You are on page 1of 7

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO.

2/JULI/2009

Pengaruh General Reaction Score Terhadap Kadar Kortisol Darah


Pada Wanita yang Terpapar Bising Pesawat Udara
di Sekitar Bandara Adi Sumarmo Boyolali
Effect of the General Reaction Score on Cortisol Circulating Levels
in Women Exposed to Aircraft Noise
in the Adjacent Area of Adi Sumarmo Airport Boyolali
Hartono
Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT
Background: Exposure to noise constitutes a health risk. There is sufficient scientific evidence that
aircraft noise exposure can induce various disorders, such as hearing impairment, hypertension and
ischemic heart disease, annoyance, sleep disturbance, and decreased school performance. This study
aimed to examine the effect of the general reaction score on cortisol circulating levels of women with
aircraft noise exposure in the area of Adi Sumarmo Airport of Boyolali.
Methods: This was an analytical cross sectional study, conducted at the Dibal and Gagak Sipat Village,
Ngemplak Sub district, Boyolali Central Java. The study was conducted from July 2008 to Juni 2009.
The sample of 39 people was selected at random, divided into 3 groups: Group 1 was exposed 92.29dB
noise level (13 people), Group 2 was exposed 71.79 dB noise level (13 people), and Group 3 was exposed
to 52.17 dB noise level (13 people). The data were analyzed by Pearson Correlation and Kruskal-Wallis
followed by Pair-wise test.
Results: Kruskal-Wallis test showed that there was a significant difference in cortisol circulating levels
statistically in the groups (p = 0.018). Pearson correlation showed a positive association between
general reaction score induced by aircraft noise exposure and circulating levels of cortisol (r = 0.47; p
= 0.02).
Conclusion: There is a significant effect of the general reaction score on cortisol circulating levels in
women with aircraft noise exposure in the adjacent area.
Keywords : aircraft noise, general reaction score, cortisol, Adi Sumarmo Airport

PENDAHULUAN
Pertambahan transportasi yang pesat, penggunaan
mesin-mesin baru yang lebih besar dan berkekuatan
serta proses industri yang lain, akan memberikan
dampak positif maupun negatif bagi masyarakat.
Salah satu dampak negatif dari aktivitas tersebut
adalah kebisingan. Penelitian yang dilakukan di
sekitar Bandara Heathrow London menunjukan
bahwa anak-anak di sekitar bandara merasakan sangat
terganggu akibat bising pesawat udara dan mereka
merespon bising tersebut sebagai stresor, dan ini
berdampak pada kognitif dan kondisi kesehatan
mereka (Haines et al., 2001).

172

Secara umum dipahami bahwa bising


mengganggu aktivitas dan komunikasi. Ketergangguan
akibat bising merupakan fenomena mind dan mood.
Gangguan bising bisa didefinisikan sebagai perasaan
tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh bising,
hal ini merupakan status psikis, yang muncul dari
pengaruh persepsi yang tidak diharapkan atau pada
subordinasi terhadap keadaan dengan sikap negatif,
karena bising tersebut mengganggu privasi,
mengganggu performa aktivitas atau mempengaruhi
kualitas istirahat (Sobbotova, 2006). Pada beberapa
kasus annoyance menimbulkan respon stres, yang akan
menyebabkan gejala-gejala dan kemungkinan
berkembang menjadi penyakit (Stansfeld et al., 2003).

