You are on page 1of 21

12

BAB III
DASAR TEORI

Kegiatan pembongkaran batugamping di PT. United Tractor Semen Gresik


dilakukan dalam dua tahap, yaitu pemboran dan peledakan. Adapun tujuan dari pada
kegiatan pembongkaran yaitu untuk membebaskan batuan dari batuan induknya dengan
ukuran fragmentasi tertentu sehingga sesuai untuk proses selanjutnya.
Dalam kegiatan pembongkaran batugamping di PT. United Tractor Semen
Gresik, ternyata masih banyak dijumpai permasalahan-permasalahan yang berhubungan
dengan kegiatan pembongkaran batugamping, yang diantaranya belum didapatkannya
ukuran fragmentasi batuan yang seragam sesuai dengan yang diharapkan dan masih
dijumpai adanya boulder. Sehingga dengan adanya hal tersebut akan berpengaruh pada
kegiatan pemuatan, pengangkutan, produksi dari peremuk batuan, serta biaya peledakan.
Untuk mengetahui penyebab dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka
perlu diadakan kajian pada variabel-variabel yang dapat dikendalikan oleh manusia,
yang antara lain adalah :
3.1.

GEOMETRI PEMBORAN 5)
Geometri pemboran meliputi diameter lubang bor, kedalaman lubang tembak,

kemiringan lubang tembak, tinggi jenjang, dan juga pola pemboran.


3.1.1. Diameter lubang tembak.
Di dalam menentukan diameter lubang tembak tergantung dari volume massa
batuan yang akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi yang diinginkan, mesin
bor yang dipergunakan, dan kapasitas alat muat yang akan dipergunakan untuk kegiatan
pemuatan material hasil pembongkaran..
Untuk diameter lubang tembak yang terlalu kecil, maka faktor energi yang
dihasilkan akan berkurang sehingga tidak cukup besar untuk membongkar batuan yang
akan diledakkan, sedang jika lubang tembak terlalu besar maka lubang tembak tidak
cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik, terutama pada batuan yang banyak
terdapat kekar dengan jarak kerapatan yang tinggi. Ketika kekar membagi burden dalam
blok-blok yang besar, maka fragmentasi yang akan terjadi bila masing-masing

13

terjangkau oleh suatu lubang tembak. Hal seperti ini menghendaki diameter lubang
tembak yang kecil.
Diameter lubang tembak yang kecil juga memberikan patahan atau hancuran
yang lebih baik pada bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan dengan stemming, di
mana lubang tembak yang besar maka panjang stemming juga akan semakin besar
dikarenakan untuk menghindari getaran dan batuan terbang, sedangkan jika
menggunakan lubang tembak yang kecil maka panjang stemming dapat dikurangi.
3.1.2. Kedalaman lubang tembak
Kedalaman lubang tembak biasanya disesuaikan dengan tinggi jenjang yang
diterapkan. Dan untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata maka hendaknya
kedalaman lubang tembak harus lebih besar dari tinggi jenjang, yang mana kelebihan
daripada kedalaman ini disebut dengan sub drilling.
3.1.3. Kemiringan lubang tembak (Arah pemboran)
Arah pemboran yang kita pelajari ada dua, yaitu arah pemboran tegak dan arah
pemboran miring. Arah penjajaran lubang bor pada jenjang harus sejajar untuk
menjamin keseragaman burden yang ingin didapatkan dan spasi dalam geometri
peledakan. Lubang tembak yang dibuat tegak, maka pada bagian lantai jenjang akan
menerima gelombang tekan yang besar, sehingga menimbulkan tonjolan pada lantai
jenjang, hal ini dikarenakan gelombang tekan sebagian akan dipantulkan pada bidang
bebas dan sebagian lagi akan diteruskan pada bagian bawah lantai jenjang.
Sedangkan dalam pemakaian lubang tembak miring akan membentuk bidang
bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya batuan karena
gelombang tekan yang dipantulkan lebih besar dan gelombang tekan yang diteruskan
pada lantai jenjang lebih kecil (Gambar 3.1)
Adapun keuntungan dan kerugian dari masing-masing lubang adalah :
Untuk lubang tembak tegak (vertikal) adalah :
Keuntungannya :

Untuk tinggi jenjang yang sama panjang lubang ledak lebih pendek jika
dibandingkan dengan lubang ledak miring.

