Professional Documents
Culture Documents
I.
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji
guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49
ayat 2).
Sehubungan dengan hal tersebut konsep pendidikan berbasis pada partisipasi
masyarakat layak diterapkan, salah satu wujud kerjasama sekolah dengan masyarakat adalah
pembentukan Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran
serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan
pendidikan di satuan pendidikan baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah
maupun jalur pendidikan luar sekolah.
Komite sekolah berkedudukan di satuan pendidikan. Komite sekolah dapat terdiri
dari satu satuan pendidikan, atau beberapa satuan pendidikan dalam jenjang yang sama atau
beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang tetapi berada pada lokasi yang berdekatan,
atau satuan pendidikan yang dikelola oleh suatu penyelenggara pendidikan.
Komite sekolah bertujuan untuk mewadahi dan menjalankan aspirasi dan prakarsa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan dan meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan serta menciptakan suasana dan kondisi
trasnparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang
bermutu di satuan pendidikan.
Peran komite sekolah sebagai pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol dan mediator.
Keanggotaan Komite Sekolah terdiri dari unsur masyarakat dan dewan guru/penyelenggara
sekolah/aparat desa dengan anggota sekurang-kurangnya 9 orang.
Tata hubungan antara komite sekolah dengan satuan pendidikan Dewan Pendidikan dan
institusi lain yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pendidikan bersifat koordinatif.
3. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education)
Agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yakni
memiliki keberanian dari kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan yang wajar
tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya
diperlukan pendidikan yang menerapkan prinsip pendidikan berbasis luas (Broad Based
Education) yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau keterampilan saja tetapi
juga belajar teori dan mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupannya.
Pendidikan dengan berorientasi pada kecakapan hidup (Life Skill) bertujuan untuk
mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan
problema yang dihadapi dan memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas serta
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah dengan memberi peluang
pemanfaatan sesuai dengan yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah.
Kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, kecakapan hidup dapat
dipilah menjadi kecakapan mengenal diri (kemampuan personal) kecakapan berfikir rasional,
kecakapan sosial kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.
Prinsip Pelaksanaan pendidikan life skill adalah :
a. Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini
b. Tidak menurunkan pendidikan menjadi pelatihan terintegrasi
c. Penerapan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat
d. Mengarahkan peserta didik agar hidup sehat dan berkualitas, memperoleh wacana
pengetahuan yang luas dan memiliki keinginan untuk mampu hidup layak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal. Sementara itu,
Kotter (1997) dalam buku Leading Change, menyatakan bahwa lembaga yang
terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat
memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah,
(2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi,
lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi
(1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat
yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.
Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas pengambilan
keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes dan
konstruktif.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang
pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk
melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske
(Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga
yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan
segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta
penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite
(1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai the devolution of authority from
a higher level of government, such as a departement of education or local education
authority, to a lower organizational level, such as individual schools. Sementara itu,
menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen
untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan
sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk
memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya,
baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang
diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas
(kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah
yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi
administrasi (administrative decentralization).Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal
tingkat kewenangan yang dilimpahkan.
Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda
menerima kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang
otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk
masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem
pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangankewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan yang
dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan
kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang bersifat
implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini,
pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro,
sedangkan pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan,
mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai
pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan
desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of schools, (b) the
belief that local participation is a logical form of governance in a democracy, dan (c) in
relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic
growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
(4) eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga
kultural.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan
keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan
integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi,
kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka
memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif
dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas
yang akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.
Model-Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda membawa konsekuensi pada
model pelaksanaannya. William (Depdiknas, 2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga
model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi
(devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan
pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga
lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh.
Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan membentuk lembaga setingkat
direktorat di daerah yang dapat melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan
kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom.
Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah
memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi
pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi
pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang diberikan ini
lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan
pemegang kekuasaan di pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan.
Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model
delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang
dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar
kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus
dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi
penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan kewenangan itu,
termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai membantu dan
menguntungkan mereka.
Rondinelli (Husen & Postlethwaite, 1994:1412) menambahkan satu kategori lagi,
yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan
pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi
penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61), dalam kasus pembicaraan
desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung
mengambil model yang terakhir, swastanisasi. Selain tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk
ini terkesan hanya sekedar pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah
menjadi urusan masyarakat.
Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model desentralisasi
pendidikan, yaitu (1) manajemen berbasis lokasi (site-based management), (2) pengurangan
administrasi pusat, dan (3) inovasi kurikulum. Pada model manajemen berbasis lokasi
dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah.
Model pengurangan administrasi pusat merupakan konsekuensi dari model pertama.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
Pengurangan administrasi pusat diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada
masing-masing sekolah. Model ketiga, inovasi kurikulum menekankan pada inovasi
kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua
peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau
sekolah yang bervariasi. Di antara ketiga model ini, model manajemen berbasis lokasi yang
banyak diterapkan, untuk meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan
kepada guru-guru, orang tua, siswa dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma
pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang
saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top
down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi
orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya
peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi
non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren, maupun
dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).
Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang Materi
Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari
sentralistik ke desentralistik dan orientasi pendekatan dari atas ke bawah (top down
approach) ke pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach) sebagaimana yang
sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru pendidikan
lainnya, yaitu dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi, dari Manajemen Tertutup
(Closed Management) ke Manajemen Terbuka (Open Management), dan pengembangan
pendidikan, termasuk biayanya, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke
sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran
paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.
a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh
kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud.
Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota,
bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-kebijakan
yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan
sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah
ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi,
potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.
Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik
dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas
Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan
juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada
rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota
dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah,
mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan
tersebut, Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah
Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masingmasing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam
bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masingmasing atas dasar konsep manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis
masyarakat
Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan
dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses
demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di
unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan
berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolahsekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.
b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan
dengan mekanisme pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) Berbagai
kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh
Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam
hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan
oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah.
Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan
dilakukan dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach).
Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi,
misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan, dan
sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai
kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi unjuk rasa para
guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang
tidak sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya
diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan
lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan
teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif,
sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul
Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam
pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang
lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di
Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik
lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah
kebanyakan terpisah-pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri,
seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik.
Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan
budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif,
dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan
holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan
(connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
10
11
terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta
didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam
pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong
partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di
tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada
keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah.
Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan,
akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara
terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia
persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi
calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil
pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah
hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan
kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan
pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan
melalui pemungutan suara.
e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.
Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi,
masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama
institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi
kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat
berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan
tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda
bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi
pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang
terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor
swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi
kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau
berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan anak-anak kurang beruntung
(miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan sebagainya).
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai
kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan,
pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment) dan
pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).
f. Dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi.
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan
dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan
(regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh
Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-sekolah,
dalam iklim birokrasi berlebihan. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan
adanya kasus birokrasi yang berlebihan dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan
kekuasaan berlebihan dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini
telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah.
Dalam era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan jalan memperpendek
jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
12
atas dasar kekuasaan atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme
dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi.
Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan aturan-aturan
kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan
kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk
gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk
sekolah.
g. Dari manajemen tertutup (close management) ke management terbuka (open
management).
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk manajemen tertutup, sehingga tidak
transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.
Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan manajemen terbuka dari
pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan
kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan
secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka
untuk menerima kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
h. Dari pengembangan pendidikan terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah
berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan
masyarakat (stakeholders)
Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar
menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang
tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa
gaji honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lain-lain,
diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan
masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak
bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah
Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan
pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari
Dinas Propinsi.
Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan
pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma
baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma
dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh lima
aspek, yaitu sifat, pendekatan, kewenangan pengambilan keputusan, produk serta pola
perencanaan anggaran.
Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada tingkat
daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk kegiatan yang
wajib dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan
kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam pelaksanaannya telah dituangkan dalam
bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
Pada tingkat Departemen, Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen Rencana
Strategis (Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai tujuan program
pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan Menteri.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
13
Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program pembangunan tahunan yang
disingkat Propeta yang dituangkan dalam Keputusan Menteri, sesuai dengan lingkup tugas
dan kewenangan masing-masing
Selain itu, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan
prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan
masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah
Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah yang baik
dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang makro, tetapi juga
dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah masing-masing
sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Perencanaan program
pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian atau fotokopi dari perencanaan program
tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan
mandiri sehingga beragam, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan
nasional.
Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma
dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit sektoral menjadi
integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran
pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan,
Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah
otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana
Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu
meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana perbantuan,
pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat. Dengan demikian, telah terjadi perubahan
sumber anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamakfungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor.
Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang
sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di bidang
pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis kegiatan, bahkan
dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi Daerah dapat dan harus
menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan sampai dengan alokasi
anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan
kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditetapkan.
Sementara dari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk
perencanaan pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan
pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk
perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan
pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program, sasaran dan
kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan pembangunan Daerah secara
terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara spesifik sesuai dengan kemampuan
dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas
nasional, dan program-program strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dampak dari pergeseran paradigma dari keempat aspek tersebut di atas juga
membawa dampak pada perubahan pola perencanaan anggarannya. Pola perencanaan
anggaran menggunakan pendekatan integratif, sehingga pola dalam merencanakan anggaran
selain mengacu pada sifat prosedural juga menggunakan prinsip efisiensi dengan berorientasi
outcomes karena tingkat keberhasilan pendidikan dikontraskan dengan tingkat keberhasilan
sektor lain. Pola manajemen anggaran yang tepat adalah manajemen strategik anggaran yang
lebih berorientasi kepada pencapaian program dan upaya pengembangan.
14
Gambar 1.1
Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Model proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus memberi gambaran mengenai
tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya adalah
sebagai berikut.
1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan
eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya:
Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb),
tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan,
pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan lingkungan strategis harus
diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan
tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.
2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam
kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi,
dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya
pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini.
3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang dituangkan
dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya
pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan
kabupaten/kota.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
15
4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi
penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana
jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan
kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen
pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.
5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun
(rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya
nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan
kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap
hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan
sesuai dengan yang direncanakan.
Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-tahap perencanaan
pendidikan di atas bisa digambarkan dalam bentuk sebagai berikut.
Gambar 1.3.
Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah
perencanaan dibuat dalam rangka mengubah situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan)
menuju ke situasi pendidikan yang diharapkan di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata
kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program pendidikan.
1. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu
ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang
memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti
suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen.
Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil
keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau
terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).
Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang
dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
16
demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilainilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori,
kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi dan kebijakan etik.
Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara kebijakan substantif dan
kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus
operasionalisasi dari kebijakan substantif.
Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy)
yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang
dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau
petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai
tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai tujuan
organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut.
Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan
memperhatikan kebijakan yang sederajat yang lain;
Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;
Kebijakan yang dibuat harus adil;
Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;
Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah ada;
Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor dan
dievaluasi;
Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar dan up to date;
Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan
terlebih dulu.
Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984) menjelaskan bahwa Policy is sometimes
used in a narrow sense to refer to formal statements of action to be followed, while others use
the word policy as a synonym for words such as plan or programme. Many writers too
do not distinguish clearly between policy-making and decision-making. Selanjutnya
dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan dengan konsep lain, yaitu :
Goals : desired ends to be achieved.
Plans or proposals : specified means for achieving goals.
Programmes : authorized means, strategies and details of procedure for achieving
goals.
Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and evaluate
programmes
Effects : measurable impact of programmes
Laws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to policies.
Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather than
random or chance behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than separate
discrete decision; usually policy development and application involves a number or related
decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose
and whether they are explicitly stated. Policies may be either positive or negative in the sense
that they can have as their basis decisions to take particular action in response to a problem,
as well as developing simply from failure to act, or from decisions to delay action. Policies
include substantive policy as well as procedural or administrative policy.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya
perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan
pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai
atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
17
Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat dicapai secara efektif
dan efisien.
2. Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang
telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan
pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana
melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan
eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang bermanfaat bagi
penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk
merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku
pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan,
pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan.
Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan
dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan
pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah, oleh
karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang
serius sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah
kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang
menggunakan teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh
organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa
dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi dan programprogramnya, serta peta urutan pelaksanaannya
3. Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan
pendidikan yang telah ditetapkan.
4. Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
a. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan
yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian
kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh
haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib
berupaya untuk memenuhinya.
Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator
keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan akses
pendidikan sebagai berikut.
18
Tabel 1.4
Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan
Studi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan
pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R Tilaar,
1994: 29) yang berjudul Equality of Educational Opportunity. Coleman membedakan secara
konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif, dengan pemerataan
pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif lebih menekankan pada
kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif
ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah kepada murid-murid terdaftar agar
memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.
Komponen-komponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas
diungkapkan oleh Schiefelbein dan Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka
menggunakan landasan konsep pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif
daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan konsep
mereka, pemerataan pendidikan atau equality of educational opportunity tidak hanya terbatas
pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah (pemerataan
kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi lebih dari itu, murid tersebut
harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk, belajar, lulus, sampai dengan
memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti dalam kehidupan di masyarakat.
Pertama, pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access). Konsep ini
berkaitan erat dengan tingkat partisipasi pendidikan sebagai indikator kemampuan sistem
pendidikan dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak usia sekolah untuk
memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan ini dapat dikaji berdasarkan dua konsep
yang berlainan, yaitu pemerataan kesempatan (equality of access) dan keadilan (equity) di
dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan.
Kedua, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival).
Konsep ini menitikberatkan pada kesempatan setiap individu untuk memperoleh keberhasilan
dalam pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis ini mencurahkan perhatian pada tingkat
efisiensi internal sistem pendidikan dilihat dari beberapa indikator yang dihasilkan dari
19
metode Kohort. Metode ini mempelajari efisiensi pendidikan berdasarkan murid-murid yang
berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang mengulang kelas dan yang putus sekolah.
Ketiga, pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar
(equality of output). Dilihat dari sudut pandang perseorangan equality of output ini
menggambarkan kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kemampuan dan
ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa membedakan variabel suku bangsa, daerah,
status sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep output pendidikan biasanya diukur dengan
prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu sendiri, konsep ini
menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan sumber
daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan
mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam
hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam
kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan
pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan
dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan
disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi
pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya
meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja,
fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan status attainment analytical
model, dan sebagainya.
Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan
keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk
siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi daerahdaerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM, peningkatan angka melanjutkan,
pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.
b. Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang
menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas
pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal
dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran dunia pendidikan,
seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan
faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini haruslah saling menunjang
dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu implikasi langsungnya ialah pada
perlunya program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan
prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau
masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar
lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan
bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga
pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas pendidikan,
pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas,
siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di
tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan model pembelajaran
(pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran kontektual,
pembelajaran kooperatif dan sebagainya).
c. Efisiensi pendidikan;
Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
20
internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan
input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah.
Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya yang digunakan untuk
menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan nonekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh
perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio
keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah,
dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.
d. Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs),
baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang
meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya,
program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-siswa yang tidak
melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan jumlah
siswa yang terserap di dunia kerja.
e. Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit
organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan
(UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan
kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan. Pengembangan kapasitas tingkat
makro meliputi : (1) arahan-arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol.
Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam merumuskan visi, misi,
tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan pendidikan, manajemen pada semua aspek
pendidikan (kurikulum, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi
manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan,
pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta
struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan
mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia
(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan,
perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan, pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh
kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu antara
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-masing memiliki pengaruh
terhadap pendidikan anak.
Khusus mengenai kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dalam
kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan
pendukung sebagai berikut.
21
Tabel 1.5
Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya saing
22
III.
Sebagai pengelola satuan pendidikan, harus mendasarkan semua kebijakan yang dibuat
dan dilaksanakan di sekolah pada semua kebijakan pendidikan yang berlaku baik secara
nasional, propinsi, maupun kebupaten/kota. Adalah suatu keharusan bagi setiap pemimpin
satuan pendidikan untuk memahami dengan seksama setiap kebijakan yang berlaku di bidang
pendidikan itu. Pemahaman ini akan sangat membantu sekolah untuk memiliki wawasan
dalam skala nasional maupun regional dan lokal, kemudian mewujudkannya dalam tindakantindakan nyata pada tingkat satuan pendidikan. Dengan demikian, setiap langkah dan
kebijakan yang dilakukan di sekolah benar-benar terilhami dan didasari oleh kebijakan
nasional di bidang pendidikan dan akan mengarah pada cita-cita pendidikan nasional yang
dituangkan dalam visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional. Peraturan perundang-undangan
utama yang harus dipahami antara lain: Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Terus mengikuti perkembangan kebijakan pendidikan lainnya baik
dalam skala nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota. Berikut diuraikan hal-hal pokok
yang diatur dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut.
A Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Uraian singkat berikut menyajikan hal-hal pokok yang tercantum dalam UU Sisdiknas
nomor 20 tahun 2003 yang harus dipedomani oleh kepala sekolah dalam penyusunan rencana
pengembangan sekolah, yang meliputi visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional, sumber
daya pendidikan, pengelolaan pendidikan, dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Visi Pendidikan Nasional
Visi Pendidikan Nasional adalah wujud sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang
kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah.
Misi Pendidikan Nasional
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
b. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
c. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
d. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global; dan
e. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
1. Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi pendidikan nasional adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
23
nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2. Pengelolaan Pendidikan
Berkaitan dengan sumber daya pendidikan, hal-hal yang perlu dijadikan acuan dalam
perencanaan pengembangan sekolah adalah pasal-pasal dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun
2003 yang mengatur tentang pendidik dan tenaga kependidikan (pasal 39 sampai dengan
pasal 44), sarana dan prasarana pendidikan (pasal 45), dan pendanaan pendidikan (pasal 46
sampai dengan pasal 49).
Pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 merupakan pasal penting yang
harus dijadikan pijakan dalam perencanaan pengembangan sekolah. Pasal ini menentukan
bahwa pengelolaan sekolah harus menerapkan manajemen berbasis sekolah, sebagaimana
ditegaskan: Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah.
3. Peran Serta Masyarakat
Berkenaan dengan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, hal-hal
penting yang harus dipahami oleh perencana pengembangan sekolah meliputi ketentuanketentuan yang diatur dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 54, 55, dan 56. Pasal
54 mengatur bentuk dan ruang lingkup peran serta masyarakat, sebagai berikut:
a. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
b. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
Pasal 55 UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengatur prinsip-prinsip pendidikan
berbasis masyarakat. Dalam pasal ini ditetapkan bahwa:
a. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
b. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai
dengan standar nasional pendidikan.
c. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah.
Selain hal-hal pokok yang diuraikan di atas, para perencana pengembangan sekolah
juga perlu untuk mengkaji dan memahami secaha komprehensif ketentuan-kentuntuan lain
yang diatur dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 agar setiap keputusan yang dimbil
tidak bertentangan dengan kebijakan nasional di bidang pendidikan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Sasaran minimal pengembangan sekolah yang dituangkan dalam setiap rencana
pengembangan sekolah haruslah menggunakan standar penyelenggaraan pendidikan yang
berlaku secara nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan merupakan ketentuan rinci mengenai standar-standar nasional
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
24
25
Standar pengelolaan tersebut mengisyaratkan bahwa sejak saat ini sekolah sebagai
satuan pendidikan memiliki peran, wewenang dan tanggung jawab yang sangat strategis dan
jauh lebih luas di bandingkan masa sebelumnya. Sekolah dituntut untuk lebih mandiri, lebih
mampu membangun hubungan kemitraan dengan dan memperkuat partisipasi semua
pemangku kepentingan (stakeholders), bersikap lebih terbuka dan akuntabel.
Kewenangan yang begitu luas yang diberikan kepada sekolah pada gilirannya menuntut
setiap sekolah mereformasi dirinya. Setiap sekolah harus beralih dari budaya dan manajemen
yang bersifat menunggu dan bertindak sesuai kebijakan atas yang bersifat konvensional
kepada sebuah budaya dan manajemen baru yang menempatkan hasil telaah diri sebagai titik
awal usaha pengembangan, kemandirian dan akuntabilitas sebagai instrumen utama dalam
proses pengembangan dirinya, dan peningkatan mutu sebagai muara dan tujuan utama dari
setiap usaha pengembangan itu.
IV.
26
Tujuan taktis dan tujuan operasional masing-masing merupakan tujuan-tujuan yang harus
dicapai pada rencana taktis (tactical plan) dan rencana operasional (operational plan).
Perlu dicatat bahwa semua sekolah, apapun bentuknya, berdiri atau didirikan atas dasar
asumsi, keyakinan, sistem nilai dan mandat tertentu. Dalam kaitannya dengan perencanaan
pengembangan, dasar-dasar keberadaan ini disebut dengan premis lembaga atau premis
sekolah. Permis-premis sekolah itu biasanya disajikan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan
nilai-nilai fundamental organisasi. Visi dapat dipandang sebagai alasan atas keberadaan
lembaga dan merupakan keadaan ideal yang hendak dicapai oleh lembaga; sedangkan misi
adalah tujuan utama dan sasaran kinerja dari lembaga. Keduanya harus dirumuskan dalam
kerangka filosofis, keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut oleh sekolah yang
bersangkutan dan digunakan sebagai konteks pengembangan dan evaluasi atas strategi yang
diinginkan.
Premis-premis tersebut harus menjadi titik-tolak dalam perencanaan. Tujuan dan cara
untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam rencana harus berada dalam kerangka premispremis itu. Untuk memudahkan pemahaman, Gambar 2.1 mengilustrasikan hubungan antara
premis organisasi, hierarki tujuan, dan bentuk rencana sebagaimana diuraikan di atas.
Visi, Misi, dan Nilai-Nilai Dasar
(Premis Sekolah)
Manajemen Puncak
(Tingkat Sekolah)
Tujuan (hasil)
Rencana (alat)
Tujuan Strategis
Rencana Strategis
Manajemen Menengah
Tujuan Taktis
(Bidang Kurikulum, Kesiswaan, dsb.)
