You are on page 1of 17
KARAKTERISTIK REPRODUKSI DAN SIFAT SEMEN KERBAU LUMPUR (Bubalis bubalis) Disusun oleh Drh. Herdis, MSi NIP. 680003040 Mengetahui Direktur IImu Kehidupan Deputi Bidang Pengkajian lImu Dasar dan Terapan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi a Dr, Tisno Suwarno NIP. 130604392 DIREKTORAT ILMU KEHIDUPAN DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN ILMU DASAR DAN TERAPAN BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 1997 ABSTRAK Kerbau lumpur merupakan plasma nuftah kerbau Indonesia yang potensial untuk dikembangkan, karena bersifat multi guna yaitu sebagai sumber protein hewani, tenaga kerja, tabungan serta berperan dalam adat-istiadat dan kepercayaan berbagai suku bangsa di Indonesia. Selama ini perkembangan populasi kerbau lumpur sangat memprihatinkan, karena jumlah pemotongan kerbau lumpur lebih besar dibandingkan jumlah kelahiran, Sedikitnya penelitian mengenai kerbau lumpur menyebabkan_perkembangan Kerbau jauh tertinggal dibandingkan sapi. Salah satu usaha untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik kerbau lumpur adalah menerapkan_teknologi reproduksi termasuk inseminasi_buatan dan embrio transfer. Keberhasilan teknologi reproduksi sangat dipengaruhi oleh karakteristik reproduksi dan sifat semen dari kerbau lumpur. Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih jauh tentang karakteristik reproduksi dan sifat semen kerbau lumpur sebagai plasma nuftah kerbau Indonesia. Metode penulisan dilakukan dengan cara studi pustaka dan penelaahan tethadap penelitian-penelitian yang dilakukan. —Dilihat dari karakleristik reproduksi dan sifat-sifat semen, populasi dan mutu genetik kerbau lumpur layak dikembangkan dan semennya memenuhi syarat untuk di inseminasikan secara segar atau dilakukan proses pembekuan. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu komoditas ternak yang, berpotensi untuk dikembangkan. Potensi ternak kerbau meliputi sumber protein hewani, tenaga kerja, tabungan serta berperan dalam adat-istiadat dan kepercayaan berbagai suku bangsa di Indonesia (Batosamma, 1985). Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 1995 mencapai 3.112.400 ekor, meningkat 0,26 % dibandingkan populasi tahun 1994 yakni sebanyak 3.104.400 ekor. Namun demikian peningkatan tersebut tidak sebanding dengan jumlah pemotongan. Pada tahun 1994 pemotongan kerbau mencapai 188.841 ekor dan tahun 1995 sebanyak 232.339 ekor (Biro Pusat Statistik, 1996). Sebagai perbandingan pada tahun 1988 populasi kerbau di Indonesia 3.257.000 ekor dan tahun 1992 tercatat 3.300.000 ekor (Biro Pusat Statistik, 1993). Kondisi perkembangan ternak kerbau yang memprihatinkan antara lain disebabkan oleh rendahnya efisiensi reproduksi, pengetahuan tatalaksana peternak yang terbatas, motivasi petani yang rendah serta pergeseran_ peng- gunaan lahan sehingga habitat kerbau menjadi berkurang. Belum banyaknya peneliti yang berminat terhadap potensi kerbau menyebabkan ternak ini jauh tertinggal dibandingkan sapi (Toelihere, 1985). Salah satu usaha untuk meningkatkan kemampuan reproduksi kerbau adalah melalui program inseminasi buatan (IB). Inseminasi buatan pada kerbau di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1975 (Toelihere, 1985). Namun tingkat kebuntingan yang dicapai dari teknik IB masih relatif rendah yaitu angka Konsepsi (conception