Kemungkinan terjadinya lontaran batuan lebih sedikit.

Lebih mudah dalam pengerjaannya.

14

Kerugiannya :

Penghancuran sepanjang lubang tidak merata

Fragmentasi yang dihasilkan kurang bagus terutama di daerah stemming.

Menimbulkan tonjolan-tonjolan pada lantai jenjang ( toe ).

Dapat menyebabkan retakan ke belakang jenjang ( backbreak ) dan getaran tanah.

Untuk lubang tembak miring adalah :


Keuntungannya :

Bidang bebas yang terbentuk semakin besar

Fragmentasi yang dihasilkan lebih bagus

Dapat mengurangi terjadinya backbreak dan permukaan jenjang yang dihasilkan


lebih rata.

Dapat mengurangi bahaya kelongsoran pada jenjang.

Kerugiannya :

Kesulitan untuk menempatkan sudut kemiringan yang sama antar lubang.

Biaya operasi semakin meningkat.

Gambar 3.1.
Pengaruh Arah Lubang Tembak 10)

15

3.1.4. Pola pemboran


Pola pemboran yang biasa diterapkan pada tambang terbuka biasanya
menggunakan dua macam pola pemboran yaitu :

Pola pemboran segi empat (square pattern)

Pola pemboran selang-seling (staggered)

Pola pemboran segi empat adalah pola pemboran dengan penempatan lubang-lubang
tembak antara baris satu dengan baris berikutnya sejajar dan membentuk segi empat

Gambar 3.2). Pola pemboran segi empat yang mana panjang burden dengan panjang
spasi tidak sama besar disebut square rectangular pattern (Gambar3.3). Sedangkan
pola pemboran selang-seling adalah pola pemboran yang penempatan lubang ledak pada
baris yang berurutan tidak saling sejajar (Gambar 3.4), dan untuk pola pemboran selangseling yang mana panjang burden tidak sama dengan panjang spasi disebut staggered
rectangular pattern (Gambar 3.5).
Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar adalah pola yang umum, karena
lebih mudah dalam pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan mutu
fragmentasi yang diinginkan, maka penggunaan pola pemboran selang-seling lebih
efektif.

Bidang Bebas

Baris 1

Baris 2

Baris 3

Baris 4

S=B
Gambar 3.2.

16

Pola Pemboran Segiempat (Square Pattern)

Bidang Bebas

Baris 1
Baris 2
Baris 3
Baris 4

SB

Gambar 3.3.
Pola Pemboran Segi Empat (Square Rectanguler Pattern)

Bidang Bebas

Baris 1

S=B

Gambar 3.4.

Baris 2

Baris 3
Baris 4

17

Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Square Pattern)

Bidang Bebas

Baris 1
Baris 2

Baris 3
Baris 4

SB

Gambar 3.5.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Rectanguler Pattern)
3.2.

GEOMETRI PELEDAKAN 3)
Geometri peledakan yang akan mempengaruhi tingkat fragmentasi batuan dapat

dinyatakan seperti pada (gambar 3.6). Sedangkan geometri peledakan terdiri dari :
3.2.1. Burden (B)
Burden adalah jarak dari lubang tembak dengan bidang bebas yang terdekat, dan
arah di mana perpindahan akan terjadi. Pada daerah ini energi ledakan adalah yang
terkuat dan yang pertama kali bereaksi pada bidang bebas. Jarak burden yang baik
adalah jarak yang memungkinkan energi secara maksimal dapat bergerak keluar dari
kolom isian menuju bidang bebas dan dipantulkan kembali dengan kekuatan yang cukup
untuk melampaui kuat tarik batuan sehingga akan terjadi penghancuran.
Nilai burden yang optimum akan menghasilkan fragmentasi yang sesuai dan
perpindahan dari pecahan batuan sesuai dengan yang diinginkan. Jarak burden yang
terlalu kecil dapat menyebabkan terjadinya batuan terbang

dan suara yang keras.

