You are on page 1of 13

10 Trimurti adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi) (sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam

menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.


Trimurti terdiri dari 3 yaitu:
Dewa Brahma
Fungsi: Pencipta / Utpathi
Sakti: Dewi Saraswati yang merupakan dewi ilmu pengetahuan
Senjata: Busur
Simbol: A
Warna: Merah
Dewa Wisnu
Fungsi: Pemelihara / Sthiti
Sakti: Dewi Laksmi atau Sri
Senjata: Cakram
Simbol: U
Warna: Hitam
Dewa Siwa
Fungsi: Penghancur / Pralina
Sakti: Dewi Durga, Uma, dan Parwati
Senjata: Trisula
Simbol: M
Warna: Manca Warna
Apabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ) yang
merupakan simbol suci agama Hindu.

Pengertian Pribadi dalam Tri-Tunggal


Arti dari Ketritunggalan yang kudus adalah Allah yang Esa adanya, tetapi dapat kita bedakan dengan:
Allah sebagai Bapa yang memelihara, memberi kasih seorang Bapa Sejati. Bapa Sorgawi tidak pernah sama dengan
para bapa (bapak-bapak atau para ayah) dunia ini dalam hal kasih dan karakter yang tidak dapat terbandingi dengan
kasih dan karakter Bapa Sorgawi.
Kalimat Allah sebagai teladan dengan Ia merendahkan diri-Nya dalam rupa manusia Isa Al-Masih, taat pada semua
hukum yang telah Ia tetapkan sehingga mati di kayu salib, dikuburkan, lalu bangkit dari antara orang mati dan naik ke
surga
Allah Roh Kudus, sebagai Pembimbing, Pendamping, Penolong dan Penghibur yang berada dalam hati setiap manusia
yang mengaku bahwa Isa Al-Masih adalah Tuhan dan hidup didalam-Nya.
Walaupun ketiga Pribadi tersebut mempunyai peranan yang berbeda, tetapi Kepribadian Allah Bapa tidaklah lebih

tinggi daripada Kalimat Allah dan Roh Kudus.


Keselamatan dalam Tri-Tunggal
Bagaimana dengan keselamatan, apakah ketiga oknum tersebut berperan dalam keselamatan?. Injil, Rasul Yohanes 3:16
mengatakan Allah adalah yang merencanakan keselamatan manusia. Injil, Surat 2 Korintus 5:19 membuktikan bahwa
Kalimat Allah adalah yang melaksanakan penyelamatan tersebut dan Allah Roh sebagai penyempurna keselamatan
tertulis dalam Injil, Rasul Yohanes 3:6. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah sebagai Perencana
Keselamatan, Kalimat Allah sebagai PELAKSANA KESELAMATAN dan Allah Roh sebagai PENYEMPURNA
KESELAMATAN kita.

Trisarana atau Tiga perlindungan, Berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan suatu pernyataan yang
diucapkan oleh seseorang yang menyatakan diri sebagai umat Buddha. Mirip dengan kalimat Syahadat dalam Muslim
atau Kredo dalam Nasrani. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan berlindung pada Buddha? Berlindung pada
Dhamma? Berlindung pada Sangha? Apa yang ada dalam pikiran seseorang saat dia menyatakan berlindung pada
Triratna?

1.

PEMBAGIAN PANCA SRADHA

Panca Sradha terdiri dari :


1.

Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi

2.

Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman

3.

Karma, artinya percaya akan adanya hukum karma phala

4.

Samsara, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali

5.

Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan rokhani.

Untuk menciptakan kehidupan yang damai seseorang wajib memiliki sradha yang mantap. Seseorang yang sradhanya
tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak tenang.
Cobalah perhatikan kegelisahan dan ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil menjerit ketakutan ketika
disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi oleh seorang Pawang. Mengapa ketakutan itu bisa
terjadi ?