HARTONO/ PENGARUH GENERAL REACTION SCORE TERHADAP KADAR KORTISOL DARAH

Penilain terhadap skala tingkat ketergangguan


yang sekarang banyak digunakan pada survei-survei
kebisingan pesawat udara adalah General Reaction
Score (GRS). Skala ketergangguan yang pernah dibuat
untuk memprediksi reaksi subjektif ialah dengan
membuat skala mulai dari respons langsung sampai
dengan gangguan aktivitas yang dirasakan. Dengan
mengikutkan gangguan aktivitas dan penilaian emosi
dari subjek, kita mendapatkan penilaian mandiri dari
ketergangguan ini (self rating of annoyance). Dengan
demikian kita mendapatkan prediksi subjektif
kebisingan yang lebih terpercaya (Hede dan Bullen,
1982).
Stres menimbulkan reaksi yang berbeda di
sepanjang poros hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA)
diantaranya peningkatan adrenokortikotropin
(ACTH) dan peningkatan kadar kortisol darah
(Ronald, 2003). Banyak penelitian telah dilakukan
oleh pakar untuk mengetahui bagaimana kaitan stres
dengan sistem kekebalan tubuh, sehingga muncul
bidang baru yang disebut psikoneuroimmunologi.
Dalam kaitan ini para ilmuwan ingin melihat
bagaimana faktor psikologis itu dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh. Pada perspektif
psikoneuroimunologi, sistem imun sangat
dipengaruhi oleh kinerja sistem hormon dari poros
Hyphotalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dan poros
(axis) Sympathetic-Adrenal Medullary (SAM) (Ader,
2000; Padget dan Glaser, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini
bertujuan mengetahui pengaruh perbedaan General
Reaction Score terhadap kadar kortisol darah pada
wanita yang terpapar bising pesawat udara di sekitar
Bandara Adi Sumarmo Boyolali.
SUBJEK DAN METODE
BAHAN DAN ALAT
Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
kebisingan adalah Sound Level Meter ( Extech Model
407735, Jepang), dan untuk mengukur tingkat
ketergangguan subjek digunakan kuesioner General
Reaction Scrore yang disusun, dilakukan uji validitas
dan reliabilitas oleh Bullen dan Hede (1982).
Selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan kondisi
masyarakat Indonesia oleh Edy (1998) dan Kusmiati
et al. (2006). Alat untuk mengukur kadar kortisol

darah menggunakan ELISA (Enzyme-Linked


Immunosorbent
Assay)
dengan
Kit
Imunnochemiluminescent human- cortisol.
RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan rancangan cross sectional. Penelitian
dilakukan pada masyarakat di sekitar landasan pacu
Bandara Adi Sumarmo Boyolali tepatnya Desa Dibal
dan Desa Gagak Sipat Kecamatan Ngemplak
Kabupaten Boyolali. Populasi penelitian adalah
penduduk di Desa Dibal dan Desa Gagak Sipat
Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali Jawa
Tengah.
Inklusi : Perempuan, menikah, pekerjaan sebagai
ibu rumah tangga (bekerja di rumah saja), berumur
antara 20-40 tahun. Tinggal di tempat tersebut
minimal 1 tahun. Eksklusi : Mengkonsumsi obatobatan atau jamu, dalam kondisi hamil, menderita
sakit telinga/tuli, menderita sakit infeksi (demam,
flu, diare) dan menderita diabetes melitus.
Berdasarkan jarak tempat tinggal dengan
landasan subjek dibagi menjadi 3 kelompok dengan
ketentuan sebagai berikut :
Kelompok 1: Subjek yang bertempat tinggal
berjarak < 500 m dari ujung landasan bandara dengan
intensitas kebisingan 92,29 dB skala WECPNL.
Kelompok 2: Subjek yang bertempat tinggal
berjarak 500-1.000 m dari ujung landasan
bandara dengan intensitas kebisingan 71,79 dB skala
WECPNL.
Kelompok 3: Subjek yang bertempat tinggal jauh
(> 1.000 m) dari landasan bandara dengan intensitas
kebisingan 52,17 dB skala WECPNL.
Subjek yang memenuhi kriteria dipilih sejumlah
13 sampel per kelompok secara simple random
sampling (Gobeirno, 1998).
CARA KERJA
Subjek
Sebelum dilakukan penetapan sampel, dilakukan
pengukuran karakteristik subjek (umur, jenis kelamin,
jenis pekerjaan, dsb.) dengan mengedarkan kuesioner
maupun data yang terkait dengan kriteria subyek.
Subjek yang memenuhi kriteria diambil 13 tiap

