terkini dapat dikumpulkan melalui:

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

37

a) Menghimpun dan mengorganisasikan informasi faktual yang


telah tersedia, seperti rekaman kehadiran, tingkat putus sekolah,
rekaman kedisiplinan, hasil-hasil ujian, skor ujian, kurikulum,
pola-pola mata pelajaran, tujuan, kebijakan dan praktik, profil
staf, profil siswa, hasil-hasil telaah dan pengawasan dari pihak
eksternal yang sedang berlaku.
b) Mengadakan survei pada aspek-aspek praktis mengenai
informasi-informasi yang kurang tersedia dengan memadai,
seperti gaya mengajar guru, metode pemberian pekerjaan
rumah, penggunaan TIK atau perlengkapan audio-visual.
Instrument survei yang dapat digunakan dapat meliputi:
Kuesioner, Rekaman observasi, Log, atau Wawancara.
2) Data-data tentang pandangan stakeholders terhadap provisi dan
kinerja sekolah saat sekarang. Data ini dapat dikumpulkan melalui
survey untuk menentukan pandangan stakeholder (guru, orang tua,
masyarakat) terhadap bidang-bidang pokok dalam kehidupan sekolah.
Instrument yang dapat digunakan antara lain:
a)
Kuesioner (pertanyaan jawaban terbuka)
b)
Kuesioner (pertanyaan jawaban tertutup)
c)
Wawancara terstruktur.
Untuk memastikan keefektifan pengumpulan data tentang pandangan
stakholder sebaiknya digunakan daftar centang atau kuesioner dengan
pertanyaan jawaban terbuka untuk mengidentifikasi bidang-bidang umum
yang menjadi perhatian mereka. Dari hasil ini kemudian dikembangkan
kuesioner rinci yang memfokus secara langsung pada masing-masing
bidang itu.
b. Data mengenai faktor-faktor kontektual yang dapat mendorong
perubahan dan pengembangan
1) Data tentang keinginan dan harapan siswa, orang tua, dan staf
dapat dikumpulkan dengan cara:
a) Pengumpulan dan pengorganisasian balikan dari rapat orang tua
dan guru, pendekatan individual terhadap orang tua atau siswa,
himpunan orang tua, organisasi siswa, rapat staf, pendekatan
individual terhadap guru atau kelompok mata pelajaran atau
bidang keahlian.
b) Survei untuk menggali keinginan, preferensi, dan harapan.
Survei ini dapat dilakukan bersamaan dengan survei mengenai
situasi sekolah terkini. Instrumen survei dapat berupa kuesioner
atau wawancara.
2) Data tentang kebijakan dan peraturan pemerintah dapat
dikumpulkan melalui:
a) Pelacakan sistematis (systematic scanning) terhadap dokumendokumen pemerintah pusat dan daerah yang beredar, beritaberita pada media masa, dan internet (website).
b) Perekaman sistematis (systematic recording) tentang hal-hal
yang berimplikasi pada sekolah dengan mengunakan formatformat yang memudahkan pencarian kembali maupun untuk
keperluan analisis.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

38

Akan sangat membantu apabila tugas-tugas ini dilaksanakan


oleh individu atau kelompok yang diberi tanggung jawab khusus
untuk itu secara berkesinambungan.
3) Data faktor-faktor lokal dapat dikumpulkan dengan cara:
a) Mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi-informasi
faktual yang telah tersedia, seperti statistik perkembangan
penduduk di wilayah sekitar sekolah, jumlah sekolah setingkat
di bawahnya, atau informasi mengenai rancana pembangunan
daerah, transportasi, dan berbagai layanan yang diberikan oleh
sekolah lain. Media masa lokal akan sangat membantu.
b) Mengadakan penelitian mengenai penyebaran lulusan sekolah
setingkat di bawahnya untuk melanjutnya ke sekolah-sekolah
yang ada di wilayah yang bersangktuan, preferensi orang tua
yang memilih sekolah lain, atau reputasi sekolah pada semua
lapisan masyarakat. Instrumen-instrumen survei yang dapat
digunakan untuk pengumpulan informasi itu dapat berupa
Kuesioner atau Pedoman Wawancara
c) Pelacakan sistematis sambil jalan terhadap sumber-sumber
informasi lokal.
Akan sangat membantu apabila tugas-tugas ini dilaksanakan oleh
individu atau kelompok yang diberi tanggung jawab khusus untuk itu secara
berkesinambungan.
4) Data tentang perkembangan nasional maupun global berkaitan
dengan pendidikan, ekonomi, dan sosial dapat dikumpulkan
melalui:
a) Pelacakan sistematis (systematic scanning) terhadap
kecenderungan perkembangan itu.
b) Perekaman sistematis (systematic recording) tentang hal-hal
yang berimplikasi pada sekolah dengan menggunakan formatformat yang dirancang khusus agar memudahkan pencarian
kembali maupun untuk dianalisis.
c) Akan sangat membantu apabila tugas-tugas ini dilaksanakan
oleh individu atau kelompok yang diberi tanggung jawab
khusus untuk itu secara berkesinambungan.
Mengintegrasikan Data Kedalam Sudut Pandang Strategis Sekolah
Akumulasi data dapat menjadi landasan perencanaan yang efektif hanya apabila datadata itu dihimpun menjadi satu dalam bentuk yang koheren terkait dengan situasi sekolah.
Oleh karena itu sekolah perlu melakukan pentelaahan berkaitan dengan:
1. Kekuatan internal yang menjadi soko guru pengembangan sekolah;
2. Kelemahan-kelemahan internal yang harus diatasi;
3. Peluang pengembangan yang terdapat pada faktor-faktor latar/lingkungan
4. Ancaman atau hambatan yang terdapat pada faktor-faktor latar/lingkungan
Telaah tersebut biasa disebut dengan analisis kekuatan (strength), kelemahan
(weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat), yang disingkat SWOT Analysis.
sekolah tersebut (Lembar Kerja Telaah Sekolah A.1 Ver. 7 pada Lampiran) merupakan
instrumen yang bermanfaat untuk menata data dalam bentuk yang bermakna dan untuk
mengintegrasikannya kedalam pandangan strategis sekolah.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

