You are on page 1of 22

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Dewasa ini, tingkat konsumerisme penduduk dunia sangatlah tinggi. Hal


ini didorong oleh kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan,
membuat manusia terbiasa menggunakan segala sesuatunya dengan instan.
Akibatnya, sampah yang dihasilkan menjadi bertambah banyak secara signifikan.
Selain itu, pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) suatu negara juga ikut
mempengaruhi bertambahnya sampah. Bersamaan dengan kedua hal tersebut,
terjadi pula pertambahan jumlah penduduk yang mana menambah jumlah sampah
sekaligus mengurangi area untuk dijadikan tempat pembuangan sampah. Hal
inilah yang lantas memicu diperlukannya sebuah sistem atau perlakuan terhadap
sampah yang semakin banyak ini.
Paradigma lama yang menganggap sampah adalah barang tidak berguna
dan harus dibuang sudah bergeser seiring kemajuan teknologi. Sampah dikurangi,
digunakan kembali, dan didaur ulang berdasarkan kebutuhannya. Sistem yang
menggambarkan perlakuan terhadap sampah dapat dilihat dalam waste
hierarchy pada gambar berikut :

Gambar 1 Waste Hierarchy

Dapat dilihat bahwa sampah sebisa mungkin dikurangi, setelah itu


digunakan kembali, didaur ulang, dan pada akhirnya diperlakukan secara khusus
untuk pemanfaatan kembali sebelum masuk ke tempat pembuangan. Perlakuan
(treatment) terhadap sampah untuk pemanfaatan kembali dapat dibagi menjadi

Universitas Indonesia

empat yakni : direct combustion, psychochemical treatment, thermal treatment


dan biological treatment. Keempat jenis pemanfaatan sama-sama memproses
sampah menjadi sebuah sumber energi yang terbarukan, proses ini dikenal dengan
nama Waste to Energy (WTE). Proses WTE yang dapat menghasilkan energi
terbarukan sangatlah penting mengingat konsumsi energi global sedang
meningkat dengan cepat akibat industrialisasi dan peningkatan taraf kehidupan.
Selain itu fossil fuel jumlahnya semakin terbatas dan manusia harus bisa
melepaskan diri dari ketergantungan akan fossil fuel. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dibahas mengenai salah satu jenis proses WTE yang masuk
dalam thermal treatment yakni proses gasifikasi.
Gasifikasi merupakan proses dekomposisi thermal pada material berbasis
karbon dalam keadaan kekurangan oksigen (sedikit pembakaran) untuk
menghasilkan gas sintetis atau syngas. Alih-alih membakar, gasifikasi mengubah
material berbasis karbon menjadi syngas menggunakan reaksi kimia. Reaksi ini
melibatkan sedikit jumlah udara dan oksigen, membuat material menjadi molekul
yang lebih sederhana, yang sebagian besar tersusun atas karbon monoksida dan
oksigen. Jika dijalankan dalam kondisi yang baik, gasifikasi merupakan proses
WTE yang efisien. Secara sederhana, proses gasifikasi dapat dilihat pada gambar
berikut :

Gambar 2 Alur Proses Gasifikasi secara Sederhana

Universitas Indonesia

Feedstock pada gambar yang berupa Municipal Solid Waste (MSW)


diproses ke dalam gasifier bersama dengan sejumlah kecil udara dan oksigen.
Pada akhirnya, output yang dihasilkan ialah syngas, dimana syngas dapat
digunakan untuk membangkitkan listrik dan dikatalisasi menjadi berbagai macam
produk.
Teknologi gasifikasi sebenarnya sudah ada dari pertengahan abad ke 17
dimana gas kota, produk gas yang dihasilkan dari batu bara (mengandung 50%
hidrogen, sisanya terdiri dari metana, karbon dioksida, dan karbon monoksida),
digunakan untuk tujuan pengcahayaan. Daerah pertama yang memanfaatkan gas
kota untuk pengcahayaan jalan ialah Pall Mall, London pada tanggal 28 Januari
1807. Tak lama setelah itu, kota Baltimore dan Maryland memulai pengcahayaan
gas komersil untuk rumah penduduk, jalan-jalan umum, dan pabrik pada tahun
1816. Pada saat perang dunia kedua, proses gasifikasi menjadi semakin penting
karena benua Eropa dilanda kekurangan minyak bumi, sementara Jerman mampu
membuat bahan bakar cair sintetis dari batu bara hasil gasifikasi. Selain itu, pada
1970, embargo minyak dari Arab membuat pemerintah Amerika mengembangkan
proyek gasifikasi secara besar-besaran. Pada saat ini, terdapat beberapa reaktor
IGCC (Integrated Gasification Combine Cycle) di seluruh dunia yang berfungsi
untuk membangkitkan listrik.
Hari ini, kebutuhan dunia akan sumber energi yang terbarukan
merupakan kunci utama kebangkitan dari sistem gasifikasi, setelah sistem ini
mengalami kemunduran yang signifikan akibat kemajuan bidang perminyakan.
Selain MSW, sistem gasifikasi mampu memproses biomass sebagai feedstock dan
juga bisa menggunakan sampah jenis lain yakni Industrial Waste (IW). Hal ini
sangat memberikan manfaat yang sangat signifikan yakni mengurangi sampah
yang masuk ke pembuangan.

