You are on page 1of 45

BAB 2

DASAR TEORI

Dasar teori pada penelitian ini meliputi empat bagian utama yakni :
perancangan bangunan tahan gempa, balok transfer berupa balok prategang,
perancangan bangunan tahan gempa berbasis kinerja, dan analisa pushover.

1.1 Perancangan Bangunan Tahan Gempa


1.1.1 Dasar Perancangan Bangunan Tahan Gempa
Beban gempa adalah beban akibat perpecatan tanah yang menghasilkan
baik gaya lateral maupun gaya vertikal, namun gaya lateral lebih dipertimbangkan
dalam perencanaan

gedung akibat gempa. Oleh karena itu, dalam gedung

khususnya bangunan beton bertulang, harus ada sistem penahan gaya lateral yang
dapat berupa :
Sistem Portal : sistem portal menahan gaya gempa dengan sifat lentur
dari kolom dan balok. Balok, lantai penahan, dan kolom biasanya bertemu pada
satu titik dan titik itu disebut rigid joints. Selama gempa besar terjadi, lendutan
per lantai (penyimpangan lantai) dapat ditahan oleh sistem struktur portal dengan
membentuk sendi-sendi plastis pada balok tanpa membuat kolom roboh. Jenis-jenis
portal seperti ini mampu menahan pembebanan gravitasi sekaligus memiliki
ketahanan yang cukup terhadap beban lateral ke segala arah.
Sistem Dinding Geser : bangunan dengan dinding geser biasanya lebih
kaku dibanding bangunan dengan struktur portal. Lendutan akibat gaya lateral
biasanya bernilai kecil kecuali rasio tinggi-lebar dari dinding cukup besar
sehingga menyebabkan masalah guling. Guling (overturning) ini terjadi ketika
terdapat bukaan yang melebar pada dinding geser atau ketika rasio tinggi-lebar
dari dinding melebihi nilai 5. Pada beberapa kasus, jika kebutuhan fungsional
mengijinkan, gaya lateral yang bekerja pada gedung dapat ditahan seluruhnya oleh
dinding geser. Efek pembebanan gravitasi pada dinding tidaklah signifikan dan
tidak berpengaruh dalam desain.

Sistem Kombinasi / sistem ganda : sistem portal dan sistem dinding geser dapat
digunakan secara bersama-sama dan membentuk sistem kombinasi. Ketika

portal

dan

dinding geser berinteraksi, sistem dapat dikatakan sistem kombinasi bila portal sendiri
mampu menahan 25% gaya geser nominal yang terjadi. Sistem kombinasi juga biasa disebut
sebagai dual, hybrid, atau sistem dinding-portal.
Keruntuhan yang terjadi pada saat gempa apapun pemicunya memperlihatkan bahwa
bangunan yang runtuh tidak memiliki kemampuan deformability yang baik khususnya dalam
rentang inelastik. Hal ini dapat terjadi karena pemilihan keruntuhan yang tidak tepat dan
penerapan detailing yang tidak memadai. Pada umumnya, kriteria desain struktur tahan gempa
memenuhi ketiga hal berikut :
Gempa ringan : tidak ada kerusakan baik pada elemen struktural maupun non-struktural.
Gempa sedang : elemen struktural tidak rusak namun elemen non-struktural boleh rusak
dan dapat diperbaiki.
Gempa berat : elemen struktural dan non-struktural rusak, namun struktur tidak runtuh.
Struktur didesain berperilaku inelastik dan daktail terhadap gempa rencana yang kuat.
Kunci untuk dapat melakukan desain bangunan tahan gempa adalah membuat struktur
yang memiliki kekuatan, kekakuan, daktilitas, dan disipasi energi yang cukup. Hal ini dapat
dipenuhi dengan : perencanaan kolom yang lebih kuat daripada balok, mencegah kegagalan
geser (perlu pengekangan yang cukup), memastikan struktur bawah tidak runtuh terlebih dahulu
daripada struktur atas, dan melakukan pelaksanaan dengan baik (detailing harus diperhatikan).

1.1.2 Pengekangan Pada Struktur Beton Bertulang


Kekuatan dan daktilitas dari penampang beton bertulang berbentuk persegi dipengaruhi
bukan hanya oleh mutu beton melainkan juga dengan kekangan lateral yang diberikan oleh
tulangan sengkang terhadap inti beton (Razvi dan Saatciouglu, 1994). Konsep pengekangan pada
penampang beton bertulang berbentuk persegi dikembangan secara analitis oleh Sheikh &
Uzumeri (1982). Mereka menyimpulkan untuk penampang persegi kekangan yang ditimbulkan
oleh sengkang bersifat tidak merata sehingga luasan daerah inti yang terkekang secara efektif
pada dasarnya lebih kecil daripada luas total di daerah inti aktual sehingga terdapat suatu daerah
terkekang yang secara tidak efektif pada daerah inti kolom.
2

Kurva tegangan-regangan material beton bertulang terkekang tentunya berbeda dengan


material beton bertulang tidak terkekang. Dalam pembentukannya, terdapat beberapa cara yang
sudah dikenal antara lain Chan (1995) dan Blume (1961), Baker (1964), Kent dan Park (1971),
dan Mander, Priestley, dan Park (1984). Bentuk kurva tegangan-regangan dari peneliti terakhir
merupakan formula yang jamak dipakai saat ini, dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-1 Model Kurva Tegangan-Regangan untuk Balok Beton Bertulang Terkekang
Sumber : Theoritical Stress-Strain Model For Confined Concrete, Mander, et all. (1986)

Dimana sp menunjukkan spalling strain, regangan maksimum beton yang dicapai


sehingga selimut beton terlepas. Untuk tingkat laju regangan rendah yang dibebani secara
monotonik, tegangan tekan longitudinal dari beton, fc', dapat dinyatakan dalam bentuk :
fc' =

 ..

(2.1)

 

Dimana :
f'cc

= kekuatan tekan dari beton terkekang

= (c/cc)

= regangan longitudinal tekan beton

cc

= regangan pada saat tegangan beton maksimum

cc = co 1 + 5 




1

(2.2)

Dimana :
f'co

= tegangan tekan dari beton tidak terkekang


3

co

= regangan pada saat tegangan beton maksimum f'co (0,002)

= Ec/(Ec-Esec)

Ec

= Tangent Modulus of Elasticity dari beton

Esec = Secant Modulus dari beton terkekang pada saat tegangan makimum
= (f'cc/cc)

1.2 Balok Transfer Berupa Balok Prategang


1.2.1 Pola Keruntuhan Transfer Beam
Transfer beam atau balok transfer adalah adalah balok yang berfungsi untuk
mendistribusikan gaya-gaya secara lateral, dari struktur atas ke struktur yang ada di
bawahnya. Oleh karena itu, balok transfer membutuhkan kekuatan terhadap lentur dan geser
yang sangat kuat. Untuk dapat menciptakan kekuatan ini, ketinggian dari penampang balok
transfer harus dinaikkan jauh lebih banyak dibandingkan balok biasa (Londhe : 2010). Rasio
bentang geser / d balok (rasio a/d) akan berbeda dengan balok biasa dan membuat
mekanisme transfer gaya menjadi berbeda.
Dalam perencanaan balok transfer (transfer beam), sangat penting diketahui pula
pola

keruntuhan

(modes

of

failure) dari

balok

transfer

yang digunakan. Pola /

mekanisme keruntuhan ini sangat bergantung dari berbagai faktor antara lain : rasio tulangan
longitudinal, rasio tulangan transversal, rasio a/d, dan kuat tekan beton. Beberapa pola
keruntuhan balok transfer akibat kegagalan geser yang mungkin terjadi ialah :
-

Diagonal Spliting Failure


Pola keruntuhan dimana retak diagonal terbentuk dari titik beban bekerja ke titik
perletakkan. Retak ini akan menganggu aliran gaya geser horizontal dari tulangan
longitudinal ke daerah kompresi beton dan perilaku balok akan berubah dari beam
action menjadi arch action. Pola keruntuhan paling umum ketika mekanisme
ini terjadi ialah gagalnya pengangkuran diujung tension tie balok. Kegagalan ini
biasa dialami oleh balok dengan rasio a/d sangat kecil (0-1).

Gambar 0-2 Keruntuhan Diagonal Splitting


Sumber : Plate Reinforced Concrete Beam : Experimental Work, N.K Subedi : 1997

Shear-compression Failure
Kegagalan jenis ini ditandai dengan terjadinya retak miring dan bila tidak
disediakan tulangan web, maka retak ini akan mengurangi kekuatan zona kompresi
beton dan kemudian beton akan mengalami kegagalan crushing pada zona
kompresi di atas retak. Oleh

karena retak miring lebih cepat berkembang

dibanding retak lentur, kegagalan dicapai ketika nilai momen lentur maksimum
belum tercapai. Kegagalan jenis ini biasa dialami oleh balok dengan nilai rasio a/d 1
2,5.