rate/CR) 30% sampai 50% untuk aplikasi lapangan dan 60 % untuk aplikasi penelitian (Purwantara, 1982; Situmorang dan Sitepu, 1991). Rendahnya keberhasilan kebuntingan pada program IB bisa disebabkan oleh rendahnya kualitas se-men, penanganan semen beku yang digunakan, kondisi reproduksi kerbau betina, manajemen ternak serta keterampilan inseminator. Salah satu indikator kualitas semen beku yang sering digunakan adalah motilitas sperma terutama setelah pencairan kembali (tawing) dari keadaan beku (Goyal ef al., 1996). Menurut Jaenudin dalam Hafez (1987) motilitas semen kerbau lebih rendah dibandingkan dengan sapi. Rendahnya daya hidup dan kualitas sperma kerbau setelah pencairan kembali disebabkan karena sperma kerbau mudah rusak selama proses pembekuan (Raizada et al., 1988). I. REPRODUKSI DAN SIFAT SEMEN KERBAU LUMPUR 24. Tinjawan Umum Cockrill (1974) dalam Batasomma (1985) mengklasifikasikan ternak kerbau dalam : Kingdom Animalia, Klas Mammalia, Subklas Ungulata, Ordo Artiodactyla, Subordo Ruminansia, Famili Bovidae, Genus Bubalus dan Species Bubalis. Pada zaman pleistocene, genus Bubalis tersebar di dataran Eropa dan Asia Timur, kemudian terpusat di India, Indochina dan kepulauan di Asia Tenggara. Ternak kerbau di Asia berasal dari kerbau liar Bubalis arnee dari India. Oleh Linnaeus jenis ternak kerbau ini dinamakan Bubalis bubalis, Menurut domestikasinya, ternak kerbau terdiri atas dua tipe yaitu tipe perah (river buffalo) dan tipe lumpur (swamp buffalo). Kerbau tipe lumpur banyak terdapat di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kerbau lumpur dikenal pula dengan sebutan kerbau kubangan (kerbau sawah).. Kerbau lumpur mempunyai jumlah kromosom 2n = 48, Jumlah kromosom kerbau Murrah adalah 2n = 50. Persilangan antara kerbau lumpur dengan kerbau Murrah akan merubah jumlah kromosom tersebut. Turunan pertama (F1) dan kedua (F2) hasil persilangan tersebut mempunyai kromosom 2n = 49, tetapi pada turunan ketiga (F3) dan keempat (F4), jumlah kromosomnya kembali sama dengan jumlah kromosom kerbau lumpur yaitu 2n = 48 (Fischer dalam Batosamma, 1985). Menurut Toelihere (1981) persilangan antara kerbau Murrah dan kerbau lumpur memiliki mutu yang tinggi dalam produksi susu, daging dan tenaga kerja. Menurut Sitomorang dan Sitepu (1991) rata-rata berat badan kerbau persilangan (lumpur x Murrah) 30 %, 51 % dan 27% lebih tinggi dari pada kerbau lumpur pada umur 1, 2 dan 3 tahun berturut-turut. Menurut Bunyavejchewin (1990) sebelum masa sapih, pertumbuhan kerbau persilangan (0,72 + 0,11 kg/hari) lebih cepat dibandingkan kerbau tipe lain, namun setelah masa sapih kerbau lumpur mempunyai pertumbuhan (0,43 + 0,19 kg/hari) lebih baik di bandingkan kerbau Murrah murni (0,32 + 0,14 kg/hari) dan persilangan (0,23 + 0,18 kg/hari).. Peningkatan populasi kerbau di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah pemotongan yang dilakukan. Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 1995 mencapai 3.112.400 ekor, meningkat dibandingkan populasi tahun 1994 yakni sebanyak 3.104.400 ekor. Namun dilain pihak pemotongan kerbau juga meningkat. Pada tahun 1994 pemotongan kerbau mencapai 188.841 ekor dan tahun 1995 mencapai 232.339 ekor (Biro Pusat Statistik, 1996). 