Manajemen Bawah
(Mapel, Individu Guru)
Rencana Taktis
27
kinerjanya. Oleh karena itu, selain didasarkan pada visi dan misi sekolah, perencanaan
pengembangan harus didasarkan atas pemahaman yang mendalam tentang keberadaan dan
kondisi sekolah pada saat rencana pengembangan itu disusun. Pemahaman semacam ini dapat
dilakukan melalui kajian dan telaah mendalam terhadap kondisi internal maupun lingkungan
eksternal dimana sekolah itu berada.
a.
28
perencanaan pengembangan harus menjadi modus operandi normal bagi setiap sekolah.
Bagi sekolah pada umumnya, perencanaan pengembangan yang sistematis akan memerlukan
perubahan mendasar dari kondisi yang ada sekarang. Bab ini memaparkan inovasi tantangan
yang harus diatasi dengan cermat untuk menjamin keberhasilan pengintegrasian perencanaan
pengembangan ke dalam kehidupan sekolah, sehingga perencanaan akan menjadi budaya
dalam manajemen sekolah.
Berdasarkan penelitian internasional terhadap perubahan pendidikan pada umumnya,
penumbuhan budaya perencanaan pengembangan sekolah dibagi menjadi tiga tahap:
Pemulaan (Inisiation): tahapan ini meliputi penetapan keputusan untuk memulai
perencanaan pengembangan sekolah, menumbuhkan komitmen terhadap proses
perencanaan, dan penyiapan partisipan.
Pembiasaan (Familirialisation): tahap ini mencakup siklus awal dari perencanaan
pengembangan sekolah, dimana masyarakat sekolah belajar bagaimana melaksanakan
proses perencanaan pengembangan itu.
Penyatuan (Embedding): tahap ini terjadi ketika perencanaan pengembangan sekolah
telah menjadi bagian pola kehidupan sekolah sehari-hari dalam melaksanakan segala
sesuatu.
1) . Tahap Pemulaan (Inisiation)
Secara formal semua pengelola sekolah bertanggung jawab atas inisiatif
perencanaan pengembangan sekolah untuk menjamin bahwa keputusan untuk
menyusun rencana pengembangan sekolah benar-benar terlaksana dan terwujud. Akan
tetapi, pada praktiknya, inisiatif itu pada umumnya diambil oleh kepala sekolah atau
komite sekolah.
Apabila diinginkan keberhasilan dalam inovasi sekolah, pengembangan
komitmen guru terhadap inovasi itu menjadi hal yang esensial. Mereka harus benarbenar memahami hal-hal pokok berkaitan dengan apa, mengapa, dan bagaimana
perencanaan pengembangan sekolah dilakukan. Guru-guru harus disadarkan tentang
peran yang harus mereka ambil dalam proses perencanaan dan manfaat apa yang dapat
mereka peroleh dari proses itu. Pemahaman mereka harus difokuskan pada keterkaitan
antara proses dengan isu-isu yang penting bagi guru pada umumnya, sehingga relevansi
proses perencanaan dan kebutuhan sekolah dapat disampaikan dengan jelas. Penjelasan
serupa juga harus dilakukan kepada semua mitra kerja yang ada di lingkungan sekolah
agar proses perencanaan pengembangan sekolah memperoleh dukungan dari mereka.
Kegiatan-kegiatan berikut merupakan cara-cara yang dapat membantu warga
sekolah untuk mempersiapkan partisipasinya dalam proses perencanaan pengembangan
sekolah.
a. Membaca berbagai panduan, buku-buku pegangan dan laporan-laporan hasil
penelitian mengenai perencanaan pengembangan sekolah.
b. Mencari saran-saran, masukan dan dukungan dari lembaga-lembaga yang peduli
terhadap pendidikan yang ada di sekitar sekolah.
c. Menghadiri seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan yang relevan dengan
perencanaan pengembangan sekolah.
d. Menghubungi sekolah-sekolah lain yang dipandang lebih maju dibidang
perencanaan pengembangan sekolah untuk menggali dan belajar dari
pengalaman yang mereka miliki.
e. Mengundang pembicara dari luar untuk menyajikan paparan tentang
perencanaan pengembangan sekolah di hadapan guru, pengelola sekolah,
komite sekolah, dan orang tua, baik secara bersama-sama atau terpisah.
29
30
Merumuskan:
Visi
Misi
Tujuan
Telaah Diri
(Self Review)
Memilih
Prioritas dan Strategi Pengembangan
Menyusun:
Program
Pengembangan
Menyusun
Rencana Operasional Tahunan
Menyusun
Rencana Pendapatan dan Belanja Sekolah
V.
31
4. Siapa stakeholder utama sekolah ini, bagaimana sekolah merespon kebutuhan para
stakeholder itu, dan bagaimana sekolah mengetahui keinginan yang mereka harapkan
dari sekolah, dan
5. Apa yang membuat sekolah tersebut unik atau berbeda dengan yang lain, dan karena
itu, apa yang membuat sekolah ini memiliki keunggulan kompetitif.
Misi sekolah merepresentasikan raison detre atau alasan mendasar mengapa sebuah
sekolah didirikan. Rumusan misi mencakup pesan-pesan pokok tentang (1) tujuan asalmuasal (original purpose) didirikannya sekolah, (2) nilai-nilai yang dianut dan melandasi
pendirian dan operasionalisasi sekolah, dan (3) alasan mengapa sekolah itu harus tetap
dipertahankan keberadaannya.
Tujuan strategis sekolah merupakan pernyataan umum tentang tujuan pendidikan di
sekolah itu. Tujuan-tujuan itu harus berkait dengan usaha mendorong perkembangan semua
siswa baik secara intelektual, fisikal, sosial, personal, spiritual, moral, kinestetikal, maupun
estetikal. Tujuan sekolah harus memberikan fokus yang jelas bagi sekolah. Tujuan sekolah
harus dirumuskan dalam kerangka visi dan misi sekolah. Aspirasi semua stakeholder harus
terwadahi dalam konteks yang lebih luas dari rumusan visi dan misi sekolah.
Selain ketentuan yang bersifat umum tersebut visi, misi, dan tujuan strategis sekolah
harus juga dirumuskan dalam kerangka visi, misi, dan tujuan pendidikan baik pada skala
nasional, regional (propinsi) maupun, daerah (kabupaten/kota).
1
32
merasa lebih terbantu untuk memulai perencanaan dengan mentelaah (review) dan
dengan mendalami pemahaman terhadap visi, misi, dan tujuan, melakukan klarifikasi
melalui partisipasi dalam proses perencanaan, dan melalui refleksi terhadap faktorfaktor kontekstual yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional yang kelak
berpengaruh terhadap pembentukan masa depan sekolah.
Apabila keputusan yang diambil adalah menunda penyiapan perumusan resmi
visi, misi, dan tujuan hingga dicapainya proses perencanaan pada tahap lebih lanjut,
sangat dianjurkan agar sedari awal dilakukan identifikasi terhadap nilai-nilai bersama
yang mendasari telaah dan mengusahakan pengembangan. Klarifikasi dan elaborasi
terhadap prinsip-prinsip dasar tersebut dijadikan bagian integral dari proses
perencanaan.
2. Perumusan Visi
Visi merupakan gambaran positif kemana kita akan menuju di masa yang akan
datang. Sistem pendidikan nasional, misalnya, memiliki visi terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk mencapai
visi ini, kita harus mengerahkan semua daya dan upaya yang untuk mengatasi berbagai
tantangan dan memanfaatkan berbagai peluang yang kita hadapi.
