You are on page 1of 46

BAB II

Tinjauan Pustaka
1. Definisi ATLS
Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebuah program pelatihan bagi dokter
medis dalam pengelolaan akut trauma kasus, yang dikembangkan oleh American College of
Surgeons. Program serupa ada untuk perawat (ATCN) dan paramedis (PTLS).
Program ini telah diadopsi di seluruh dunia di lebih dari 40 negara, namun ada juga
dibawah nama Emergency Management of Severe Trauma (EMST), khususnya di luar Amerika
Utara. Tujuannya adalah untuk mengajarkan pendekatan yang disederhanakan dan standar untuk
pasien trauma. Awalnya dirancang untuk situasi darurat di mana hanya satu dokter dan satu
perawat yang hadir, ATLS sekarang diterima secara luas sebagai standar perawatan untuk
penilaian awal dan pengobatan di pusat-pusat trauma. Premis dari program ATLS adalah
menatalaksana ancaman terbesar bagi kehidupan. Hal ini juga pendukung bahwa kurangnya
diagnosis definitif dan rinci sejarah seharusnya tidak memperlambat penerapan pengobatan
diindikasikan untuk luka yang mengancam hidup, dengan waktu yang paling penting dilakukan
intervensi awal. Namun, bukti menunjukkan bahwa ATLS meningkatkan prognosis pasien.
2. Sejarah ATLS
Pada bulan Februari 1976, sebuah tragedi terjadi yang mengubah sejarah perawatan trauma
bagi pasien cedera di Amerika Serikat dan di banyak bagian dunia. Dr Jim Styner, seorang ahli
bedah ortopedi, menaiki pesawat kecil yang jatuh ke dalam sebuah ladang jagung di Nebraska
pedesaan. Dr Styner menderita luka serius, tiga anak-anaknya menderita luka kritis, dan satu
anak menderita luka ringan. Istrinya tewas seketika. Perawatan yang ia dan keluarganya terima
tidak memadai oleh standar hari ini. Dokter bedah, mengenali bagaimana perlakuan mereka tidak
memadai, menyatakan, "Ketika saya dapat memberikan perawatan yang lebih baik di lapangan
dengan sumber daya yang terbatas dari apa yang anak-anak saya dan saya diterima di fasilitas
perawatan primer, ada sesuatu yang salah dengan sistem, dan sistem harus diubah.
Pada bulan Januari 1980, American College of Surgeons memperkenalkan Kursus ATLS
di AS dan luar negeri. Kanada bergabung dengan program ATLS tahun berikutnya. Pada tahun
1986, beberapa negara di Amerika Latin bergabung dengan Komite ACS Trauma dan

memperkenalkan program ATLS di wilayah mereka. Sekarang, ATLS tersedia di hampir 60


negara. Di bawah naungan Komite Militer ACS Trauma, program telah dilakukan untuk dokter
militer AS di Amerika Serikat dan di seluruh dunia.
Selama lebih dari seperempat abad, American College of Surgeons Komite Trauma telah
mengajarkan kursus ATLS untuk lebih dari 1 juta dokter di lebih dari 50 negara. ATLS telah
menjadi dasar dari perawatan untuk pasien cedera dengan mengajar bahasa umum dan
pendekatan umum. Hasilnya adalah ATLS yang kontemporer dan bermakna dalam komunitas
global.
3. Klasifikasi ATLS
ATLS membuat klasifikasi pendarahan berdasarkan persentase volume kehilangan darah, sebagai
berikut:

Kelas I, dengan kehilangan volume darah hingga maksimal 15% of blood volume.

Kelas II, dengan kehilangan volume darah antara 15-30% dari total volume.

Kelas III, dengan kehilangan darah antara 30-40% dari volume pada sirkulasi darah.

Kelas IV, dengan kehilangan yang lebih besar daripada 40% volume sirkulasi darah.

Standar World Health Organization


WHO menetapkan skala gradasi ukuran risiko yang dapat diakibatkan oleh pendarahan sebagai
berikut:
Grade 0 tidak terjadi pendarahan
Grade 1 pendarahan petekial
Grade 2 pendarahan sedang dengan gejala klinis yang signifikan
Grade 3 pendarahan gross, yang memerlukan transfusi darah
Grade 4 pendarahan debilitating yang fatal, retinal maupun cerebral

4. Langkah-langkah ATLS

Pada prinsipnya ATLS menganut pedoman ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,


Disabilitydan Exposure) pada setiap kasus emergensi, apapun itu, dan juga prinsip ini menjadi
prosedur tetap dasar yang sama yang dianut oleh seluruh dunia.
Pada ATLS kita mengenal tentang initial assessment (atau penilaian awal) yang mana terdiri dari:
1. Persiapan Awal:
Tahapan untuk mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk proses primary survey dan
resusitasi, dan yang lebih penting lagi adalah alat proteksi diri (sarung tangan, masker, kacamata,
dll) untuk mencegah penularan penyakit yang mungkin dialami oleh penderita trauma yang
nantinya akan ditolong.
2. Triage:
Adalah pengambilan keputusan oleh tenaga kesehatan untuk menentukkan pasien mana yang
harus diprioritaskan penangannanya terlebih dahulu berdasarkan jumlah sumber daya yang
tersedia. Contoh: jumlah korban yang melebihi kemampuan sumberdaya rumah sakit, maka
korban yang diprioritaskan adalah yang memiliki kemampuan survive (hidup) lebih besar, dan
sebaliknya jika jumlah korban tidak melebihi kemampuan sumberdaya rumah sakit, maka korban
yang diprioritaskan adalah korban yang sangat terancam kehidupannya.
3. Primary Survey (ABCDE)
Merupakan penilaian cepat, untuk menemukan kondisi yang mengancam nyawa dan harus segera
ditangani pada SAAT ITU JUGA. Secara teoritis, ditulis secara berurutan (ABCDE), namun pada
kenyataannya dapat dilakukan secara simultan.
4. Resusitasi
Adalah tindakan cepat restorasi untuk penanganan kondisi yang mengancam nyawa, yang
ditemukan saat dilakukan primary survey