2.2. Fisiologi Reproduksi Kerbau Jantan Organ kelamin kerbau jantan hampir sama dengan sapi. Penisnya bertipe fibroelastik dan terdapat di dalam kantong yang bertaut rapat ke ventral dinding perut (Hafez, 1987). Perkembangan paling pesat testes kerbau terjadi pada umur 9 bulan. Ukuran badan berbanding lurus dengan volume testes dan terdapat korelasi antara berat testes dengan jumlah sperma yang diproduksi (Osman, 1971 dan Mahmoud, 1972 dalam Toelihere 1981). Menurut Rao ef al. (1993) serta Ganguli dan Prasad (1993) ukuran testes terutama lingkar testis berkorelasi positif dengan berat testis, produksi sperma, kualitas sperma, fertilitas dan aktivitas testis. Spermatogenesis mulai berlangsung pada umur 12 sampai 15 bulan, akan tetapi ejakulat yang mengandung sperma yang baik diperoleh dari kerbau yang telah berumur 24 bulan, Epididymis pada kerbau lebih kecil daripada sapi, berat epididymis kira kira 18,63 g, panjang caput 4,93 cm, corpus 9,66 cm dan cauda 2,2 cm. Kelenjar- kelenjar pelengkap pada kerbau relatif lebih kecil dan kurang berlobulasi daripada sapi (Toelihere, 1985). Menurut Jainudeen dan Hafez (1987) kerbau jantan mencapai pubertas umur 24 - 30 bulan lebih lambat dari sapi umur 10 - 12 bulan. Di Mesir pemakaian kerbau jantan rata-rata dimulai pada umur 3,7 tahun. Di India, kerbau perah jantan mencapai pubertas pada umur 26,7 bulan dan mulai dapat melayani betina sekitar umur 3,7 tahun sampai umur 10 tahun. Menurut Kunawongkit dan Bodhipaksha (1978) libido atau keinginan kelamin pejantan timbul setelah betina pemancing disiapkan. Lingkungan yang ramai seperti banyak orang serta keadaan suhu sangat mempengaruhi libido kerbau lumpur. Libido kerbau lebih rendah bila penampungan semen dilakukan pada siang atau sore hari. Waktu antara pendekatan jantan ke hewan betina sampai ejakulasi berkisar antara 1 menit 30 detik sampai 4 menit. 23. Sifat-Sifat Semen Semen kerbau Jumpur berwarna krem, krem keputihan atau putih susu dengan konsistensi agak kental. Konsistensi ini tergantung pada konsentrasi sperma yang terkandung di dalamnya. Konsentrasi sperma kerbau relatif lebih rendah daripada sapi. Konsentrasi semen kerbau di Mesir dilaporkan 1.098,72 juta per ml, di Filipina 1.000 juta per ml dan di India dilaporkan berkisar antara 788,6 juta per ml sampai 974,43 juta per ml (Mahalinga, 1990 ; Dhami dan Sahni, 1994). Konsentrasi kerbau lumpur di Indonesia berkisar antara 200 sampai 1.000 juta per ml dengan rata-rata 600 juta per ml (Toelihere, 1981). Volume semen kerbau per ejakulat umumnya lebih rendah dari sapi. Rata-rata volume ejakulat kerbau Murrah adalah 3,70 + 0,20 ml (Dhami dan Shani, 1994), 3,28 + 0,14 ml (Nainar et al., 1990), 3,3 ml sampai 4,0 ml (Rattan, 1988), 2,87 ml (Suryaprakasam dan Rao, 1993). Sedangkan volume ejakulat kerbau lumpur di In-donesia berkisar antara 0,5 sampai 2,5 ml dengan rataan 1,3 ml (Toelihere, 1985), 1.7 sampai 2.3 ml (Yusuf, 1979) dan 2.38 mi (Gitumorang, 1991). Seperti pada sapi, ejakulat kedua pada kerbau lebih baik daripada ejakulat pertama. Walaupun volume dan konsentrasi sperma pada ejakulat ke dua lebih rendah, tetapi motilitas sperma pada ejakulat kedua lebih tinggi daripada eja-kulat pertama (El-Sheikh, 1969 dalam Toelihere, 1981). Volume ejakulat pada penampungan pertama dan kedua tidak berbeda tetapi menurun pada penampungan ketiga dan keempat (Anzar et al, 1994). Gerakan masssa sperma kerbau lumpur di Indonesia berkisar antara 1 (+) sampai 3 (+++). Menurut Suryaprakasam