You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai tingkat
kegempaan yang tinggi, hal ini dikarenakan Indonesia merupakan daerah pertemuan
tiga lempeng tektonik benua, yaitu: Lempeng Asia bergerak dari utara ke selatan
tenggara, lempeng Samudera Hindia Australia bergerak dari selatan menuju utara
dan lempeng Pasifik yang bergerak dari timur ke barat. Akibat dari gerakan ketiga
lempeng ini menimbulkan unsur-unsur tektonik lainnya seperti sesar, patahan lokal,
lipatan, tanah turun dan sebagainya. Kondisi ini menjadikan wilayah Indonesia
sebagi daerah tektonik aktif dengan tingkat seismisitas atau kegempaan yang tinggi.
Daerah penelitian berada pada dua zona sesar yaitu Sesar Lembang yang
berarah timur-barat (E-W) dan Sesar Cimandiri yang berarah timur laut-barat daya
(NE-SW). Oleh karena itu, daerah penelitian akan sangat dipengaruhi oleh
kedua zona sesar. Geologi di daerah penelitian, juga dilakukan studi khusus
mengenai longsoran yang dipengaruhi oleh percepatan tanah maksimum yang
diakibatkan oleh adanya gempabumi. Hal ini dilakukan karena banyak
ditemukan

kasus longsoran di daerah penelitian yang terjadi setelah adanya

gempabumi Jawa Barat Selatan yang terjadi pada tanggal 2 September 2009.
Longsor yang dipicu oleh adanya gempabumi telah banyak menimbulkan
korban jiwa seperti yang terjadi di Padang Pariaman dan Cianjur. Kedua
longsoran tersebut terjadi beberapa saat setelah terjadinya bencana gempabumi
dengan besar magnitud gempa yaitu 7,6 SR untuk gempa pada Longsoran
Padang Pariaman dan 7,3 SR untuk gempa pada Longsoran Cianjur. Oleh karena itu,
akan sangat menarik sekali jika dapat diketahui hubungan antara gempabumi
dengan potensi longsor yang terjadi di daerah penelitian.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

I.2. Maksud dan Tujuan


Maksud dari Seminar ini adalah:

Sebagai syarat untuk melanjutkan ke tahap Tugas Akhir Tingkat Sarjana


Strata-1 (S-1) Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
.

Memaparkan mengenai pengaruh gempa bumi secara umum terutama pada


karakteristik Tanah yang dapat mengakibatkan longsoran pada kondisi tertentu.
Tujuan penelitian secara umum adalah:

Mempelajari tatanan geologi daerah penelitian berupa geomorfologi,


stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi daerah penelitian.

Menganalisis kestabilan lereng di daerah penelitian yang berkaitan dengan


nilai percepatan

maksimum

tanah

permukaan

atau

peak

ground

acceleration (PGA) yang diakibatkan oleh gempabumi.


I.3. Batasan Masalah
Bahasan utama penelitian berupa pemetaan geologi daerah penelitian
serta studi khusus tentang analisis pengaruh percepatan gempabumi terhadap
kestabilan lereng. Dengan demikian penelitian ini akan diberi judul :
Pengaruh Percepatan

Gempabumi

Terhadap

Kestabilan

Lereng

di

Daerah

Cisarua , Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Gambar 1.1. Peta indeks lokasi daerah penelitian (Sumber gambar: Encarta, 2009)
Keterangan :

: Daerah Penelitian

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

I.4. Hasil Telitian


Berdasarkan kondisi geomorfologi, daerah penelitian dibagi menjadi dua
satuan geomorfologi yaitu Satuan Punggungan Jatuhan Piroklastik Sadangmekar dan
Satuan Dataran Aliran Piroklastik Cipada. Daerah penelitian umumnya berada
pada tahap geomorfik muda. Pola aliran sungai di daerah penelitian adalah pola
aliran subparalel dan dendritik. Struktur geologi di daerah penelitian adalah Sesar
Mengiri Turun Epen yang berarah timur laut-barat daya (NE-SW) dan Sesar Normal
Sadangmekar yang berarah timur- barat (E-W). Adanya Gempabumi dan Struktur
berpengaruh terhadap kelerengan daerah setempat yang mengakibatkan longsoran.
Terdapat empat buah longsoran dan tiga di antaranya dijumpai setelah terjadinya
gempa Jawa Barat Selatan yang terjadi pada tanggal 2 September 2009. Longsoranlongsoran tersebut dijumpai pada tanah residual yang merupakan hasil pelapukan
Satuan Tuf Lapili Burangrang.
I.5. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk nilai kestabilan

lereng

yaitu

menggunakan Metode Irisan. Ada beberapa metode perhitungan prinsip metode


irisan diantaranya adalah metode yang dikembangkan oleh Fellenius (1936 dalam
Hardiyatmo, 2006) dan metode yang dikembangkan oleh Bishop (1955 dalam
Hardiyatmo, 2006). Analisis kestabilan lereng yang akan digunakan dalam
penelitian

ini adalah metode yang dikembangkan oleh Bishop (1955 dalam

Hardiyatmo, 2006). Metode Bishop (1955 dalam Hardiyatmo, 2006) menganggap


bahwa gaya-gaya yang bekerja pada sisi-sisi irisan mempunyai resultan nol pada
arah vertikal. Metode ini paling banyak digunakan dalam analisis kestabilan
lereng.