5. Tambahan Pada Primary Survey

Pemeriksaan penunjang "terbatas" dan pemasangan alat untuk monitor atau evaluasi pasca
resusitasi, contoh pemasangan EKG, Pulse Oxymeter, Rontgen Cervical, Thorak, Pelvis, Kateter
Urine, dan nasogastric tube (NGT).
6. Pertimbangkan Rujukan
Pada fase ini, tenaga kesehatan telah memiliki informasi yang cukup tentang keadaan pasien, dan
telah mampu untuk membuat keputusan untuk merujuk atau hanya dirawat setempat.
7. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan lengkap yang dimulai dari anamnesis, riwayat trauma, pemeriksaanhead to
toe, dan pemeriksaan lengkap neurologis.
8. Tambahan Pada Secondary Survey
Pada bagian ini, pemeriksaan penunjang lengkap dapat dikerjakan, contoh Ct Scan, foto polos
kepala, foto abdomen, analisa gas darah dll. Namun, keputusan untuk pemeriksaan - pemeriksaan
ini, sebaiknya tidak sampai menyebabkan penundaan pada proses rujukan pasien.
9. Re-evaluasi
Sangat penting untuk melakukan reevaluasi pasien, karena ada dugaan late onset atau proses on
going yang berlangsung. Contoh pasien cedera kepala + epidural hematom yang mungkin pada
awal masuk RS masih sadar, kemudian menjadi tidak sadar, dll.
10. Terapi Definitif
Adalah pengobatan beradasarkan penyebab perlukaan, contoh jika trauma tersebut disertai
fraktur maka harus dilakukan operasi ORIF atau OREF, atau pada pasien cardiac
tamponadedengan darah yang telah membeku maka dibutuhkan pericardioctomy dll.

Primary Survey - Airway

Primary Survey, merupakan penilaian cepat oleh tenaga kesehatan terhadap keadaan yang
mengancam nyawa. Dari A sampai E.
A: Airway (jalan nafas, yang dimulai dari hidung dan mulut ke arah trachea)
Ada 2 hal yang penting
- Harus mengenal macam - macam penyebab gangguan airway
- Harus mengetahui teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway

Hal pertama - macam - macam penyebab gangguan airway


Penyebab gangguan airway yang utama adalah obstruction / sumbatan, hal ini dapat sebabkan
baik oleh karena:
1. Posisi kepala (sniffing position)
2. Adanya darah dan gigi yang patah dalam rongga mulut (akan tampak suara gurgling)
3. Lidah yang jatuh ke belakang (akan tampak suara snoring)
4. Fraktur pada laring, atau edema pada laring akibat luka bakar (akan tampak suara snoring)
5. Adanya trauma multiple pada wajah

6. GCS 8 atau kurang - cedera kepala berat (CKB)


* Nilai dengan cara "LOOK, LISTEN, FEEL"
Hal Kedua - teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway
Teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway dapat dilakukan dengan bantuan
alat, maupun tanpa bantuan alat.
1. Jaw thrust dan Chin lift Manuver
2. Nasofaring dan orofaringeal airway
3. Intubasi Nasotrakheal dan Orotrakheal
4. Needle Crycothyroidektomy
5. Surgical Crycothyroidektomy
Penting: Pada pasien sadar dan bisa "berbicara", dapat kita anggap sementara airway-nyaclear

Head tilt-Chin lift

Orofaringeal airway

Endotrakeal intubation

Needle Crycothyroidektomy

Surgical Crycothyroidektomy

Diskusi:
1. Pasien dengan posisi kepala sniffing position / posisi bernafas, cenderung memiliki airway
yang sempit. Sehingga perlu kita lakukan manuver chin lift untuk clear airway (tapi tidak boleh
sampai hiperekstensi kepala, karena dapat memperburuk cedera cervical yang mungkin ada) dan
dapat dilanjutkan dengan pemasangan naso atau orofaringeal airway.
2. Pasien dengan darah dan gigi yang patah dalam rongga mulut, maka darahnya di suctionatau
giginya di swap finger, kemudian dilanjutkan dengan manuver chin lift dan pemasangan naso
atau orofaringealairway.
3. Pasien dengan lidah yang jatuh ke belakang, maka setelah dilakukan manuver chin lift, dapat
langsung dilanjutkan dengan pemasangan orofaringeal airway.
4. Pasien dengan fraktur pada laring, atau edema pada laring akibat luka bakar, maka penting
untuk melakukan intubasi endotrakeal lebih dini, untuk menjaga patensi airway dari ancaman
edema laring late onset.
5. Pasien dengan trauma multiple pada wajah, jika tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi
dini

maka,

lakukan needle

crycothyroidektomy dan

dilanjutkan

dengan surgical

crycothyroidektomy
6. Pada pasien dengan GCS 8 atau kurang - cedera kepala berat (CKB), maka merupakan
indikasi untuk melakukan intubasi endotrakeal dini untuk mempertahankan airway.
Setelah bantuan airway diberikan, lakukan pemberian oksigenasi, baik melalui face mask
breathing / nonrebreathing, nasal canul, maupun simple face mask.