Gambar 0-3 Keruntuhan Shear-compression


Sumber : Reinforced Concrete Mechanic and Design 3rd edition, James Mac Gregor

Shear-flexure Failure
Kegagalan jenis ini diawali dengan terbentuknya retak lentur di tengah bentang
kemudian akibat perubahan konsentrasi tegangan di dekat ujung retakan, retak
kemudian

merambat dalam arah miring. Retak flexure-shear tidak dapat

diprediksi dengan menghitung tegangan utama pada balok. Oleh karena itu,
5

persamaan empiris telah diciptakan untuk menghitung beban flexure-shear.


Kegagalan jenis ini terjadi pada balok dengan rasio a/d 2,5 6.

Gambar 0-4 Keruntuhan Shear-flexure


Sumber : Reinforced Concrete Mechanic and Design 3rd edition, James Mac Gregor.

1.2.2 Balok Prategang


Menurut definisi ACI, beton prategang ialah beton yang didalamnya mengalami
tegangan internal dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi
tegangan yang terjadi akibat gaya luar sampai batas tertentu. Beton prategang adalah beton
yang diberikan tegangan sebelum dibebani oleh beban kerja. Pada elemen beton bertulang,
tegangan ini diberikan dengan menarik tulangan atau untaian kawat baja yang terdapat
pada tendon yang dipasang. Prinsip-prinsip dasar dari beton prategang yakni :
-

Konsep pertama : sistem prategang untuk mengubah beton menjadi bahan yang
elastis.
Konsep ini ialah konsep yang paling sering digunakan oleh kebanyakan insinyur
dimana beton yang tadinya bersifat getas menjadi bahan yang elastis dengan
pemberian tegangan awal. Beton yang tidak mampu menahan tarikan dan kuat menahan
tekan dibuat sedemikian rupa sehingga mampu menahan tegangan tarik. Dari konsep ini,
lahirlah kriteria tidak ada tegangan tarik pada beton. Karena bersifat elastis, distribusi
tegangan juga akan bersifat linier dan analisa tegangan dapat menggunakan analisa
tegangan elastis. Namun penerapan konsep ini menjadikan beton prategang sangatlah
konvensional (tidak mengijinkan adanya tegangan tarik).

Konsep kedua : sistem prategang dengan kombinasi baja mutu tinggi dan beton.
Konsep yang mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi baja mutu tinggi
dengan beton dimana baja menahan tarik dan beton menahan tekan.

Kedua

gaya

tersebut membentuk kopel untuk melawan momen eksternal. Kelebihan pada balok
prategang ialah, baja ditarik terlebih dahulu sehingga mencapai suatu nilai tertentu di
6

bawah kekuatan maksimalnya. Pada beton bertulang biasa, seringkali beton sudah
retak terlebih dahulu pada saat baja belum mencapai kekuatan penuh. Inilah yang
membedakan balok prategang dan balok beton bertulang biasa.
-

Konsep ketiga : sistem prategang untuk menyeimbangkan beban.


Konsep ini berdasarkan pada pemberian gaya prategang untuk menyeimbangkan gayagaya yang bekerja pada suatu batang sehingga elemen- elemen yang dikenai bending
seperti balok dan pelat tidak akan mengalami tegangan akibat momen lentur. Konsep
ini dikembangkan oleh T.Y Lin dalam bukunya yang berjudul Design of Prestressed
Concrete Structures. Anggap ada sebuah balok diatas dua tumpuan seperti pada gambar
berikut :

Gambar 0-5 Balok Prategang diatas Dua Tumpuan


Sumber : Design of Prestressed Concrete Structure, T.Y Lin Ned H Burns

Apabila F = gaya prategang, L = panjang bentang, dan h = tinggi parabola,


maka gaya terdistibusi secara merata keatas yang terjadi sebagai pengganti gaya
prategang adalah sebesar
Wb = 8 F h / L2

(2.3)

Jika gaya Wb sebagai pengganti gaya prategang mampu mengimbangi beban luar yang
ada, maka potongan balok hanya akan mengalami tegangan tekan seragam f = F / A.
Konsep Load Balancing Method ini sangat menguntungkan jika struktur yang ada
merupakan struktur statis tak tentu. Keuntungan bisa didapatkan dari mudahnya
melakukan perhitungan maupun visualisasi struktur prategang.

1.2.2.1

Daktilitas Balok Prategang

Dalam melakukan analisa non-linear, parameter seperti daktilitas dan disipasi energi
balok prategang menjadi sangat penting untuk diketahui. Kedua parameter ini mempengaruhi
secara langsung kurva gaya-perpindahan atau moment-curvature pada penampang prategang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi daktilitas balok prategang antara lain :
a.

Jumlah Baja Prategang (Degree of Prestressing) dan Distribusinya


Kurva hubungan moment-curvature pada penampang balok prategang dengan jumlah baja
prategang dan distribusi yang berbeda dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-6 Efek Perubahan Jumlah Baja Prategang pada Kurva Hubungan Moment-Curvature dengan Satu
Tendon
Sumber : Ductility of Prestressed and Partially Prestressed Concrete Beam Section, Park, Thompson : 1980

Gambar 0-7 Efek Perubahan Jumlah Baja Prategang pada Kurva Hubungan Moment-Curvature dengan Dua
Tendon
Sumber : Ductility of Prestressed and Partially Prestressed Concrete Beam Section, Park, Thompson : 1980

Gambar 0-8 Efek Perubahan Jumlah Baja Prategang pada Kurva Hubungan Moment-Curvature dengan Tiga
Tendon
Sumber : Ductility of Prestressed and Partially Prestressed Concrete Beam Section, Park, Thompson : 1980

Dapat dilihat pada ketiga gambar diatas, semakin banyak baja prategang yang digunakan,
daktilitas akan semakin berkurang. Selain itu, keberadaan baja prategang di daerah tekan
beton secara signifikan dapat menambah daktilitas penampang.
Dalam desain tahan gempa, formula berikut seyogyanya diikuti untuk memastikan
penampang balok prategang memiliki nilai daktilitas yang cukup. Penampang harus
memenuhi :
Aps fps

b d fc'

< 0.2

(2.4)

Untuk penampang dengan letak tendon yang bervariasi dari atas sampai ke bawah serat,
sangat sulitbagi kita untuk memberikan nilai batas pada parameter Aps fps / b d fc karena
letak tendon yang sembarang menimbulkan bentuk kurva moment-curvature yang
sembarang juga. Oleh karena itu akan lebih mudah jika persamaan berikut digunakan untuk
menjamin penampang memiliki daktilitas yang cukup :
a / h < 0.2

(2.5)

dimana a = tinggi blok tekan penampang, dan h = tinggi balok prategang. Persamaan ini
juga berlaku untuk penampang partial prestress dimana terdapat baja non-prategang pada

balok. Kuncinya ialah mengurangi jumlah baja prategang dan menyediakan tulangan tekan
yang cukup untuk memenuhi persamaan (2.5).

b.

Jumlah Baja Transversal (sengkang)


Salah satu parameter yang paling signifikan dalam mempengaruhi tingkat daktilitas
penampang balok prategang ialah jumlah baja transversal atau sengkang. Jumlah sengkang
menunjukkan degree of confinement pada beton di daerah tekan. Perbandingan jumlah
sengkang (ditunjukkan dengan rendahnya spasi sengkang) terhadap kurva momentcurvature dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-9 Pengaruh Spasi Sengkang Terhadap Hubungan Moment-Curvature Penampang


Sumber : Ductility of Prestressed and Partially Prestressed Concrete Beam Section, Park, Thompson : 1980

Gambar 2.9 menunjukkan daktilitas yang lebih baik akan dicapai akibat pengekangan
ekstra. Pada potongan khusus yang sedang dianalisa diatas, sengkang tertutup dengan spasi
kurang lebih d/4 (3,6 inch) menghasilkan daktilitas yang paling baik. Sayangnya,
kemungkinan selimut beton mengalami spall akan meningkat dengan menurunnya spasi
sengkang sehingga kapasitas momen pada curvature tinggi tidak akan sebesar di gambar
2.9.

