You are on page 1of 14

OBAT-OBAT SISTEM SARAF

A. ANALGETIKA-ANTIPIRETIKA
Pengertian
Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa
sakit tanpa menghilangkan kesadaran.Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu
obat yang efektif untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri
lainnya.Hampir semua analgetika ternyata memiliki efek anti inflamasi dimana efek anti
inflamasi sendiri berguna untuk mengobati radang sendi (artritis remautoid).Jadi
analgetika anti inflamasi non steroid adalah obat-obat analgetika yang selain mempunyai
efek analgetika juga mempunyai efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini
digunakan
dalam
pengobatan
reumatik
dan
gout.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling banyak diresepkan
dan juga digunakan tanpa resep dari dokter.Obat-obat golongan ini merupakan suatu
obat yang heterogen secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat
kliniknya karena ada AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda,
sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa.
Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas
penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Efek
antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada efek analgesiknya, dan
AINS relatif lebih toksis dari pada antipiretika klasik, maka obat-obat ini hanya digunakan
untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis
ankliosa dan penyakit pirai. Respon individual terhadap AINS bisa sangat bervariasi
walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama. Sehingga
kegagalan dengan satu obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang
sama. Semua AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi
antar obat-obat ini.
Patologi
Adapun penyebab nyeri sendiri yaitu akibat pengeluaran prostaglandin secara
berlebihan akibat adanya rangsangan nyeri. Adapun rangsangan nyeri sendiri yaitu :
1. Fisika , dapat berupa benturan dan menyebabkan bengkak
2. Kimia, dapat terjadi karena tertetesi HCL dan zat-zat kimia lainnya
3. Biologi , dapat terjadi karena terinfeksi bakteri atau kuman
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer
maupun sentral.Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif.Dalam keadaan
patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya
pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti
prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat
mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu
menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan sistem
biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga

konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu.Enzim siklooksigenase


terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut
dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemelihraan
berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran
cerna, dan trombosit.Dimukosa lambung aktivitas COX-1 menghasilakan prostasiklin
yang bersifat protektif.Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar, termasuk
sitokin, endotoksindan growth factors.Teromboksan A2 yang di sintesis trombosit oleh
COX-1 menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot
polos.Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malvro
vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit.

Obat-Obat Analgetik Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)


Dibawah ini adalah obat-obat yang tergolong AINS, yaitu :
1. Asam mefenamat dan Meklofenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam
mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin.Meklofenamat digunakan sebagai
obat anti-inflamasi pada reumatoid dan osteoartritis.Asam mefenamat dan meklofenamat
merupakan golongan antranilat.Asam mefenamat terikat kuat pada pada protein
plasma.Dengan demikian interaksi dengan oabt antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare
sampai diare berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung.Dosis asam
mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari.Sedangakan dosis meklofenamat untuk
terapi penyakit sendi adalah 240-400 mg sehari.Karena efek toksisnya di Amerika Serikat
obat ini tidak dianjurkan kepada anak dibawah 14 tahun dan ibu hamil dan pemberian
tidak melebihi 7 hari.
2. Diklofenak
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran
cerna berlangsung lengkap dan cepat.Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan
mengalami efek metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%.Walaupun
waktu paruh singkat 1-3 jam, dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan
efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala
sama seperti semua AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak
lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan.Dosis orang dewasa 100-150
mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.
3. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali
dibanyak negara.Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang tidak
terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya
terlihat pada dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan
kadar maksimum dalam plasma dicapai dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat
dalam protein plasma, ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap.
Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi
karena dapat mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat hambatan
biosintesis prostaglandin ginjal.Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan

