You are on page 1of 104

KONTRIBUSI REAKSI KIMIA

DALAM TEORI KINETIK GAS

DISERTASI
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh

I GUSTI MADE SANJAYA


NIM : 30599010

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2004

ABSTRAK DISERTASI

I GUSTI MADE SANJAYA

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2004

KONTRIBUSI REAKSI KIMIA


DALAM TEORI KINETIK GAS

ABSTRAK DISERTASI

Karya tulis sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh

I Gusti Made Sanjaya

Promotor :
Prof. Dr. Susanto Imam Rahayu
Dr. Aloysius Rusli
Dr. M. Wono Setya Budhi, M.Si.

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2004

ABSTRAK DISERTASI

KONTRIBUSI REAKSI KIMIA DALAM TEORI KINETIK GAS

Telah dilakukan penelitian tentang kontribusi reaksi kimia pada teori kinetik gas
dalam sistem gas rapat bermolekul identik dimana reaksi kimia berlangsung. Studi
dilakukan secara analitik dengan menggunakan tumbukan-tumbukan dari molekul
model bola keras yang mengalami reaksi melalui model Present. Tumbukan
antarmolekul dibatasi pada tumbukan dua benda dengan mengabaikan pengaruh
tumbukan tiga benda atau tumbukan-tumbukan berorde lebih tinggi.

Studi ini berbeda dari studi sebelumnya oleh Prigogine dan Xhrouet, yang
memasukkan faktor reaksi kimia begitu saja ke persamaan Boltzmann dengan cara
menambahkan suku yang mengandung kebolehjadian reaksi. Pekerjaan ini diawali
dengan menurunkan persamaan Boltzmann diperluas dari persamaan Liouville
dengan pendekatan hirarki BBGKY. Pengaruh reaksi kimia dimasukkan melalui
persamaan BBGKY dengan mendefinisikan kebolehjadian reaksi pada hirarki
orde pertama dan kerapatan orde satu. Pemasukan kebolehjadian reaksi ini
memecah operator antaraksi menjadi operator antaraksi elastik ij dan operator
antaraksi reaktif ij* . Operator antaraksi elastik bekerja dalam dua arah, sedangkan
operator antaraksi reaktif berdasarkan asumsi reaksi berlangsung cukup dini hanya
bekerja searah yaitu menuju ke pembentukan hasil reaksi. Berdasarkan hal ini,
persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi kemudian dapat
diturunkan secara sistematis.

Persamaan Boltzmann diperluas yang dihasilkan melibatkan tumbukan elastik,


koreksi-koreksi kerapatan dan sumbangan reaksi kimia dari tumbukan reaktif.
Koreksi-koreksi kerapatan tersebut, yang terjadi akibat ada perpindahan sesaat
momentum dan energi dari inti suatu partikel ke inti partikel yang lain saat
bertumbukan, dirujuk sebagai sumbangan transfer tumbukan (collisional transfer
contributions). Kedua jenis koreksi kerapatan melibatkan gradien-gradien fungsi
distribusi tunggal terhadap jarak relatif antarpartikel dan dilambangkan dengan

fungsi-fungsi vektor 1 dan 2 . Reaksi kimia ternyata tidak hanya muncul


sebagai suku tersendiri melainkan juga berpengaruh pada koreksi kerapatan yaitu
dalam faktor (1 ) . Pada kerapatan rendah, dapat ditunjukkan bahwa persamaan
Boltzmann yang diperluas ini menghasilkan pendekatan Prigogine dan Xhrouet
kembali.

Persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi diselesaikan dengan cara
gangguan Chapman dan Enskog untuk memperoleh ungkapan fungsi distribusi
sesuai dengan orde-orde gangguan yang diinginkan. Sampai tahap pendekatan
kedua yang disebut tahap pendekatan Navier-Stokes, hasil penyelesaian
persamaan Boltzmann yang diperoleh kemudian diterapkan untuk mendapatkan
ungkapan bagi koefisien-koefisien transpor gas.

Penerapan penyelesaian persamaan Boltzmann bagi penurunan sifat-sifat transpor


gas menghasilkan ungkapan bagi tensor tekanan P dan vektor hantaran kalor q

P = pU

1/ 2

1/ 2

q=

1/ 2

5 mkT
1 mkT
S 2

2
8
6

75k kT

64 2 m

27 *
n 3 1 +
U iu
4 kT

2
*
3
1 + 3 n 1 + 2 kT T

dengan k merupakan tetapan Boltzmann, p tekanan hidrostatik, U tensor


satuan, diameter molekul, S laju tensor geser, u kecepatan alir gas, n rapat
cacah partikel dan * energi pengaktifan reaksi dalam model Pressent. Dari
kedua ungkapan ini, dapat ditentukan harga koefisien-koefisien transport seperti
koefisien viskositas geser , koefisien viskositas bulk dan koefisien hantaran
kalor bagi gas rapat bereaksi , yaitu:
1/ 2

5 mkT
=

16 2

1/ 2

1 mkT
= 2

27 *
n 3 1 +
,
4 kT

1/ 2

75k kT
=

64 2 m

2
*
3
1 + 3 n 1 + 2 kT .

Dengan demikian, rasio dua koefisien transpor dalam gas rapat bereaksi terhadap
koefisien transpor standar yang diambil dari gas tidak rapat juga dapat ditentukan,

= 1,
0

2
*

= 1 + n 3 1 + 2
,
0
3
kT

dimana 0 dan 0 merupakan koefisien viskositas geser dan hantaran kalor


standar. Viskositas bulk pada gas monoatomik tidak rapat sesuai dengan literatur
sama dengan nol.

Dalam penelitian ini, pengaruh reaksi kimia tidak muncul pada ungkapan
koefisien viskositas geser. Viskositas geser dalam sistem gas rapat bereaksi yang
diperoleh melalui penelitian ini sama seperti viskositas geser dalam gas tidak
rapat. Hasil ini berbeda dari hasil penelitian Snider dan Curtiss dalam gas rapat
yang menunjukkan keberadaan koreksi kerapatan pada ungkapan viskositas geser.
Perbedaan terjadi karena efek reaksi kimia dan koreksi-koreksi kerapatan
menghilang dalam penurunan ungkapan viskositas geser tersebut.

Pengaruh reaksi kimia memunculkan ungkapan baru bagi koefisien viskositas


bulk. Reaksi kimia muncul sebagai suku sendiri di samping suku koreksi
kerapatan dalam ungkapan viskositas bulk tersebut. Ungkapan ini dikatakan
sebagai ungkapan baru karena pada penelitian yang dilakukan Snider dan Curtiss
terhadap gas rapat dengan menggunakan model tumbukan bola keras, koefisien
viskositas bulk yang dihasilkan sama dengan nol. Demikian pula pada penelitian
Alves dan Kremer yang menggunakan pendekatan kesetimbangan Kimia dalam
campuran dua komponen gas bereaksi, viskositas bulk tidak muncul.

Reaksi kimia juga memberikan koreksi terhadap koefisien hantaran kalor pada
tingkatan kerapatan lebih tinggi. Pengaruh reaksi kimia terhadap koefisien

hantaran kalor ini bervariasi dengan energi pengaktifan, dimana hantaran kalor
yang diperoleh meningkat dengan bertambahnya energi pengaktifan reaksi.

ABSTRACT OF DISSERTATION

THE CONTRIBUTION OF CHEMICAL REACTIONS


IN THE KINETIC THEORY OF GASES

The effect of chemical reaction in the kinetic theory of gases was studied for a
dense gas system made up of identical molecules undergoing chemical reactions.
It is deduced analytically, using collisions of hard sphere molecules reacting
through Pressents model of chemical reaction. Molecular interactions are
restricted to binary collisions, by neglecting the effect of triple or higher order
collisions.

The present study differs from that of Prigogine and Xhrouet, where a chemical
reaction factor was inserted into the Boltzmann equation by adding a term
including chemical reaction probability. The study started by deriving a
generalized Boltzmann equation from the Liouville equation, using the BBGKYs
hierarchy approach. The influence of chemical reactions was inserted by
introducing a reaction probability, , to the first order hierarchy and density
term. Inserting this probability separates the interaction operator into an elastic
interaction operator ij and a reactive one ij* . The first operator operates
symmetrically in time. Assuming the reactions has proceeded only for a short time
so that the latter operator only operates in one direction to get reaction products.
The BBGKYs equation inserted by the influence of chemical reactions then used
to derive the generalized Boltzmann equation systematically for dense gas
reacting systems.

The resulting generalized Boltzmann equation includes effects of elastic collision,


density corrections, and contributions of chemical reactions due to reactive
collisions. The density corrections result from instantaneous transfer of
momentum and energy from the center of one molecule to another in collisions,
are referred to as collisional transfer contributions. There are two kinds of density
corrections, labelled by the vector functions 1 and 2 , that involve gradients of

the single distribution function with respect to the relative inter-molecular


distance. The influence of chemical reactions causes a separate term, and also
density corrections shown by a (1 ) factor. In the low density limit, it can be
shown that the derived generalized Boltzmann equation reduces to the Prigogine
and Xhrouets equation.

The generalized Boltzmann equation for dense gas reacting systems was solved by
the Chapman and Enskog perturbation method, to obtain expressions for the
distribution function to any perturbation order. In the Navier-Stokes
approximation, the solution of this equation is then used to get expressions for the
gas transport coefficients.

Applying solution of the generalized Boltzmann equation to the derivation of gas


transport properties, lead to the following expressions for the pressure tensor P
and heat flux vector q

P = pU

1/ 2

1/ 2

q=

1/ 2

5 mkT
1 mkT
S 2

2
8
6

75k kT

64 2 m

27 *
n 3 1 +
U iu
4 kT

2
*
3
1 + 3 n 1 + 2 kT T

where k is the Boltzmann constant, p the hydrostatic pressure, U a unity tensor,

the diameter of molecule, S the rate of shear tensor, u the mean velocity of
gases, n the number density, and * the activation energy. From these two
expressions, we obtained expressions for transport properties like the coefficient
of shear viscosity , bulk viscosity , and thermal conductivity , i.e.
1/ 2

5 mkT
=

16 2

1/ 2

1 mkT
= 2

27 *
n 3 1 +
,
4 kT

1/ 2

75k kT
=

64 2 m

2
*
3
1 + 3 n 1 + 2 kT .

The ratios of two of these transport coefficients to their standard expressions for a
dilute non-reacting gas are

= 1,
0

2
*

= 1 + n 3 1 + 2
.
0
3
kT

where 0 and 0 are the standard coefficient of shear viscosity and thermal
conductivity. The bulk viscosity vanishes for a dilute gas. This result is agrees
with the literature, where the bulk viscosity vanishes for an ideal monoatomic gas.

This study shows that chemical reactions do not affect the shear viscosity
coefficient. The shear viscosity in dense gas reacting system obtained through this
study is the same as the shear viscosity in a dilute gas. The effect of chemical
reactions and the density corrections were neglecting from its derivation.

The influence of chemical reactions gives rise to a new expression for the bulk
viscosity, where the effect of chemical reactions arises as a separate term. This
expression is a new one, because in the research of Snider and Curtiss on dense
gases by using collisions of a hard sphere molecule model, the value of bulk
viscosity coefficient is found to be zero. The bulk viscosity did not arise also in
the research of Alves and Kremer, which uses a chemical equilibrium approach in
a binary mixture of ideal gases.

Chemical reactions also give corrections to the thermal conductivity coefficient of


gases at the higher levels of density. The effect on the thermal conductivity of
gases varies with the kind of particles making up a gas, as indicated by the value
of its activation energy, where the thermal conductivity would increase with
increasing activation energy.

KONTRIBUSI REAKSI KIMIA DALAM TEORI KINETIK GAS

I GUSTI MADE SANJAYA

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2004

KONTRIBUSI REAKSI KIMIA DALAM TEORI KINETIK GAS

DISERTASI
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh
I Gusti Made Sanjaya

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2004

KONTRIBUSI REAKSI KIMIA DALAM TEORI KINETIK GAS

Oleh
I Gusti Made Sanjaya

Menyetujui
Tim Promotor
Tanggal 3 April 2004

Ketua

(Prof. Dr. Susanto Imam Rahayu)

Anggota

(Dr. Aloysius Rusli)

Anggota

(Dr. M. Wono Setya Budhi, M.Si)

PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI


Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan
Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa
hak cipta ada pada pengarang. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat,
tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan jika menyebutkan
sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin


Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

Perpustakaan yang meminjam disertasi ini untuk keperluan anggotanya harus


mengisi nama dan tanda tangan peminjam dan tanggal pinjam.

Janganlah berorientasi ke masa lampau, selain kilas sekejap agar dapat mengevaluasi diri,
karena secara alami manusia melangkah ke depan walaupun hanya berbekalkan peluangpeluang keberhasilan namun itulah spirit menjadi kreatif.

Kupersembahkan tuk para pencinta kemajuan di segala bidang

UCAPAN TERIMA KASIH

Pujastuti dipersembahkan kehadapan Yang Maha Esa. Atas anugrah-Nya penulis


dapat menyelesaikan studi yang diakhiri dengan penulisan disertasi.

Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada :


1. Prof. Dr. Susanto Imam Rahayu selaku ketua tim promotor atas segala
bimbingan, saran, nasehat yang membuka wawasan selama penelitian
berlansung dan penulisan disertasi ini.
2. Dr. Aloysius Rusli dan Dr. M. Wono Setya Budhi, M.Si. selaku anggota
promotor atas saran, nasehat, dan bimbingan selama pelaksanaan studi ini.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang
telah memberikan beasiswa melalui program BPPS dalam menempuh dan
menyelesaikan pendidikan S3 di Program Pascasarjana ITB.
4. Institut Teknologi Bandung, khususnya Program Pascasarjana, jurusan Kimia
FMIPA yang telah memberikan sarana dan prasarana selama pendidikan.
5. Universitas Negeri Surabaya, jurusan Kimia FMIPA yang telah memberikan
izin mengikuti studi S3.
6. Ibunda I Gusti Ayu Mundriasih yang selalu mengobarkan semangat untuk
menyelesaikan studi ini.
7. Yang kucinta Ni Gusti Ayu Sri Widayawati beserta kedua permata hatiku Ni
Gusti Putri Citta Suci dan I Gusti Ary Anandha Scientica yang telah dengan
sabar menjalani kehidupan secara mandiri dan penuh cinta kasih.
8. Dr. Salni beserta kawan-kawan dalam suka-duka di Taman Hewan 22
Bandung .

Semoga Yang Maha Kuasa memberikan balasan atas kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis.

xvii

DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH

xvii

DAFTAR ISI

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

xix

BAB
I PENDAHULUAN

II PERSAMAAN BOLTZMANN BAGI GAS RAPAT BEREAKSI

1. Persamaan Liouville

2. Persamaan BBGKY

10

3. Penurunan persamaan Boltzmann bagi gas rapat bereaksi

12

III PENYELESAIAN PERSAMAAN BOLTZMANN DIPERLUAS

20

1. Metode penyelesaian persamaan Boltzmann

20

2. Tahap pendekatan Euler

24

3. Tahap pendekatan Navier-Stokes

29

3.1. Evaluasi vektor A

42

3.2. Evaluasi tensor B

48

3.3. Evaluasi skalar C

54

3.4. Evaluasi skalar H

56

IV FENOMENA TRANSPOR DALAM GAS RAPAT BEREAKSI


1. Aliran momentum

59
59

1.1. Sumbangan energi kinetik pada tensor tekanan

60

1.2. Sumbangan energi potensial pada tensor tekanan

61

2. Aliran energi

65

2.1. Sumbangan energi kinetik pada vektor aliran kalor

65

2.2. Sumbangan energi potensial pada vektor aliran kalor

66

V KESIMPULAN DAN ALUR PENELITIAN BARU

69

1. Kesimpulan

69

2. Alur penelitian baru

71

DAFTAR PUSTAKA

73

LAMPIRAN

76

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran A

Persamaan perubahan bagi gas rapat bereaksi

76

Lampiran B

Pembuktian diperolehnya fungsi distribusi Maxwell-

78

Boltzmann pada tahap Euler


Lampiran C

Bukti keortogonalan persamaan (126a)-(126d)

xix

80

BAB I
PENDAHULUAN
Termodinamika sebagai sains makroskopis telah banyak dipelajari.1,2 Pengkajian
dilakukan secara umum melalui metode termodinamika berlandaskan persamaan
fundamental Gibbs.

Pengkajian berbasis molekul secara mikroskopis sangat penting dilakukan untuk


meletakkan landasan teori bagi termodinamika. Pembahasan sistem setimbang
berlandaskan molekul dilakukan melalui termodinamika statistik. Tekanan utama
diletakkan pada distribusi energi di antara molekul-molekul dalam keadaan
setimbang.3 Karena pada keadaan setimbang distribusi energi telah mantap, maka
proses pertukaran energi melalui tumbukan sudah tidak menjadi masalah. Di sisi
lain, pembahasan sistem tak setimbang secara umum ditangani melalui mekanika
statistik.4,5

Gejala-gejala tak reversibel dalam termodinamika sistem tak setimbang yang


dibahas secara mikroskopis masih menjadi fenomena menarik. Proses relaksasi
keadaan tak setimbang menuju keadaan setimbang banyak menyimpan masalahmasalah yang belum terpecahkan. Sebagai contoh adalah pengaruh reaksi kimia
pada sistem gas tak uniform yang mengalami transisi menuju kesetimbangan.

Pengembangan dasar mikroskopis dari termodinamika sistem gas ditangani


melalui teori kinetik gas.6 Penelitian terhadap proses-proses tak reversibel telah
banyak dilakukan pada gas-gas tak bereaksi.7-11 Persamaan dasar yang digunakan
adalah persamaan Boltzmann. Persamaan tersebut diselesaikan melalui metode
gangguan cara Chapman dan Enskog.12 Penyelesaiannya kemudian digunakan
antara lain untuk menentukan harga besaran-besaran transpor gas seperti koefisien
viskositas, hantaran kalor, dan difusi.

Teori kinetik gas yang berbasiskan persamaan Boltzmann telah berhasil memberi
landasan molekuler pada gejala-gejala transpor gas. Di awal-awal penurunan bagi

sistem bermolekul identik maupun sistem majemuk, persamaan Boltzmann hanya


berlaku untuk gas tidak rapat. Usaha perluasan persamaan Boltzmann agar dapat
diterapkan pada gas rapat atau gas berkerapatan molekul tinggi kemudian telah
dikembangkan.13-16 Bahasan tersebut menggambarkan suatu metode sistematik
untuk memperluas jangkauan kerapatan dari persamaan Boltzmann yang
menghasilkan ungkapan-ungkapan koreksi kerapatan pada koefisien-koefisien
transpor gas.
Teori tentang sifat-sifat transpor gas rapat pertama kali dipelajari oleh Enskog.17
Ungkapan koefisien-koefisien transpor pada gas rapat yang dihasilkan berbeda
dari gas tidak rapat. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perpindahan sesaat
momentum dan energi dari pusat molekul ke pusat molekul lain sewaktu
bertumbukan. Kontribusi pada aliran momentum dan aliran energi tersebut dirujuk
sebagai sumbangan transfer tumbukan (collisional transfer contributions).13

Gas tidak rapat secara fisik dicirikan oleh tumbukan dua benda. Sistem dianggap
serba sama sehingga di antara dua titik tidak ada beda harga fungsi distribusi
tunggal. Pada gas agak rapat, dengan koreksi kerapatan orde satu, beda harga
fungsi distribusi tunggal pada jarak antarmolekul tidak bisa diabaikan.18,22 Pada
kerapatan lebih tinggi lagi, kebolehjadian tumbukan tiga benda menjadi lebih
besar sehingga antaraksi demikian perlu mendapatkan perhatian. Dengan kata
lain, pada gas rapat secara umum terdapat pengaruh tambahan akibat tumbukan
benda banyak.