1.2.3 Balok Prategang Menerus (Continous Prestressed Beams)

10

Dalam pelaksanaan struktur bangunan, seringkali diperlukan balok prategang yang


dipasang berada dalam keadaan menerus atau continous dimana satu bentang balok terletak
diatas beberapa perletakkan. Hal ini membawa beberapa kerugian antara lain desain yang
tercipta tidak ekonomis karena momen sangat bervariasi sepanjang bentang dan terjadinya
kehilangan akibat geser yang besar karena perbedaan kelengkungan tendon.
Namun demikian, struktur balok menerus memberikan beberapa keuntungan juga
antara lain momen pada struktur menerus (struktur statis tak tentu)

akan

lebih kecil

dibanding pada struktur satu bentang. Selain itu, alat pengangkuran yang dibutuhkan menjadi
lebih sedikit dan hal ini mengakibatkan pengurangan biaya penarikan secara signifikan.
Defleksi pada struktur juga lebih kecil karena nilai momennya yang kecil dan menimbulkan
ketahanan terhadap beban lateral yang baik pada frame yang kaku.
Perbedaan paling mendasar dari balok prategang satu bentang dengan balok
prategang menerus ialah keberadaan reaksi yang menahan defleksi akibat prategang (camber)
pada struktur menerus. Reaksi ini kemudian menimbulkan secondary moment atau momen
sekunder pada struktur prategang.
Jika pada balok satu bentang, beban akibat berat sendiri balok prategang tidak
diperhitungkan, dan bila balok dikenai gaya prategang eksentrik, maka resultan tegangan
tekan (C-line) pada potongan penampang akan berhimpit dengan titik berat baja prategang
seperti ditunjukkan pada gambar berikut :

Gambar 0-10 Penampang Balok Prategang Bentang Sederhana


Sumber : Design of Prestressed Concrete Structure, T.Y Lin Ned H Burns

Momen lentur akibat prategang dapat dicari dengan mengalikan gaya prategang dan
jarak antara cgc dan cgs sepanjang bentang, balok akan berdefleksi ke atas akibat prategang
(camber) namun tidak ada reaksi eksternal yang diciptakan. Pada balok menerus, kondisinya
lebih rumit. Momen akibat prategang kini akan disebut sebagai momen primer (primary
11

moment) dan akan menyebabkan defleksi ke atas seperti pada kasus balok simple span. Namun
defleksi ini ditahan oleh redundant perletakkan, dan reaksi perletakkan dari redundant tersebut
akan menimbulkan momen sekunder (secondary moment) pada balok. Nilai momen total
bisa didapatkan dengan menjumlahkan nilai momen primer dan momen sekunder.

Gambar 0-11 (a) Balok Prategang menerus ; (b) Lendutan yang Terjadi apabila Reaksi di Tengah Bentang
Diabaikan ; (c) Reaksi Perletakkan di Tengah Bentang akibat Beban Prategang ; (d) Defleksi Balok Aktual
akibat Prategang

Sumber : Design of Prestressed Concrete, Arthur H Nilson

Dengan gambar diatas, momen-momen pada balok menjadi :

Gambar 0-12 Momen Primer, Sekunder, dan Total Balok Prategang Menerus
Sumber : Design of Prestressed Concrete, Arthur H Nilson

12

1.3 Perancangan Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerja


Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, trend perencanaan
bangunan tahan gempa saat ini bergeser kepada Perencanaan Tahan Gempa Berbasis Kinerja
atau Performance Based Seismic Engineering (PBSE). PBSE merupakan sebuah proses desain
berulang yang dimulai dengan penentuan level kinerja yang diinginkan, penilaian desain dengan
analisa khusus untuk mengetahui apakah desain sesuai dengan target kinerja, dan pada akhirnya
dilakukan desain ulang sampai target kinerja terpenuhi. Jika desain awal sudah memenuhi target
kinerja maka proses ini dikatakan selesai. Tujuan utama dari PBSE ialah memastikan bahwa
target kinerja pada sebuah struktur terpenuhi dan struktur akan berperilaku sesuai dengan
keinginan akibat intensitas gaya gempa yang bervariasi. Secara singkat, penjelasan proses PBSE
adalah sebagai berikut :
-

Memilih level kinerja yang diinginkan.


Proses PBSE dimulai dengan menentukan level kinerja yang diinginkan terhadap sebuah
struktur. Level kinerja ini memiliki tingkat resiko dan tingkat kehilangan yang masih
dapat diterima berdasarkan suatu level gempa tertentu. Pemilihan level kinerja pada
umumnya sangat ditentukan oleh pemilik gedung karena merekalah yang mencari tahu
besarnya investasi yang diperlukan untuk membuat gedung dan biaya perbaikan akibat
kerusakan gedung.

Membuat preliminary design dari bangunan bersangkutan.


Preliminary design dari struktur memerlukan beberapa parameter penting yang bisa saja
sangat mempengaruhi kinerja struktur. Beberapa parameter tersebut yakni : lokasi situs,
konfigurasi bangunan (jumlah lantai, tinggi tingkat, ketidakberaturan struktur, dan lainlain), sistem penahan gaya lateral utama struktur, keberadaan isolator struktur, dimensi
komponen struktur, dan lain-lain. Pemilihan konsep preliminary design yang tepat sangat
penting untuk keefektifan dan efisiensi proses PBSE.

Menaksir kinerja bangunan.


Setelah preliminary design selesai dibuat, simulasi analisis harus dilakukan untuk
mengetahui kinerja struktur aktual. Analisis pada umumnya bersifat non-linier untuk dapat
mencari tahu perilaku struktur dalam kondisi di ambang keruntuhan. Setelah analisis
selesai dilakukan, kinerja bangunan dapat diketahui dan dievaluasi.
13

Merevisi preliminary design


Jika kinerja bangunan aktual belum memenuhi target performa yang ingin dicapai, proses
pendesainan harus dilakukan berulang sampai target kinerja tercapai. Jika sudah, maka
proses PBSE sudah selesai.

Pada dasarnya, bangunan tahan gempa dirancang dengan mengikuti codes atau
peraturan yang berlaku di daerah tempat bangunan akan dibangun. Peraturan dibuat untuk
menjamin keselamatan penghuni terhadap gempa besar yang mungkin terjadi dan untuk
menghindari atau mengurangi kerusakan atau kerugian harta benda akibat gempa bersangkutan.
Meski demikian, prosedur dalam peraturan perencanaan bangunan tahan gempa belum tentu
secara akurat menunjukkan kinerja bangunan aktual terhadap suatu gempa yang sebenarnya.
Kinerja tadi tentu terkait dengan resiko yang diambil pemilik bangunan dan investasi yang
dibelanjakan. PBSE merupakan jawaban yang dapat digunakan baik untuk rehabilitasi bangunan
lama maupun perencanaan bangunan baru, dengan pemahaman realistik mengenai resiko
keselamatan, kesiapan pakai, dan kerugian harta benda yang akan terjadi.
Metode ini mulai berkembang terutama di Amerika saat rekomendasi SEAOC Blue
Book yang saat itu dipakai, menimbulkan ambiguitas yang tinggi. Tingkatan performa yang ada
pada dokumen SEAOC Blue Book dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-13 Tingkatan Performa Bangunan menurut SEAOC Blue Book (1995)
Sumber : UC Berkeley Earthquake Engineering Course. 2003. Basic Concepts : Performance Based Earthquake
Engineering.

14

Ambiguitas yang terjadi ada pada frekuensi kejadian dan deskripsi performa yang
banyak menggunakan parameter kualitatif sehingga menjadi lebih abstrak. Selain itu meski
terdiri dari tiga tingkatan, persyaratan ini tidak secara spesifik berhubungan dengan lever kinerja
tertentu pada bangunan.
Konsep PBSE yang baru terdapat pada dokumen Vision 2000 (SEAOC, 1995) dan
NEHRP (BSSC, 1995) yang didefinisikan sebagai strategi dalam perencanaan, pelaksanaan, serta
perawatan sedemikian rupa agar suatu bangunan mampu berkinerja pada suatu kondisi gempa
yang ditetapkan, dimana kinerja diukur dari besarnya kerusakan dan dampak perbaikan yang
diperlukan. Level tingkatan kinerja pada kedua dokumen tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
:

Tabel 0-1 Level Kinerja Bangunan berdasarkan NEHRP dan Vision 2000

Sumber : Evaluasi Kinerja Struktur Baja Tahan Gempa dengan Analisa Pushover. Wiryanto Dewobroto. 2005.

Intensitas gempa dipaparkan secara kuantitatif pada dokumen Vision 2000 beserta
dengan hubungan skematik antara kinerja yang dituju dengan probabilitas gempa. Hal ini
menunjukkan bahwa dokumen Vision 2000 memiliki parameter-parameter yang lebih jelas
daripada dokumen sebelumnya (Blue Book).

15

Tabel 0-2 Interval Kejadian Gempa menurut Vision 2000

Sumber : UC Berkeley Earthquake Engineering Course. 2003. Basic Concepts : Performance Based Earthquake
Engineering.