11.
1. Liturgi (Liturgia) berarti ikut serta dalam perayaan ibadat resmi yang dilakukan Yesus Kristus dalam Gereja-Nya
kepada Allah Bapa. Ini berarti mengamalkan tiga tugas pokok Kristus sebagai Imam, Guru dan Raja. Dalam kehidupan
menggereja, peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman. Melalui bidang karya ini, setiap anggota
menemukan, mengakui dan menyatakan identitas Kristiani mereka dalam Gereja Katolik. Hal ini dinyatakan dengan

doa, simbol, lambang-lambang dan dalam kebersamaan umat. Partisipasi aktif dalam bidang ini diwujudkan dalam
memimpin perayaan liturgis tertentu seperti: memimpin Ibadat Sabda/Doa Bersama; membagi komuni; menjadi: lector,
pemazmur, organis, mesdinar, paduan suara, penghias Altar dan Sakristi; dan mengambil bagian secara aktif dalam
setiap perayaan dengan berdoa bersama, menjawab aklamasi, bernyanyi dan sikap badan.
2. Pewartaan (Kerygma) berarti ikut serta membawa Kabar Gembira bahwa Allah telah menyelamatkan dan menebus
manusia dari dosa melalui Yesus Kristus, Putera-Nya. Melalui bidang karya ini, diharapkan dapat membantu Umat
Allah untuk mendalami kebenaran Firman Allah, menumbuhkan semangat untuk menghayati hidup berdasarkan
semangat Injili, dan mengusahakan pengenalan yang semakin mendalam akan pokok iman Kristiani supaya tidak
mudah goyah dan tetap setia. Beberapa karya yang termasuk dalam bidang ini, misalnya: pendalaman iman, katekese
para calon baptis dan persiapan penerimaan sakramen-sakramen lainnya. Termasuk dalam kerygma ini adalah
pendalaman iman lebih lanjut bagi orang yang sudah Katolik lewat kegiatan-kegiatan katekese.
3. Persekutuan (Koinonia) berarti ikut serta dalam persekutuan atau persaudaraan sebagai anak-anak Bapa dengan
pengantaraan Kristus dalam kuasa Roh KudusNya. Sebagai orang beriman, kita dipanggil dalam persatuan erat dengan
Allah Bapa dan sesama manusia melalui Yesus Kristus, PuteraNya, dalam kuasa Roh Kudus. Melalui bidang karya ini,
dapat menjadi sarana untuk membentuk jemaat yang berpusat dan menampakkan kehadiran Kristus. Hal ini
berhubungan dengan cura anima (pemeliharaan jiwa-jiwa) dan menyatukan jemaat sebagai Tubuh Mistik Kristus.
Oleh karena itu diharapkan dapat menciptakan kesatuan: antar umat, umat dengan paroki/keuskupan dan umat dengan
masyarakat. Paguyuban ini diwujudkan dalam menghayati hidup menggereja baik secara territorial (Keuskupan,
Paroki, Stasi / Lingkungan, keluarga) maupun dalam kelompok-kelompok kategorial yang ada dalam Gereja.
4. Pelayanan (Diakonia) berarti ikut serta dalam melaksanakan karya karitatif / cinta kasih melalui aneka kegiatan amal
kasih Kristiani, khususnya kepada mereka yang miskin, telantar dan tersingkir. Melalui bidang karya ini, umat beriman
menyadari akan tanggungjawab pribadi mereka akan kesejahteraan sesamanya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya
kerjasama dalam kasih, keterbukaan yang penuh empati, partisipasi dan keiklasan hati untuk berbagi satu sama lain
demi kepentingan seluruh jemaat (bdk. Kis 4:32-35)
5. Kesaksian (Martyria) berarti ikut serta dalam menjadi saksi Kristus bagi dunia. Hal ini dapat diwujudkan dalam
menghayati hidup sehari-hari sebagai orang beriman di tempat kerja maupun di tengah masyarakat, ketika menjalin
relasi dengan umat beriman lain, dan dalam relasi hidup bermasyarakat. Melalui bidang karya ini, umat beriman
diharapkan dapat menjadi ragi, garam dan terang di tengah masyarakat sekitarnya. Sehingga mereka disukai semua
orang dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.