Sistem gas bereaksi atau sistem gas dimana reaksi kimia berlangsung juga telah
banyak diteliti23-43 untuk melihat sumbangan reaksi kimia pada teori kinetik gas.
Prigogine dan Xhrouet23 membahas pengaruh reaksi kimia sebagai gangguan
terhadap fungsi distribusi kesetimbangan. Hirschfelder, Curtiss, dan Byron Bird24
mengembangkan teori antaraksi reaksi kimia dengan proses transpor berdasarkan
terjadinya tumbukan reaktif yang mengganggu fungsi distribusi kecepatan
molekul. Pressent25 mengembangkan suatu model reaksi yang secara formal
menghasilkan koreksi terhadap tetapan laju reaksi. Rice26 membahas sifat

viskositas dalam gas encer bereaksi. Ross dan Mazur27 mempelajari beberapa
metoda deduktif teori mekanika statistik pada kinetika kimia yang secara formal
membahas koreksi-koreksi pada tetapan laju reaksi. Pyun dan Ross28 mempelajari
kebergantungan posisi dari efek-efek ketaksetimbangan dalam reaksi-reaksi fasa
gas. Xystris dan Dahler29-32 mempelajari model transpor massa dan momentum
dalam campuran gas encer bereaksi. Popielawski35 mempelajari teori antaraksi
reaksi kimia dengan aliran kental dalam gas encer. Cukrowski dan Popielawski36
mengembangkan teori pengaruh reaksi kimia pada koefisien viskositas dalam gasgas encer. Baradja37 mengembangkan teori pengaruh reaksi kimia terhadap
viskositas gas dengan cara membahas penyelesaian persamaan Boltzmann sampai
pendekatan ketiga, yaitu pendekatan Burnett. Kurniawati38 berdasarkan gagasan
yang dikembangkan Delale34 membahas landasan kinetik bagi pengaruh reaksi
kimia pada koefisien fenomenologi. Gagasan tersebut kemudian diterapkan pada
tumbukan-tumbukan molekul model bola keras oleh Sanjaya dan Imam
Rahayu39,41 untuk mempelajari pengaruh reaksi kimia pada koefisien-koefisien
fenomenologi dalam campuran gas bereaksi. Imam Rahayu40 mempelajari
pengaruh reaksi kimia terhadap proses difusi dalam campuran gas-gas yang
menyimpulkan bahwa pada pendekatan linear proses difusi tak dipengaruhi oleh
reaksi kimia. Gunawan42 membahas kontribusi dinamika reaksi molekular
terhadap persamaan perubahan Navier-Stokes bagi sistem reaksi gas dua
komponen. Alves dan Kremer43 mempelajari pengaruh reaksi kimia pada
koefisien-koefisien transpor gas dari campuran biner menggunakan pendekatan
kesetimbangan kimia. Berbagai usaha penelitian pada permasalahan reaksi kimia
tersebut dilakukan dengan membatasi bahasan pada reaksi antarmolekul yang
diperlakukan sebagai bola keras.

Penelitian pengaruh reaksi kimia sampai saat ini lebih banyak dilaksanakan pada
sistem gas tidak rapat. Penelitian-penelitian tersebut berbasiskan persamaan
Boltzmann diperluas bagi gas bereaksi yang pertama kali dikembangkan oleh
Prigogine dan Xhrouet, dimana faktor reaksi kimia dimasukkan begitu saja ke
persamaan Boltzmann dengan cara menambahkan suku yang mengandung
kebolehjadian reaksi.23 Pengaruh reaksi kimia yang muncul pada persamaan

Boltzmann tidak diturunkan secara sistematis melalui persamaan-persamaan


mekanika.

Persamaan Boltzmann diperluas bagi gas bereaksi kemudian diselesaikan dengan


cara gangguan Chapman dan Enskog untuk memperoleh ungkapan fungsi
distribusi sesuai dengan orde gangguan yang dibutuhkan. Sampai tahap
pendekatan kedua yang disebut tahap pendekatan Navier-Stokes, pengaruh reaksi
kimia dalam sistem gas tidak rapat satu komponen maupun majemuk muncul
sebagai faktor skalar dalam fungsi gangguan. Faktor ini tidak berpengaruh pada
gradien kecepatan rata-rata yang berbentuk tensor serta gradien suhu dan
konsentrasi yang berbentuk vektor. Dengan demikian koefisien viskositas,
hantaran kalor dan difusi tidak dipengaruhi oleh reaksi kimia. Kesimpulan
tersebut memperkuat prinsip Curie1,16,26 yang melarang pengaitan gaya-gaya
dengan orde ketensoran yang berbeda paritasnya.

Penyelesaian persamaan Boltzmann diperluas bagi gas bereaksi sampai tahap


Navier-Stokes tidak berhasil mengungkapkan pengaruh reaksi kimia pada gejalagejala transpor gas dalam sistem gas tidak rapat. Dengan demikian, perluasan
penelitian perlu dilakukan terhadap kemungkinan munculnya pengaruh reaksi
kimia pada proses transpor gas melalui tahap pendekatan lebih lanjut, yaitu tahap
pendekatan ketiga yang disebut pendekatan Burnett, karena pada tahap ini ada
peran dari efek-efek tak linear.10,37

Pengaruh reaksi kimia pada gejala-gejala transpor gas juga mempunyai


kemungkinan muncul dalam sistem gas yang viskositas bulk pada tensor
tekanannya tak nol. Pada viskositas bulk, yang berkaitan dengan divergensi
kecepatan berbentuk skalar, diharapkan pengaruh reaksi kimia muncul. Penelitian
ini antara lain dikembangkan untuk meneliti pengaruh reaksi kimia pada
viskositas bulk tersebut.

Tensor tekanan secara umum melibatkan tekanan hidrostatik, viskositas geser dan
viskositas bulk. Untuk gas monoatomik dalam sistem gas tidak rapat, viskositas

bulk sama dengan nol.6 Viskositas bulk tidak sama dengan nol diperoleh pada
sistem gas rapat.6 Viskositas bulk tak nol juga diperoleh pada gas poliatomik,
walaupun bernilai kecil.24 Dengan demikian, pada penelitian ini, pengaruh reaksi
kimia dari gas bermolekul identik diteliti dalam sistem gas rapat bereaksi atau
sistem gas berkerapatan molekul tinggi dimana reaksi kimia berlangsung.

Dalam penelitian ini, studi pengaruh reaksi kimia dilakukan secara analitik dalam
sistem gas rapat bermolekul identik. Pendekatan dalam penelitian ini berbeda dari
pendekatan Alves dan Kremer43 yang menggunakan sistem mendekati tahap akhir
reaksi sehingga sistem mendekati kesetimbangan kimia.

Penelitian ini mengembangkan persamaan Boltzmann diperluas, dimana


tumbukan-tumbukan reaktif dianggap cukup dini sehingga sistem jauh dari
kesetimbangan kimia. Pengembangan ini diterapkan dalam sistem gas rapat
bereaksi dan ditujukan untuk memperluas jangkauan kerapatan dari persamaan
Boltzmann diperluas bagi gas bereaksi. Pengembangan ini, lebih lanjut,
diharapkan menghasilkan ungkapan koreksi reaksi kimia pada koefisien-koefisien
transpor gas yang gagal diperoleh melalui penelitian terhadap gas tidak rapat
bereaksi.

Untuk memperoleh persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi


sekaligus memberikan landasan mekanik terhadapnya, maka penelitian ini diawali
dengan penurunan persamaan Boltzmann tersebut melalui pendekatan hirarki
BBGKY (Bogoliubov, Born, Green, Kirkwood, dan Yvon)5 dari persamaan
Liouville yang berhubungan dengan mekanika benda banyak. Gas dianggap tidak
terlalu rapat sehingga pengaruh tumbukan tiga benda dapat diabaikan melalui
hirarki orde dua. Melalui hirarki orde satu, kebolehjadian reaksi kemudian
disisipkan ke dalam antaraksi molekul yang dibatasi pada tumbukan dua benda
dari model molekul bola keras yang mengalami reaksi melalui model Present.25

Pada penelitian ini, kebolehjadian reaksi dimasukkan melalui persamaan BBGKY


untuk menurunkan persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi secara

sistematis. Karenanya, penelitian ini berbeda dari pendekatan Prigogine dan


Xhrouet. Walaupun demikian, pada kerapatan rendah, persamaan Boltzmann yang
diperluas tersebut menghasilkan pendekatan Prigogine dan Xhrouet kembali.

Persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi yang diperoleh melalui
penelitian ini kemudian diselesaikan dengan cara gangguan Chapman dan Enskog.
Hasilnya diterapkan untuk menentukan koefisien-koefisien transpor dalam sistem
gas rapat bereaksi atau sistem gas rapat dimana reaksi kimia berlangsung.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka pada bab II dilakukan penurunan


persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi. Bab III membahas
penyelesaian persamaan Boltzmann diperluas menggunakan teori gangguan cara
Chapman dan Enskog sampai pendekatan Navier-Stokes dan orde satu terhadap
kerapatan. Bab IV membahas penerapan hasil-hasil bahasan bab terdahulu untuk
menghasilkan ungkapan koefisien-koefisien transpor dalam gas rapat bereaksi.

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pada perbaikan


landasan teori bagi pengaruh reaksi kimia dalam teori kinetik gas, khususnya bagi
sifat-sifat transpor gas. Hasil penelitian lebih lanjut juga diharapkan dapat
memberi sumbangan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama pada
termodinamika tak reversibel.

BAB II
PERSAMAAN BOLTZMANN BAGI GAS RAPAT BEREAKSI

Teori kinetik gas berlandaskan persamaan Boltzmann mula-mula diterapkan pada


sistem gas tak rapat. Usaha pengembangan kemudian dilakukan untuk
memperluas jangkauan kerapatan yang selanjutnya menghasilkan ungkapanungkapan koreksi kerapatan pada koefisien-koefisien transpor.
Studi kali ini mempelajari sumbangan reaksi kimia dalam teori kinetik gas.
Pembahasan dilakukan pada sistem gas rapat berpartikel identik dimana reaksi
kimia berlangsung. Studi berkenaan dengan pengaruh reaksi kimia terhadap
transfer tumbukan pada koefisien-koefisien transpor gas dan mengabaikan
pengaruh reaksi kimia dari tumbukan tiga benda maupun tumbukan-tumbukan
berorde lebih tinggi. Hasil studi mewakili sumbangan utama reaksi kimia pada
koreksi kerapatan orde satu karena pengaruh reaksi dari tumbukan tiga benda baru
muncul pada koreksi kerapatan orde dua dan orde lebih tinggi.13

Penelitian ini menggunakan persamaan dasar berupa persamaan Boltzmann


diperluas bagi gas agak rapat dalam sistem bereaksi. Persamaan diturunkan dari
persamaan Liouville dengan menggunakan pendekatan persamaan BBGKY.
1. Persamaan Liouville
Keadaan sistem N -partikel dalam ruang fasa berdimensi 6N digambarkan oleh
fungsi distribusi orde N ,

f N = f N ( r N , v N ; t ) f N ( r1 ,..., rN , v1 ,..., v N ; t ) ,

(1)

dengan ri dan v i mewakili posisi dan kecepatan partikel ke i bermassa m pada


waktu t . Fungsi ini didefinisikan sedemikian rupa sehingga f N ( r N , v N ; t ) dr N dv N
menyatakan jumlah partikel yang terdapat dalam volum dr1...drN dv1...dv N di
sekitar titik

( r1 ,..., rN , v1..., v N ) ,

dengan

(r

, v N ) ( r1 ,..., rN , v1..., v N )

dan

dr N dv N dr1...drN dv1...dv N . Semua partikel identik sehingga bernilai tetap


terhadap permutasi dari partikel dengan faktor normalisasi N ! ,

f (r

Karena

, v N ; t ) dr N dv N = N !

partikel-partikel

bergerak

(2)

pada

lintasan

masing-masing

perkembangan waktu, maka laju perubahan fungsi distribusi

fN

dalam
dapat

diungkapkan dengan persamaan


df N f N N f N ri f N v i
=
+
i +
i

t i =1 ri t v i t
dt

(3a)

df N f N N f N i f N i
=
+
iri +
i vi .
t i =1 ri
v i
dt

(3b)

atau

Berdasarkan persamaan gerak Hamilton,44,45


i

ri =

1 H
m v i

dan v i =

1 H
,
m ri

(4)

serta pensubstitusiannya ke persamaan (3b) akan diperoleh persamaan


df N f N 1 N H f N H f N
i
i
=
+

t m i =1 v i ri ri v i
dt

(5)

dengan H merupakan Hamiltonian. Karena penelitian dititikberatkan pada


pengaruh reaksi kimia yang melibatkan potensial antaraksi dua partikel,

ij = ij ( ri j ) dengan ri j = ri rj , dimana potensial antaraksi tiga partikel dan


potensial antaraksi berorde lebih tinggi diabaikan, maka bagi sistem gas N partikel yang bukan gas ideal, H berbentuk
N

H =
i =1

mvi2
+
2

j > i =1

ij

(6)

Substitusi persamaan (6) ke persamaan (5) menyebabkan suku kedua persamaan


(5) menjadi

1 N N mvi2
+
m l =1 v l i =1 2

f N
N mvi2

rl rl i =1 2

ij i

j > i =1

f
1
= vi i N
ri m
i =1
N

f N

v l

ij i

j > i =1

ij f N ij f N
i
i
+

r
v
r
v

j > i =1
i
i
j
j

(7)

Hasil ini kalau disubstitusikan ke persamaan (5) akan membentuk persamaan

df N f N N
f
1
=
+ vi i N
dt
t i =1
ri m

ij f N ij f N
+
i
i
.
j > i =1
i v i r j v j
N

(8)

Dengan menggunakan notasi kurung siku Poisson, persamaan (5) dapat ditulis
sebagai

df N f N
=
+ [ H , fN ]
dt
t

(9)

dengan
1

i =1

[ H , ... ] = i
m
r v
i

H
i
v i ri

(10)

Karena jumlah dan volum sistem memenuhi transformasi kanonik,5 maka


kerapatan bernilai tetap terhadap perubahan waktu, df N dt = 0 . Sesuai dengan
ungkapan Liouville,44 fungsi distribusi
perkembangan

waktu.

Karena

itu,

N -partikel tidak berubah pada

perubahannya

memenuhi

persamaan

kontinuitas sederhana yang disebut persamaan Liouville5 dimana persamaan (9)


menjadi

f N
+ [H , fN ] = 0 .
t

(11)

Dengan mendefinisi operator Liouville, LN , yang diungkapkan melalui kurung


siku Poisson,

LN [ H ,

1 N H H
i i ,
m i =1 ri v i v i ri

(12)

10

persamaan (9) bisa ditulis sebagai

+ LN f N = 0 .
t

(13)

Berdasarkan definisi operator Liouville (12) dan definisi Hamiltonian bagi N partikel dari sistem gas bukan gas ideal (6) maka operator Liouville dapat ditulis
ulang ke dalam bentuk berikut,

LN = K N O N .

(14)

Pada persamaan ini, K N merupakan operator kinetik dan didefinisikan melalui


N

K N = xi

(15)

i =1

dengan

xi = v i i

.
ri

(16)

Sedangkan O N merupakan operator potensial antaraksi dan didefinisikan melalui


O N =

j > i =1

(17)

ij

dengan

ij =

1 ij ij
+
i
i

m ri v i r j v j

(18)

merupakan operator antaraksi antara partikel ke i dan partikel ke j . Berdasarkan


uraian ini, operator Liouville kemudian dapat ditulis ulang dalam bentuk
N

LN = x
i =1

j > i =1

ij

(19)

Dengan demikian, persamaan Liouville menjadi


N
f N N
+ x f N ij f N = 0 .
t i =1
j >i =1

(20)

2. Persamaan BBGKY
Bagi sistem makroskopis, penjelasan lengkap tentang perilaku seluruh N partikel
berorde 1023 tidak diperlukan.40 Yang dibutuhkan adalah informasi sejumlah

11

kecil,

s , partikel dengan

N . Untuk menggambarkan hal tersebut

f s ( x s ; t ) f s ( r1 ,..., rs , v1 ,..., v s ; t ) ,

diperkenalkan fungsi distribusi s -partikel,

yang diperoleh dari fungsi distribusi N-partikel melalui integrasi N - s fasa,


fs ( xs ; t ) =

1
f N ( x N ; t ) dxs +1...dxN .

( N s )!

(21)

Pada ungkapan di atas, fungsi distribusi orde N ditunjukkan oleh f N = f N ( x N ; t )


dengan xi = ( ri , v i ) , x N = x1 ,..., xN dan dx N = dx1...dxN = dr1...drN dv1...dv N . Pada
fungsi distribusi orde s , digunakan notasi x s = x1 ,..., xs .

Laju perubahan fungsi distribusi orde s dalam perkembangan waktu dapat


diungkapkan dengan cara mengintegrasi persamaan Liouville untuk N - s fasa,
1

N
+ LN f N ( x ; t ) dxs +1...dxN = 0

( N s )! t

(22a)

N
N

x
ij f N ( x N ; t ) dxs +1...dxN = 0 .

( N s )! t i =1
j > i =1

(22b)

atau

Persamaan ini melibatkan 3 suku integral. Penyelesaian suku pertama adalah


1

f N ( x N ; t ) dxs +1...dxN =
fs ( xs ; t ) .

( N s )! t
t

(23)

Penyelesaian suku kedua adalah


N
s
1
N

x
f
x
t
dx
dx
=
xi f s ( x s ; t ) .
;
...
(
)

i N
s +1
N

( N s)! i =1
i =1

(24)

Sedangkan penyelesaian suku ketiga adalah


N
1
ij f N ( x N ; t ) dxs +1...dxN

( N s )! j >i =1

f ( x ;t ) +
s

j >i =1

ij

i =1

i , s +1 s +1

(x

s +1

; t ) dxs +1.

(25)

Hasil akhir dari penyelesaian persamaan (22b) kemudian diperoleh dalam bentuk
suatu persamaan yang disebut sebagai persamaan BBGKY,5,12,24

12

f s ( x s ; t )
t

+ xi f s ( x s ; t )
s

i =1

f ( x ;t ) =
s

j > i =1

ij

i =1

i , s +1 s +1

(x

s +1

; t ) dxs +1

(26a)

atau
s

s
+
=
L
f
x
;
t
i , s +1 f s +1 ( x s +1 ; t ) dxs +1
)

s s(

i =1

(26b)

dengan
s

Ls = xi
i =1

j > i =1

ij

(27)

Persamaan BBGKY berbeda dari persamaan Liouville karena merupakan


persamaan berhirarki dengan bagian-bagian hirarki:

+ L1 f1 ( x1 ; t ) = 12 f 2 ( x1 , x2 ; t ) dx2 ,
t

(28a)

+ L2 f 2 ( x1 , x2 ; t ) = (13 + 23 ) f 3 ( x1 , x2 , x3 ; t ) dx3 ,
t

(28b)

dan seterusnya. Pada masing-masing tahap dalam hirarki tampak bahwa fungsi
distribusi di ruas kiri berorde satu lebih rendah dibandingkan yang di ruas kanan.
Dengan demikian, untuk memperoleh fungsi distribusi tunggal, f1 , diperlukan
informasi tentang fungsi distribusi pasangan, f 2 , dan seterusnya.
3. Penurunan persamaan Boltzmann bagi gas rapat bereaksi
Seperti dijelaskan di atas, untuk memperoleh harga f1 diperlukan informasi
tentang f 2 . Dengan demikian, sebelum menyelesaikan persamaan BBGKY orde
pertama (28a) maka perlu diperhatikan persamaan BBGKY orde dua (28b) untuk
memperoleh ungkapan bagi f 2 .

Pada kerapatan gas sangat rendah dapat digunakan andaian bahwa kebolehjadian
antaraksi tiga partikel sangat kecil. Sumbangan antaraksi tersebut dapat diabaikan
pada ruas kanan persamaan (28b), sehingga persamaan tersebut menjadi

+ L2 f 2 ( x1 , x2 ; t ) = 0
t

(29)

13

yang pada dasarnya merupakan persamaan Liouville untuk sepasang partikel.


Persamaan (29) mempunyai penyelesaian formal16
f 2 ( x1 , x2 ; t ) = e- L2 t f 2 ( x1 , x2 ; 0 )

(30)

yang tidak lagi memerlukan informasi tentang fungsi distribusi f 3 . Ungkapan

e- L2 t mewakili suatu operator aliran yang membawa fasa partikel ke keadaan t


melalui lintasan antaraksi partikel. Operator aliran ini, yang berlaku bagi gerak 2
partikel, kemudian ditulis dengan simbol
S (2)t (1, 2 ) e- L2 t .

(31)

Berikut adalah hasil penerapannya pada ungkapan (30),


f 2 ( x1 , x2 ; t ) = S (2)t (1, 2 ) f 2 ( x1 , x2 ; 0 ) ,

(32)

dimana secara eksplisit ditunjukkan pada partikel nomor berapa operator aliran
tersebut bekerja.

Sekarang perhatikan hirarki orde pertama persamaan BBGKY (28a). Dengan


mengabaikan pengaruh tumbukan tiga benda dan tumbukan-tumbukan berorde
lebih tinggi, penurunan persamaan ini untuk gas agak rapat menghasilkan
persamaan Boltzmann diperluas yang memperhitungkan koreksi kerapatan
sebagai sumbangan transfer tumbukan.13,14 Namun persamaan (28a) masih
bersifat umum dalam gas agak rapat. Persamaan tersebut belum menampakkan
keberadaan reaksi kimia akibat ada antaraksi berupa tumbukan reaktif
antarpartikel.

Dalam penelitian terhadap pengaruh reaksi kimia ini, dibahas tumbukantumbukan dari model molekul bola keras yang mengalami reaksi melalui model
Present.25 Reaksi kimia yang dipelajari hanya berdasarkan antaraksi reaktif dari
dua buah partikel yang bertumbukan sehingga tumbukan tiga benda maupun
tumbukan yang berorde lebih tinggi dapat diabaikan. Keadaan reaksi dianggap
cukup dini sehingga reaksi balik juga dapat diabaikan.

14

Bila kebolehjadian reaksi dalam antaraksi antarpartikel dinyatakan dengan ,


maka ruas kanan persamaan (28a) harus dimodifikasi dengan memperhitungkan
keberadaan antaraksi reaktif tersebut,

2
*
2
+ L1 f1 ( x1 ; t ) = dx2 (1 ) 12 f 2 ( x ; t ) + dx212 f 2 ( x ; t ).
t

(33)

Suku integral pertama di ruas kanan persamaan ini hanya melibatkan tumbukan
elastik, adapun suku integral kedua melibatkan tumbukan reaktif. Operator
antaraksi elastik ditandai dengan 12 , sedangkan operator antaraksi reaktif
ditunjukkan dengan 12* .