dan Rao (1993) gerakan massa sperma kerbau Murrah adalah 2,03 (skala skor 1 sampai3). _Persentase sperma hidup kerbau lumpur berkisar an-tara 48% sampai 80% dengan rata-rata 66,6% (Toelihere, 1985), sedangkan kerbau Murrah 71,09% (Nainar et al., 1990); 80,1% (Dhami dan Sahni, 1994), Semen kerbau lumpur bersifat agak basa (Toelihere, 1985), pH 68 menurut Yusuf (1979). Menurut Bhavsar et al. (1990) abnormalitas sperma kerbau Mehsana adalah 9,93 + 0,12%. Sperma degenerasi 0,98 - 2,45%, bengkak 0,76 - 1,38% dan rusak 0,75 -1,74% (Dhami ef al., 1994). Abnormalitas akrosom merupakan salah satu bentuk abnormalitas kepala sperma. Bentuk abormalitas berpe-ngaruh terhadap fertilitas (Singh ef al, 1992). Perubahan bentuk akrosom dapat berupa pengembungan (swollen), pecah (ruptured), berkerut (ruffled) dan terlepas. Abnormalitas akrosom semen segar kerbau Murrah adalah 6,52 + 0.43% meningkat menjadi 55,06 + 2,54% pada semen beku (Krishna dan Rao, 1987). Sifat-sifat biokimia semen kerbau_berbeda dengan semen sapi. Menurut Battacharya (1974) dan Rattan (1988) unsur kimia yang terdapat pada 100 ml semen kerbau adalah : nitrogen bukan protein 109 mg, Klorida 373 mg, kalsium 40 mg, asam askorbat 4,13 mg, asam sitrat 489 mg dan total fosfor 103 mg. Menurut Nainar (1990) kandungan kalium semen kerbau adalah 106,05 mg dan natriumnya 297,38 mg. Kandungan elektrolit-elektrolit plasma semen berbeda menurut bangsa, variasi individual, umur, frekwensi penampungan serta iklim (Kumar et al., 1991). Selain zat-zat tersebut, di dalam plasma semen juga terkandung asam amino seperti: alanin, arginin, aspartat, asam glutamat, glisin, lisin, histidin, serin dan tirosin (Rawat, 1979). Menurut Crabo dan Jayedran (1979) fosfat dan amonium berfungsi menstabilkan struktur tertier protein. Protein berperan dalam kestabilan dan permea-bilitas membran sel terhadap natrium dan kalium. 2.4. Pengenceran dan pembekuan semen Pengenceran merupakan usaha untuk memperbanyak volume semen serta memenuhi kebutuhan fisik dan kimia sperma selama proses pembekuan dan penyimpanan. Berdasarkan fungsinya maka — pengencer_harus mengandung : pertama, sumber energi untuk kelangsungan hidup sperma seperti fruktosa, glukosa dan laktosa, Kedua, anti kejutan dingin seperti lipoprotein dan lecithin. Ketiga, memiliki_ penyangga seperti sitrat, tris dan phosphat. Keempat, memiliki keseimbangan elektrolit seperti anorganik. Kelima, mengandung antibiotik yang melindungi semen dari kontaminasi mikroba (Toelihere, 1985). Pengencer semen kerbau yang pertama kali digunakan adalah kuning, telur dengan penyangga bikarbonat. Menurut Singh et al.(1994) pengencer Tris- kuning telur (TKT) lebih baik dibandingkan Tris-kuning telur glukosa (TKG) dan Tris-kuning telur laktosa (TKL). Persentase motilitas setelah pembekuan 58,95%; 55,62%; 53,33% berturut-turut untuk TKT; TKG dan TKL. Persentase hidup 74,42%; 70,46%; 69,12% dan persentase abnormalitas sperma 22,26%; 27,14% dan 24,73%. Menurut Snitwong ef al.