39

Identifikasi Kebutuhan dan Peluang Pengembangan


Hasil analisis SWOT yang tuntas akan memampukan sekolah untuk mengidentifikasi
kebutuhan dan peluang pengembangan dalam cakupan yang luas. Hasil-hasil yang tercantum
dalam analisis SWOT harus dikaji untuk memastikan bahwa hasil-hasil analisis itu mencakup
perubahan atau pengembangan yang harus diakomodasi oleh sekolah selama proses
perencanaan.
VII.

PEMILIHAN PRIORITAS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

A Pemilihan Prioritisasi
Ruang lingkup kebutuhan dan peluang pengembangan ada kalanya melebihi kapasitas
sekolah. Untuk itu, diperlukan adanya penentuan prioritas.
1. Perubahan dan pengembangan yang dipilih pertama-tama harus dicatat, oleh
karena sekolah tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakannya, pengimplementasian perubahan itu akan mengurangi sumber daya yang sebenarnya diperlukan
untuk pengembangan yang lain.
2. Kebutuhan dan peluang pengembangan yang lain harus disusun prioritasnya
berdasarkan:
a) Kepentingannya:
Relevansinya terhadap misi, visi, dan tujuan strategis sekolah.
Pentingnya pengembangan sekolah dalam kaitannya dengan semua
faktor konteks.
b) Keterlaksanaan (Fisibilitas):
Kemampuan sekolah yang ada sekarang untuk memberikan dukungan
sumber daya manusia, keahlian, energi, waktu dan dana untuk
mewujudkannya.
c) Akseptabilitas:
Komitmen sekolah saat sekarang untuk mewujudkannya.
Teknik Penentuan Prioritas
Sebagai awal dari proses penentuan prioritas, semua pihak yang terlibat harus
melakukan refleksi terhadap visi, misi,dan tujuan serta hasil analisis SWOT.
Selanjutnya, para pihak itu harus mengikuti prosedur seleksi. Saran-saran berikut ini
barangkali dapat membantu dalam proses penentuan pendekatan penetapan prioritas
tersebut.
a. Refleksi Individual, Diskusi Kelompok, Diskusi Pleno
b. Dotmokrasi
c. Jaringan/Grafik
d. Nyata/Ideal
Dalam penentuan prioritas dan seleksi program, sekolah perlu mempertimbangkan hal-hal umum sebagai berikut.
a. Jangan melakukan hal yang terlalu banyak sekaligus.
b. Buatlah keseimbangan yang tepat antara pemeliharaan dan pengembangan
(maintenance and development)
c. Buatlah keseimbangan yang tepat antara proyek pengembangan berskala
besar dan berskala kecil.
d. Buatlah keseimbangan yang tepat antara hal-hal yang wajib dan yang
bersifat pilihan (the unavoidable and the discretionary)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

40

e.
f.
g.
h.

Perhatikan aspek-aspek yang merupakan akar maupun cabang-cabangnya


Perhatikan hubungan antar prioritas
Jangan hindari hal-hal yang tidak diharapkan
Sebelum melalukan finalisasi pilihan, pertimbangkan keterpaduan pilihanpilihan itu dalam gambaran yang lebih besar

C Merancang Strategi
1. Pengertian Strategi
Hasil dari tahapan telaah diri adalah serangkaian keputusan tentang prioritas pengembangan sekolah selama kurun waktu siklus perencanaan yang disusun. Prioritasprioritas itu dapat dinyatakan sebagai tujuan strategis. Keputusan tidak akan berdampak
apapun jika tidak diwujudkan dalam tindakan yang bersifat strategis.
Strategi adalah suatu pertimbangan dan pemikiran yang logis, analitis serta
konseptualisasi hal-hal penting atau prioritas (baik dalam jangka panjang, pendek
maupun mendesak), yang dijadikan acuan untuk menetapkan langkah-langkah,
tindakan, dan cara-cara (taktik) ataupun kiat (jurus-jurus) yang harus dilakukan secara
terpadu demi terlaksananya kegiatan operasional dan penunjang dalam menghadapi
tantangan yang harus ditangani dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan ataupun
sasaran-sasaran dan hasil (output) yang harus dicapai serta kebijaksanaan yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Strategi paling baik didefinisikan sebagai melakukan hal yang
benar sementara taktik adalah melakukan segalanya dengan benar. Strategi yang
baik datang dari cara berfikir yang benar. Dalam mengembangkan strategi, dua
pertanyaan mendasar harus dijawab, yaitu:
a. Apa yang harus dilakukan?
b. Bagaimana melakukannya?
Daft (1988) mendefinisikan strategi sebagai rencana tindakan yang berupa
penentuan alokasi sumber daya dan kegiatan untuk bergelut dengan lingkungan dan
membantu organisasi mencapai tujuannya. Pada level tertinggi dalam sebuah struktur
organisasi, tingkat sekolah misalnya, strategi yang digunakan disebut dengan grand
strategy. Strategi ini diartikan sebagai rencana umum mengenai tindakan utama malalui
mana sebuah organisasi berniat untuk mencapai tujuan jangka panjangnya.
2. Macam-Macam Strategi
Terdapat berbagai opsi strategi yang dapat dipilih oleh sekolah dalam rangka
mencapai tujuan strategisnya. Beberapa tipologi strategi tersebut diuraikan secara
singkat sebagai berikut.
a. Kategorisasi Grant Strategy
Grant strategy dibedakan menjadi tiga kategori: pertumbuhan, stabilitas,
dan penghematan atau retrenchment.
Pertumbuhan. Pertumbuhan atau growth dapat didorong dari dalam
dengan cara meningkatkan investasi dalam bentuk peningkatan kesempatan akses
masyarakat atau meningkatkan diversifikasi layanan pendidikan atau
meningkatkan standar kualitas layanan di atas standar yang berlaku umum,
standar nasional misalnya.
Stabilitas. Stabilitas, kadang-kadang disebut strategi berhenti sesaat (pause
strategy), berarti bahwa sekolah ingin tetap berada pada kondisinya sekarang atau
tumbuh perlahan-lahan dan tetap terkendali. Ketika sebuah sekolah telah
mengalami pertumbuhan yang pesat dan berhasil mencapai puncak visi yang
diinginkan, sekolah itu biasanya memfokuskan diri pada strategi stabilitas untuk
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