Rumusan visi harus spesifik dengan agenda yang jelas dan kuat, sesuatu yang
bermakna untuk dicapai. Rumusan visi harus sederhana, mudah dipahami, lengkap dan
menjadi milik semua pihak terkait, dan menjadi penentu arah yang kita tuju. Visi harus
bersifat jangka panjang. Agar memudahkan kita untuk mengingatnya, kita sering
merumuskan visi dalam bentuk yang pendek berupa sebuah frasa yang mudah
ditangkap.
Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan ketika merumuskan visi
sekolah adalah: Sosok sekolah seperti apa yang saya inginkan pada lima atau sepuluh
tahun yang akan datang?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus memanfaatkan pengatahuan tentang
kondisi sekolah yang ada saat ini untuk menentukan apa yang mungkin dicapai pada
kurun waktu lima atau sepuluh tahun mendatang. Langkah pertama untuk menjawab
pertanyaan tersebut dapat dilakukan melalui curah pendapat (brainstorming) yang
melibatkan guru, staf sekolah, orang tua, dan komite sekolah. Setiap orang diberi
kesempatan untuk mengemukakan dua atau tiga kata kunci yang mengambarkan sosok
sekolah yang diinginkan pada lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Catat semua
kata-kata kunci yang mengemuka.
Langkah berikutnya adalah mengelompok-kelompokkan berdasarkan
karakteristik tertentu. Sekolah yang berhasil biasanya memiliki karakteristik yang dapat
dikelompokkan menjadi lima kategori: hasil pendidikan, proses pendidikan, dan citra
sekolah dimasyarakat. Contoh visi SD dapat dirumuskan sebagai berikut:SDN
Kesatrian I Kecamatan Pringgondani Kabupaten Amarta
menjadi sekolah yang terunggul bertaraf internasional menjelang tahun 2015
Rumusan visi memberikan arah kemana sekolah akan dikembangkan dalam
ruang lingkup yang luas. Pada contoh tersebut, makna kata terunggul dan bertaraf
internasional harus disepakati oleh semua pihak terkait.
Bagi sekolah yang telah memiliki rumusan visi, langkah awal yang mungkin
dilakukan dalam penyusunan rencana pengembangan sekolah adalah melakukan telaah
terhadap rumusan visi yang ada untuk menentukan relevansi dan validitas dengan
kondisi terkini. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam telaah ini antara lain:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
33
34
sifatnya, tujuan strategis merupakan pernyataan umum tentang arah kemana kelak organisasi
akan menuju di masa depan.
Tujuan strategis dapat dibedakan menjadi delapan tipe. Sekolah dapat menggabungkan
dua atau lebih dari tipe-tipe tujuan itu sesuai dengan rumusan visi dan misinya serta nilainilai dasar yang dianut.
1. Pangsa Pasar Pendidikan: Tujuan yang mengindikasikan dimana posisi yang
diinginkan sekolah di masa depan relatif terhadap sekolah lain yang sejenis terkait
dengan keberterimaan lulusan oleh sekolah pada jenjang berikutnya dan juga kualitas
dan kuantitas calon siswa yang berminat menjadi siswa di sekolah tersebut.
2. Inovasi Pendidikan: Tujuan yang mengindikasikan komitmen pihak pengelola
sekolah terhadap pengembangan layanan pendidikan baru dan pendekatan, strategi,
atau metode baru dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Produktivitas Pendidikan: Tujuan yang mengarah pada level efisiensi, produktivitas
dan kualitas pendidikan.
4. Sumberdaya fisik dan keuangan: Tujuan yang berkaitan dengan penggunaan,
perolehan, dan pemeliharaan sumber-sumber investasi dan keuangan.
5. Keuntungan: Tujuan yang memfokus pada tingkat keuntungan dan indikatorindikator yang berkaitan dengan kinerja keuangan sekolah.
6. Kinerja dan Pengembangan Manajemen: Tujuan yang menekankan pada tingkat
produktivitas dan pertumbuhan manajemen.
7. Kinerja dan Sikap Pendidik dan Tenaga Kependidikan: Tujuan yang berkaitan
dengan tingkat produktivitas dan prilaku positif yang diharapkan dari kalangan staf
sekolah.
8. Tanggung Jawab Sosial: Tujuan yang mengindikasikan tanggung jawab sosial
sekolah terhadap para pihak yang berkepentingan di luar sekolah dan masyarakat.
Agar tujuan benar-benar efektif dan cukup punya peluang untuk dicapai, maka rumusan
tujuan harus memenuhi sejumlah kriteria keefektifan. Kriteria keefektifan tujuan dapat dilihat
dari karakteristik tujuan itu sendiri dan prilaku dalam proses tujuan itu dirumuskan. Dari segi
karakteristiknya, sebuah tujuan yang efektif harus memenuhi lima kriteria: spesifik dan
terukur, mencakup dimensi-dimensi kunci, realistis namun menantang, terbatasi oleh kurun
waktu tertentu, dan terkait dengan imbalan atau ganjaran. Dari segi prilaku dalam proses
perumusannya, sebuah tujuan akan efektif apabila mampu membangun kerjasama diantara
bagian-bagian yang ada dalam organisasi sekolah dan adanya partisipasi dari semua warga
sekolah untuk mengadopsi dan mengimplementasi tersebut. Uraian berikut memaparkan
secara rinci kriteria keefektifan tujuan tersebut. Untuk memudahkan kita mengingat, tujuh
kriteria tujuan yang efektif tersebut dapat diringkas menjadi lima kriteria yang disingkat
SMART. Kelima kriteria itu meliputi: spesifik (specific), dapat dikelola pencapaiannya
(manageable), disepakati (agreed upon) oleh semua warga sekolah, didukung sumber daya
yang memadai (resources supported), dan terdapat batasan waktu (time-bound).
VI.
TELAAH DIRI
Tujuan telaah diri adalah untuk memampukan (enabling) warga sekolah: (1)
mendefinisikan kondisi dari sekolah saat ini; (2) menganalisis kondisi saat ini dalam
kaitannya dengan bagaimana dan seperti apa sekolah kelak diinginkan di masa depan; dan (3)
mengidentifikasi perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Telaah diri dapat dilakukan
dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Uraian berikut ini menyajikan garis-garis besar
sejumlah pendekatan yang dapat diadaptasi sesuai dengan kondisi yang beragam.
35
36
37
38
39
A Pemilihan Prioritisasi
Ruang lingkup kebutuhan dan peluang pengembangan ada kalanya melebihi kapasitas
sekolah. Untuk itu, diperlukan adanya penentuan prioritas.
1. Perubahan dan pengembangan yang dipilih pertama-tama harus dicatat, oleh
karena sekolah tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakannya, pengimplementasian perubahan itu akan mengurangi sumber daya yang sebenarnya diperlukan
untuk pengembangan yang lain.
2. Kebutuhan dan peluang pengembangan yang lain harus disusun prioritasnya
berdasarkan:
a) Kepentingannya:
Relevansinya terhadap misi, visi, dan tujuan strategis sekolah.
Pentingnya pengembangan sekolah dalam kaitannya dengan semua
faktor konteks.
b) Keterlaksanaan (Fisibilitas):
Kemampuan sekolah yang ada sekarang untuk memberikan dukungan
sumber daya manusia, keahlian, energi, waktu dan dana untuk
mewujudkannya.
c) Akseptabilitas:
Komitmen sekolah saat sekarang untuk mewujudkannya.