Selain

sederhana

dan

cepat,

nilai

FK

yang diperoleh dengan

menggunakan metode Bishop (1955 dalam Hardiyatmo, 2006) mendekati nilai FK


yang diperoleh dengan perhitungan yang lebih rumit.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

BAB II
TINJAUAN UMUM
II.1. Fisiografi Regional
Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi empat zona yang berarah
timur- barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan
meliputi:
1) Zona Dataran Pantai Jakarta
2) Zona Antiklinorium Bogor
3) Zona Depresi Tengah Jawa Barat (Zona Bandung)
4) Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat

Daerah Penelitian
Keterangan:

Gambar 2.1. Fisiografi Regional Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949).
Berdasarkan pembagian zona ini, daerah penelitian termasuk ke dalam
Gunungapi Kuarter yang merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah Jawa
Barat (Zona Bandung) seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. Gunungapi

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

Kuarter merupakan zona yang terdiri dari gunungapi-gunungapi yang terbentuk


dan aktif pada Zaman Kuarter. Gunungapi yang terdapat dan letaknya dekat dengan
daerah penelitian yaitu Gunung Burangrang, Gunung Tangkubanparahu dan Gunung
Dano yang termasuk ke dalam Kompleks Sunda Purba.

II.2. Stratigrafi Regional Daerah Telitian


Martodjojo (1984) membagi Jawa Barat menjadi tiga mandala sedimentasi yaitu:
1. Mandala Paparan Kontinen Utara
2. Mandala Cekungan Bogor
3. Mandala Sedimentasi Banten
Daerah penelitian termasuk ke dalam Mandala Cekungan Bogor. Posisi
tektonik di Cekungan

Bogor

dari

zaman

Tersier

hingga

Kuarter

terus

mengalami perubahan (Martodjojo, 1984). Cekungan Bogor yang pada kala Eosen
Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah statusnya
menjadi cekungan belakang busur magmatik pada kala Miosen Awal-Pliosen.
Pada rentang waktu Miosen Awal-Miosen Akhir, di Cekungan Bogor terjadi
sedimentasi dengan mekanisme aliran gravitasi. Kemudian pada kala Pliosen,
sebagian dari Cekungan Bogor terangkat menjadi daratan dan merupakan jalur
magmatis, aktivitas volkanisme yang terjadi mengakibatkan adanya endapanendapan gunungapi. Batuan tertua pada mandala ini berumur Eosen Awal yaitu
Formasi Ciletuh. Di bawah formasi ini diendapkan kompleks Melange Ciletuh
yang merupakan olisostrom.
Pada Kala Oligo-Miosen diendapkan Formasi Bayah dan di atasnya
diendapkan secara tidak selaras Formasi Batu Asih dan Formasi Rajamandala
yang merupakan endapan laut dangkal. Kedudukan Cekungan Bogor pada
kala tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Hadirnya komponen kuarsa
yang dominan pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi
pada kala tersebut berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

berasal dari Daratan Sunda yang berada di utara. Daerah selatan Sesar
Cimandiri, pada akhir Oligo-Miosen diperkirakan masih berupa lingkungan
darat. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketidakselarasan antara sedimen
Oligosen dan Miosen di lepas Pantai Cilacap.
Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunungapi dengan batuan
bersifat basalt sampai andesit yang berasal dari selatan, dan terendapkan dalam
Cekungan Bogor yang pada kala tersebut merupakan cekungan belakang busur.
Cepatnya penyebaran dan pengendapan rombakan deretan gunungapi ini telah
mematikan

pertumbuhan

terumbu Formasi Rajamandala, sehingga endapan

volkanik yang dikenal dengan Formasi Jampang dan Formasi Citarum mulai
diendapkan pada lingkungan marin ini. Pada Kala Miosen Tengah, status
Cekungan