dibandingkan dengan aspirin.Ibuprofen tidak dianjurkan diminum wanita hamil dan


menyusui.Ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas dibeberapa negara yaitu inggris
dan amerika karena tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesik dan
relatif lama dikenal.
4. Fenbufen
Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug.Jadi
fenbufen bersifat inaktif. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam sehingga cukup diberikan 12 kali sehari. Absorpsi obat melalui lambung dan kadar puncak metabolit aktif dicapai
dalam 7.5 jam. Efek samping obat ini sama seperti AINS lainnya, pemakaian pada pasien
tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan ginjal dosis harus dikurangi. Dosis
untuk reumatik sendi adalah 2 kali 300 mg sehari dan dosis pemeliharaan 1 kali 600 mg
sebelum tidur.
5. Indometasin
Merupakan derivat indol-asam asetat.Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk
pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya.Walaupun obat ini efektif tetapi karena
toksik maka penggunaan obat ini dibatasi.Indometasin memiliki efek anti-inflamasi
sebanding dengan aspirin, serta memiliki efek analgesik perifer maupun sentral.In vitro
indometasin menghambat enzim siklooksigenase, seperti kolkisin.
Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%.Indometasin terikat pada
protein plasma dan metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu,
waktu paruh 2- 4 jam. Efek samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa
nyeri abdomen, diare, perdarahan lambung dan pankreatis.Sakit kepala hebat dialami
oleh kira-kira 20-25% pasien dan disertai pusing.Hiperkalemia dapat terjadi akibat
penghambatan yang kuat terhadap biosintesis prostaglandin di ginjal.
Karena toksisitasnya tidak dianjurkan pada anak, wanita hamil, gangguan
psikiatrik dan pada gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang
berhasil. Dosis lazim indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik
di malam hari 50-100 mg sebelum tidur.
6. Piroksikam dan Meloksikam
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam,
derivat asam enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari.
Absorpsi berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma.Frekuensi
kejadian efek samping dengan piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%.Efek samping
adalah gangguan saluran cerna, dan efek lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan
eritema kulit.Piroksikam tidak dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan
yang sedang minum antikoagulan.Dosis 10-20 mg sehari.
Meloksikam cenderung menghambat COX-2 dari pada COX-1.Efek samping
meloksikam terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam.
7. Salisilat
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin adalah
analgesik antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan.Asam salisilat sangat
iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar.Derivatnya yang dapat dipakai
secara sistemik adalah ester salisilat dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya
asetosal. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik dalam kadar plasma perlu
dipertahankan
antara
250-300
mg/ml.

Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di
lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi
salisilat segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan
dalam cairan sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak
lambung atau tukak peptik, efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat
penghambatan biosintesa tromboksan.
8. Diflunsial
Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat, bersifat analgetik dan
anti inflamasi tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Kadar puncak yang dicapai 2-3 jam.
99% diflunsial terikat albumin plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Indikasi untuk
nyeri sedang sampai ringan dengan dosis awal 250-500 mg tipa 8-12 jam. Untuk
osteoartritis dosis awal 2 kali 250-500 mg sehari. Efek samping lebih ringan dari
asetosal.
9. Fenilbutazon dan Oksifenbutazon
Fenilbitazon dan oksifenbutazon merupakan derivat pirazolon. Dengan adanya
AINS yang lebih aman, fenilbutazon dan oksifenbutazon tidak lagi dianjurkan digunakan
sebagai anti-inflamasi kecuali obat lain tidak efektif.
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat dari pada kerja
analgetiknya jadi golongan ini hanya digunakan sebagai obat rematik.Fenilbutazon
dimasukan secara diam-diam dengan maksud untuk mengobati keadaan lesu dan letih,
otot-otot lemah dan nyeri. Efek samping derivat pirazolon dapat menyebabkan
agranulositosis,
anemia
aplastik,
dan
trombositopenia.
10. Allopurinol
Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat di dalam serum dan
urin pada penanganan gout primer dan sekunder. Allopurinol bekerja dengan
menghambat xanthin oksidase, enzim yang bertugas mengubah hipoxanthine menjadi
xanthin kemudian menjadi asam urat.Allopurinol mencegah atau menurunkan endapan
asam urat sehingga mencegah gout arthritis.Dengan dosis awal 2 kali sehari 100-300 mg
sehari diminum segera setelah makan.Efek samping allopurinol dapat menyebabkan
hipersensitfitas, gangguan gastrointestinal, sakit kepala dan megantuk.Maka harus
berhat-hati pada pasien yang sedang mengendarai dan mengoperasikan mesin.
B. ANALGETIKA NARKOTIKA
Analgetika opioid sering disebut analgetika sentral. Memiliki daya penghalang
nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat
mengurangi kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphoria).
Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk
mengatasi nyeri yang hebat.
Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik
dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus
obat). Karena bahaya dan gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini diawasi
dengan seksama oleh DEPKES dan dimasukkan kedalam Undang-undang Obat Bius
(Narkotika).
Analgetika narkoti, kini disebut juga opioida (= mirip opiate) adalah zat yang
bekerja terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan

respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor,
pengikatan padanya menimbulkan analgesia.Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya
sendiri, nyakni zat zat endorphin yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen),
terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan
impuls nyeri.
Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan,
misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari
beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini
disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri
endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Endorphin (morfin endogen) adalah kelompok polipeptidaendogen yang terdapat
di CCS dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin.Zat-zat ini dapat
dibedakan antara -endorfin, dynorfin dan enkefalin (yun. Enkephalos = otak), yang
menduduki reseptor-reseptor berlainan.secara kimiawi za-zat ini berkaitan dengan
kortikotrofin (ACTH), menstimulasi pelepasanya juga dari somatotropin dan prolaktin.
Sebaiknya pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini.-endorfin pada hewan
berkhasiat menahan pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan ketagihan.
Zat ini berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri, melainkan
memperbaiki penerimaannya. Rangsangan listrik dati bagian- bagian tertentu otak
mengakibatkan peningkatan kadar endorphin dalam CCS. Mungkin hal ini menjelaskan
efek analgesia yang timbul (selama elektrostimulasi) pada akupunktur, atau pada stress
(misalnya pada cedera hebat).Peristiwa efek placebo juga dihubungkan dengan
endomorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti
fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan,
dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur
homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuh ke otak, dan bertindak juga
sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda
dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu
reseptor opioid ,, , , . (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially
called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or orphan opioid receptor dan ereceptor, namum belum jelas fungsinya).
Reseptor memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan
ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor 2 memediasi efek depresan
pernafasan.
Reseptor yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi
efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap opioid. reseptor telah
diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor
opioid
ini
tersebar
dalam
otak
dan
sumsum
tulang
belakang.
Reseptor danreseptor menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan
reseptor selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umumnya :
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion
Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan
masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel
adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar
nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri
terhambat.
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor reseptor nyeri di susunan
saraf pusat, hingga perasaan nyeri dapat diblokir.Khasiat analgesic opioida berdasarkan
kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di tempati
endokfin.Tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus menerus, pembentukan
reseptor-reseptor baru di stimulasi dan pdoduksi endorphin di ujung saraf pusat
dirintangi.Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.

o
o
o
o
o
o
o

Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:


Analgesik
Medullary effect
Miosis
Immune function and Histamine
Antitussive effect
Hypothalamic effect
GI effect

Efek samping umum


o Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat
(kegelisahan, rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.
o Pada dosis tinggi : efek yang lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun,
sirkulasi darah terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti.
o Supresi susunan saraf pusat, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis,
hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ
(Chemo Trigger Zone) timbul mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan
menurunnya aktifitas mental dan motoris.
o Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu (kolik
batu empedu).
o Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung
o
o
o
o

kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).


Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.
System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.
Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamine.
Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat
terjadi gejala abstinensia.
PENGGOLONGAN
Atas dasar cara kerjanya, obat obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :
1. Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :

Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.


Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen,
bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama
kerjanya. Efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2. Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila
digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
3. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi
kerjanya dengan sempurna.
Undang undang narkotika. Dikebanyakan Negara,beberapa obat dari kelompok
obat ini, seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang
undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun,
penggunaannya dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan.Pada tahun 1978, propeksifen
di negeri Belanda dimasukkan dalam opiumwet.
PENGGUNAAN
Tangga analgetika. WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika
untuk nyeri hebat misalnya pada kanker, yang mengolongkan obat dalam 3 kelas, yakni :
a. Non-opioida : NSAIDs, termasuk asetosal dan kodein
b. Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol, dan kodein, atau kombinasi parasetamol
dengan kodein
c. Opioida kuat : morfin dan derivate derifatnya serta zat zat sintetis opioid.
Menurut program ini, pertama-tama obat diberika 4 dd 1 g parasetamol, bila
efeknya kurang beralih ke 4-6 dd kodein 30-60 mg (bersama parasetamol).Baru bila
langkah ini tidak menghasilkan analgesi yang memuaskan, dapat biberikan opioid kuat.
Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin ( oral, subkutan kuntinu, intravena, epidural
atau spinal).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk meghindari resiko kebiasaan dan adiksi
untuk opioid bila diberikan sembarangan.
KEHAMILAN DAN LAKTASI
Opioida dapat melintasi plasenta, tetapi dapat digunakan beberapa waktu
sebelum persalinan.Bila diminum terus, zat ini dapat meursak janin akibat depresi
pernafasan dan memperlambat persalinan.Banyi dan ibu yang ketagihan menderita
gejala abstinensi. Selama laktasi, ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit
terdapat pada air susu ibu.
KEBIASAAN DAN KETERGANTUNGAN
Penggunaan pada jangka waktu yang lama pada sebagian pemakai menimbulkan
kebiasaan dan ketegantungan.Penyebabnya mungkin karena berkurangnya resoprpsi
opioid atau perombakan /eliminasinya yang dipercepat atau bisa juga karena penurunan
kepekaan jaringan.Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan lagi dosis yang lebih
tinggi lagi untuk mencapai efek semula.Peristiwa ini disebut dengan toleransi dan
bercirikan pula bahwa dosis tinggi dapat lebih baik diterima tanpa menimbulakn efek
intoksikasi.

Disamping ketergantungan fisik tersebut dapat pula ketergantungan psikis, yaitu


kebutuhan mental akan efek psikotrop (euphoria, rasa nyaman dan segar) yang dapat
menjadi sangat kuat, hingga pasien seolah olah terpaksa melanjutkan penggunaan obat.
Gejala abstinensi selalu timbul bila penggunaan obat dihentikan ( dengan
mendadak) dan semula dapat berupa menguap, berkeringan hebat dan air mata
mengalir, tidur gelisan dan merasa kedinginan.. lalu timbul muntah-muntah, diare,
tachycardia, ydriasis (pupil membesar), tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang
dapat disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah, mudah marah dank e khawatiran
mati).
Efek-efek ini menjadi penyebab mengapa penderita yang duah ketagihan sukar
sekali menghentikan opiate.Guna menghindari efek-efek opiate ini, mereka terpaksa
melanjutkan penggunaannya.
Ketergantingan fisik lazimnya sudah lenyak dua minggu setelah penggunaan obat
dihentikan.Ketergantungan psikis seringgkali sangan erat, maka pembebasan yang
tuntas skar sekali dicapai.
ANTAGONIS MORFIN
Antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek opioida tanpa
mengurangi kerja analgetisnya.Yang paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan
nalorfin. Obat ini digunakan terutama pada overdose intoksikasi. Khasiat antagonisnya
diperkirakan berdasarkan penggeseran opioda dari tempatnya di reseptor-reseptor
otak.Antagonis morfin juga berkhasiat analgetis, tetapi tidak digunakan dalam terapi
karena khasiatnya lemah an efeksampingnya mirip morfin (depresi pernafasan, reaksi
psikotis).
Macam-macam obat Analgesik Opioid :
a. Morfin (F.I) : MS Contin, kapanol.
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperolah dari tumbuhan
papaver somniferum (Lat = menyebabkan tidur) morfin mengandung 2 kelompok
alkaloida yang secara kimia sangan berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin,
kodein dan tebain. Kelompok kedua adalah isokinolin dengan struktur kimiawi dan
khasian amat berlainan (antara lain non-narkotis), yakni papaverin, nosapin ( = narkotin),
dan narsein. Zat ini berkhasiat analgetis sangan kuat, lagi pula memiliki jenin kerja sentral
lainnya , antara lain sedative dan hipnotis, menimbukakn euphoria, menekan pernafasan,
dan menghilangkan efek batuk, yang semuanya berdasarkan supresi susunan saraf
pusat (SSP). Morfin juga menimbulakn efek stimulasi SSP, misalnya miosis (peciutan
pupil mata), mual, muntah-muntah, eksitasi, konvulsi.Efek perifernya yang penting adalah
obstipasi, retensi kemih, dan vasodilatasi pembuluh kulit.
Penggunaannya khusus pada nyeri kuat kronis dan akut, seperti pasca-bedah
dan setekah infark jantung, juga pada fase terminal dari kanker. Banyak digunakan
sebagai tablet retard untuk memperpanjang kerjanya (MS Contin, kapanol).
Resorpsinya di usus baik, tetapi BA nya hanya ca 25 % akibat FPE besar, mulai
kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan samai 7 jam. Resorpsi dari suppositoria umumnya
sedikin lebih baik, secara s.c./i/m baik sekali. PP nya 35% dalam hati zat ini diubah
menjadi 70% dalam bentuk glukuronida, dan hanya sebagian kecil ( 3%) dari jumlah ini