Untuk menyelesaikan persamaan (33) maka perlu diperhatikan bahwa waktu


pasca tumbukan t cukup panjang dibandingkan waktu tumbukan tc , t

tc .

Dengan demikian, kerja operator S ( 2t ) membawa fasa kedua partikel ke keadaan


pratumbukan, yaitu keadaan di luar jangkauan potensial antaraksi antarpartikel.
Partikel-partikel pada keadaan tersebut belum terkorelasi. Fungsi distribusi ganda
(32) karenanya merupakan produk dari fungsi distribusi tunggal,
lim S ( 2t ) (1, 2 ) f 2 ( x1 , x2 ;0 ) = lim S( 2t ) (1, 2 ) f1 ( x1 ;0 ) f1 ( x2 ;0 ) .
t

(34)

Di daerah pratumbukan, partikel-partikel bergerak mengikuti gerak partikel bebas.


Bagi partikel-partikel yang demikian, fungsi distribusi tunggal pada waktu t = 0
dapat dinyatakan sebagai
f1 ( xi ;0 ) = St(1) ( i ) f1 ( xi ; t )

(35)

1
dengan St( ) ( i ) adalah suatu operator yang bekerja dengan cara membawa fasa

partikel bergerak maju ke keadaan t melalui lintasan partikel bebas. Persamaan


(33) sekarang dapat ditulis ulang dengan menggunakan ungkapan (35) dan
persamaan (34) yang disubstitusikan ke persamaan (33) tersebut,

+ L1 f1 ( x1 ; t ) = dx2 (1 ) 12 S f1 ( x1 ; t ) f1 ( x2 ; t )
t

+ dx2 S f1 ( x1 ; t ) f1 ( x2 ; t ).
*
12

(36)

15

Pada persamaan (36) telah digunakan definisi dari gabungan operator aliran S ,
S lim S ( 2t ) ( i, j ) St(1) ( i ) St(1) ( j ) ,
t

(37)

yang bekerja dengan cara membawa kedua partikel berantaraksi mundur terhadap
waktu ke keadaan pratumbukan melalui lintasan antaraksi, kemudian membawa
partikel-partikel maju ke waktu semula melalui lintasan partikel-partikel bebas.

Kedua fungsi distribusi tunggal di ruas kanan persamaan (36) masih dievaluasi di
dua titik berbeda yaitu r1 dan r2 . Untuk mengevaluasi pada satu titik, operator
aliran S yang bekerja pada fasa kedua partikel saat bertumbukan dapat ditulis
dalam bentuk lain dengan menggunakan fungsi delta Dirac,
S f1 ( x1 ; t ) f1 ( x2 ; t ) = S ( r1 z1 ) ( r2 z 2 ) ( v1 1 ) ( v 2 2 )
f1 ( z1 , 1 ; t ) f1 ( z 2 , 2 ; t ) dz1dz 2 d1d2 .

(38)

Lokalisasi kedua fungsi distribusi tunggal di titik r1 pada persamaan (38)


dilakukan melalui perubahan koordinat-koordinat posisi partikel-partikel,

1
r1 = R r
2

(39a)

1
r2 = R + r .
2

(39b)

R adalah koordinat pusat massa dan r merupakan koordinat relatif sebagai jarak
antara kedua partikel. Berdasarkan hubungan ini,
S ( r1 z1 ) ( r2 z 2 ) = ( r1 + 12 r 12 r z1 ) ( r1 + 12 r + 12 r z1 ) ,

(40)

mengingat S hanya berpengaruh pada posisi relatif kedua partikel, tidak pada
koordinat pusat massa. Pengaruhnya pada persamaan di atas ditulis dalam bentuk
S r = r . Ruas kanan persamaan (40) dapat diuraikan secara Taylor disekitar r1 .
Hasil uraian, yang dibatasi pada suku-suku linear terhadap turunan fungsi delta,
adalah

16

( r1 + 12 r 12 r z1 ) ( r1 + 12 r + 12 r z 2 )
= ( r1 z1 ) ( r1 z 2 ) + 12 r ' ( r1 z1 ) ( r1 z 2 )

(41)

+ 12 r ( r1 z1 ) ' ( r1 z 2 ) + 12 r ( r1 z1 ) ' ( r1 z 2 )
12 r ' ( r1 z1 ) ( r1 z 2 ) + ....

Substitusi uraian Taylor (41) ini ke

persamaan (38) dan penerapannya ke

persamaan (36) menghasilkan

+ L1 f1 ( r1 , v1 ; t ) = (1 ) g12 i f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) drdv 2
r
t

+ 12 (1 ) g12 i r i1drdv 2
r

+ 12 (1 ) g12 i r i 2 drdv 2
r

(42a)

+ 12* f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) drdv 2
+ 12 12* r i1drdv 2
+ 12 12* r i 2 drdv 2 .
dengan g12 merupakan kecepatan relatif dari partikel ke 2 terhadap partikel ke 1.
Karena operator antaraksi reaktif, 12* , hanya bekerja dengan cara mengubah
partikel-partikel reaktan yang bertumbukan untuk menghasilkan produk reaksi
dan tidak bekerja pada jarak relatif antarpartikel maupun pada gradien fungsi
distribusi antarpartikel, maka suku integral kelima dan keenam di ruas kanan
persamaan

(42a)

dapat

diabaikan.

Persamaan

(42a)

kemudian

dapat

disederhanakan menjadi

+ L1 f1 ( r1 , v1 ; t ) = (1 ) g12 i f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) drdv 2
r
t

+ 12 (1 ) g12 i r i1drdv 2
r

+ 12 (1 ) g12 i r i 2 drdv 2
r

+ 12* f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) drdv 2 .

(42b)

17

Suku pertama sampai ketiga di ruas kanan persamaan (42b) mewakili sumbangansumbangan yang berkaitan dengan tumbukan elastik dimana suku kedua dan
ketiga di ruas kanan persamaan (42b) merupakan sumbangan transfer tumbukan.
Sumbangan ini muncul akibat ada gradien fungsi distribusi tunggal di antara
posisi kedua molekul bertumbukan yang ditunjukkan oleh fungsi-fungsi vektor 1
dan 2 , yaitu:
1 =

f1 ( r1 , v1 ; t )
f ( r , v ; t )
f1 ( r1 , v 2 ; t ) + f1 ( r1 , v1 ; t ) 1 1 2
r1
r1

(43)

f ( r , v ; t )
f ( r , v ; t )
2 = 1 1 2
f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) 1 1 1 .
r1
r1

Pengaruh kerja operator S pada kecepatan partikel ditandai dengan S v i = v i .


Suku keempat pada persamaan (42b) adalah sumbangan reaksi kimia.

Sekarang perhatikan suku integral pertama dan suku integral terakhir di ruas
kanan persamaan (42b). Kedua jenis antaraksi tersebut dievaluasi dalam koordinat
silindrik yang sumbu silindernya dibuat paralel dengan kecepatan relatif g12 .
Bila laju perginya partikel-partikel melalui tumbukan elastik maju diungkapan

f ( r , v ; t ) f ( r , v ; t )(1 ) g ( ) d dv

dengan

12

, yang dalam hal ini

( ) merupakan penampang lintang diferensial tumbukan dan merupakan


sudut ruang, dan laju perginya partikel-partikel melalui tumbukan reaktif maju

f ( r , v ; t ) f ( r , v ; t ) g ( ) d dv

dinyatakan dengan ungkapan

12

, maka

laju total perginya partikel-partikel melalui tumbukan maju ditentukan oleh


integral tumbukan

f ( r , v ; t ) f ( r , v ; t )g ( ) d dv
1

12

(44)

dengan f1 ( r1 , v i ; t ) menggambarkan fungsi distribusi tunggal pada awal dari


tumbukan maju. Bila

f ( r , v ; t ) f ( r , v ; t ) (1 ) g ( ) d dv dv
1

'
1

'
2

12

mewakili

laju masuknya partikel-partikel melalui tumbukan elastik balik dan karena


tumbukan reaktif hanya berlangsung searah, yaitu menuju pembentukan hasil
reaksi yang pada reaksi cukup dini tidak menghasilkan tumbukan reaktif balik,

18

maka laju masuk total partikel-partikel melalui tumbukan balik hanya


memperhitungkan tumbukan elastik balik yang diungkapkan dengan

f ( r , v ; t ) f ( r , v ; t ) (1 ) g ( ) d dv
1

'
1

'
2

12

(45)

dimana f1 ( r1 , v i' ; t ) menggambarkan fungsi distribusi tunggal pada akhir dari


tumbukan elastik maju atau pada awal dari tumbukan balik. Berdasarkan hal ini
maka hasil evaluasi terhadap suku integral pertama dan suku integral keempat di
ruas kanan persamaan (42b), yang menunjukkan selisih dari laju masuk dengan
perginya partikel-partikel melalui tumbukan, adalah

(1 ) g

12

f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) drdv 2
r
+ 12* f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) drdv 2

= f1 ( r1 , v ; t ) f1 ( r1 , v ; t ) f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) g12 ( ) d dv 2
'
1

(46)

'
2

f1 ( r1 , v1' ; t ) f1 ( r1 , v '2 ; t ) g12 ( ) d dv 2 .

Substitusi persamaan (46) ke persamaan (42b) menghasilkan persamaan


Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi,

W f1 ( v1 ) = f1 ( v1' ) f1 ( v '2 ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) g12 ( ) d dv 2


f1 ( v1' ) f1 ( v '2 ) g12 ( ) d dv 2

+ 12 (1 ) g12 i r i1drdv 2
r

+ 12 (1 ) g12 i r i 2 drdv 2 .
r

(47)

Pada persamaan di atas telah digunakan notasi W = ( / t + L1 ) dan juga telah


digunakan penyingkatan notasi bagi fungsi distribusi tunggal, f1 ( r1 , v i ; t ) = f1 ( v i )
serta f1 ( r1 , v i' ; t ) = f1 ( v i' ) .

Suku kedua di ruas kanan persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi
(47) menunjukkan sumbangan reaksi kimia. Suku ketiga dan keempat
menunjukkan ketakseragaman ruang antaraksi dalam gas rapat yang dirujuk
sebagai sumbangan transfer tumbukan. Pada sumbangan transfer tumbukan

19

terhadap persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat dalam sistem bereaksi
tersebut terlihat ada pengaruh reaksi kimia dalam faktor (1 ) .

BAB III
PENYELESAIAN PERSAMAAN BOLTZMANN DIPERLUAS

1. Metode Penyelesaian Persamaan Boltzmann


Perhatikan sistem gas rapat satu komponen dimana reaksi kimia berlangsung
secara sederhana,

A + A produk .

(48)

Keadaan sistem dianggap cukup dini sehingga tumbukan reaktif balik dapat
diabaikan. Berikut adalah persamaan Boltzmann diperluas untuk sistem semacam
ini, setelah mengabaikan tumbukan tiga benda maupun tumbukan berorde lebih
tinggi, yang disusun ulang dari persamaan (47),

W f1 = J e + J1 + J 2 J r .

(49)

Suku pertama di ruas kanan merupakan sumbangan tumbukan elastik J e ,

( )

Je = f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) f1 v '1 f1 ( v '2 ) g12 ( ) d dv 2 .

(50)

Suku kedua dan ketiga merupakan koreksi kerapatan yang dirujuk sebagai
sumbangan transfer tumbukan akibat keberadaan gradien fungsi distribusi di
antara kedua inti molekul yang bertumbukan sehingga terjadi perpindahan sesaat
momentum maupun energi kinetik dari inti satu molekul ke inti molekul lain pada
saat bertumbukan dimana sumbangan transfer tumbukan ini telah dipengaruhi
oleh reaksi kimia yang diperlihatkan oleh faktor (1 ) ,

J1 =

(1 ) g12 i ri1drdv 2

2
r

(51a)

J2 =

(1 ) g12 i ri 2 drdv 2 .

2
r

(51b)

Suku keempat merupakan sumbangan tumbukan reaktif antara partikel 1 dengan


partikel 2,

( )

J r = f1 v '1 f1 ( v '2 ) g12 ( ) d dv 2 .

(52)

21

Tumbukan antarpartikel menyebabkan suatu besaran i , yang merupakan fungsi


kecepatan v i , mengalami perubahan terhadap waktu. Laju perubahan harga ratarata diperoleh melalui perkalian besaran tersebut dengan persamaan Boltzmann
(49), kemudian diintegrasi dalam ruang kecepatan v1 ,

iW f1 ( v1 ) = i J e + i J1 + i J 2 i J r .

(53)

Disini telah digunakan notasi ... sebagai integral terhadap ruang kecepatan v1 ,

... = ... dv1 .

(54)

Substitusi ungkapan (50) ke suku pertama ruas kanan persamaan (53) diikuti
simetrisasi menghasilkan

i J e = 14 ( 1 + 2 1' 2' ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) f1 ( v ' ) f1 ( v '2 ) g12 ( ) d dv 2 dv1


1

(55)
yang menyatakan perubahan i akibat tumbukan elastik. Bagi besaran-besaran
yang bersifat kekal dalam tumbukan, persamaan sama dengan nol karena

1 + 2 = 1' + 2' .

(56)

Besaran i semacam itu dikenal sebagai summational invariant. Besaranbesaran tersebut adalah massa, momentum dan energi kinetik

i = m ; mVi ;

1
2

mVi 2 .

(57)

Di sini Vi merupakan kecepatan termal atau kecepatan relatif partikel terhadap


kecepatan alir gas, yaitu
Vi = v i u .

(58)

Sedangkan u merupakan kecepatan alir gas atau kecepatan rata-rata gas,

u=

1
v i f1 ( ri , v i ; t ) dv1 ,
n

dan n merupakan rapat cacah partikel.

(59)

22

Karena definisi (56) bagi besaran-besaran yang kekal terhadap waktu kalau
disubstitusikan ke persamaan (55) menyebabkan persamaan tersebut sama dengan
nol, maka persamaan perubahan (53) kemudian bisa direduksi menjadi lebih
sederhana,

iW f1 ( v1 ) = i J1 + i J 2 i J r .

(60)

Berdasarkan hal ini maka ada tiga macam persamaan perubahan diperoleh untuk
tiga harga i , yaitu:
1.1. Persamaan kontinuitas untuk i = 1 ,

W f1 ( v1 ) = J1 + J 2 J r .

(61)

1.2. Persamaan gerak atau persamaan neraca momentum untuk i = mVi ,

m V1W f1 ( v1 ) = m V1 J1 + m V1 J 2 m V1 J r .

(62)

1.3. Persamaan neraca energi untuk i = 12 mVi 2 ,

1
1
1
1
m V12W f1 ( v1 ) = m V12 J1 + m V12 J 2 m V12 J r .
2
2
2
2

(63)

Persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi (49) yang merupakan
persamaan integrodiferensial disusun ulang dalam bentuk berikut agar dapat
diselesaikan dengan cara gangguan yang dikembangkan oleh Chapman-Enskog,
J e = W f1 + J1 + J 2 J r .

(64)

Bila ruas kiri persamaan sama dengan nol,


Je = 0 ,

(65)

maka persamaan (65) ini mempunyai penyelesaian berupa fungsi distribusi


Maxwell-Boltzmann,

m
f1 ( v1 ) = n

2 kT

32

e mV1

2 kT

(66)

sebagai fungsi distribusi pada keadaan setimbang, f e , dengan T merupakan suhu


Kelvin. Fungsi distribusi ini dinormalisasi melalui10,24

23

f dv
e

= n,

mV f dv
1 e

(67a)

= 0,

(67b)

1
3
m V12 f e dv1 = nkT .
2
2

(67c)

Karena persamaan (65) menggambarkan keadaan setimbang dengan penyelesaian


berupa fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann, maka ruas kanan persamaan (64)
bisa dianggap sebagai gangguan dari kesetimbangan. Interpretasi ini dapat
diterima karena W f1 mengandung gradien-gradien besaran makroskopis n , u ,
dan T . Sedangkan J1 dan J 2 memperlihatkan koreksi ketakseragaman ruang
antaraksi akibat ada gradien fungsi distribusi di antara posisi kedua molekul
bertumbukan. Adapun J r menggambarkan gangguan oleh reaksi kimia. Untuk
menerapkan teori gangguan digunakan parameter gangguan yang berbanding
lurus dengan gradien-gradien besaran makroskopis, koreksi kerapatan dan afinitas
reaksi. Untuk selanjutnya, persamaan (64) ditulis dalam bentuk
J e = [ W f1 + J1 + J 2 J r ] .

(68)

Persamaan tersebut yang diselesaikan dengan metode gangguan diharapkan


menghasilkan

fungsi

distribusi

f1 = f1 ( v i )

yang

diungkapkan

dalam

pengembangan di sekitar kesetimbangan, f1( 0) = f e , yaitu


f1 = f1( 0) + f1(1) + 2 f1( 2) + ....

(69)

Agar normalisasi pada persamaan (67a) sampai (67c) terjaga untuk setiap harga

, maka fungsi-fungsi koreksi f1( r ) ; r = 1, 2,....; pada uraian (69) harus memenuhi
persyaratan
( )
f ( v ) dv
r

=0,

( )
mV f ( v ) dv
r

1 1

= 0,

1
r
m V12 f1( ) ( v1 ) dv1 = 0 .
2

(70a)
(70b)
(70c)

24

Penerapan uraian (69) ke persamaan (68) menghasilkan persamaan berikut,

( f ( ) + f ( ) +

J e( ) + J e( ) + 2 J e( ) + ... = W
0

f1( ) + ...
2

+ J1( 0) + 2 J1(1) + 3 J1( 2) + ...


( 0)

(1)

( 2)

+ J 2 + J 2 + J 2 + ...
2

(71)

J r( 0) 2 J r(1) 3 J r( 2) ...
Persamaan lebih lanjut dikelompokkan berdasarkan orde parameter gangguan,

0 : J e( 0) = 0 ,

(72a)

1 : J e(1) = W f1( 0) + J1( 0) + J 2( 0) J r( 0) ,

(72b)

2 : J e( 2) = W f1(1) + J1(1) + J 2(1) + J r(1) ,

(72c)

dan seterusnya. Berikut adalah notasi-notasi yang terkait dengan J e ,16

(
)
J ( ) = J ( f ( ), f ( ) ) + J ( f ( ), f ( ) ),
J ( ) = J ( f ( ), f ( ) ) + J ( f ( ), f ( ) ) + J ( f ( ), f ( ) ),
J e( 0) = J f1( 0) , f1( 0) ,
1
e

(73)

dan seterusnya. Sedangkan yang berikut adalah notasi-notasi terkait dengan J r ,

(
)
J ( ) = J ( f ( ), f ( ) ) + J ( f ( ), f ( ) ),
J ( ) = J ( f ( ), f ( ) ) + J ( f ( ), f ( ) ) + J ( f ( ), f ( ) ),
J r( 0) = J r f1( 0) , f1( 0) ,
1

(74)

dan seterusnya. Berdasarkan hal ini maka persamaan Boltzmann akan diselesaikan
secara bertahap.

2. Tahap Pendekatan Euler


Penyelesaian persamaan Boltzmann pada tahap pendekatan terendah diperoleh
dari persamaan (72a). Tahap pendekatan ini disebut sebagai tahap pendekatan
Euler.5,10,24 Hasil penyelesaian berupa fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann atau
fungsi distribusi pada keadaan setimbang,
32

m mV12
f1( 0) = f1( 0) ( v1 ) = n
e
2 kT

2 kT

(75)

25

Pembuktiannya dapat dilihat pada lampiran B.

Persamaan

perubahan

pada

pendekatan

orde

nol

diperoleh

dengan

0
mensubstitusikan f1( ) ( v1 ) ke persamaan (60),

iW f1( 0) ( v1 ) = i J1( 0) + i J 2( 0) i J r( 0) .

(76)

0
Ungkapan W f1( ) ( v1 ) di ruas kiri persamaan dapat ditulis dengan notasi lebih

panjang setelah menggunakan definisi operator mobil D Dt seperti ditunjukkan


pada lampiran A,
D i
Dn i
Du i

+ n i
iu + in V1 i n
+ V1 i i +
i
Dt
r1
r1
r1 Dt V1
Dt

u
( 0)
( 0)
( 0)
i V1 :
= i J1 + i J 2 i J r .
V1
r1
Persamaan

i = 1 ; mVi ;

lalu
1
2

dievaluasi

dengan

mensubstitusikan

(77)

berturut-turut

mVi 2 . Berikut adalah hasil evaluasi yang berbentuk tiga

persamaan perubahan pada tahap Euler:


2.1. Persamaan kontinuitas,

Dn

0
= n iu n 2 kr( ) ,
Dt
r1

(78)

2.2. Persamaan gerak atau persamaan neraca momentum,

Du
1
0
iP ( ) ,
=
r1
Dt

(79)

2.3. Persamaan neraca energi,

DE ( )

0
0
= E( ) + p
iu 12 m V12 J r( )
Dt
r1
0

(80)

Laju reaksi pada tahap Euler ditunjukkan melalui ungkapan23,25,37


vr( ) = n 2 kr(
0

0)

= f1( 0) ( v1' ) f1( 0) ( v '2 ) g12 ( )d dv 2 dv1.