Gambar 0-14 Hubungan Skematis antara Kinerja Bangunan dan Probabilitas Gempa
Sumber : UC Berkeley Earthquake Engineering Course. 2003. Basic Concepts : Performance Based Earthquake
Engineering.

Tiga buah tipe okupansi bangunan yang ada dalam dokumen Vision 2000 ialah :
-

Fasilitas kritis : bangunan yang di dalamnya disimpan kandungan berbahaya (racun,


material ledakan, nuklir) dengan efek signifikan pada lingkungan sekitar.

Fasilitas esensial : bangunan penting untuk penanganan setelah gempa (rumah sakit,
kantor polisi, kantor pemadam kebakaran), bangunan yang di dalamnya disimpan
material berbahaya dengan efek moderat pada lingkungan sekitar (kilang minyak,
dll).

Fasilitas dasar : bangunan struktur lainnya.

Sejak saat itu, aktivitas riset mengenai PBSE menjadi sangat intensif terutama di
Amerika dan Eropa. Di Amerika, badan Federal Emergency Management Agency (FEMA)
16

bekerja sama dengan Applied Technology Council (ATC), Earthquake Engineering Research
Center (ERRC), Universitas California Berkeley, dan BSSC membuat banyak publikasi terkait
dengan PBSE sehingga metode ini dapat diterima secara luas oleh komunitas rekayasa sebagai
prosedur canggih untuk berbagai aplikasi. Meski saat ini PBSE difokuskan untuk perencanaan
bangunan tahan gempa, cara yang sama juga bisa dilakukan untuk perencanaan bangunan
terhadap bahaya angin topan, ledakan, dan kebakaran.
Beberapa kemajuan signifikan yang terjadi dalam publikasi FEMA (FEMA 273/356
Guidelines for Seismic Rehabilitation Building) antara lain :
-

Adanya empat level kinerja : collapse prevention, life safety, continued occupancy,
operational.

Adanya peta national seismic hazard baru berdasarkan ordinat spektral untuk
probabilitas kejadian dan kondisi tanah yang berbeda pada periode pendek (T = 0,2
s) dan periode 1 detik (SDS dan SD1).

Pendekatan target perpindahan berdasarkan perpindahan elastis dengan faktor-faktor


subjektif untuk merepresentasikan ketidakpastian. (droof = C0 C1 C2 C3 C4 Sdelastis)

Pendefinisian analisa dinamik non-linear dan statik non-linear sebagai tambahan


analisa elastis konvensional.

Tingkat kerusakan menurut FEMA 273 dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-15 Tingkat Kerusakan Struktur Berdasarkan Kinerja


Sumber : UC Berkeley Earthquake Engineering Course. 2003. Basic Concepts : Performance Based Earthquake
Engineering.

17

Deskripsi kerusakan pada bangunan dan kriteria penerimaan secara umum menurut
FEMA 356 dapat dilihat pada tabel berikut :

Gambar 0-16 Deskripsi Kerusakan Bangunan sesuai Kinerja


Sumber : FEMA 356

Hubungan antara kerusakan dan gaya gempa yang terjadi dapat dilihat pada gambar
berikut :

Gambar 0-17 Kurva Gaya Geser vs Lendutan yang Dikaitkan dengan Kerusakan yang Terjadi

18

Sumber : UC Berkeley Earthquake Engineering Course. 2003. Basic Concepts : Performance Based Earthquake
Engineering.

Kurva seperti pada gambar 2-17 diatas dihasilkan dengan analisa khusus yang
dinamakan analisa pushover. Kurva ini disebut sebagai kurva pushover atau kurva kapasitas
yaitu suatu kurva gaya-perpindahan yang menunjukkan perilaku struktur secara global terhadap
pembebanan lateral yang terjadi. Dalam analisa pushover juga akan dijumpai titik kinerja yang
merupakan besarnya perpindahan pada pusat massa atap pada saat mengalami gempa rencana
dan dapat dicari dengan beberapa metode yang akan dijelaskan pada bab berikutnya. Kinerja
struktur secara global yang berkorespondensi dengan pembebanan gempa rencana dapat dilihat
melalui level kinerja pada saat target perpindahan terjadi.

1.4 Analisa Statik Nonlinier - Analisa Pushover


1.4.1 Teori dan Pendahuluan
Analisa statik nonlinier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui perilaku
keruntuhan suatu bangunan terhadap gempa, dikenal pula dengan nama analisa pushover atau
analisa beban dorong statik. Pengaruh gempa rencana pada analisa ini dianggap sebagai bebanbeban statik yang menangkap pada pusat massa masing-masing lantai, yang nilainya secara
berangsur-angsur ditingkatkan sampai melampaui pembebanan yang menyebabkan terjadinya
pelelehan pertama ada struktur, kemudian dengan peningkatan beban lebih lanjut untuk melebihi
tercapainya satu target perpindahan lateral pada satu titik kontrol. Target perpindahan sesuai
gempa rencana dapat dicari dengan berbagai metode, titik kontrol yang dimaksud merupakan
suatu titik pada atap atau lebih tepatnya pusat massa atap.
Tujuan analisa pushover ialah mengevaluasi perilaku seismik struktur terhadap
pembebanan gempa rencana berdasarkan kurva kapasitas yang terbentuk. Selain itu analisa ini
dapat memberikan informasi bagian-bagian struktur yang kritis, memberikan nilai daktilitas ()
dan R aktual struktur, dan memperlihatkan distribusi sendi plastis yang terjadi akibat gempa
rencana.
Tahapan utama dalam melakukan analisa pushover adalah :
-

Melakukan analisa strength based pada struktur gedung untuk mengetahui


karakteristik dinamik struktur beserta kebutuhan tulangan yang dibutuhkan.

19

Menempatkan sendi-sendi plastis pada komponen struktur di lokasi yang dianggap


memungkinkan terjadinya sendi plastis. Komponen tersebut sudah dipasangkan
tulangan yang dibutuhkan. Lokasi-lokasi terjadinya sendi plastis biasanya terletak di
join balok-kolom atau di tengah bentang tergantung pada potongan terlemah dari
komponen struktur.

Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan lateral struktur.


Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk
menyusun kurva pushover.

Melakukan analisis beban dorong untuk membuat kurva pushover dari berbagai pola
pembebanan lateral terutama yang paling mirip dengan distribusi gaya inersia akibat
gempa. Dengan melakukan hal ini diharapkan perpindahan yang terjadi hampir
sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa. Oleh karena sifat gempa
adalah tidak pasti, maka diperlukan minimal dua pola pembebanan lateral yang
berbeda untuk mendapatkan kondisi yang paling menentukan.

Mengestimasi besarnya target perpindahan. Titik kontrol didorong sampai target


perpindahan tesebut, yang mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan
oleh intensitas gempa rencana yang dilakukan.

Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target
perpindahan. Hal ini merupakan hal paling utama dari perencanaan berbasis kinerja.
Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika memenuhi
kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, tidak hanya pada persyaratan deformasi
namun juga persyaratan kekuatan.

1.4.2 Permodelan Sendi Plastis pada Elemen Frame di SAP 2000


Secara sederhana, sendi plastis merupakan sebuah titik pada komponen struktur dimana
keseluruhan penampang potongan titik tersebut sudah berada dalam kondisi plastis. Hal ini
menyebabkan penampang potongan tersebut tidak bisa menerima momen lebih banyak sehingga
harus meredistribusikannya ke bagian lain (momen penampang = momen plastis). Meski tidak
bisa menerima momen, potongan dapat berotasi layaknya sendi dan besarnya rotasi bergantung
dari daktilitas penampang.

20

Dalam analisa pushover, sendi plastis dipasang pada komponen struktur yakni balok
dan kolom dan diletakkan di tiap-tiap ujung balok dan kolom. Untuk balok, hal ini dilakukan
dengan asumsi bahwa balok yang ada relatif pendek dan pengaruh beban gravitasi tidak dominan
dibandingkan dengan beban gempa, pelelehan balok dapat diasumsikan terjadi di ujung-ujung
balok. Untuk kolom, sendi plastis juga diletakkan di tiap-tiap ujungnya dengan asumsi bahwa
potongan kritis terjadi pada ujung-ujung kolom.
Dalam permodelan di SAP 2000, penjelasan mengenai tipe dan karakteristik sendi
plastis dapat dilihat pada penjabaran berikut :

1.4.2.1

Sendi plastis di balok


Pada program SAP, sendi plastis dapat dimasukkan dalam elemen frame maupun tendon

dimana setiap sendi merepresentasikan perilaku post-yield yang terkonsentrasi pada satu titik
dalam satu atau lebih derajat kebebasan. Sendi ini hanya mempengaruhi perilaku struktur dalam
analisa statik nonlinier dan analisa riwayat waktu integrasi langsung. Derajat kebebasan yang
mungkin terjadi pada balok yakni M3 (momen arah dominan) dan V2 (geser dominan), dimana
kita bisa menempatkan sendi plastis untuk kedua derajat kebebasan ini dalam titik yang sama.
Dalam setiap derajat kebebasan gaya (aksial dan geser), kita bisa mengatur perilaku
gaya plastis - perpindahan dari sendi. Begitu pula pada derajat kebebasan momen (lentur dan
torsi), kita dapat menspesifikasi perilaku momen plastis rotasi. Kurva gaya perpindahan atau
momen rotasi dalam setiap derajat kebebasan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-18 Kurva Beban Perpindahan (Momen Rotasi) pada Sendi Plastis

21

Sumber : CSI Analysis Reference Manual for SAP 2000, ETABS, SAFE, and CSI Bridge. Computer and
Structures Inc. 2011.