173

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

kelompok secara simple random sampling. Jumlah


keseluruhan subjek 39.
Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan dilakukan dua cara yaitu,
pengukuran kebisingan dilakukan pada saat pesawat
melintas dan kebisingan latar belakang lingkungan
sekitar tanpa dipengaruhi oleh kebisingan pesawat.
Pengukuran dengan menggunakan alat Sound Level
Meter (SLM).
Tiap area dilakukan pengukuran pada tiga titik
dengan portable SLM dan besaran fisis akustik
terukur dB dalam pembebanan A. SLM diletakan
dengan filter yang sejajar dengan telinga. SLM diatur
pada fungsi maksimum value untuk mengukur
tingkat bising maksimum pada waktu-waktu pesawat
melintas sehingga dapat menutup tingkat bising latar.
Cara pencatatan besaran fisis akustik ialah dengan
mencatat tingkat kebisingan maksimum (peak level)
yang terjadi di daerah bersangkutan saat pesawat
melintas untuk take-off dan landing dan jam-jam
terjadinya itu dicatat. Prosedur rating tingkat bising
yang digunakan adalah WECPNL. Persamaannya
sebagai berikut :
WECPNL = dB(A) + 10 Log N-27

General Reaction Score.


General Reaction Score adalah alat ukur yang
berupa kuesioner untuk mengkur tingkat
ketergangguan masyarakat akibat paparan menahun
bising pesawat udara.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada
subjek mempunyai klasifikasi yang berbeda, inti dari
klasifikasi pertanyaan tersebut ialah sebagai berikut.
1. Penilaian skala kejengkelan (annoyance scale) [A]
2. Penilaian skala keterusikan (disturbance scale) [D]
3. Penilaian skala keluhan yang pernah diajukan
(complain disposition) [CD]
4. Skala reaksi umum keseluruhan (overall general
reaction) [G]
5. Skala penilaian tunggal (single rating) [F]
(GR) dirumuskan dengan persamaan :
GR = (G + f1A + f2D + f3CD + f4F + C) / K
Keterangan :
fn : Faktor pembebanan masing-masing skala
C

: Konstanta regresi

: Konstanta untuk mengkonversi besaran


menjadi GR

: jumlah kedatangan dan keberangkatan


pesawat dalam 24 jam

Nilai-nilai pembebanan (fn) didapat dari koefisien


regresi linier ganda dengan G sebagai variabel
dependen sedangkan A, D, CD, F sebagai variabel
independen. Adapun nilai K sebagai faktor koreksi
yang mengkonversi nilai GR menjadi 0-10 didapat
dari pembagian nilai maksimum A=20, D=35,
CD=5, G=10 dan F=10 dengan GR maksimum =
10 (Hede dan Bullen, 1982; Kusmiati et al., 2006).

N1

: jumlah kedatangan dan keberangkatan


pesawat dari jam 07.00-19.00

Pengukuran kadar kortisol darah

N2

: jumlah kedatangan dan keberangkatan


pesawat dari jam 19.00-22.00

N3

: jumlah kedatangan dan keberangkatan


pesawat dari jam 22.00-07.00

N = N1 + 3N2 + 10N3
dB(A) : nilai desibel rata-rata dari setiap puncak
kesibukan pesawat dalam satu hari

Dari besaran dB (A) dikonversikan menjadi


WECPNL sesuai dengan jumlah pesawat yang
melintas selama 24 jam (Kusmiati et al., 2006; Poetra
et al., 2007; Hartono et al., 2007b).

174

Setelah sampel ditetapkan, diambil darah (whole


blood) subjek sebanyak 4 ml. Pengambilan darah
dilakukan jam 07.00 WIB, selanjutnya dilakukan
penghitungan kadar kortisol dengan ELISA.
Pembacaan hasil dilakukan dua kali oleh dua
pengamat yang berbeda, untuk mendapatkan data
yang reliabel.

