Professional Documents
Culture Documents
trombosit)
Gejala: Flushing, urtikaria, rigors, demam, restlesness, takikardi,
AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan
proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi
reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan perforin
(antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan mengakibatkan lisis dari eritrosit.
Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil,
nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna
kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada AHTR yang terjadi di intravaskular
dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC),
gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada pasien yang masih mendapat pengaruh obatobat anestesi atau koma, DIC merupakan petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya
AHTR.
Monitoring Transfusi
Pasien ditempatkan dekat dengan petugas agar mudah diobservasi.
Segera lapor jika terdapat: panas, nyeri otot, nyeri dada, sesak, gatal,
menggigil, sakit kepala, merah-merah, dsb.
Monitor suhu, respirasi, nadi per 15 menit atau disesuaikan dengan kondisi
pasien
Pada pasien tidak sadar, lanjut observasi seccara rutin: suhu, nadi, tekanan
darah, urine output.
Catat waktu mulai dan akhir transfusi setiap komponen darah
c) Bila dalam 30 menit tidak ada perbaikan atau keadaan memburuk, tangani
sebagai kategori 2.
Kategori 2: sedang
a) Hentikan transfusi, pertahankan IV line dengan berikan NaCl dengan infusion
set yang baru
b) Dilaporkan kepada dokter penanggung jawab dan bank darah
c) Kirim sisa unit darah ke bank darah
d) Kirim urin (baru) dan sample darah (2 tabung @1 dengan & tanpa
antikoagulan) ke Lab. Darah diambil dari tempat yang berlawanan dengan
transfusi
e) Kumpukan urin 24 jam cek ada/tidaknya hemoglobinuria
f) Beri antihistamin dan antipiretik
g) Bila ada gejala anafilaksis (bronkospasme, stridor) berikan
kortikosteroid
dengan
Kategori 3: berat
Pertahankan TDS beri NaCl 20-30 ml/kgBB, beri selama 5 menit bila
hipotensi dan posisikan kaki lebih tinggi.
Bila ada gejala anafilaksis (bronkospasme, stridor) beri kortikosteroid (IV) &
bronkodilator IV
Bila ada gejala DIC, berikan trombosit (dewasa 5-6 unit) dan cryoprecipitate
(dewasa 12 unit) atau FFP (dewasa 3 unit)
Bila masih hipotensi lanjut NaCl 20-30 ml/kgBB serta obat inotropik
Jika urine output menurun atau ada tanda gagal ginjal akut (Lab:
penungkatan K, ureum, creatinin):
- perhitungkan keseimbangan cairan
- berikan kembali furosemid
- dopamine
- pertimbangkan hemodialisa
Bia ada bakteremia (rigor, demam, collapse, tanpa bukti hemolitik), beri
antibiotik broadspectrum IV (untuk pseudomonas dan gram positif)
Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan segera dan harus
dilakukan hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2 /hari). Terapi suportif yang
harus tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah,
frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid
(prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis. Kejadian AHTR
harus dicatat dalam laporan pasien dan darah yang tersisa harus dikembalikan ke unit
transfusi darah (UTD) untuk dilakukan investigasi serologis.
Selain dilakukan hidrasi, untuk mencegah terjadinya GGA dapat diberikan
dopamin dosis rendah (1 sampai 5 mcg/ kg/menit) dan diuretik osmotik berupa manitol
(100 ml/m2 / bolus dan selanjutnya 30 ml/m2 /hari yang diberikan tiap 12 jam) atau
5
furosemid (1 sampai 2 mg/kgBB). Jika dijumpai tanda DIC maka transfusi FFP,
kriopresipitat, dan/atau trombosit dapat dipertimbangkan.
Pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan adalah melakukan
crossmatch ulang. Prinsip dari crossmatch ini adalah mencocokkan jenis darah antara
resipien dan donor dengan melihat reaksi kompatabilitas yang ditimbulkannya.
Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah Direct Antiglobulin Test (DAT), investigasi
serologis (Rhesus, Kidd, Kell, Duffy), hemoglobinemia pada plasma, dan hemoglobinuria
pada analisis urin.