41

mengintegrasikan semua unit yang ada agar tetap berada pada kondisi puncak itu
dengan terus meningkatkan efisiensi.
Penghematan. Penghematan berarti bahwa sekolah melakukan
pengurangan layanan pendidikan dengan mempersempit jenis program
pendidikan yang diberikan. Cara ini dapat dilakukan dengan menghentikan
sejumlah program kurikuler yang bersifat pengayaan atau menghentikan sejumlah
kegiatan ekstra kurikuler tidak diminati siswa atau mengurangi jumlah siswa yang
diterima. Hal ini tentu akan berdampak pada pengurangan sumber daya yang
diinvestasikan, baik SDM maupun sumberdaya lainnya.
b. Tipologi Strategi Adaptif dari Miles dan Snow
Terdapat empat tipologi organisasi yang digunakan dasar dalam
mengelompokkan strategi pengembangan oleh Miles dan Snow, yaitu prospector,
defendor, analyzer, dan reactor. Hubungan antara masing-masing tipologi ini
dengan strategi, kondisi lingkungan eksternal, dan karakteristik organisasi
dirangkum pada Tabel 1.10.
Tabel 1.10 Tipologi Strategi Adaptif Menurut Miles dan Snow
Tipologi
Organisasi

Karakteristik
Organisasi

Strategi

Lingkungan

Prospector

Inovasi,
Mencari Peluang Pasar
Baru,
Tumbuh
Ambil Resiko

Dinamis
Tumbuh

Kreatif
Inovatif
Fleksible
Desentralisasi

Defendor

Melindungi teritorialnya
Penghematan
Mempertahankan
pangsa pasar yang
dimiliki

Stabil

Kontrol ketat
Sentralisasi
Efisiensi produksi
Overhead rendah

Analyser

Mempertahankan pasar
yang ada disertai inovasi
sekedarnya

Perubahan tingkat
menengah

Kontrol dan
fleksibilitas ketat
Produksi yang efisien
Kreativitas

Reactor

Tidak memiliki strategi


yang jelas
Bereaksi terhadap
kondisi-kondisi spesifik
Mengambang, mengalir
mengikuti arus

Kondisi apapun

Pendekatan
organisasional tidak
jelas
Bergantung pada
kebutuhan sesaat

c. Strategi Kompetitif dari Porter


Michael E. Porter meneliti sejumlah strategi pada organisasi bisnis dan
menganjurkan tiga strategi yang efektif pada tingkat manajemen menengah:
diferensiasi (differebtiation), kepemimpinan berbiaya (cost leadreship), dan
fokus.
Diferensiasi. Strategi ini mencakup usaha-usaha untuk membuat semua
proses dan hasil pendidikan berbeda dengan sekolah yang lain. Sekolah dapat
memanfaatkan promosi, program-program pendidikan yang unik, standar kualitas
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

42

yang lebih unggul, piranti teknologi yang khusus sehingga dihasilkan lulusan
yang memiliki kompetensi yang bersifat khas, unik dan memiliki keunggulan
kompetitif. Tentu saja keunikan dan kekhasan itu harus tetap pada kerangka visi,
misi, tujuan, dan kebijakan-kebijakan pendidikan yang berlaku secara nasional,
regional, lokal, maupun sekolah itu sendiri.
Kepemimpinan Pembiayaan (Cost Leadership). Dengan strategi ini
berarti sekolah sacara agresif menggunakan sumber daya yang efisien, berusaha
mengurangi anggaran, dan memperketat pengendalian anggaran agar pelaksanaan
pendidikan lebih efisien dibandingkan lembaga lain yang sejenis.
Fokus. Dalam strategi ini, sekolah berkonsentrasi pada kebutuhan
masyarakat tertentu atau pada program-program khusus yang dijadikan unggulan.
Sebuah sekolah yang melayani khusus siswa-siswa yang akan melanjutkan
pendidikan ke luar negeri, misalnya, dapat menggunakan strategi ini dengan
memberikan layanan pendidikan khusus kepada mereka yang berkemampuan dan
berkemauan memperoleh pendidikan di luar negeri. Kurikulum, pendekatan
pendidikan, dan sumber daya pendukung yang digunakan disesuaikan dengan
usaha pembiasaan siswa untuk belajar di luar negeri. Konsentrasi pada satu
program keahlian khusus untuk memenuhi standar kompetensi industri tertentu di
sebuah SMK merupakan contoh lain dari penggunakan strategi terfokus ini.
d. Strategi Berbasis Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan sebuah metode untuk menguji strategi-strategi
yang potensial yang dikembangkan atas dasar kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman. Melalui pengombinasian masing-masing unsur dan data yang luas yang
telah trekumpul sebagai hasil analisis dapat berfungsi sebagai pemicu diskusi dan
perbaikan strategi yang selama ini telah digunakan atau mengembangkan strategistrategi baru. Matrik SWOT dapat membantu pengembangan strategi dengan
menggunakan alat SWOT Analysis ini.
Matrik SWOT pada dasarnya merupakan daftar dari kekuatan, kelemahan,
peluang, ancaman, serta kombinasi dari Strengths (S) dan Opportunities (O),
Strengths (S) dan Threats (T), Weaknesses (W) dan Opportunities (O),
Weaknesses (W) dan Threats (T). Terdapat empat pilihan strategi dalam matrik
SWOT: competition, mobilization, investment/divestemen, dan damage control.
1) Strategi competition diterapkan apabila sekolah berada dalam posisi
yang kuat dan banyak peluang yang teridentifikasi (S-O). Strategi ini
merupakan pemanfaatan peluang berdasarkan kekuatan yang dimiliki.
2) Strategi mobilization dipilih apabila organisasi memiliki kekuatan
yang cukup, tetapi diluar sana banyak ancaman yang harus dihadapi
(S-T). Dengan kata lain, organisasi harus menanggulangi ancaman
dengan memanfaatkan kekuatan yang ada.
3) Strategi investment/divestment diambil apabila organisasi dalam
kondisi yang lemah akan tetapi banyak peluang yang tersedia (W-O).
Dengan strategi ini organisasi memanfaatkan peluang yang ada untuk
meningkatkan kekuatannya.
4) Strategi damage control dipakai apabila organsasi berada pada
kondisi lemah dan harus banyak menghadapi ancaman (W-T).
Dengan strategi ini organisasi harus menekan kelemahan dan
ancaman secara bersama-sama.
Format matrik SWOT dimaksud adalah sebagai berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