terdiri dari morfin-6-glukuronida, dengan kerja analgetis lebih kuat. Ekskresinya melalui
kemih, empedu dengan siklus enterohepatis, dan tinja.
ANTIDOTA. Pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai antidotum, yakni
nalokson
Dosis : dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam-HCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-20 mg.
Anak-anak : oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg.
Sediaan
a. Pulv. Opii : 10% morfin
b. Pulv. Doveri : 1% morfin + Rad. Ipecacuanhae + K2SO4.
c. Acidov II : p. Doveri150 mg + salamid 350 mg.
d. Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sintesis dengan kerja analgetis
yang 2 kali lebih kuat, tetapi mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali. Dengan
alas an ini heroin tidak digunakan lagi dalam terapi, tetapi sangat disukain sekali oleh
para pecandu drug.
b.

Metadon : amidon, symoron


Zat sintetis ini (1947) adalah suatu campuran rasemis, yang memiliki daya
analgetik dua kali lebih kuat dari pada morfin, dan berkhasiat anastetik local.
Indikasi : Detoksifikasi ketergantungan morfin, nyeri hebat pada pasien yang di
rawat di rumah sakit.
Resorpsinya di usus baik, PP-nya 90% plasma-t-1/2-nya rata-rata 25 jam dan
efeknya dapat bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para pecadu.
Umumnya metadon tidak menimbulkan eurofia, sehingga banyak digunakan untuk
menghindari gejala abstinensi setelah penghentian penggunaan zat opioida yang lain.
Khusus digunakan sebagai zat pengganti heroin dan morfin pada terapi subtitusi para
candu.
Efek sampingnya kurang hebat dari morfin terutama efek hipnotis dan euforianya
lemah, tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang lebih
mudah disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan tetapi penggunaannya selama
selama persalinan harus dengan hati-hati karena dapat menekan pernafasan.
Dosis : pada nyeri oral 4-6 dd 2,5 -10 mg garam HCl, maksimum 150 mg/hari.
Terapi pemeliharaan pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd
50-100 mg selama 6 bulan.
*Dekstromoramida (patfium) adalah opioid sintetis (1956) yang rumusnya mirip
metadon. Khasiat analgetisnya lebih kuat sedikit dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat,
efeknya setelah 20-30 menit, dan bertahan lebih singkat, ca 3 jam. Depresi
pernafasannya lebih kuat dibandingkan morfin, pada dosis biasa dapat tejadi apnoe,
begitu pula efek adiksinya. Tidak layak untuk pengobatan nyeri kronis. Efek sedasi dan
obstipasinya lebih ringan
Dosis : oral, s.c. atau i.m. 3-4 dd 2,5-5 mg sebagai hidrogentartrat,
Efek tak diinginkan:
Depresi pernapasan
Konstipasi
Gangguan SSP
Hipotensi ortostatik

Mual dan muntah pada dosis awal


b.

Fentanil :fetanyl, durogesic, *Thalamonal.


Derivate piveridin ini (1963) merupakan turunan dari petidin (dolnatin) yang
jarang digunakan lagi karena efek samping dan sifat adiksinya. Efek analgenis agonis
opiate ini 80x lebih kuat dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.),
tetapi singkat hanya ca 30 menit.
Indikasi : Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi dan infack jangtung.
Efek sampingnya mirip morfin, termasuk defresi pernafasan, bronchospasme,
dan kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi, yakni
penurunan cardiack output dan bradycardia.
Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidl (thalamonal), bila perlu diulang setelah
setengah jam. Plester (durogenic) melepaskan secara konstan morfin selama 72 jam.
Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x
lebih kuat. Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama digunakan
pada waktu anestesi dan pasca bedah, juga pada waktu his dan persalinan (dikombinasi
dengan suatu anestetikum).
Dosis : pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila
perlu diulang 2 kali.

b.