(81a)

26

Dengan demikian, tetapan laju reaksi k r( 0 ) pada tahap pendekatan Euler berbentuk

kr( ) =
0

1
n2

( )
( )
f ( v ) f ( v ) g ( )d dv dv .
0

'
1

'
2

12

Pada persamaan gerak di atas, P (

0)

(81b)

merupakan tensor tekanan pada pendekatan

orde nol

P (0) = pU

(82)

dengan p merupakan tekanan hidrostatik


p = nkT + n 2 kTB

(83)

dan U merupakan tensor satuan. Notasi B menandai koefisien virial kedua yang
muncul akibat ada koreksi kerapatan pada persamaan keadaan.24 Koefisien virial
ini berkaitan dengan potensial antaraksi melalui2,16

B = B (T ) = 12 e12 / kT 1 dr .

(84)

Notasi menandai kerapatan total,

= nm .

(85)

Pada persamaan neraca energi (80) telah digunakan ungkapan kerapatan energi
yang didefinisikan oleh Susanto Imam Rahayu,16 dimana kerapatan energi pada
tahap Euler E ( ) didefinisikan melalui
0

E (0)

1
1
0
m V12 f1( ) ( v1 ) dv1 + 12 f 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t ) drdv 2 dv1 .
2
2

(86)

Bentuknya tidak hanya melibatkan energi kinetik translasi melainkan juga


melibatkan energi potensial antaraksi antara partikel-partikel bertumbukan.
Mengikuti kefungsionalannya terhadap n dan T , maka perubahan E (

0)

terhadap

waktu diperoleh dari hubungan sebagai berikut,


0
0
0
DE ( ) E ( ) DT E ( ) Dn
=
+
.

Dt
T n Dt n T Dt

(87)

27

Pada pendekatan Euler ini, kerapatan energi dinyatakan oleh

E( ) =
0

3
dB
nkT n 2 kT 2
.
2
dT

(88)

Sekarang perhatikan suku terakhir persamaan (80) yang ditulis dengan ungkapan
lebih panjang,

( )

1
1
0
0
0
m V12 J r( ) = mV12 f1( ) v 1 f1( ) ( v 2 ) g12 ( ) d dv 2 dv1 ,
2
2
dengan menggunakan f1(

0)

(v ) f ( ) (v ) = f ( ) (v ) f ( ) (v )
'
1

'
2

(89)

bagi fungsi distribusi

dalam keadaan setimbang. Suku tersebut menggambarkan laju perubahan energi


akibat reaksi kimia.

Ungkapan (89) dapat ditulis ulang dengan cara lain setelah melakukan simetrisasi,
1
0
m V12 J r( )
2
1 1
1
0
0
= mV12 + mV22 f1( ) v 1 f1( ) ( v 2 ) g12 ( ) d dv 2 dv1.
2 2
2

( )

(90)

Evaluasi terhadap persamaan ini dilakukan dengan mengubah kecepatan partikelpartikel ke kecepatan pusat massa G dan kecepatan relatif g12 ,

1
V1 = G g12 ,
2
1
V2 = G + g12 .
2

(91)

Berdasarkan perubahan koordinat tersebut maka diperoleh ungkapan bagi laju


perubahan energi akibat reaksi kimia,
( )
1
3 2
( 0) 1 2
2 ( 0)
2 dk r
m V1 J r = n kTkr + n kT
.
2
2
2
dT
0

(92)

28

Dengan demikian, persamaan (87) dapat ditulis ulang dalam bentuk sebagai
berikut

DE ( )

1
d ( 0)
3
0
= E( ) + p
iu n 2 kT + n 2 kT 2
kr .
2
Dt
dT
r1
2
0

(93)

Untuk menentukan persamaan perubahan bagi suhu T diperlukan ungkapan


kapasitas kalor Cv ,

E ( 0)
3 4
dB 2 2 d 2 B
=

+ nT
Cv =
nk
1
nT
.

T
2
3
dT
3
dT

(94)

Penurunan persamaan perubahan tersebut diperoleh dengan cara mensubstitusikan


persamaan (87) ke ruas kiri persamaan (93),
0
DT
1 E ( ) Dn 1

iu
=

E ( 0) + p

Dt
Cv n T Dt Cv
r1
1 3
1
d ( 0)
n 2 kT + n 2 kT 2
kr .
2
Cv 2
dT

(95)

Berikut adalah penulisan ulang persamaan (95) setelah disubstitusi dengan


persamaan kontinuitas (78),

DT
n E ( 0)
1

0
E( ) + p
=
iu
iu

Dt Cv n T r1
Cv
r1

1 E ( 0) 2 ( 0) 1 3 2
1 2 2 d ( 0)
+
n kr n kT + n kT
kr .
Cv n T
Cv 2
2
dT

(96)

Dalam hal ini,


0
1 E ( ) 2 ( 0) 1 3 2
( 0)
3
2 dB ( 0 )
kr .

n kr =
n kTkr n kT
Cv n T
Cv 2
dT

(97)

Berdasarkan hal-hal di atas maka diperoleh bentuk akhir persamaan perubahan


bagi suhu T ,
0
1 1 2 2 dkr( )
DT
T p
dB ( 0)
n
kT
kr .
i
u
=

+ n3kT 2

Dt
Cv T n r1
Cv 2
dT
dT

(98)

29

3. Tahap pendekatan Navier-Stokes


Setelah ungkapan fungsi distribusi f1( 0) diperoleh melalui pendekatan Euler, pada
pendekatan kedua yang juga disebut tahap pendekatan Navier-Stokes ditentukan
ungkapan bagi f1(1) . Ini diperoleh dengan cara mengevaluasi persamaan integral
linier tak homogen (72b) yang bisa ditulis kembali dalam bentuk sebagai berikut,
W f1( 0) + J1( 0) + J 2( 0) J r( 0) = J e(1) .

(99)

Suku integral di ruas kanan secara prinsip sama dengan bentuk kedua dari
ungkapan (73),

J e( ) = J f1( ) , f1(
1

0)

) + J ( f ( ), f ( ) ) .
0

(100)

Pada tahap pendekatan Navier-Stokes, fungsi distribusi mengandung koreksi


pertama sehingga dapat ditulis dalam bentuk

f1 = f1(0) + f1(1)

(101a)

= f1(0)(1 + ).

Ke dalam ungkapan fungsi distribusi ini telah dimasukkan fungsi gangguan orde
pertama melalui penulisan koreksi pertama dalam bentuk
f1( ) = f1( ) ,
1

(101a)

dimana merupakan fungsi gangguan yang akan ditentukan.

Kalau dilakukan pendefinisian I ( ) sebagai suatu integral dengan kernel


simetrik,

1 (1)
Je
n2
1
= 2 f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) { + 1 ' + 1' } g12 ( )d dv 2 ,
n

I ( ) =

(102)

maka persamaan (99) bisa ditulis dalam bentuk lain,


W f1( ) + J1( ) + J 2( ) J r( ) = n 2 I ( ) ,
0

(103)

30

yang merupakan persamaan integral linier tak homogen dari fungsi gangguan .
Persamaan ini dapat diselesaikan dengan cara mengkombinasikan penyelesaian
persamaan homogen dengan penyelesaian khususnya.

Bila persamaan (103) dikalikan dengan fungsi sebarang i kemudian diintegrasi


atas ruang kecepatan v1 , diperoleh persamaan sebagai berikut
iW f1(

0)

( v1 )

+ i J1(

0)

+ i J 2(

0)

i J r(

0)

= n 2 i I ( ) .

(104)

Integral di ruas kanan persamaan ini mempunyai bentuk

i I ( ) = f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) i { + 1 ' + 1' } g12 ( )d dv 2 dv1 .

(104a)

Melalui simetrisasi, ruas kanan ungkapan ini dapat ditulis sebagai

1
0
0
f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) { + i ' + i' }{ + 1 ' + 1' } g12 ( )d dv 2 dv1.
4
(104b)

Di sisi lain, ungkapan (104b) juga dapat dianggap sebagai hasil simetrisasi dari
integral

I ( i ) = f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) { + i ' + i' } g12 ( )d dv 2 dv1 .

(104c)

Bila ungkapan (104a) dibandingkan dengan ungkapan (104c), diperoleh bukti


bahwa

i I ( ) = I ( i ) ,

(105)

Ungkapan ini menunjukkan bahwa bila i merupakan penyelesaian dari


persamaan homogen
I ( i ) = 0

(106)

maka integral di ruas kiri (105) sama dengan nol sehingga integral di ruas kanan
persamaan (104) juga sama dengan nol. Dengan demikian, ruas kiri persamaan

31

(103) sebagai bagian tak homogen harus ortogonal terhadap semua penyelesaian
persamaan (106), yaitu
iW f1(

0)

( v1 )

+ i J1(

0)

+ i J 2(

0)

i J r(

0)

=0

(107)

Akibat kekekalan harga pada tumbukan, dapat dibuktikan bahwa ketiga


summational invariant, i = 1 ; mVi ;

1
2

mVi 2 ,

merupakan penyelesaian dari

persamaan (106). Dengan demikian, persamaan (107) pada dasarnya merupakan


persamaan Euler atau persamaan perubahan orde nol (76).

Sesuai teori tentang penyelesaian persamaan integral tak homogen, penyelesaian


umum diperoleh dengan cara menambahkan suatu penyelesaian khusus pada
penyelesaian persamaan homogennya. Untuk memperoleh penyelesaian khusus
persamaan (103), perlu dilakukan pengungkapan ruas kirinya. Suku pertama di
ruas kiri persamaan tersebut adalah

W f1( 0) =

f1( 0)
f ( 0)
+ v1 i 1
t
r1

sesuai pendefinisian W

(108)

pada persamaan (9) dapat ditulis dengan cara lain seperti

ditunjukkan pada lampiran A,

D ln f1( 0)
ln f1( 0) Du ln f1( 0) ln f1( 0)
u ( 0)
+ V1 i

i
V:
f1 .
Dt
Dt
r
V
V
r

1
1
1
1

W f1( 0) =

Adapun f1( ) = f1(


0

0)

(109)

( v1 ) merupakan fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann.

Dengan melakukan substitusi ketiga persamaan perubahan Euler pada turunan


terhadap waktu yang dihasilkan, maka suku pertama dalam kurung di ruas kanan
persamaan (109) menjadi
0

D ln f1( ) 3 mV12 1 p
=

1 iu
Dt
2 2kT Cv T n r1
0
dk ( )
dB ( 0)
1 3 mV 2 1
0
kr nkr( ) .
+ 1 n 2 kT 2 r + n3 kT 2
Cv 2 2kT 2
dT
dT

(110)

32

Suku kedua dan ketiga menjadi


ln f1( ) Du ln f1(
i

Dt
r1
V1
0

V1 i

0)

5 mV 2
dB
ln T
ln n

= 1 + n B + T
2nBV1 i
.
V1 i
r1
r1
dT

2 2kT

(111)

Suku terakhir setelah menggunakan definisi tensor tak divergen,

1
X1X1 = X1X1 X 12U ,
3

(112)

dan perkalian titik dua buah tensor,

U:

=
iu ,
r1 r1

(113)

bisa ditulis sebagai

ln f1( 0)
u m
u 1 mV12
iu .
V
V
V

=
+
1:
1 1:
V1
r1 kT
r1 3 kT r1

(114)

Dari (110), (111), dan (114) serta dengan mendefinisi variabel tanpa dimensi W1 ,
1/ 2

m
W1 =

2kT

V1 ,

(115)

maka persamaan (109) menjadi


( 0)

W f1

1/ 2
dB
ln T
u
2kT 5

2
=
+ 2 W1W1 :
W1 + n B + T
W1 i
r1
r1
dT

m 2

2 3
7 dB 2 2 d 2 B

+ n W12 B + T
T
iu
3 2
3 dT 3 dT 2 r1

1/ 2

8kT
2

nBV1 i

ln n
r1

dB 2 2 d 2 B 3
dkr( )
dB ( 0)
2 4
2 1
2
nT

+
W
nT
n
T
kr
+ 1 + nT

1
dT 3
dT 2 2
dT
dT
3 3
2

3 0 0
nkr( ) f1( ) .
2

(116)

33

Sekarang perhatikan fungsi vektor

1 dan 2 dari persamaan (43) yang

merupakan bagian dari J1( 0) dan J 2( 0) . Kedua fungsi vektor tersebut dapat ditulis
dengan cara lain, yaitu:
ln n
m
1 = 2
3
kT
r1

u 0
2 1 2 ln T m
0
G i f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) (117a)
+
G + g
kT
4 r1
r1

ln T
u 0
m
0
+ g i f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) .
( G ig )
r1
r1
kT

2 =

(117b)

Penulisan 1 dan 2 seperti di atas diperoleh setelah menggunakan definisi G ,


G=

V1 + V 2
,
2

(118)

sebagai kecepatan pusat massa dan definisi g ,

g = V 2 V1 ,

(119)

sebagai kecepatan relatif awal, sesaat sebelum tumbukan, antara partikel ke 2


terhadap partikel ke 1. Berdasarkan

bentuk fungsi vektor

1 dan 2 dari

persamaan (117a) dan (117b), maka J1( 0) dan J 2( 0) menjadi

J1( 0) = (1 ) g12 i

ln n ( 0)
irf1 ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2
r r1

2 1 2 ln T ( 0)
irf1 ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2
G + g
4 r1

(120)
1
m

u ( 0)
( 0)
+
(1 ) g12 i Gr ( G ir )U : f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2
3
kT
r
r1

1

m
(1 ) g12 i 3

2
r kT

m
3kT

(1 ) g

12

( G ir ) iuf1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2


r
r1

dan

J1( ) =

m
2kT

(1 ) g

12

ln T ( 0)
0
irf1 ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2
( G ig )
r
r1

m
2kT

(1 ) g

12


1
u ( 0)
0
f1 ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2
gr ( g ir ) U :

r
3
r1

m
3kT

(1 ) g

12

( gir ) iuf1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2


r
r1

(121)

34

Berikut adalah hasil pensubstitusian (116), (120) dan (121) ke ruas kiri persamaan
(103) yang disertai pengelompokan masing-masing suku sesuai jenis gradien dari
besaran-besaran makroskopis,

K i

ln T
u

L :
M
iu N = n 2 I ( ) .
r1
r1
r1

(122)

Harga-harga terkait dengan vektor K , tensor L , skalar M dan N adalah

5 mV12
( 0)
+
1
nB
(
)
W1 f1 ( v1 )
2 2kT

1
m 2 1 2 ( 0)
( 0)
+ (1 ) g12 i 3
G + g r f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2
r kT
2
4
1/ 2

2kT
K =

m
2kT

(1 ) g

12

(123a)

( G ig ) r f1(0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 ,


r

L = 2 W1W1 f1( 0) ( v1 )

m
kT

m
2kT

M=

(1 ) g

12

(1 ) g


1
0
0
Gr ( G ir ) U f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2

r
3

12

(123b)


1
0
0
gr ( g ir ) U f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2 ,

r
3

2 3
7 dB 2 2 d 2 B ( 0)

T
n W12 B + T
f1 ( v1 )
3 2
3 dT 3 dT 2

m
3kT
m

6kT

( G ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2


r

( 0)
( 0)
(1 ) g12 i r ( gir ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2 ,

(1 ) g

12

(123c)

dkr( )
dB 2 2 d 2 B 3
dB ( 0) ( 0)
2 4
2 1
nT

+ n 2T
N = 1 + nT
W
nT
kr f1 ( v1 )

1
2
dT 3
dT 2
dT
dT
3 3
2

nkr( 0) f1( 0) ( v1 ) + J r( 0) .
(123d)
Setara dengan ruas kiri persamaan (122) maka fungsi gangguan juga dihasilkan
sebagai kombinasi lurus gradien besar-besaran makroskopis,

= Ai

ln T
u

B :
C iu H .
r1
r1
r1

(124)

35

Pada persamaan ini, A adalah besaran vektor, B merupakan tensor tak divergen
atau tensor tanpa trace, C dan H adalah skalar.

Pensubstitusian persamaan (124) ke persamaan (122) disertai penyetaraan


gradien-gradien ruas kiri dengan ruas kanan menghasilkan harga A , B , C dan

H sebagai penyelesaian khusus bagi masing-masing persamaan integral


n2 I ( A ) = K ,

(125a)

n2 I (B ) = L ,

(125b)

n2 I (C ) = M ,

(125c)

n2 I ( H ) = N .

(125d)

Syarat keterselesaian persamaan-persamaan integral tak homogen ini adalah


ketakhomogenan ruas kanan harus ortogonal terhadap penyelesaian persamaan
homogen di ruas kiri,13,16 yaitu:

K dv

= 0,

(126a)

L dv

=0,

(126b)

M dv

=0,

(126c)

N dv

= 0.

(126d)

Kondisi ini dipenuhi oleh i yang merupakan besaran-besaran invarian pada


tumbukan. Pembuktiannya dapat dilihat pada lampiran C.

Besaran-besaran A , B , C dan H bergantung hanya pada vektor W1 sehingga


sesuai sifat ketensoran bisa ditulis dalam bentuk
A = A (W1 ) W1 ,

(127a)

B = U (W1 ) W1W1 ,

(127b)

C = C (W1 ) ,

(127c)

H = H (W1 ) .

(127d)

36

Skalar A , U , C dan H ditentukan dengan menggunakan polinom Sonine


( n)

Sm

( m + n )!( x ) .
( x) =
p = 0 ( m + p ) !( n 1) ! p !
p

(128)

Adapun uraian perorde polinom Sonine adalah:


S m( ) ( x ) = 1 ,

(128a)

S m( ) ( x ) = m + 1 x ,

(128a)

S m( ) ( x ) =
2

( m + 1)( m + 2 ) x
2

( m + 2) +

x2
2

(128c)

dan seterusnya. Disamping itu, polinom Sonine memiliki sifat koortogonalan

e Sm( ) ( x ) Sm( ) ( x )dx = 0

m x

;nq

( m + n + 1)
; n = q.
n!

(129)

Fungsi gangguan berupa vektor A diperoleh sebagai penyelesaian persamaan


(125a). Vektor A yang dihasilkan hanya bergantung pada W1 sehingga dapat
ditunjukkan dalam suatu ungkapan sesuai orde ketensoran seperti diperlihatkan
pada persamaan (127a). Adapun skalar A (W1 ) seperti ditunjukkan persamaan
tersebut ditentukan dengan suatu polinom Sonine.

Polinom

Sonine

untuk

mengungkapkan

A (W1 )

dipilih

berdasarkan

ketakhomogenan K pada (123a) yang dapat ditulis ulang dengan menggunakan


notasi-notasi dari suatu polinom Sonine,
1/ 2

2kT
K =

(1 + nB ) S3/(1)2 (W12 ) W1 f1( 0) ( v1 )

1

m
(1 ) g12 i 3

2
r kT

m
2kT

(1 ) g

12

2 1 2 ( 0)
( 0)
( 0)
2
G + g r f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) S3/ 2 (W1 ) drdv 2
4

( G ig ) r f1( 0) ( v1 ) f1(0) ( v 2 ) S3/( 02) (W12 ) drdv 2 .


r
(130)

37

Bentuk K yang melibatkan polinom-polinom Sonine S3/( )2 (W12 ) menyebabkan


i

A (W1 ) diuraikan dalam polinom-polinom sejenis,

A (W1 ) = ai S3/( i )2 (W12 ) .

(131)

i =0

Perhatikan bentuk-bentuk normalisasi (67a) (67c). Agar normalisasi tersebut


tetap terjaga dengan adanya pendefinisian kerapatan energi (86), maka fungsifungsi koreksi f1( r ) ; r = 1, 2,....; harus memenuhi persyaratan tambahan
( )
f ( v ) dv
r

=0,

( )
mV f ( v ) dv

= 0,

1 1

(132a)

(132b)

1
1
r
m V12 f1( ) ( v1 ) dv1 + 12 f 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t ) drdv 2 dv1 = 0 ,
2
2

(132c)

sebagai perluasan dari persyaratan tambahan yang harus dipenuhi oleh fungsifungsi koreksi bagi gas tak rapat,16 dimana kerapatan energi bagi gas-gas rapat
tidak hanya melibatkan energi kinetik juga melibatkan energi potensial.

Syarat (132a) dan (132c) langsung dipenuhi karena merupakan integral fungsi
ganjil terhadap W1 . Untuk memenuhi syarat (132b), maka persyaratan tambahan
tersebut dituliskan kembali dalam bentuk
mV1 i A f1(

0)

( v1 )

= mV1 iA (W1 ) W1 f1(

0)

( v1 )

=0

(132)

dimana setelah disubstitusi ungkapan (127a) yang telah melibatkan ungkapan


(131) dan (115), persamaan (132) menjadi

( 2mkT )

1/ 2

a f ( ) ( v ) S ( ) (W )W
0

Berdasarkan bentuk f1(

( v1 )

i =0

0)

i
3/ 2

2
1

2
1

dv1 = 0 .

(133)

yang merupakan fungsi distribusi pada keadaan

setimbang dan perubahan ungkapan berikut,

f1(

0)

( v1 ) dv1 = n 3/ 2eW

2
1

dW1 ,

maka persamaan (133) menjadi

(134)

38

n 3/ 2 ( 2mkT )

1/ 2

a e
i =0

W12

W12 S3/( i )2 (W12 ) dW1 = 0 .