HARTONO/ PENGARUH GENERAL REACTION SCORE TERHADAP KADAR KORTISOL DARAH

Uji Statistik
Uji Kruskal- Wallis dilanjutkan dengan Pair-wise test
untuk menguji kemaknaan statistik perbedaan General Reaction Score dan kadar kortisol antara ketiga
kelompok. Hubungan General Reaction Score dengan
kadar kortisol ditunjukkan oleh koefisien korelasi
Pearson (Altman, 1999., Campbell dan Machin,
2003., Santosa, 2003).
HASIL-HASIL
Pengukuran taraf intensitas berdasarkan skala
WECPNL dilakukan bekerjasama dengan
Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret,
menggunakan alat Sound Level Meter (SLM) merk
Extech Model 407735 buatan Jepang. Pengukuran
dilakukan sesuai dengan Buku Petunjuk Pengukuran
dan Perhitungan Kebisingan Bandar Udara dalam
WECPNL yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara Departemen Perhubungan
(Poetra et al., 2007). Hasil Pengukuran tidak berbeda
jauh dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh
Hartono (2006b) dan Hartono et al. (2007b), untuk
lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Mean dan SD taraf intensitas berdasarkan skala
WECPNL, General Reaction Score (GRS) dan kadar
kortisol darah masing-masing kelompok
Kelompok Kelompok Kelompok
I
II
III
Taraf i ntensitas (dB) 92.29
71.5
52.2
GRS
8.3 1.7a 4.8 2 .0b 3.2 1.2c
a
b
c
Kortisol (g/dl)
13 .3 3.1 12.2 3.5 10.2 2.4

Hasil pengukuran taraf intensitas untuk masingmasing area tersebut ditinjak lanjuti dengan pengukuran
skor ketergangguan umum (General Reaction Score)
terhadap 39 subjek. Hasil pengukuran menunjukkan
bahwa terdapat beda nyata antar kelompok pada uji
Kruskal-Wallis one way Anova dilanjutkan dengan
Multiple Comparisons test (a = 0,05) yang ditunjukkan
oleh nilai p = 0,000. Dari hasil tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kelompok subjek yang berada di area
I dengan taraf intensitas 92,29 dB tingkat ketergangguan
umum yang dialami lebih tinggi dibanding subjek yang
berada di area II dengan taraf intensitas 71,49 dB
maupun dibanding subjek yang berada di area III
dengan taraf intensitas 52,17 dB.

Demikian juga subjek yang berada di area II


tingkat ketergangguan lebih tinggi dibanding dengan
subjek yang berada di area III. Semakin tinggi taraf
intensitas suatu bising semakin tinggi tingkat
ketergangguan umum subjek (GRS).
PEMBAHASAN
Temuan penelitian ini sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Bullen dan Hede (1982) dan
Kusmiati et a.l (2006). Hasil ini juga sejalan dengan
teori yang dikemukakan oleh Karvanen dan Mikheev
(1986) maupun Passchier dan Passchier (2000), yang
menyatakan bahwa pengaruh bising terhadap
kesehatan tergantung pada: taraf intensitas, frekuensi,
lama paparan, jenis bising dan sensitifitas individu.
Taraf intensitas bising yang tinggi lebih mengganggu
dibanding dengan taraf intensitas bising yang rendah.
Reaksi terhadap bising yang berupa annoyance
merupakan efek bising terpenting, karena mempunyai
kontribusi untuk terjadinya efek bising yang lain
seperti gangguan kardiovaskuler, gangguan tidur,
gangguan hormonal maupun sistem imun, dan lainlain (Stansfeld dan Matheson, 2003). Dilaporkan
bahwa pekerja yang bekerja di tempat bising
mempunyai frekuensi tidak masuk kerja lebih tinggi
dibanding mereka yang bekerja di lingkungan tidak
bising (Melamed et al., 1992). Sejalan dengan
penelitian tersebut Hartono (2005) juga melaporkan
adanya peningkatan kejadian sindroma dispepsia
pada tenaga kerja yang bekerja di perusahaan tekstil
PT. Kusuma Hadi Santosa Karang Anyar.
Pengaruh variabel demografik (jenis kelamin,
umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, besar
jumlah keluarga, kepemilikan rumah) terhadap
annoyance kurang begitu penting. Berbeda dengan
ketakutan terhadap sumber bising dan sensitivitas
individu terhadap bising mempunyai efek yang besar
terhadap annoyance.
Penelitian yang dilakukan oleh Haines et al.
(2001) di sekitar Bandara Heathrow London menunjukan bahwa anak-anak di sekitar bandara merasakan
sangat terganggu akibat bising pesawat udara dan
mereka merespon bising tersebut sebagai stresor, dan
ini berdampak pada kognitif dan kondisi kesehatan
mereka. Stres menimbulkan reaksi yang berbeda di
sepanjang axis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA)