Untuk mengetahui adanya komplikasi dari reaksi hemolitik akibat transfusi
sangat perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan status koagulasi (prothrombin time,
partial thromboplastin time, dan fibrinogen). Konfirmasi laboratorium bahwa telah terjadi
reaksi hemolitik akut akibat transfusi dapat dilakukan dengan pemeriksaan Lactate
Dehidrogenase (LDH), bilirubin, dan haptoglobin. Pemeriksaan kultur darah dan urin
penting dilakukan jika dicurigai sepsis
Reaksi Hemolitik Lambat Akibat Transfusi
Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang
respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah
terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat
dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan
respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya
diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000.
DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular,
namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung
eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan
atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan
dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau
IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa
oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa.
Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa
demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi.
Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari
dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya
hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi,
tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi
penyakit.
Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada pengobatan yang
spesifik, dan dapat diberikan terapi suportif untuk mengatasi gejala klinis. Pemberian
transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis lain. Konfirmasi
pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir sama dengan reaksi hemolitik akut.
Reaksi Pseudohemolitik Akibat Transfusi
Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik lain yang
terjadi pada darah donor selama atau setelah transfusi diberikan, yang bukan merupakan
reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi hemolitik akibat
reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat berhubungan dengan proses imun maupun
non-imun. Pada reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi yang compatible
pada pemeriksaan crossmatch dan DAT yang negative.
Beberapa reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme sebagai berikut:
Mekanisme Reaksi Pseudohemolitik
- Transfusion of aged cells
- Thermal hemolysis (overheating, freezing)
- Osmotic hemolysis (inadequate deglicerolitation, administration with hypotonic
solutions or drugs)
- Mechanical hemolysis (improper infusion devices, catheters, or needles)
- Bacterial/parasitic contamination
- Hemolysis due to congenital (G6PD deficiency, sickle trait)
Trauma Suhu
Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu panas atau masih
terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan temperatur melebihi 40oC karena
suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran eritrosit sehingga mengubah
viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk dan permeabilitas, serta gangguan osmotik.
Eritrosit yang telah pecah akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh limpa. Gejala
dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Standar darah yang dapat diberikan adalah darah
yang hangat (sekitar 38oC). Metode yang dapat digunakan untuk menghangatkan darah
adalah pemanasan dengan microwaves atau fototerapi, atau juga dapat digunakan air
yang hangat.
Paparan darah pada temperatur kurang dari 10oC per menit tanpa cryoprotective
agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan trauma dehidrasi (dehydration injury) pada
pasien. Namun, temperatur lebih dari 10oC per menit akan mengakibatkan kerusakan
pada membran eritrosit oleh kristal es. Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi
hemolitik dapat terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini dapat dideteksi dari
perubahan warna pada isi kantong darah.
Trauma Osmotik
Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik yang dapat
mengakibatkan proses hemolitik secara cepat. Degliserolisasi eritrosit (degliserolized red
blood cell) yang tidak adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena tekanan osmotik
yang lebih rendah (hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi. Gejala dan
tanda klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus tetap isotonis.
Setiap kantong darah yang berisi eritrosit, harus mengandung cairan salin normal, ABOcompatible plasma, dan albumin 5%.
Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan beberapa cairan hipotonis
seperti dekstrosa 5%, dekstrosa 5% dalam salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam
salin normal 0,45%. Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab
kalsium yang dijumpai pada cairan ini akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang
merupakan antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di dalam kantong darah.
Oleh karena itu pemberian cairan sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan.
Pemberian cairan hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik intravaskular.
Trauma Mekanik
Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses transfusi oleh
karena trauma mekanik seperti saat darah melewati jarum yang terlalu kecil, selang infus
yang terlipat, dan adanya penekanan mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat disebabkan
oleh trauma mekanik pada pembuatan katup jantung dalam operasi jantung, pada
tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis. Gejala dan tanda klinis
reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip dengan AHTR.
Kontaminasi Mikroba
Sekitar 0,1- 0,3% darah terkontaminasi saat dikumpulkan dari donor. Kondisi
yang berbeda antara proses penyimpanan dan proses transfusi serta kemampuan
mikroorganisme untuk dapat hidup pada kondisi tersebut merupakan faktor risiko
terjadinya reaksi hemolitik dan sepsis setelah transfusi. Kejadian ini diperkirakan 1 dari
1,5 juta kasus pasien yang mendapat transfusi. Walaupun pada kultur darah tidak
dijumpai pertumbuhan bakteri, kontaminasi mikroba masih dapat terjadi jika unit kantong
darah mengandung partikel atau bekuan darah, ada perubahan warna dan/atau ada udara.