Bogor

diendapkannya

masih

merupakan

Formasi

Saguling

cekungan

pada

belakang

lingkungan

laut

busur

dengan

dalam

dengan

mekanisme arus gravitasi. Pada kala akhir Miosen Tengah mulai diendapkan
Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan turbidit halus pada kipas laut
dalam. Cekungan Bogor pada kala ini sudah
cekungan

memanjang

yang

mendekati

semakin

sempit

menjadi

suatu

Zona

Bogor

bentuk fisiografi

(Martodjojo, 1984). Pada daerah ini, penurunan merupakan gerak tektonik yang
dominan.
Pada Kala Miosen Akhir, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan
belakang busur dengan diendapkannya Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan
pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Pada Kala Pliosen,
Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati oleh puncakpuncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis (busur volkanik). Bagian selatan
daerah pegunungan selatan mengalami penurunan dan

genang

laut

yang

menghasilkan Formasi Bentang, sedangkan di bagian utara terjadi aktivitas


gunungapi yang menghasilkan Formasi Beser.
Pada Kala Plistosen sampai Resen, geologi Pulau Jawa sama dengan
sekarang. Aktivitas gunungapi yang besar terjadi pada Plistosen Awal yang

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

menghasilkan Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda, sekaligus


pusat

gunungapi

dari

selatan berpindah ke tengah Pulau Jawa yang

merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh gugusan gunungapi Sirkum


Pasifik. Secara umum, stratigrafi regional Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar
2.2.
Daerah penelitian termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Cianjur
(Sudjatmiko,
1972) dan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) yang dipublikasikan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, terletak pada Satuan Hasil Gunungapi
Tua (Qob) dan Satuan Tufa dari Gunung Dano dan Gunung Tangkubanparahu
(Qyd) seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.
Berikut ini adalah keterangan singkat dari geologi regional daerah
penelitian berdasarkan kedua peta geologi regional dari tua ke muda yaitu:
1) Hasil Gunungapi Tua: breksi, lahar dan lava (Qob)
Satuan ini berupa breksi gunungapi, breksi aliran, endapan lahar dan lava
yang menunjukkan kekar kolom dan kekar berlembar. Susunannya antara andesit dan
basalt. Satuan ini berumur Kuarter dan memiliki ketebalan 0-150 m.
2) Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan (Qvu)
Satuan ini berupa breksi gunungapi, lahar dan lava yang saling berselingan. Satuan
ini berumur Kuarter.
3) Tufa dari Gunung Tangkubanparahu (Qyt)
Satuan ini berupa pasir tufan, lapili, bom-bom lava scoria dan fragmen
bersudut dari andesit. Satuan ini berumur Kuarter.
4) Tufa dari Gunung Dano dan Gunung Tangkubanparahu (Qyd)
Satuan ini berupa tufa berwarna coklat, lahar yang lapuk kemerah-merahan
dan agglomerat. Satuan ini berumur Kuarter dengan ketebalan 0-100 m.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

Gambar 2.2. Stratigrafi regional Jawa Barat memotong utara-selatan melewati Zona
Bandung oleh Martodjojo (1983 dalam Brahmantyo, 2005). Kotak berwarna
merah adalah posisi daerah penelitian.

Gambar 2.3. Peta geologi regional dan lokasi daerah penelitian yang diambil
sebagian dari Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972) pada bagian kiri dan
sebagian dari Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) pada bagian kanan.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

II.3. Struktur Geologi Regional


Berdasarkan hasil studi pola struktur Jawa, Pulonggono dan Martodjojo
(1994) menyimpulkan bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi
perubahan tatanan tektonik di Pulau Jawa (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Pola struktur geologi regional Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo,
1994)
Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur Kapur sampai
Paleosen (8052 juta tahun yang lalu). Pola ini terjadi akibat proses tektonik
kompresi yaitu penunjaman Lempeng IndoAustralia yang menunjam ke bawah
Lempeng Eurasia. Arah tumbukan dan penunjaman antara lempeng yang menyudut
menjadi penyebab utama sifat sinistral dari sesar-sesar mendatar Pola Meratus. Di
Pulau Jawa, sesar-sesar ini diaktifkan kembali pada umur-umur yang lebih muda.
Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa
regangan ini disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh
tumbukan Lempeng India dengan Lempeng Eurasia yang menimbulkan rollback
berumur Eosen-Oligosen Akhir (53-32 juta tahun yang lalu). Pola ini umumnya
terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat.
Penunjaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan
tektonik kompresi yang menghasilkan Pola Jawa. Di Jawa Tengah, hampir

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

semua sesar di jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama,
yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara
Pulau Lombok.
II.4. Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada awal Plistosen Akhir
(Kuarter). Dam mengkarakteristikan Zaman Kuarter sebagai zaman dengan
adanya kegiatan vulkanisme yang baru (Dam, 1994). Pada Kala Plistosen, muncul
gunungapi tua atau yang dikenal dengan Gunung Sunda Purba (Dam, 1994). Salah
satu bagian Kompleks Gunung Sunda Purba yang ada di daerah penelitian adalah
Gunung Burangrang, Gunung Dano, dan Gunung

Tangkubanparahu.