175

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

diantaranya peningkatan adrenokortikotropin dan


peningkatan kortikosteroid (Ronald, 2003; Ganong,
2003; Guyton dan Hall, 2006).
Pada penelitian ini kadar kortisol darah diambil
pada pkl.07.00 08.00 WIB dan diperiksa dengan
menggunakan ELISA reader. Pengukuran dilakukan
bekerjasama dengan laboratorium Pramita Utama
Surakarta. Penelitian dilakukan terhadap 39 subjek
dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Kelompok subjek pada area I kadar kortisol ratarata 13.3 g/dl, kelompok subjek area II kadar
kortisol rata-rata 12.2 g/dl dan kelompok area III
kadar kortisol rata-rata 10.2 g/dl. Uji Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa kadar kortisol pada ketiga
kelompok berbeda secara statistik bermakna (p =
0,018). Kelompok area I distribusi populasi kadar
kortisol lebih tinggi dibanding kelompok area II
maupun area III.
Penelitian ini menemukan hubungan yang secara
statistik signifikan antara nilai GRS (General Reaction
Score) dan kadar kortisol (r = 0.55, p<0.05) Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa bising
pesawat udara taraf intensitas 92.3 dB (WECPNL)
dengan lama paparan lebih dari 1 tahun berakibat
gangguan (GRS) pada subjek dan direspon sebagai
stres sehingga menyebabkan kadar kortisol meningkat
dibanding kelompok kontrol (Area III taraf intensitas
52.2 dB). Bising pesawat udara taraf intensitas 71.5
dB dengan lama paparan lebih dari 1 tahun
menyebabkan gangguan pada subjek tetapi belum
menyebabkan peningkatan kadar kortisol subjek
dibanding kelompok kontrol (Gambar 1).
14

13

Mean CORTISOL (g/dl)

12

11

10

9
1

GROUP

Gambar 1 : Mean kadar kortisol darah kelompok 1 (r= 92.3


dB); kelompok 2 (r=71.5 dB); kelompok 3 (r=52.2 dB).