(135)

Persamaan kemudian ditulis kembali dengan menerapkan persamaan (128a) dan


diintegrasi atas semua arah W1 ,

2n 1/ 2 ( 2mkT )

1/ 2

a e
i =0

W12

W13 S3/( 02) (W12 ) S3/(i )2 (W12 ) d (W12 ) = 0 .

(136)

Syarat keortogonalan polinom Sonine (129) menyebabkan hasil evaluasi berkaitan


dengan koefisien a0 ,

2n 1/ 2 ( 2mkT )

1/ 2

5
a0 = 0 .
2

(137)

Dari hasil evaluasi ini tampak bahwa a0 = 0 . Dengan demikian, koefisien pertama
tak nol adalah a1 .

Fungsi gangguan berbentuk B diperoleh sebagai penyelesaian persamaan (125b).


Persamaan tersebut secara setara dapat ditulis dengan melibatkan notasi-notasi
suatu polinom Sonine,

n2 I ( B )
= 2S5/( 02) (W12 ) W1W1 f1( 0) ( v1 )

m
kT

m
2kT

(1 ) g

12

(1 ) g

(138)
Gr ( G ir ) U f1( 0 ) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) S5/( 02) (W12 ) drdv 2

3
r

12

1

0
0
0
gr ( g ir ) U f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) S5( / 2) (W12 ) drdv 2 ,

3
r

Tensor B berdasarkan sifat ketensoran dapat ditulis seperti pada persamaan


(127b). Substitusi ungkapan tersebut ke ruas kiri persamaan (138) menyebabkan

U (W1 ) dalam penyelesaian persamaan tersebut ditulis sebagai deret fungsi

( )

ortogonal berupa polinom Sonine dari jenis S5( /)2 W12 ,


i

U (W1 ) = bi S5(i/)2 (W12 ) .


i =0

(139)

39

Berdasarkan keberadaan tensor tanpa trace W1W1 pada ungkapan tensor B ,


menyebabkan semua persyaratan tambahan bagi fungsi koreksi terpenuhi. Dengan
demikian dapat diambil koefisien pertama tak nol b0 sebagai pendekatan terendah
bagi U (W1 ) dalam mengevaluasi tensor B .

Fungsi gangguan dalam bentuk skalar C diperoleh sebagai penyelesaian


persamaan (125c). C sebagai hasil evaluasi berdasarkan sifat ketensoran ditulis
seperti pada persamaan (127c). Penyelesaian tersebut mengungkapkan skalar
C (W1 ) dalam polinom Sonine yang dipilih berdasarkan ketakhomogenan M

yang dapat ditulis ulang dalam bentuk berikut,


2
7 dB 2 2 d 2 B ( 0)
1
M = n B + T
f ( v1 ) S1/( 2) (W12 )
T
2 1
3
3 dT 3 dT
m
3kT
m

6kT

( G ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) S1/( 02) (W12 ) drdv 2


r

( 0)
( 0)
( 0)
2
(1 ) g12 i r ( gir ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) S1/ 2 (W1 ) drdv 2 .

(1 ) g

12

(140)

Substitusi ungkapan ini ke ruas kanan persamaan (125c) menyebabkan C (W1 )


pada penyelesaian diuraikan sebagai deret fungsi ortogonal berbentuk polinom
Sonine serupa,

C (W1 ) = ci S1/( i )2 (W12 ) .

(141)

i =0

Sejalan dengan persyaratan tambahan (132a) - (132c) yang harus dipenuhi fungsi
koreksi, maka syarat kedua (132b) yang melibatkan fungsi koreksi orde satu
langsung dipenuhi,
()
( )
mV f ( v ) dv = mV f ( v ) C dv
1

1 1

1 1

= 0,

(142)

karena C adalah skalar. Untuk memenuhi syarat (132a) maka syarat tersebut bagi
fungsi koreksi orde satu dituliskan kembali,

f1(1) ( v1 ) S1/( 02) (W12 ) = ci f1( 0) ( v1 ) S1/( 02) (W12 ) S1/( i )2 (W12 ) = 0 .
i =0

(143)

40

Akibat keortogonalan polinom Sonine maka suku-suku integral ruas tengah


persamaan sama dengan nol bila kedua polinom Sonine berbeda. Dengan
demikian bentuk syarat menjadi lebih ringkas,
c0 f1(

0)

( v1 ) S1/( 02) (W12 ) S1/(02) (W12 )

= 0.

(144)

Karena integral tidak sama dengan nol maka haruslah


c0 = 0 .

(145)

Dengan demikian, suku pertama tak nol adalah c1 .

Sekarang perhatikan syarat (132c). Syarat tersebut bisa ditulis ulang dalam bentuk

c
i =0

1
1
mV12 f1( 0) ( v1 ) + 12 f 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t ) drdv 2 = 0 .
2
2

(146)

Kalau suku integral pertama disubstitusi40

1
3
3
3

mV12 = kT W12 kT = kT S1/( 02) (W12 ) kT S1/(12) (W12 )


2
2
2
2

(147)

dan menggunakan keortogonalan polinom Sonine serta hasil pada persamaan


(145) maka diperoleh bahwa

c1

1
1
mV12 f1( 0) ( v1 ) = 12 f 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t ) drdv 2 .
2
2

(148)

Antaraksi antarpartikel dalam persamaan kalau diabaikan akan menghasilkan


c1 = 0 sehingga koefisien pertama tak nol menjadi c2 . Dengan demikian,
keberadaan syarat (132c) dalam bentuk (148) menyebabkan ada dua koefisien
yang digunakan, c1 dan c2 .

Pengaruh reaksi kimia yang tercermin pada fungsi gangguan H diperoleh melalui
penyelesaian persamaan (125d) yang secara setara dapat ditulis dengan
menggunakan notasi-notasi suatu polinom Sonine,

41

n2 I ( H )
= nkr( ) f1(
0

0)

( v1 ) + J r( 0) S1/(02) (W12 )

0
dkr( )
2 4
dB 2 2 d 2 B 1
dB ( 0) ( 0)
1
2
+ 1 + nT
nT
nT
+
n
T
kr f1 ( v1 ) S1/( 2) (W12 ) .
2
3 3
dT 3
dT 2
dT
dT

(149)

Berdasarkan sifat ketensoran, skalar H ditulis seperti pada persamaan (127d).


Pensubstitusian ke ruas kiri persamaan (149) menyebabkan H (W1 ) pada
penyelesaian persamaan tersebut dapat diuraikan sebagai deret fungsi ortogonal
dari jenis polinom Sonine yang sama,

H (W1 ) = hi S1/( i )2 (W12 ) .

(150)

i =0

Sejalan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh fungsi koreksi f1( r ) ; r = 1, 2,....;
sampai fungsi koreksi orde satu, maka H harus memenuhi persyaratan tambahan,
yaitu:
f1( ) ( v1 ) = f1(
1

0)

( v1 ) H

mV1 f1( ) ( v1 ) = mV1 f1(


1

0)

= 0,

( v1 ) H

(151a)
=0,

1
1
mV12 f1(1) ( v1 ) = mV12 f1( 0) ( v1 ) H = 0 .
2
2

(151b)
(151c)

Syarat (151b) bisa dipenuhi langsung karena fungsi H adalah skalar. Untuk
memenuhi syarat (151a) maka perlu dilakukan penulisan ulang terhadap
persamaan tersebut,

f1(1) ( v1 ) S1/( 02) (W12 ) = hi f1( 0) ( v1 ) S1/( 02) (W12 ) S1/(12) (W12 ) = 0

(152)

i =0

Akibat keortogonalan polinom Sonine, suku-suku integral ruas tengah menjadi nol
bila kedua orde polinom berbeda. Persamaan berikut diperoleh bagi i = 0 ,
h0 f1(

0)

( v1 ) S1/( 02) (W12 ) S1/( 02) (W12 )

=0.

(153)

Dengan demikian, syarat (151a) dipenuhi bila h0 = 0 karena integral pada


persamaan (153) tidak sama dengan nol.

42

Sekarang perhatikan syarat (151c) yang juga dapat dituliskan kembali dalam
bentuk berikut setelah disubstitusi (150),

1
mV12 f1( 0) ( v1 ) S1/( i )2 (W12 ) = 0 .
2

h
i =0

(154)

Substitusi ungkapan energi kinetik,

1
3
3
3

mV12 = kT W12 kT = kT S1/( 02) (W12 ) kT S1/(12) (W12 ) ,


2
2
2
2

(155)

ke integral di ruas kiri persamaan (154) dan melihat kembali keortogonalan


polinom Sonine beserta penerapan harga h0 maka diperoleh

kTh1

1
mV12 f1( 0) ( v1 ) S1/(1)2 (W12 ) S1/(1)2 (W12 ) = 0 .
2

(156)

Karena k , T dan integral tidak nol maka agar syarat (151c) dipenuhi haruslah
h1 = 0 . Karenanya, H (W1 ) dimulai oleh suku h2 .

Berdasarkan pada uraian-uraian di atas maka didapatkan ungkapan-ungkapan bagi


skalar A , U , C dan H sebagai berikut,

A (W1 ) = a1S3/(1)2 (W12 ) ,

(157a)

( W1 ) = b0 ,

(157b)

C (W1 ) = c1S1/(12) (W12 ) + c2 S1/( 22) (W12 ) ,

(157c)

H (W1 ) = h2 S1/( 22) (W12 ) .

(157d)

Fungsi-fungsi gangguan ini kemudian dapat digunakan untuk menentukan


besaran-besaran A , B , C dan H yang selanjutnya berguna untuk menentukan
ungkapan koefisien-koefisien transpor.

3.1. Evaluasi vektor A


Sekarang perhatikan persamaan integral tak linier (125a). Persamaan tersebut
kalau dikalikan suatu vektor A( ) ,
j

43

A( j ) = S3( /j )2 (W12 ) W1 ,

(158)

dan diintegrasi atas ruang kecepatan v1 menghasilkan persamaan berikut,

n 2 i I ( A ) dv1 = W1 iKS3/( j2) (W12 ) dv1 .

(159)

Dengan mendefinisikan kurung siku fungsi F dan G dari W1 dan W2 ,13

[F , G] =

1
4n 2

( )
( )
f (v ) f (v )(F + F
0

F1' F2' )

( G1 + G2 G G ) g12 ( ) d dv 2 dv1 ,
'
1

(160)

'
2

maka ruas kiri (159) bisa ditulis dalam notasi kurung siku tersebut,
j
j
n 2 A ( ) iI ( A ) dv1 = n 2 A ( ) , A .

(161)

Pensubstitusian (157a), dengan memperhatikan hanya pada a1 sebagai koefisien


pertama tak nol dan memperhatikan sifat keortogonalan polinom Sonine,
menghasilkan
1
1
1
n 2 A ( ) , A = n 2 a1 S3/( )2 (W12 ) W1 , S3/( )2 (W12 ) W1 .

(162)

Hasil berikut diperoleh dari literatur,12


S3(1/)2 (W12 ) W1 , S3(1/)2 (W12 ) W1 = 4( 2,2) .

(163)

Hasil ini kalau disubstitusikan ke ruas kiri persamaan (159) maka persamaan
menjadi

4n 2 ( 2,2) a1 = W1 iKS3/(1)2 (W12 ) dv1 .


Dalam hal ini (
(

2,2 )

2,2 )

merupakan elemen integral tumbukan,

1/ 2 + +

4kt
=

(164)

e
0

y 2 q + 3 (1 cos ) bdbdy .

(165)

Bagi tumbukan dua bola keras,12

( 2,2 )

kT
= 2

1/ 2

(166)

dengan adalah diameter molekul.

Substitusi persamaan (125a) ke ruas kanan persamaan (164) menghasilkan


persamaan

44

4n 2 (

2,2 )

a1

2kT 1/ 2
5 mV12 ( 0)
nB
= W1 i
+
1
(
)

f1 W1

2 2kT
m
m 2 1 2 ( 0)

1
( 0)
+ (1 ) g12 i 3
G + g r f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2
2
4
r kT

m
2kT

(1 ) g

12

(167)

( G ig ) r f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 S3/(1)2 (W12 ) dv1.


r

Lebih lanjut persamaan dievaluasi persuku integral. Berikut adalah hasil evaluasi
suku integral pertama,

1/ 2

2kT

5 mV12 ( 0)
(1)
2

f1 W1 i W1S3/ 2 (W1 ) dv1


2
2
kT

(1 + nB )
1/ 2

15 2kT
= n

4 m

(168)

(1 + nB ) .

Suku kedua di ruas kanan persamaan (167) dievaluasi dengan menggunakan


hubungan

fungsi

distribusi

terkorelasi

dengan

fungsi

distribusi

yang

menggambarkan keadaan partikel-partikel bebas,


f1(

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) = e

12

f1(

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) .

(169)

Suku kedua tersebut kemudian dapat dipecah menjadi dua suku integral,
1

W 2 (1 ) g
1

12

f1(

0)


m
3

r kT

2 1 2
G + g r
4

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 } S3/(1)2 (W12 ) dv1

12
m 2 1 2
1
3
r
= W1 i
G + g (1 ) g12 i

4
r
2kT kT
( 0)
1

e 12 f

( v1 ) f ( v 2 ) drdv 2 } S

m
1
+ W1 i 3
2 kT
e 12 f1(

0)

( 0)
1

(1)
3/ 2

(W ) dv
2
1

(170)

2 1 2
G + g (1 ) g12
4

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 } S3/(1)2 (W12 ) dv1

Suku integral pertama ruas kanan persamaan (170) dievaluasi dengan


menggunakan definisi koefisien virial kedua (84) dan hubungan-hubungan
berikut,12,13

45

dr = r 2 dk dr

kk dk =

(171)

4
U.
3

(172)

Setelah dilakukan pengintegralan terhadap seluruah ruang r , hasil evaluasi adalah


sebagai berikut

12
m 2 1 2
1
r
3
W1 i
G + g (1 ) g12 i

4
r
2kT kT

e 12 f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 S3/(1)2 (W12 ) dv1

(173)

m 2 1 2

(1)
2
= B f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )(1 ) 3
G + g W1 ig12 S3/ 2 (W1 ) dv 2 dv1.
4
kT

Dengan menggunakan hukum kekalan energi,

1
1
mg 2 = mg122 + 12 ,
4
4

(174)

definisi W1 seperti pada ungkapan (115), hubungan kecepatan pusat massa


beserta kecepatan relatif terhadap kecepatan termal,
1
( V1 + V2 )
2
g12 = V2 V1 ,

G=

(175)

dan definisi S3/( )2 (W12 ) pada ungkapan (128a) maka hasil persamaan (174) dapat
1

ditulis dalam ungkapan lebih panjang,

m
B f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )(1 ) 3
kT
m
=n

2kT

7/2

3 B e

2
/ kT
m G 2 + 14 g12

2 1 2
(1)
2
G + g W1 ig12 S3/ 2 (W1 ) dv 2 dv1
4

(1 )

15 2 7m 2 2
m 4
g12 +
G g12 +
g12
2kT
2kT
4

3 m 4 2 1 m 2 4 1 m 6 5 12 2

g12
G g12
G g12
g12 +
4 kT
4 kT
64 kT
4 kT
3 m 12 2 2 1 m 12 4
G g12
g12 dGdg12

4 kT kT
16 kT kT

(176)

dengan Jacobian perubahan ruang kecepatan sama dengan satu39 sehingga

dv 2 dv1 = dGdg12 .

46

Evaluasi persamaan (176) memerlukan pengetahuan tentang kebolehjadian reaksi

. Dalam evaluasi digunakan bentuk yang dikembangkan R.D. Present25 bagi


tumbukan bola keras,

=0
=1

; bila < *

*
; bila > *,

(177)

dengan merupakan energi kinetik awal gerak relatif,


1
1
= g122 = mg122 ,
2
4

(178)

Dalam persamaan ini, merupakan massa tereduksi yang bagi partikel-partikel


sejenis = m 2 , * merupakan energi pengaktifan atau energi minimum
tumbukan agar menghasilkan reaksi kimia. Berdasarkan penggunaan (177) maka
berikut adalah hasil evaluasi persamaan (176),

B f1(

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 )(1 ) 3

1/ 2

2kT
=

m
kT

2 1 2
(1)
2
G + g W1 ig12 S3/ 2 (W1 ) dv 2 dv1
4

1 dB 2 *
7
.
B+ T
n
2 dT kT
2

(179)

Evaluasi suku integral kedua ruas kanan persamaan (170) dilakukan dengan
menggunakan definisi koefisien virial kedua dari persamaan (84). Persamaan
tersebut (170) lalu bisa ditulis sebagai berikut,

W i 2 3 kT G
1

1 2
g (1 ) g12
4

e 12 f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 S3/(1)2 (W12 ) dv1

m
= B f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )(1 ) 3
kT
+

2 1 2
(1)
2
G + g W1 ig12 S3/ 2 (W1 ) dv 2 dv1
4

m 2 1 2
1
(1)
2
f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )(1 ) 3
G + g W1 ig12 S3/ 2 (W1 ) drdv 2 dv1.

2
4
kT

(180)
Seperti pada persamaan (179), suku pertama ruas kanan persamaan (180) ini
menghasilkan

47

B f1(

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 )(1 ) 3

1/ 2

2kT
=

m
kT

2 1 2
(1)
2
G + g W1 ig12 S3/ 2 (W1 ) dv 2 dv1
4

1 dB 2 *
7
.
B+ T
n
2 dT kT
2

(181)

Sedangkan suku kedua persamaan (180) menghasilkan


1

m
0
0
f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 )(1 ) 3

2
kT
1/ 2

2kT
=

2n 2

2 1 2
(1)
2
G + g W1 ig12 S3/ 2 (W1 ) drdv 2 dv1
4

3 *

(182)

kT

Hasil ini diperoleh kalau evaluasi dilakukan pada titik = r dimana untuk model
tumbukan bola keras 12 = 0

Berdasarkan persamaan (179), (181) dan (182) maka hasil evaluasi suku kedua
persamaan (167) menjadi

W 2 (1 ) g
1

12


m 2 1 2
3
G + g r

r kT
4

f1( 0 ) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 S3/(1)2 (W12 ) dv1


1/ 2

2kT
=

2n 2 3

*
kT

(183)

Evaluasi suku ketiga di ruas kanan persamaan (167) memerlukan pengetahuan


mekanika dari model tumbukan bola keras seperti dibahas oleh R.F. Snider dan
C.F. Curtiss.13,14 Melalui model tersebut ditunjukkan bahwa
r = R R + gs0 .

(184)

R merupakan jangkauan antaraksi antarpartikel, R merupakan vektor satuan ke


arah R , dan s0 merupakan waktu dari awal lintasan atau konfigurasi awal ke r
dan g12 .
Dalam batas R atau secara aman dipakai R = , harga R sebagai sudut
yang dibentuk oleh partikel datang dan yang dihamburkan pada saat =

48

dimana merupakan vektor posisi bagi titik sembarang pada lintasan tumbukan
dan gs0 menjadi sangat sederhana,

R = dan gs0 = 0 .

(185)

Disini mewakili sudut pada saat = r . Dengan demikian dari persamaan


(184) maka r dapat dievaluasi pada = r , yaitu

r =r.

(186)

Pada titik ini kecepatan relatif sesaat sebelum tumbukan g sama dengan
kecepatan relatif awal g12 ,
g = g12 ,

(187)

karena harga 12 = 0 .

Berdasarkan bahasan mekanika di atas, hasil evaluasi terhadap suku integral


ketiga di ruas kanan persamaan (167) dapat ditentukan,

W 2kT (1 ) g
1

12

1/ 2

2kT
=

3n 2

3 *

kT

( G ig ) r f1( 0) ( v1 ) f1(0) ( v 2 ) drdv 2 S3/(1)2 (W12 ) dv1


r

(188)

Substitusi hasil (168), (183) dan (188) ke ruas kanan persamaan (167)
menghasilkan ungkapan bagi a1 ,
1/ 2

1 2kT
a1 =

4n( 2,2) m

15 15
3 *
+ nB + 5n
.
kT
4 4

(189)

Vektor A kemudian bisa ditulis dalam bentuk sebagai berikut,


1/ 2

1 2kT
A=

4n( 2,2) m

15 15
3 * (1)
2
+ nB + 5n
S3/ 2 (W1 ) W1 .
kT
4
4

(190)

3.2. Evaluasi tensor B


Sekarang perhatikan persamaan (125b). Persamaan tersebut kalau dikalikan
dengan suatu tensor B ( ) ,
j

B ( j ) = S5/( j2) (W12 ) W1W1 ,

(191)

49

kemudian diintegrasi atas ruang kecepatan v1 maka dihasilkan


j
j
n 2 B ( ) , B = W1W1 : L S5( / 2) (W12 ) dv1 .

(192)

Substitusi (157b) ke ruas kiri persamaan disertai penggunaan sifat keortogonalan


polinom Sonine maka didapatkan

n 2b0 W1W1 , W1W1 = W1W1 : L dv1 .

(193)

Dari literatur diperoleh harga sebagai berikut,12

( 2,2)
W1W1 , W1W1 = 4 .

(194)

Persamaan (193) sekarang menjadi


4n 2 (

2,2 )

b0 = W1W1 : L dv1 .