Sedangkan jarak burden yang terlalu besar akan menghasilkan fragmentasi yang kurang
baik, dan akan menyebabkan batuan di sekitar burden tidak akan hancur . Menurut R.L.
Ash, harga burden tergantung pada harga burden ratio dan diameter lubang bor.

18

Besarnya burden ratio antara 20 40 dengan harga Ks standard adalah 30. Sedangkan
harga Ks standard sebesar 30 terjadi pada kondisi sebagai berikut :

Densitas batuan

160 lb/cuft

Specific gravity bahan peledak

1,20

Kecepatan detonasi bahan peledak

12.000 fps

Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang berbeda, maka
harga Ks turut berubah. Untuk mengatasi perubahan angka Ks perlu dihitung terlebih
dahulu harga faktor penyesuaian pada kondisi batuan dan bahan peledak yang berbeda
a.

Faktor penyesuaian terhadap bahan peledak (AF1) adalah :


Af1

SG.Ve 2

2
SGstd .Vestd

1/ 3

Di mana :

b.

SG

= berat jenis bahan peledak yang digunakan

Ve

= kecepatan detonasi bahan peledak yang digunakan

SGstd

= berat jenis bahan peledak standard, 1,20.

Vestd

= kecepatan detonasi bahan peledak standard, 12.000 fps.

Faktor penyesuaian terhadap batuan (AF2) adalah :


Af2

Dstd
D

1/ 3

Di mana
Dstd

= kerapatan batuan standard, 160 lb/cuft

= kerapatan batuan yang diledakkan

Sehingga harga Kb yang terkoreksi adalah :


Kb

Kbstandard x Af1 x Af2

Di mana :
Kb

= burden ratio yang telah dikoreksi

Kbstd

= burden ratio standard

Untuk menentukan burden, maka menggunakan rumus :


Kb x De
B

meter
39,3

Di mana :

19

= burden

Kb

= burden ratio

De

= diameter lubang tembak, inchi

39,3

= faktor perubah kedalam satuan meter

3.2.2. Spasi (S)


Spasi dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara antara dua lubang tembak
yang berdekatan dalam satu baris. Yang perlu diperhatikan dalam memperkirakan spasi
adalah apakah ada interaksi di antara isian yang saling berdekatan. Besar spasi dapat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
S

B x Ks

Di mana :
S

= spasi, meter.

= burden, meter.

Ks

= spacing ratio

Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan spasi yaitu apakah ada interaksi antar
muatan yang berdekatan. Bila masing-masing lubang tembak diledakkan sendiri-sendiri,
dengan interval waktu yang panjang, maka tidak akan terjadi interaksi gelombang energi
antar muatan yang berdekatan sehingga memungkinkan setiap lubang tembak akan
meledak dengan sempurna. Jika interval waktu diperpendek atau lubang tembak
diledakkan secara serentak akan terjadi efek ledakan yang kompleks.
Besar Ks menurut interval waktu yang dipergunakan adalah :
long interval delay

Ks = 1

short interval delay

Ks = 1 2

normal

Ks = 1,2 1,8

Berdasarkan cara urutan peledakannya penentuan spasi adalah sebagai berikut 6) :

Untuk pola peledakan serentak maka S = 2B

Untuk pola peledakan beruntun dengan delay interval lama maka S = B

Untuk pola peledakan dengan ms delay, maka S antara 1B sampai 2B

Jika terdapat kekar yang tidak saling tegak lurus, maka S antara 1,2B sampai
1,8B

20

3.2.3. Stemming (T)


Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor di atas kolom
isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah agar terjadi stress balance dan untuk
mengurung gas-gas hasil ledakan agar dapat menekan batuan dengan kekuatan yang
besar. Sedangkan di dalam penggunaan stemming yang perlu diperhatikan adalah
panjang stemming dan ukuran material stemming.

