You are on page 1of 33

BAB II

LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Umur

: 60 Tahun

Alamat

: Desa Bajo Indah

Pekerjaan

:-

No. RM

: 4482 39

Tgl. MRS

: 25 Juni 2015

Tgl. Pemeriksaan : 30 Juni 2015


II. ANAMNESIS

: Autoanamnesa

Keluhan Utama
Keluhan Tambahan

: Kelumpuhan pada kedua tungkai


: Tidak dapat merasakan ingin BAB dan BAK

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien Rujukan rumah sakit santana dengan keluhan mengalami
kelumpuhan pada kedua tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
bulan yang lalu. Keluhan dialami pasien setelah pasien mengalami
kecelakaan. Tiba-tiba kayu besar dari bangunan rumah jatuh dan
menghantam punggung pasien sehingga pasien jatuh duduk dengan posisi
kepala bertemu dengan lutut pasien. Kejadian ini membuat pasien tidak
sadar selama 1 jam dan dibawa ke puskesmas setempat. Stelah itu pasien
dibawah ke Rumah Sakit Santa Anna Pasien mengatakan dapat mengingat
peristiwa sebelum dan sesudahnya.Pasienmerasa nyeri kepala, muntah
disangkal. Pasien tidak tersadar saat dilakukan evakuasi. Saat tersadar
pasien tidak dapat menggerakkan kakinya dan tidak dapat merasakan kedua
kakinya mulai dari selangkangan ke bawah dan tidak dapat merasakan ingin

BAB maupun BAK sejak dari kejadian. Setelah kejadian pasien dapat
bernapas dengan baik dan tidak mengalami sesak napas
Pasien sempat dirawat di Rumah sakit Santana Anna sekitar 3 hari
dan belum menjalani operasi pada tungkai bawah karena mengalami patah
tulang dan operasi pada tulang punggungnya. Pasien dapat merasakan
sedikit rasa raba pada tungkai bawah kanan tetapi pada bagian paha sudah
tidak dapat dirasakan rasa raba dan keluhan tidak dapat merasakan ingin
BAB dan BAK masih dialami.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat trauma pada 4 hari yang lalu. Riwayat Hipertensi maupun
diabetes mellitus disangkal. Riwayat kelemahan pada anggota gerak
sebelumnya disangkal.
RIWAYAT KELUARGA
Riwayat hipertensi, alergi maupun diabetes mellitus disangkal.

III.PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran / GCS
Tanda tanda vital
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

: Pasien tampak sakit sedang


: Compos mentis / 15
: 120/90 mmHg
: 102 x / menit
: 21 x / menit
: 36,8 0C

Kepala

Normochepal

Mata

Struktur okular eksterna simestris,


tidak ada lesi.
Conjungtiva anemis -/-; Sklera ikterik
-/-, orthoforia
Pupil bulat, isokor, 3mm / 3mm
Visus baik ( lebih dari 1/60 )

Hidung

Struktur hidung externa di tengah


Cavitas nasal dalam batas normal,
tidak

terdapat

perdarahan

pada

hidung
Mulut

Mukosa oral tampak basah


Uvula di tengah, lidah tidak terdapat
deviasi

Telinga

Struktur telinga eksterna simetris,


tidak ada jejas,sekret -/-

Leher

Tidak ada pembesaran kelenjar getah


bening
Tidak ada pembesaran tiroid

Thoraks

(Paru)
:

Inspeksi

Pergerakan

dada

simetris, tidak ada lesi


Palpasi : Taktil fremitus normal
Perkusi
: Sonor diseluruh
lapang paru
Auskultasi

: Suara nafas vesikular,

Ronki -/-, Wheezing -/(Jantung)

Auskultasi

: Bunyi jantung I dan

II normal, regular, tidak ada gallop


dan murmur
Abdomen

Inspeksi

: abdomen datar, luka

pada perut bagian bawah


Auskultasi
: bising usus normal
Perkusi
: timpani di seluruh
regio abdomen
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, hati
dan limpa tidak teraba
Ekstremitas

Tidak di temukan kelainan

superior

Ekstremitas

Terdapat kelemahan pada kedua


tungkai

inferior

STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran

GCS = E4 V5 M6 (15)