Titik-titik dalam kurva gaya perpindahan (momen - rotasi) bearti demikian :


-

Titik A : titik 0 dari kurva.

Titik B : merepresentasikan kelelehan, tidak ada deformasi yang terjadi di sendi


sampai titik ini. Hanya perpindahan (rotasi) plastis diatas titik B yang akan
ditunjukkan oleh sendi nantinya.

Titik C : merepresentasikan kapasitas ultimit di sendi untuk analisa pushover.

Titik D : merepresentasikan tegangan residu pada analisa pushover.

Titik E : merepresentasikan kegagalan total. Setelah titik E, sendi tidak memiliki


kapasitas lagi (kapasitas = 0).

Beberapa kriteria perencanaan seperti IO (Immediate Occupancy), LS (Life Safety), dan


CP (Collapse Prevention) dapat dimasukkan juga dalam permodelan. Pengukuran kinerja ini
akan ditunjukkan dalam hasil analisis untuk kepentingan PBSE.

1.4.2.2

Sendi plastis di kolom


Pada umumnya, sifat-sifat sendi plastis pada tiap derajat kebebasan ialah independen

satu sama lain. Namun untuk kolom, kita bisa menggabungkan perilaku sendi plastis dari dua
derajat kebebasan yang berbeda, dikenal sebagai coupled hinge. Dengan analisa 3D yang
dilakukan, sendi plastis yang dipasang di kolom bisa diasumsikan merupakan coupled P-M2-M3
hinge.
Untuk sendi PMM, kita harus menentukan sebuah permukaan interaksi dalam bentuk 3
dimensi P-M2-M3 yang merepresentasikan dimana kelelehan pertama terjadi untuk beberapa
kombinasi gaya aksial P, momen minor M2, dan momen mayor M3. Permukaan interaksi dibuat
oleh beberapa kurva P-M2-M3, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi yakni :
-

Semua kurva harus memiliki jumlah titik yang sama.

Untuk setiap kurva, titik-titik disusun dari yang paling negatif (tekan) sampai yang
paling positif (tarik).

Nilai-nilai P, M2, dan M3 untuk titik pertama dan titik terakhir pada tiap kurva harus
identik.

22

Ketika bidang M2-M3 dilihat dari atas, kurva harus terdefinisi dalam arah
berlawanan jarum jam.

Permukaan harus konveks.

Kita bisa mendefinisikan sendiri permukaan interaksi atau membiarkan program yang
menghitung menggunakan ketentuan sebagai berikut :
-

Baja, AISC-LRFD Persamaan H1-1a dan H1-1b dengan phi = 1

Baja, FEMA-356 persamaan 5-4

Beton, ACI 318-02 dengan phi = 1

Baik untuk sendi plastis balok maupun kolom, terdapat beberapa pilihan yang
disediakan oleh program SAP 2000. Pilihan tersebut antara lain :
-

Automatic hinge properties

User-defined hinge properties

Generated hinge properties

Sendi automatic dan user-defined dapat dipasang pada elemen frame. Ketika sudah
dipasang, program dengan otomatis akan membuat sifat-sifat (kurva gaya perpindahan /
momen rotasi) sendi tergantung dengan jenis sendi plastis yang digunakan.
Automatic hinge properties merupakan fitur yang sangat kuat pada SAP 2000 untuk
menciptakan properti sendi plastis secara otomatis berdasarkan informasi detail tentang geometri
potongan elemen frame, material, dan panjang elemen. Untuk material baja, automatic hinge
akan mengambil karakteristik sendi plastis berdasarkan tabel 5-6 FEMA 356. Untuk material
beton bertulang, automatic hinge akan mengambil karakteristik sendi plastis berdasarkan tabel 67 dan 6-8 FEMA 356.
Untuk user-defined hinge properties, sifat-sifat sendi plasis jenis ini dapat berasal dari
modifikasi sendi plastis automatic atau memang sudah didefinisikan dari awal oleh pengguna
SAP. Sendi plastis automatic dapat dikonversi menjadi sendi plastis user-defined dan kemudian
dimodifikasi sifatnya lalu dipasang kembali pada satu atau beberapa elemen frame. Dengan cara
ini kita dapat meminta program melakukan bobot pekerjaan yang berat dalam mendapatkan sifat
sendi plastis, namun kita juga bisa melakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhan kita.
Bagaimanapun juga, setelah kita mengkonversi sendi automatic menjadi user-defined, properti

23

atau sifat-sifat sendi plastis tidak akan otomatis berubah meski kita sudah memodifikasi elemen,
potongan, atau materialnya.

1.4.3 Permodelan Dinding Geser Non-Linear di SAP 2000


Permodelan dinding geser secara non-linear dapat memanfaatkan fitur shell
layered/non-linear yang tersedia pada SAP 2000 v.15.0.1. tiap layer diletakkan berdasarkan
kepada permukaan referensi, permukaan ini dapat diletakkan dimana saja baik di tengah, di
sumbu netral, di bawah, atau dimanapun sesuai lokasi yang kita pilih. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-19 Layered Shell Element


Sumber : CSI Analysis Reference Manual for SAP 2000, ETABS, SAFE, and CSI Bridge. Computer and
Structures Inc. 2011.

Beberapa parameter penting dalam mendefinisikan layered shell pada program SAP
yakni :
a.

Layer Name
Lapisan pada dinding geser harus memiliki satu nama untuk satu lapisan. Namun nama
lapisan yang sama dapat digunakan untuk lapisan yang berbeda, hal ini berguna untuk
melihat hasil dua lapisan yang berbeda secara simultan.

b.

Layer Distance
Setiap layer ditempatkan dengan memasukkan nilai distance dari permukaan referensi ke
titik tengah dari layer tersebut. Jarak antara permukaan referensi dan titik tengah layer ini
dinamakan layer distance.

c.

Layer Thickness

24

Setiap layer memiliki sebuah ketebalan, diukur dari sumbu local-3 elemen. Untuk
permodelan tulangan dan material fiber, kita bisa memasukkan lapisan sangat tipis yang
memiliki luas ekivalen dengan luas tulangan.
d.

Layer Type
Beberapa tipe layer yakni :
-

Membrane : regangan pada layer (11, 22, 12) dihitung hanya berdasarkan
perpindahan dalam bidang (membrane displacements), dan tegangan pada layer (11,
22, 33) berkontribusi hanya pada gaya-gaya dalam bidang (membrane forces) F11,
F22, dan F12.

Plate : regangan pada layer (11, 22, 12, 13, 23) dihitung hanya berdasarkan rotasi
pelat lentur dan perpindahan transversal, dan tegangan pada layer (11, 22, 12, 13,
23) berkontribusi hanya pada momen pelat lentur dan gaya geser transversal M11,
M22, M12, V13, dan V23.

Shell : gabungan dari kedua tipe diatas.

Dalam banyak penggunaan, dinding geser non-linear menggunakan tipe layer shell. Selain
itu, massa dan berat hanya dihitung pada layer membrane dan shell. Hal ini dilakukan
untuk mencegah perhitungan ganda jika layer plate dan membrane digunakan secara
independen.
e.

Layer Number of Thickness Integration Point


Perilaku material diintegrasi pada jumlah titik terhingga dalam setiap arah ketebalan layer.
Kita bisa memilih satu sampai lima titik dalam setiap layer, lokasi dari titik-titik ini
mengikuti prosedur standar integrasi Gauss. Untuk material non-linear, jumlah titik-titik
yang dibutuhkan lebih banyak supaya hasil analisis mampu merekam kelelehan yang
terjadi di permukaan atas dan bawah dinding.

f.

Layer Material
Properti material dalam layer dipilih berdasarkan material yang sebelumnya sudah
terdefinisikan.

g.

