You are on page 1of 9

ASFIKSIA NEONATORUM

PENDAHULUAN
Asfiksia adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai
dengan hipoksia, hiperkapnae dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang
terjadi ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi
bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterina.6,7
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang
dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta, asidosis, gangguan kardiovaskuler
sebagai akibat langsung dari hipoksia dan merupakan penyebab utama
kegagalan untuk bernapas yang dapat berlanjut menjadi sindrom gangguan
pernapasan pada hari-hari pertama setelah lahir.
ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran oksigen melalui plasenta, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga apabila terjadi gangguan pada aliran
darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan
asfiksia.2
Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan
persalinan akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya
dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat
ringan dan sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis
yang terjadi pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan
berat dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan mengakibatkan
terjadinya perubahan fungsi sistem kardiovaskuler.7
Toweil, dalam buku ilmu kesehatan anak menggolongkan penyebab
asfiksia neonatorum terdiri dari 4:6
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika
atau anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin.

b. Gangguan aliran darah uterus


Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering
ditemukan pada:
a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau

tetani uterus akibat penyakit atau obat.


b) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
c) Hipertensi pada penyakit preeklampsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan
plasenta dan lain-lain.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran
darah dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran
gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan
pada keadaan : tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher,
kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi
karena beberapa hal, yaitu :
a) Pemakaian obat anestesia/analgetik yang berlebihan pada ibu
secara langsung.
b) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan
intracranial.
c) Kelainan konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika
atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lainlain.
PATOFISIOLOGI6,7
Pernapasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin
pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu
menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia
4

transien), proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor


pusat pernapasan agar lerjadi Primary gasping yang kemudian akan
berlanjut dengan pernapasan.
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini
akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan
menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat
reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang
terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (Primary apnea) disertai dengan
penurunan frekuensi jantung yang selanjutnya akan memperlihatkan bayi
sulit bernapas (gasping) dan kemudian diikuti dengan pola pernapasan yang
teratur.
Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak terlihat dan
bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada
fase ini ditemukan adanya bradikardi dan penurunan tekanan darah.
Disamping adanya perubahan klinis, pada bayi akan terjadi pula gangguan
metabolisme dan gangguan keseimbangan asam basa.
Pada fase pertama, gangguan pertukaran gas mungkin hanya
menimbulkan asidoris respiratorik, dan apabila gangguan terus berlanjut
maka akan terjadi metabolisme anaerobik berupa glikolisis glikogen tubuh ,
sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Asam organik yang dihasilkan akibat metabolisme ini akan menyebabkan
timbulnya asidosis metabolik. Pada fase selanjutnya akan terjadi perubahan
kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya
hilangnya

sumber

glikogen

pada

jantung

yang

kemudian

akan

mempengaruhi fungsi jantung sehingga terjadi keadaan asidosis metabolik


yang mengakibatkan berkurangnya sel pada jaringan termasuk otot jantung
sehinga menimbulkan kelemahan jantung dan tidak adekuatnya pengisian
udara alveolus akan menyebabkan tingginya resistensi pembuluh darah paru
dengan begitu sirkulasi darah ke paru dan ke sistem tubuh lain akan
mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi
dalam tubuh akan berdampak pada fungsi sel otak. Kerusakan sel otak yang
terjadi akan menyebabkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi
selanjutnya.
5

MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi
pernapasan cepat, pernapasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.
Sedangkan gejala lanjut dari asfiksia bisa menyebabkan terjadinya
pernapasan megap-megap yang dalam, denyut jantung yang terus menurun,
tekanan darah mulai menurun, bayi terlihat lemas (flaccid), menurunnya
tekanan O2 (PaO2), meningginya tekanan CO2 darah (PaO2), menurunnya
PH (akibat acidosis respiratorik dan metabolik), pemakaian sumber glikogen
tubuh anak untuk metabolisme anaerob, dan terjadinya perubahan sistem
kardiovaskular.
Dengan menggunakan apgar skor, tanda-tanda dan gejalah pada pasien
akan dinilai untuk menentukan derajat asfiksia, hal ini dapat memberi
gambaran apa tindakan yang harus dilakukan dan bagaimana prognosisnya.
Tabel 1. Apgar skor

(Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan


penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.)