Contoh kasus:
Laki - Laki 39 tahun, mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, dibawa ke UGD oleh petugas
lapangan dengan kondisi sadar, lemah, dapat berbicara ada luka memar di daerah kepala
samping, dengan perdarahan pada kulit kepala yang tidak aktif, TD : 110/80, Nadi, 90x/menit,
RR 24x/menit, GCS 13.
KeyPoint:
Karena dia 'sadar' dan dapat 'berbicara', maka sementara dapat kita anggap airway-nya clear,
sehingga hanya kita lakukan manuver chin lift kemudian proteksi cervical dengan cervical collar,
serta dilanjutkan dengan pemberian oksigen 10 L/m via simple face mask.
1 jam kemudian, pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS 8, TD 140/90 ND 90x/m, RR
24x/m dan terdengar suara tambahan snoring dari jalan nafas.
Key Point:
Pasien ini, mungkin mengalami lucid interval akibat epidural hemorage pada perlukaan di
kepalanya. Sehingga pada keadaan ini, menjadi penting untuk kita lakukan intubasi endotrakeal
agar menjamin pasokan oksigen yang adekuat pada pasien tersebut.

Epidural Hemorage
Kesimpulan:
Maka Prinsipnya semua tindakan untuk menjaga patensi airway tergantung dari kondisi pasien
pada saat penilaian dan sangat penting untuk kita lakukan evaluasi untuk menemukan
ancaman airway lanjut (late onset).

Primary Survey Breathing

Breathing dapat menjadi baik atau buruk ditentukan oleh beberapa hal, yang antara lain adalah
1. Nerve,
2. Pulmo,
3. Diafragma, dan
4. Stabilitas costa.

B: Breathing juga mempunyai 2 keharusan yang penting untuk kita ketahui, yakni:
- Harus mengenal macam - macam penyebab gangguan breathing
- Harus mengetahui bagaimana penatalaksanaan awal gangguan breathing.
Hal pertama - macam - macam penyebab gangguan breathing (yang biasanya terjadi oleh karena
keadaan traumatik)
1. Tension Pneumothorak
2. Open Pneumothorak
3. Hemothorak Massive
Tension Pneumothorak:
Adalah kondisi dimana adanya tekanan positif didalam paru, akibat trauma tumpul dada yang
pada akhirnya membuat paru disisi yang sakit menjadi kolaps, sehingga muncul gejala sesak
yang nampak pada pasien.
Diagnosis tension pneumothoraks adalah diagnosis klinis, yang ditandai dengan:
- sesak nafas yang hebat pada pasien post trauma
- adanya suara nafas yang hilang pada salah satu hemithorak dan asimetri
- adanya pergeseran trakhea dari midline ke arah yang sehat
- adanya peningkatan tekanan vena leher (dapat juga tidak)
- adanya hiperresonansi pada saat dilakukan perkusi
Diagnosis bisa dibantu dengan pemeriksaan foto rontgen.

Tension Pneumothorak

Open Penumothorak
Adalah kondisi yang hampir mirip dengan tension pneumothorak, namun lebih jelas karena
tampak luka tembus yang terbuka pada dinding dada yang disertai dengan gejala :
- sesak nafas
- adanya suara nafas yang menurun pada hemithorak yang terluka dan asimetri
- adanya pergeseran trakhea dari midline ke arah yang sehat
- adanya peningkatan tekanan vena leher (dapat juga tidak)
- adanya hiperresonansi pada saat dilakukan perkusi

Open Pneumothorak
Hemothorak Massive
Adalah kondisi perdarahan intra thorak akibat trauma yang dapat teraklumulasi hingga 1,5 liter,
dengan gejala :
- sesak nafas
- adanya suara nafas yang menurun pada hemithorak yang sakit dan asimetri
- adanya suara yang redup pada saat dilakukan perkusi

Hemothorak Massive

Hal Kedua, mengetahui bagaimana tatalaksana awal gangguan breathing.


Jangan merujuk pasien yang mengalami gangguan breathing tanpa dilakukan penatalaksanaan
awal, karena akan meningkatakan resiko kematian pada saat pasien dalam rujukan.
1. Tension Pneumothorak.
Keadaan klinis yang mendukung adanya keadaan tension pneumothorak mengharuskan tenaga
kesehatan secara dini untuk melakukan needle thoracosintesis. Needle thoracosintesis adalah
prosedur invasif menggunakan jarum kaliber besar yang di insersi pada sela iga
II midline clavicula hemithorak yang sakit.