Teknik Penentuan Prioritas
Sebagai awal dari proses penentuan prioritas, semua pihak yang terlibat harus
melakukan refleksi terhadap visi, misi,dan tujuan serta hasil analisis SWOT.
Selanjutnya, para pihak itu harus mengikuti prosedur seleksi. Saran-saran berikut ini
barangkali dapat membantu dalam proses penentuan pendekatan penetapan prioritas
tersebut.
a. Refleksi Individual, Diskusi Kelompok, Diskusi Pleno
b. Dotmokrasi
c. Jaringan/Grafik
d. Nyata/Ideal
Dalam penentuan prioritas dan seleksi program, sekolah perlu mempertimbangkan hal-hal umum sebagai berikut.
a. Jangan melakukan hal yang terlalu banyak sekaligus.
b. Buatlah keseimbangan yang tepat antara pemeliharaan dan pengembangan
(maintenance and development)
c. Buatlah keseimbangan yang tepat antara proyek pengembangan berskala
besar dan berskala kecil.
d. Buatlah keseimbangan yang tepat antara hal-hal yang wajib dan yang
bersifat pilihan (the unavoidable and the discretionary)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
40
e.
f.
g.
h.
C Merancang Strategi
1. Pengertian Strategi
Hasil dari tahapan telaah diri adalah serangkaian keputusan tentang prioritas pengembangan sekolah selama kurun waktu siklus perencanaan yang disusun. Prioritasprioritas itu dapat dinyatakan sebagai tujuan strategis. Keputusan tidak akan berdampak
apapun jika tidak diwujudkan dalam tindakan yang bersifat strategis.
Strategi adalah suatu pertimbangan dan pemikiran yang logis, analitis serta
konseptualisasi hal-hal penting atau prioritas (baik dalam jangka panjang, pendek
maupun mendesak), yang dijadikan acuan untuk menetapkan langkah-langkah,
tindakan, dan cara-cara (taktik) ataupun kiat (jurus-jurus) yang harus dilakukan secara
terpadu demi terlaksananya kegiatan operasional dan penunjang dalam menghadapi
tantangan yang harus ditangani dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan ataupun
sasaran-sasaran dan hasil (output) yang harus dicapai serta kebijaksanaan yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Strategi paling baik didefinisikan sebagai melakukan hal yang
benar sementara taktik adalah melakukan segalanya dengan benar. Strategi yang
baik datang dari cara berfikir yang benar. Dalam mengembangkan strategi, dua
pertanyaan mendasar harus dijawab, yaitu:
a. Apa yang harus dilakukan?
b. Bagaimana melakukannya?
Daft (1988) mendefinisikan strategi sebagai rencana tindakan yang berupa
penentuan alokasi sumber daya dan kegiatan untuk bergelut dengan lingkungan dan
membantu organisasi mencapai tujuannya. Pada level tertinggi dalam sebuah struktur
organisasi, tingkat sekolah misalnya, strategi yang digunakan disebut dengan grand
strategy. Strategi ini diartikan sebagai rencana umum mengenai tindakan utama malalui
mana sebuah organisasi berniat untuk mencapai tujuan jangka panjangnya.
2. Macam-Macam Strategi
Terdapat berbagai opsi strategi yang dapat dipilih oleh sekolah dalam rangka
mencapai tujuan strategisnya. Beberapa tipologi strategi tersebut diuraikan secara
singkat sebagai berikut.
a. Kategorisasi Grant Strategy
Grant strategy dibedakan menjadi tiga kategori: pertumbuhan, stabilitas,
dan penghematan atau retrenchment.
Pertumbuhan. Pertumbuhan atau growth dapat didorong dari dalam
dengan cara meningkatkan investasi dalam bentuk peningkatan kesempatan akses
masyarakat atau meningkatkan diversifikasi layanan pendidikan atau
meningkatkan standar kualitas layanan di atas standar yang berlaku umum,
standar nasional misalnya.
Stabilitas. Stabilitas, kadang-kadang disebut strategi berhenti sesaat (pause
strategy), berarti bahwa sekolah ingin tetap berada pada kondisinya sekarang atau
tumbuh perlahan-lahan dan tetap terkendali. Ketika sebuah sekolah telah
mengalami pertumbuhan yang pesat dan berhasil mencapai puncak visi yang
diinginkan, sekolah itu biasanya memfokuskan diri pada strategi stabilitas untuk
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
41
mengintegrasikan semua unit yang ada agar tetap berada pada kondisi puncak itu
dengan terus meningkatkan efisiensi.
Penghematan. Penghematan berarti bahwa sekolah melakukan
pengurangan layanan pendidikan dengan mempersempit jenis program
pendidikan yang diberikan. Cara ini dapat dilakukan dengan menghentikan
sejumlah program kurikuler yang bersifat pengayaan atau menghentikan sejumlah
kegiatan ekstra kurikuler tidak diminati siswa atau mengurangi jumlah siswa yang
diterima. Hal ini tentu akan berdampak pada pengurangan sumber daya yang
diinvestasikan, baik SDM maupun sumberdaya lainnya.
b. Tipologi Strategi Adaptif dari Miles dan Snow
Terdapat empat tipologi organisasi yang digunakan dasar dalam
mengelompokkan strategi pengembangan oleh Miles dan Snow, yaitu prospector,
defendor, analyzer, dan reactor. Hubungan antara masing-masing tipologi ini
dengan strategi, kondisi lingkungan eksternal, dan karakteristik organisasi
dirangkum pada Tabel 1.10.
Tabel 1.10 Tipologi Strategi Adaptif Menurut Miles dan Snow
Tipologi
Organisasi
Karakteristik
Organisasi
Strategi
Lingkungan
Prospector
Inovasi,
Mencari Peluang Pasar
Baru,
Tumbuh
Ambil Resiko
Dinamis
Tumbuh
Kreatif
Inovatif
Fleksible
Desentralisasi
Defendor
Melindungi teritorialnya
Penghematan
Mempertahankan
pangsa pasar yang
dimiliki
Stabil
Kontrol ketat
Sentralisasi
Efisiensi produksi
Overhead rendah
Analyser
Mempertahankan pasar
yang ada disertai inovasi
sekedarnya
Perubahan tingkat
menengah
Kontrol dan
fleksibilitas ketat
Produksi yang efisien
Kreativitas
Reactor
Kondisi apapun
Pendekatan
organisasional tidak
jelas
Bergantung pada
kebutuhan sesaat
42
yang lebih unggul, piranti teknologi yang khusus sehingga dihasilkan lulusan
yang memiliki kompetensi yang bersifat khas, unik dan memiliki keunggulan
kompetitif. Tentu saja keunikan dan kekhasan itu harus tetap pada kerangka visi,
misi, tujuan, dan kebijakan-kebijakan pendidikan yang berlaku secara nasional,
regional, lokal, maupun sekolah itu sendiri.
Kepemimpinan Pembiayaan (Cost Leadership). Dengan strategi ini
berarti sekolah sacara agresif menggunakan sumber daya yang efisien, berusaha
mengurangi anggaran, dan memperketat pengendalian anggaran agar pelaksanaan
pendidikan lebih efisien dibandingkan lembaga lain yang sejenis.
Fokus. Dalam strategi ini, sekolah berkonsentrasi pada kebutuhan
masyarakat tertentu atau pada program-program khusus yang dijadikan unggulan.