Rangkuman proses gasifikasi dapat dilihat pada tabel berikut :


Rangkuman Gasifikasi
Gasifikasi membakar bahan bakar menjadi syngas.
Teknologi ini sudah digunakan hampir seabad namun pemakaian MSW sebagai
feedstock masih terbatas.

Universitas Indonesia

Ada sedikitnya 42 perusahaan yang menawarkan teknologi gasifikasi yang mampu


menggunakan MSW sebagai feedstock.
Penggunaan MSW sebagai feedstock pertama kali digunakan pada tahun 1991 di
Taiwan.
Hal - hal penting lainnya
Biaya Modal

$ 850 per ton (+- 40%)

Biaya Operasi

$ 65 per ton (+- 45%)


ASR, biomass, black liquor, batu bara, limbah rumah sakit,

Feedstock

MSW, limbah organik, bahan plastik, PVC, lumpur, ban


Dibutuhkan pre-treatment untuk feedstock
Sulit untuk mempreoses alur sampah heterogen
<1% jika bottom ash bisa dimanfaatkan kembali

Jumlah Disposed

10 - 20% jika bottom ash tidak bisa dimanfaatkan kembali


Kebutuhan akan landfill berkurang 5 - 10%

Potensi energi
Skala

Listrik, syngas, aggregat dari abu


Produk listrik : 0,4 - 0,8 MWh/ton MSW
Biasa dibangun dengan kapasitas yang pasti

Universitas Indonesia

BAB 2
PROSES GASIFIKASI

Seperti yang sudah dijelaskan, proses gasifikasi merupakan proses


dekomposisi termal dari material berbasis karbon dalam keadaan kekurangan
oksigen, yang menghasilkan syngas untuk kemudian dikonversi sesuai kebutuhan.
Proses gasifikasi dimulai dengan mempersiapkan feedstock yang dalam makalah
ini pada umumnya dianggap berupa limbah rumah tangga (MSW). Selain MSW,
feedstock juga dapat berupa batu bara (coal) dan biomass.
Untuk sampah sebagai feedstock, sampah yang jauh lebih baik untuk
digunakan sebagai feedstock ialah sampah jenis fresh waste, bukan sampah yang
berasal dari landfill mining. Hal ini dikarenakan sampah jenis landfill mining
memiliki kandungan metana yang relatif tinggi dan unsur penyusunnya seperti C,
H, O, dan lain lain sudah mengalami perubahan sehingga nilai NHV (Net Heating
Value) yang ada menjadi lebih kecil.
Setelah feedstock siap, hal pertama yang harus dilakukan ialah
preprocessing yakni memisahkan sampah yang masih bisa digunakan dan didaur
ulang untuk tidak dimasukkan ke dalam gasifier. Setelah itu dilakukanlah proses
drying dan degassing dimana material volatil dilepaskan dan proses ini terjadi
pada suhu 100-300 C. Feedstock selanjutnya dimasukkan ke dalam reaktor
(gasifier) dimana terdapat sumber panas pada suhu 1200-2200 F untuk
memproduksi syngas mentah, bottom ash, char, tar, dan beberapa jenis logam.
Untuk jenis thermal treatment yang lain yakni pirolisis, proses dekomposisi sudah
berhenti sampai disini. Namun untuk gasifikasi, char dan zat cair dari hasil
pirolisis kembali diubah menjadi gas dengan menggunakan udara, oksigen,
dan/atau uap. Perubahan ini disebut dengan reaksi gasifikasi dan bersifat
eksostermik. Jumlah oksigen yang dimasukkan sangatlah terkontrol, supaya reaksi
gasifikasi (pembakaran char dan zat cair pirolisis, eksostermik) dapat terus
berjalan sekaligus mampu memberikan panas yang cukup pada reaksi pirolisis
(endotermik). Suhu yang terjadi pada reaksi gasifikasi ini diperkirakan berada
diantara 1400-2800 F.