Dari penilaian apgar skor , asfiksia neonatorum dapat dibagi


menjadi:3,4,5,6
1. Asfiksia ringan, dengan apgar skor 7-10 ( Vigorous Baby.). Dalam
hal ini bayi di anggap sehat dan tidak memerlukan tindakan
istimewa.
6

2. Asfiksia sedang, dengan apgar skor 4-6 (Mild-moderate asphyxia).


Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks
iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia berat, dengan apgar skor 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan
terlihat frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk,
sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak
ada.
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis adanya suatu keadaan asfiksia pada neonatus,
dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni:
a) Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu


lahir dan lahir tidak bernafas/menangis.2

Pada anamnesis juga didapatkan faktor resiko.8

b) Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis, dilakukan penilaian berdasarkan apgar


skor. 8

c) Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah 6
Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
Pa O2 < 50 mm H2O
PaCO2> 55 mm H2O
pH < 7,30
PENATALAKSANAAN
Tujuan

utama

mengatasi

asfiksia

adalah

mempertahankan

kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin
timbul dikemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut
resusitasi bayi baru lahir.2,6
A. Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal yang dilakukan, apabila bayi
cukup bulan, air ketubannya jernih, saat lahir langsung bernapas atau
7

menangis dan tonus otot bayi baik atau kuat maka bayi dapat langsung
dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari
ibunya. Bayi dikeringkan dan dibersihkan kemudian diletakkan di dada
ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu
tubuhnya. Namun apabila bayi tidak cukup bulan, air ketubannya keruh,
tidak langsung menangis atau bernapas waktu lahir dan tonus ototnya
tidak kuat maka,

bayi memerlukan tindakan resusitasi. Berikut ini

tindakan resusitasi secara berurutan2 :


1. Langkah awal dalam stabilisasi2
a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer)
dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan
memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. Bayi dengan BBLR memiliki
kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat
perlakuan khusus.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea lurus yang akan
mempermudah masuknya udara.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi. Cara yang tepat untuk membersihkan jalan
napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya
mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi
tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang
dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan
penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkahlangkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam
trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan
daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis. Bila terdapat
mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,
pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi
tanpa mekoneum.
8

d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada


posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk
memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan
sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka
perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil
telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau
ekstremitas bayi.
2. Ventilasi tekanan positif2
Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah
resusitasi lanjutan bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi
bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari 100x/menit.
Sebelum melakukan VTP harus dipastikan tidak ada kelainan congenital
seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia diafragmatika
harus diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Kontra
indikasi penggunaan ventilasi tekanan positif adalah hernia diafragma.
3. kompresi dada2
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari
60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik.
Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari kompresi yang
teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah tulang
belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki
sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya
bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2 orang
untuk melakukan kompresi dada yang efektifsatu orang menekan
dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa
melakukan pemantauan frekuensi jantung, dan suara napas selama
ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara
bergantian.

4. pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume


expander)2

Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori


berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan
(pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap
langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk
melanjutkan ke langkah berikutnya
B. Pemberian obat-obatan
Epinefrin
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang
dari 60x/menit setelah dilakukan VTP dan kompresi dada secara
terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak boleh diberikan sebelum
melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan meningkatkan beban
dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,1-0,3
ml/kgBB larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena
atau melalui selang endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara
intravena bila frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal
diberikan jika pemberian dilakukan melalui selang endotrakeal.,3
PENCEGAHAN6,7
Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan,
persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan berupa :
1. Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan

dan merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap


pada kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan asfiksia
neonatorum.
2. Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada
usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
3. Melakukan observasi janin yang baik dan deteksi dini terhadap

tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi.


4. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari persalinan
yang bersih dan aman, stabilisasi suhu, inisiasi pernapasan spontan,
inisiasi menyusu dini dan pencegahan infeksi serta pemberian
imunisasi.

10

KOMPLIKASI
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan terjadinya gangguan
berbagai organ yakni :
Tabel 2. Komplikasi Asfiksia Neonatotum1

(Behrman, Kliergman, Arvin.2010. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi


15 Vol. 1. Jakarta: EGC.)

PROGNOSIS
Hasil akhir asfiksia pada neonatus bergantung pada apakah
komplikasi metabolik dan kardiopulmonalnya. Prognosis tergantung pada
kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam otak. Bayi yang dalam
keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan kemungkinannya
menderita cacat mental seperti epilepsi dan IQ rendah pada masa
mendatang.1,5

11

You might also like