Sebuah sekolah yang melayani khusus siswa-siswa yang akan melanjutkan
pendidikan ke luar negeri, misalnya, dapat menggunakan strategi ini dengan
memberikan layanan pendidikan khusus kepada mereka yang berkemampuan dan
berkemauan memperoleh pendidikan di luar negeri. Kurikulum, pendekatan
pendidikan, dan sumber daya pendukung yang digunakan disesuaikan dengan
usaha pembiasaan siswa untuk belajar di luar negeri. Konsentrasi pada satu
program keahlian khusus untuk memenuhi standar kompetensi industri tertentu di
sebuah SMK merupakan contoh lain dari penggunakan strategi terfokus ini.
d. Strategi Berbasis Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan sebuah metode untuk menguji strategi-strategi
yang potensial yang dikembangkan atas dasar kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman. Melalui pengombinasian masing-masing unsur dan data yang luas yang
telah trekumpul sebagai hasil analisis dapat berfungsi sebagai pemicu diskusi dan
perbaikan strategi yang selama ini telah digunakan atau mengembangkan strategistrategi baru. Matrik SWOT dapat membantu pengembangan strategi dengan
menggunakan alat SWOT Analysis ini.
Matrik SWOT pada dasarnya merupakan daftar dari kekuatan, kelemahan,
peluang, ancaman, serta kombinasi dari Strengths (S) dan Opportunities (O),
Strengths (S) dan Threats (T), Weaknesses (W) dan Opportunities (O),
Weaknesses (W) dan Threats (T). Terdapat empat pilihan strategi dalam matrik
SWOT: competition, mobilization, investment/divestemen, dan damage control.
1) Strategi competition diterapkan apabila sekolah berada dalam posisi
yang kuat dan banyak peluang yang teridentifikasi (S-O). Strategi ini
merupakan pemanfaatan peluang berdasarkan kekuatan yang dimiliki.
2) Strategi mobilization dipilih apabila organisasi memiliki kekuatan
yang cukup, tetapi diluar sana banyak ancaman yang harus dihadapi
(S-T). Dengan kata lain, organisasi harus menanggulangi ancaman
dengan memanfaatkan kekuatan yang ada.
3) Strategi investment/divestment diambil apabila organisasi dalam
kondisi yang lemah akan tetapi banyak peluang yang tersedia (W-O).
Dengan strategi ini organisasi memanfaatkan peluang yang ada untuk
meningkatkan kekuatannya.
4) Strategi damage control dipakai apabila organsasi berada pada
kondisi lemah dan harus banyak menghadapi ancaman (W-T).
Dengan strategi ini organisasi harus menekan kelemahan dan
ancaman secara bersama-sama.
Format matrik SWOT dimaksud adalah sebagai berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
43
STRENGTH
1.
2.
3.
4.
WEAKNESS
1.
2.
3.
4.
OPPORTUNITIES
1. .....
2. .
3. .....
4. .....
SO
Competition
THREATS
1. ....
2. ....
3. ....
4. ....
ST
Mobilization
WO
Investment/Divestmen
WT
Damage control
e. Matriks MacMillan
Kisi-kisi strategi ini, yang dikembangkan oleh Dr. Ian Macmillan,
dirancang khusus untuk membantu organisasi nir-laba, seperti sekolah, untuk
merumuskan strategi organisasi. Terdapat tiga asumsi yang menjadi dasar
pendekatan ini: (1) kebutuhan sumber daya pada dasarnya bersifat kompetitif dan
semua organisasi yang ingin bertahan hidup harus menyadari dinamika itu; (2)
oleh karena sumber daya yang tersedia itu sangat terbatas, maka tidak ada ruang
untuk duplikasi layanan jasa kepada satu konstituen karena hal ini dipandang
sebagai pemborosan dan tidak efisien; (3) layanan jasa yang berkualitas rendah
atau biasa-biasa saja dan diberikan kepada kahlayak luas kurang disukai
dibandingkan dengan jasa berkualitas tinggi dan diberikan kepada khalayak
khusus.
Asumsi-asumsi ini memberi implikasi yang sulit dan menyakitkan bagi
kebanyakan sekolah. Hal ini dapat ditindak lanjuti dengan penghentian programprogram tertentu untuk meningkatkan jasa dan kompetensi utama, memberikan
program-program dan khalayak sasaran yang lebih efisien dan efektif, atau
berkompetisi secara agresif melalui program-program yang tingkat efesiensi dan
efektifitasnya rendah. Matrik MacMillan menguji empat dimensi program yang
dapat membantu penempatan dalam kisi-kisi strategi tersebut dan
mengindikasikan strategi yang dapat dipilih.
1) Kesesuaian dengan visi, misi, dan tujuan
Program-program sekolah yang tidak sejalan dengan visi, misi, dan
tujuan, tidak dapat sekolah mampu didukung oleh pengetahuan dan
keterampilan organisasi, tidak memampukan sekolah untuk melakukan
penggunaan sumber daya bersama, dan/atau tidak memampukan sekolah
untuk melakukan koordinasi kegiatan lintas program sebaiknya dikurangi.
2) Posisi Kompetitif
Posisi kompetitif mengacu pada sejauh mana sekolah memiliki
kekuatan dan potensi yang lebih kuat untuk mendanai program dan
memberikan layanan berbasis klien dibandingkan dengan sekolah-sekolah
lain di sekitarnya.
44
3) Kemenarikan Program
Kemenarikan program dilihat dari kompleksitasnya terkait dengan
pengelolaan porgram itu sendiri. Program-program dengan penolakan yang
rendah dari klien, mengalami pertumbuhan layanan berbasis klien, mudah
keluar dari hambatan yang dihadapi, dan didukung sumber daya keuangan
yang stabil merupakan program yang sederhana dan mudah dikelola.
Level kemenarikan program juga mencakup perespektif ekonomi atau
telaah terhadap peluang investasi sekarang dan masa yang akan datang.
4) Cakupan Alternatif
Cakupan alternatif adalah banyaknya organisasi lain yang berusaha
untuk memberikan atau ingin berhasil melaksanakan program yang sama di
wilayah yang sama dan kepada konstituen yang sama pula.
Matrik MacMillan (Tabel 5.1) terdiri dari sepuluh sel untuk
menempatkan program-program yang telah ditelaah atas dasar empat
dimensi tersebut. Masing-masing sel digunakan untuk menetapkan strategi
yang mengarahkan langkah ke depan dari program-program yang tercantum
dalam sel itu.
Tabel 6.3 Matrik MacMillan
Kemenarikan Program
Tinggi:
Program "Mudah"
Kesesuaian Posisi
dengan
KompetiVisi, Misi,
tif Kuat
& Tujuan
Baik
Posisi
Kompetitif Lemah
Kesesuaian dengan
Visi, Misi,
& Tjuan
Rendah
Kemenarikan Program
Rendah:
Program "Sulit"
Cakupan
Alternatif
Tinggi
Cakupan
Alternatif
Rendah
Cakupan
Alternatif
Tinggi
Cakupan
Alternatif
Rendah
1. Kompetisi
Agresif
(Aggressive
competition)
2. Pertumbuhan
Agresif
(Aggressive
growth)
5. Meniru
pesaing yang
terbaik
(Build up the
best
competitor)
6. "Soul of the
Agency"
3. Divestasi
Agresif
(aggressive
divestment)
4. Membangun
Kekuatan atau
berhenti (build
up strength or
get out)
7. Divestasi
dengan
Teratur
(orderly
disvestment)
8. "Bantuan
dari Luar"
(Foreign
Aid) atau
Kerja Sama
45
VIII.