Panjang stemming
Stemming yang pendek dapat menyebabkan pecahnya batuan pada bagian atas, tapi
mengurangi fragmentasi keseluruhan karena gas hasil ledakan menuju atmosfir
dengan mudah dan cepat, juga akan menyebabkan terjadinya flyrock, overbreak pada
bagian permukaan dan juga akan menimbulkan airblast. Panjang stemming dapat
ditentukan dengan menggunakan rumus :
T = B x Kt
dimana :
T = stemming, meter
Kt = stemming ratio (0,75 1,00)

Ukuran material stemming


Ukuran material stemming sangat berpengaruh terhadap hasil peledakan, apabila
bahan stemming terdiri dari butiran-butiran halus hasil pemboran, kurang memiliki
gaya gesek terhadap lubang tembak sehingga udara yang bertekanan tinggi akan
dengan mudah mendorong material stemming tersebut, sehingga energi yang
seharusnya untuk menghancurkan batuan, banyak yang hilang keluar melalui lubang
stemming.
Untuk mencegahnya maka digunakan bahan yang berbutir kasar dan keras. Bahan
ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
o Mempunyai bentuk susunan butir yang saling berkait dengan kuat.
o Membentuk sambungan pasak dengan dinding lubang tembak, sehingga
mencegah keluarnya gas secara prematur.

21

Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan ukuran material stemming


optimum7) adalah sebagai berikut :
Sz

0,05 Dh

dimana :
Sz

ukuran material stemming optimum

Dh

diameter lubang tembak

3.2.4. Sub drilling (J)


Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah lantai jenjang
yang dibuat agar jenjang yang dihasilkan sebatas dengan lantainya dan lantai yang
dihasilkan rata. Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan menghasilkan efek
getaran tanah, sebaliknya bila subdrilling terlalu kecil maka akan mengakibatkan
problem tonjolan pada lantai jenjang (toe) karena batuan tidak akan terpotong sebatas
lantai jenjangnya. Panjang subdrilling dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
J

= B x Kj

di mana :
J

= subdrilling, meter

Kj

= subdrilling ratio (0,2 0,3)

3.2.5. Tinggi jenjang (L)


Tinggi jenjang sudah direncanakan oleh perusahaan yaitu 6 meter.
3.2.6. Kedalaman lubang tembak (H)
Kedalaman lubang tembak biasanya ditentukan berdasarkan kapasitas produksi
yang diinginkan dan kapasitas dari alat muat. Sedangkan untuk menentukan kedalaman
lubang tembak dapat digunakan rumus sebagai berikut :
H

= Kh x B

dimana :
H

= kedalaman lubang tembak, meter

Kh

= Hole depth ratio (1,5 4,0)

3.2.7. Kolom isian (PC)


Panjang kolom isian dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
PC

=HT

dimana :

22

PC

= panjang kolom isian, meter

= kedalaman lubang tembak, meter

= stemming, meter
Keterangan :
B = Burden
S

= Spasi

T = Stemming
B

PC = Kolom isian
J

PC

= Sub Drilling

H = Kedalaman
H

lubang tembak
L = Tinggi jenjang

P = Primer
P
Gambar 3.6.