Kegiatan

vulkanisme terus aktif dan erupsi dari Gunung Burangrang ini endapannya
menempati kaki Gunung Burangrang itu sendiri berupa breksi piroklastik, lava
andesit dan tuf lapili. Aktifitas vulkanisme yang terus berjalan pada zaman ini
membentuk Sesar Epen dan Sesar Sadangmekar yang memotong Satuan Breksi
Piroklastik Burangrang, Satuan Lava Andesit Burangrang dan Satuan Tuf
Lapili Burangrang di daerah penelitian.
Kegiatan

vulkanisme

terus

berlanjut

dengan

meletusnya

Gunung

Tangkubanparahu dan Gunung Dano (Gunung Dano merupakan gunung parasit pada
Gunung Burangrang). Pada letusan ini diendapkan Satuan Breksi Piroklastik
Dano

dan

Tangkubanparahu

danSatuan Tuf Dano dan Tangkubanparahu.

Pengendapan Satuan Breksi Piroklastik Dano dan Tangkubanparahu dibatasi oleh


adanya

Sesar

Sadangmekar

karena

diendapkan

melalui mekanisme aliran

piroklastik dan arus turbulensi (pyroclastics surge and flow mechanism) sehingga
tidak menerus ke selatan daerah penelitian, sedangkan Satuan Tuf Dano dan
Tangkubanparahu dapat melewati Sesar Sadangmekar ini dan menutupi sebagian
sesar ini karena diendapkan melalui mekanisme jatuhan (pyroclastics fall
mechanism).

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

10

BAB III
KERAKTERISTIK TANAH DAN PENENTUAN HARGA PHA/PGA
DAERAH PENELITIAN
3.1. LONGSORAN DI DAERAH PENELITIAN
Di daerah penelitian banyak ditemukan kasus longsoran. Empat buah
longsoran dijumpai selama observasi lapangan dan tiga di antaranya dijumpai setelah
terjadinya gempa Jawa Barat Selatan yang terjadi pada tanggal 2 September 2009.
Longsoran-longsoran tersebut dijumpai pada tanah residual yang merupakan hasil
pelapukan Satuan Tuf Lapili Burangrang (Gambar 4.1). Hal ini tentu saja akan
semakin menarik untuk dipelajari tentang kestabilan lereng di daerah penelitian,
khususnya pada tanah residual pelapukan tuf lapili terkait dengan percepatan tanah
maksimum
terbentuk
mekanisme

(peak
akibat

ground

acceleration).

adanya

gempabumi,

Percepatan
baik

yang

tanah

maksimum

bersumber

dari

ini
hasil

subduksi antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-Australia.

Selain itu, gempabumi dapat juga bersumber dari pergerakan sesar baik Sesar
Lembang maupun Sesar Cimandiri yang keduanya berada dekat dengan daerah
penelitian.

Gambar 4.1. Longsoran-longsoran yang terjadi di daerah penelitian. Longsoran ini


terjadi pada tanah yang merupakan hasil dari pelapukan Satuan Tuf Lapili
Burangrang.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

11

3.2. METODE PENGAMBILAN CONTOH TANAH PELAPUKAN


Contoh tanah yang diambil untuk pengujian laboratorium yaitu pada
bagian

tanah residual hasil pelapukan tuf lapili. Conto tanah yang diambil

diusahakan berupa conto tanah yang


Metode

yang

digunakan

agar

tidak

terganggu

(undisturbed

sample).

mendapatkan kondisi tersebut yaitu dengan

menggali tanah tersebut sedalam 10 cm dan mengambil tanah tersebut dengan


bentuk kotak dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 10 cm. Conto tanah tersebut kemudian
dibungkus oleh plastik transparan kemudian dibungkus lagi dengan allumunium foil
agar kelembaban tanah tetap terjaga dan yang terakhir direkatkan dengan perekat.