Pasien yang ditransfusi dengan darah yang terkontaminasi mikroba dapat
menunjukkan gejala dan tanda AHTR, seperti demam, menggigil, hipotensi, takikardia,
dan hemoglobinuria. Meskipun kejadianny jarang, transfusi darah yang terkontaminasi
protozoa malaria dapat menunjukkan gejala demam dalam beberapa hari sampai minggu
seperti pada DHTR. Jika dicurigai darah yang diberikan telah terkontaminasi mikroba
saat diberikan, maka transfusi harus segera dihentikan, dilakukan pemantauan kondisi
klinis pasien, evaluasi kantong darah yang terkontaminasi bakteri, dicatat, dan
diberitahukan kepada UTD.
Anemia Hemolitik Kongenital
Eritrosit donor yang diberikan kepada penderita anemia hemolitik kongenital,
dapat mengalami reaksi hemolitik yang mirip dengan AHTR atau DHTR. Anemia
hemolitik kongenital yang sering dijumpai adalah akibat glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD) deficiency. Pada defisiensi G6PD, eritrosit donor akan
mengalami lisis jika terpapar zat yang menyebabkan oxidant stress.
Beberapa Zat yang Bersifat Oxidant Stress pada Defisiensi G6PD
- Acetanilid - Phenylhydrazine - Furazolidone - Primaquine - Isobutyl nitrite Sulfacetamide - Nalidixic acid - Sulfamethoxazole - Naphtalene - Sulfapyridine Niridazole - Thiazolesulfone - Nitrofurantoin - Trinitrotoluene - Phenazopyridine - Urate
Oxidase (TNT)
Diagnosis Banding
Beberapa reaksi hemolitik yang bukan disebabkan oleh transfusi dapat terjadi
ketika atau setelah transfusi diberikan, sehingga menyulitkan identifikasi penyebab reaksi
hemolitik. Selain itu, reaksi hemolitik akibat transfusi juga memiliki gejala dan tanda
klinis yang hampir sama dengan reaksi transfusi yang lain, sehingga pada saat terjadi
reaksi transfusi harus dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang timbul berhubungan
dengan reaksi hemolitik atau non-hemolitik. Reaksi transfusi akut yang bukan merupakan
reaksi hemolitik adalah :
1. Transfusion-related acute lung injury (TRALI)
2. Transfusion-associated circulatory overload (TACO)
3. Nonhemolytic febrile transfusion reactions (NFTR)
4. Reaksi alergi
5. Reaksi anafilaksis
Diagnosis Banding Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi
10
11
Kesimpulan
Ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang
disebabkan oleh proses imun dan nonimun. Reaksi hemolitik yang disebabkan proses
imun terdiri dari AHTR dan DHTR, sedangkan reaksi hemolitik lain yang bukan
merupakan reaksi transfusi dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik. Pemberian transfusi
pada anemia hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan ahli.
Pada AHTR transfusi harus dihentikan segera, sedangkan pada DHTR transfusi
dapat dihentikan atau diganti dengan jenis pengganti darah yang lain. Pada reaksi
pseudohemolitik, tata laksana dilakukan berdasarkan penyebab. Reaksi pseudo-hemolitik
ini harus dibedakan dengan reaksi hemolitik akibat transfusi. Pada saat terjadi reaksi
transfusi, juga harus dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang timbul berhubungan
dengan proses hemolitik atau nonhemolitik.
12
Daftar Pustaka
Dalimoenthe, N.Z., Dewi, N.S., Prihatni, D., Lismayanti, L. Dasar-Dasar Transfusi Darah
Edisi Kedua. 2014. Divisi Hematologi Klinik, Departemen Patologi Klinik, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung
Dalimoenthe, N.Z. Diskrepansi Golongan Darah ABO, 2014, Divisi Hematologi Klinik,
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP DR. Hasan
Sadikin Bandung
Fasano R, Luban NL. Blood component therapy. Pediatr Clin N Am. 2008;55:421-55. 2.
Ness PM. Tranfusion medicine : An overview and update. Clinical Chemistry.
2000;46(8):1270-6. 3.
Strobel E. Hemolytic transfusion reaction. Transfus Med Hemother. 2008;35:346-53.
Segel BG. Definitons and classification of hemolytic anemias. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson text book of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelpia : Saunders Corporation, 2008.h.2018-20
13