Layer Material Angle


Untuk material ortotropik dan uniaksial, sumbu material mungkin harus dirotasikan
terhadap sumbu elemen. Setiap layer mungkin memiliki sumbu material yang berbeda.
Sebagai contoh, kita bisa memodelkan dua buah layer uniaksial dengan sudut yang terpisah
25

sejauh 90. Berikut adalah gambar yang menunjukkan bahwa sumbu material dan sumbu
elemen bisa berbeda :

Gambar 0-20 Perbedaan Sudut Lokal Material dengan Sudut Lokal Elemen
Sumber : CSI Analysis Reference Manual for SAP 2000, ETABS, SAFE, and CSI Bridge. Computer and
Structures Inc. 2011.

h.

Material Component Behavior


Untuk tiap-tiap komponen tegangan membrane (11, 22, 12), kita bisa memilih sifat
material apakah linear, non-linear, atau tidak aktif. Untuk material uniaksial, komponen 11
dan 22 adalah yang signifikan karena 12 selalu 0. Jika ketiga komponen didefinisikan
sebagai linear (2 komponen merupakan uniaksial), maka matriks material linear digunakan.

Jika ada satu atau lebih dari ketiga komponen didefinisikan sebagai non-linear atau tidak
aktif, maka semua komponen linear menggunakan hukum uncoupled isotropic linear
stress-strain, semua komponen non-linear menggunakan hubungan tegangan-regangan
non-linear, dan semua komponen tidak aktif menghasilkan tegangan = 0. Komponenkomponen ini menjadi independen dan berperilaku layaknya jika rasio poisson = 0.
Perilaku material dirangkum pada gambar berikut :

Gambar 0-21 Perilaku Material Layered Shell Element


Sumber : CSI Analysis Reference Manual for SAP 2000, ETABS, SAFE, and CSI Bridge. Computer and
Structures Inc. 2011.

26

Persamaan (5) dan (6) dapat dilihat pada gambar berikut :

Dimana T() merepresentasikan perilaku tarik dan C() merepresentasikan perilaku


tekan.
Dalam memodelkan elemen layered shell untuk permodelan dinding geser non-linier,
SAP 2000 menawarkan semacam guideline yang dapat digunakan oleh penggunanya. Pada
dasarnya ketika memodelkan perilaku linear, penulangan yang ada tidak perlu dipasang dan
didefinisikan. Namun dalam analisa non-linier, permodelan layer tulangan ini menjadi suatu hal
yang sangat penting. Secara sederhana seluruh penampang dinding geser dianggap berperilaku
non-linier baik dalam perilaku membrane maupun perilaku plate. Contoh model seperti ini
membutuhkan lima layer seperti gambar dibawah :

Gambar 0-22 Permodelan Dinding Geser Realistic


Sumber : CSI Analysis Reference Manual for SAP 2000, ETABS, SAFE, and CSI Bridge. Computer and
Structures Inc. 2011.

27

Dalam komponen-komponen tegangan diatas, N berarti non-linier, L berarti linier, dan


berarti tidak aktif. Untuk layer tulangan, 11 selalu dibuat menjadi non-linier. Pada tulangan
vertikal, sudut material dibuat 90 dan sejajar deengan sumbu lokal 2 elemen shell. Dari sini
didapatkan tegangan vertikal 11 akan menjadi tegangan shell 22.
Dapat diperhatikan juga dari gambar 2-22, 12 dibuat menjadi non-linier. Hal ini berarti
ketika beton retak, tulangan mampu memikul gaya geser atau tulangan melakukan dowel action.
Kelemahan dari model ini ialah informasi mengenai dowel action tidak bisa diinput sehingga
perilaku ini hanya merupakan pendekatan. Kita harus menggunakan engineering judgement
untuk mengetahui apakah pendekatan ini sudah tepat dengan kejadian aktual. Pendekatan paling
konservatif ialah dengan membuat 12 menjadi tidak aktif.
Model dinding geser seperti gambar 2.22 terlihat sangat realistis, tetapi dengan arah
tegangan yang semuanya dianggap non-linear, mekanisme kegagalan yang mungkin terjadi
menjadi sangat bervariasi. Akibatnya, informasi yang dibutuhkan untuk PBSE menjadi tidak
jelas. Semampunya, model paling sederhana digunakan untuk memenuhi tujuan desain, selain
juga membuat waktu analisa menjadi lebih cepat dan interpretasi hasil menjadi lebih mudah.
Contoh model practical dinding geser dapat dilihat pada gambar dibawah :

Gambar 0-23 Permodelan Dinding Geser Practical


Sumber : CSI Analysis Reference Manual for SAP 2000, ETABS, SAFE, and CSI Bridge. Computer and
Structures Inc. 2011.

Dalam model ini, hanya perilaku membrane yang dibuat menjadi non-linier dan hanya
untuk tegangan vertikal 22. Untuk tulangan dengan sudut material 90, 22 akan menjadi 11.
Tulangan horizontal dianggap linear sehingga tidak dimasukkan dalam model dan 12 tulangan

28

vertikal dibuat menjadi tidak aktif. Perilaku out of plane dinding diasumsikan tetap linear dan
tebalnya sedikit dikurangi untuk memperhitungkan efek retak dalam arah out-of plane.

1.4.4 Waktu Getar Alami Efektif


Waktu getar alami/periode getar ialah waktu yang dibutuhkan oleh suatu bangunan
untuk melakukan satu getaran penuh dengan pola tertentu. Periode getar umumnya dicari dengan
analisa eigen-value bersamaan dengan pola ragam getar. Analisa eigen-value dilaksanakan ketika
komponen-komponen gedung masih berada dalam kondisi elastis linear, padahal saat gempa
kondisi bangunan sudah sangat mungkin berperilaku inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa
periode getar alami efektif bangunan akan berbeda dengan periode getar hasil analisa eigenvalue. Periode getar alami yang memperhitungkan kondisi inelastis atau periode getar alami
dapat dicari dengan bantuan kurva pushover :

Gambar 0-24 Kurva Bilinier Pushover


Sumber : Evaluasi Kinerja Struktur Baja Tahan Gempa dengan Analisa Pushover. Wiryanto Dewobroto. 2005.

Untuk itu kuva pushover diubah menjadi kurva bilinier untuk mengestimasi kekakuan
lateral efektif bangunan Ke, dan kuat leleh bangunan Vy. Kekakuan lateral efektif diambil dari
kekakuan secant yang dihitung dari gaya geser dasar sebesar 60% kuat leleh. Karena kuat leleh
diperoleh dari titik potong kekakuan kondisi elastis Ke dan kondisi inelastis Ke maka prosesnya
dilakukan secara trial dan error. Periode getar alami efektif (Te) dapat dihitung dengan
Te = Ti 
Ki

(2.6)

Ke

Dimana Ti dan Ki adalah periode dan kekakuan elastis struktur.

29

1.4.5 Pola Pembebanan Lateral


Pada dasarnya, distribusi gaya inersia akibat gempa akan bervariasi dalam perilaku yang
kompleks sepanjang tinggi bangunan. Kuncinya ialah kita harus menggunakan distribusi paling
kritis atau ekstrim untuk melakukan perencanaan. FEMA 274 (1997) memberikan tiga jenis
distribusi gaya inersia yang mungkin dilakukan yakni :

Gambar 0-25 Pola Pembebanan Lateral untuk Analisa Pushover


Sumber : FEMA 274

Dalam perencanaan, NEHRP Recommended Provisions for Seismic Regulations for New
Buildings (BSSC, 1995) merekomendasikan beberapa ketentuan sebagai berikut :
-

Untuk bangunan dengan periode getar pendek (T < 0,5 s), distribusi vertikal gaya
inersia mengasumsikan gaya inersia hanya datang dari mode satu sehingga dapat
menggunakan distribusi triangular profile.

Untuk bangunan pendek, (h < 10 m) distribusi gaya inersia dapat menggunakan


distribusi uniform yakni proporsional terhadap massa lantai.

Untuk bangunan dengan periode getar panjang (T > 2,5 s), distribusi gaya inersia
menggunakan higher-mode profile dimana akan menciptakan percepatan yang lebih
besar pada lantai-lantai atas bangunan. Hal ini akan berakibat pada besarnya gaya
geser tingkat pada tingkat atas dan bertambahnya momen guling di dasar bangunan.