Geometri Peledakan Menurut R.L.Ash 3)


3.2.8. Pola peledakan
Pola peledakan merupakan urut-urutan waktu peledakan antara lubang tembak
dalam satu baris dan antara satu dengan yang lainnya. Pola peledakan ditentukan
tergantung arah mana pergerakan material yang diharapkan. (Gambar 3.7)
Setiap baris lubang tembak yang akan diledakkan harus memiliki ruang yang
cukup di muka bidang bebas yang sejajar dengan lubang tembak untuk terdesak, pecah,
mengembang dan tidak terlontar keatas. Adapun macam-macam pola peledakan adalah
sebagai berikut :
a. Pola peledakan di mana lubang-lubang tembak diledakkan dengan waktu
penundaan atau beruntun dalam satu baris.
b. Pola peledakan serentak dalam satu baris dan beruntun antara baris satu
dengan baris yang lain.

23

Menurut R.L. Ash dengan adanya tiga bidang bebas, kuat tarik batuan dapat dikurangi
sehingga akan dapat meningkatkan jumlah retakan dengan syarat lokasi dua bidang
bebasnya mempunyai jarak yang sama terhadap lubang tembak.

Bidang bebas

Pola peledakan tunda antar baris dan serentak dalam satu baris

Bidang bebas

Pola peledakan tunda dalam satu baris

Gambar 3.7.
Pola Peledakan
3.2.9. Waktu tunda
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :
- Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
- Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah
- Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya.

24

Bila waktu tunda antar baris terlalu pendek maka beban muatan pada baris depan
menghalangi pergeseran baris berikutnya, material pada baris kedua akan tersembur
kearah vertikal dan membentuk tumpukan. Tetapi bila waktu tundanya terlalu lama,
maka produk hasil bongkaran akan terlempar jauh kedepan serta kemungkinan besar
akan mengakibatkan flyrock. Hal ini disebabkan karena tidak ada dinding batuan yang
berfungsi sebagai penahan lemparan batuan di belakangnya.
Untuk menentukan interval tunda antar baris tidak kurang dari 2 ms/ft dan tidak
lebih dari 6 ms/ft dari ukuran burden. Persamaan di bawah ini dapat digunakan untuk
menentukan besarnya interval waktu antar baris.
tr = Tr x B
Di mana :
tr

= interval waktu antar baris, ms

Tr

= konstanta waktu antar baris (Tabel 3.1)

= burden, m
Tabel 3.1.
Interval Waktu Antar Baris 7)
Tr Constant (ms / m )
7
7 10
10 20
20 23
23 42

Result
Violent excessive airblast, backbreak, etc.
High pile close to face, moderate airblast, backbreak
Average pile height, average airblast and backbreak.
Scattered pile with minimum backbreak.
Blast casting

3.2.10. Pengisian bahan peledak


Fragmentasi batuan sangat tergantung pada jumlah bahan peledak yang
digunakan. Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan berat bahan peledak
yang digunakan untuk menghancurkan batuan (kg/m 3). Nilai powder factor sangat
dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan, pola peledakan, dan struktur
geologi.
Bila pengisian ANFO terlalu banyak maka jarak stemming semakin kecil
sehingga akan mengakibatkan terjadinya flyrock dan airblast, sedang bila pengisian
ANFO kurang maka jarak stemming semakin besar sehingga akan menyebabkan
boulder dan backbreak di sekitar dinding jenjang.

25

Untuk mendapatkan powder factor, lebih dulu mengetahui jumlah bahan peledak
yang akan digunakan untuk setiap lubang tembak.
a. Loading density dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
de = 0,508 De2 (SG)
dimana :
de = loading density, kg/m
De = diameter lubang tembak, inchi.
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan.
b.

Jumlah bahan peledak yang digunakan dihitung menggunakan rumus :


E = de Pc N
Di mana :
de = loading density, kg / m.
Pc = panjang muatan/ panjang kolom isian lubang tembak, m.
N = jumlah lubang tembak.
E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.

3.2.11. Powder Factor dan Volume Setara


Powder factor (Pf) adalah suatu bilangan untuk menyatakan jumlah material
yang diledakkan atau dibongkar oleh bahan peledak dalam jumlah tertentu, dapat
dinyatakan dalam ton/kg atau kg/ton. Untuk menghitung powder factor harus diketahui
luas daerah yang diledakkan (A), tinggi jenjang (L), panjang muatan dari seluruh lubang
ledak (Pc), loading density (de), dan densitas batuan (dr).
Rumus untuk menentukan powder factor adalah :
Pf = W / E
dimana :
Pf

= powder factor, ton / kg.