Tanda

Kaku kuduk
Brudzinski I
Brudzinski II
Laseque
Kernig

Rangsang
Meningeal

Pemeriksaan
Motorik

Massa otot
D

Eutrophy

Eutrophy

Atrophy

Atrophy

Tonus
D

Normotonus

Normotonus

Hipertoni

Hipertoni

Kekuatan
D

5555

5555

0000

0000

Refleks fisiologis
D

BPR
TPR

+2
+2

+2
+2

PTR
ACR

-1
-1

-1
-1

Refleks patologis
Pemeriksaan

Hofman

Trommer
Babinsky
Chaddok
Oppenheim

Klonus

Patella

Achiles

Massa otot
D

Eutrophy

Eutrophy

Atrophy

Atrophy

Tonus

Pemeriksaan

Normotonus

Normotonus

Hipertoni

Hipertoni

Rangsang raba

Sensork

dari femur, hipestesi tungkai


Rangsang nyeri
Rangsang suhu
Propioseptif
Diskriminasi
2

:
:
:
:

Pemeriksaan
Saraf

BAK
BAB
Berkeringat

kiri mulai dari inguinal


Analgesi / hipalgesi
-/-/-/-

titik

Sistem

Anestesi tungkai kanan mulai

:
:
:

Inkontinensia uri
Inkontinensia alvi
Normal

Otonom
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
6

Klinis
Topis

: Spinal cord injury


: Medula Spinalis LII-LIII lesi setinggi vertebra Th

Etiologi

XII
: Trauma

PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi perjalanan terapi
25 Juni 2015

Hasil

Nilai Rujukan

30,7 pg

27-35 pg

35,4 g/dL

30-40 g/dL

85,9 fl

80-100 fl

Leukosit

10.69/mm3

4.000 10.000/mm3

Eritrosit

3,07 x 106/mm3

4.25 5.40/mm3

Hemoglobin

9,2 g/dL

12.0 16.0

Hematokrit

26,3 %

37.0 47.0

Trombosit

153 x 103/mm3

150.000 450.000/mm3

MCH
MCHC
MCV

Foto Rontgen torako-lumbal AP-Lateral

MRI tulang belakang (torako-lumbal) untuk melihat letak lesi secara


akurat.

TATALAKSANA
Umum

Penatalaksanaan TTV
Keseimbangan cairan, elektrolit, gizi
Mobilisasi, miring kanan dan kiri, fleksi ekstensi kedua tungkai bawah
Konsultasi ahli bedah syaraf
Konsultasi ahli bedah ortopedi

Khusus
Non-farmakologis:

Rehabilitasi. Meningkatkan kemandirian dan rehabilitasi sosial


Edukasi
o Agar terus dilakukan mobilisasi agar tidak terjadi kekakuan sendi

Farmakologis:

Obat-obatan Neurotropik
Obat-obatan analgetik
o As.Mefenamat 3 x 500 mg selama 3 hari, setelah makan

PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera
yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi
utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1
B. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap
tahun.1 Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%),
terjatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya
akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.1,3
C. Anatomi
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang
menjadi jalur informasi otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan
struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang
diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan
oleh cedera medulla spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula
mengenai anatomi tulang belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla
spinalis karena cedera pada medulla spinalis umumnya terasosiasi dengan
struktur- struktur yang ada disekitarnya.
1. Anatomi kolumna vertebralis
Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong tubuh
utama. Vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga
toraks, ekstremitas atas, pelvis, dan penyaluran berat tubuh ke ekstremitas
bawah, selain itu, struktur ini memberikan perlindungan yang bermakna
bagi truktrur-struktur yang ada di dalamnya, antara lain medulla spinalis,
nervus spinalis, meninges. Kolumna vertebtralis terdiri dari 33 vertebra
(gambar I), antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral (bergabung
menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan bantalan fibrocartilago diantara
setiap segmen yang disebut diskus intervertebralis. Walaupun terdapat