Universitas Indonesia

Tahap selanjutnya ialah pembersihan/oksidasi syngas dimana syngas


dibersihkan dari partikulat seperti sulfur, gas klorida, dan beberapa jenis logam.
Syngas yang sudah teroksidasi ini siap dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan
diantaranya sumber energi untuk pembangkit listrik dan dikatalisasi untuk
menghasilkan senyawa-senyawa tertentu.
Buangan dari proses gasifikasi pada umumnya berupa ash, slag, dan
beberapa jenis logam tergantung dengan suhu dari gasifier. Beberapa logam masih
bisa didaur ulang namun ash dan slag pada umumnya harus dibuang ke landfill,
yang mana hal ini merupakan salah satu kelemahan utama dari proses gasifikasi
ketika digunakan untuk manajemen MSW. Tahapan proses gasifikasi secara
lengkap dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3 Tahapan Proses Gasifikasi

Produk hasil gasifikasi dapat dilihat pada gambar berikut :

Universitas Indonesia

Gambar 4 Hasil Gasifikasi secara Sederhana

Satu hal yang patut diingat ialah gasifikasi tidak sama dengan insinerasi.
Insinerasi secara harafiah hanyalah membakar feedstock dan menjadikannya abu.
Insinerasi menggunakan MSW sebagai bahan bakar, membakarnya dengan
banyak oksigen untuk membentuk panas dan CO2. Pada pabrik WTE, gas panas
tersebut dihasilkan untuk membuat uap, yang kemudian digunakan untuk
menghasilkan listrik. Sementara gasifikasi mengubah MSW menjadi syngas, yang
mana menjadi pembeda utama antara gasifikasi dan insinerasi. Pada gasifikasi,
MSW bukanlah bahan bakar melainkan feedstock untuk proses konversi kimiawi
bersuhu tinggi. Syngas inilah yang dapat diproses untuk kemudian menjadi
produk dengan nilai komersil lebih tinggi.
Ada banyak variasi desain dari reaktor gasifikasi (gasifier). Perbedaan
utama dari jenis-jenis gasifier terletak pada :
a.

Bagaimana feedstock (terutama biomass) dimasukkan ke dalam gasifier dan


digerakkan di sekitarnya. Entah dimasukkan dari atas gasifier atau dari
samping, dan digerakkan entah dengan bantuan gravitasi atau aliran udara.

b.

Digunakan atau tidaknya oksigen, udara dan uap sebagaik oksidan.

Universitas Indonesia

c.

Rentang suhu pada saat gasifier beroperasi.

d.

Panas yang dihasilkan merupakan hasil dari pembakaran sebagian feedstock


dalam gasifier (directly heated) atau menggunakan bantuan eksternal
(indirectly heated).

e.

Pengoperasian gasifier berada dibawah tekanan atmosfir atau justru diatas


tekanan atmosfir.
Berikut dijelaskan perbedaan gasifier berdasarkan kondisi pengaliran dan

bagaimana aliran udara masuk ke gasifier. Berdasarkan kondisi pengaliran di


dalam alat, tipe gasifier dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

Fixed/Moving Bed
Bahan bakar karbon kering dimasukkan dari puncak reaktor. Selama

bahan tersebut perlahan masuk menuju wadah, ia bereaksi dengan uap dan
oksigen yang mengalir dalam arah yang berlawanan dengan bahan karbon. Bahan
bakar terus mengalami proses seperti ini sampai habis dan meninggalkan syngas
dalam temperatur rendah dan abu yang meleleh. Syngas memiliki temperatur
rendah karena panas hasil reaksi gasifikasi digunakan untuk memanaskan RDF
sebelum RDF masuk ke zona reaksi gasifikasi. Temperatur syngas yang keluar
oleh karena itu menjadi lebih rendah dari suhu yang dibutuhkan untuk konversi
utuh dari RDF.
Proses ini menghasilkan sedikit kontaminan nantinya akan di buang dari
syngas. Konfigurasi tipikal untuk dry dengan RDF berupa batu bara dari
fixed/moving bed dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 5 Fixed/Moving Bed Gasifier

Universitas Indonesia

Beberapa masalah dapat ditimbulkan pada reaktor jenis ini oleh karena
ketidakseragaman aliran akibat aglomerasi partikel. Pada akhirnya seluruh
persoalan menyebabkan buruknya campuran antar fase, karbon yang tidak
bereaksi, titik panas, dan konversi energi yang lebih rendah.

Entrained Flow
Bahan bakar yang dimasukkan ke dalam reaktor dapat dimasukkan dalam

keadaan kering maupun basah (dicampur dengan air). Uap dan oksigen mengalir
dalam satu arah ke atas reaktor, reaksi gasifikasi kemudian terjadi sampai syngas
dengan temperatur tinggi keluar dari sisi reaktor. Slag leleh keluar dari bawah
reaktor.
Waktu operasi dari reaktor jenis entrained flow sangatlah pendek,
berkisar antara belasan sampai puluhan detik. Oleh karena waktu operasi yang
cepat, reaktor jenis ini harus beroperasi dalam suhu yang sangat tinggi untuk
memperoleh konversi bahan yang maksimum. Kebanyakan reaktor tipe entrained
flow menggunakan oksigen daripada udara. Rangkuman karakteristik dari reaktor
tipe entrained flow dapat dilihat sebagai berikut:
a.