(195)

Berdasarkan hal ini maka harga b0 kemudian dapat ditentukan.


Substitusi (125b) ke tensor L di ruas kanan persamaan (195) menghasilkan
persamaan sebagai berikut,

4n 2 ( 2,2)b0

= W1W1 : 2 f1(

m
kT

m
2kT

0)

(1 ) g

12

(1 ) g

( v1 ) W1W1


1
0
0
Gr ( G ir ) U f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2

r
3

12

(196)

1
0
0
gr ( g ir ) U f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2 dv1

r
3

Harga b0 kemudian bisa ditentukan dengan cara mengevaluasi masing-masing


suku integral di ruas kanan persamaan.

Evaluasi suku integral pertama di ruas kanan persamaan (196) adalah


2 f1(

0)

( v1 ) W1W1 : W1W1 dv1 = 5n .

(197)

Evaluasi suku integral kedua di ruas kanan persamaan (196) menggunakan


hubungan (169). Persamaan lalu dibagi menjadi dua suku integral,

50

W W : kT (1 ) g
1

12

Gr ( G ir ) U

r
3

f1( 0 ) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1

1
1 m

Gr ( G ir ) U (1 ) g12 i 12
= W1W1 :

3
r

kT kT

0
0
e 12 f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2 dv1

m
+ W1W1 :
kT

(1 ) g

12

Gr ( G ir ) U

3
r

(198)

0
0
e 12 f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2 dv1.

Evaluasi suku integral pertama persamaan (198) dilakukan dengan menggunakan


sifat perkalian tensor,

1
1

g12 ir Gr ( G r ) U = Gg12 ( G ig12 ) U r 2 .


3
3

(199)

Penggunaan sifat ini menyebabkan suku tersebut dengan mudah dapat dievaluasi
dengan hasil berikut diperoleh setelah mengabaikan bentuk-bentuk fungsi
ganjilnya,

1 m

W W : kT kT Gr 3 ( G ir )U (1 ) g
1

12

12
r

e 12 f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1


= 12

m
1

B (1 ) W1W1 : Gg12 ( G ig12 ) U


2kT
3

(200)

f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) dv 2 dv1


= 12n 2 B

*
kT

Suku integral kedua persamaan (198) dievaluasi dengan memperhatikan sifat-sifat


perkalian tensor,

g12 i


1
1

Gr ( G ir ) U = Gg12 ( G ig12 ) U .

r
3
3

(201)

Berdasarkan sifat perkalian tensor ini maka suku kedua persamaan (198) dapat
dipecah menjadi dua suku integral,

51

W W : kT (1 ) g
1

12

Gr ( G ir ) U

3
r

e 12 f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1


=2

m
1

B (1 ) W1W1 : Gg12 ( G ig12 ) U


kT
3

(202)

f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) dv 2 dv1

m
kT

(1 ) W W : Gg
1

12

1
( G ig12 )U
3

f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1.


Suku integral pertama di ruas kanan persamaan ini,
2

1
m

B (1 ) W1W1 : Gg12 ( G ig12 ) U


3
kT

f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) dv 2 dv1

= 4 n 2 B

*
kT

(203)

Sedangkan suku integral kedua diruas kanan persamaan menghasilkan

m
kT

(1 ) W W : Gg
1

12

1
( G ig12 )U
3

f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1

(204)

8
*
.
= n 2 3
3
kT
Berdasarkan hasil-hasil pada persamaan (200), (203), dan (204) maka sumbangan
suku integral kedua persamaan (196) menjadi

W W : kT (1 ) g
1

12

Gr ( G ir ) U

3
r

f1(

= 8n 2 B

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 } dv1

(205)

* 8

*
.
+ n 2 3
kT 3
kT

Evaluasi terhadap sumbangan suku integral ketiga di ruas kanan persamaan (196)
dilakukan pada r = r = ; R = dengan 12 = 0 sehingga g = g12 . Dengan
demikian suku integral ini bisa ditulis ulang,

52

W W : 2kT (1 ) g
1

12

gr ( gir ) U

r
3

f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1


m
= W1W1 :
2kT

(1 ) g12 i r gr 3 ( gir )U
f1(

0)

(206)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 } dv1.

Seperti bahasan terdahulu maka suku integral ini bisa dipecah menjadi dua suku
integral,

W W : 2kT (1 ) g
1

12

gr ( g ir ) U

r
3

f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1


1 m
= W1W1 :
kT 2kT

12

e
m
+ W1W1 :
2kT

(1 ) gr 3 ( gir )U g
12

(1 ) g

12

12
r

( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2 } dv1

( 0)

(207)

( 0)

f1
i

gr ( g ir ) U

r
3

e 12 f1(

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 } dv1

Berikut adalah evaluasi terhadap suku pertama (207),


1

W W : kT 2kT (1 ) gr 3 ( gir )U g
1

12

e 12 f1(
= 12n 2 B

*
kT

0)

12
r

( v1 ) f1(0) ( v 2 ) drdv 2 } dv1

(208)

Adapun evaluasi suku kedua dilakukan dengan cara memecah persamaan menjadi
dua bagian,

53

W W : 2kT (1 ) g
1

12

gr
g
r

i
U
(
)

3
r

e 12 f1(

0)

( v1 ) f1(0) ( v 2 ) drdv 2 } dv1

m
2 2 2 1 4
( 0)
( 0)
= 2
B f1 ( v1 ) f1 ( v 2 )(1 ) G g12 g12 dv 2 dv1
6
2kT
3
m

2kT

2
( )
( )
f ( v ) f ( v )(1 ) 3 G
0

(209)

1
g122 g124 drdv 2 dv1.
6

Dalam hal ini suku pertama menghasilkan


2

m
2 2 2 1 4
( 0)
( 0)
2
B f1 ( v1 ) f1 ( v 2 )(1 ) G g12 g12 dv 2 dv1
6
2kT
3
*
= 4n 2 B .
kT

(210)

Sedangkan suku integral kedua persamaan (209) menghasilkan


2

m
2 2 2 1 4
( 0)
( 0)

f1 ( v1 ) f1 ( v 2 )(1 ) G g12 g12 drdv 2 dv1


6
2kT
3
8
*
= n 2 3
.
3
kT

(211)

Berdasarkan persamaan (208), (210), dan (211) maka sumbangan suku ketiga
pada persamaan (196) menjadi

W W : 2kT (1 ) g
1

12

gr ( gir ) U

r
3

f1(
= 8n 2

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 } dv1

(212)

* 8

*
n 2 3
.
kT 3
kT

Hasil ini bersama hasil evaluasi suku pertama (197) dan hasil evaluasi suku kedua
(205) kalau disubstitusikan ke persamaan (196) maka diperoleh ungkapan bagi b0 ,
b0 =

5
.
2,2
4n( )

(213)

Tensor B lalu dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut,

B=

5
W1W1
2,2
4n( )

(214)

54

3.3. Evaluasi skalar C


Sekarang perhatikan integral tak linear (125c). Persamaan tersebut kalau dikalikan
suatu skalar C ( j ) ,

C ( j ) = S1/( j2) (W12 ) ,

(215)

dan diintegrasi atas ruang kecepatan v1 menghasilkan


j
j
n 2 C ( ) , C = M S1/( 2) (W12 ) dv1 .

(216)

Dengan menggunakan ungkapan (157c) dan memperhatikan sifat keortogonalan


polinom Sonine maka dihasilkan dua bentuk persamaan,
1
1
1
n 2 c1 S1/( 2) (W12 ) , S1/( 2) (W12 ) = M S1/( 2) (W12 ) dv1

(217)

2
2
2
n 2 c2 S1/( 2) (W12 ) , S1/( 2) (W12 ) = M S1/( 2) (W12 ) dv1 .

(218)

Penentuan harga c1 dilakukan dengan mensubstitusikan (125c) ke ruas kanan


persamaan (217),
2n 2 ( 2,2) c1
=

2
7 dB 2 2 d 2 B ( 0)
3

n B + T
f ( v1 ) W12 S1/(12) (W12 ) dv1
T
2 1
3
3 dT 3 dT
2

m
3kT
m

6kT

( G ir ) f1( 0) ( v1 ) f1(0) ( v 2 ) S1/(12) (W12 ) drdv 2 dv1


r

( 0)
( 0)
(1)
2
(1 ) g12 i r ( gir ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) S1/ 2 (W1 ) drdv 2 dv1.

(1 ) g12 i

(219)

Hasil ini diperoleh setelah melakukan substitusi


S1/(12) (W12 ) , S1/(12) (W12 ) = 2( 2,2)

(220)

dari hasil literatur12 ke ruas kiri persamaan (217).

Hasil evaluasi suku integral pertama persamaan (219) adalah

2
7 dB 2 2 d 2 B ( 0)
3

n B + T
f ( v1 ) W12 S1/(12) (W12 ) dv1
T
2 1
3
3 dT 3 dT
2

7 dB 2 2 d 2 B
= n B+ T
T
.
3 dT 3 dT 2

(221)

55

Hasil evaluasi suku integral kedua adalah

(1 ) g12 i ( G ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) S1/(12) (W12 ) drdv 2 dv1

r
3kT
4
*
.
= n 2 3
3
kT

(222)

Sedangkan hasil evaluasi suku integral ketiga sama dengan nol.

Dari hasil-hasil evaluasi masing-masing suku ini maka ungkapan bagi c1 dapat
ditentukan,
c1 =

1
7 dB 2 2 d 2 B 4 3 *
+
T

B
T
.
2,2
3 dT 3 dT 2 3
kT
2 ( )

(223)

Sekarang perhatikan persamaan (218). Menggunakan hasil literatur, 12


S1/( 22) (W12 ) , S1/( 22) (W12 ) = 2( 2,2) ,

(224)

dan substitusi M dari persamaan (125c) ke ruas kanan persamaan (218) tersebut
diperoleh persamaan sebagai berikut,
2n 2 ( 2,2) c2
=

2
7 dB 2 2 d 2 B ( 0)
3

n B + T
f ( v1 ) W12 S1/( 22) (W12 ) dv1
T
2 1
3
3 dT 3 dT
2

3kT
m

6kT

( 0)
( 0)
( 2)
2
(1 ) g12 i r ( G ir ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) S1/ 2 (W1 ) drdv 2 dv1

( 0)
( 0)
( 2)
2
(1 ) g12 i r ( gir ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) S1/ 2 (W1 ) drdv 2 dv1.

(225)

Suku pertama di ruas kanan persamaan (225) diabaikan berdasarkan sifat


keortogonalan polinom Sonine. Suku kedua menghasilkan

(1 ) g12 i ( G ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) S1/( 22) (W12 ) drdv 2 dv1

r
3kT
2
*
.
= n 2 3
3
kT

Sedangkan suku ketiga menghasilkan

(226)

56

(1 ) g12 i ( gir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) S1/( 22) (W12 ) drdv 2 dv1

r
6kT
*
2
= n 2 3
.
3
kT

(227)

Dari hasil-hasil evaluasi masing-masing suku integral di atas kemudian dapat


ditentukan harga bagi c2 ,
c2 =

2
*
3 .
( 2,2 )
kT
3

(228)

Berdasarkan bentuk c1 dan c2 pada persamaan (223) dan (228) maka diperoleh
bentuk ungkapan bagi fungsi skalar C,

C=

1
7 dB 2 2 d 2 B 4 3 * (1)
2
B
T
+
T

S1/ 2 (W1 )
2
( 2,2 )
3 dT 3 dT
3
kT
2

* ( 2) 2
2
( 2,2) 3
S1/ 2 (W1 ) .
kT
3

(229)

3.4. Evaluasi skalar H


Sekarang perhatikan persamaan (125d). Kedua ruas persamaan kalau dikalikan
suatu skalar H ( ) ,
j

H ( j ) = S1/( j2) (W12 ) ,

(230)

disertai perhatian pada bentuk-bentuk integral berikut,


S1/( 2) (W12 ) N = 0

(231a)

S1/( 2) (W12 ) N = 0 ,

(231b)

maka diperoleh persamaan di bawah ini setelah disubstitusi polinom-polinom


Sonine yang memenuhi sifat keortogonalannya,
2
2
2
n 2 h2 S1/( 2) (W12 ) , S1/( 2) (W12 ) = S1/( 2) (W12 ) N .

(232)

Persamaan setelah disubstitusi (224) digunakan menentukan harga koefisien h2 ,


2n 2(

2,2 )

h2 = S1/( 2) (W12 ) N .
2

(233)

Pensubstitusian (123d) ke ruas kanan persamaan (233) mengubah bentuk integral


di ruas kanan persamaan tersebut,

57

S1/( 22) (W12 ) N


= nkr( 0) f1( 0) ( v1 ) S1/( 22) (W12 )
+

dkr( 0)
2 4
dB 2 2 d 2 B 1
dB ( 0)
2
1
nT
nT
nT
n
T
kr
+

2
3 3
dT 3
dT 2
dT
dT

(234)

f1( 0) ( v1 ) S1/(12) (W12 ) S1/( 22) (W12 )

+ J r( 0) S1/( 22) (W12 ) .


Suku integral pertama dan kedua di ruas kanan diabaikan berdasarkan sifat
keortogonalan polinom Sonine. Suku integral ketiga menghasilkan persamaan
berikut setelah disimetrisasi,
J r( ) S1/( 2) (W12 )
0

1
0
0
2
2
= f1( ) ( v1' ) f1( ) ( v '2 ) S1/( 2) (W12 ) + S1/( 2) (W22 ) g12 ( ) d dv 2 dv1.
2

(235)

Menggunakan hubungan berikut yang ditulis dalam koordinat pusat massa dan
koordinat relatif,

1 ( 2)
S1/ 2 (W12 ) + S1/( 22) (W22 )
2

15 5m 2 1 2 1 m 2 1 2

=
G + g12 +
G + g12 + g12g12 : GG ,
8 4kT
4 8 kT
4

(236)

maka persamaan (235) dapat dievaluasi dengan hasil

J r( 0) S1/( 22) (W12 )


m
=n

2 kT

1 2

m G 2 + g12
/ kT
4

15 5m 2 1 2

G + g12
4
8 4kT

1 m 2 1 2

+
G + g12 + g12g12 : GG g12 ( ) d dGdg12
8 kT
4

2
1
d
= n 2T 2 2 kr( 0) .
8
dT
2

(237)

Hasil ini kalau diterapkan ke persamaan (234) lalu disubstitusikan ke persamaan


(233) maka harga h2 kemudian dapat ditentukan,
2 ( )
1
2 d kr
.
h2 =
T
dT 2
16( 2,2)
0

(238)

58

Dengan demikian ungkapan berikut diperoleh bagi skalar H ,


2 ( )
1
2
2 d kr
T
S1/( 2) (W12 ) .
2
( 2,2 )
dT
16
0

H=

(239)

BAB IV
FENOMENA TRANSPOR DALAM GAS RAPAT BEREAKSI

Keadaan tak setimbang gas menghasilkan gradien-gradien besaran makroskopis


seperti gradien konsentrasi, momentum, energi dan afinitas kimia. Keberadaannya
menimbulkan aliran massa, momentum, kalor dan reaksi kimia dalam bentuk
vektor aliran massa pada proses difusi, tensor tekanan, vektor aliran kalor dan
transpor reaktif. Pada gas rapat yang tersusun dari satu jenis partikel dimana
reaksi kimia berlangsung dianggap tidak mengalami difusi. Aliran massa diwakili
oleh kecepatan alir gas. Di bahasan ini dipelajari proses transpor yang lain seperti
aliran momentum dan aliran energi.

1. Aliran momentum
Aliran momentum berwujud tensor tekanan pada gas rapat mempunyai ungkapan
berbeda dari gas tidak rapat. Tensor tekanan pada gas rapat disamping mendapat
sumbangan dari gerak kinetik juga mendapat sumbangan dari potensial antaraksi
antarpartikel, baik dari potensial elastik maupun potensial reaktif,16

P = PK + P .

(240)

PK adalah sumbangan energi kinetik dan P merupakan sumbangan energi


potensial pada tensor tekanan. Masing-masing sumbangan didefinisikan melalui13

PK = V1V1 f1 ( r1 , v1 ; t ) dv1 ,

P =

1 1 12
rrf 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t ) drdv 2 dv1 .
2 r r

(241)

(242)

Adapun ungkapan yang dibutuhkan dalam mengevaluasi tensor tekanan bagi gas
rapat bereaksi adalah

f1 = f1( 0 ) [1 + B : u + C iu ] .

(243)

60

1.1. Sumbangan energi kinetik pada tensor tekanan


Sumbangan energi kinetik pada tensor tekanan ditentukan dengan cara
mengevaluasi persamaan (241) yang telah disubstitusi ungkapan (243) serta
ungkapan bagi B dan C ,

PK = m V1V1 f1( 0) 1

5
W1W1 : u
4n( 2,2)

7 dB 2 2 d 2 B 4 3 * (1)
1
2
+ ( 2,2) B + T
+ T

S1/ 2 (W1 )
2
3 dT 3 dT
3
kT
2

(244)

* ( 2) 2
2

3
S1/ 2 (W1 ) iu dv1.
( 2,2 )
kT
3

Evaluasi integral pertama adalah

m V1V1 f1( ) dv1 = nmV1V1 = nkTU .


0

(245)

Suku kedua kalau dievaluasi menghasilkan

5m
4n( 2,2)

( 0)

W1W1 : u V1V1dv1 =

4( 2,2) u .

(246)

Sedangkan suku ketiga dalam evaluasi dapat dipecah menjadi dua bagian,

1
7 dB 2 2 d 2 B 4 3 * (1)
2
+ T

m V1V1 f1( 0) ( 2,2) B + T
S1/ 2 (W1 )
2
kT
3 dT 3 dT
3
2

2
* ( 2) 2
S1/ 2 (W1 ) iu dv1
3
( 2,2 )
kT
3

m
7 dB 2 2 d B 4 3 *
( 0 ) (1)
2
+ T

B+ T
V1V1 f1 S1/ 2 (W1 ) iu dv1
2
( 2,2 )
kT
3 dT 3 dT
3
2

(247)

2
*
V1V1 f1( 0) S1/( 22) (W12 ) iu dv1
3

( 2,2 )
kT
3

dengan evaluasi suku pertamanya adalah


m
7 dB 2 2 d 2 B 4 3 *
( 0 ) (1)
2
B
T
+
+ T

V1V1 f1 S1/ 2 (W1 ) iu dv1
2
( 2,2 )
3 dT 3 dT
3
kT
2

7 dB 2 2 d 2 B 4 3 *
nkT
=
+
+ T

B
T
U iu
2,2
kT
3 dT 3 dT 2 3
2 ( )

(248)

dan hasil evaluasi terhadap suku kedua adalah

2
*
35nkT
*
0
2
3
3 U iu .
V1V1 f1( ) S1/( 2) (W12 ) iu dv1 =

( 2,2 )
( 2,2 )
kT
kT
3
12

(249)

61

Berdasarkan hasil-hasil evaluasi di atas maka diperoleh bentuk sumbangan energi


kinetik pada tensor tekanan,

5
4( 2,2) u
7 dB 2 2 d 2 B 9 3 *
nkT

+
+ T
+
B
T

U iu.
3 dT 3 dT 2 2
kT
2( 2,2)

PK = nkTU

(250)

1.2. Sumbangan energi potensial pada tensor tekanan


Sumbangan energi potensial pada tensor tekanan diperoleh dengan cara
mengevaluasi persamaan (242) yang juga bisa ditulis dalam bentuk sebagai
berikut,

P =

1
1
dx 2 12 rrf 2 ( r1 + ( x 1) r, r1 + xr, v1 , v 2 ; t ) drdv 2 dv1 .

2 0 r r
1

(251)

Penulisan ini dilakukan untuk memudahkan pengevaluasian f 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t )

pada satu titik.

Uraian berikut diperlukan dalam evaluasi persamaan (251) untuk melokalisasi


fungsi distribusi pada titik r1 ,

f 2 ( r1 + ( x 1) r, r1 + xr, v1 , v 2 ; t )
= f 2 ( r1 , r1 , v1 , v 2 ; t ) + ( 2 x 1) r i

f 2 ( r1 , r1 , v1 , v 2 ; t )
+ ....
dr1

(252)

Dalam evaluasi juga digunakan bentuk ungkapan berikut bagi fungsi distribusi
terkorelasi,
f 2 ( r1 , r1 , v1 , v 2 ; t ) = f1 ( r1 , v1 ; t ) f1 ( r1 , v 2 ; t ) = f1 ( v1 ) f1 ( v 2 )

(253)

f1 ( v i ) = f1( 0) ( v i ) [1 + ] = f1( 0) ( v i ) [1 + B : u + C iu ] ,

(254)

62

dan hubungan antara fungsi-fungsi distribusi terkorelasi dengan fungsi-fungsi


distribusi yang menggambarkan keadaan partikel-partikel bebas (169). Adapun
kombinasi-kombinasi berikut dihasilkan melalui substitusi (254) ke uraian (252),

f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) = f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) + 2 ( B : u ) f1( 0 ) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )


+2 ( C iu ) f1(
f1 ( v1 ) f1 ( v 2 )
dr1

f1(

0)

( v1 ) f1(0) ( v 2 ) + ...