perbedaan secara regional pada segmen-segmen tersebut, namun secara


umum terdapat pola anatomi yang mirip (gambar 2). Vertebra umumnya
terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus vertebra di posterior, dan
diantaranya terdapat tulang yang disebut dengan foramen vertebralis yang
berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges. Arkus vertebralis
membentuk 7 prosesus, antara lain satu prosesus spinosum, 2 prosesus
tranversus, dan prosesus artikularis. Prosesus spinosum merupakan
sambungan dari kedua laminae, sedangkan prosesus transversus terletak
diantara laminae dan pedikel. Kedua prosesus tersebut berfungsi sebagai
tuas pengungkit dan menjadi tempat perlekatan otot dan ligamen. Prosesus
artikularis terbagi menjadi dua prosesus superior dan dua prosesus inferior,
kedua prosesus tersebut membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari
inferior notch dan superior nocth yang membentuk foramen intervertebralis
( dari dua vertebra). Sendi dari kolumna vertebra terbagi menjadi 2, antara
lain sendi dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous joint dari diskus
intervertebralis dan sendi antara dua arkus vertebra yaitu sendi sinovial
antara prosesus artikularis. Terdapat 6 ligamen disekitar kolumna
vertebralis (gambar 30, antara lain ligamen anterior logitudinal dan postrior
logitudinal ( ligamen disekitar korpus) dan ligamen supraspinotus,
interspinatus, intertraversum, dan flavum ( ligamen diantara arkus
vertebralis). Pada daerah servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus
bergabung membentuk ligamentum nuchae.
2. Anatomi Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai
dari foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga
seluruh panjang kanal vertebralis ( dibentuk dari seluruh foramen
vertebralis), bersinambungan dengan medulla oblongata di otak, dan bagian
terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbal
pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbal ketiga pada
anak- anak. Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain
duramater, araknoid mater dan pia mater. Selain itu, likuor cerebrospinalis

10

(LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan


perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen
servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sakral, dan 1
segmen koksigeal (gambar 4). Nervus spinalis keluar dari segmen medulla
spinalis tersebut ( berjumlah 31 pasang nervus spinalis) dan terdiri dari
motor atau anterior roots/ radiks dan sensory atau posterior root. Penamaan
nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut
melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis CI sampai C7 muncul diatas
kolumna vertebra C1-C7 sedangkan C8 diantara kolumna vertebralis C7T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah kolumna vertebralis yang
bersangkutan.
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, V1-C2
menginervasi otot-otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang
mempersarafi diafragma, C5-T1 mempersarafi otot-otot ekstremitas atas,
segemen torakal mempersarafi otot-otot torakoabdominal, dan L2-S2
mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Bebrapa dermatom penting yang
memberikan gambarang untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis, antara
lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala- leher, T4-5 untuk daerah areola
mammae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas : C5 (bahu anterior)
C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian
medial antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian
ekstremitas bawah: L1 ( bagian anterior dan medial dari femoralis), L2
( bagian anterior dari femoralis), L3 ( lutut), L4 medial malleolus), L5
(dorsum pedis dan jari 1-3, S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus, S3/ Coi
(anus).

11

8 pasang saraf servikal

12 pasang saraf torakal

5 Pasang saraf lumbal


5 Pasang saraf sakral
1 Pasang saraf koksigeal

Gambar 1. Anatomi medula spinalis.4

12

Gambar 2. Struktur internal medula spinalis.5

Patofisiologi

A.

B
Gambar 3. Skema medula spinalis potongan sagital, A. Medula spinalis
intak (sebelum trauma), B. Medula spinalis setelah cedera.5

13

Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk


dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat
dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.1
Pada skema (Gambar 3.), menggambarkan kombinasi dari berbagai macam
tipe cedera medula spinalis. Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara
progresif setelah terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar.
Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali
meenyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang
bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. Akson asending dan
desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson
membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk
oleh sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag.
Sebagian remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.5
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra
yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau
distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada
medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari
vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang
belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain
atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit
medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis
degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum
flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit
diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari
ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma
medula sentral.2

Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera


primer dan sekunder.1 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis,
pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi akibat
fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan ruptur
diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya
pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera
hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan

14

pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau
adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan
atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis
dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang
rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada
orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi
pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau
transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau

distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai
transeksi lengkap.1
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia
grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi
perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medula
spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini
menyebabkan substansia grisea rusak.1
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan
metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan
ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di
sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin
terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami
kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami
kerusakan selama 72 jam setelah cedera.1
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis
akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya
kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid
vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian
sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan
peningkatan tekanan jaringan.2 Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka
suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder. 1,2 Cedera sekunder
meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia,
eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit,
trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 1

15

D. Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)
berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis
yang timbul (Gambar 4.):6
1. Komplit: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang tersisa pada segmen sakral
S4-S5
2. Inkomplit: Terdapat fungsi sensorik tanpa fungsi motorik di bawah lesi termasuk
segmen sakral S4-S5.
3. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot kurang dari 3.
4. Inkomplit: Terdapat fungsi motorik di bawah lesi dan lebih dari separuh memiliki
kekuatan otot 3 atau lebih.
5. Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal.