= jumlah batuan yang diledakkan, ton.

= jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.

Sedangkan jumlah batuan yang diledakkan dapat dihitung dengan rumus


sebagai berikut :
W = A L dr
Di mana :

26

= luas batuan yang akan diledakkan, m3.

= tinggi jenjang, meter.

dr

= densitas batuan, ton / m3.

Volume setara adalah suatu angka yang menyatakan setiap meter atau feet
pemboran setara dengan sejumlah volume material atau batuan yang diledakkan, yang
dinyatakan dalam m3/meter, cuft/ft, atau ton.meter, ton/ft. Volume setara sangat berguna
untuk memperkirakan kemampuan dari alat bor yang digunakan untuk membuat lubang
tembak. Volume setara dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Veq

A L
n H

dimana :
Veq

= volume setara, m3/m

= luas daerah yang akan diledakkan, m2

= tinggi jenjang, m

= jumlah lubang tembak dalam pola peledakan

= kedalaman lubang tembak, m

= batuan yang akan diledakkan


Tabel 3.2.
Harga Powder Factor untuk beberapa jenis batuan 4)
Type of Rock
Massive high strength rocks
Medium strength rock
Highly fissured rocks, weathered or soft

Powder Factor (kg/m3)


0,6 1,5
0,3 0,6
0,1 0,3

3.2.12. Arah peledakan


Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi batuan yang dihasilkan akan
dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah peledakan dipengaruhi oleh
struktur batuan yang ada. Struktur batuan yang banyak dijumpai di lapangan biasanya
adalah kekar.
Perambatan gelombang energi pada struktur batuan yang mengandung kekar
sebagian dipantulkan dan sebagian diteruskan. Dengan demikian energi yang digunakan

27

untuk memecah batuan akan berkurang sehingga fragmentasi batuan akan menjadi tidak
seragam.
Menurut R.L. Ash arah peledakan yang baik untuk menghasilkan fragmentasi
yang seragam yaitu arah peledakan menuju sudut tumpul yang merupakan perpotongan
antara arah umum, dengan demikian penggunaan energi bahan peledak akan lebih baik
karena tidak terjadi penerobosan energi. (Gambar 3.8)
Apabila arah penerobosan menuju kearah sudut runcing maka akan terjadi
penerobosan energi peledakan dari bahan peledak yang melalui rekahan-rekahan yang
ada. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pengurangan energi peledakan untuk
menghancurkan batuan, sebagai akibatnya akan terbentuk fragmentasi yang berbentuk
blok-blok

Arah Peledakan

Free face

= Arah peledakan menuju sudut tumpul

Gambar 3.8
Arah peledakan menuju sudut tumpul
3.3.

FRAGMENTASI BATUAN 13)


Fragmentasi hasil peledakan merupakan salah satu petunjuk untuk dapat

mengetahui keberhasilan dari suatu peledakan selain powder factor. Karena apabila

28

dalam suatu peledakan, powder factor tercapai tetapi tidak menghasilkan ukuran
fragmentasi yang diinginkan, maka peledakan tersebut belum bisa dikatakan berhasil.
Berdasarkan KUZNETZOV, 1973, ukuran fragmentasi, TNT, dan struktur
geologi batuan dapat digunakan untuk mencari powder factor. Dalam percobaannya
pada batuan di Kimberlite dengan berbagai ukuran diameter lubang tembak, pola
peledakan dan kecermatan pemboran. Persamaannya sebagai berikut :
V

0 ,8

X = A .
Q

115

0 , 63

Q 0 ,167

Di mana :
X = ukuran rata-rata fragmentasi batuan, cm
A = faktor batuan (lampiran P)
V = volume batuan yang terbongkar, m3
Q = berat bahan peledak tiap lubang ledak, kg
E