(255)

( v1 ) f1(0) ( v 2 ) + 2 B : u f1( 0) ( v1 ) f1(0) ( v 2 )


(
)

0)

dr1

dr1

+2 ( C iu )

f1(

0)

(256)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) + ....
dr1

Berdasarkan kombinasi-kombinasi ini, ungkapan (117a), (117b) dan dengan


mengambil hanya pada bentuk-bentuk linier terhadap fungsi gangguan serta
mengabaikan bentuk-bentuk fungsi ganjil maka persamaan (251) dapat ditulis
ulang,

P =

1 1 12
rre12

2 r r

{ f ( ) ( v ) f ( ) ( v ) + 2 ( B : u ) f ( ) ( v ) f ( ) ( v ) (257)
+2 ( C iu ) f ( ) ( v ) f ( ) ( v )} drdv dv .
0

kT

Berikut adalah hasil evaluasi terhadap suku integral pertama ruas kanan
persamaan (257),

1 1 12
rre12

2 r r

kT

f1(

0)

( v1 ) f1(0) ( v 2 ) drdv 2 dv1 = n2 kTBU .

(258)

Suku kedua diabaikan karena melibatkan suku-suku tak diagonal yang pada
dasarnya merupakan fungsi ganjil. Sedangkan suku ketiga diabaikan berdasarkan
sifat keortogonalan polinom Sonine.

Substitusi hasil-hasil pada persamaan (258) ke persamaan (257) menghasilkan


ungkapan bagi sumbangan energi potensial pada tensor tekanan,

P = n 2 kTBU .

(259)

63

Tensor tekanan lalu bisa ditulis sebagi berikut

5
4( 2,2) u
nkT
7 dB 2 2 d 2 B 9 3 *

+
+ T
+
B
T

U iu
kT
3 dT 3 dT 2 2
2( 2,2)

P = pU

(260)

dengan p merupakan tekanan hidrostatik seperti didefinisikan persamaan (83).

Harga koefisien virial kedua pada model tumbukan bola keras yang ditentukan
dengan mengevaluasi persamaan ( 84) atau (85) adalah

2
B = 3 .
3

(261)

Dengan demikian turunan suhu dari koefisien virial kedua bisa diabaikan.
Ungkapan tensor tekanan (260) kemudian dapat disederhanakan,

n mkT 2 3 9 3 *
2
u 4 3 + 2 kT Uiu,

1/ 2

1/ 2

5 mkT
P = pU 2

setelah disubstitusi harga (

2,2 )

(262)

seperti diperlihatkan pada persamaan (166) bagi

model tumbukan bola keras.


Berikut adalah bentuk umum dari tensor tekanan,16,24

P = pU 2 S U iu

(263)

dengan S adalah laju tensor geser, menandai koefisien viskositas geser dan
menadai koefisien viskositas bulk. Berdasarkan hal ini dan kesesuaian dengan
persamaan (262), dimana S =

u , maka harga-harga koefisien viskositas geser

maupun koefisien viskositas bulk dapat ditentukan,


1/ 2

5 mkT
=

16 2

n mkT
27 *
3
= 2
1 +
.
6
4 kT

(264)

1/ 2

(265)

64

Pengaruh reaksi kimia tidak muncul dalam ungkapan viskositas geser. Viskositas
geser dalam sistem gas rapat bereaksi sama seperti viskositas geser dalam gas
tidak rapat. Penjelasan tersebut tampak dari rasio koefisien viskositas geser dalam
gas rapat bereaksi, , terhadap koefisien viskositas geser standar, 0 ,

= 1.
0

(266)

Viskositas geser yang dihasilkan di sini berbeda dari hasil penelitian Snider dan
Curtiss dalam gas rapat yang menunjukkan ungkapan viskositas geser
mengandung suku-suku koreksi kerapatan.13,14 Perbedaan ini terjadi karena efek
reaksi dan koreksi-koreksi kerapatan menghilang dalam evaluasi fungsi gangguan

B.
Berdasarkan persamaan (265), viskositas bulk dalam gas tidak rapat sama dengan
nol. Hasil ini sesuai dengan literatur dimana viskositas bulk bagi gas tidak rapat
monoatomik sama dengan nol, viskositas bulk tak nol terjadi dalam gas rapat atau
pada gas poliatomik. 6,24

Pengaruh reaksi kimia memunculkan ungkapan baru bagi koefisien viskositas

bulk. Padahal viskositas bulk yang diperoleh melalui penelitian Snider dan Curtiss
terhadap gas rapat dengan menggunakan model tumbukan bola keras sama dengan
nol.13,14 Viskositas bulk juga tidak muncul pada hasil penelitian Alves dan Kremer
yang menggunakan pendekatan kesetimbangan Kimia dalam campuraan dua
komponen gas bereaksi.43

Pada penelitian ini, reaksi kimia muncul sebagai suku sendiri di samping suku
koreksi kerapatan dalam ungkapan viskositas bulk. Sesuai dengan persamaan
(265), pengaruh reaksi kimia pada viskositas bulk berhubungan erat dengan
kerapatan dan bervariasi terhadap jenis gas penyusun sistem sesuai harga energi
pengaktifan, * , yang bersifat khas bagi masing-masing pereaksi.

65

2. Aliran energi
Aliran energi diwakili oleh vektor aliran kalor. Bentuknya berbeda dari vektor
aliran kalor pada gas sederhana karena harus memperhitungkan sumbangan
antaraksi antarpartikel,
q = q K + q .

(267)

Dalam hal ini, q K mewakili sumbangan energi kinetik dan q mewakili


sumbangan energi potensial pada vektor hantaran kalor. Masing-masing
sumbangan didefinisikan melalui

qK =

q =

1
m V1V12 f1 ( r1 , v1 ; t ) dv1 ,
2

(268)

1 1 12

rrf 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t ) 12 f 2 ( r1 , r1 , v1 , v 2 ; t ) U Gdrdv 2 dv1 .

2 r r

(269)

Ungkapan yang dibutuhkan untuk mengevaluasi vektor aliran kalor bagi gas rapat
bereaksi adalah

f1 = f1( ) [1 + Ai ln T ] .
0

(270)

Evaluasi masing-masing sumbangan pada vektor aliran kalor dapat dilihat pada
penjelasan di bawah ini.

2.1. Sumbangan energi kinetik pada vektor aliran kalor


Sumbangan energi kinetik pada vektor aliran kalor diperoleh dengan cara
mengevaluasi persamaan (268) yang telah disubstitusi ungkapan (270),

qK =

1
0
m f1( ) [1 + Ai ln T ] V1V12 dv1 .
2

(271)

Suku integral pertama ruas kanan persamaan diabaikan karena merupakan fungsi
ganjil terhadap V1 . Dengan demikian. sumbangan energi kinetik dapat direduksi
untuk menghasilkan bentuk berikut setelah disubstitusi ungkapan vektor A ,

66

15 15
3 *
+ nB + 5n

kT
4 4
f1( 0)V12 V1 S3/(1)2 (W12 ) W1 i ln T dv1
5k 2T 15 15
*
=
+ nB + 5n 3
T .
( 2,2 )
kT
8m
4 4
1/ 2

qK =

m 2kT

2,2
8n( ) m

(272)

2.2. Sumbangan energi potensial pada vektor aliran kalor


Sumbangan energi potensial pada vektor aliran kalor diperoleh dengan cara
mengevaluasi persamaan (269) yang bisa ditulis ulang dengan menggunakan
definisi q dan q2 ,
1

q = q + q2 .

(273)

Dalam hal ini q dan q2 didefinisikan melalui:


1

q =

1 1 12
rrf 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t )iGdrdv 2 dv1 ,
2 r r

(274)

q =

1
12 f 2 ( r1 , r1 , v1 , v 2 ; t ) U iGdrdv 2 dv1 .
2

(275)

Evaluasi yang dilakukan menggunakan model tumbukan bola keras dengan

12 = 0 menyebabkan suku terakhir persamaan (273) diabaikan. Menggunakan


bentuk ini, maka persamaan (273) kemudian bisa direduksi menjadi

q = q

1 1 12
rrf 2 ( r1 , r2 , v1 , v 2 ; t )iGdrdv 2 dv1
2 r r

(276)

Persamaan ini juga dapat ditulis dalam bentuk lain,

1
1
q = dx 2 12 rrf 2 ( r1 + ( x 1) r, r2 + xr, v1 , v 2 ; t )iGdrdv 2 dv1 .
2 0 r r
1

(277)

Dalam evaluasi, f 2 ( r1 + ( x 1) r, r1 + xr, v1 , v 2 ; t ) kembali diuraikan seperti uraian


(252). Substitusi (253) dan (270) ke persamaan (252) menghasilkan kombinasikombinasi sebagai berikut,

67

f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) = f1(

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) + 2 ( Ai ln T ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )


2
0
0
+ ( A i ln T ) f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 )
0)

f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )
f ( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 )
=
+ 2 ( Ai ln T ) 1
dr1
dr1
dr1

(278)

(279)

+ ....

Persamaan (277) setelah disubstitusi ungkapan (278) dan (279) serta penghilangan
bentuk-bentuk kwadrat dari fungsi gangguan menjadi

1
1
0
0
q = dx 2 12 rr f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 )
2 0 r r

+2 ( Ai ln T ) f1(
+ ( x 1)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 )
0
0
f ( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 )
ri 1
iGdrdv
0)

r1

(280)
2

dv1.

Suku integral pertama ruas kanan persamaan diabaikan karena merupakan fungsi
ganjil terhadap V1 . Demikian pula dilakukan terhadap suku integral ketiga.
Persamaan kemudian bisa disederhanakan,

q =

1 12
0
0
rr ( Ai ln T ) f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 )iGdrdv 2 dv1.
r r

(281)

Substitusi harga A dari persamaan (190) menghasilkan


1
2kT 15 15
3 *
+ nB + 5n

( 2,2 )
kT
4n
m 4 4
1 12
1
0
0
rr S3/( )2 (W12 ) W1 i ln T f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 )iGdrdv 2 dv1.

r r
1/ 2

q =

(282)

Persamaan ini diabaikan berdasarkan sifat keortogonalan polinom Sonine.


Berdasarkan hasil-hasil pada persamaan (272) dan (282) maka vektor aliran kalor
dapat ditentukan,
1/ 2

75k kT
q=

64 2 m

2
*
3
1 + 3 n 1 + 2 kT T .

(283)

Sedangkan secara umum, ungkapan dari vektor aliran kalor adalah

q = T .

(284)

68

dengan menandai koefisien hantaran kalor. Berdasarkan perbandingan hasil


yang diperlihatkan pada persamaan (283) dengan persamaan (284), maka
koefisien hantaran kalor dapat diungkapkan dalam bentuk
1/ 2

75k kT
=

64 2 m

2
*
3
1 + 3 n 1 + 2 kT .

(285)

Rasio koefisien hantaran kalor terhadap koefisien hantaran kalor standar 0


mempertegas keberadaan koreksi reaksi kimia terhadap hantaran kalor gas dalam
sistem gas rapat dimana reaksi kimia berlangsung,

2
*

= 1 + n 3 1 + 2
.
0
3
kT

(287)

Koreksi reaksi kimia muncul pada tingkat kerapatan lebih tinggi dan bervariasi
terhadap energi pengaktifan sesuai dengan jenis gas penyusun sistem. Walaupun
demikian, variasi sumbangan reaksi kimia terhadap energi pengaktifan dalam
penelitian ini berbeda dari hasil penelitian Alves dan Kremer yang menunjukkan
efek reaksi kimia memperkecil harga hantaran kalor bila energi pengaktifan reaksi
maju mengecil.43 Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pendekatan yang
digunakan dalam penelitian.

Penelitian Alves dan Kremer menggunakan pendekatan kesetimbangan kimia


sehingga efek tumbukan reaktif balik harus diperhitungkan pada sumbangan
reaksi kimia terhadap hantaran kalor. Sedangkan pada penelitian ini digunakan
pendekatan reaksi jauh dari kesetimbangan, sehingga tidak ada efek dari
tumbukan reaktif balik.

BAB V
KESIMPULAN DAN ALUR PENELITIAN BARU

1. Kesimpulan
Persamaan Boltzmann diperluas untuk gas rapat bereaksi atau gas rapat dimana
reaksi kimia berlangsung dapat diturunkan secara analitik dari persamaan
Liouville yang berkaitan dengan mekanika benda banyak melalui pendekatan
persamaan BBGKY. Pengaruh reaksi kimia diturunkan dengan menggunakan
model molekul bola keras yang mengalami reaksi melalui model Present.
Penurunan ini sekaligus memberikan landasan mekanik dari persamaan
Boltzmann diperluas tersebut yang diteliti menggunakan tumbukan dua benda
dengan mengabaikan pengaruh tumbukan tiga benda maupun tumbukantumbukan berorde lebih tinggi.

Keberadaan reaksi kimia ditelusuri dengan cara mendefinisikan kebolehjadian


reaksi . Penyisipan definisi ini pada hirarki orde pertama dan kerapatan orde
satu, memecah operator potensial antaraksi menjadi operator potensial antaraksi
elastik ij serta potensial antaraksi reaktif ij* . Operator antaraksi elastik bekerja
secara simetris terhadap waktu, sedangkan operator antaraksi reaktif berdasarkan
asumsi reaksi berlangsung cukup dini hanya bekerja searah yaitu menuju ke
pembentukan hasil reaksi.

Persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi yang dihasilkan melalui
penelitian ini melibatkan laju perubahan akibat tumbukan elastik, koreksi-koreksi
kerapatan yang dirujuk sebagai transfer tumbukan, dan koreksi reaksi kimia.
Koreksi reaksi kimia ternyata tidak hanya muncul sebagai suku tersendiri
melainkan juga menghasilkan koreksi pada transfer tumbukan yang terlihat dalam
faktor (1 ) .

Penyelesaian persamaan Boltzmann dengan metode gangguan cara Chapman dan


Enskog sampai tahap pendekatan Navier-Stokes menunjukkan fungsi-fungsi
gangguan A dan C dipengaruhi reaksi kimia. Ungkapan fungsi gangguan B

70

tidak memperlihatkan pengaruh reaksi, bahkan tampak seperti pada sistem gas
sederhana tanpa reaksi. Adapun fungsi gangguan H diperoleh seperti yang
dihasilkan pada sistem gas tidak rapat bereaksi.

Penerapan penyelesaian persamaan Boltzmann diperluas bagi gas rapat bereaksi


menunjukkan reaksi kimia berpengaruh pada proses transpor gas. Pengaruh reaksi
kimia muncul pada tensor tekanan dan vektor hantaran kalor. Berikut adalah
ungkapan koefisien viskositas geser , viskositas bulk , dan koefisien hantaran
kalor dari gas rapat bereaksi beserta rasionya terhadap koefisien viskositas
geser standar, 0 , dan koefisien hantaran kalor standar, 0 ,
1/ 2

5 mkT
=

16 2

1/ 2

27 *
n 3 1 +
,
4 kT

1/ 2

2
*
3
1 + 3 n 1 + 2 kT ,

1 mkT
= 2

75k kT
=

64 2 m

= 1,
0

2
*

= 1 + n 3 1 + 2
.
0
3
kT

Viskositas bulk, , yang dihasilkan dalam penelitian ini akan sama dengan nol
bila kerapatan sama dengan nol. Hasil ini sesuai dengan ungkapan viskositas bulk
bagi gas tidak rapat monoatomik dari literatur.

Pengaruh reaksi kimia tidak muncul pada ungkapan koefisien viskositas geser.
Viskositas geser pada sistem gas rapat bereaksi sama seperti viskositas geser
dalam gas tidak rapat. Hasil penelitian ini berbeda dari hasil penelitian Snider dan
Curtiss dalam gas rapat yang menunjukkan keberadaan koreksi kerapatan pada
ungkapan viskositas geser. Perbedaan ini terjadi karena efek reaksi dan koreksikoreksi

kerapatan

menghilang

dalam

evaluasi

fungsi

gangguan

B.

Menghilangnya koreksi kerapatan dan efek reaksi pada fungsi gangguan B inilah

71

yang membuat viskositas geser bagi gas rapat bereaksi mempunyai bentuk yang
sama dengan yang dihasilkan bagi gas tidak rapat.

Pengaruh reaksi kimia memunculkan ungkapan baru bagi koefisien viskositas


bulk. Reaksi kimia muncul sebagai suku sendiri di samping suku koreksi
kerapatan dalam ungkapan viskositas bulk tersebut. Ungkapan ini dikatakan
sebagai ungkapan baru karena pada penelitian yang dilakukan Snider dan Curtiss
terhadap gas rapat dengan menggunakan model tumbukan bola keras, koefisien
viskositas bulk yang dihasilkan sama dengan nol. Demikian pula pada penelitian
dengan pendekatan kesetimbangan Kimia yang dilakukan oleh Alves dan Kremer
dalam campuran dua komponen gas bereaksi, viskositas bulk tidak muncul.
Pengaruh reaksi kimia yang muncul dalam viskositas bulk bergantung pada
kerapatan dan bervariasi terhadap harga energi pengaktifan, * , yang bersifat
khas bagi masing-masing pereaksi.

Pengaruh reaksi kimia ternyata memberikan koreksi juga pada hantaran kalor
dalam gas rapat bereaksi. Koreksi reaksi kimia muncul pada tingkat kerapatan
lebih tinggi. Pengaruh reaksi kimia terhadap koefisien hantaran kalor ini
bervariasi terhadap energi pengaktifan sesuai dengan jenis gas penyusun sistem.

2. Alur Penelitian Baru


Pengaruh reaksi kimia seperti dijelaskan pada pendahuluan dapat ditelusuri
disamping dengan menyelesaikan persamaan Boltzmann sampai tahap pendekatan
Burnett juga dapat ditelusuri melalui penelitian pada gas rapat bereaksi yang juga
dapat dikembangkan sampai tahap pendekatan Burnett. Minat penelitian pada
tahap pendekatan Burnett masih sangat kurang padahal pada tahap pendekatan
tersebut ada peran dari efek-efek tak linier. Dengan demikian banyak peluang
penelitian lebih lanjut bisa dikembangkan terhadap tahap pendekatan tersebut.

Penelitian terhadap kontribusi reaksi kimia pada teori kinetika gas dalam sistem
gas rapat dimana reaksi kimia berlangsung merupakan penelitian tahap awal.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan model tumbukan bola keras dan

72

pendekatan mekanika klasik bagi sistem gas serba sama. Hal ini memungkinkan
pengembangan

penelitian

ke

arah

penggunaan

potensial

lunak

yang

memperhitungkan setiap posisi antaraksi antar molekul yang bertumbukan dalam


sistem sejenis. Penelitian lain dengan potensial sejenis maupun dengan potensial
lunak juga bisa dikembangkan untuk sistem majemuk.

Penelitian lebih lanjut juga sangat besar kemungkinan dikembangkan melalui


penggunaan mekanika kuantum yang melarang keberadaan lintasan-lintasan
partikel dalam tumbukan maupun menggunakan pendekatan semiklasik yang
memberikan koreksi kuantum terhadap mekanika klasik.

PUSTAKA

1. S.R. de Groot and P. Mazur, Non-Equilibrium Thermodynamics, (NorthHolland Publishing Company, Amsterdam, 1962).
2. Donald A. McQuarrie, Statistical Mechanics, (HarperCollins Publishers
Inc., New York, 1976).
3. J. Kestin and J. R. Dorfman, A Course in Statistical Thermodynamics,
(Academic, New York, 1971).
4. Harold L. Friedman, A Course in Statistical Mechanics, (Prentice-Hall,
Inc., New Jersey, 1985).
5. Richard L. Liboff, Kinetic Theory Classical, Quantum, and Relativistic
Descriptions, (Prentice Hall, New Jersey, 1990).
6. John W. Bond, Jr., Kenneth M. Watson, and Jasper A. Welch, Jr.,
Atomic Theory of Gas Dynamics, (Addison-Wesley Publishing
Company, Inc., Massachusetts, 1965).
7. M.A. Alaison and J.O. Hirschfelder, J. Chem. Phys., 30(6), 1426(1965).
8. H.B. Hollinger and C.F. Curtiss, J. Chem. Phys., 33(5), 1386(1960).
9. C.Y. Cha and B. J. MCCoy, J. Chem. Phys., 54(10), 4369(1971).
10. Soesanto Imam Rahaju, Collisional Transfer Contributioans in The
Quantum Theory of Transport Phenomena, Disertasi (university of
Winconsin, 1967).
11. S. Imam Rahaju and C.F. Curtiss, J. Chem. Phys., 47(12), 5269(1967).
12. S. Chapman and T.G. Cowling, Mathematical Theory of Non-Uniform
Gases, 3rd. Ed., (Cambridge University, Cambridge, 1970).
13. R.F. Snider and C.F. Curtiss, The Physics of Fluids, 1(2), 122(1958).
14. R.F. Snider and C.F. Curtiss, The Physics of Fluids., 3(6), 122(1958).
15. R. F. Snider and F.R. McCourt, The Physics of Fluids, 6(7), 1020(1963).
16. S. Imam Rahayu, Teori Kinetik Gas, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2001).
17. D. Enskog, Kgl. Svenska Vetenskapsakad. Handl. 63, No. 4 (1962).
18. Richard L. Liboff, Phys. Rev.A., 31(3), 747(1959).