Dalam melakukan analisa pushover, FEMA 273 menyatakan bahwa diperlukan minimal
dua buah distribusi gaya inersia yang berbeda untuk merepresentasikan ketidakpastian gaya
gempa.
Mengacu pada dokumen FEMA 356, untuk semua tipe analisis, minimal dua tipe
distribusi vertikal pembebanan lateral harus digunakan. Satu pola harus diambil dari masingmasing kelompok berikut :

30

1. Kelompok mode shape


a. Distribusi vertikal pembebanan diambil proporsional terhadap nilai Cvx (Cvx = wx
hxk / wi hik). Distribusi ini hanya berlaku jika partisipasi massa pada pola ragam
getar fundamental dalam tiap arah yang ditinjau melebihi 75% dan distribusi
seragam juga dipakai.
b. Distribusi vertikal yang proporsional dengan bentuk pola ragam getar
fundamental dalam arah yang ditinjau. Penggunaan distribusi ini diijinkan hanya
jika partisipasi massa pada pola ragam tersebut melebihi 75%.
c. Distribusi vertikal yang proporsional dengan gaya geser tingkat sebagai hasil
analisa respons spektrum berdasarkan kombinasi seluruh pola ragam getar.
Distribusi ini dipakai jika rasio partisipasi massa dari kontribusi seluruh pola
ragam getar melebihi 90% dari massa total dan jika periode pola ragam getar yang
bersangkutan lebih dari 1 s.
2. Kelompok kedua
a. Distribusi seragam yakni gaya gempa didistribusikan berdasarkan proporsi massa
tiap lantai terhadap massa total.
b. Distribusi adaptif dimana tiap distribusi berbeda selama struktur mengalami
perpindahan. Tipe ini hendaknya dimodifikasi dari bentuk aslinya dengan
mempertimbangkan properti dari komponen struktur yang sudah leleh.

1.4.6 Target Perpindahan


Dalam analisa pushover, gaya dan deformasi pada tiap komponen struktur dihitung
setelah titik kontrol mencapai suatu perpindahan tertentu yang disebut target perpindahan (t).
Target perpindahan ini dianggap sebagai perpindahan maksimum yang terjadi saat bangunan
mengalami gempa rencana.
Berdasarkan dokumen FEMA 356, untuk mendapatkan perilaku struktur pasca
keruntuhan, maka perlu dibuat analisa pushover untuk membuat kurva hubungan gaya geser
dasar dan perpindahan titik kontrol sampai perpindahan ini mencapai nilai minimal 150% t.
Keharusan untuk membuat kurva pushover sampai 150% t adalah agar kita dapat
memperkirakan perilaku bangunan yang melebihi kondisi rencananya. Meskipun tidak didukung
oleh data-data yang cukup pada saat dokumen FEMA 356 ditulis, diharapkan nilai 150% t
31

sudah mencukupi karena merupakan perkiraan nilai rata-rata ditambah satu standar deviasi
perpindahan bangunan dengan kekuatan lateral 25% lebih banyak dari kekuatan spektrum elastis.
Kriteria evaluasi level kinerja kondisi bangunan didasarkan pada gaya dan deformasi
yang terjadi ketika perpindahan titik kontrol sama dengan target perpindahannya (t). Hal ini
menunjukkan bahwa target perpindahan sangat penting bagi perencanaan berbasis kinerja
(PBSE).
Ada beberapa cara dalam mencari nilai target perpindahan, berikut merupakan cara-cara
yang sudah built-in di program SAP 2000 :

1.4.6.1

Metode Spektrum Kapasitas (ATC 40)


Juga dikenal dengan Metode Acceleration-Displacement Response Spectra (ADRS),

metode ini membutuhkan kurva kapasitas sebagai hasil analisa pushover dan kurva demand
gempa yang ditampilkan dalam oordinat respons spektra. Kurva demand menggunakan kurva
respons spektrum dengan

redaman 5% dan mengurangi oordinat

spektrum untuk

merepresentasikan efek disipasi energi yang terjadi pada bangunan. Titik perpotongan antara
kuva kapasitas dan kurva demand yang sudah ter-reduksi menunjukkan performance point atau
target perpindahan yang dicari.
Untuk mengkonversi kuva respon spektrum standar (Sa vs T) ke dalam format ADRS,
kita harus mencari nilai Sd1 (spectral displacement) pada tiap titik di kurva. Hal ini dapat
dilakukan dengan persamaan :
Sd1 =

Ti2
42

Sai g

(2.7)

32

Gambar 0-26 Konversi Respons Spektrum Demand ke Format ADRS


Sumber : Performance Based Seismic Engineering ; The Seismic Design Handbook chapter 15 2nd edition.
Farzard Naeim et all. 2000.

Berikutnya, spektrum kapasitas dapat dibentuk dari kurva pushover melalui konversi
satu-per-satu titik di kurva pushover menjadi kurva ADRS. Tiap titik yang merepresentasikan Vi
(gaya geser dasar) dan i (perpindahan atap) dikonversi menjadi Sa1 dan Sd1 dengan persamaan :
 =

 /


dan

 =

!" #,
%

(2.8)

Dimana 1 dan PF1 adalah koefisien massa pola ragam getar dan koefisien faktor
partisipasi pola ragam getar pertama terhadap struktur. 1,roof adalah perpindahan atap akibat pola
ragam getar `pertama. Faktor partisipasi mode dan koefisien massa dihitung dengan rumus :

(2.9)

33

Gambar 0-27 Konversi Kurva Kapasitas menjadi Kurva ADRS


Sumber : Performance Based Seismic Engineering ; The Seismic Design Handbook chapter 15 2nd edition.
Farzard Naeim et all. 2000.

Redaman yang terjadi ketika struktur didorong sampai mencapai fase inelastis dapat
dianggap sebagai kombinasi antara redaman viskos dan histeresis. Redaman histeresis dapat
dianggap sebagai redaman viskos ekivalen, sehingga total redaman efektif pada struktur bisa
diestimasi sebesar :
(2.10)
Dimana o adalah redaman histeresis dan 0,05 adalah redaman viskos asumsi (5%), dan
merupakan faktor modifikasi untuk memperhitungkan perilaku histeresis bangunan sesuai
dengan membuat model bilinier dari spektrum kapasitas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
gambar berikut :

34

Gambar 0-28 Energi yang Terdisipasi oleh Redaman


Sumber : Performance Based Seismic Engineering ; The Seismic Design Handbook chapter 15 2nd edition.
Farzard Naeim et all. 2000.

Nilai o dapat dihitung dengan rumus :

(2.11)
Dimana ED = disipasi energi akibat redaman dan ESO adalah energi regangan
maksimum. Untuk menghitung redaman efektif, kurva demand dalam bentuk ADRS harus
direduksi dengan faktor SRA dan SRV dengan rumus

(2.12)
Respons spektrum elastis (teredam 5%) kemudian direduksi menjadi respons spektrum
dengan redaman > 5%, yakni redaman kritis.

35

Gambar 0-29 Kurva Demand ADRS yang Tereduksi


Sumber : Performance Based Seismic Engineering ; The Seismic Design Handbook chapter 15 2nd edition.
Farzard Naeim et all. 2000.

Rangkuman tahapan penentuan target perpindahan dengan metode spektrum kapasitas


sesuai ATC 40 yakni :
-

Respons spektrum dengan wilayah gempa dan kondisi tanah yang tepat, yang
teredam 5% dipilih dan kemudian dikonversi ke dalam format ADRS.

Kurva kapasitas yang diperoleh dari analisa pushover juga dikonversi menjadi
spektrum kapasitas (format ADRS).

Target perpindahan percobaan (trial) Sapi dan Sdpi dipilih berdasarkan kurva
kapasitas atau berdasarkan enginiring judgement.

Model bilinier dari spektrum kapasitas dibuat sehingga luas dibawah spektrum
kapasitas dan model bilinear adalah sama.

Spektrum demand kemudian direduksi dengan faktor SRA dan SRV. Spektrum
demand yang sudah tereduksi di plot bersama-sama dengan spektrum kapasitas.

Jika spektrum demand memotong spektrum kapasitas pada titik Sapi dan Sdpi, atau
jika titik potong Sdp berada di rentang 5% Sdpi, maka titik ini menunjukkan
performance point atau target perpindahan.

Jika titik perpotongan tidak berada dalam rentang 5% Sdpi, maka pemilihan target
perpindahan trial harus diulang dan titik perpotongan yang tidak tepat dapat
dijadikan awalan dari iterasi baru.

36

Prosedur spektrum kapasitas untuk mencari performance point secara gamblang dapat
dilihat pada gambar berikut :

Gambar 0-30 Performance Point Perpotongan Antara Kurva Kapasitas ADRS dan Kurva Demand ADRS.
Sumber : Performance Based Seismic Engineering ; The Seismic Design Handbook chapter 15 2nd edition.
Farzard Naeim et all. 2000.