176

Hasil tersebut di atas sejalan dengan laporan


Cheng Zheng dan Arizumi (2007) yang melakukan
percobaan pada mencit (BALB/c mice) dengan
paparan bising 90 dB 5 jam/hari selama 3 hari dan
selama 4 minggu. Hasil ini juga sejalan dengan
Dhanalakshmi et al (2006) yang melaporkan bahwa
cold stress pada tikus putih berakibat pada
peningkatan kadar kortisol plasma dan peningkatan
ini akan berpengaruh pada sistem imun. Hasil
penelitian serupa juga dilaporkan oleh Asnar (2005)
yang melakukan paparan gelombang listrik pada
mencit sebagai model stresor.
Kortisol adalah hormon yang dihasilkan di kortek
kelenjar adrenal, yang produksinya berkaitan dengan
aktivitas axis HPA. Kortisol penting peranannya di
dalam pengaturan tekanan darah dan pengaturan
fungsi atau kerja jantung (Ganong, 2003; Guyton
dan Hall, 2006). Produksi kortisol akan mengalami
peningkatan pada saat tubuh terpapar stres baik stres
fisik maupun stres psikologis. Kelenjar pituitari
memproduksi hormon ACTH. Produksi ACTH
merangsang kortek kelenjar adrenal untuk
meningkatkan produksi glukokortikoid dan medula
kelenjar adrenal mensekresi katekolamin. Pada
manusia, 80% epineprin di produksi di medula
adrenal dan sisanya diproduksi di serabut syaraf
simpatik. Kelenjar pituitari menerima sinyal dari
hipotalamus berupa hormon CRH atau Corticotropin
Releasing Hormone yang akan merangsang kelenjar
pituitari untuk melepaskan ACTH. Setelah terpapar
stres, terjadi peningkatan kadar hormon ACTH dan
CRH, sehingga menyebabkan peningkatan
glukokortikod/ kortisol secara cepat (Asnar, 2005;
Padget dan Glaser, 2003).
Penelitian ini menyimpulkan bising pesawat
udara dengan taraf intensitas 71.5 skala WECPNL,
dengan lama paparan lebih dari 1 tahun sudah dapat
menyebabkan kondisi stress atau gangguan yang
ditunjukkan dari meningkatnya General Reaction
Score pada wanita di sekitar Bandara Adi Sumarmo
Boyolali. Peningkatan taraf intensitas menjadi 92.3
dB akan semakin meningkatkan General Reaction
Score. Peningkatan General Reaction Score akan diikuti
dengan peningkatan kadar kortisol darah.
Penelitian ini menyarankan upaya-upaya
preventif terhadap dampak bising pesawat udara pada
masyarakat sekitar Bandara Adi Sumarmo, agar

HARTONO/ PENGARUH GENERAL REACTION SCORE TERHADAP KADAR KORTISOL DARAH

dampak tidak semakin merugikan. Salah satu upaya


perlu dipikirkan langkah pemindahan masyarakat ke
lokasi yang lebih aman.

Ganong WF. (2003). Review of medical physiology.


Edisi ke-22. New York: Lange Medical Books/
McGrw-Hill, 515-531.

UCAPAN TERIMA KASIH

Guyton AC dan Hall JE. (2006). Textbook of medical


physiology. Edisi ke-11. Philadelphia, PA:
Elsevier Inc. Hal. 429-438.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. dr. KRT. Adi Heru Husodo,
MSc, D.comm.Nutr., DLSHTM., PKK dari bagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM, Prof. dr.
Marsetyawan HNES, MSc. PhD dari bagian
Histologi Fakultas Kedokteran UGM, dan
Drs.Suharyana, MSc PhD dari Fakultas MIPA UNS
atas kesempatan, bimbingan dan arahan selama
penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Ader R. (2000). On the Development of
psychoneuroimmunology. European Journal of
Pharmacology. 405, pp 167-176.
Altman DG. (1999). Practical statistic for medical
research. London. Chapman & Hall, 325-361
Asnar E. (2005). Modulasi imunitas sebagai respons
terhadap renjatan listrik. Suatu pendekatan
psikoneuroimunologi. Disertasi. Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
Campbell MJ. dan Machin D. (2003). Medical
Statistics, a Commonsense Approach. 3th edition,
Canada. John Wiley & Sons Inc., 150-177.
Cheng Zheng K. dan Arizumi M., 2007. Modulation
of immune functions and oxidative status
induced by noise stress. J Occup Health. 49,
32-38.
Dephub (2000). Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Udara No: SKEP/109/VI/2000
tanggal 6 Juni 2000 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pembuatan Kawasan Kebisingan
Bandar Udara.
Dhanalakshmi S, Srikumar R, Manikandan S,
Parthasarathy NJ, Devi RS. (2006). Antioxidant
property of tripala on cold stress induced on
oxidative stress in experimental stress. J Health
Science. 52. 843-847
Edi ST. (1998). Valuasi ekonomi tingkat bising
operasi pesawat udara di kawasan perumahan di
sekitar Bandara Sukarno Hatta, Tesis.