74

19. E.G.D. Cohen, Transport Phenomena in Gases from Distribusion


Functions and Correlation Functions, Preceding of International
Symposium on Statistical Mechanics and Thermodynamics, (NorthHolland Publishing Company, Amsterdam, 1965).
20. Ta-You Wu, Kinetic Equations of Gases and Plasmas, (Addison-Wesley
Publishing Company, London, 1966).
21. M. Lopez de Haro and E.G.D. Cohen, J. Chem. Phys., 78(15),
2746(1983).
22. V. Ya Rudyak, Sov. Phys. Tech. Phys., 29(7), 718(1984).
23. I. Prigogine and E. Xhrouet, Physica, 15, 913(1949).
24. J.O. Hirschfelder, C.F. Curtis, and R. Byron Bird, Molecular Theory of
Gases and Liquids, (John Wiley & Sons Inc, USA, 1954).
25. R.D. Present, J. Chem. Phys., 31(3), 747(1959).
26. Stuart A. Rice, J. Chem. Phys., 31(3), 584(1959).
27. John Ross and Peter Mazur, J. Chem. Phys., 35(1), 19(1961).
28. Chong Wha Pyun and John Ross, J. Chem. Phys., 40(9), 2572(1964).
29. N. Xystris and J.S. Dahler, J. Chem. Phys., 68(2), 345(1978).
30. N. Xystris and J.S. Dahler, J. Chem. Phys., 68(2), 354(1978).
31. N. Xystris and J.S. Dahler, J. Chem. Phys., 68(2), 374(1978).
32. N. Xystris and J.S. Dahler, J. Chem. Phys., 68(2), 387(1978).
33. J.W. Evans and D.K. Hoffmann, J. Chem. Phys., 78(5), 2665(1983).
34. Can F. Delale, J. Chem. Phys., 83(6), 3062(1985).
35. Jan Popielawski, J. Chem. Phys., 83(2), 790(1985).
36. A.S. Cukrowski and J. Popielawski, Acta Phys. Pol. A., A.71(6),
853(1987).
37. Lubna Baradja, Teori Pengaruh Reaksi Kimia Terhadap Viskositas gas,
Tesis (Pasca Sarjana ITB, 1988).
38. Rebeka Kurniawati Adiwinata, Landasan Kinetika Bagi Pengaruh
Reaksi Kimia Pada Koefisien Fenomenologi, Tesis (Pasca Sarjana ITB,
1993).

75

39. I Gusti Made Sanjaya, Pendekatan Model Tumbukan Bola Keras Pada
Pengaruh Reaksi Kimia Terhadap Koefisien Fenomenologi Dalam
Campuran Gas Bereaksi, Tesis (Pasca Sarjana ITB, 1994).
40. Susanto Imam Rahayu, Teori Antaraksi Antara Reaksi Kimia dan Proses
Difusi Dalam Suatu Campuran Gas-Gas, (Laporan Penelitian No.
11213191, ITB, 1995).
41. I Gusti Made Sanjaya dan Susanto Imam Rahayu, Jurnal Matematika &
Sains, 4(edisi khusus no. 4), 364(2000).
42. Rahmat Gunawan, Teori Tumbukan Klasik Antara Reaksi Kimia dan
Fenomena Transport Dalam Suatu Campuran Gas-Gas Biner, Tesis
(Pasca Sarjana ITB, 2001).
43. Giselle M. Alves and Gilberto M. Kremer, J. Chem. Phys., 117(5),
2205(2002).
44. Symon, Mechanics, 3rd Edition, (Adison-Wesley Publishing Company
Inc, Massachusets, 1980).
45. Vernon D. Barger and Martin G. Olsson, Classical Mechanics A Modern
Perspective, (McGrow-Hill International Editions, Singappore, 1995).
46. Keith J. Laidler, Chemical Kinetics, 3rd Edition, (Harper Collins
Publisher Inc., New York, 1987).

Lampiran A

PERSAMAAN PERUBAHAN BAGI GAS RAPAT BEREAKSI

W f1 = W f1 ( v1 ) di ruas kiri persamaan Boltzmann (49) dalam sistem yang


tidak mengalami gaya luar, F = 0 , mempunyai bentuk

W f1 =

f1 ( v1 )
f ( v )
+ v1 i 1 1 .
t
r1

(A1)

Kecepatan termal Vi kalau dipakai sebagai variabel pengganti kecepatan molekul

vi maka t dan r1 harus berubah. Yang tetap dalam diferensial adalah Vi


bukan vi . Perubahan yang terjadi adalah

f1 ( v1 ) f1 ( v1 ) u f1 ( v1 )
=
i
,
t
t
t V1

f1 ( v1 ) f1 ( v1 ) u f1 ( v1 )
=
i
.
r1
r1
r1 V1

(A2)

Pensubstitusian ke persamaan (A1) membentuk

W f1 =

f1 ( v1 )
f ( v )
f ( v ) u
u f ( v ) f ( v )
u
+ ui 1 1 + V1 i 1 1 + ui i 1 1 1 1 V :
t
r1
r1
r1 V1
V1
r1
t
(A3)

Dengan mendefinisikan operator mobil D Dt sebagai turunan waktu mengikuti


gerakan seperti dalam hidrodinamika,
D
u
= + ui ,
Dt t
r1

(A4)

dan pensubstitusian ke persamaan (A3) diperoleh

W f1 =

Df1 ( v1 )
f ( v ) Du f1 ( v1 ) f1 ( v1 )
u
V:
+ V1 i 1 1
i

.
r1
V1
r1
Dt
Dt V1

(A5)

77

Ungkapan ini kalau disubstitusikan ke persamaan (60) menyebabkan persamaan


perubahan bagi i menjadi

f ( v ) Du f1 ( v1 ) f1 ( v1 )
Df1 ( v1 )
u
+ V1 i 1 1

V : dv1
i

r1
Dt V1
V1
r1
Dt
= i J1 + i J 2 i J r

(A6)

Manipulasi terhadap ruas kiri menghasilkan

Df1 ( v1 )
Dn i
D i
,
dv1 =
n
Dt
Dt
Dt

V i
i

f1 ( v1 )

dv1 =
inV1 i n V1 i i ,
r1
r1
r1

f1 ( v1 )

dv1 = n i ,
V1
V1
f1 ( v1 )

V1

V1dv1 = n iU - n

(A7)

(A8)

(A9)

i
V1 .
V1

(A10)

U merupakan tensor satuan. Substitusi hasil-hasil manipulasi ke persamaan (60)


menyebabkan persamaan perubahan berbentuk
D i
Dn i
Du i

iu + in V1 i n
i
+ n i
+ V1 i i +
r1
r1
r1 Dt V1
Dt
Dt

u
- i V1 :
= i J1 + i J 2 i J r .
V1
r1

(A11)

Lampiran B
PEMBUKTIAN DIPEROLEHNYA
FUNGSI DISTRIBUSI MAXWELL-BOLTZMANN PADA TAHAP EULER

Penyelesaian persamaan Boltzmann pada tahap pendekatan terendah diperoleh


dari persamaan (72a),
J e( ) = 0 .
0

Berdasarkan persamaan ini, ungkapan (50), dan (55) maka diperoleh

f1(

0)

( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) =

f1(

0)

(v ) f ( ) (v )

(B1)

( )

(B2)

'

'
2

dan secara identik

ln f1( 0) ( v1 ) + ln f1( 0) ( v 2 ) = ln f1( 0) v '1 + ln f1( 0) ( v '2 )

sebagai ungkapan summational invariant. Fungsi distribusi hasil merupakan


fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann atau fungsi distribusi pada keadaan
setimbang,
( 0)

f1

( 0)

= f1

m
( v1 ) = n

2 kT

32

e mV1

2 kT

(B3)

Bukti didapatkan ungkapan (B3) bisa ditelusuri berdasarkan yang kekal pada
tumbukan elastik hanyalah massa, momentum dan energi. Harga ln f1(

0)

harus

merupakan kombinasi linier ketiga besaran tersebut,


ln f1( ) = m + .mv1 +
0

m. m

= m +
2
2

mv12
2
2

v1 .

(B4)

Dengan mendefinisikan
ln C = m +

m.
,
2

(B5)

79

persamaan (B4) bisa ditulis dalam bentuk


( 0)

ln f1

m
= ln C
2

v1

(B6)

atau

f1( 0) = Ce

m
v1

(B7)

Berdasarkan kerapatan molekul

n = f1( ) dv1
0

= C e

v1

2
=C

dv1

(B8)

3/ 2

kecepatan alir gas u = , dan definisi suhu melalui


3
2

kT = 32 1

(B9)

maka penyelesaian yang diperoleh adalah


( 0)

f1

m
= n

2 kT

32

e mV1

2 kT

yang sama dengan ungkapan (B3) bila dibuat V1 = v1 .

Lampiran C
BUKTI KEORTOGONALAN PERSAMAAN (126a) (126d)

Syarat keterselesaian persamaan-persamaan integral tak homogen (125a) sampai


(125d) adalah ketakhomogenan di ruas kanan harus ortogonal terhadap
penyelesaian persamaan homogen di ruas kiri seperti ditunjukkan pada persamaan
(126a) sampai (126d).

Untuk membuktikan syarat keortogonalan persamaan (126a) maka ungkapan


(123a) disubstitusikan ke ruas kiri persamaan tersebut sehingga dihasilkan
2kT 1/ 2 5
dB

( 0)
2
d

=
K
v
i 1 m 2 W1 + n B + T dT W1 f1 ( v1 )

1
m 2 1 2 ( 0)

( 0)
+ (1 ) g12 i 3
G + g r f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2
2
4
r kT

m
2kT

(1 ) g

12

(C1)

( G ig ) r f1( 0) ( v1 ) f1(0) ( v 2 ) drdv 2 i dv1


r

yang juga dapat ditulis dalam bentuk

K dv
i

2kT 1/ 2
5
( 0)
2
=
(1 + nB ) W1 W1 f1 ( v1 )
2

m
(C2)

m 2 1 2 ( 0)
1
( 0)
r
v
v
r
v
+ (1 ) g12 i 3
G
+
g
f
f
d
d
( 1) 1 ( 2 )
1
2

r kT
2
4

m
2kT

(1 ) g

12

( G ig ) r f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 i dv1.


r

Bila i = 1 atau i =

1
mV12 maka hasil integrasi sama dengan nol karena
2

merupakan fungsi ganjil terhadap V1 , g12 , dan G . Bila i = mV1 maka


persamaan (C2) dapat ditulis dalam bentuk

81

m K iV1dv1
2kT 1/ 2
5
( 0)
2
=
(1 + nB ) W1 W1 f1 ( v1 )
2

m
(C3)

m 2 1 2 ( 0)
1
( 0)
+ (1 ) g12 i 3
G + g r f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2
r kT
2
4

m
2kT

(1 ) g

12

( G ig ) r f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 imV1dv1


r

Dengan memanipulasi suku kedua dan suku ketiga dalam kurung siku di ruas
kanan persamaan (C3) diperoleh bentuk

m K iV1dv1
2kT 1/ 2
5
( 0)
2
=
(1 + nB ) W1 W1 f1 ( v1 )
2

m
3

0
0
+ (1 ) g12 i W12 r f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2 mV1dv1.
r 2
2

(C4)

Hasil evaluasi formal terhadap suku integral pertama dalam kurung di ruas kanan
persamaan (C4) sama dengan nol. Adapun suku kedua dievaluasi dengan cara
berikut,

2 (1 ) g

12

3
( 0)
( 0)
2
W1 r f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2 imV1dv1
r 2

2
3

0
0
= r 3 (1 ) W12 g12 f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) dv 2 imV1dv1
2

*
kT 3
4
( 0)
( 0)
2
= r3
W1 f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) dv 2 dv1.

m kT 2
3

(C5)

Melalui integrasi formal dapat ditunjukkan bahwa hasil evalusi persamaan (C5)
juga sama dengan nol.

Untuk membuktikan syarat keortogonalan pada persamaan (126b) maka ungkapan


(123b) disubstitusikan ke ruas kiri persamaan tersebut sehingga dihasilkan

82

L dv
i

= {2 f1(

m
kT

m
2kT

0)

( v1 ) W1W1

(1 ) g

12

(1 ) g


1
0
0
Gr ( G ir ) U f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2

r
3

12

(C6)

gr ( g ir ) U f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drd v 2 } i dv1

3
r

Bila i = 1 atau i =

1
mV12 maka hasil integrasi sama dengan nol karena
2

melibatkan integrasi terhadap tensor tanpa trace yang pada dasarnya merupakan
integrasi fungsi ganjil. Bila i = mV1 maka hasil integrasi juga sama dengan nol
karena merupakan fungsi ganjil terhadap V1 , g12 dan G .

Untuk membuktikan syarat keortogonalan pada persamaan (126c) maka ungkapan


(123c) disubstitusikan ke ruas kiri persamaan tersebut sehingga dihasilkan

M dv
i

7 dB 2 2 d 2 B ( 0)
2 3

= n W12 B + T
T
f1 ( v1 )
3 dT 3 dT 2
3 2

(1 ) g12 i ( G ir ) f1(0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2

3kT
r
m

(1 ) g12 i ( gir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 i dv1.

6kT
r

(C7)

Bila i = mV1 maka secara langsung hasil integrasi sama dengan nol karena
merupakan integral fungsi ganjil terhadap V1 , g12 dan G .
Bila i = 1 maka diperoleh persamaan

M dv

7 dB 2 2 d 2 B 3
2
0
= n B + T
T
W12 f1( ) ( v1 )
2
3 dT 3 dT 2
3

(1 ) g12 i ( G ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2

r
3kT

(1 ) g12 i ( gir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1

r
6kT

(C8)

83

yang juga dapat ditulis dalam bentuk berikut, kalau dievaluasi menggunakan
model tumbukan bola keras dan mengingat hubungan-hubungan pada persamaan
(118) dan (119),

Mdv

7 dB 2 2 d 2 B 3
2
0
= n B + T
T
W12 f1( ) ( v1 )
2
3 dT 3 dT 2
3

m
3kT

(1 ) g

12

(C9)

( V2 ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 dv1


r

Hasil integrasi formal terhadap suku pertama di ruas kanan persamaan (C9) sama
dengan nol. Hasil integrasi suku kedua sama dengan nol melalui asumsi molekul
terlokalisasi setelah mengubah persamaan integral tersebut menjadi persamaan
integral permukaan.13

Bila i =

1
mV12 maka diperoleh persamaan
2

1
m MV12 dv1
2
7 dB 2 2 d 2 B 3
2
0
= n B + T
T
W12 f1( ) ( v1 )
2
3 dT 3 dT 2
3

3kT
m

6kT

( 0)
( 0)
(1 ) g12 i r ( G ir ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2

1
( 0)
( 0)
2
(1 ) g12 i r ( gir ) f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) drdv 2 2 mV1 dv1

(C10)

yang dengan cara memisahkan bagian tidak bereaksi dari bagian bereaksi juga
dapat ditulis dalam bentuk

1
m MV12 dv1
2
7 dB 2 2 d 2 B 3
2
0
= n B + T
T
W12 f1( ) ( v1 )
2
3 dT 3 dT 2
3

0
0
g12 i ( G ir ) f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2

3kT
r
m

0
0
g12 i ( g ir ) f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) drdv 2

6kT
r
2m

1
g12 i ( V2 ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 mV12 dv1.
+

3kT
r
2

(C11)

84

Dalam hal ini, pada bagian yang bereaksi dilakukan manipulasi menggunakan
hubungan-hubungan seperti ditunjukkan persamaan (118) dan (119).

Evaluasi terhadap suku integral pertama di ruas kanan persamaan (C11)


menghasilkan

1
7 dB 2 2 d 2 B 2 3
0
T
W12 f1( ) ( v1 )dv1
nm B + T
V
2 1
3
3 dT 3 dT
2

7 dB 2 2 d 2 B
= n kT B + T
T

3 dT 3 dT 2

2
= r 3 n 2 kT .
3
2

(C12)

Hasil evaluasi terhadap suku kedua adalah

3kT g

12

1
( G ir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 mV12 dv1
r
2

m
1
1
4
= r 3
( G ig12 ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) dv 2 m G 2 G ig12 + g122 dv1

kT
4
9
2

m
2
G 2 g122 f1( 0) ( v1 ) f1( 0 ) ( v 2 ) dv 2 dv1
= r 3m

kT
9
3 2
= 2 r n kT .
(C13)
Adapun evaluasi terhadap suku ketiga adalah sebagai berikut,

6kT g

12

1
( gir ) f1( 0) ( v1 ) f1( 0) ( v 2 ) drdv 2 mV12 dv1
r
2

m
1
2
1

0
0
g122 f1( ) ( v1 ) f1( ) ( v 2 ) dv 2 m G 2 G ig12 + g122 dv1
= r 3

kT
4
9
2

m 2 1 2 ( 0)
2
( 0)
= r 3m
G + g12 f1 ( v1 ) f1 ( v 2 ) dv 2 dv1

9
2kT
4

8
= r 3 n 2 kT .
3

(C14)

Berdasarkan uraian di atas maka hasil penjumlahan suku pertama, kedua dan
ketiga di ruas kanan persamaan (C11) yang mewakili keadaan tanpa reaksi kimia
sama dengan nol. Adapun hasil integrasi suku keempat sama dengan nol melalui
asumsi molekul terlokalisasi setelah mengubah persamaan integral tersebut
menjadi persamaan integral permukaan.13

85

Untuk membuktikan syarat keortogonalan pada persamaan (126d) maka ungkapan


(123d) disubstitusikan ke ruas kiri persamaan tersebut sehingga dihasilkan

N dv

0
dB 2 2 d 2 B 1
dkr( )
dB ( 0) ( 0)
2 4
1
nT
kr f1 ( v1 ) S1/( 2) (W12 )
= 1 + nT
nT
+ n 2T

2
dT 3
dT 2
dT
dT
3 3

nkr( ) f1(
0

0)

( v1 ) + J r( 0) } i dv1.

(C15)
Bila i = 1 maka diperoleh bahwa

Ndv

0
dB 2 2 d 2 B 1
dkr( )
dB ( 0) ( 0)
2 4
1
nT
kr f1 ( v1 ) S1/( 2) (W12 )
= 1 + nT
nT
+ n 2T

2
dT 3
dT 2
dT
dT
3 3

nkr( ) f1(
0

0)

( v1 ) + J r( 0) } dv1.

(C16)
Integrasi formal terhadap suku pertama memberikan hasil nol. Suku integral
kedua dapat ditulis dalam bentuk

nkr( ) f1(
0

0)

( v1 ) dv1

f1( 0) ( v1 )
0
0
=
dv1 f1( ) ( v1' ) f1( ) ( v '2 ) g12 ( )d dv 2 dv1.
n

(C17)

Di sini dapat ditunjukkan bahwa

f1(

0)

( v1 ) dv

=1

(C18)

sehingga suku kedua menjadi

nkr( 0) f1( 0) ( v1 ) dv1 = f1( 0) ( v1' ) f1( 0) ( v '2 ) g12 ( )d dv 2 dv1.

(C19)

Karena suku ketiga dalam bentuk lebih panjang ditulis

( 0)
r

dv1 = f1( 0) ( v1' ) f1( 0) ( v '2 ) g12 ( )d dv 2 dv1

(C20)

maka penjumlahan suku ini dengan suku kedua sama dengan nol.
Bila i = mV1 maka secara langsung hasil integrasi sama dengan nol karena
merupakan integral fungsi ganjil terhadap V1 .

86

Bila i =

1
mV12 maka diperoleh
2

1
m NV12 dv1
2
0
dkr( )
dB 2 2 d 2 B 1
dB ( 0) ( 0)
2 4
= 1 + nT
nT
nT
+ n 2T
kr f1 ( v1 ) S1/(12) (W12 )

2
3
3
3
2
dT
dT
dT
dT

nkr( ) f1(
0

0)

( v1 ) + J r( 0) }

1
mV12 dv1.
2
(C21)

Hasil integrasi terhadap suku pertama adalah


dkr( 0)
dB 2 2 d 2 B 1
dB ( 0) 3
2 4
0
nT
nT
nT
kr W12 f1( ) ( v1 ) dv1
1
+

+ n 2T

2
dT 3
dT 2
dT
dT
3 3

2
dk ( )
1
= n 2 kT 2 r .
2
dT
0

(C22)
Hasil integrasi suku kedua adalah
1
0
0
m V12 nkr( ) f1( ) ( v1 ) dv1
2
0
f1( ) ( v1 ) 1
0
0
=
mV12 dv1 f1( ) ( v1' ) f1( ) ( v '2 ) g12 ( )d dv 2 dv1
2
n
= 4 1/ 2 kT e W1 W14 dW1 f1(
2

0)

( v ) f ( ) ( v ) g ( )d dv dv
'
1

'
2

12

(C23)

3
0
0
= kT f1( ) ( v1' ) f1( ) ( v '2 ) g12 ( )d dv 2 dv1
2
3
0
= kTkr( ) .
2
Sedangkan hasil evaluasi terhadap suku ketiga seperti ditunjukkan melalui
persamaan (92) adalah

1
3
1
dk ( )
0
0
m V12 J (r ) dv1 = n 2 kTkr( ) + n 2 kT 2 r .
2
2
2
dT
0

(C24)

Dengan demikian, penjumlahan suku pertama, kedua dan ketiga sama dengan nol.

You might also like