Gambar . Kategori pasien cedera medula spinalis berdasarkan tingkat dan


derajat defisit neurologis menurut sistem ASIA.6

E. Gejala Klinis
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan
kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,
hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus,
kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam.

16

Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion
pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa
fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis
dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi
kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah
trauma.2
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya
cedera. Defisit neurologis
digambarkan

yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat

dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga

sebaliknya, antara lain:2,6,7


1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi
transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi.
Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi
diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula.

Konsekuensinya bisa

terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi
otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.

2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh
bagian ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal)
dengan kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi raba
(propioseptif), tekan

dan posisi masih terjaga, meskipun terjadi

paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan


termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi
diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara
ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan
(paralisis) dan kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif
ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral
di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada
sentral medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai
cedera yang konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada

17

ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai


parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik
ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf
sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer medula
servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari
medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma
hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.

d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat


menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke
serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai
disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang
atau ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks
dorsalis kompresi lumbosakral dibawah konus medularis. Pada
umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan paralisis.

Gambar 5. Pola Cedera medula spinalis.6

F. Diagnosis
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:2
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
18

2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas


3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma.
Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa
(sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera
medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar
servikal (collar brace) dan papan (backboards).2

A.
B.
Gambar 6. A. Collar servikal, B. backboards.

Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan


penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya
ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi
hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada
jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut syok neurogenik.
Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai
sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.2
Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang
tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen).
Resusitasi terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika
pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme
terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul.
Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat,
terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau
hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien

19

dengan menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas.


Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan
tangannya sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus
dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat
membantu pemeriksa mengetahui letak lesi.

Gambar 7. Tingkat sensorik dan motorik dari medula spinalis. 2

Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen


bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek
kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang
diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medula T12-L1. Adanya
reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi
pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum bladder
dengan balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar)

20

menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi.


Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera radiks
dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus
dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau
hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera
inkomplit.2
Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik
firemans carry atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada
masing-masing sisi dengan orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus
mempertahankan posisi kepala dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg)
menggunakan satu tangan pada dagu (chin) dan tangan lainnya pada oksiput.2

Gambar 8. Metode log-roll untuk memindahkan korban dengan cedera


medula spinalis.8

Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada
trauma vertebra.2 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk
penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.6 Foto lateral paling dapat
memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap
alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan

21

dengan vertebra torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level.


Jaringan lunak paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya
merupakan indikasi perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligamen yang
rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat
menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan
luasnya pedikel yang rusak.2 Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah
dan torak atas seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto
polos komplit pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang
menunjukkan adanya proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang
diduga mengalami trauma servikal.2,6 Gambaran oblik dari servikal atau
lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi.
Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal
dapat menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang
tidak tampak pada foto polos,2,6 MRI memberikan gambaran yang sempurna
dari vertebra, diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur
diagnostik pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis. 2,6 Kanalis
yang mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen
jelas tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi EDH atau
kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau daerah yang
mengalami iskemi.6

22

Gambar 9. MRI menunjukkan peningkatan sinyal T2 medula spinalis


servikal pada tingkat C4-C6 level, indikasi terjadinya cedera pada daerah tersebut. 2

G. Diagnosis Banding
Pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik secara lengkap dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan cedera medula spinalis dan membedakan
dengan kondisi patologis lainnya. Seringkali perubahan status mental akibat
cedera otak atau intoksikasi mempersulit pemeriksaan maupun dalam
menegakkan diagnostik.

Faktor komplikasi diagnosis banding lainnya

termasuk cedera saraf sekunder pada fraktur ekstremitas.