Needle Thoracosintesis
Prosedur needle thoracosintesis adalah tindakan emergency yang hanya mengubah keadaan
tension pneumothorak menjadi simple pneumothorak, yang sewaktu - waktu masih berpeluang
untuk kembali lagi menjadi tension pneumothorak. Maka dari itu, perlu dilanjutkan dengan
pemasangan chest tube, untuk drainase (udara / darah) secara komplit. Chest tubemerupakan
prosedur lanjutan yang dikerjakan untuk mengatasi baik keadaan tension pneumothorak, open
pneumothorak, dan hemothorak. Chest tube, dipasang pada midlineaxilaris anterior, pada
intercosta 5 yang sejajar dengan papilla mamae pada pria dan atau lipatan mamae pada wanita.

Setelah pemasangan chest tube pada tension penumothorak, perlu dievaluasi mengenai adanya
undulasi, fogging dan bublling.
Kesimpulan: Assesment for Tension pneumothorak --> Needle thoracosintesis --> Chest Tube.
2. Open Pneumothorak.
Sesak nafas yang disertai luka terbuka pada dinding anterior maupun inferior dapat diketahui
dengan inspeksi yang cepat, tepat dan terukur. Kondisi yang jelas menunjukkan adanya
keadaan open pneumothorak, merujuk pada pemasangan cepat occlusiv dressing (dapat
digunakan plastic wrap) dengan metode three valve yang mana akan menyebabkan keluarnya
udara positif dari thorak pada saat inspirasi dan mencegah masuknya udara positif dari luar ke
dalam thorak pada saat ekspirasi.

Occlusive Dressing dengan three valve


Setelah occlusive dressing terpasang, dilanjutkan dengan pemasangan chest tube sesuai dengan
prosedur yang sama dengan keadaan tension pneumothorak.
3. Hemothorak Massive
Pemeriksaan klinis tepat, dapat membedakan dengan baik keadaan baik hemothorak atautension
penumothorak. Assesment yang telah dibuat untuk kondisi hemothorak maka harus dilanjutkan
dengan pemasangan chest tube untuk drainase darah intrathorak, maupun untuk kebutuhan
autotransfusi. Prosedur pemasangan chest tube sama dengan dua kondisi diatas. Namun pada
keadaan yang berat, dimana kebutuhan pasien dengan hemothorak akan cairan dan transfusi
darah yang

besar, maka

intervensi

dipertimbangkan dan dilaksanakan.

bedah untuk prosedur thoracotomy harus

segera

Thoracotomy
Identifikasi masalah breathing dengan menggunakan pemeriksaan dasar IPPA (Inspeksi, Palpasi,
Perkusi, Auskultasi) kemudian assesment masalah dan dilanjutkan dengan resusitasi segera
sesuai prosedur sebelum merujuk, sehingga yang kita rujuk adalah pasien yang akan membaik,
bukan pasien yang akan memburuk.

Primary Survey Circulation

Circulation System
C: Circulation atau sirkulasi adalah proses pengaliran darah yang seharusnya baik untuk
menjamin pasokan oksigen ke sel-sel tubuh termasuk sel otak. Keadaan dimana terjadinya
gangguan sirkulasi, khususnya dalam hal trauma, kita sebut sebagai syok.
Syok merupakan keadaan yang dijabarkan secara klinis, yakni adanya:
- Penurunan tekanan darah,
- Peningkatan denyut nadi,
- Penyempitan tekanan nadi,
- Penurunan jumlah pengeluaran urin,
- Akral dingin,
- Gangguan kesadaran.

Secara global syok mempunyai banyak jenis dan macamnya, ada syok hipovolemik, syok
kardiogenik, syok neurogenik, syok septik, dan syok spinal, yang mana tidak semua tanda klinis
yang penulis tulis diatas dapat muncul secara general pada setiap kelas syok tersebut. Namun
perlu diperhatikan, bahwa pembahasan pada bab ATLS ini adalah segala hal yang menyangkut
trauma dan bersifat darurat, sehingga semua keadaan syok yang terjadi pada pasien yang
mengalami trauma, harus dianggap sebagai syok hipovolemik sampai terbukti sebaliknya.
Syok hipovolemik, berhubungan erat dengan kehilangan sejumlah darah dari tubuh pasien yang
mengalami trauma, baik yang sifatnya perdarahan luar (external bleeding), maupun perdarahan
dalam (internal bleeding), dan jumlah kehilangan darah pasien tersebut sebenarnya dapat kita
perkirakan dengan pendekatan Estimate Blood Loss (EBL) untuk kebutuhan penggantian cairan
nantinya.
Prinsip dasar dari penatalaksanaan circulation adalah hentikan perdarahan dan penggantian
cairan dalam keadaan emergency. Tapi harus tetap kita sadari, bahwa kedua tindakan ini bukan
tindakan definitif, sebab jika ada pasien yang datang dengan perdarahan cukup banyak karena
fraktur femur, maka definitifnya masih tetap operasi, bukan fluid replacment secara terus menerus.
Assessment
Harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan ketepatan dengan pendekatan periksa dan lihat.
- Periksa tekanan darah, nadi, laju pernafasan, suhu, keasadaran, akral, pengisian kapiler distal.
- Buka seluruh pakaian pasien dan lihat adanya hematome, external bleeding, deformitas tulang
atau kelemahan dari salah satu atau lebih anggota gerak mulai dari head to toe.