kodein (F.I.) : Metilmorfin, *Codipront


Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi lebih
lemah misalnya efek analgetisnya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya
lebih ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri, yang
diperkuat melalui kombinasi denagn parasetamol/asetasal.Obstipasi dan mual dapat
terjadi teruatama pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg).resorpsi oral dan rectal baik;
didalam hati obat ini diubah jadi narkodein dan morfin (10%). Ekskresinyalewat kemih
debagai glukuronoda dan 10% secara utuh. Plasma-t1 / 2-nya 3-4 jam.
Dosis : pada nyeri oral 3-6 dd 15-60 mg garam-HCl, anak-anak diatas 1 tahun 3-6
dd 0,5 mg/kg. pada batuk 4-6 dd 10-20 mg, maksimal 120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1
mg/kg.
*Etilmorfin (Dionin) adalah derivate dengan khasiat analgetis dan hipnotis lebih
lemah, penghambatannya terhadap pernafasannya pun lebih ringan. Untuk menekan
batuk, obat ini kurang efektif dibandingkan dengan kodein, tetapi dahulu banyak
digunakan dalam sediaan batuk.
*noskapin (narkotin, longantin, mercotin, neocodin) adalah alkaloida candu lain,
tanpa sifat narkotis, yang lebih efektif sebagai obat batuk
Dosis : pada anak-anak 2-3 dd 150 mg, maksimum 200 mg/ hari

Ko
c.

Tramadol : tramal
Derivat sikloheksanol ini (1977) adalah campuran rasemis dari 2 isomer.
Khasiat analgetisnya sedang dan berdaya menghambat reuptake noradrenalin dan
antitusif (anti-batuk). Obat ini disebagian negara sianggap sebagai analgetikum opiat
karena bekerja sentral, yakni melalui pendudukan reseptor opioid. Meskipun demikina zat

ini tidak menekan pernafasan, praktis tidak mempenganruhi sistem kardiovaskuleratau


motilitas lambung-usus. Tramadol digunakan untuk sakit nyeri menengah hingga parah.
Sediaan tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani nyeri menengah hingga
parah yang memerlukan waktu yang lama.
Walaupun memiliki sifat adiksi ringan tetapi dalam praktek ternyata rasikonya praktis nihil
sehingga tidak termasuk daftar narkotika di kebanyakan negara deperti AS, GB, BRD,
Swis, Swedia, Jepang, termasuk Indonesia. Efek analgetis dari 120 mg tramadol oral
setaraf dengan 30-60 mg morfin. Penggunaannya oral, rektal, dan parental untuk nyeri
sedang sampai hebat, bila kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang efektif
atau tidak dapat digunakan. Untuk nyeri akut atau pada kanker pada umumnya morfin
lebih ampuh.
Resorpsinya di usus cepat dan tuntas dengan BA rata-rata 78%, plasma-t1/2-nya 6 jam. Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat bertahan hingga 6-8 jam.
Dalam hati , sebagian besar zat diuraikan menjadi antara lain metabolit dengan daya
kerja 6 kali lebih kuat. Ekskresinya berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.
Efek sampingnya tak begitu berat dan sering berupa termangu-mangu,
berkeringat, pusing, mual dan muntah, juga obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan
rasa letih. Resiko habituasi, ketergantungan dan adiksi dianggap ringan. Namun tidak di
anjurkan penggunaannya oleh penderita dengan sejarah pengalahgunaan drugs.
Wanita hamil dan menyusui. Opioda dapat melintasi plasenta dan sebegitu
jauhdiketahui tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum partus. Hanya o,1% dari
dosis masuk kedalam air susu ibu. Meskipun demikian, tramadok tidak dianjurkan selama
kehamilan dan laktasi.
Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg, maksimum 400 mg sehari. Anak-anak diats 1
tahun : 3-4 dd 1-3 mg/kg.
Minumlah tramadol sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar
atau lebih lama dari yang diresepkan dokter. Jangan minum tramadol lebih dari 300 mg
sehari.
d.