43

Tabel 1.11 Matrik SWOT

STRENGTH
1.
2.
3.
4.
WEAKNESS
1.
2.
3.
4.

OPPORTUNITIES
1. .....
2. .
3. .....
4. .....
SO
Competition

THREATS
1. ....
2. ....
3. ....
4. ....
ST
Mobilization

WO
Investment/Divestmen

WT
Damage control

e. Matriks MacMillan
Kisi-kisi strategi ini, yang dikembangkan oleh Dr. Ian Macmillan,
dirancang khusus untuk membantu organisasi nir-laba, seperti sekolah, untuk
merumuskan strategi organisasi. Terdapat tiga asumsi yang menjadi dasar
pendekatan ini: (1) kebutuhan sumber daya pada dasarnya bersifat kompetitif dan
semua organisasi yang ingin bertahan hidup harus menyadari dinamika itu; (2)
oleh karena sumber daya yang tersedia itu sangat terbatas, maka tidak ada ruang
untuk duplikasi layanan jasa kepada satu konstituen karena hal ini dipandang
sebagai pemborosan dan tidak efisien; (3) layanan jasa yang berkualitas rendah
atau biasa-biasa saja dan diberikan kepada kahlayak luas kurang disukai
dibandingkan dengan jasa berkualitas tinggi dan diberikan kepada khalayak
khusus.
Asumsi-asumsi ini memberi implikasi yang sulit dan menyakitkan bagi
kebanyakan sekolah. Hal ini dapat ditindak lanjuti dengan penghentian programprogram tertentu untuk meningkatkan jasa dan kompetensi utama, memberikan
program-program dan khalayak sasaran yang lebih efisien dan efektif, atau
berkompetisi secara agresif melalui program-program yang tingkat efesiensi dan
efektifitasnya rendah. Matrik MacMillan menguji empat dimensi program yang
dapat membantu penempatan dalam kisi-kisi strategi tersebut dan
mengindikasikan strategi yang dapat dipilih.
1) Kesesuaian dengan visi, misi, dan tujuan
Program-program sekolah yang tidak sejalan dengan visi, misi, dan
tujuan, tidak dapat sekolah mampu didukung oleh pengetahuan dan
keterampilan organisasi, tidak memampukan sekolah untuk melakukan
penggunaan sumber daya bersama, dan/atau tidak memampukan sekolah
untuk melakukan koordinasi kegiatan lintas program sebaiknya dikurangi.
2) Posisi Kompetitif
Posisi kompetitif mengacu pada sejauh mana sekolah memiliki
kekuatan dan potensi yang lebih kuat untuk mendanai program dan
memberikan layanan berbasis klien dibandingkan dengan sekolah-sekolah
lain di sekitarnya.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

44

3) Kemenarikan Program
Kemenarikan program dilihat dari kompleksitasnya terkait dengan
pengelolaan porgram itu sendiri. Program-program dengan penolakan yang
rendah dari klien, mengalami pertumbuhan layanan berbasis klien, mudah
keluar dari hambatan yang dihadapi, dan didukung sumber daya keuangan
yang stabil merupakan program yang sederhana dan mudah dikelola.
Level kemenarikan program juga mencakup perespektif ekonomi atau
telaah terhadap peluang investasi sekarang dan masa yang akan datang.
4) Cakupan Alternatif
Cakupan alternatif adalah banyaknya organisasi lain yang berusaha
untuk memberikan atau ingin berhasil melaksanakan program yang sama di
wilayah yang sama dan kepada konstituen yang sama pula.
Matrik MacMillan (Tabel 5.1) terdiri dari sepuluh sel untuk
menempatkan program-program yang telah ditelaah atas dasar empat
dimensi tersebut. Masing-masing sel digunakan untuk menetapkan strategi
yang mengarahkan langkah ke depan dari program-program yang tercantum
dalam sel itu.
Tabel 6.3 Matrik MacMillan
Kemenarikan Program
Tinggi:
Program "Mudah"

Kesesuaian Posisi
dengan
KompetiVisi, Misi,
tif Kuat
& Tujuan
Baik
Posisi
Kompetitif Lemah
Kesesuaian dengan
Visi, Misi,
& Tjuan
Rendah

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Kemenarikan Program
Rendah:
Program "Sulit"

Cakupan
Alternatif
Tinggi

Cakupan
Alternatif
Rendah

Cakupan
Alternatif
Tinggi

Cakupan
Alternatif
Rendah

1. Kompetisi
Agresif
(Aggressive
competition)

2. Pertumbuhan
Agresif
(Aggressive
growth)

5. Meniru
pesaing yang
terbaik
(Build up the
best
competitor)

6. "Soul of the
Agency"

3. Divestasi
Agresif
(aggressive
divestment)

4. Membangun
Kekuatan atau
berhenti (build
up strength or
get out)

7. Divestasi
dengan
Teratur
(orderly
disvestment)

8. "Bantuan
dari Luar"
(Foreign
Aid) atau
Kerja Sama

9. Divestasi Agresif (aggressive


divestment)

10. Divestasi Dengan Teratur


(orderly disvestment)

45

VIII.