Contoh pemeriksaan
Treatment
Setelah, assessment permasalahannya, maka jadikan stop bleeding dan fluid replacement sebagai
prinsipnya.
- Pasang IV line pada dua jalur vena, menggunakan jarum kaliber besar (ambil sample darah
untuk keperluan pemeriksaan), berikan kristaloid yang telah dihangatkan (untuk mencegah
hipotermi) dengan dosis 1-2 liter dewasa, dan 20ml/kgbb anak-anak. Siapkan darah yang juga
telah dihangatkan jika sewaktu-waktu diperlukan transfusi.
- Pasang kateter urine untuk melihat jumlah output sebagai monitor sederhana yang akan menilai
adekuat tidaknya fluid replacement yang kita berikan.(sebelum pemasangan, perhatikan
indikasikontra, e.c Ruptur Uretra)
- Adanya jejas atau hematome pada kepala, thorak dan abdomen mungkin memberi informasi
untuk suatu internal bleeding yang mungkin saja membutuhkan intervensi pembedahan secara
dini (konsultasikan).
- Penemuan adanya external bleeding yang aktif, langsung dilakukan balut tekan (direct pressure
on the wound)

- Deformitas atau kelemahan pada salah satu atau lebih anggota gerak yang merujuk pada suatu
keadaan fraktur, maka perlu dilakukan realignment first (luruskan se-anatomis mungkin)
kemudian di bebat bidai.
- Pada fraktur pelvis yang sifatnya open fractur harus segera di pasang sling atau kain (sarung)
untuk mengecilkan volume pelvis.

Sling untuk mengecilkan volume pelvis

Hematome pada Abdomen

Direct Pressure On the Wound

Deformitas pada ekstremitas


Dalam hal keberhasilan resusitasi, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yakni: jumlah total
darah, estimate blood loss (EBL), perbandingan kristaloid dengan volume darah, dan respon
pasien terhadap usaha emergency yang telah kita berikan pada fase awal.

1. Jumlah total darah


Jumlah total darah pada orang dewasa normal adalah 7% dari berat badannya (Rumus), yang
artinya jika berat badannya adalah 70 kg, maka jumlah total darahnya adalah sekitar 4.900ml
atau 4,9 L, atau bisa kita jadikan 5 liter.
Sedangkan anak - anak adalah 8- 9% dari berat badannya (Rumus), yang artinya jika anak
tersebut beratnya 20 kg, maka jumlah darahnya adalah sekitar 1600ml - 1800 ml, atau 1,6 L - 1,8
L.
2. Perbandingan kristaloid dengan volume darah
Kristaloid dapat digunakan sebagai pengganti volume darah dalam waktu - waktu tertentu
dengan rule 3:1, yang artinya, 300 ml kristaloid = 100 ml darah. Maka, misalkan seorang pasien
dia mengalami kehilangan darah sekitar 3 liter pasca trauma, maka pasien tersebut membutuhkan
9 liter cairan kristaloid untuk mengganti darahnya yang hilang tersebut.
3. Estimated blood loss
Estimasi kehilangan darah dapat dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan tanda klinis.
Kelas 1: kehilangan darah 15 % dari jumlah total darah
Kelas 2: kehilangan darah antara 15 - 30% dari jumlah total darah
Kelas 3: kehilangan darah 30 - 40 % dari jumlah total darah
Kelas 4: kehilangan darah > 40% dari jumlah total darah.
Contoh kasus:
Si A, laki - laki, BB 70 kg, melompat dari lantai tingkat rumahnya karena frustasi akibat kucing
kesayangannya meninggal. Saat di bawa ke rumah sakit pasien tampak somnolen (seperti
mengantuk), TD 90/70, Nadi, 125x/menit, RR, 29x/menit, suhu badan 36,5, akral dingin, dengan
pengisian kapiler yang lambat. Tampak ada deformitas pada paha kiri tanpa adanya perdarahan
eksternal. Dari tanda - tanda klinis tersebut, pasien dimasukkan dalam EBL kelas 3. Bagaimana
kebutuhan cairan pasien tersebut?

Jawab:
Pasien, berat badan 70kg, sehingga jumlah total darahnya sekitar 5 liter. Secara klinis pasien
masuk dalam kategori EBL kelas 3 yang artinya, pasien kehilangan darah sekitar 30-40% dari
jumlah total darahnya atau 30-40% dari 5 liter = 1,5 - 2 liter.
Selanjutnya rule 3:1. Yang berarti 1,5 -2 liter tersebut di kalikan 3.
Sehingga hasil akhirnya menjelaskan bahwa kabutuhan cairan kristaloid pada pasien ini adalah
4,5 - 6 liter.
(ini hanya contoh kasus, karena pada keadaan sebenarnya mungkin saja pasien tersebut sudah
membutuhkan transfusi darah).
4. Respon pasien
Mengenal respon pasien terhadap fluid replacment
Hanya ada tiga pembagian:
1. Immediate respon (respon cepat)
2. Transient respon (respon sementara)
3. No respon (tidak berespon)
Penjelasan:
1. Immediate respon.
Pasien hipovolemik jenis ini, cukup berespon baik dengan dosis cairan awal yang kita berikan
(1-2 liter, dewasa / 20ml/kgbb, anak - anak) dalam keadaan - keadaan awal dan bertahan hingga
kondisi pemulihan pasien. Biasanya perdarahan yang terjadi pada pasien ini tidakmassive dan
secara EBL kurang dari 20%
2. Transient respon
Pasien hipovolemik jenis ini, pada keadaan awal berespon cukup baik dengan dosis cairan awal
yang kita berikan, namun beberapa saat kemudian jatuh kembali dalam keadaan hipovolemik.
Hal ini dapat disebabkan oleh karena perdarahan yang masih berlangsung (on going process),