(1982) pengencer Tris-kuning telur dengan gliserol 7% memberikan motilitas (32,62%) lebih baik dibandingkan pengencer Laichops 478 (30,01%) dan sitrat kuning telur (958%). Dalam mempertahankan daya hidup sperma pada suhu lemari es, pengencer bikarbonat kuning telur lebih baik dibandingkan dengan sitrat kuning telur dan glisin kuning telur (Yusuf, 1979). Menurut Toelihere (1985) pengencer yang baik untuk semen kerbau adalah bikarbonat glukosa kuning telur, glisin sitrat kuning telur dan Tris-kuning telur. Pemberian antibiotik dalam pengencer bertujuan untuk mencegah kontaminasi bakteri yang akan membunuh spermatozoa. Antibiotik yang biasa digunakan dan memberikan hasil yang memuaskan antara lain streptomisin dengan dosis 200 1g /ml semen (Toelihere, 1985). Menurut Gangadhar (1986) persentase motilitas lebih baik pada pengencer yang diberi antibiotik dibandingkan tanpa antibiotik. Kombinasi penicilin 1.000 TU dan streptomicin 1.000 1g memberikan motilitas sperma setelah pencairan kembali lebih tinggi (60,62 + 1,33%) dibandingkan dengan tanpa antibiotik (69,37 + 1,21%). Masalah pembekuan semen, pada umumnya terdiri atas dua hal yaitu pengaruh kejutan dingin terhadap sel yang dibekukan dan perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es, Menurut Toelihere (1985) penambahan gliserol kedalam medium merupakan usaha untuk mengatasi masalah tersebut. Walaupun mekanisme gliserol dalam melancarkan fungsi protektifnya belum jelas, namun diduga gliserol memodifikasi kristal es yang terbentuk sehingga menghambat kerusakan sel. Gliserol yang memasuki sel akan menggantikan sebagian air yang bebas dan mendesak ke luar elektrolit-elektrolit._Konsentrasi intraseluler akan menurun sehingga mengurangi daya perusaknya terhadap spermatozoa. Menurut Matos dalam Salamon dan Maxwell (1995) gliserol dapat memberikan perlindungan tetapi dapat menyebabkan kerusakan pada struktur spermatozoa selama proses pembekuan. Perlindungan efektif diperoleh setelah kontak yang singkat dengan spermatozoa. Gliserol bersifat cepat masuk ke dalam sel dan bisa larut ke dalam lemak. Gliserol dapat dimetabolisasi dan dimanfaatkan oleh sperma pada keadaan aerob, Gliserol masuk ke dalam siklus perombakan fruktosa pada triosafosfat suatu phase yang membutuhkan oksigen dan dapat dirubah menjadi asam laktat untuk dioksidasi lebih lanjut (Toelihere,1981). Bahan krioprotektan lain yang bisa dipakai dalam pembekuan sel adalah etilen glikol dan dimetil-sulfoksida. Untuk proses pembekuan sperma, gliserol memberikan hasil lebih baik dibandingkan etilen glikol dan dimetilsulfoksida. Tidak terdapat perbedaan antara pemberian gliserol 8% dan 12 % (Crabo dan Jayendran, 1979). Menurut Iqbal dan Tomar (1989) metode pemberian gliserol 7% tiga tahap pada pembekuan semen kerbau Murrah lebih baik dibandingkan metode satu tahap. 10 Menurut Duta ef al. (1991), tidak terdapat perbedaan secara statistik antara metode pemberian gliserol satu tahap pada suhu 35°C dengan metode satu tahap pada suhu 5°C dan metode tiga tahap pada suhu 5°C. Waktu ekuilibrasi adalah periode yang diperlukan spermatozoa untuk menyesuaikan diri dengan pengencer, sehingga sewaktu pembekuan kematian sperma berlebihan dapat dihindari. Menurut Toelihere (1981) waktu ekuilibrasi berbeda pada berbagai jenis, bangsa dan individu pejantan. Waktu ekuilibrasi pada pembekuan semen kerbau Murrah minimal 6 jam (Vasanth, 1979 dan Rao,1988). Kecepatan pendinginan sewaktu pembekuan semen kerbau belum pasti diketahui (Toelihere, 1981). Menurut Dhami et al. (1993) pendinginan selama 2 jam menghasilkan motilitas lebih baik dibandingkan dengan pendinginan selama 1 jam. Angka konsepsi yang diperoleh pada pendinginan 2 jam (71%) lebih baik dibandingkan dengan