Nalokson : narcan
Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil pada atom N
(1969). Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainya, terutama
depresi pernafasan tanpa mengurangi efek analgetisnya. Penekanan pernapasan dari
obat-obat depresi SSP lain ( barbital, siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga tidak
diperkuat seperti nalorfin. Bila madiri tidak memiliki kerja agonistis (analgetis).
Penggunaannya sebagai antidotum pada overdose opioida (dan barbital), paska operasi
untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioid. Atau secara diagnostis untuk
menentukan adiksi sebalum dimulai dengan penggunaan naltrexon.
Kinetik. Setelah injeksi i.v. sudah berefek setelah 2 menit, yang bertahan
1-4 jam. plasma-t-1/2-nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida,
maka lajimnya perlu diulang beberapa kali.
Efek sampingnya dapat berupa tachycarsia (setelah bedah jantung),
jarang reaksi alergi dengan shock dan edema paru-paru.

Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat menjadi mual, muntah,
berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi, dan berhentinya
jantung.
Dosis : pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3
menit.
* Nalorfin (alilnormorfin) adalah zat induk nalokson (1952) dengan khasiat
sama, kecuali juga berkhasiat analgesik lemah.
Zat ini mampu meniadakan depresi e\pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru
memperkuat depresi yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja campuran
(agonistis dan antagonistis) dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, zat ini hanya
digunakan pada operdose opioida bila nalokson tidak tersedia.
Dosis : pada overdose s.c./i.m./i.c. 5-10 mg bila perlu diulang setelah 10-15 menit sampai
maksimum 40 mg sehari.
* Naltrekson (Nalorex) adalah derivat nalokson dimana gugus alil diganti
dengan siklopropil (1985). Sifatnya antagonis murni yang tidak mengakibatkan toleransi
atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit aktif 6naltreksol yang terutama diekresi melalui kemih. Naltrekson mengalami siklus
enterohepatis, masa paruhnya 4-12 jam.
Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioida berdasarkan pengikatan
kompetitif pada reseptor opioida dan sebagai obat antiketagihan heroin. Pada pecandu
obat opiat dapat menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang dapat
bertahan 48 jam. Obat ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin / morfin atau
metadon sekurang-kurangnya masing masing 7 dan 10 hari.
Dosis: permulaan 25 mg, bila tidak menjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang dengan
25 mg. Lalu
e. Pentazocin : Fortral
Zat sintetis ini diturunkan dari morfin (1964), dimana cincin fenantren
diganti oleh naftalen.Gugus-N-allil memberika efek antagonis terhadap opioida
lainnya.Khasiatnya beragam, yakni disamping antagonis lemah, juga merupakan agonis
parsiil.Khasiat analgetisnya sedang sampai kuat, lebih kurang antara kodein dan petidin 3
6 kali lebih lemah dari pada morfin.Di AS sering disalahgunakan dalam kombinasi
dengan antihistaminika dan nalokson.
Resorpsinya diusus baik, tetapi BA hanya ca 20% akibat FPE besar. Mulai
kerjnya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama
dengan pengguaan oral. PPnya 60% plasma-t-1/2-nya 2-3 jam. Dalam hati zat ini diubah
menjadi metabolit yang diekresi terutama lewat kemih.
Dosis: pada nyeri sedang kuat 3-4 dd 50-100 mg, maksimal 600 mg sehari.
f. Kanabis : *marihuana, *hashiz,, weed, grass
Pucuk dengan kembang dan buah-buah muda yang dikeringkan dari
bentukwanita tumbuhan cannabis sativa (Asia Barat). Kandungannya 0,3% minyak atsiri
dengan zat-zat terpen, terutama tetrahidrokanabinol (THC). Zat ini banyak khasiat
farmakologisnya, yang terpenting diantaranya adalah sedatif, hipnotis, dan analgetis,
antimual dan spasmolitis.
Khasiat analgetis pada THC terjadi di batang otak, dimana terletak pula
titik kerja dari opioida. Hanya mekasime kerjanya yang berlainan, reseptor morfin tidak