PROGRAM PENGEMBANGAN

A Pengertian dan Prinsip-Prinsip Program Pengembangan


Program pengembangan merupakan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mencapai
visi, misi, dan tujuan sekolah. Program pengembangan bersifat jangka panjang (5-10 tahun).
Program pengembangan merupakan bagian dari proses perencanaan strategis. Pada saat
penyusunan program pengembangan, perencana harus telah menuntaskan tugas-tugas:
perumusan atau telaah ulang visi, misi, dan tujuan serta analisis strategis yang meliputi telaah
diri, analisis SWOT, penetapan prioritas dan strategi. Program pengembangan secara khusus
mencakup pembuatan keputusan tentang siapa yang akan mengerjakan apa dan kapan dan
dengan langkah-langkah bagaimana untuk mencapai tujuan-tujuan strategis. Rancangan dan
implementasi program pengembangan bergantung pada sifat dan kebutuhan masing-masing
sekolah.
Masalah utama yang sering muncul saat proses perencanaan sampai pada tahap
penyusunan program pengembangan ini antara lain pihak perencana telah mengalami
kelelahan setelah menyelesaikan tahap-tahap perencanaan sebelumnya. Penyusunan program
pengembangan terasa lebih rumit dan membosankan dibandingkan tahap-tahap perencanaan
strategis sebelumnya yang terkesan lebih besifat kreatif. Oleh karena itu, penyusunan
program pengembangan sering terabaikan, dan membiarkan hasil-hasil yang diperoleh pada
tahap-tahap sebelumnya lebih sebagai khayalan, pernyataan-pernyataan filosofis yang tidak
bermanfaat dan tidak membumi pada realitas kegiatan sekolah sehari-hari. Langkah-langkah
penting yang telah dilakukan dalam perencanaan strategis itu menjadi sama sekali tidak
berguna.
Program pengembangan merupakan rencana yang harus disusun oleh setiap unit atau
individu yang ada dalam struktur organisasi sekolah. Masalah yang sering ditemukan dalam
penyusunan program pengembangan adalah kesulitan dalam memadukan rencana yang dibuat
oleh masing-masing unit tersebut baik dari sisi substansial maupun format dan tata-tulis. Oleh
karena itu sejak awal, harus terdapat kesepahaman di kalangan unit-unit itu bahwa:
1. Sasaran dan kegiatan masing-masing program pengembangan harus mengacu
pada pengembangan menyeluruh pada tingkat sekolah yang menggambarkan
bagaimana masing-masing tujuan strategis akan dicapai.
2. Masing-masing unit harus memiliki kegiatan yang memberi kontribusi terhadap
program pengembangan sekolah.
3. Masing-masing program pengembangan, secara bersama-sama, harus
menunjukkan bagaimana kesemuanya akan mengarah pada implementasi
program pengembangan sekolah secara keseluruhan.
4. Masing-masing program pengembangan dari unit-unit harus menunjukkan
hubungannya dengan program pengembangan sekolah secara keseluruhan baik
dengan program pengembangan yang lain maupun dengan program
pengembangan di tingkat manajemen puncak sekolah
Tujuan dari tahapan merancang program pengembangan ini adalah untuk memampukan
masyarakat sekolah menyusun rencana bagaimana menterjemahkan keputusan-keputusan
strategis kedalam tindakan. Tahapan penyusunan program pengembangan meliputi:
1. Perencanaan Program: membangun program pengembanganan yang rinci yang
menentukan apa yang sesungguhnya akan dilaksanakan untuk mencapai masingmasing tujuan.
2. Menuliskan Program: merancang struktur program pengembangan yang bersifat
menyeluruh serta menyusun draft dan mengkompilasikan semua bagianbagiannya.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

46

D Struktur Program Pengembangan


Penyusunan program pengembangan merupakan proses yang memampukan sekolah
untuk: (1) mengidentifikasi secara tepat apa yang diinginkan atau apa yang dibutuhkan untuk
mencapai hal-hal yang terkait dengan masing-masing prioritas, (2) merencanakan dan
mendokumentasikan sejumlah tindakan untuk mencapainya, dan (3) melakukan monitoring
dan evaluasi agar praktik-praktik tersebut dapat diperbaiki seiring dengan berkembangnya
pengalaman.
Sebuah program pengembangan harus difokuskan pada prioritas tertentu. Dalam
kaitannya dengan prioritas ini, program pengembangan mencakup:
1. Sasaran
: apa yang akan dicapai
2. Kegiatan
: jenis dan tahap-tahap pekerjaan yang akan
dilaksanakan untuk mencapai sasaran itu.
3. Sumber Daya
: sumber daya manusia, finansial, organisasi,
fasilitas fisik yang dibutuhkan dalam
implementasi.
4. Pendelegasian
: siapa mengerjakan
5. Kerangka-waktu
: kapan pekerjaan sesungguhnya dilaksanakan;
(Time-frames):
batas waktu tugas harus diselesaikan
6. Kriteria
: hasil yang akan menjadi indikator bahwa
Keberhasilan:
rencana tersebut sedang atau telah mencapai
sasaran yang diinginkan.
7. Prosedur Monitoring
dan Evaluasi
Selain terkait dengan pemahaman terhadap persoalan substansial, para penyusun
program pengembangan juga harus menyepakati hal-hal yang terkait dengan format dan
struktur penulisan. Hal ini sangat penting karena pertimbangan utama dalam merancang dan
menulis program pengembangan sekolah adalah bahwa rencana itu harus menjadi dokumen
resmi sekolah. Dengan demikian program pengembangan sekolah harus mudah dibaca,
mudah diikuti, dan ditata sedemikian rupa sehingga butir-butir isinya mudah dilacak dan
ditemukan. Untuk menjamin konsistensi gaya dan tata letak, atau kesesuaian antara bagianbagian yang berbeda, akan sangat bermanfaat apabila sedini mungkin disepakati tipe
dokumentasi yang akan digunakan. Format berikut ini dapat digunanakan untuk membantu
menyusun program pengembangan.
IX.