Gambar 4.2. Proses pengambilan conto dengan menggali bagian sampingnya dan
membentuk kotak pada tanah residual hasil pelapukan tuf lapili (gambar kiri) dan
conto tanah yang sudah dibungkus plastik transparan dan allumunium foil yang
direkatkan oleh perekat (gambar kanan).
3.3. PROPERTI TANAH RESIDUAL
3.3.1 Sifat Fisik
Tipe
residual.

batuan

dasar

Dalam analisis

sangat

mempengaruhi

kestabilan

lereng,

karakteristik

sangatlah

dari

penting

tanah
untuk

mengetahui sifat fisik material penyusunnya (tanah). Sifat fisik tanah yang
perlu diketahui untuk menganalisis kestabilan lereng adalah berat isi. Berat isi
(gr/cm3) merupakan perbandingan antara massa material (gr) terhadap volume

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

12

material tersebut (cm3). Berat isi menyatakan beban dari suatu material yang akan
mempengaruhi kestabilan suatu lereng. Berat isi suatu material dapat berupa berat
alami, berat kering dan berat jenuh. Dalam analisis kestabilan lereng ini yang dipakai
adalah berat jenuh yang mencerminkan kasus atau masalah terburuk yang mungkin
timbul. Dari hasil pengujian laboratorium, didapat bahwa berat alami untuk
tanah ini adalah 1,59 gr/cm3 dan berat jenuhnya adalah 2,09 gr/cm3
3.3.2 Sifat Mekanik
Selain

sifat

fisik,

sifat

mekanik

suatu

material

juga

sangat

mempengaruhi kestabilan lereng. Sifat mekanik yang dicari dalam analisis


kestabilan lereng adalah kohesi dan sudut geser dalam. Untuk perhitungan
keduanya digunakan Uji Geser Langsung (Direct Shear Test). Pengujian

ini

dilakukan dengan memberikan tegangan normal atau normal stress (n) pada
material yang ditambahkan tegangan geser atau shear stress (s) hingga batas
keruntuhan material. Pengujian ini dilakukan di laboratorium karena lebih mudah,
cepat dan efektif. Dari hasil analisis laboratorium diperoleh nilai sudut geser
dalam 65,11 dan nilai kohesi 0,042 kg/cm2 (lihat Lampiran D.2). Dari nilai
sifat fisik dan sifat mekanik yang telah diperoleh seperti densitas, sudut geser
dalam dan kohesi, data ini lebih lanjut akan digunakan untuk analisis
kestabilan lereng dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Slide versi 3.0
(Rocscience, 2003).

3.4 PENENTUAN EPISENTRUM


Cara menentukan letak episentrum
i. Dengan menggunakan tiga tempat yang terletak pada satu homoseista.
Homoseista adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat di permkaan bumi
yang mencatat getaran gempa pertama pada waktu yang sama. Jika kota A, B dan C
mencatat getaran gempa pertama pada jam 10.31.56. berarti ketiga tempat itu terletak

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

13

pada homoseista. Untuk mencari episentrumnya hubungkan PQ dengan sebuah garis,


demikian juga QR, kemudian buatlah garis sumbu kedua garis itu, maka titik potong
kedua garis sumbu itulah tempat episentrum yang dicari.
ii. Dengan menggunakan hasil pencatatan 3 seismograf, orang dapat
menentukan letak episentrum gempa. Seismograf yang digunakan yaitu seismograf
vertikal, seismograf horisontal (dipasang barat timur), dan seismograf horisontal
(dipasang utara selatan).
iii. Dengan menggunakan tiga tempat yang mencatat episentrum.
Untuk mengetahui jarak episentrum suatu gempa dapat menggunakan rumus Laska:
A = ( S - P ) - 1 menit x 1000 km
A = jarak episentrum dari stasiun pencatat gempa
S = waktu yang menunjukkan pukul berapa gelombang sekunder tercatat di stasiun
P = waktu yang menunjukkan berapa gelombang primer tercatat di stasiun
1 menit (ketetapan)
1000 km (ketetapan)
Gelombang Gempa Bumi

Body Waves

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

14

Bergerak dari dalam struktur bumi (Focus)

Terdiri dari gelombang P dan gelombang S

Surface Waves Surface Waves

Penjalarannya lebih lambat dibanding body

waves

Bergerak di permukaan bumi (Episentrum)


Gelombang Rayleigh, bergerak seperti gelombang laut

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

15

STASIUN PEMANTAU

Dari gambar diatas terdapat dua buah stasiun pemantau yang memiliki jarak
yang berbeda. Stasiun A lebih dekan dari pusat gempa (focus) dari pada stasiun B.
Pada saat terjadi gempa bumi dengan skala tertentu, akan muncul 3 (tiga) jenis
gelombang yakni : Primary Waves, Secondary Waves, dan Surface Waves. Masing

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

16

masing gelombang ini akan bergerak menuju arah yang sama dan akhirnya akan di
tangkap/dideteksi oleh masing - masing stasiun pemantau. Ternyata setelah di catat
oleh masing-masing stasiun dan di gabungkan bersama, tampak bahwa ketiga
gelombang tersebut terdeteksi pada waktu yang tidak bersamaan serta besarnya
getaran gelombang yang tercatat cenderung berbeda dari masing - masing
gelombang. Dan juga antar stasiun berlaian waktu saat mencatat masing - masing
gelombang. Dari hasil pencatatan seismograph dapat di gambarkan bentuk
gelombang dari masing-masing stasiun adalah sebagai berikut