pendinginan 1 jam (56.5%) (Dhami ef.al., 1995). Metode pencairan kembali (thawing) semen beku berpengaruh terhadap motilitas dan daya hidup sperma kerbau. Menurut Ahmad (1984) metode thawing pada suhu OC selama 2 menit didapat persentase motilitas sebesar 30,28% dengan daya hidup sperma pada suhu 37°C adalah 3,89 + 0,12 jam. Metode thawing pada suhu 37°C selama 15 detik didapat persentase motilitas sebesar 40,00%, dengan daya hidup sperma 4,67 + 0,12 jam. u Ii. KESIMPULAN 1. Kerbau lumpur merupakan plasma nuftah kerbau Indonesia yang perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan. 2, Dilihat dari karakteristik reproduksi dan sifat-sifat semen, populasi dan mutu genetik kerbau lumpur bisa dikembangkan dan semennya memenuhi syarat untuk di inseminasikan secara segar atau dilakukan proses pembekuan. 3. Perlu penelitian yang lebih mendalam tentang reproduksi dan fisiologi kerbau lumpur_sehingga perkembangannya tidak tertinggal dibandingkan ternak sapi. 10. 1. IV. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, K., 1984. Effect of thaw rates on survival of buffalo spermatozoa frozen in straws. J. of Dairy Sci. 67:1535-1538, Anzar, M., M. Ahmad, M. Nazir, N. Ahmad and I. H. Shah. 1994. Selection of buffalo bulls : sexual behavior and its relationship to semen production and fertility. Theriogenology. 40:1187-1198. Batasomma, J. T. 1985. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan untuk Pelestarian Sumberdaya Ternak Kerbau Belang. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bhavsar, B.K,, A.J. Dhami and S.B, Kodagali. 1990. Abnormal sperm content in mehsana buffalo semen with regard to freezability, seasonality and fertility. Indian Vet. J. 67 : 233-237. Biro Pusat Statistik, 1993. Statistik Indonesia. Statistical year book of Indonesia, Jakarta. Biro Pusat Statistik, 1996. Statistik Indonesia. Statistical year book of Indonesia, Jakarta. Crabo, B. G. and R. S. Jayendran. 1979. Biochemical characteristics of semen and its behaviour during freezing and thawing. Proceedings Seminar at Indian National Dairy Research Institute. Food and Agriculture Organisation of The United Nations, Rome. Dhami, A. J., K. L. Sahni and G. Mohan. 1992. Effect of various cooling rates (from 30°C to 5°C) and thawing temperatures on the deep-freezing of Bos Taurus and Bos buabalis semen. Theriogenology. 38:565-574. Dhami, A. J. and K. L. Sahni. 1993, Evaluation of different cooling rates, equilibration periods and diluents for effects on deep-freezing, enzyme linkage and fertility of taurine bull spermatozoa. Theriogenology. 40:1269- 1280. Dhami, A. J. and K. L. Sahni. 1994. Role of different extenders and additives in improving certain biolocal indicates of frozen bull and buffalo semen. Indian Vet. J. 71: 670-677 Dhami, A. J., K. L, Sahni, G. Mohan and V. R. Jani. 1995. Effects of differents variables on the freezability, post-thaw longevity and fertility of buffalo spermatozoa in the tropics. Theriogenology. 46:109-120, Gangadhar, K. S, A. R. Rao and G. Subbaiah. 1986. Effect of antibiotics on bacterial load in frozen semen buffalo bulls. Indian Vet. J. 63:489-493. 13. Ganguli, A. and G. Prasad. 1993. Age variations in the testis and epididymis in relation to testicular activity of the Indian buffalo (Bubalus bubalis). Indian Vet. J. 70:570-571. 14. Goyal, R. L., R. K. Tuli, G. C. Georgie and D. Chand. 