PENYUSUNAN RENCANA STRATEGIS

A. Pengertian
Suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1
sampai dengan 5 tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada
atau mungkin timbul.
B. Komponen Renstra
Rencana strategic mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, cara mencapai tujuan dan
sasaran, yang meliputi kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang realistic dengan
mengantisipasi perkembangan masa depan (Inpres No. 7 Tahun 1999).
1. Visi
Adalah gambaran masa depan tentang wujud organisasi yang realistic dan ingin
diwujudkan dalam kurun waktu tertentu (biasanya 5 tahun).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

47

Ciri kalimatnya :
Menjadi yang
Atau
To be ..
Tujuan Penetapan Visi :
Mencerminkan apa yang ingin dicapai sebuah organisasi
Memberikan arah dan focus strategi yang jelas.
Menjadi perekat dan menyatu berbagai gagasan strategic.
Memiliki orientasi terhadap masa depan.
Menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan organisasi.
Menjamin kesinambungan kepemimpinan organisasi.
Memungkinkan fleksibilitas dan kreativitas dalam pelaksanaannya.
Kriteria Visi :
Bukan fakta tetapi justru gambaran ideal (impian) masa depan yang ingin
diwujudkan.
Dapat mengilhami, mengarahkan, dan mendorong anggota organisasi dalam
berkinerja yang berkualitas.
Dinyatakan dalam satu kalimat.
Menggambarkan kondisi ideal, keunikan, dan keunggulan lembaga.
Contoh Visi.
Menjadi Katalisator Pembaharuan Manajemen Pemerintahan melalui
Pengawasan yang Profesional (BPKP).
Menjadi Lembaga Profesional dalam Meningkatkan Daya Saing SDM
Nasional melalui Diklat Jarak Jauh dan Program Jaminan Mutu Pnedidikan
lainnya. (PPPG Tertulis).
Penyusunan Visi
Visi harus merupakan visi bersama anggota organisasi/lembaga. Oleh karena itu visi
harus :
Disusun oleh semua unsure organisasi.
Terus menerus disosialisasikan ke seluruh anggota/warga.
Skenario Perumusan Visi Sekolah.
1. Jelaskan pengertian visi dan berikan contaoh-contahnya.
2. Bagikan 1 lembar kertas kosong dan 1 batang pensil kepada masingmasing peserta.
3. Minta masing-masing peserta menuliskan visi sekolah menurut
penilaian masing-masing. Beri waktu selama 20 menit.
4. Minta semua peserta menuliskan visi sekolah hasil renungan masingmasing di papan tulis, beri nomor 1 12 (untuk SD) atau 1 15 (untuk
SMP dan SMA) untuk masing-masing visi yang dibuat peserta.
5. Minta semua peserta membaca dan mempelajari semua visi yang ada
di papan tulis.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

48

6. Tugaskan peserta satu persatu memilih 3 visi yang menurut mereka


paling sesuai dan menantang dengan memberikan tanda Tally (1) di
belakang kalimat visi yang dipilih.
7. Hitunglah hasil pemilihan dan sisakan 3 visi dengan angka tertinggi.
8. Hapus visi lain yang tidak terpilih.
9. Minta 3 orang peserta yang mewakili masing-masing kelompok untuk
membuat akhir visi sekolah dengan mengkombinsasikan ketiga visi
dengan angka tertinggi tadi.
10. Sementara ketiga perwakilan menyusun rumusan akhir visi sekolah,
peserta lain dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing :
Kelompok A : Manajemen
Kelompok B : KBM.
Kelompok C : SDM.
Kelompok D : Fasilitas Lingkungan Hidup.
Catatan :
Pembagian kelompok sesuai dengan pembagian y.ng disepakati
11. Tugaskan masing-masing kelompok merumuskan 3 (tga)
tindakan
atau kegiatan yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan komponen.
Rumusan harus dalam satu kalimat tuntas dan dituliskan dalam
selembar kertas.
Catatan :
Seluruhnya ada 4 X 3 = 12 kegiatan.
12. Bila tim perumus visi selesai merumuskan visi, minta perwakilan dari
tim perumus menuliskan visi sekolah hasil rumusan mereka. Minta
peserta untuk memberikan saran bagi penyempurnaan kalimat visi
tersebut selama 10 menit.
Catatan :
Jaga jangan sampai ada yang mendominir dan mengubah rumusan secara total.
2. Misi
Misi adalah tindakan atau program yang harus dilakukan oleh lembaga/organisasi
guna mencapai visi.
Rumusan Misi
(+)
Kriteria
Aspek
Me kan (.)
Contoh Misi
1. Meningkatkan kecepatan dan kualitas layanan kepada pelanggan.
2. Mengutamakan keandalan produk.
Skenario Penyusunan Misi
1. Peserta diminta kemabli ke 4 kelompok. Minta tim perumus visi bergabung sesuai
pembagian kelompok yang telah dirancang pembina.
Catatan :
Untuk kegiatan ini akan ditetapkan 4 misi masing-masing untuk bidang :
Manajemen.
KBM.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