1.4.6.2

Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356)


Penyelesaian metode ini dilakukan dengan memodifikasi respons elastis linear struktur

SDOF dengan faktor koefisien C0, C1, C2, dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global
maksimum yang disebut target perpindahan (t).
Metode ini dimulai dengan mencari terlebih dahulu periode getar efektif struktur
(periode getar ketika struktur berada pada fase inelastis). Periode getar alami mencerminkan
kekakuan linear dari struktur SDOF ekivalen, yang jika di plot kepada spektrum gempa rencana
akan menunjukkan nilai percepatan puncak Sa. Target perpindahan dari titik kontrol kemudian
dicari dengan rumus :

(2.13)
Dimana :
Te = periode getar alami efektif (s)

37

C0 = keofisien faktor bentuk, untuk mengubah perpindahan spektral menjadi perpindahan atap
yang pada umumnya menggunakan faktor partisipasi ragam pertama. Faktor C0 dapat dilihat
pada tabel berikut :

C1 = faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik maksimum dengan


perpindahan yang dihitung dari respon elastik linier.

(2.14)
To = waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respons spektrum pada titik dimana
terdapat transisi bagian percepatan konstan ke bagian kecepatan konstan.
R = rasio kuat elastik perlu terhadap koefisien leleh terhitung.
R = Sa Cm W / Vy

(2.15)

Dimana :
Sa = akselerasi puncak respons spektrum yang berkorespondensi dengan periode getar efektif.
(m/s2)
Vy = gaya geser dasar saat leleh, didapatkan dari idealisasi kurva pushover menjadi kurva
bilinier. (kN)
W = total beban mati dan beban hidup tereduksi (ton)
Cm = faktor massa efektif

C2 = koefisien untuk memperhitungkan efek pinching dari hubungan beban-deformasi akibat


degradasi kekakuan dan kekuatan, diambil dari tabel 3-3 FEMA 356.

C3 = koefisien untuk memperhitungkan pembesaran lateral akibat adanya efek P-delta.

(2.16)
38

= rasio kekakuan pasca leleh terhadap kekakuan elastik efektif.


g = percepatan gravitasi (9,8 m/s2)
Ilustrasi berikut dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai penerapan metode
koefisien perpindahan dalam menetapkan target perpindahan dari struktur yang akan dievaluasi.

Gambar 0-31 Ilustrasi Penentuan Target Perpindahan Berdasarkan FEMA 273/356


Sumber : FEMA 356

1.4.6.3

Metode Modifikasi Spektrum Kapasitas (FEMA 440)


Dalam modifikasi metode spektrum kapasitas yang terangkum pada dokumen FEMA

440, beberapa parameter dasar seperti redaman efektif dan periode efektif diubah. Selain itu
kurva respons spektrum ADRS juga dimodifikasi karna kali ini kurva menggunakan periode
secant (Tsec) bukan lagi periode efektif (Teff). Reduksi kurva ADRS respons spektrum juga
mempertimbangkan redaman dari fondasi.
Redaman efektif (eff) dapat dihitung dengan rumus :

(2.17)

39

(2.18)

(2.19)
Dimana adalah rasio daktilitas bangunan dan koefisien-koefisien A, B, C, D, dan E
dapat dilihat pada tabel dibawah. Nilai-nilai ini merupakan fungsi dari karakteristik kurva
kapasitas dalam hal tipe histeresis dan kekakuan inelastis.

Gambar 0-32 Koefisien Rasio Daktilitas FEMA 440


Sumber : FEMA 440

Periode efektif untuk semua tipe histeresis dan nilai alpha dapat dihitung dengan rumus
berikut :

(2.20)
40

Dengan nilai-nilai koefisien G, H, I, J, K, dan L :

Gambar 0-33 Tabel Koefisien Periode Efektif


Sumber : FEMA 440

Penggunaan nilai Teff dan eff akan menghasilkan perpindahan maksimum yang
bertepatan dengan perpotongan antara garis radial Teff dan kurva demand ADRS untuk eff.
Periode efektif (Teff) umumnya lebih pendek daripada periode secant (Tsec), dapat dilihat pada
gambar 2.16 di titik dmax pada kurva kapasitas. Oleh karena itu, percepatan efektif (aeff) tidak
bearti karena percepatan maksimum (amaks) harus berada pada kurva kapasitas dan segaris
dengan perpindahan maksimum dmaks. Dari sini dapat diambil nilai faktor modifikasi sebesar :
M = aeff / amaks

(2.21)

Perkalian M dengan kurva demand ADRS (eff) menghasilkan kurva Modified


Acceleration-Displacement Response Spectrum (MADRS). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari
gambar di bawah ini :

41

Gambar 0-34 Kurva Modified Acceleration Displacement Response Spectra (MADRS)


Sumber : FEMA 440

Oleh karena periode efektif (Teff) dan redaman efektif (eff) merupakan fungsi redaman,
perhitungan perpindahan maksimum dengan metode modifikasi spektrum kapasitas tidak bisa
dilakukan secara langsung dan butuh iterasi atau solusi grafikal. Setelah melakukan langkahlangkah yang sama dengan cara di ATC 40 kecuali dalam penghitungan periode dan redaman
efektif, 3 alternatif cara yang bisa dilakukan ialah :
-

Integrasi langsung : pada cara ini, iterasi dianggap selesai jika sudah konvergen
menuju satu titik yakni performance point.

Gambar 0-35 Cara Iterasi dalam Penentuan Performance Point

42

Sumber : FEMA 440.

Perpotongan dengan MADRS (Modified Acceleration Displacement Response


Spectrum) : pada cara ini, performance point dianggap merupakan perpotongan
antara demand spectrum dengan MADRS.

Gambar 0-36 Cara Perpotongan Kurva Kapasitas dan Kurva MADRS untuk Penentuan Performance Point
Sumber : FEMA 440

Penempatan MADRS pada performance point yang mungkin.

Gambar 0-37 Cara Percobaan Penempatan Kurva MADRS untuk Pencarian Perfomance Point
Sumber : FEMA 440

43

1.4.6.4

Metode Modifikasi Koefisien Perpindahan (FEMA 440)


Persamaan yang digunakan tetap sama seperti pada dokumen FEMA 356 namun

modifikasi diberikan dalam menentukan parameter C1 dan C2.

(2.22)
C1 dihitung dengan rumus :

(2.23)
Dimana Te adalah periode getar efektif struktur SDOF, R = rasio kuat elastik perlu
terhadap koefisien leleh terhitung, adalah 130, 90, dan 60 untuk masing-masing kelas situs B,
C, dan D. Untuk periode kurang dari 0,2 s, C1 bisa diambil = 0,2. Untuk periode lebih dari 1 s, C1
bisa diambil = 1.
Sedangkan modifikasi parameter C2 dapat dihitung dengan rumus :

(2.24)
Untuk periode getar kurang dari 0,2 s, nilai C2 = 0,2 dapat dipakai. Untuk periode getar
lebih dari 0,7 s, C2 dapat dianggap sama dengan 1.

1.4.7 Kriteria Penerimaan Struktur


Berdasarkan dokumen FEMA 356, ada beberapa kriteria penerimaan yang harus
dipatuhi oleh struktur bangunan beton bertulang. Kriteria tersebut antara lain :
-

Hubungan antara gaya geser dasar dan perpindahan lateral atap (kurva pushover)
harus dibuat dengan rentang 0 150% target perpindahan.

Beban gravitasi dari komponen struktur harus diikutsertakan dalam model


matematis untuk dikombinasikan dengan beban lateral.

Model analisis harus didiskritisasi untuk mengidentifikasi lokasi perilaku inelastis


pada komponen struktur.

Gaya geser dasar pada saat tercapainya target perpindahan (Vt) harus minimum 80%
dari kuat geser leleh efektif struktur (Vy). Kuat geser leleh efektif Vy dicari dengan
membuat model bilinier dari kurva kapasitas pada saat tercapai target perpindahan.

44

Model bilinier dicari secara iterasi sehingga luasan kurva dibawah dan diatas garis
bilinier ialah sama. Vy adalah perpotongan kedua garis bilinier tersebut.

Gambar 0-38 Kurva Pushover dengan Kemiringan Positif dan Negatif setelah Leleh
Sumber : FEMA 356

Komponen primer dan sekunder struktur harus memiliki kapasitas deformasi tidak
kurang dari nilai target perpindahan maksimum yang sudah dihitung.

Kapasitas komponen primer struktur harus berada di dalam kriteria penerimaan


untuk komponen primer pada level kinerja yang dipilih.

Untuk komponen struktur lainnya, kapasitas harus berada di dalam kriteria


penerimaan untuk komponen sekunder pada level kinerja yang dipilih.

Kriteria penerimaan struktur secara numerik dapat dilihat pada tabel 6-7 dan tabel 68 FEMA 356.

45

You might also like