1996. Comparison of quality and freezability of water buffalo semen after washing or sephadex filtration, Theriogenology. 46:679-686. 15. Hafez, E. S. E. 1987. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger, Philadelphia. 16. Iqbal, M. J. and N.S. Tomar. 1989. Studies on efficiency of certain additives and methods of glycerolization for deep-freezing of zebu and buffalo bull semen. Indian Vet. J. 66:237-242. 17. Krishna, M. K. and A. R. Rao. 1987. Acrosomal morphology in fresh and freeze-thawed buffalo sperm. Indian Vet. J. 64:248-249, 18. Kunawongkit, A. and P. Bodhipaksha, 1978. The study of semen collection, semen quality and sperm morphology of the Thai swamp buffalo. FAO- SIDA Follow-up. Seminar on Reproduction Tirupathi. India. 19. Kumar, N., G. R. Pangawkar and R. Kumar. 1991. Effect of filtration on seminal plasma electrolytes in buffalo bull. Indian Vet. J. 68:493-494. 20. Nainar, M. A., B. M. Easwaran and V. Ulagnathan. 1990. Studies on non- motile spermatozoa (static semen) in buffalo bull semen. Indian Vet. J. 67:133- 135, 21. Purwantara, B. 1982. Penampilan Reproduksi dan Hasil-hasil Inseminasi Buatan pada Kerbau Lumpur (Bubnlis bubalis) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Skripsi Dokter Hewan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 22. Raizada, B.C., A. Satior and M.O. Pandey. 1988, A comparative study of freezing buffalo semen in two dilutors. Proceding of II world Buffalo Congress. New Delhi. 23. Rao, N. V. A,, K. M.S. Kumar, K. Rangalah, K. R. M. Rao, N. ramaniah and O, Sreemannarayana. 1993. Studies on variation in testicular of young murrah buffalo bulls. Indian Vet. J. 70:434-436 24. Salamon, S. and W.M.C. Maxwell. 1995. Frozen storage of ram semen. Processing, freezing, thawing and fertility after cervical insemination. Anim. Reprod. Sci. 37:85-99, 25. Singh, R. S., N. S. Tomar, K. C. Sharma and K. B. Sharma. 1992. Studies on acrosomal abnormalities of cattle and buffalo in relation to other semen cahracteristics and fertility, Indian Vet. J. 69:267-268 MW 26. Singh, T. L, B. N. Mohanty, D. N. Mohanty and S. K. H. Ray. 1994. Effect of extenders on the freezability of buffalo semen. Indian Vet. J. 71:508-509. 27. Situmorang, P and P, Sitepu. 1991. Comparative performance, semen quality and draught capacity of Indonesian swamp buffalo and its crosses. ACTAR Proceeding. 34:102. 28. Snitwong, B., M. Shanitwong, A. Bonkoom, V. Chanatinart, I. Abhisingha and P. Sukhato. 1982, Effect of diluents and freezing temperatures on the post-thaw motility of swamp buffalo semen. World Review of Animal Production. 29.Suryaprakasam, T.B. and A.V.N. Rao. 1993. Studies on seminal characteristic of multiple breed A.L bulls. Indian Vet. J. 70:629-632 30. Toelihere, M.R, 1981, Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung 31. Toelihere, M. R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa. Bandung. 32. Vasanth, K. J. 1979. Note in freezing of buffalo semen and fertility. Proceedings Seminar at Indian National Dairy Research Institute. Food and Agriculture Organisation of The United Nations, Rome. 33. Yusuf, T.L., 1979. Perbandingan Daya Pengawetan Pengencer Citrat, Bikarbonat dan Glisin Kuning Telur terhadap Sperma Kerbau Lumpur. Departemen Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Is

You might also like