Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
B. Etiologi
Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat
DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Infeksi
primernya secara klinis dikenal dengan Varicella (chicken pox), umumnya terjadi pada
anak-anak. Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion
posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V
(trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis)
pada ganglion genikulatum.1.3
meningkat dua sampai empat kali lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60
tahun. Data lain menyatakan pada penderita imunokompeten yang berusia dibawah 20
tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun
dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunodefisiensi (HIV) atau anak-anak
dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan kelompok sehat usia
sama.
Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia pasca herpetika
setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset
sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitian Choo, diperkirakan angka
terjadi neuralgia pasca herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada
60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan,
tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika
Selatan mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat.
Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 1070%nya mengalamia neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita
berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%.2
virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan
dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi
menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini
terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada ganglion
kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf.
Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan
dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses
perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella
zoster:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau
saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat
dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar
dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar
saraf yang terlibat.
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia pasca
herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes
zoster tetapi tidak mengalami neuralgia pasca herpetika tidak ditemukan atrofi kornu
dorsalis.
Mekanisme nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase I : proses stimulasi singkat (nyeri nosiseptif)
2. Fase II : proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebutkan lesi atau inflamasi
jaringan (nyeri inflamasi)
3. Fase III : proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf (nyeri neuropatik)
4. Fase IV : proses yang terjadi akibat respon abnormal susunan saraf (nyeri fungsional)
Fase I disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik dan
sebagainya, yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya persepsi
nyeri. Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi, maka persepsi
nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.
Fase II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada fase II, stimuli
yang merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan akan menyebabkan fungsi
berbagai komponen sistem nosiseptif berubah.
Ciri khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor dan fungsiolesa. Rubor
dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah, tumor akibat meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah, dolor terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi nosiseptor dan
berakhir dengan adanya penurunan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi
(fungsiolesa).
Perubahan sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan yang
mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, speri bradikinin,
prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya, yang dapat mengaktivasi
atau men-sensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.
Fase III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan
mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi
saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal
dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya.
Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui
perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal
(mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral
(sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf
aferen akibat lesi, yaitu:
1.
2.
3.
4.
aktivitas ektopik
sensitisasi nosiseptor
interaksi abnormal antar serabut saraf
hipersensitifitas terhadap katekolamin
Fase IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang masih baru.
Bentuk sensitifitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer dan
defisit neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon atau fungsi abnormal sistem saraf,
dimana sensitifitas apparatus sensorik memperkuat gejala. Beberapa kondisi umum
memiliki gambaran tipe nyeri ini yaitu fibromyalgia, irritable bowel syndrome, beberapa
bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang.
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal
semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut A yang biasanya
berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia dirasakan
sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya:
1. Sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai
respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang rangsang sehingga
stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
2. Perubahan serabut A dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada nyeri
neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang dari perifer
berupa ectopic discharge.
3. Hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin
berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat.
Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini
diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi
berlebihan.
Nyeri pada neuralgia pasca herpetika merupakan nyeri neuropatik yang
diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan
sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi
yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus.
Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang juga
mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut
menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya
menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua rangsang
masukan/ sensorik. Perubahan ini ada berbagai macam proses sehingga pendekatan
terapeutik neuralgia pasca herpetika ada beberapa macam pendekatan pula.2,4
E. Manifestasi klinis
Komplikasi yang paling sering terjadi pada herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia pasca herpetika sehingga neuralgia pasca herpetika bukan merupakan
kelanjutan dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang
merupakan komplikasi herpes zoster. Neuralgia pasca herpetika yaitu suatu kondisi
dimana menetapnya nyeri di tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama.
Dworkin membagi neuralgia pasca herpetika ke dalam tiga fase:
Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung
< 4 minggu
Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
Neuralgia pasca herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit
atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
Onset ruam
ruam sembuh
Nyeri fase akut
nyeri sembuh
Neuralgia pasca herpes
NYERI ZOSTER
Ket: Nyeri zoster, nyeri fase akut dan nyeri pasca herpes 1
peranan pula dalam menimbulkan neuralgia pasca herpetika adalah gangguan sistem
kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya
ruam.1,2,4
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan histology)
1. Erupsi berupa vesikel yang nyeri sesuai distribusi dermatom.
2. Setelah erupsi sembuh, nyeri berupa alodonia, hiperalgesia, atau hiperestesi yang
berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Nyerinya hebat dan seakan-akan seperti tersetrum
atau tertusuk.
3. Herpes-zoster dapat mengalami reaktivasi subklinis dengan polanyeri sesuai distribusi
dermatom tanpai disertai erupsi.
4. Tampak jaringan parut pada kulit di tempat bekas munculnya lesi.1
G. Penatalaksanaan1,2,4
Pada dasarnya, penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada penderita neuralgia
pasca herpetika terdiri dari terapi farmakologik dan non farmakologik.