PROGRAM PENGEMBANGAN
46
A. Pengertian
Suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1
sampai dengan 5 tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada
atau mungkin timbul.
B. Komponen Renstra
Rencana strategic mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, cara mencapai tujuan dan
sasaran, yang meliputi kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang realistic dengan
mengantisipasi perkembangan masa depan (Inpres No. 7 Tahun 1999).
1. Visi
Adalah gambaran masa depan tentang wujud organisasi yang realistic dan ingin
diwujudkan dalam kurun waktu tertentu (biasanya 5 tahun).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
47
Ciri kalimatnya :
Menjadi yang
Atau
To be ..
Tujuan Penetapan Visi :
Mencerminkan apa yang ingin dicapai sebuah organisasi
Memberikan arah dan focus strategi yang jelas.
Menjadi perekat dan menyatu berbagai gagasan strategic.
Memiliki orientasi terhadap masa depan.
Menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan organisasi.
Menjamin kesinambungan kepemimpinan organisasi.
Memungkinkan fleksibilitas dan kreativitas dalam pelaksanaannya.
Kriteria Visi :
Bukan fakta tetapi justru gambaran ideal (impian) masa depan yang ingin
diwujudkan.
Dapat mengilhami, mengarahkan, dan mendorong anggota organisasi dalam
berkinerja yang berkualitas.
Dinyatakan dalam satu kalimat.
Menggambarkan kondisi ideal, keunikan, dan keunggulan lembaga.
Contoh Visi.
Menjadi Katalisator Pembaharuan Manajemen Pemerintahan melalui
Pengawasan yang Profesional (BPKP).
Menjadi Lembaga Profesional dalam Meningkatkan Daya Saing SDM
Nasional melalui Diklat Jarak Jauh dan Program Jaminan Mutu Pnedidikan
lainnya. (PPPG Tertulis).
Penyusunan Visi
Visi harus merupakan visi bersama anggota organisasi/lembaga. Oleh karena itu visi
harus :
Disusun oleh semua unsure organisasi.
Terus menerus disosialisasikan ke seluruh anggota/warga.
Skenario Perumusan Visi Sekolah.
1. Jelaskan pengertian visi dan berikan contaoh-contahnya.
2. Bagikan 1 lembar kertas kosong dan 1 batang pensil kepada masingmasing peserta.
3. Minta masing-masing peserta menuliskan visi sekolah menurut
penilaian masing-masing. Beri waktu selama 20 menit.
4. Minta semua peserta menuliskan visi sekolah hasil renungan masingmasing di papan tulis, beri nomor 1 12 (untuk SD) atau 1 15 (untuk
SMP dan SMA) untuk masing-masing visi yang dibuat peserta.
5. Minta semua peserta membaca dan mempelajari semua visi yang ada
di papan tulis.
48
49
SDM.
Fasilitas Lingkungan Hidup.
2. Minta masing-masing kelompok selama 10 menit menyelesaikan rumusan 3 (tiga)
kegiatan yangtelah disusun ketika tim perumus visi sedang menyelesaikan
tugasnya.
3. Tugaskan juru bicara kelompok masing-masing menyajikan hasil kerja masingmasing kelompok. Minta kelompok lain menanggapi.
Catatan :
Arahkan agar pembahasan terfokus kepada :
Apakah rumusan tersebut mendukung pencapaian visi.
Apakah realitas.
Apakah menantang.
Adakah kalimat yang perlu diperbaiki.
4. Setelah semua hasil kelompok ditanggapi, tugaskan masing-masing kelompok
menyusun satu rumusan misi dari 3 rumusan sebelumnya (beri waktu 20 menit).
5. Perwakilan kelompok masing-masing manuliskan rumusan akhir misi sekolah
sehingga diperoleh 4 rumusan misi tersebut yang final.
Catatan :
Hindari debat kusir.
Jangan ada yang mendominir pembicaraan.
3. Merumuskan Moto Sekolah
Pengertian Moto :
Moto atau slogan adalah kata atau kalimat yang mewarnai dan menjiwai semua tindakan
serta membangkitkan semangat menggunakannya. Jadi di dalam moto terkandung system
nilai atau tekad dari yang membuat dan menggunakannya. Dengan kata lain moto juga
menggambarkan semangat dan cirri khas lembaga atau organisai.
Contoh moto :
Honda
: The power of dream.
Polytron
: The winning team.
Tempo
: Enak dibaca dan perlu.
IAI
: We are not the first but the best.
Skenario Perumusan Moto Sekolah
a. Minta semua peserta menuliskan satu moto untuk sekolahnya.
b. Satu persatu menuliskan moto yang dibuat di papan tulis.
c. Minta semua peserta satu persatu memilih 3 moto (memberikan tanda tally) yang
dinilainya paling sesuai dengan :
Ciri khas sekolah.
Visi dan misi sekolah.
Budaya dan system nilai masyarakat sekitar.
Tantangan lingkungan dan perkembangan eksternal (misal globalisasi,
IPTEK,Otda, dll).
d. Hitunglah jumlah pemilih untuk masing-masing moto.
e. Sisakan 3 (tiga) moto yang paling banyak dipilih peserta.
f. Minta semua peserta memilih 2 (dua) dari tiga moto yang tersisa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
50
F. Kebijakan
Ketentuan-ketentuan yang telah disepakati pihak-pihak terkait ditetapkan oleh yang
berwenang untuk dijadikan pedoman, pegangan, atau petunjuk bagi setiap usaha dan
kegiatan aparatur pemerintah maupun masyarakat agar tercapai kelancaran dan
keterpaduan dalam upaya mencapai sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi.
Contoh Kebijakan :
Kebijakan dalam bidang kurikulum :
Mengembangkan kurikulum berdasarkan kompetensi.
Mengembangkan bahan ajar berdasarkan kompetensi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
51
H. Kegiatan
Kegiatan merupakan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh organisasi untuk
merealisasikan program kerja oprasional. Kriteria yang digunakan dalam merumuskan
suatu kegiatan adalah SMART, yaitu :
Spesifik, menggambarkan hasil spesifik yang diinginkan.
Measureble, harus terukur dan dapat dipastikan waktu dan tingkat pencapaiannya.
Aggressive but attainable, kegiatan harus dijadikan standar keberhasilan dalam waktu
satu tahun sehingga harus cukup menantang namun masih dalam tingkat keberhasilan.
Result oriented, kegiatan harus menspesifikasikan hasil yang ingin dicapai dalam
periode satu tahun.
Time-bound, kegiatan harus dapat direalisasikan dalam waktu yang relatif pendek dari
beberapa minggu sampai beberapa bulan (tidak lebih dari satu tahun)
OUTLINE RENCANA STRATEGIS
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN
1. Rasional
2. Tujuan dan Manfaat.
VISI DAN MISI
1. Visi.
2. Misi
LINGKUNGAN STRATEGIS.
1. Lingkungan Internal
2. Lingkungan eksternal.
3. Faktor Penentu Keberhasilan.
BAB V
1.
2.
3.
BAB VI
1. Tujuan.
2. Sasaran.
3. Strategi (Kebijakan, Program, dan Kegiatan).
RENCANA KINERJA OPERASIONAL
Rencana Strategis lima tahun.
Rencana Kerja Tahunan.
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja.
PENUTUP
52
DAFTAR RUJUKAN
53
54