atau mungkin saja bukan syok hipovolemik melainkan syok neurogenik dan EBL-nya biasanya
antara 30-40 %. Pasien seperti ini mungkin membutuhkan transfusi darah.
3. No respon
Pasien hipovolemik jenis ini, sama sekali tidak berespon dengan resusitasi cairan yang kita
berikan. Perdarahannya cukup massive dengan EBL bisa mencapai > 40%. Pasien seperti ini
membutuhkan intervensi pembedahan se-dini mungkin.
Kesimpulan: Dari semua hal diatas ketepatan dan kecepatan penangananserta reevaluasi yang
sering dan berkesinambungan diharapkan dapat mengurangi hal - hal yang tidak diinginkan.

Primary Survey Disability

D: Disability.
Pemeriksaan neurologis terbatas yang perlu di periksa pada bab disability ini ada 3, yakni:
1. Derajat kesadaran yang diukur dengan skala GCS.
2. Respon pupil dan diameter pupil.
3. Tanda - tanda adanya lateralisasi.
Derajat kesadaran dapat memberikan informasi kepada tenaga kesehatan tentang respon pasien
terhadap usaha life saving yang telah dilakukan dari awal serta setidaknya menentukkan
kebutuhan pasien akan tindakan / prosedur lain (seperti pembedahan).

Respon dan diameter pupil serta tanda - tanda lateralisasi akan memberikan informasi mengenai
adanya proses di intra kranial selain adanya luka eksternal pada kepala yang dapat kita lihat
secara langsung.

Primary Survey Exposure

E: Exposure atau paparan dalam dunia ATLS, tidak hanya tentang bagaimana mencegah
hipotermi, namun secara mendalam, adalah usaha untuk mencari trauma atau jejas lain yang
mengancam nyawa dan pencariannya didasarkan pada mekanisme trauma.
Hipotermi
Hipotermi, atau keadaan suhu tubuh dibawah normal, dapat menjadi penyebab kematian yang
kadang luput dari pantauan tenaga kesehatan.
Hal-hal yang perlu dilakukan:
1. Hindari ruangan dingin atau ber-AC dalam perawatan pasien trauma.
2. Setelah pasien dibuka seluruh pakaiannya untuk kebutuhan pemeriksaan, jangan lupa di beri
selimut tebal untuk penghangatan.
3. Saat melakukan resusitasi yang agresif baik dengan menggunakan cairan kristaloid maupun
darah, maka bahan - bahan tersebut harus dihangatkan terlebih dahulu.
4. Pada pasien dengan trauma tenggelam, maka dengan cepat pakainnya harus ditanggalkan.
Trauma dan atau Jejas lain
Setiap pasien, yang dibawa ke bangsal perawatan rumah sakit, hampir selalu dalam kondisi
supinasi (terlentang) dan jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah dalam posisi pronasi
(telungkup). Artinya, saat pasien dalam posisi supinasi, terkadang trauma dan jejas di bagian
belakang (back) terlewatkan (tidak diperiksa). Ini harus menjadi perhatian khusus, bahwa pada
pasien multi trauma, seluruh sisi tubuh harus diperiksa.
Jika pasien dalam kondisi supinasi dan tenaga kesehatan curiga ada cedera spinal, maka untuk
evaluasi sisi bagian belakang pasien, dapat dilakukan log rolling dengan tetap menjaga
kesegarisan anatomis tubuh.

Teknik log rolling

Luka terbuka pada bagian belakang

Additional Examination and Monitoring during Primary Survey

Ada beberapa tindakan monitoring dan pemeriksaan tambahan yang di anjurkan dalam
faseprimary survey, karena dinilai mempunyai manfaat emergency yang cukup besar. Mereka
antara lain terdiri dari pemasangan Elektrokardiografi (EKG), Nasogastric Tube (NGT), Kateter
urine, Pulse Oxymetri, dan pemeriksaan foto rontgen (cervical, thoraks, dan pelvis).

Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi atau rekam jantung, sangat dianjurkan pada semua pasien trauma. Aktivitas
kelistrikan yang terbaca dalam kertas EKG, dapat memberikan kecurigaan tentang kemungkinan
adanya, kontusio jantung, cardiac tamponade, atau suatu kondisi hipoperfusi dan hipoksia yang
ditandai dengan adanya bradikardia, konduksi aberrant atau ekstra sistol.

Abberant conduction
Nasogastric Tube (NGT)
Digunakan untuk mengurangi isi lambung sehingga dapat menurunkan distensi abdomen dan
periode muntah. NGT, juga merupakan langkah awal sebelum melakukanDiagnostic Peritoneal
Lavage (DPL) untuk deteksi perdarahan intra abdomen. Pada keadaan dimana terjadi trauma
maksilofasial yang berat, sehingga menyebabkan patahnya lamina cribrosa pada hidung, maka
pemasangan gastric

tube dilakukan

selang gastric ke dalam rongga otak.

melalui

mulut,

untuk

menghindari

masuknya

Nasogastric Tube
Kateter Urine
Ditujukan untuk monitoring resusitasi emergency yang telah dilakukan, dengan tetap mengingat
kontraindikasi

sebelum

pemasangannya.

