Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Satria Adi Putra
G99141062
Yohana Trissya A
G99141063
Totok Siswanto
G99141064
Ivan Setiawan
G99141065
Ibnu Kharisman
G99141066
Eksy Andhika W
G99141067
Amanda Yessica A
G99141068
Pembimbing :
dr. Raharjo Kuntoyo, SpM.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama
: Nn. S
Umur
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Karyawan
Alamat
: Banjarsari, Surakarta
Tgl pemeriksaan
: 23 September 2015
No. RM
: 0129xxxx
26 tahun
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
: pusing berputar
: disangkal
: disangkal
Riwayat trauma
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
E. Kesimpulan Anamnesis
OD
OS
Proses
proses refraksi
proses refraksi
Lokalisasi
media refrakta
media refrakta
Perjalanan
kronis
kronis
Komplikasi
Nadi = 88x/menit
Suhu= afebril
B. Pemeriksaan subyektif
OD
OS
6/10
6/15
Pinhole
6/6
6/6
Refraksi
S-0,50
S-0.75
30/30
30/30
Koreksi
Visus Perifer
Konfrontasi test
Proyeksi sinar
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Persepsi warna
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Tanda radang
tidak ada
tidak ada
Luka
tidak ada
tidak ada
Parut
tidak ada
tidak ada
Kelainan warna
tidak ada
tidak ada
Kelainan bentuk
tidak ada
tidak ada
Warna
hitam
hitam
Tumbuhnya
normal
normal
sawo matang
sawo matang
C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
2. Supercilium
Kulit
Geraknya
tidak ada
tidak ada
Strabismus
tidak ada
tidak ada
Pseudostrabismus
tidak ada
tidak ada
Exophtalmus
tidak ada
tidak ada
Enophtalmus
tidak ada
tidak ada
Anopthalmus
tidak ada
tidak ada
Mikrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Makrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Ptisis bulbi
tidak ada
tidak ada
Atrofi bulbi
tidak ada
tidak ada
Buftalmus
tidak ada
tidak ada
Megalokornea
tidak ada
tidak ada
Temporal superior
Temporal inferior
Temporal
Nasal
Nasal superior
Nasal inferior
6. Kelopak Mata
Gerakannya
Lebar rima
10 mm
Pseudoptosis
tidak ada
Benjolan
tidak ada
tidak ada
Nyeri tekan
10 mm
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Margo intermarginalis
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Entropion
tidak ada
tidak ada
Ekstropion
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
kesan normal
kesan normal
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Pterigium
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Injeksi konjungtiva
tidak ada
tidak ada
Konjungtiva Fornix
Konjungtiva Bulbi
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
putih
putih
tidak ada
tidak ada
Ukuran
12 mm
12 mm
Limbus
jernih
jernih
Permukaan
rata, mengkilat
rata, mengkilat
Sensibilitas
normal
normal
Keratoskop (Placido)
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Fluoresin Test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Arcus senilis
tidak ada
tidak ada
Isi
jernih
jernih
Kedalaman
dalam
dalam
coklat
coklat
spongious
spongious
Bentuk
bulat
bulat
Sinekia
tidak ada
tidak ada
Ukuran
3 mm
3 mm
Bentuk
bulat
bulat
Tempat
sentral
sentral
Reflek direct
(+)
(+)
Reflek indirect
(+)
(+)
11. Sklera
Warna
Penonjolan
12. Kornea
14. Iris
Warna
Gambaran
15. Pupil
Reflek konvergensi
(+)
(+)
Ada/tidak
ada
ada
Kejernihan
jernih
jernih
Letak
sentral
sentral
(-)
(-)
16. Lensa
Shadow test
17. Korpus vitreum
Kejernihan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
OS
6/10
6/15
Pinhole
6/6
Refraksi
S -0,50
S-0,75
30/30
30/30
Sekitar mata
Supercilium
dalam orbita
Ukuran bola mata
Palpebra superior
Palpebra inferior
kesan normal
Konjunctiva bulbi
Sklera
kesan normal
dalam batas normal
dalam batas normal
Kornea
Iris
Pupil
Lensa
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Corpus vitreum
a.
b
Gambar. 1 Dokumentasi pasien: a). Occuli dextra; b). Occuli sinistra
VI. DIAGNOSIS
o
Glaukoma simpleks
VIII. PLANNING
o
Koreksi kacamata
VII. TERAPI
Koreksi dengan kaca mata lensa kanan S -0,50 dan kiri S -0,75
VIII. PROGNOSIS
OD
OS
Ad vitam
bonam
bonam
Ad sanam
bonam
bonam
Ad kosmetikum
bonam
bonam
Ad fungsionam
bonam
bonam
TINJAUAN PUSTAKA
AMETROPIA
Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang terdiri atas:
a. Epitel
Tebalnya 50 um, terdiri atas lima lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda mi
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng. Sel basal berkaitan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui desmosom dan
macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
b. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma.Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
d. Membrana Descement
3. Lensa
Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris yang terdiri dari zat
tembus cahaya yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadi akomodasi.