Dari gambar diatas terlihat bahwa untuk kedua stasiun terdapat perbedaan
waktu menangkap/mendeteksi adanya gelombang yang merambat. Dari gambar juga
terlihat bahwa terdapat perbedaan waktu pencatatan antara gelombang primer dan
sekunder di kedua stasiun tersebut. Pada stasiun A mencatat adanya gelombang
sekunder setelah perjalanan waktu selama 2 menit setelah terdeteksinya gelombang

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

17

primer. Sedangkan pada stasiun B mencatat adanya gelombang sekunder setelah


perjalanan waktu semala 4 menit setelah terdeteksinya gelombang primer. Disisi lain
ternyata terdapat perbedaan besarnya amplitudo dan panjang gelombang antara
gelombang primer, sekunder maupun surface di masing-masing gelombang maupun
diantara kedua stasiun pengawas. Secara garis besar taampak bahwa gelombang
primer (Primary Waves) jauh lebih kecil getarannya bila dibandingkan kedua
gelombang yang lain, sedangkan gelombang sekunder jauh lebih kecil bila
dibandingkan gelombang surface.
P waves < S waves < Surface waves
Sedangkan perbedaan antara gelombang yang ditangkap pada stasiun A
memiliki getaran yang jauh lebih kuat bila dibandingkan stasiun B, namun
getarannya hanya terjadi dalam waktu yang relatif lebih singkat bila dibandingkan
pada stasiun B.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

18

3.5 ANALISIS PHA/PGA

Harga R
Untuk mendapatkan Nilai percepatan puncak horizontal (PHA) atau

percepatan puncak gempa (PGA) terlebih dahulu harus mencari Jarak sumber gempa
yang terdekat dengan daerah penelitian yaitu dengan menggunakan rumus :

Setelah didapat harga R ,untuk mengetahui nilai percepatan puncak


horisontal (PHA) menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Cornell untuk
gempa dengan M antara 3,0 hingga 7,0 dan jarak dari 20 - 200 km.
Cornell: Ln PHA (gals) = 6,74 + 0,859 M - 1,80 In (R+25)

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

19

Hasil Perhitungan percepatan puncak horizontal (PHA) pada daerah


penelitian didapatkan hasil PGA 0,15g dan PGA 0,20g

BAB IV
PENGARUH PERCEPATAN GEMPABUMI TERHADAP KESTABILAN
LERENG PADA TANAH RESIDUAL HASIL PELAPUKAN TUF LAPILI

4.1. PEMODELAN DAN SIMULASI KOMPUTER


4.1.1. Model Lereng
Pada simulasi pengaruh percepatan gempabumi terhadap kestabilan lereng
akan dibuat model
digunakan

pada

lereng

dengan

berbagai

variasi

sudut.

Asumsi

yang

masing-masing model lereng yang dibuat yaitu materialnya

homogen, lereng tersebut kontinu, isotropik dan jenis lerengnya adalah lereng
tunggal (single slope).
Bentuk geometri dari lereng dibuat sederhana. Kemiringan lereng
dibuat bervariasi dari sudut 90

hingga 20

dengan interval 10. Material

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

20

penyusun

lereng

diasumsikan homogen, lereng terdiri dari satu jenis tanah

penyusun saja (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Model lereng yang digunakan untuk simulasi dengan menggunakan
perangkat lunak Slide versi
3.0 (Rocscience, 2003) dengan bentuk lereng tunggal, adalah sudut lereng dan h
adalah tinggi lereng.
4.1.2. Metode Simulasi
Dengan menggunakan perangkat lunak Slide versi 3.0 (Rocscience,
2003) dilakukan simulasi kestabilan lereng pada tiga kondisi. Pada simulasi awal
(Gambar 4.4), lereng dibuat dalam

kondisi

maksimum

yang mempengaruhi lereng (simulasi tanpa

akibat

gempabumi

tidak

adanya

percepatan

tanah

PGA). Simulasi ini dilakukan mulai dari sudut 90 hingga 20 dengan interval
10 dan dicari tinggi lereng (h) pada saat kondisi lereng kritis (FK1) dengan
metode trial dan error. Dalam satu kali penentuan tinggi lereng dengan FK1,
misalnya pada lereng dengan sudut 60, penentuan nilai h ini dapat mencapai 10 kali
simulasi (running software). Setelah didapat nilai tinggi lereng (h), lalu data
tersebut dicatat pada variasi sudut dan nilai tinggi yang didapat dengan nilai
faktor

keamanannya

dan

model keruntuhannya.Setelah semua variasi sudut

dilakukan dari sudut 90 hingga 20 dengan kondisi tanpa PGA, selanjutnya simulasi
dilakukan pada kondisi percepatan gempabumi (PGA) dengan nilai 0,15 g dan 0,20
g dengan melakukan hal yang sama seperti pada kondisi tanpa PGA. Lalu
data-data tersebut dicatat dalam bentuk tabel dan hasilnya akan dibuat grafik. Dari

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

21

grafik ini dapat diketahui seberapa besar pengaruh percepatan gempabumi terhadap
kestabilan lereng.

