You are on page 1of 4

PEMBAHASAN

Pasien masuk dengan keluhan utama batuk lama, darah (+), dahak (+). Banyak penyakit
yang dapat menyebabkan batuk darah atau hemoptisis, antara lain: infeksi (tuberkulosis,
bronkiektasis, abses paru, jamur, bronchitis, dan pneumonia), neoplasma (karsinoma
bronkus), kardiovaskular (infark paru, edema paru, stenosis katup mitral), dan lain-lain
(trauma dada, aspirasi benda asing). Pada pasien ini berdasarkan gejala klinis (batuk lama
yang disertai darah, sesak ,demam, nafsu makan menurun, dan berat badan menurun, Nyeri
dada timbul terutama ketika pasien batuk dan sesak napas), riwayat penyakit sebelumnya
(pernah mendapat terapi OAT selama 5 bulan yang lalu selama 3 bulan. Namun OS tidak
minum OAT lagi selama 2 bulan karena merasa sudah sembuh dan tidak batuk lagi ),
pemeriksaan fisik (ronchi basah pada apeks paru kanan), dan pemeriksaan tambahan (BTA
Negatif, LED meningkat, dan foto thorax yang memberi kesan TB Paru), diagnosis lebih
diarahkan pada TB Paru putus obat.
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan atau riwayat
penyakit sebelumnya, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi, dan pemeriksaan
radiologi. Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal (batuk lebih
dari 2 minggu, hemoptisis, sesak napas, dan nyeri dada) dan gejala sistemik (demam, malaise,
keringat malam, nafsu makan menurun, dan penurunan berat badan). Pada pemeriksaan fisik
thorax dapat ditemukan bunyi tambahan berupa ronchi pada bagian paru yang terkena.
Gambaran ini dapat muncul akibat adanya infiltrat pada kavitas parenkim paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. Riwayat penyakit sebelumnya menunjukkan
bahwa pasien telah mengonsumsi OAT selama 3 bulan namun berhenti minum OAT selama 2
bulan berturut- turut, berarti pasien ini termasuk dalam penderita TB kategori 2 (putus obat).
Anjuran pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan sputum BTA Setelah 3 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. WHO merekomendasi
pemeriksaan apusan dahak BTA pada akhir fase intensif pengobatan untuk pasien yang
diobati dengan OAT lini pertama baik kasus baru dan pengobatan ulang. Apusan dahak BTA
dilakukan pada akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang.
Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan apusan dahak BTA negatif.
Diperlukan juga pemeriksaan kultur, resistensi dan sensitivitas OAT, mengingat banyak
kasus MDR (Multi Drug Resistant) TB sekarang ini. Namun, pemeriksaan tersebut tidak

tersedia di RSUD Indrasari Rengat. Global Plan to Stop TB 2006-2015 mencanangkan target
untuk semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji resistensi OAT pada
awal pengobatan. Uji resistensi obat dilakukan sedikitnya untuk isoniazid dan rifampisin dan
tujuannya adalah mengidentifikasi TB resisten obat sedini mungkin sehingga dapat diberikan
pengobatan yang tepat. Jenis pengobatan OAT ulang bergantung pada kapasitas laboratorium
daerah setempat. Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji resistensi obat
berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini
digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan
uji resistensi obat konvensional dengan media cair atau padat dan mendaparkan hasil dalam
beberapa minggu atau bulan maka daerah tersebut 2 sebaiknya menggunakan paduan empiris
sambil menunggu hasil uji resistensi obat. Pasien dengan kasus seperti ini dapat menerima
kembali paduan OAT lini pertama, (2RHZES/1RHZE/5RHE).
Pengobatan pada pasien ini tetap mengacu pada pengobatan simptomatik, terapi
ulangan OAT dengan OAT kategori 2 yaitu 2(HRZE)S / (HRZE) / 5HRE . pengobatan
keluhan lain secara simptomatik.
Cefotaxime adalah antibiotik sefalosporin generasi ke tiga dan bersifat bakterisidal.
cefotaxime aktif terhadap bahteri gram negatif seperti : E.coli (32%) , H.influenzae,
Klebsiella sp (32%) , Proteus sp ( indole positif dan negatif ), Serattia sp, Neissarea sp, dan
Bacteroides sp. Bakteri garam positif yang peka antara lain : Staphylococci (11%) ,
Streptococci aerob serta anaerob, Streptococcus pneumoniae, dan Clostridium sp. diberikan
pada pasien ini karena adanya kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial dari rumah sakit,
sehingga diberikan penanganan antibiotik intravena.
Ranitidine, yang merupakan golongan obat antagonis H 2 reseptor, diberikan pada
pasien ini karena keluhan nyeri ulu hati pada pasien ini. Nyeri ulu hati pada pasien ini
mungkin disebabkan karena asupan oral yang tidak adekuat akibat infeksi kronis yang
dialami oleh pasien dan juga pengaruh dari mengkonsumsi obat obatan TB ketika dirawat.
Pengaturan diet pada pasien ini adalah diet tinggi karbohidrat tinggi protein, karena
pada pasien ini terjadi proses infeksi kronik sehingga terjadi peningkatan energy expenditure.
Di samping itu, terjadi penurunan nafsu makan pada pasien ini akibat penyakit kronik yang
dialaminya, sehingga terjadi penurunan intake pada pasien ini.