Lensa berbentuk cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik mata belakang.
Pada keadaan normal, cahaya atau gambar yang masuk akan diterima oleh lensa
mata, kemudian akan diteruskan ke retina, selanjutnya rangsangan cahaya atau
gambar tadi akan diubah menjadi sinyal / impuls yang akan diteruskan ke otak
melalui saraf penglihatan dan akhirnya akan diterjemahkan sehingga dapat
dipahami.
Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa di
dalam kapsul lensa. Epitel lensa membentuk serat lensa secara terus-menerus
sehingga mengakibatkan memadatnya serat di bagian sentral sehingga
membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang
paling dahulu dibentuk atau serat lensa yang paling tua. Di bagian luar nukleus
terdapat serat yang lebih muda disebut korteks lensa. Korteks yang terletak di
sebelah depan nukleus disebut korteks anterior, sedangkan yang di belakang
nukleus disebut korteks posterior. Nukleus memiliki konsistensi yang lebih
keras dibandingkan korteks. Di bagian perifer kapsul lensa terdapat Zonula
Zinn yang menggantungkan lensa di seluruh equatornya pada badan siliar.
Secara fisiologik, lensa memiliki sifat tertentu:
a. Kenyal atau lentur karena memegang peranan penting dalam akomodasi
untuk menjadi cembung
b. Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan
c. Terletak di tempatnya
Keadaan patologik lensa dapat berupa:
a. Kekenyalan berkurang pada orang tua sehingga mengakibatkan presbiopi
b. Keruh atau disebut katarak
c. Tidak berada di tempatnya atau subluksasi atau luksasi
4. Badan kaca
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak
antara lensa dengan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata.
Mengandung air sebanyak 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air.
Sesungguhnya fungsi badan kaca sama dengan fungsi cairan mata, yaitu
mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang untuk
meneruskan sinar dari lensa ke retina. Badan kaca melekat pada bagian tertentu
jaringan bola mata. Perlekatan itu terdapat pada bagian yang disebut ora serata,
pars plana, dan papil saraf optik. Kebeningan badan kaca disebabkan tidak
terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya
kekeruhan badan kaca akan memudahkan melihat bagian retina pada
pemeriksaan oftalmoskopi.
B. Kelainan Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di
retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat
jauh.
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti pungtum proksimum
yang merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan
jelas. Pungtum remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat
melihat dengan jelas, yang merupakan titik dalam ruang yang berhubungan
dengan retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum
terletak di depan mata.
Emetropia adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar atau jauh
dibiaskan atau difokuskan oleh sistem optik mata tepat pada daerah makula lutea
tanpa melakukan akomodasi. Pada mata emetropia, terdapat keseimbangan antara
kekuatan pembiasan sinar dengan panjangnya bola mata. Keseimbangan dalam
pembiasan sebagin besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea
serta panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat
dibanding media penglihatan mata lainnya. Lensa memegang peranan terutama
pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia.
Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana mata
yang dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan sinar
sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia dapat ditemukan
dalam bentuk-bentuk kelainan seperti miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun
dekat), dan astigmatisme (silinder). Kelainan lain pada pembiasan mata normal
adalah gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat
berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan
akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut
presbiopia.
Gambar 2. Pembiasan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi.
dalam mata difokuskan dibelakang bintik kuning dan mata ini menjadi
hipermetropia atau rabun dekat.
C. Miopia
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan
sinar yang berlebihan sehingga sinar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik
kuning). Miopia adalah sebuah keadaan dimana terjadi perbedaan antara
kekuatan pembiasan dan panjang aksial mata sehingga sinar cahaya yang
masuk ke bola mata berkumpul atau terkonvergensi di titik fokus di depan
atau anterior dari retina. Pada miopia, titik fokus sistem optik media
penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini disebabkan sistem optik
(pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata yang terlalu panjang,
miopia aksial atau sumbu. Tajam penglihatan padaa miopia selalu kurang dari 5/5.
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih
dapat dilihat dengan jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau
berkedudukan
konvergensi
yang
akan
menimbulkan
keluhan
astenopia
konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, penderita akan terlihat juling ke
dalam atau esotropia.
Pada banyak pasien biasanya kurang dari 4 atau 5 D. Astigmatisme dapat terjadi
pada konjungsi dengan simple myopia.
Nocturnal myopia hanya terjadi pada penerangan yang kurang atau gelap.
Hal ini dikarenakan meningkatnya respon akomodasi sehubungan dengan
sedikitnya cahaya yang ada.
Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular
akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar.
Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia karena respon
akomodasi yang tidak sesuai.
Miopia yang berat yang berhubungan dengan perubahan degeneratif pada
segmen posterior mata disebut degenerative atau pathological myopia. Perubahan
degeneratif dapat menyebabkan fungsi penglihatan yang abnormal, seperti
perubahan lapangan pandang. Retinal detachment dan glaukoma adalah sekuele
yang biasa terjadi.