13 Trilogi kerukunan umat beragama itu antara lain adalah:

1. Kerukunan intern umat beragama.

2. Kerukunan antar umat beragama.

3. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.


tiga hal yg saling bertaut dan saling bergantung

15 Moksa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Untuk kegunaan lain dari Moksa, lihat Moksa (disambiguasi).


Artikel ini adalah bagian dari seri
Agama Hindu

Topik

Sejarah Mitologi Kosmologi Dewa-Dewi

Keyakinan

Brahman Atman Karmaphala Samsara Moksa Ahimsa Purushartha Maya

Filsafat

Samkhya Yoga Mimamsa Nyaya Waisesika Wedanta(Dwaita Adwaita Wisistadwaita)

Pustaka

Weda (Samhita Brhmana


Aranyaka Upanishad) Wedangga Purana Itihasa Bhagawadgita Manusmerti Arthasastra Yogasutra
Tantra

Persembahyangan

Puja Meditasi Yoga Bhajan Upacara Mantra Murti

Hari Raya

Dipawali Nawaratri Siwaratri Holi Janmashtami Durgapuja Nyepi

Portal agama Hindu


Moksa (Sanskerta: moka) adalah sebuah konsep agama Hindudan Buddha. Artinya ialah kelepasan atau
kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawakehidupan.
Pencapaian[sunting | sunting sumber]
Dalam Hinduisme, atma-jnana (kesadaran akan "sang diri") adalah kunci untuk meraih moksa. Umat Hindu boleh
melakukan suatu bentuk (atau lebih) dari beberapa macam Yoga - Bhakti, Karma,Jnana, Raja - dengan menyadari
bahwa Tuhan bersifat tak terbatas dan mampu hadir dalam berbagai wujud, baik bersifat personal maupun
impersonal.
Diyakini bahwa ada empat Yoga (pengendalian) atau marga (jalan) untuk mencapai moksa. Hal ini meliputi:
berbakti demi Yang Mahakuasa (Karma Yoga), memahami Yang Mahakuasa (Jnana Yoga), bermeditasi kepada
Yang Mahakuasa (Raja Yoga), dan melayani Yang Mahakuasa dengan bakti yang tulus (Bhakti Yoga). Tradisi
Hinduisme yang berbeda-beda memiliki kecenderungan antara jalan yang satu dengan yang lainnya, beberapa
yang terkenal di antaranya adalah tradisi Tantra dan Yoga yang berkembang dalam Hinduisme.
Pendekatan oleh tradisi Wedanta terbagi menjadi non-dualitas (adwaita), non-dualitas dengan kualifikasi
(misalnya wisistadwaita), dan dualitas (dwaita). Cara mencapai moksa yang dianjurkan oleh tiga tradisi tersebut
bervariasi.
1.

2.

Adwaita Wedanta menekankan Jnana Yoga sebagai cara utama untuk mencapai moksa. Tradisi ini fokus
kepada pengetahuan tentang Brahman yang disediakan oleh literatur tradisional Wedanta dan ajaran
pendirinya, Adi Shankara.[1]Melalui pemilahan antara hal yang nyata dan yang tak
nyata,sadhaka (praktisi spiritual) akan mampu melepaskan diri dari jerat ilusi dan menyadari bahwa
dunia yang teramati sesungguhnya merupakan dunia ilusi, fana, dan maya, dan "kesadaran" tersebut
merupakan satu-satunya hal yang nyata. Pemahaman tersebut merupakan moksa, saat atman (percikan
Tuhan dalam diri) danBrahman (esensi alam semesta) saling memahami sebagai substansi dan
kehampaan akan dualitas eksistensial.
Tradisi non-dualis memandang Tuhan sebagai objek kasih sayang yang paling patut disembah,
misalnya personifikasi konsep monoteistik akan Siwa atau Wisnu. Tidak seperti tradisi agama
Abrahamik, Adwaita/Hinduisme tidak melarang aspek Tuhan yang berbeda-beda, seperti berbagai sinar
yang berasal dari sumber cahaya yang sama.

Seseorang harus mencapai moksa dengan bimbingan seorang guru. Seorang guru atau siddha hanya membimbing
namun tidak campur tangan.
Surga (svarga) diyakini sebagai tempat bagi karma sementara yang mesti dihindari oleh orang yang menginginkan
moksa demi bersatu dengan Tuhan melalui Yoga.
Pengertian Nibbana
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana
tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui
apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukanNibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan
berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?

Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai
menggambarkan Nibbana sebagai surga. Tujuan mereka menyetarakan Nibbanadengan alam surgawi adalah untuk
meyakinkan orang yang kurang pintar dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang
menuju Nibbana berarti jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang
bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan
diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal
dalam agama-agama awal India, tetapi itu Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara,
sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan menuju Nibbana tertuju lebih dari
surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu? Secara tegas, kita tidak dapat bertanya di
manakah Nibbana itu. Nibbana ada sama seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun
untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang
tepat bagi api untuk muncul. Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda,
maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia
hanya dapat berspekulasi seperti apa itu sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan
bahwa Nibbana adalah keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat
dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian
pula Nibbana, sebagai suatu keadaan yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya:
duka yang dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul
pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana saat duka, perubahan, dan cemaran batin tidak
ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk
luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega sementara
yang diperoleh dari garukan, pemuasan nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang
justru memperpanjang perjalanan samsara adalah Nibbana. Nibbana adalah akhir dari nafsu yang menyebabkan semua
penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan. Kegembiraan
penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan
nafsu indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk mengetahui bagaimana
menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana, bagaimana mencapai keheningan dan kebeningan pandangan
yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam
ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan sadari
tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara konstan lakukan meditasi.
Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan
dan dialami.

Nibbana dan samsara


pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara dan Nibbanaadalah satu. Penafsiran ini
bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lai. Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama
saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal terkondisi dan keadaan tak terkondisi
dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima gugus,

empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin; sedangkanNibbana digambarkan sebagai pemadaman
sumber relatif fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia.
Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana
bahwa Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah
Kebenaran Mutlak.
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan akhir itu hanya
dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbanadirelisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal
ini disebut Saupadisesa Nibbana. Saat seorang Araha merealisai Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa
keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan terhadap seorang atau sesuatu,
atau
jika
ada
keengganan
terhadap
seseorang
atau
sesuatu,
kita
tidak
akan
pernah
merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini
akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang
hidup dan yang tak hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri dengan cara yang
benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak ada istana yang akan dibangun di udara.
Badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan,
gangguan, beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah merealisasikan keadaan
kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah ketidaan, semata-mata karena orang tidak mampu merasakannya dengan panca
indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa cahaya itu tidak ada hanya karena orang buta tidak melihatnya. [1]
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang
berbeda dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen,
maupun Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya
rantai kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
Nibbana mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non-being. Di dalam Sutta-sutta
seperti Angutaranikaya I:152, Samyut-tanikaya IV: 359 dan lain-lain, nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Di dalam
agama Buddha Mahayana, yang mutlak adalah sunyata, terutama seperti yang digambarkan dalam ajaran Nagaryuna.
Namun demikian, semua aliran agama Buddha memandang yang mutlak sebagai tujuan yang terakhir, yaitu nibbana.
Dari paparan di atas tampak bahwa kosepsi ketuhanan dalam aliran Theravada tidak dapat digolongkan ke
dalam konsep teisme yang memahami Tuhan sebagai pribadi, melainkan termasuk konsep yang non teis dan sangat
berbeda dengan konsep agama lain. Aliran tersebut mengakui adanya Tuhan, namun, seperti ajaran asli Buddha, Tuhan
tidak harus dipandang sebagai suatu pribadi yang selalu berhubungan dengan alam semesta dan lainnya beserta isinya.
[2]
Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbana. Banyak buku yang mengujikan uraian tentang Nibbana telah dituliskan
sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbana bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami.
Penjelasan tentang rasa gula terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka
orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri. Nibbana adalah suatu keadaan, seperti diajarkan oleh Sang Buddha,
Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar.
Nibbana adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran bathin. Dengan demikian,
Nibbana adalah Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan (na-uppado-pannayati), tidak termusnah (na vayo-pannayati), ada
dan tidak berubah (nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut Asankhata-Dhamma (keadaan tanpa syarat, tidak
berkondisi, yaitu Nibbana). Keadaan ini sulit untuk dipaparkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenal
jika keadaan terang diketahui. Nibbana dapat dialami jika dukkha telah disadari. Menyadari dukkha berarti menyadari
asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya
sedih dan gembira.

a)

b)

c)