Suhu tinggi dalam operasi.

b.

Adanya slag leleh dalam syngas mentah.

c.

Butuh oksidan dalam jumlah yang banyak.

d.

Suhu syngas yang keluar sangat tinggi, dan

e.

Mampu men-gasifikasi coal (jika digunakan) tanpa terpengaruh urutan,


karakteristik pembakaran, dan kehalusan coal.

Ada tujuh reaktor entrained flow yang terdapat di pasaran saat ini,
masing-masing milik Conocco-Phillips E-Gas, GE, Shell, PrenfloTM, MHI,
Siemens, dan MPG. Sketsa dari reaktor tipe ini dapat dilihat pada gambar 7. Pada
tipe reaktor ini, partikel kecil yang tersebar luas dipanaskan sampai suhu tinggi
untuk menempuh reaksi gasifikasi yang cepat. Beberapa persoalan dalam reaktor
jenis ini : keharusan untuk menggunakan bahan bakar seragam dan pemisahan gas
dalam proses heat recovery. Volume gas yang dihasilkan didapat dari waktu

Universitas Indonesia

10

konversi untuk partikel rata-rata. Reaktor tipe ini juga memiliki efisiensi gas
dingin yang relatif rendah dan kebutuhan O2 yang tinggi.

Gambar 6 Entrained Flow Gasifier

Fluidized Bed
Pada dasarnya, uap dan oksigen mengalir keatas reaktor ketika bahan

bakar dimasukkan dan bahan bakar ini tetap berada di dalam selama reaksi
gasifikasi berlangsung. Dalam reaktor ini, terjadi pencampuran antara partikel
RDF yang baru dengan partikel yang sudah tergasifikasi sepenuhnya maupun
yang tergasifikasi sebagian. Pencampuran juga menjaga suhu sehingga menjadi
seragam sepanjang alas reaktor. Salah satu hal yang harus diperhatikan juga pada
reaktor ini ialah suhu pada alas harus lebih rendah daripada suhu pada saat
pencampuran RDF untuk mencegah aglomerasi partikel. Syngas dengan
temperatur sedang mengalir keatas sementara abu unmelt dikeluarkan dari bawah.
Konfigurasi tipe reaktor fluidized bed tipikal dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 7 Fluidized Bed Gasifier

Universitas Indonesia

11

Fluidized bed gasifier dibagi lagi menjadi dua jenis yakni Bubbling
Fluidized Bed (BFB) dan Circulating Fluidized Bed (CFB). Pada BFB, udara
teralirkan ke bagian atas reaktor dengan menggunakan distributor plate, feedstock
masuk melalui unit input dalam reaktor. Feedstock dan udara akan bereaksi
dengan cepat membentuk syngas. Sedangkan pada CFB, partikel feedstock yang
sudah bereaksi dan terkumpul pada cyclone akan dialirkan kembali masuk unit
gasifikasi untuk kembali bereaksi dengan udara. Kecepatan udara dalam CFB
lebih tinggi dibanding dengan kecepatan pengaliran pada BFB.
Pada umumnya, cyclone hilir akan menangkap partikel-partikel yang
lebih besar saat partikel tersebut akan keluar, kemudian partikel dimasukkan
kembali ke dalam reaktor (CFB). Waktu operasi untuk reaktor fluidized-bed pada
umumnya lebih singkat dibanding dengan tipe fixed-moving bed.
Secara hidrodinamis, tipe reaktor ini lebih rumit dibanding dengan tipe
fixed/moving dimana busa-busa gas terinduksi dan mengakibatkan pencampuran
seperti pada gambar di bawah :

Gambar 8 Hidrodinamika Bubbling Fluidized Bed

Semakin baik pencampuran antara gas dan solid, akan semakin baik pula
transport antar fase dan semakin baik pula konversi dari bahan bakar menjadi
syngas-nya. Selain itu, pergerakan mekanik antara zat solid antara satu dan
lainnya menimbulkan abu dari partikel.
Selain berdasarkan kondisi pengaliran dan alas reaktor (bed), gasifier
juga diklasifikasikan berdasarkan cara masuk udara atau oksigen kedalamnya.
Klasifikasi tersebut dibagi menjadi : downdraft, updraft, dan crossdraft. Pemilihan

Universitas Indonesia

12

reaktor berdasarkan arah masuknya udara dilakukan berdasarkan bentuk bahan


bakar, ukuran, kandungan air, dan kandungan abu. Sketsa sederhana perbedaan
antara ketiga jenis reaktor dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 9 Tipe Gasifier berdasarkan Arah Aliran Udara

