Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Umur
: 60 Tahun
Alamat
Pekerjaan
:-
No. RM
: 4482 39
Tgl. MRS
: 25 Juni 2015
: Autoanamnesa
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
BAB maupun BAK sejak dari kejadian. Setelah kejadian pasien dapat
bernapas dengan baik dan tidak mengalami sesak napas
Pasien sempat dirawat di Rumah sakit Santana Anna sekitar 3 hari
dan belum menjalani operasi pada tungkai bawah karena mengalami patah
tulang dan operasi pada tulang punggungnya. Pasien dapat merasakan
sedikit rasa raba pada tungkai bawah kanan tetapi pada bagian paha sudah
tidak dapat dirasakan rasa raba dan keluhan tidak dapat merasakan ingin
BAB dan BAK masih dialami.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat trauma pada 4 hari yang lalu. Riwayat Hipertensi maupun
diabetes mellitus disangkal. Riwayat kelemahan pada anggota gerak
sebelumnya disangkal.
RIWAYAT KELUARGA
Riwayat hipertensi, alergi maupun diabetes mellitus disangkal.
III.PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran / GCS
Tanda tanda vital
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Kepala
Normochepal
Mata
Hidung
terdapat
perdarahan
pada
hidung
Mulut
Telinga
Leher
Thoraks
(Paru)
:
Inspeksi
Pergerakan
dada
Auskultasi
Inspeksi
superior
Ekstremitas
inferior
STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran
GCS = E4 V5 M6 (15)
Tanda
Kaku kuduk
Brudzinski I
Brudzinski II
Laseque
Kernig
Rangsang
Meningeal
Pemeriksaan
Motorik
Massa otot
D
Eutrophy
Eutrophy
Atrophy
Atrophy
Tonus
D
Normotonus
Normotonus
Hipertoni
Hipertoni
Kekuatan
D
5555
5555
0000
0000
Refleks fisiologis
D
BPR
TPR
+2
+2
+2
+2
PTR
ACR
-1
-1
-1
-1
Refleks patologis
Pemeriksaan
Hofman
Trommer
Babinsky
Chaddok
Oppenheim
Klonus
Patella
Achiles
Massa otot
D
Eutrophy
Eutrophy
Atrophy
Atrophy
Tonus
Pemeriksaan
Normotonus
Normotonus
Hipertoni
Hipertoni
Rangsang raba
Sensork
:
:
:
:
Pemeriksaan
Saraf
BAK
BAB
Berkeringat
titik
Sistem
:
:
:
Inkontinensia uri
Inkontinensia alvi
Normal
Otonom
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
6
Klinis
Topis
Etiologi
XII
: Trauma
PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi perjalanan terapi
25 Juni 2015
Hasil
Nilai Rujukan
30,7 pg
27-35 pg
35,4 g/dL
30-40 g/dL
85,9 fl
80-100 fl
Leukosit
10.69/mm3
4.000 10.000/mm3
Eritrosit
3,07 x 106/mm3
4.25 5.40/mm3
Hemoglobin
9,2 g/dL
12.0 16.0
Hematokrit
26,3 %
37.0 47.0
Trombosit
153 x 103/mm3
150.000 450.000/mm3
MCH
MCHC
MCV
TATALAKSANA
Umum
Penatalaksanaan TTV
Keseimbangan cairan, elektrolit, gizi
Mobilisasi, miring kanan dan kiri, fleksi ekstensi kedua tungkai bawah
Konsultasi ahli bedah syaraf
Konsultasi ahli bedah ortopedi
Khusus
Non-farmakologis:
Farmakologis:
Obat-obatan Neurotropik
Obat-obatan analgetik
o As.Mefenamat 3 x 500 mg selama 3 hari, setelah makan
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera
yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi
utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1
B. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap
tahun.1 Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%),
terjatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya
akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.1,3
C. Anatomi
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang
menjadi jalur informasi otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan
struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang
diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan
oleh cedera medulla spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula
mengenai anatomi tulang belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla
spinalis karena cedera pada medulla spinalis umumnya terasosiasi dengan
struktur- struktur yang ada disekitarnya.
1. Anatomi kolumna vertebralis
Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong tubuh
utama. Vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga
toraks, ekstremitas atas, pelvis, dan penyaluran berat tubuh ke ekstremitas
bawah, selain itu, struktur ini memberikan perlindungan yang bermakna
bagi truktrur-struktur yang ada di dalamnya, antara lain medulla spinalis,
nervus spinalis, meninges. Kolumna vertebtralis terdiri dari 33 vertebra
(gambar I), antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral (bergabung
menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan bantalan fibrocartilago diantara
setiap segmen yang disebut diskus intervertebralis. Walaupun terdapat
10
11
12
Patofisiologi
A.
B
Gambar 3. Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalis
intak (sebelum trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.5
13
14
pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau
adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan
atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis
dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang
rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada
orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi
pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau
transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau
distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai
transeksi lengkap.1
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia
grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi
perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medula
spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini
menyebabkan substansia grisea rusak.1
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan
metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan
ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di
sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin
terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami
kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami
kerusakan selama 72 jam setelah cedera.1
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis
akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya
kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid
vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian
sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan
peningkatan tekanan jaringan.2 Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka
suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder. 1,2 Cedera sekunder
meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia,
eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit,
trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 1
15
D. Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)
berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis
yang timbul (Gambar 4.):6
1. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen sakral
S4-S5
2. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi termasuk
segmen sakral S4-S5.
3. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot kurang dari 3.
4. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot 3 atau lebih.
5. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal.
E. Gejala Klinis
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan
kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,
hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus,
kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam.
16
Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion
pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa
fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis
dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi
kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah
trauma.2
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya
cedera. Defisit neurologis
digambarkan
Konsekuensinya bisa
terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi
otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh
bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal)
dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi raba
(propioseptif), tekan
17
F. Diagnosis
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:2
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
18
A.
B.
Gambar 6. A. Collar servikal, B. backboards.
19
20
Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada
trauma vertebra.2 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk
penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.6 Foto lateral paling dapat
memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap
alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan
21
22
G. Diagnosis Banding
Pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik secara lengkap dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan cedera medula spinalis dan membedakan
dengan kondisi patologis lainnya. Seringkali perubahan status mental akibat
cedera otak atau intoksikasi mempersulit pemeriksaan maupun dalam
menegakkan diagnostik.
Pemeriksaan
23
Alat Ortotik
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal
dengan cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban
pada spinal. Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak
adekuat untuk C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses
brace diatas torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak.
Minerva braces meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak
hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling
banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan
pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga
dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose.6
24
A.
B.
C.
A.
B.
Gambar 11. Fiksasi, A. Gardner wells tongs, B. Cervical Halter skin traction.10
Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama
adalah untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien
dengan defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi
cedera yang
terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi
terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit
neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang
mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi
25
stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik. 6 Indikasi
lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai
dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya
epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak
stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws
dikombinasi dengan bone fusion.2
Perawatan Berkelanjutan
Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari
thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus
dekubitus.6 Banyak pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi
membutuhkan bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk
bernafas. Pasien dengan cedera medula spinalis biasanya bernafas dengan
menggunakan diafragma. Jika terjadi ileus paralitik disertai distensi abdomen
atau pasien tampak lemah maka ventilasi akan memburuk. Pasien akan
mengalami hipoksik, sehingga perlu diberikan intubasi atau ventilasi mekanik. 2
Pasien dengan cedera medula servikal tinggi (diatas C4) seringkali
membutuhkan bantuan ventilasi permanen.6
Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah menjadi
rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 85-90
mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya cedera
medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera. Jika
produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan
hipotensi sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin,
akan tetapi hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada
perdarahan pada rongga dada atau abdomen.2
I. Komplikasi
Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara
potensial dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai
infeksi saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang
26
menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan
cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit
motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena
dalam.
Pasien
sebaiknya
mendapatkan
low-molecular-weight
heparin,
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai
setelah mengalami kecelakaan sejak 4 Hari lalu dan tidak ada perbaikan hingga
sekarang disertai tidak dapat merasakan keinginan untuk BAB maupun BAK.
Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada syaraf
kranial namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua tungkai
adalah 0 0 0 0 disertai penurunan sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai
mulai dari selangkangan hingga ujung jari kaki. Tidak ditemukan refleks fisiologis
maupun patologis pada kedua tungkai.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan maka pada pasien ini
mengarah kepada diagnosis paraplegi akibat cedera medula spinalis komplet.
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The
National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000
kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka
insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000
penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.dan trauma pada
medulla spinalis
Pada penderita ini, penyebab disabilitas neurologis diakibatkan adanya trauma
langsung. Awalnya pasien merubuhkan rumah dan terjatuh kayu besar pada
punggung hingga pasien terduduk.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini
penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang
paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika
Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula
28
spinalis traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet
(27,3%), (3) paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
29
gejala bukan penyebab dari dari masalah yang mendasari, operasi tidak boleh
sekalipun ditentukan oleh rasa sakit. Sakit di daerah dermatom mengindikasikan
kekurangan oksigen ke saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu tempat
di sepanjang jalur saraf.
Dalam pemeriksaan dermatom yang temukan pada pasien, pada tungkai
kanan sejajar dengan lumbal 3 dan pada tungkai kiri sejajar dengan lumbal 2 maka
kerusakan berapa pada L2-L3.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium
darah
dan
pemeriksaan
radiologis.
Dianjurkan
melakukan
30
31
DAFTAR PUSTAKA
1. De. Jong dan sjamsunhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah . edisi 3. EGC: Jakarta :
2007
2. Liwang frans, Tanto,C. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 4. Media aesculapius;
Jakarta. 2014
3. Robbin and Contra. Buku Ajar Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. EGC:
Jakarta. 2006.
4. Jhon F, and Wayne J. Anvanced Trauma Life Support For Doktors (ATLS)
student Course Manual. Edisi 8. Americans College Surgeons. 2008
5. Clara Valley. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance. University of
Alabama at Birmingham. 2013 (internet). Cited 2015 Agus 20. Available from
https://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts
%202013.pdf
6. Nils Hjeltnes. Spinal cord injury. Spinal Cord Injury Rehabilitation
Department, Sunnaas Hospital, Nesoddtangen, Norway. 2010. Cited 2015 Agus
20. Available from: http://fyss.se/wp-content/uploads/2011/06/45.-Spinal-cordinjury.pdf
7. Maureen Coggrave. Bowel Management Following Spinal Cord Injury. NSIC
2007.
Cited
2015
Agus
20.
Available
http://www.buckshealthcare.nhs.uk/Downloads/Patient-leaflets
from:
NSIC/Bowel
%20management%20following%20spinal%20cord%20injury.pdf
8. Margaret C. Spinal cord injury . World Health Organization. 2013 . Cited
2015 Agus 20. Available from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/94190/1/9789241564663_eng.pdf.
32
33