Jika

terdapat

adanya

ruptur

uretra,

makaschistostomy harus segera dipertimbangkan.


Output urine yang baik pada orang dewasa adalah 0,5ml/kgbb/jam, sedangkan anak - anak dan
bayi berkisar 1-2ml/kgbb/jam

Foley Catheter
Pulse Oxymetri
Pemeriksaan sederhana, dengan alat yang begitu minimalis, namun mempunyai manfaat yang
cukup besar dalam waktu-waktu yang krusial. Pulse oxymetri, hanya mengukur saturasi oksigen
(O2) dan denyut jantung, artinya tekan parsial oksigen (PaO2) tidak terukur dengan alat ini,
walaupun sebenarnya PaO2 tersebut masih dapat di prediksi berdasarkan kadar saturasi O2 yang
terbaca. Saturasi yang baik adalah 100%, walaupun 98% masih diijinkan. Namun pada kadar
dibawah 98% tersebut menjadi warning.

Pulse Oxymetri
Foto Rontgen
Dalam primary survey hanya ada 3 foto yang diijinkan untuk dilakukan dalam upaya untuk
menunjang proses resusitasi, yakni foto rontgen cervical, thoraks, dan pelvis.
- Foto cervical
Terutama berfungsi untuk deteksi adanya fraktur cervical yang bertendensi untuk menyebabkan
gangguan spinal. Namun, tidak ditemukannya fraktur pada pembacaan rontgencervical, tidak
serta merta mengeluarkan kemungkinan adanya gangguan spinal tersebut.

- Foto thoraks
Mempunyai fungsi dan tujuan untuk deteksi keadaan yang mengancam nyawa, yang antara
lainnya adalah hemothorak, flail chest, maupun pneumothorak yang mungkin luput dari ketajam
klinis pemeriksa.

- Foto pelvis
Keadaan hipovolemik yang bertahan dan tidak tertangani dengan resusitasi cairan awal, mungkin
menandakan adanya internal bleeding yang massive dan masih berlangsung. Status pelvis, harus
dijadikan kemungkinan dalam keadaan ini, meskipun perdarahan intraabdomen juga dapat
mempunyai status yang sama. Penemuan adanya fraktur pelvis pada foto rontgen, maka segera
ditatalaksana secara emergency seperti yang telah disampaikan pada BAB circulation, dan
pemberiah darah harus segera dipertimbangkan.

5. Indikasi tindakan ATLS


Kasus-kasus yang perlu penanganan bantuan hidup dasar seperti :

Tenggelam

Kecelakaan

Serangan jantung

Kesetrum listrik

Kehabisan oksigen dan darah

Pangkal lidah yang menutupi tenggorokan

Tujuan dari bantuan hidup dasar adalah menormalkan kembali sistem tubuh antara lain yaitu :
- Sirkulasi pernapasan
- Sirkulasi peredaran darah
Penanganan bantuan hidup dasar merupakan suatu tindakan untuk mencegah terjadinya
kematian. Dari jenis kematian dibagi 2 yaitu :

Mati klinis : Keadaan tanpa napas dan nadi yang baru terjadi sekitar 4-6 menit (bersifat
reversible) belum terjadi kerusakan sel-sel otak.

Mati biologis : suatu keadaan tanpa napas dan denyut nadi yang terjadi lebih dari 8
menti, atau adanya tanda-tanda mati.

Tanda-tanda kematian berupa :

Adanya kekakuan mayat

Terdapat kebiruan disekitar tubuh

Suhu tubuh dingin

Pupil tidak ada refleks dan melebar


Gangguan

Mati dalam

Airway

Sumbatan

3-5

Breathing

Henti nafas

3-5

Circulation

Shock berat

1-2 jam

Disability

Coma

1-2 minggu

Doktrin pertolongan pasien gawat adalah Time saving is life saving, dimana waktu dan data
dasar untuk bertindak sangat terbatas. Sehingga diperlukan konsep berpikir sederhana, tindakan
sistematik dan ketrampilan yang memadai dalam menolong pasien. Prognosis pasien trauma
paling baik pada jam pertama atau yang disebut The Golden Hour.
Trauma meruupakan salah satu yang membutuhkan tindakan bantuan dasar, trauma di negara
berkembang banyak menghadapi kendala sehingga menyebabkan perbedaan konsep penanganan.
Yang disebabkan oleh berbagai macam kendala berupa sumber dana, sumber fasilitas dan
komunikasi yang terbatas. Karena oleh karena keterbatasan ini maka tetap berarah ke
pertolongan individu, membantu dan mengembangkan sistem dan melihat ke arah prevensi.
Pedoman penanganan Hidup dasar (Basic and Advance Life Therapy Support) adalah A, B, C.
Basic and Advance Life Therapy Support (dulu) :

Airway

Breathing

Circulation

Drugs

ECG

Fibrilation Treatment

Basic and Advance Life Therapy Suppport (Sekarang) :