49

SDM.
Fasilitas Lingkungan Hidup.
2. Minta masing-masing kelompok selama 10 menit menyelesaikan rumusan 3 (tiga)
kegiatan yangtelah disusun ketika tim perumus visi sedang menyelesaikan
tugasnya.
3. Tugaskan juru bicara kelompok masing-masing menyajikan hasil kerja masingmasing kelompok. Minta kelompok lain menanggapi.
Catatan :
Arahkan agar pembahasan terfokus kepada :
Apakah rumusan tersebut mendukung pencapaian visi.
Apakah realitas.
Apakah menantang.
Adakah kalimat yang perlu diperbaiki.
4. Setelah semua hasil kelompok ditanggapi, tugaskan masing-masing kelompok
menyusun satu rumusan misi dari 3 rumusan sebelumnya (beri waktu 20 menit).
5. Perwakilan kelompok masing-masing manuliskan rumusan akhir misi sekolah
sehingga diperoleh 4 rumusan misi tersebut yang final.
Catatan :
Hindari debat kusir.
Jangan ada yang mendominir pembicaraan.
3. Merumuskan Moto Sekolah
Pengertian Moto :
Moto atau slogan adalah kata atau kalimat yang mewarnai dan menjiwai semua tindakan
serta membangkitkan semangat menggunakannya. Jadi di dalam moto terkandung system
nilai atau tekad dari yang membuat dan menggunakannya. Dengan kata lain moto juga
menggambarkan semangat dan cirri khas lembaga atau organisai.
Contoh moto :
Honda
: The power of dream.
Polytron
: The winning team.
Tempo
: Enak dibaca dan perlu.
IAI
: We are not the first but the best.
Skenario Perumusan Moto Sekolah
a. Minta semua peserta menuliskan satu moto untuk sekolahnya.
b. Satu persatu menuliskan moto yang dibuat di papan tulis.
c. Minta semua peserta satu persatu memilih 3 moto (memberikan tanda tally) yang
dinilainya paling sesuai dengan :
Ciri khas sekolah.
Visi dan misi sekolah.
Budaya dan system nilai masyarakat sekitar.
Tantangan lingkungan dan perkembangan eksternal (misal globalisasi,
IPTEK,Otda, dll).
d. Hitunglah jumlah pemilih untuk masing-masing moto.
e. Sisakan 3 (tiga) moto yang paling banyak dipilih peserta.
f. Minta semua peserta memilih 2 (dua) dari tiga moto yang tersisa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

50

Moto sekolah tersebut adalah moto yang mendapat skor


tertinggi
C. Tujuan
Tujuan adalah hasil akhir yang akan dicapai dalam jangka waktu 1 5 tahun.
Tujuan harus dapat menunjukkan suatu kondisi yang ingin dicapai di masa
mendatang.
Tujuan akan mengarahjan perumusan sasaran, kebijaksanaan, program, dan
kegiatan untuk merealisasikan misi.
Contoh Tujuan :
Meningkatnya organisasi dan manajemen sekolah yang baik.
Menigkatnya pelayanan prima kepada masyarakat dengan biaya yang wajar.
Meningkatnya akuntabilitas sekolah.
Meningkatnya kualitas pengedalian sekolah.
D. Sasaran
Penjabaran tujuan.
Penggambaran hal yang ingin diwujudkan melalui tindakan-tindakan yang diambil
organisasi guna mencapai tujuan (target terukur).
Jangka waktu sasaran dapat tahunan, semesteran, triwulan, atau bulanan.
Contoh Sasaran :
Meningkatnya kualitas SDM.
Meningkatnya standar pelayanan masyarakat.
Berkurangnya komplain dari orang tua siswa.
Meningkatnya efisiensi dan efektifitas pembelajaran.
E. Strategi
Suatu pertimbangan dan pemikiran yang logis, analitis, serta konseptual mengenai hal-hal
penting atau prioritas, yang dijadikan acuan untuk menetapkan langkah-langkah,
tindakan, dan cara-cara ataupun kiat-kiat yang harus dilakukan secara terpadu untuk
terlaksananya kegiatan operasional dan penunjang dalam menghadapi tantangan yang
harus ditangani dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan ataupun sasaran, hasil (out
put) yang harus dicapai serta kebijaksanaan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

F. Kebijakan
Ketentuan-ketentuan yang telah disepakati pihak-pihak terkait ditetapkan oleh yang
berwenang untuk dijadikan pedoman, pegangan, atau petunjuk bagi setiap usaha dan
kegiatan aparatur pemerintah maupun masyarakat agar tercapai kelancaran dan
keterpaduan dalam upaya mencapai sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi.
Contoh Kebijakan :
Kebijakan dalam bidang kurikulum :
Mengembangkan kurikulum berdasarkan kompetensi.
Mengembangkan bahan ajar berdasarkan kompetensi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

51

H. Kegiatan
Kegiatan merupakan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh organisasi untuk
merealisasikan program kerja oprasional. Kriteria yang digunakan dalam merumuskan
suatu kegiatan adalah SMART, yaitu :
Spesifik, menggambarkan hasil spesifik yang diinginkan.
Measureble, harus terukur dan dapat dipastikan waktu dan tingkat pencapaiannya.
Aggressive but attainable, kegiatan harus dijadikan standar keberhasilan dalam waktu
satu tahun sehingga harus cukup menantang namun masih dalam tingkat keberhasilan.
Result oriented, kegiatan harus menspesifikasikan hasil yang ingin dicapai dalam
periode satu tahun.
Time-bound, kegiatan harus dapat direalisasikan dalam waktu yang relatif pendek dari
beberapa minggu sampai beberapa bulan (tidak lebih dari satu tahun)
OUTLINE RENCANA STRATEGIS
BAB I
BAB II
BAB III

PENDAHULUAN
1. Rasional
2. Tujuan dan Manfaat.
VISI DAN MISI
1. Visi.
2. Misi
LINGKUNGAN STRATEGIS.
1. Lingkungan Internal
2. Lingkungan eksternal.
3. Faktor Penentu Keberhasilan.