= relatif weight strenght (ANFO = 100)

Didalam persamaan yang dikemukakan oleh KUZNETZOV (1973), yang


dimodifikasi

oleh CUNNINGHAM

(1983), ada batasan-batasan

yang

harus

diperhatikan. Adapun batasan-batasan tersebut sebagai berikut :


1. Penerapan nisbah S/B untuk pemboran, tanpa ada waktu tunda tidak boleh
lebih dari dua.
2. Penyalaan dan pengaturan waktu tunda peledakan harus disusun sedemikian
rupa, sehingga upaya untuk mendapatkan hasil peledakan (fragmentasi) yang
baik, dan tidak terjadi misfire.
3. Bahan peledak harus menghasilkan energi yang cukup serta dalam
perhitungan menggunakan relative weight strength.
4. Perlu dilakukannya penyelidikan terhadap bidang ketidakmenerusan secara
teliti. Hal ini disebabkan karena tingkat fragmentasi sangat tergantung pada
bidang ketidakmenerusan, khususnya pada bidang ketidakmenerusan yang
lebih rapat dibandingkan dengan pola pemborannya.
Dalam berbagai penerapan yang lebih luas, persamaan KUZNETZOV (1973),
membuktikan sebagai metode yang mudah dan cukup realistis untuk dipakai di industri
pertambangan dengan berbagai perubahan ukuran lubang tembak dan jenis bahan
peledak. Ukuran rata-rata fragmentasi itu sendiri tidak cukup, sehingga perlu

29

kemampuan untuk memperoleh secara perkiraan kasar suatu kisaran untuk fragmentasi
yang dibutuhkan tanpa menjalankan program analisis pecah. Kurva ROSIN
RAMMLER secara umum telah diakui sebagai rujukan penggambaran tingkat
fragmentasi batuan hasil peledakan. Suatu titik pada kurva tersebut, yaitu ukuran mesh
dengan 50% kelolosan diberikan oleh persamaan KUZNETZOV (1973). Faktor-faktor
yang diperlukan untuk menentukan kurva ROSIN RAMMLER adalah eksponen n
dalam persamaan :
x
(0,693)1 / n

Xc

= e- (x / Xc)n

Di mana :
R

= perbandingan dari material yang tertinggal pada ayakan.

= ukuran ayakan, mesh

Xc

= x / (0,693)1/ n

= indeks keseragaman

Untuk mendapatkan nilai tersebut, hasil perhitungan dengan persamaan


LOWNDS yang dianalisis dan digambarkan berdasarkan persamaan regresinya dan nilai
n sangat tergantung pada ketepatan pemboran, nisbah burden dan ukuran lubang
tembak, pola pemboran, nisbah spasi dan burden serta nisbah panjang isian dan tinggi
jenjang.
n

= ( 2,2 14 B / d ) ( 1 W / B ) ( 1 + ((S / b ) 1 ) / 2 ) L / H

dimana :
d

= diameter isian (mm)

= burden (mm)

= standar deviasi pemboran (m)

= spacing (m)

= tinggi jenjang

Peledakan dikatakan berhasil apabila banyaknya batuan hasil peledakan


(fragmentasi) lebih besar dari batuan hasil peledakan yang berupa bongkahan (boulder),

30

dimana jumlah bongkah batuan yang dihasilkan harus dibawah 15 %. (Mc. Gregor,
1967).
Sedangkan didalam perhitungan tingkat fragmentasi dilapangan, dapat dilakukan
dengan beberapa metode perhitungan, yang antara lain adalah, sebagai berikut ( Jimeno
C.L 1987) :
1. Metode photography
2. Metode photogrametry
3. Metode photography berkecepatan tinggi
4. Analisa produktifitas alat muat alat angkut
5. Analisa volume material pada pemecahan ulang
6. Analisa visual komputer
7. Analisa kenampakan kuantitatif
8. Analisa ayakan
9. Analisa produktifitas alat peremuk
Untuk pengukuran fragmentasi hasil peledakan, dilakukan dengan analisa
produktivitas alat muat dan alat angkut, dengan cara sebagai berikut :
Wp
Fr

x 100%
Wi

Di mana :
Fr

= tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan < 80 cm

Wp

= berat batuan yang berukuran < 80 cm dalam satu kali peledakan (ton)