Sedih dan gembira adalah nilai subyektif yang timbul dari pikiran orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi,
karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nialai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi aku yang
khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbana. Jika khayalan aku telah terbasmi, maka tiada lagi perubahanperubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan Nibbana peranan sukkham (Nibbana Kebahagiaan
Tertinggi), bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosional, melainkan pembebasan mutlak dari segala bentuk
ikatan indera dan keiginan rendah (tanha).
Pengertian Nibbana yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses menjadi (dumadi) Dalam
Milinda Panha (kitab yang berisi percakapan antara Bhikku Nagasena dan Raja Yunani) dikatakan:
Nibbana penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barang siapa yang mengatur kehidupannya secara
sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui
kebijaksanaan (panna), sebagaimana seorang siswa, yang mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya
seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri.
Jika Anda bertanya, bagaimana Nibbana dapat diketahui, hal itu dapat diketahui melalui pembebasan dari ketenangan
dan bahaya, melalui kedamaian, ketengan, kebahagiaan dan kesucian.
sebagaimana seorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui
ushanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dari mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan
kebahagiaan yang luhur, begitupula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi
sungguh-sungguh menyelami kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana setelah panas yang membakar dari tiga api (api
keserakahan, api kebencian, api kebodohan bathin) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api
di atas, orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri menggambarkan dirinya yang menempuh
kehidupan dengan benar, sedangkan tempat yang sejuk menggambarkan arti Nibbana.
Apakah Nibbana itu suatu tempat? tanya Raja Milinda. Nibbana bukanlah suatu tempat, O Raja, tapi nibana itu ada,
sebagi mana nyala api, itu ada meskipun api itu tidak disimpan di suatu tempat tertentu
Apakah tiadak tempat berpijak lagi seseorang untuk mencapai Nibbana ?
Ya, O Raja, ada tempat seperti itu, tempat itu adalah kebajikan.
Mereka yang mencapai Nibbana tidak lagi menaruh perhatian terhadap kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba
menurut kehendaknya atau setelah umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun Kamma baru, melainkan sekedar
menghabiskan Kamma lampaunya.
Sang Buddha pernah ditanya apakah seorang Buddha, seseudah mencapai Parinibbana, ada atau tidak ada. Sang
Buddah diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermamfaat bagi pembebasan manusia dari
dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai kesalah pahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada.
Selama paham aku masih melekat, mustahil Nibbana dapat tercapai
Dalam Abhidhammatthasangaha, berbunyi sebagai berikut :
VANA SANKHATAYA TANHAYA NIKKHANTATTA NIBBANAM
Artinya :
Keadaan yang terbebas dari tanha(keinginan rendah), disebut Nibbana.
Dalam Paramatthadipanitika, berbunyi sebagai berikut :
NATTHI VANAM ETTHANI NIBBANAM
Artinya:
Keadaan ketenangan yang timbul dengan terbelahnya dari Tanha ( keinginan rendah), disebut Nibbana.
TAYIDAM SANTI LAKKHANAM
Artinya :
Nibbana adalah kebahgiaan yang terbebas dari kilesa (kekotoran bathin)
NIBBANAM PARAMAM SUKHAM
Artinya:
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.[3]
Anda seharusnya dapat menjawab dengan benar pertanyaan Apakah kedamaian itu?