Dan
penatalaksaan untuk nyeri zoster (nyeri fase akut) dapat diberikan analgetik non-opioid,
antidepresan dan tranquilizer (yang banyak digunakan adalah kombinasi amitriptilin dan
flufenasin), dapat pula diberikan larutan triamsinolon 0,2% dalam NaCl 0.9% untuk
infiltrasi sekitar ruam.
Saat ini terapi NPH difokuskan ada penggunaan psikotropik dan antikonvulsan.
Terapi farmakologis efektif untuk menurunkan kualitas nyeri dan memperbaiki kualitas
hidup pasien, termasuk pemakaian antidepresan trisiklik, antikonvulsan, agen topical,
analgesic opioid dan tramadol.1
Anti konvulsan, terutama non-sodium channel blocking agent seperti gabapentin
dan pregabalin tampak cukup efektif. Mekanisme kerja obat golongan ini diperkirakan
melalui penurunan sensitisasi sentral. Misalnya inhibisi pelepasan asam amino eksitatorik
(glutamate) dan mungkin juga meningkatkan reaksi inhibisi susunan saraf sentral melalui
transmisi GABA-ergik. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih
cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun
berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi
mungkin
dikarenakan TCA
Dosis
Antidepresan trisiklik
Amitriptilin (Elavil)
Desipramin (Norpramin)
Imipramine (Tofranil)
Nortriptilin (Pamelor)
Antikonvulsan
Fenitoin (Dilantin)
Karbamazepin (Tegretol)
Gabapentin (Neurontin)
Pregabalin (Lyrica)
3. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada
orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara
sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post
herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang
ditimbulkan hingga 66,5%.
H. Pencegahan
Cara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah terinfeksinya
virus Zoster itu sendiri. Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan
kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes
zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut. Terapi
antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai
pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat menghentikan
replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan menurunkan kejadian
neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir,
atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko
utama neuralgia pascaherpetika.
Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan
oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60
tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun
atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia
pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun
atau bahkan lebih Selain itu, The United States Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia diatasumur 60 tahun untuk
memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari perawatan kesehatan rutin.
Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration
untuk mencegah Varicella.1,5
I. Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat. Pada
pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-obatan
analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus, nyeri yang
dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak
dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik
seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama
dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan untuk
mencari terapi yang sesuai.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih
mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya
tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.5
pankreatitis,
pankreatektomi,
kerusakan
Jenis kelamin
Diabetes melitus tipe 2 sedikit lebih banyak pada perempuan usia tua
daripada laki-laki. Rodrigo P.A. Barros, Ubiratan Fabres Machado2 and
Jan-ke Gustafsson tahun 2006 menyebutkan bahwa yang mempengaruhi
peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada jenis kelamin
perempuan adalah kadar estrogen. Pada perempuan, estradiol akan
mengaktivasi ekspresi gen ER dan ER. Kedua gen ini
akan
Prediabetes
melitus
yang
relatif
tidak
obesitas
dapat
mengalami
27
Dengan demikian,
resistensi
insulin
di
otot
dan
hati.
Awalnya
pankreas
3. Hipertensi
Hipertensi
dan
beberapa
medikasi
yang
digunakan
untuk
Dislipidemia
Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang
diabetes adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar
tidak
semua
orang
yang
obesitas
mengalami
b. Obat hipoglikemik oral diindikasikan pada diabetes tipe 2 apabila diet saja
tidak cukup mengontrol metabolisme.
4. Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan
diabetes tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Ada beberapa jenis
insulin. Insulin rekombinan manusia adalah yang paling sering digunakan,
walaupun beberapa pasien lebih memilih menggunakan insulin sapi atau babi.
Sediaan yang berbeda memiliki onset dan lama kerja yang bervariasi (pendek,
menengah, atau panjang). Sediaan dengan kombinasi berbeda antara lama kerja
pendek dengan menengah/panjang sering digunakan.
atau
pada
tahap
lanjut,
akibat
kerusakan
mikro-
dan
E. Komplikasi
a.
Komplikasi makrovaskuler.
Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai pembuluh
B. Proses Menua
Menua
didefinisikan
sebagai
penurunan,
kelemahan,
meningkatknya
C. Permasalahannya
Dalam bidang geriatrik dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Masalah pada geriatric
dikenal dengan 13 i yang terdiri dari Immobility (imobilitas), Instability
dan
Isolation(depresi),
delirium),
Impotence
Incontinence
(impotensi),
(Inkontinensia
urin
Immuno-deficiency
dan
alvi),
(penurunan
DAFTAR PUSTAKA
1. Dewanto G, Suwono W.J, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis & Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. 2009. Hal: 118-120
2. Gupta R. Herpes zoster and post herpetic neuralgia. 2012. Diunduh dari
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/12/4/181.full pada tanggal 13 Juli 2015.
3. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit
dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001
4. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan.
Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.
5. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008. Diunduh dari
http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id
pada tanggal 13 Juli 2015.
6. Dainel WF. Diabetes Mellitus in Harrisons Principles of Internal Medicine. Jakarta. Hal
2212-2213
7. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006; 1852-1856.
8. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Metabolik Endokrin.
Dalam: Kapita Selekta, Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. 1999; 580590