Induced myopia adalah akibat terpapar oleh berbagai obat-obatan, kadar
gula darah yang bervariasi, nuklear sklerosis pada lensa kristalin, atau kondisi
ganjil lainnya. Miopia ini seringnya bersifat sementara dan reversibel.
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:
1. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
2. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
3. Miopia
maligna,
miopia
yang
berjalan
progresif,
yang
dapat
pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan
membiasakan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat
benda-benda yang dekat. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea atau
adanya perubahan panjang bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada
makula.
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan refraksi terlalu kuat. Pada miopia, cahaya yang masuk ke
mata akan jatuh di depan retina sedangkan pada mata normal atau emetrop cahaya
akan jatuh tepat pada retina. Hal ini berarti bahwa tidak ada gambaran tajam yang
diterima oleh retina ketika mata melihat benda dalam jarak yang jauh. Pada miopia
dapa dikenal beberapa bentuk miopia seperti:
1.
2.
seperti degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer, dengan miopik kresen
pada papil saraf optik.
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata
sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat
bahkan terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur (rabun jauh). Seseorang
dengan miopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah
aberasi sferis atau mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien biasanya juga
mengeluhkan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak mata
yang sempit. Kadang-kadang terlihat bakat untuk menjadi juling. Hal ini
Penyulit yang timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya ablasi
retina dan juling. Pasien miopia memliki pungtum remotum yang dekat sehingga
mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan
keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita
akan terlihat juling ke dalam atau esotropia.. Bila terdapat juling ke luar, mungkin
fungsi salah satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.
Mata dengan miopia tinggi akan didapatkan kelainan pada fundus okuli pada
saat pemeriksaan funduskopi seperti degenerasi makula dan degenerasi retina
bagian perifer. Miopia maligna berpotensi terjadinya ablasi retina dan kebutaan.
Miopia progesif ditandai dengan penipisan pada sklera. Pemanjangan dari
bola mata akan menyebabkan pergeseran sumbu mata. Hal ini juga merangsang
terjadinya esotropia. Ruang anterior mata pun menjadi dalam. Atrofi otot siliaris
juga sering terjadi karena hampir tidak
miopia, volume badan vitreous terlalu kecil untuk mata yang besar, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya kolaps yang berdampak pada terjadinya vitreous
opacification dimana pasien merasakan ada sesuatu yang melayang.
D. Hipermetropia
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana
sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang makula lutea.
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan dfokuskan di
belakang retina.
Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas:
1. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat
bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang
pada sistem optik mata.
Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori:
1. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh
panjang sumbu aksial mata ataupun karena refraksi.
2. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena
gagal kembang, penyakit mata, atau karena trauma.
3. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi.
Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan
refraksinya, yaitu:
1. Hipermetropia ringan ( +2,00 D)
2. Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D)
3. Hipermetropia berat (+5,00 D)
Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti:
hipermetropia
laten
yang
ada
berakhir
dengan
tenaga
akomodasi
sama
sekali
disebut
sebagai
hipermetropi absolut.
4. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia
(atau dengan otot yang melemahkan akomodasi) diimbangi
seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat
diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin besar
komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan
terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi
hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia
absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan
Astigmatisme tidak lazim (astigmat against the rule) adalah suatu keadaan
kelainan refraksi astigmatisme regular dimanana koreksi dengan silinder negatif
dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif
sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan
kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea
vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia lanjut.
Seseorang dengan astigmatisme akan memberikan keluhan seperti:
1. Melihat jauh kabur sedang melihat dekat lebih baik
2. Melihat ganda dengan satu atau kedua mata
3. Melihat benda yang bulat menjadi lonjong
4. Pada astigmatisme, penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat
5. Bentuk benda yang dilihat berubah
6. Mengecilkan celah kelopak mata
7. Sakit kepala
8. Mata tegang dan pegal
9. Mata dan fisik lelah
10. Astigmatisme tinggi (4 8 D) yang selalu melihat kabur sering
mengakibatkan ambliopia.
Untuk memperbaiki kelainan astigmatisme diberikan lensa silinder dengan
cara coba-coba, cara pengabur, ataupun cara silinder bersilang. Pengobatan
astigmatisme iregular dengan lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa
kontak lembut bila disebabkan infeksi, trauma, dan distrofi untuk memberikan
efek permukaan yang regular.
Pemeriksaan mata dengan astigmatisme dipergunakan alat berikut:
1. Cakram Placido, alat yang memproyeksikan sel lingkaran konsentris
pada permukaan kornea. Dengan alat ini dapat dilihat kelengkungan
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit mata Edisi
ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2008. H.l-13.
4.
5.
Riordan P. Anatomy & Embriology of the Eye. In: Vaughan DG, Asbury T,
Riordan-Eve P. General Ophtalmology. 17th ed. USA: Appleton & Lange; 2008.
P.8-10
6.
7.
Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 1995: 14: 45