Keuntungan dan kerugian dari masing-masing tipe dapat dilihat pada


tabel berikut :

No

Tipe Gasifier

Keuntungan

Kerugian
sangat sensitif terhadap tar,
moisture, dan moisture content
dar bahan bakar
waktu menyalakan mesin cukup
lama
kemampuan reaksi yang rendah
dengan beban gas yang banyak

penurunan tekanan yang rendah


1

1
Updraft

efisiensi termal cukup tinggi


kecenderungan untuk membentuk slag sedikit

2
Downdraft

3
Crossdraft

lebih fleksibel terhadap beban kerja

desain harus cukup tinggi

tidak sensitif terhadap debu charcoal dan


kandungan tar dari bahan bakar

tidak feasible untuk partikel


yang sangat kecil

tinggi desain rendah

sangat sensitif terhadap


pembentukan slag

respons yang sangat cepat terhadap penambahan


bahan bakar
produksi gas cukup fleksibel

penurunan tekanan sangat tinggi

Dalam konteks proses gasifikasi dilakukan untuk menciptakan bahan


bakar cair (dari syngas yang sudah ter-katalis), kita bisa membuat perbandingan
kecocokan performa dengan jenis gasifier yang digunakan. Beberapa parameter
yang digunakan ialah fleksibilitas feedstock, kualitas syngas yang dihasilkan,

Universitas Indonesia

13

pengembangan, potensi peningkatan, dan biaya. Perbandingan tersebut dapat


dilihat pada tabel berikut : (EF : Entrained Flow ; BFB : Bubbling Fluidized Bed ;
CFB : Circulating Fluidized Bed O : buruk ; OOOO : sangat baik).

Gambar 10 Perbandingan Keefektifan Tipe Reaktor yang Digunakan

Universitas Indonesia

14

BAB 3
EMISI UDARA, AIR, DAN PADAT AKIBAT PROSES GASIFIKASI

Proses gasifikasi menawarkan keuntungan yang signifikan dalam


pengurangan limbah sisa jika dibandingkan dengan proses pembakaran langsung.
Beberapa plant komersil yang ada di belahan dunia sudah mampu menunjukkan
performa yang positif ini. Meski begitu, limbah sisa proses gasifikasi tetap
dihasilkan dan harus diproses baik itu dimanfaatkan kembali atau dibuang.
Limbah dibagi menjadi tiga bagian besar : pencemar udara, pencemar air, dan
limbah padat. Rangkuman ketiga jenis pencemar dapat dilihat pada bagian berikut
:

Emisi Udara
Persoalan lingkungan yang paling kritis dalam teknologi pembakaran

sampah ialah tingkat pencemaran yang dilepas ke udara. Dalam hal ini, gasifikasi
memiliki banyak kesamaan dengan proses insinerasi. Emisi pencemar udara ini
meliputi :
a.

Polutan utama dalam pencemaran udara : SO2, NOx, CO, lead, PM.

b.

Emisi ionic : sulfat, ion yang mengandung nitrogen, chloride, fluoride,


phosphate, dan cyanide.

c.

Emisi yang tercipta dari proses pendinginan setelah pembakaran kertas dan
plastik : dioksin dan furan.

d.

Emisi logam : mercury dan arsenic.

e.

Emisi organik : formaldehyde

f.

Gas rumah kaca : CO2.


Beberapa material beracun diatas sangat berbahaya (terutama dioksin dan

furan) meski konsentrasinya sangat rendah dan meski alat reduksi polusi udara
yang modern sekalipun tidak efektif dalam mengurangi emisi tersebut. Beberapa
pencemar yang lain seperti mercury dan dioksin sifatnya kuat dan terakumulasi,
mereka juga tidak bisa terdegradasi di lingkungan.
Berdasarkan ketentuan Enviromental Protection Agency (EPA) mengenai
polusi udara industri (Emission Factors AP 42), kita bisa menghitung jumlah
emisi udara yang dihasilkan oleh sebuah plant gasifikasi dalam satu tahun. Dalam

Universitas Indonesia

15

AP 42 sebenarnya tidak secara spesifik mencatumkan peraturan dapat digunakan


untuk plant gasifikasi, namun dalam hal ini plant gasifikasi dianggap sebagai
pembakaran dengan kondisi kekurangan oksigen. Jumlah emisi yang dihasilkan
dapat dilihat pada tabel berikut :
Polutan