Jika Anda bertanya pada anak kecil dan orang dewasa apakah kedamaian itu, jawaban mereka akan sangat berbeda. Jika
Anda bertanya pada majikan dan pegawai, apakah kedamaian itu, Anda akan mendapatkan jawaban yang tidak akan
pernah cocok. Kedamaian sulit dipahami. Kedamaian tubuh adalah kedamaian materi saja; kedamaian batin adalah
kedamaian mental saja. Yang benar, seharusnya kebenaran keduanya
(Buddhisme on Economics p.16)
Nibbana seharusnya direnungkan sebagai sesuatu yang telah disediakan oleh Alam untuk manusia pada tingkat
tertinggi. Kita seharusnya memahami ini sehingga nibbana dan hidup kita tidak berlawanan. (Nibbana for Everyone >
Evolution/Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 12)
Kata nibbana berarti membuat menjadi tenang
Ketenangan hati dan kedamaian batin yang diharapkan setiap orang adalah arti dari nibbana.
Menurut Buddha, nibbana adalah akhir dari nafsu, akhir dari kebencian, dan akhir dari khayalan, yang merupakan
pemadaman akhir semua api dan ketenangan paling tenang yang ada dalam hidup. (No Religion p. 33/ Nibbana for
Everyone > Evolution/ Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 11, 12)
Kapan saja Anda mengalami ketenangan, catat ketenangan itu dengan sungguh-sungguh di dalam hati Anda, serta tarik
nafas dan keluar nafas. Menarik nafas adalah ketenangan, mengeluarkan nafas adalah ketenangan, di dalam tenang,
diluar tenang. Lakukan ini sejenak Inilah jalan terbaik untuk membantu batin kembali pada Sifat Dasar.
Marilah kita hidup dalam kehidupan pemadaman total, sebuah kehidupan yang menyiram api nafsu keinginan,
sebuah kehidupan yang tenang. Saat kita terbakar nafsu, kita mati. Seseorang yang panas di dalam batin seperti iblis di
neraka (Nibbana for Everyone p. 10, 14/ No Religion p.33)
Nibbana adalah kematian Ego sebelum tubuh mati.
Kapan saja kita bertikai karen pendapat, penghargaan, kesombongan, atau sikap keras kepala, hal ini menunjukkan
bahwa kita telah kehilangan hubungan dengan nibbana. (The Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 8/
No Religion p. 35)
Sifat tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiran, akan ada kebahagiaan sejati.
Hal ini mungkin terdengar menggelikan bagi Anda, tetapi lenyapnya gangguan adalah kebahagiaan sesungguhnya.
(Happiness and Hunger p. 15)
Kehidupan bertahan oleh munculnya secara alami nibbana-nibbana sementara; jika tidak, kita semua menjadi
penderita gangguan jiwa atau mati dengan segera.
Kita memiliki nibbana sebagai sebuah kebutuhan untuk menopang kehidupan pada semua tingkatan tetapi kita tidak
melihatnya. Jika kita tidak memiliki satu periode di mana pikiran terbebas dari kotoran batin untuk sementara
(nibbana sementara), kita akan menjadi penderita gangguan jiwa atau gila dan telah mati sejak lama dahulu.
jadi kita hendaknya tidak berpikir bahwa kita hrus mengganggu selama puluhan atau ratusan ribu tahun sebelum kita
dapat mencapai nibbana, yang sebenarnya telah menopang kehidupan kita setiap saat.
Seseorang hendaknya mengatur kehidupan sehari-hari sehingga hidupnya terisi oleh nibbana-ketenangan yang damai.
(The Dawing of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 43/ A Buddhis Charter p.35/ The Dawning of Truth: Difficult
for Anyone to Believe no. 62)
Nibbana tidak memiliki hubungan apa pun dengan kematian
Kebanyakan orang menunggu untuk mendapat kenikmatan nibbana setelah mati, meskipun mereka semstinya
mendapatkannya di sini dan di saat ini.
Nibbana dapat ditemukan pada lingkaran kehidupan bukan sebagai tujuan luar seperti yang sering dipikirkan.
Pemadaman api ada di dalam api, demikian juga pemadaman dukkha ada pada dukkhasendiri (the Dawning of
Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 3, 63/ A Buddhist Charter p. 35)
Kecantikan terdapat di jasad tubuh, ketenangan terdapat di dalam pelepasan, bhikkhuterdapat di dalam
kebenaran, nibbana terdapat pada keadaan hampir mati sebelum kematian. (Legacy We Would Leave with You no. 39)
Nibbana- ketenangan dan kedamaian yang dialami saat tidak ada kemelakatan-tidak membutuhkan biaya sepeser pun.
Yesus mengatakan jumlah biaya yang sama pada hal yang sama. Beliau mengundang kita untuk meminum air
kehidupan tanpa biaya. Lebih lanjut, beliau memanggil kita untuk memasuk kedalam kehidupan abadi yang berarti
mencapai keadaan dimana kita menjadi satu dengan Tuhan, dan oleh karenanya kita tidak mengalami kematian lagi. (no
Religion p. 29)