memegang peranandan nalokson tiak melawan efek analgetisnya. Disamping itu ambang
nyeri diturunkan. Dahulu meski jarang kanabis digunakan sebagai obat tidur, sedatifum,
dan spasmolotikum pada tetanus, umumnya dalam bentuk ekstrak 2-3 dd 30-50 mg.
Sekarang kanabis banyak disalahgunakan sebagai zat penyegar narkotik. Akhir-akhir ini
mulai digunakan lagi dengan efek sebagai anti emetikum dan analgetikum, pada kangker,
stimulans nafsu makan pada penderita AIDS, an obat relaksasi kejang/otot pada MS.
g. Dolantin
Merupakan zat sintetis , secara kimia lebih menyerupai atropin daripada morfin.
Memiliki sifat spasmolitik, sedangkan sifat menekan terhadap pusat batuknya sama
dengan morfin.
h. Dihidromorfin dan Dilaudid
Adalah turunan morfin dengan khasiat analgetiknya kurang lebih 5 kali morfin, tetapi
jangka waktu bekerjanya lebih pendek dan khasiat membiusnya lebih lemah.
3. HIPNOTIK-SEDATIVA (PENENANG)
Hipnotik atau obat tidur berasal dari kata hynops yang berarti tidur, adalah obat
yang diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat mempertinggi keinginan tubuh
normal untuk tidur, mempermudah atu menyebabkan tidur.Sedangkan sedative adalah
obat obat yang menimbulkan depresi ringan pada SSP tanpa menyebabkan tidur, dengan
efek menenangkan dan mencegah kejang-kejang. Yang termasuk golongan obat
sedative-hipnotik adalah: Ethanol (alcohol),Barbiturate,fenobarbital,Benzodiazepam,
methaqualon.
Insomnia dan pengobatannya
Insomnia atau tidak bisa tidur dapat disebabkan oleh factor-faktor seperti :
batuk,rasa nyeri, sesak nafas, gangguan emosi, ketegangan, kecemasan, ataupun
depresi. Factor penyebab ini harus dihilangkan dengan obat-obatan yang sesuai
seperti:Antussiva, anelgetik, obat-obat vasilidator, anti depresiva, sedative atau
tranquilizer.
Persyaratan obat tidur yang ideal
1. Menimbulkan suatu keadaan yang sama dengan tidur normal
2. Jika terjadi kelebihan dosis, pengaruh terhadap fungsi lain dari system saraf pusat
maupun organ lainnya yang kecil.
3. Tidak tertimbun dalam tubuh
4. Tidak menyebabkan kerja ikutan yang negative pada keesokan harinya
5. Tidak kehilangan khasiatnya pada penggunaan jangka panjang
Efek samping
Kebanyakan obat tidur memberikan efek samping umum yng mirip dengan morfin antara
lain :
a. Depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi, contihnya flurazepam, kloralhidrat,
dan paraldehida.
b. Tekanan darah menurun, contohnya golongan barbiturate.
c. Hang-over, yaitu efek sisa pada keesokan harinya seperti mual, perasaan ringan di
kepala dan pikiran kacau, contohnya golongan benzodiazepine dan barbiturat.

d.

Berakumulasi di jaringan lemak karena umumnya hipnotik bersifat lipofil.

Penggolongan
Secara kimiawi, obat-obat hipnotik digolongkan sebagai berikut :
1. Golongan
barbiturate,
seperti
fenobarbital,
butobarbital,
siklobarbital,
heksobarbital,dll.
2. Golongan benzodiazepine, seperti flurazepam, nitrazepam, flunitrazepam dan
triazolam.
3. Golongan alcohol dan aldehida, seperti klralhidrat dan turunannya serta paraldehida.
4. Golongan bromide, seperti garam bromide ( kalium, natrium, dan ammonium ) dan
turunan ure seperti karbromal dan bromisoval.
5. Golongan lain, seperti senyawa piperindindion (glutetimida ) dan metaqualon.
Obat generik, indikasi, kontra indikasi, dan efek samping
1. Diazepam
Indikasi
: hipnotika dan sedative, anti konvulsi, relaksasi, relaksasi otot dan anti
ansietas (obat epilepsi).

2. Nitrazepam
Indikasi
: seperti indikasi diazepam
Efek samping : pada pengguanaan lama terjadi kumulasi dengan efek sisa (hang over ),
gangguan koordinasi dan melantur.
3. Flunitrazepam
Indikasi
: hipnotik, sedatif, anestetik premedikasi operasi.
Efek samping : amnesia (hilang ingatan )
4. Kloral hidrat
Indikasi
: hipnotika dan sedatif
Efek samping: merusak mukosa lambung usus dan ketagihan
5. Luminal
Indikasi
: sedative, epilepsy, tetanus, dan keracunan strikhnin.

You might also like