BAB IVTUJUAN, SASARAN, DAN STRATEGI

BAB V
1.
2.
3.
BAB VI

1. Tujuan.
2. Sasaran.
3. Strategi (Kebijakan, Program, dan Kegiatan).
RENCANA KINERJA OPERASIONAL
Rencana Strategis lima tahun.
Rencana Kerja Tahunan.
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja.
PENUTUP

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

52

DAFTAR RUJUKAN

Arismunandar. 2007. Rencana Strategis Sekolah. Makalah disajikan pada Pendidikan


dan pelatihan Kemitaraan Kepala Sekolah yang diselenggarakan oleh Direktorat
Tenaga Kependikan, Ditjen PMPTK, Depdiknas di Jakarta, Juli 2007.
Brodjonegoro, S.S. (2003). Higher Education Long Term Strategy 2003-2010. Directorat
General of Higher Education, Ministry of National Education Republic of
Indonesia.
Bryson, J. M. (1995). Strategic Planning For Public and Nonprofit Organizations. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Canavan, N. & Monahan, L. (2000). School Culture and Ethos: Releasing the Potential.
A resource pack to enable schools to access articulate and apply ethos values.
Dublin: Marino Institute of Education.
Collins U. (1996). Developing a School Plan: A Step by Step Approach. Dublin: Marino
Institute of Education.
Colman H.& Waddington D. (1996). Synergy. Australia: Catholic Education Office.
Daft, Richard L. (1988). Management. Chicago: The Dryden Press.
Directorat General of Higher Education. (2003). Technological and Professional Skills
Development Sector Project (TPSDP) Batch III: Guidelines for Sub-Project
Proposal Submission. Jakarta: Directorat General of Higher Education, Ministery
of National Education.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2006). Panduan Penyusunan Proposal Program
Hibah Kompetisi. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdikas.
Duke, Daniel L. & Canady, Robert L. (1991). School Policy. New York: MacGraw-Hill,
Inc.
Dwyer, B. 1986. Catholic Schools at the Crossroads. Victoria: Dove Communications.
Furlong, C. & Monahan L. 2000. School Culture and Ethos. Dublin: Marino Institute of
Education.
Gorton, Richard A. & Schneider, Gail T. (1991). School-Based Leadership: Callenges
and Opportunities. Dubuque, IA: Wm. C. Brown Publishers.
Government of Ireland. (1999). School Development Planning An Introduction for
Second Level Schools. Dublin: Department of Education & Science.
Hargreaves, A. & Hopkins, D. The Empowered School: the Management and Practice of
Developmental Planning. London: Cassell, 1991.
Hargreaves, D. and Hopkins, D. (1993). School Effectiveness, School Improvement and
Development Planning, in Margaret Preedy (ed.) Managing the Effective School,
London: Paul Chapman Publishing.
Hope A., Timmel S. (1999). Training for Transformation. London: The Intermediate
Technology Group.
Kavanagh, A. (1993). Secondary Education in Ireland: Aspects of Changing Paradigm.
Tullow: Patrician Brothers Generalate.
Lerner, A.L. (1999). A Strategic Planning Primer for Higher Education. Northridge.
California: College of Business Administration and Economics, California State
University.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

53

Lyddon, J. W. (1999). Strategic Planning In Smaller Nonprofit Organizations: A


Practical Guide for the Process. Michigan: W.K. Kellogg Foundation Youth
Initiative
Partnerships
(in
Website:
http://www.wmich.edu/
nonprofit/Resource/index.html)
Mintzberg, H. (1994). The Rise and Fall of Strategic Planning. New York, NY: The Free
Press.
Mohrman, S.A., and Wohlstetter, P. (Ed.). (1994). School Based Management:
Organizing High Performance. San Francisco: Jossey-Bass Publisher
Morrison, James L., Renfro, William L., and Boucher, Wayne I. 1984. Futures Research
And The Strategic Planning Process: Implications for Higher Education. ASHEERIC Higher Education Research Reports
Nickols, K. and Thirunamachandran, R. (2000). Strategic Planning in Higher
Education: A Guide for Heads of Institutions, Senior Managers and Members of
Governing Bodies. In Website: www.hefce.ac.uk.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007
Tentang Standar Kepala Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan. 2005. Jakarta: Sekretariat Jenderal Departeman Pendidikan
Nasional.
Prayogo, Joko. 2007. Rencana Strategis. Makalah disajikan pada Pendidikan dan
pelatihan Kemitaraan Kepala Sekolah yang diselenggarakan oleh Direktorat
Tenaga Kependikan, Ditjen PMPTK, Depdiknas di Jakarta, Juli 2007.
Rowley, D. J., Lujan, H. D., & Dolence, M.G. (1997). Strategic Change in Colleges and
Unviversities. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
School Development Planning Initiative. (1999). School Development Planning: Draft
Guidelines for Second Level Schools. Dublin: SDPI,
Tuohy, D. (1997). School Leadership and Strategic Planning. Dublin: A.S.T.I
Umaedi. (1999). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah Pendekatan
Baru Dalam Pengelolaan Sekolah Untuk Peningkatan Mutu. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan
Menengah, Depdiknas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. 2003. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen
Pendidikan Nasional.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

54

You might also like