Nibbana adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan cara apapun. Nibbana tidak
seperti kondisi keduniawian maupun manapun. Sebenarnya, nibbanaadalah negasi dari kondisi duniawi. Kita tidak
dapat menciptakan nibbana karena nibbanamelampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat menciptakan kondisi
untuk merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang menuntun kebebasan dari kotoran batin.
(Handbook for Mankind p. 151/ Nibbana for Everyone p. 8)
Hukum Alam, kekososngan, dan nibbana. Ketiganya tidak memiliki pencipta. Bahkan Tuhan tidak dapat
menciptakannya karena ketiganya memiliki setatus yang sama sebagai Tuhan. (Legacy we Would Leave with You no.
59).[4]
Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokan ke Nibbanadhatu, tujuan
akhir umat Budha, istilah Pali Nibbana berasal dari kata ini dan vana. Ni merupakan partikel negative, sedang vana
berarti nafsu atau keinginan. Disebut Nibbana, karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan. Secara
harfiah, Nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserekahan, kebencian dan kebodohan. Sang Buddha bersabda:
seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian, dan kebodohan, oleh api
kelahiran, usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah.
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan
pengertian duniawi kita. Misalanya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak
dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya
seekor penyu, yang dengan bangga mengatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalan agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa melainkan suatu keadaan yang tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma,
tidak tercipta. Karenanya, Nibbana bersifat kekal. (dhuva), damai (santi), dan bahagia (sukha).
Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang diabadikan atau dimusnahkan.
Menurut kitab-kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa-upadisesa-Nibbana dan Anupadisesa- Nibbana.
Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara
dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang
bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana merupakan suatu percapaian (Dhamma) yang berada dalam jangkauan
semua orang. Nibbana merupakan sauatu keadaan di atas keduniawian (lokuttara) yang dapat dicapai dalam kehidupan
sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir ini hanya dapat dicapai dalm kehidupan ala
mini. Di sinilah terdapat letak perbedaan pokok antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep Non- Buddhis
tentang surga kekal yang hanya dapat dicapai kematian atau bersatu dengan zat agung pada kehidupan setelah mati.
Apabila Nibbana dicapai dalam kehidupan sekarang ini, sewaktu hidup, itu disebut sisa kehidupan fisik, itu disebut
Anupadisesa Nibbanadhatu. Dari sudut pandangan metafisik, Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari
sudut pandangan psikologis, Nibbana adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah
penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak? Sang Budha menjawab Arahat yang telah bebas dari lima
kelompok kehidupan ( Khanda) itu sungguh dalam, tak dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatkan bahwa ia akan
dilahirkan kembali adalah tidak sesuai. Menyatkan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan
kembali juga tidak benar.
Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati
tumimbal telah dihancurkan; jika orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tidak ada sesutu yang
dimusnahkan.
Misalnya apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus menjawab tidak . apabila kita
bertanya apakah elektron berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab, Tidak. Bila kita bertanya apakah
elektron bergerak, kita juga harus menjawab Tidak.
Sang Budha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya mengenai kondisi-kondisi seorang Arahat setelah
wafatnya.

JALAN KE NIBBANA
Bagaiamana caranya untuk mencapai Nibbana? Dengan melakasanakan delapan faktor jalan utama, yaitu Pengertian
benar ( samma-ditthi), pikiran benar (samma-sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar (sammakammanta), penghidupan benar ( samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agma budha, mencakup pengetahuan tentang empat kebenaran mulia.
Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya. Pada
pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta:
empat kebenaran mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depan beserta kesadaranya. Dalam
melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian benar berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta
arah yang benar kepada tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian benar masak
menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna), yang langsung membawa kepada tingkat-tingkat
kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar. Karena itu, faktor kedua dari jalna utama ini (samma-sankkappa),
mempunyai dua tujuan: melenyapkan pikiran-pikiran jahat dan mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini,
pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Nekkhamma: melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan
dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.

Abyapada: cinta kasih, itikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat,
atau kemarahan.