Tidak Terkontrol

Terkontrol dengan
Electrostatic Precipitator

PM

125195

pounds

12702

pounds

SO2

117895

pounds

NO

115340

pounds

Asam Hidrogen

78475

pounds

CO

10913

pounds

Mercury

204

pounds

Nickel

201

pounds

37

pounds

Kromium

121

pounds

22

pounds

Lead

103

pounds

Cadmium

88

pounds

17

pounds

Arsenic

24

pounds

pounds

Dioksin/furan

0.11

pounds

0.14

pounds

*sama seperti tidak terkontrol

Pencemar Air
Meski pencemar air dalam jumlah yang berlebihan sangat berbahaya dan

perlu diperhatikan oleh pemerintah, pencemar air akibat pembakaran sampah


justru cukup penting di tingkat lokal. Air dibutuhkan dalam siklus uap dari plant,
untuk boiler dan cooling water dan juga untuk kontrol emisi syngas. Plant
gasifikasi memiliki dua pencemar air utama yang mirip dengan plant pembakaran
batu bara. Jenis yang pertama ialah limbah cair dari siklus uap, termasuk siraman
air dari sistem pemurnian feedwater boiler dan dari cooling tower. Pencemar ini
mengandung garam dan mineral yang terkonsentrasi dalam feedwater mentah.
Jenis pencemar air yang kedua ialah air blowdown, dimana pada
umumnya mengandung zat solid dan gas yang terlarut dengan konsentrasi tinggi
dan berbagai jenis ion yang dihilangkan dari syngas seperti sulfit, chloride,
ammonia, dan cyanide. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsentrasi polutan

Universitas Indonesia

16

air yang dihasilkan masih aman untuk lingkungan, kecuali untuk zat-zat tertentu
seperti arsenic, cyanide, dan selenium.

Limbah Padat
Jika kita membandingkan antara plant pembakaran batu bara dan plant

gasifikasi, pencemar padat yang dihasilkan akan jauh berbeda. Pencemar padat
pada plant pembakaran batu bara menimbulkan persoalan lingkungan yang
signifikan, dimana material beracun dapat bercampur dengan tanah dan muka air
tanah pada daerah pembuangan. Plant gasifikasi, terutama IGCC, menghasilkan
dampak yang lebih aman terhadap lingkungan. Produksi limbah padat terbesar
dari plant gasifikasi ialah slag, material hitam, seperti kaca, mirip pasir, dan
bisa dimanfaatkan untuk produk lain yang dapat dijual. Jumlah slag yang
diproduksi merupakan fungsi dari kandungan abu bahan bakar, sehingga batu bara
jika digunakan akan mengasilkan slag lebih banyak dibanding dengan arang
minyak bumi.
Selain slag, limbah padat yang diproduksi secara cukup banyak ialah
sulfur atau asam sulfur padat. Keduanya dapat dijual untuk membantu
mengimbangi biaya plant.

Universitas Indonesia

17

BAB 4
KONTROL EMISI UDARA PADA PROSES GASIFIKASI

Proses gasifikasi mengubah feedstock dalam bentuk solid menjadi bahan


bakar dalam bentuk gas (syngas) dengan pelepasan energi panas secara serempak.
Proses ini menimbulkan emisi udara, yang berasal dari senyawa-senyawa tertentu
di dalam sampah. Keberadaan emisi ini merupakan hal yang wajar sebagai
konsekuensi dari proses pembakaran.
Pada umumnya, terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk
mengontrol emisi udara hasil proses WTE secara umum yakni :
a.

Kontrol operasional : meningkatkan efisiensi proses pembakaran yang


bersangkutan sehingga menghasilkan emisi yang lebih tidak berbahaya.

b.

Sistem Air Pollution Control (APC) : ditempatkan pada akhir dari rangkaian
proses WTE dan berfungsi untuk menahan/treat emisi udara sebelum udara
buangan dilepas ke atmosfer.
Berdasarkan laporan akhir Waste to Energy : A Technical Review of

Municipal Solid Waste Thermal Treatment Practices yang dibuat oleh Stantec
pada tahun 2011, teknologi gasifikasi masih cukup langka ditemukan di belahan
dunia dibandingkan dengan insinerasi. Oleh karena itu, sistem kontrol emisi udara
sangat bergantung dengan teknologi gasifikasi khusus yang sedang ditinjau.
Berikut pembahasan singkat mengenai kedua metode untuk proses gasifikasi
dengan gasifier milik Nippon Steel di Jepang :

Operational Controls
Menggunakan Direct Melting System yang beroperasi sebagai berikut :

MSW dimasukkan ke dalam tungku pembakaran (melalui crane) bersamaan


dengan arang dan batu kapur sesuai dengan kebutuhan. Sampah kemudian dibakar
di dalam tungku dan sinyal burden-level meter (dipasang di dalam tungku)
menunjukkan tingkat pembakaran yang terjadi di dalam. Pada dasar tungku,
material yang sudah meleleh dibawa ke granulator dan dipisah menjadi slag dan
logam. Syngas yang tercipta kemudian dibersihkan, flue gas yang dihasilkan
dibawa ke APC terlebih dahulu sebelum dilepas ke atmosfer melalui cerobong.