Wi

= berat keseluruhan batuan yang diledakkan (ton)

Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut :


1.

Mengukur volume batuan hasil peledakan yang berukuran kurang dari 80 cm


(Wp). Hal ini dilakukan dengan cara batuan yang lebih kecil dari 80 cm
kemudian diangkut ke dump truck menuju ke unit peremuk batuan. Sedangkan
untuk batuan yang lebih dari 80 cm atau bongkah batuan dipisahkan untuk
dilakukan pemecahan ulang dengan menggunakan rock breaker. Berat batuan
yang masuk yang masuk ke unit peremuk batuan, dihitung dengan mengalikan
jumlah rit pengangkutan, dan berat rata-rata muatan truk.

2.

Mengukur volume batuan yang diledakkan (Wi)

31

3.

Tingkat fragmentasi batuan.


Dari pengukuran tersebut di atas maka volume batuan yang tidak dapat diangkut
oleh alat muat dan alat angkut, maka dianggap sebagai bongkah batuan
(boulder). Boulder tersebut kemudian dikumpulkan pada suatu tempat kemudian
dilakukan pemecahan ulang dengan menggunakan rock breaker.

Kemudian

batuan tersebut setelah di breaker dan mempunyai ukuran kurang dari 80 cm,
maka bisa diangkut oleh dump truck menuju ke unit peremuk, kemudian
dilakukan pencatatan berapa kali dump truck tersebut melakukan pengangkutan
terhadap batuan hasil pemecahan ulang.
3.4.

ARAH PEMBORAN TERHADAP STRUKTUR BATUAN


Struktur geologi yang banyak dijumpai baik pada batuan beku, batuan sedimen,

maupun batuan metamorf adalah kekar. Kekar adalah suatu rekahan pada batuan yang
tidak mengalami pergeseran pada bidang rekahan dan merupakan bidang lemah.
Rangkaian bidang kekar biasanya sejajar dengan jurus dan kemiringan formasi batuan.
Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi batuan yang dihasilkan akan
dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah peledakan dipengaruhi oleh
struktur batuan yang ada. Menurut Stig O. Olofson, arah penempatan lubang tembak ada
dua macam, yaitu :
a. Bila peledakan dilakukan searah dengan kemiringan bidang perlapisan (dip)
maka kemungkinan yang akan terjadi adalah :

Timbulnya backbreak yang lebih banyak

Pemakaian energi bahan peledak lebih baik, karena kemiringan perlapisan


searah dengan bidang runtuhan.

Pergeseran batuan dari face lebih mudah dan banyak, sehingga dihasilkan
tumpukan material yang lebih rendah.

Lantai jenjang lebih rata.

Fragmentasi dapat sesuai dengan yang diharapkan.

b. Bila peledakan dilakukan berlawanan dengan kemiringan bidang perlapisan


(dip) maka kemungkinan yang akan terjadi adalah :

Kemungkinan timbulnya backbreak lebih kecil.

32

Kemungkinan timbulnya toe lebih besar.

Pergeseran batuan dari face lebih sulit dan sedikit sehingga dihasilkan
tumpukan material yang lebih tinggi.

Lantai jenjang lebih kasar.

Fragmentasi dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada susunan dari


perlapisan

Gambar 3.9.
Arah Lubang Tembak Searah dengan Dip 2)

Gambar 3.10.
Arah Lubang Tembak Berlawanan dengan Dip 2)

You might also like