Efek samping pemberian OAT isoniazid menyebabkan adanya gangguan seperti neuritis
perifer, untuk mengurangi gejala tersebut maka diberikan Vitamin B6 2 x 10 mg.
Dalam kasus ini dapat diidentifikasikan masalah masalah yang terjadi sebelum di
tangani di Rumah sakit, tujuan dipelajari masalah ini adalah menghindari terjadinya
kesalahan berulang ketika telah menjalani pengobatan di RSUD Indrasari. Permasalahan
yang dapat diidentifikasi sebelum berobat ke RSUD yaitu terjadinya peristiwa putus obat
pada pasien tersebut. Dimana putus obat dapat meningkatkan kejadian terjadinya multi drug
resisten. Untuk menghindari terjadinya putus obat kembali pada pasien ini maka kita dapat
mengambil tindakan berupa edukasi yang baik kepada pasien sehingga meningkatkan
kesadaran pasien untuk tetap rutin menjalani pengobatan. Edukasi sederhana yang diberikan
kepada pasien dapat meliputi efek samping pengobatan, lama pengobatan, resiko terjadinya
MDR, resiko kemungkinan anak dan keluarga tertular penyakit yang sama lebih tinggi.
Dengan diberikannya edukasi tersebut diharapkan pasien dapat dengan kesadaran sendiri
tetap melakukan pengobatan hingga tuntas.
Pada pasien ini juga diketahui bahwa anak di berhentikan untuk menyusu kepada ibu
nya, padahal tidak ada pengaruh antara pengobatan TB dengan menyusui, jikapun takut
tertular TB maka jalan yang harus dilakukan adalah memberikan isoniazid profilaksis.
Meskipun terdapat konsentrasi OAT yang disekresikan pada ASI namun konsentrasinya
minimal dan bukan merupakan kontraindikasi pada perempuan menyusui. Konsentrasi OAT
pada ASI sangat rendah sehingga tidak bisa diandalkan untuk terapi TB pada bayi. Apabila
bayi membutuhkan terapi TB maupun profilaksis maka harus diberikan paduan obat standar
yang dosisnya sesuai dengan berat badan. Ibu dengan TB paru sensitif obat dapat
melanjutkan OAT sambil menyusui dan bayinya mendapat profilaksis TB selama 6 bulan
dengan INH 10mg/kgBB/hari apabila terbukti tidak menderita TB dan diikuti dengan
vaksinasi BCG.
Pada saat penanganan di RSUD Indrasari rengat juga dapat di identifikasikan beberapa
masalah dianataranya tidak adekuatnya obat yang diberikan pada pasien karena tidak
tersedianya Streptomisin di RSUD indrasari Rengat, anak tidak mendapatkan terapi
pencegahan penularan TB mengunakan isoniazid dan jarak pasien untuk berobat cukup jauh
dari RSUD Indrasari Rengat.

Anjuran pada saat ini dapat diberikan kepada pasien:


1.Pemberian profilaksis TB pada anak
2. Jika meludah jangan disembarang tempat
3. Pasien di pindahkan pengobatannya ke puskesmas terdekat agar mengurangi risiko pasien
putus berobat
4. Cek BTA berkelanjutan
5. Tetap menyusui anaknya.

You might also like