Airway

Breathing

Circulation

Disabilty

Exposure/ Enviroment

Tujuan:
1. Evaluasi korban dengan cepat dan tepat
2. Resusitasi & stabilisasi korban sesuai prioritas.
3. Menentukan kebutuhan korban cukup/melebihi fasilitas yang ada.
4. Mengatur cara rujukan antar rumah sakit.
5. Menjamin bahwa penanganan korban sudah optimum.
6. Life Support selain Advance Trauma Life Support (ATLS)
Selain ATLS kita juga bisa mengikuti pelatihan BTLS yang Instruktur pelatihan Basic Life
Support Basic Trauma Life Support (BCLS BTCLS ) meliputi dokter spesialis, dokter umum
dan perawat/Paramedik yang berpengalaman dalam penanggulangan penderita gawat darurat,
bencana, musibah massal dan kejadian luar biasa.
Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menangani
kegawat daruratan, khususnya dalam upaya mengantisipasi kegawat daruratan akibat
trauma, cardiovaskulermaupun kegawat daruratan akibat bencana. Dengan adanya berbagai
macam

potensi

bencana

sehingga

mengakibatkan terjadinya

krisis

kesehatan,

maka

diperlukannya kewaspadaan dan kesiapsiagaan petugas imunisasi dan petugas kesehatan lainnya
dalam berperan aktif dalam upaya penanganan dan memberikan pertolongan terhadap korban
kegawat daruratan akibat bencana maupun akibat krisis kesehatan lainnya.
Kematian biasanya terjadi karena ketidakmampuan petugas kesehatan untuk menangani
korban pada tahap gawat darurat (golden periode) ketidakmampuan biasanya disebabkan oleh
tingkat keparahan, kurang memadainya peralatan, belum adanya sistem yang terpadu dan
pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan dan memberikan pertolongan kegawat
daruratan pada korban akibat bencana, trauma maupun penyakit cardiovaskuler.

Pengetahuan dan keterampilan dalam menangani dan memberikan pertolongan pada


korban gawat darurat memegang porsi yang paling besar dalam menentukan keberhasilan
pertolongan, saat ini kecelakaan/ trauma dan penyakit cardiovaskuler menduduki peringkat lima
besar penyebab kematian di Indonesia.
MATERI PELATIHAN BTLS Introduction & Overview

Intergrated Medical Emergency Response System

Airway and breathing Management

Circulation & Shock Management

Initial Assesment & Management

Head Trauma Defribilator (AED)

Spinal Trauma

Thoracic Trauma

Abdominal Trauma

Musculosceletal Trauma

Thermal Trauma

Lifting & Moving

Extrication, Stabilization & Transportation

Triage in Emergency Room

Triage in Disaster
Selain mengikuti pelatihan BTLS bisa juga mengikuti GELS. Pelatihan General

Emergency Life Support (GELS) adalah pelatihan penanganan kasus gawat darurat untuk kasus
trauma maupun non trauma.Pelatihan ini dibentuk untuk meningkatkan kompetensi dokter
khususnya di bidang kegawatdaruratan medis.Meningkatnya baik kualitas maupun kuantitas

kegawatan yang terjadi baik kegawatan sehari-hari maupun bencana menuntut dokter harus
selalu aktif dan selalu berusaha meningkatkan kemampuannya.
GELS dirancang dan disusun oleh Brigade Siaga Bencana RSUP dr. Sardjito dengan acuan
standar Departemen Kesehatan RI. Pelatihan dilaksanakan selama 6 hari penuh dan diberikan
dalam bentuk kuliah, diskusi materi dan latihan ketrampilan dalam proporsi yang seimbang.
Saat ini dalam standar pelayanan gawat darurat yang dibuat oleh Departemen Kesehatan sesuai
Keputusan Menteri Kesehatan No: 106/MENKES/SK/I/2004, GELS sudah ditetapkan sebagai
pelatihan dasar untuk dokter yang bekerja pada unit pelayanan gawat darurat.
Diperlukan usaha yang optimal dan menyeluruh dari seluruh komponen panitia pelatihan ini
sehingga mutu pelatihan ini benar-benar terjaga sehingga cita-cita untuk mengembangkan
kemampuan kedokteran khususnya di bidang gawat darurat di seluruh indonesia akan dapat
tercapai.

\
Daftar Pustaka
American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
AdvancedTrauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah.
Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.
American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support. United States of
America: First Impression. American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004.
Advanced Trauma Life Support Seventh Edition. Indonesia: Ikabi.
American College of Surgeon. 1997. Advanced Trauma Life Support StudentManual.
Trauma Abdomen. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Dorland, 2002, Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC6.
Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing. New
York: A Wiley
Hudack & Galo (1996), Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC, Jakarta.
Purwadianto A. Sampurna B. 2000.
Kedaruratan Medik Edisi Revisi Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa
Aksara, pp: 47-49.
Scheets, Lynda J.2002. Panduan Belajar Keperawatan Emergency. Jakarta: EGC.
Setyono, H. 2011. Kuliah Penatalaksanaan Trauma Kepala. Surakarta: FKUNS.
Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrtz Principles of Surgery. 8thed.
McGraw-Hill, 2005; 1615-20.
Tabrani (1998), Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung.
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

You might also like