Pemeriksaan

neurologis lengkap dan kemampuan memahami anatomi dari sistem saraf


perifer penting untuk membuat diagnosis yang tepat. Selain itu juga, perlu
dipikirkan adanya gangguan psikiatri atau gangguan sekunder lainnya.
Diagnosis ini dapat di tegakkan dengan dilakukannya pemeriksaan neurologik
yang lengkap. Kira-kira 60% pasien dengan cedera medula spinalis mengalami
cedera pada sistem organ lainnya dan disertai fraktur spinal.2
H. Tatalaksana
Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga
terapi keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
Transeksi anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada
cedera medula spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk
melindungi jaringan spinal yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat
cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
(cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi
optimal supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem
saraf. Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif
untuk memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf
tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya
secara ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.2

23

Steroid Dosis Spinal


Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan
NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis
dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera
medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan
secara intravena dalam delapan jam, dan terutama dalam tiga jam setelah
cedera, dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kg berat badan tiap
jam 45 menit setelah pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan bolus
metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien
tersebut menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika
pemberian metilprednisolon dalam tiga jam setelah cedera, maka pemberian
infus prednisolon diberikan selama 24 jam. 2,6 Penelitian menunjukkan akan
terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun
pada pasien yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan
kortikosteroid belum jelas kesepakatannya, hal ini karena timbulnya efek
samping berupa pneumonia. Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk
pasien dengan luka tembak atau cedera radiks dorsalis (kauda ekuina), atau
hamil, kurang dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid jangka panjang,
serta hipotermi (salah satu gejala yang timbul pada cedera medula spinalis).6

Alat Ortotik
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal
dengan cara mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban
pada spinal. Pada umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak
adekuat untuk C1, C2 atau servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses
brace diatas torak dan leher, meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak.
Minerva braces meningkatkan stabilisasi servikal pada daerah diatas torak
hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat yang disebut halo-vest paling
banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal. Empat buah pin di pasangkan
pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi lumbal juga
dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose.6
24

A.

B.

C.

Gambar 10. Alat ortose rigid, A. Cervicothoracic orthoses brace, B. Minerva

brace, C. Halo ring.9


Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat
dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat
digunakan sementara. Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan
dengan mempertahankan pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk
penatalaksanaan dalam merawat kulit dan pulmonary.2

A.

B.
Gambar 11. Fiksasi, A. Gardner wells tongs, B. Cervical Halter skin traction.10

Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama
adalah untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien
dengan defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi

cedera yang

terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi
terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit
neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang
mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi
25

stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik. 6 Indikasi
lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai
dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya
epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak
stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws
dikombinasi dengan bone fusion.2
Perawatan Berkelanjutan
Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari
thrombosis vena dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus
dekubitus.6 Banyak pasien dengan cedera medula servikal atau torak tinggi
membutuhkan bantuan ventilasi sampai dinding dada cukup kuat untuk
bernafas. Pasien dengan cedera medula spinalis biasanya bernafas dengan
menggunakan diafragma. Jika terjadi ileus paralitik disertai distensi abdomen
atau pasien tampak lemah maka ventilasi akan memburuk. Pasien akan
mengalami hipoksik, sehingga perlu diberikan intubasi atau ventilasi mekanik. 2
Pasien dengan cedera medula servikal tinggi (diatas C4) seringkali
membutuhkan bantuan ventilasi permanen.6
Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan darah menjadi
rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-rata 85-90
mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya cedera
medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera. Jika
produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan
hipotensi sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin,
akan tetapi hal tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada
perdarahan pada rongga dada atau abdomen.2
I. Komplikasi
Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara
potensial dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai
infeksi saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang

26

menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan
cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit
motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena
dalam.

Pasien

sebaiknya

mendapatkan

low-molecular-weight

heparin,

pneumatic compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis.


J. Prognosis
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas
cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak
mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai
berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah
mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik
sindroma medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squards
sindrome. Penyebab utama kematian sindroma medula spinalis meliputi
penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga termasuk dukungan
emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian dan latihan bekerja.2

27

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai
setelah mengalami kecelakaan sejak 4 Hari lalu dan tidak ada perbaikan hingga
sekarang disertai tidak dapat merasakan keinginan untuk BAB maupun BAK.
Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada syaraf
kranial namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua tungkai
adalah 0 0 0 0 disertai penurunan sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai
mulai dari selangkangan hingga ujung jari kaki. Tidak ditemukan refleks fisiologis
maupun patologis pada kedua tungkai.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan maka pada pasien ini
mengarah kepada diagnosis paraplegi akibat cedera medula spinalis komplet.
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The
National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000
kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka
insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000
penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.dan trauma pada
medulla spinalis
Pada penderita ini, penyebab disabilitas neurologis diakibatkan adanya trauma
langsung. Awalnya pasien merubuhkan rumah dan terjatuh kayu besar pada
punggung hingga pasien terduduk.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini
penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang
paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika
Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula

28

spinalis traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet
(27,3%), (3) paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.

Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American


Spinal Cord Injury Association(2)yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior
Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan
(5) Conus Medullaris syndrome. Lee(6)menambahkan lagi sebuah sindrom
inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior Cord Syndrome
Pada pemeriksaan fisik dari pasien, ditemukan adanya traumatik medulla
spinalis dengan adanya gangguan sensorik dan mororik pada kedua kaki. Anestesi
tungkai kanan mulai dari femur, Anastesi tungkai kiri mulai dari inguinal. Disertai
inkontinensia alvi dan dan urin.
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Ada 8 saraf servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral.
Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke
otak.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan
tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena kesakitan terbatas dermatom adalah

29

gejala bukan penyebab dari dari masalah yang mendasari, operasi tidak boleh
sekalipun ditentukan oleh rasa sakit. Sakit di daerah dermatom mengindikasikan
kekurangan oksigen ke saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu tempat
di sepanjang jalur saraf.
Dalam pemeriksaan dermatom yang temukan pada pasien, pada tungkai
kanan sejajar dengan lumbal 3 dan pada tungkai kiri sejajar dengan lumbal 2 maka
kerusakan berapa pada L2-L3.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium

darah

dan

pemeriksaan

radiologis.

Dianjurkan

melakukan

pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra


servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasuskasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic
Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi
lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tersebut sudah
dilakukan foto polos lumbosacral Ap/Lateral dan didapatkan adanya adanya fraktur
pada L2-dan L3.
Tatalaksana
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk.
Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih
baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk
kembali berjalan adalah lebih dari 50%

30

Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk


cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of
Health di Amerika Serikat(11). Namun demikian penggunaannya sebagai terapi
utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum
digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Brakendalam Cochrane Library
menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi
farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan
untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training .
Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/
activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal
mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.
Pada pasien diberikan terapi analgetik dan melakukan Tindakan rehabilitasi
medik dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi
okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan
utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan
kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. De. Jong dan sjamsunhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah . edisi 3. EGC: Jakarta :
2007
2. Liwang frans, Tanto,C. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 4. Media aesculapius;
Jakarta. 2014
3. Robbin and Contra. Buku Ajar Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. EGC:
Jakarta. 2006.
4. Jhon F, and Wayne J. Anvanced Trauma Life Support For Doktors (ATLS)
student Course Manual. Edisi 8. Americans College Surgeons. 2008
5. Clara Valley. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance. University of
Alabama at Birmingham. 2013 (internet). Cited 2015 Agus 20. Available from
https://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts
%202013.pdf
6. Nils Hjeltnes. Spinal cord injury. Spinal Cord Injury Rehabilitation
Department, Sunnaas Hospital, Nesoddtangen, Norway. 2010. Cited 2015 Agus
20. Available from: http://fyss.se/wp-content/uploads/2011/06/45.-Spinal-cordinjury.pdf
7. Maureen Coggrave. Bowel Management Following Spinal Cord Injury. NSIC
2007.

Cited

2015

Agus

20.

Available

http://www.buckshealthcare.nhs.uk/Downloads/Patient-leaflets

from:

NSIC/Bowel

%20management%20following%20spinal%20cord%20injury.pdf
8. Margaret C. Spinal cord injury . World Health Organization. 2013 . Cited
2015 Agus 20. Available from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/94190/1/9789241564663_eng.pdf.

32

9. Kaur, Bhavkiran, Narkeesh. Autonomic Nervous System in Spinal Cord Injury


Patient. Department of Physiotherapy, Punjabi University, Punjab : India . Cited
2015 Agus 20. Available from:
http://medind.nic.in/jau/t14/i1/jaut14i1p46.pdf
10. Andrei V. Krassioukov . Assessment Of Autonomic Dysfunction Following
Spinal Cord Injury: Rationale for additions to International Standards for
Neurological Assessment . Volume 44, Number 1, 2007. Cited 2015 Agus 20.
Available from:
http://download14.documents.tips/uploads/check_up14/342015/55cf855355034
6484b8cc5dd.pdf

33

You might also like