4.1.3. Hasil Simulasi Komputer


Pada tiap variasi sudut lereng dilakukan minimal sepuluh kali simulasi
pada conto tanah residual tuf lapili dengan parameter perubahan nilai percepatan
gempabumi dari tanpa PGA hingga dengan nilai PGA 0,20 g. Sifat poperti yang
digunakan dalam simulasi ini antara lain berat isi jenuh (s), kohesi (c), dan sudut
geser dalam () (lihat Lampiran D).
Hasil simulasi (lihat Lampiran E) pada tanah residual hasil pelapukan tuf
lapili yang dilakukan tanpa PGA pada tiap-tiap variasi dengan mencari nilai
ketinggian pada kondisi lereng kritis (FK1) ditabulasikan pada Tabel 4.1. Nilai
dari hasil tabulasi ini kemudian dibuat grafik (Gambar 4.5). Garis pada grafik
yang dibuat mencerminkan batas antar lereng yang stabil (bagian bawah garis)
dengan lereng yang tidak stabil atau lereng yang seharusnya sudah longsor (bagian
atas garis). Nilai tinggi lereng yang didapatkan untuk simulasi tanpa PGA ini mulai
dari 1 m sebagai titik terendah dan 70 m sebagai titik tertinggi.
Tabel 4.1. Hasil simulasi lereng dengan kondisi tanpa PGA
Sudut ()

Tinggi (m)

FK

Model Keruntuhan

90

1.060

Toe Failure

80

1.4

1.012

Toe Failure

70

1.8

1.021

Toe Failure

60

2.5

1.000

Toe Failure

50

3.5

1.008

Toe Failure

40

1.008

Toe Failure

30

20

1.010

Toe Failure

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

22

20

70

1.024

Toe Failure

Hasil simulasi selanjutnya dilakukan pada lereng dengan kondisi adanya


percepatan gempabumi dengan nilai percepatan maksimum (PGA) yaitu 0,15g.
Hasil simulasinya (lihat Lampiran E) dibuat dalam bentuk tabel (Tabel 4.2) dengan
tinggi lereng terendah yang didapat yaitu 0,8 m dan 30 m sebagai titik lereng
tertinggi pada kondisi lereng kritis (FK1). Tabulasi inipun dibuat dalam bentuk
grafik (Gambar 4.5).
Hasil simulasi selanjutnya dilakukan pada lereng dengan kondisi adanya
percepatan gempabumi dengan nilai percepatan maksimum (PGA) yaitu 0,20g.
Hasil simulasinya (lihat Lampiran E) dibuat dalam bentuk tabel (Tabel 4.3) dengan
tinggi lereng terendah yang didapat yaitu 0,75 m dan 13 m sebagai titik lereng
tertinggi pada kondisi lereng kritis (FK1). Hasil tabulasi dibuat dalam bentuk grafik
(Gambar 4.6).

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

23

Gambar 4.4. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan
hasil simulasi lereng dengan kondisi tanpa PGA.
Tabel 4.2. Hasil simulasi lereng dengan kondisi adanya PGA 0,15g.

Gambar 4.5. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan
hasil simulasi lereng dengan kondisi PGA 0,15g.
Tabel 4.3. Hasil simulasi lereng dengan kondisi adanya PGA 0,20g
Sudut ()

Tinggi (m)

Fk

Model Keruntuhan

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

24

20

13

90

0.75

1.039

Toe Failure

80

0.9

1.052

Toe Failure

70

1.1

1.044

Toe Failure

60

1.4

1.020

Toe Failure

50

1.8

1.015

Toe Failure

40

2.4

1.013

Toe Failure

30

1.001

Toe Failure

1.01
0

Slope Failure

Gambar 4.6. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan
hasil simulasi lereng dengan kondisi PGA 0,20g.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

25

4.2. DISKUSI DAN ANALISIS


Dari ketiga grafik di atas, maka dapat diketahui adanya perubahan
ketinggian lereng terhadap variasi sudut lereng dengan kondisi lereng kritis (FK1)
pada tanah hasil pelapukan tuf lapili mencerminkan model grafik yang mengikuti
pola eksponensial negatif.
Model analisis kestabilan lereng dari ketiga grafik tersebut digabungkan,
maka dapat diketahui adanya perubahan nilai kestabilan lereng yang ditunjukan
oleh penurunan nilai tinggi lereng karena adanya percepatan tanah maksimum yang
diakibatkan oleh gempabumi, seperti

yang

ditunjukan

pada

Gambar

4.7.