Gobeirno DA. (1998). Win Episcope 2.0 Programe.


University of Edinburgh.
Haines MM, Stansfeld SA, Job SRF, Berglund B, and
Head J. (2001). A Follow-up study of effects of
chronic aircraft noise exposure on child stress
responses and cognition. International Journal
of Epidemiology. 30, 839-845.
Hartono. (2005). Pengaruh perbedaan intensitas
kebisingan terhadap sindroma dispepsia pada
tenaga kerja di PT. Kusuma Hadi Santosa
Karanganyar. Biosmart. 7 (2), 131-134.
Hartono. (2006a). Perbedaan intensitas kebisingan
pengaruhnya terhadap jumlah limfosit pada
tikus putih (Rattus novergicus). Enviro. 7 (1),
63-66
Hartono. (2006b). Pengaruh perbedaan intensitas
kebisingan terhadap jumlah limfosit pada
masyarakat di sekitar bandara Adi Sumarmo
Boyolali. Enviro. 7(2), 20-24.
Hartono dan Muthmainah. (2007 a ). Pengaruh
perbedaan intensitas kebisingan terhadap
gambaran struktur histologi lambung pada tikus
putih (Rattus norvegicus), Jurnal Kedokteran
Yarsi 15 (2), 133-138.
Hartono, Qodriati I, Margono (2007 b). Pengaruh
paparan bising pesawat udara terhadap struktur
histologi duodenum pada tikus putih (Rattus
norvegicus), Enviro 8 (1), 33-36.
Hede AJ, Bullen RB (1982). Aircraft noise in australia,
a survey of community reaction. Sosio-Accoustic
Research Section, National Acoustic Laboratories
Commonwealrh Departement of Health,
Australian Goverment Publishing Service.
Canberra.
Karvanen M, Mikheev MI (1986). Epidemiology of
occupational health. Europe: WHO Regional
Publications. Hal. 27-29
Kusmiati A, Meilawati Y, Yustiani, Mubiarti E
(2006). Valuasi ekonomi kebisingan pesawat
udara di pemukiman sekitar bandara Husein
177

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

Sastranegara. Jurnal Teknik Lingkungan. Edisi


Khusus, 241-248
Melamed S, Luz J, dan Green MS (1992). Noise
exposure, noise annoyance and their relation to
psychological distress, accident and sickness
absence among blue-collar workers-the Cordis
Study. Lsr. J. Med Sci 28, 629-635.
Padgett D dan Glaser R (2003). How stress
influences the immune response.Trends in
Immunology. 24 (8) 444-448.
Passchier-VW dan Passchier WF. (2000). Noise
exposure and public health. Environmental
Health Perspectives. 108 (1), 123-131.
Poetra BR, Samiyono B, dan Pelitasari R (2007).

178

Petunjuk pengukuran dan perhitungan


kebisingan bandar udara dalam WECPNL.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Departemen Perhubungan. Jakarta Pusat.
Ronald De KE (2003). Noise, brain and stress.
Endocrine Regulation, 37, 51-68.
Santoso S (2003). SPSS Versi 10. Cetakan keempat.
Elex Media Computindo, Jakarta, 261-74.
Sobotova L (2006). Community noise annoyance
assesment in an urban agglomeration. Bratisi Lek
Listy. 107 (5), 214-216
Stansfeld SA, Matheson MP (2003). Noise pollution:
non-auditory effects on health. British Medical
Bulletin. 68, 243-257.

You might also like