Avihmsa: tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar, faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari
berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar, yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhlukmakhluk hidup, pencurian dan perbuatan-perbuatan kelamin yang salah.
Dalam membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal. Musafir spiritual berusaha memperbaiki
penghidupanya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Budha,
yaitu: Memperdagangkan senjata, manusia, binatang-binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah meliputi perbuatan-perbuatan munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk
memeperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat macam kegiatan yaitu: usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha
mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha
mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar, adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaaan-perasaan, pikiran-pikiran, serta
obyek-obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar, yaitu menunggalnya pikiran pada
satu obyek yang luhur, yang memundak dalam Jhana.
Dari kehidupan faktor jalan utama ini, dau yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga
yang selanjutnya ke dalam bagian moral (sila). Dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi (sammadhi). Tetapi
menurut urutan pengembangannya, rangkaian itu adalah sebagai berikut Sila, Samadhi, Panna.
Moral (Sila) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh ata
melukai makhluk-makhluk apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk,
kepada makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia
akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan
merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar.
Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.
Azas-azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seorang yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana.
Melanggar hal-hal tersebut berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinya sendiri. Pelaksanaan hal-hal tersebut
berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.

Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap denagn mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta
mengendalikan indra-indranya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya
untuk melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu, kemudian dalam
dirinya muncul pengertian bahwa: Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras
dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah seperti udara terbuka.
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa seiap orang harus menjadi Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai
tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat
juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu, Anagami, seseorang menempuh hidup
membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah
memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin
(samadhi), tingkat kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam objek meditasi sesuai dengan watak masing-masing individu. Pemusatan pikiran pada
pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Sammadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal
itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagian batin.
Pengembangan empat keadaan batin luhur: cinta kasih (Metta), belas kasihan (karuna), kegembiraan bersimpati
(Mudita) dan keseimbangan batin (Upekkha) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati obyek-obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling
cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk
memusatkan pikirannya sampai ia benar-benar tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran
lainnya tida dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah: keinginan indara,
kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelishan, kekhawatiran dan keragu-raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana,
menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan
lima kemampuan batin luar biasa (abhinna), yaitu: mata-dewa (Dibbacakkhu), telinga-dewa (Dibbasota), ingatan akan
kelahiran-kelahiran lampau (Pubbenivasanussati-nana), membaca-pikiran (paracitta vijanna), dan berbagai
kemampuan-kemampuan batin lainnya (iddhividha). Namun harus diingat bahwa kekuatan-kekuatan batin luar biasa ini
tidak mutlak bagi pencapaian tingkat kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecendrungan-kecendrungan yang terpendam dalam batin.
Karena dengan samadhi nafsu-nafsu hanya tertidur untuk sementara. Kotoran-kotoran batin itu dapat muncul pada saatsaat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Sammadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangn-rintangan, tetapi hanya pandangan
terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai
tujuan akhir dengan penghancuran nafsu-nafsu oleh Sammadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari jalan yang
menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia meliahat ke dunia
untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemampuan ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat
apapun selain tiga corak umum kehidupan, yaitu: Annica ( ketidak-kekalan), Dukkha (penderitaan), dan Anatta (tanpa
pribadi kekal), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua
yang bersayarat itu tidak kekal adanya. Baik disurga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati,
karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu, apa yang tidak kekal
adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu
yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus
mengembangkan pandangan terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat-saat yang membahagiakan tiba
kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancrkan tiga

belenggu: pandangan salah tentang aku (sakkaya ditthi), keragu-raguan (vicikiccha), serta kepercayaan bahwa upacara
dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Silabbata-paramasa).
Pada tingkat kesucian ini ia disecut seorang Sotapanna (pemenang arus), seorang yang telah memasuki arus yang akan
membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan
dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan terang yang lebih
dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami (hanya kembali sekali) dengan melemahkan dua
belenggu kali, yaitu: keinginan indra (Kamaraga) dan itikad jahat (patigha). Ia disebut sakadagami karena ia hanya
akan dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.
Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, anagami (tak pernah kembali), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang
disebutkan di atas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke alam dewa. Karena ia tidak memiliki
kesenangan-kesenagan indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam Alam Murni (Suddavasa),
suatu alam brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengushakan kemajuannya
yang paling akhir dan menghancurkan sisa belenggu batin seperti, keinginan akan kelahiran kembali dalam alam-alam
bentuk (rupa raga) dan alam-alam tak berbentuk (arupa-raga), kesombongan (mana), kegelisahan (unddhacca),
kebodohan (avijja), dan menjadi seorang suci yang sempurna (Arahat).
Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, bahkan berat penderitaan telah
diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia
sekarang berdiri di atas ketinggian yang melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak-gejolak nafsu dan
kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.[5]

You might also like