Penurunan tinggi lereng ini dapat mencapai 40% pada kondisi PGA 0,15g dan
70% pada kondisi PGA 0,20g.
Model grafik ini menggunakan asumsi model lereng yang dibuat yaitu
materialnya homogen, dan jenis lerengnya adalah lereng tunggal (single slope).
Model ini masih belum memperhitungkan kondisi-kondisi yang lain seperti
adanya keheterogenan material (berupa jenis-jenis mineral penyusun, ukuran butir,
bentuk dan pemilahannya),danderajatpelapukan dari tanah itu sendiri. Model
inipun belum memperhitungkan kondisi lingkungan di sekitar lereng seperti
adanya vegetasi, tingkat pelapukan, dan air tanah.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

26

Gambar 4.7. Grafik hubungan tinggi lereng dan sudut lereng pada ketiga kondisi
yang menunjukan adanya model penurunan kestabilan lereng yang ditunjukan oleh
penurunan tinggi lereng.
Khusus untuk sudut 10 tidak didapatkan tinggi lereng dengan kondisi
FK1 karena dari simulasi pada sudut tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan
bahwa lereng tersebut stabil (tidak ada potensi runtuh) dengan tinggi lereng yang
tidak terbatas (unlimited slope).

4.3. REKOMENDASI HASIL PENELITIAN


Model penurunan tinggi lereng ini dapat dijadikan sebagai model
acuan

untuk pemotongan lereng baik untuk pembuatan jalan, perumahan dan

penambangan (penambangan pasir maupun bahan galian C lainnya). Dari model


grafik ini dapat diketahui geometri lereng (tinggi lereng dan sudut lereng) baik pada
kondisi tanpa adanya percepatan tanah (tanpa PGA) ataupun bila ada kejadian
gempabumi

yang

kemudian

menghasilkan

percepatan

tanah

yang dapat

mengganggu kestabilan lereng. Dari hasil grafik ini dapat diminimalisir kerugian
akibat longsor yang diakibatkan oleh adanya percepatan gempabumi.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

27

BAB V
JADWAL PENYUSUNAN SEMINAR

Dalam penyusunan seminar ini, waktu yang diperlukan penyusun kurang lebih
tiga bulan (Oktober Desember 2015). Dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
tahap persiapan, tahap penyusunan laporan, dan tahap presentasi (lihat tabel 1).
Tabel 1. Jadwal Penyusunan Seminar
WAKTU
NO

TAHAPAN

Tahap Persiapan
- Konsultasi proposal
- Penyusunan
proposal

OKT 2015

III

IV

NOV 2015

MINGGU KE
I
II III IV

DES 2015

II

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

28

Tahap Penyusunan
Laporan
- Penyusunan draf
- Konsultasi draf
Presentasi
- Pelaksanaan
seminar
- Revisi & penjilidan

BAB VI
RINCIAN BIAYA

Adapun rincian anggaran yang nantinya akan dipergunakan dalam


pembuatan makalah seminar ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Rencana Anggaran Penyusunan Seminar
No

Jenis Kebutuhan

Jumlah (Rupiah)

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

29

1.
2.
3.

Penggandaan materi seminar


Kebutuhan seminar
Lain-lain
TOTAL

150.000,300.000,100.000,550.000,-

DAFTAR PUSTAKA
Brahmantyo, B., 2005. Geologi Cekungan Bandung. Bandung: Penerbit ITB
Brahmantyo, B., dan Bandono., 2006. Klasifikasi Bentuk Muka Bumi
Landform) Untuk Pemetaan Geomorfologi Pada Skala 1:25.000 dan
Aplikasinya untuk Pemetaan Ruang, Jurnal Geoaplika, Volume I, No.
2, hal. 071- 078.
Hardiyatmo, H. C., 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi; Edisi
pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
IAGI., 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Komisi Sandi Stratigrafi
Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

30

Martodjojo, S., 1984. Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. Bandung: Penerbit
ITB.
Silitonga, P. H., 1973. Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa Barat, Skala 1 :
100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
SNI 03-1726-2002, 2002. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Banguan
Gedung, Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Sudjatmiko., 1972. Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat, Skala 1 :
100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Proposal Seminar Geologi


Ikdham Nurul Khalik (410012051)

31

You might also like