Universitas Indonesia

18

Paparan diatas menunjukkan bahwa kontrol operasional dari teknologi


gasifikasi Nippon Steel hampir didominasi oleh cara digital. Berikut beberapa
penggunaan teknologi digital lain yang terdapat pada plant gasifikasi Nippon
Steel :
a.

Laju pemberian (feeding) sampah, arang, dan batu kapur serta laju
pembentukan residu leleh direkam untuk memastikan laju feeding yang
tepat.

b.

Tekanan dan suhu pada tungku dan bilik pembakaran, serta aliran udara
yang diberikan pada kedua tempat tersebut semuanya dikontrol terusmenerus untuk menjamin tingginya efisiensi.

c.

Komposisi syngas yang meninggalkan tungku (CO, CO2, O2, CH4, H2) dan
komposisi limbah yang meninggalkan bilik pembakaran (CO2, O2, CO,
NOx) juga terus-menerus dikontrol.
Seluruh data dikirim ke komputer-komputer kontrol dan digunakan untuk

analisa nyata untuk memperoleh keseimbangan material serta memastikan plant


gasifikasi beroperasi pada efisiensi optimal.

APC (Air Pollution Control) System


Kebutuhan dan tipe sistem APC yang akan digunakan untuk fasilitas

gasifikasi sangat bergantung kepada apakah syngas yang diproduksi akan


digunakan onsite untuk pembuatan energi (dalam kasus seperti ini, beberapa tipe
APC dibutuhkan) atau syngas dipindahkan untuk digunakan secara off-site. Jika
syngas dipindahkan dan digunakan untuk tujuan lain (contoh : produksi hidrogen
atau methanol) maka tidak akan ada emisi udara akibat operasi plant gasifikasi.
Dalam makalah ini akan didiskusikan sistem APC yang ada di fasilitas
gasifikasi Nippon Steel, Jepang, dimana sistem ini sangat representatif untuk plant
dengan pemakaian syngas onsite. Sistem APC tipikal yang digunakan ialah
sebagai berikut : setelah melalui bilik pembakaran, gas didinginkan di dalam
conditioning tower (wet spray type). Gas yang sudah dingin kemudian melewati
sebuah bag filter (untuk menghilangkan PM) dan setelahnya, NOx dikurangi
melalui alat SCR (Selective Catalytic Reduction) sebelum pada akhirnya flue gas
dibuang ke atmosfer melalui cerobong. Pada beberapa demonstrasi, Nippon Steel

Universitas Indonesia

19

menggunakan electronic precipitator (medan listrik untuk menangkap PM) dan


tidak menggunakan bag filter. Sistem APC yang digunakan Nippon Steel
sangatlah mirip dengan fasilitas insinerasi meski beberapa tahap umum tidak ada
(contoh : activated carbon injection).
Sistem lain yang sangat representatif untuk pemakaian gas onsite ialah
teknologi thermoselect. Teknologi thermoselect ialah mesin gas berefisiensi tinggi
yang digunakan di tempat untuk mempreoduksi listrik dengan membakar syngas.
Pada kasus ini, gas yang keluar dari mesin akan melewati SCR untuk mengurangi
kadar NOx. Konverter katalis juga digunakan untuk mengurangi emisi CO
(mengubahnya menjadi CO2). Sebagai alternatif, syngas dapat juga digunakan di
tempat melalui boiler uap. Flue gas yang dihasilkan akan melewati SNCR
(Selective Non-Catalytic Reduction) untuk mengurangi kandungan NOx dan
sebuah unit dry adsorption untuk mengurangi SO2 dan emisi mercury.
Pembersihan

syngas

melalui

teknologi

thermoselect

sangatlah

menyeluruh dan mengurangi kontaminan pada syngas secara signifikan,


karenanya mencegah kemungkinan terlepasnya material tidak diinginkan tersebut
ke atmosfer. Kelebihan yang lain, proses thermoselect tidak menghasilkan limbah
cair.

Universitas Indonesia

20

BAB 5
KESIMPULAN

Proses gasifikasi menawarkan recovery energi yang signifikan dan


pengurangan emisi dari bahan bakar yang digunakan. Proses ini dianggap sebagai
alternatif yang menarik untuk thermal treatment dari berbagai jenis feedstock.
Dari pembahasan materi yang sudah dipaparkan, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
a.

Pertumbuhan sampah akibat konsumerisme manusia, terbatasnya area untuk


pembuangan sampah, kebutuhan energi global yang terus meningkat seiring
perkembangan zaman, dan semakin terbatasnya ketersediaan fossil fuel
mendorong manusia untuk terus mengembangkan proses Waste to Energy
(WTE).

b.

Proses WTE dapat dibagi menjadi empat yakni: direct combustion,


thermochemical treatment, physicochemical treatment, dan biochemical
treatment.

Kesemuanya

menghasilkan

energi

panas

yang

dapat

dimanfaatkan untuk beragam kebutuhan.


c.

Salah satu proses thermal treatment yakni gasifikasi ialah: proses


dekomposisi thermal pada material berbasis karbon dalam keadaan
kekurangan oksigen (sedikit pembakaran) untuk menghasilkan gas sintetis
atau syngas.

d.

Input dari proses gasifikasi dapat berupa MSW, batu bara, dan biomass.
Output yang dihasilkan berupa syngas. Bottom output berupa ash, slag, dan
beberapa jenis logam.

e.

Perbedaan utama proses gasifikasi dan insinerasi: insinerasi mirip dengan


pembakaran feedstock untuk recovery energi dan menjadikannya abu.
Gasifikasi mengubah feedstock menjadi syngas, yang mana memiliki nilai
komersil yang lebih tinggi.

f.

Ada banyak tipe reaktor gasifikasi (gasifier) yang dapat digunakan sesuai
dengan kebutuhan. Berdasarkan alas reaktor (bed), gasifier dibagi menjadi :
fixed/moving bed, fluidized bed, dan entrained flow. Berdasarkan cara

Universitas Indonesia

21

masuk udara atau oksigen ke dalamnya, gasifier dibagi menjadi: updraft,


downdraft, dan crossdraft.
g.

Proses

gasifikasi

menawarkan

keuntungan

yang

signifikan

dalam

pengurangan limbah sisa jika dibandingkan dengan proses pembakaran


langsung. Meski begitu, limbah sisa proses gasifikasi tetap dihasilkan dan
harus diproses baik dimanfaatkan kembali atau dibuang. Limbah dibagi
menjadi tiga bagian besar: pencemar udara, pencemar air, dan limbah padat
h.

Kontrol emisi udara pada proses gasifikasi dibagi menjadi dua bagian besar:
operational control dan Air Pollution Control (APC) System. Operational
control meningkatkan efisiensi pembakaran yang bersangkutan sehingga
pembakaran menghasilkan emisi yang lebih tidak berbahaya. Sistem APC
digunakan pada akhir dari rangkaian proses WTE dan berfungsi untuk
menahan/treat emisi udara sebelum udara buangan dilepas ke atmosfer.

i.

Operational control pada plant gasifikasi Nippon Steel, Jepang :


menggunakan alat-alat digital yang mengirimkan data ke komputer kontrol.
Data kemudian dianalisa untuk memperoleh keseimbangan material serta
memastikan plant gasifikasi beroperasi pada efisiensi optimal. Sistem APC :
terdiri dari conditioning tower, bag filter / electronic precipitator, dan SCR.

Universitas Indonesia

22

DAFTAR PUSTAKA

Andari, G. 2013. Slide Kuliah : WTE Minggu 1. FTUI, Depok.


Andari, G. 2013. Slide Kuliah : WTE Minggu 2. FTUI, Depok.
Belgiorno, V, et all. 2002. Energy From Gasification of Solid Wastes, Pergamon.
Breault, Ronald. 2010. Gasification Processes Old and New : A Basic Review of
The Major Technologies, NETL-US, Morgantown, USA
Chopra, Sangeeta et all. 2007. A Review of Fixed Bed Gasification System for
Biomass, The CIGR Journal, Ludhiana, India.
DECC. 2009. Review of Technologies for Gasification of Biomass and Wastes :
Final Report, NNFCC.
Gasification Technologies Council. 2011. Gasification : The Waste to Energy
Solution, Gasification Technologies Council, Arlington, VA 22203.
National Energy Technology Laboratory. 2002. Major Enviromental Aspects of
Gasification-Based Power Generation Technologies : Final Report, US
Department of Energy.
Phillips, Jeffrey. 2009. Different Types of Gasifiers and Their Integration with
Gas Turbines, EPRI / Advanced Coal Generation, NC 28221.
Rajvanshi, Anil K. 1986. Biomass Gasification, CRC Press, Maharasthra, India.
Stantec. 2011. A Technical Review of Municipal Solid Waste Thermal
Treatment Processes. Environment Quality Branch, Victoria BC.
The Blue Ridge Enviromental Defense League. 2009. Waste Gasifiaction :
Impact on The Environment and Public Health, The Blue Ridge
Enviromental Defense League, North Carolina, USA.
Young, Gary. 2010. Municipal Solid Waste to Energy Conversion Processes.
John Wiley & Sons, New Jersey.
http://alternativefuels.about.com/od/researchdevelopment/a/gasification.html
http://www.netl.doe.gov/technologies/coalpower/gasification/gasifipedia/7advantages/index.html.

Universitas Indonesia

You might also like