You are on page 1of 10

1.

Sejarah Warna
Warna telah diteliti dan digunakan lebih dari 2000 tahun sepanjang sejarah. Banyak peradaban
di dunia yang telah bereksperimen dengan warna. Sampai saat ini pun, masih kita pelajari
seberapa pentingnya warna di dalam kehidupan kita.
Bangsa Mesir kuno tercatat telah menggunakan warna untuk penyembuhan. Mereka menyembah
matahari, berpikir bahwa tanpa adanya cahaya tidak akan ada kehidupan. Mereka melihat alam
dan mengaplikasikannya terhadap aspek kehidupan mereka. Mereka mengaplikasikan warna
hijau pada kuil-kuil yang ada, seperti rumput yang kemudian tumbuh di sepanjang Sungai Nil.
Biru juga merupakan warna yang sangat penting untuk orang Mesir kuno, yakni warna langit.
Mereka membangun kuil untuk penyembuhan dan menggunakan permata atau kristal yang
dilalui sinar matahari. Pada kuil tersebut terdapat berbagai kamar dengan warna yang berbedabeda. Pada masa kini, metode ini dapat dikaitkan dengan terapi cahaya/warna.
Pengetahuan dan pemahaman mengenai kekuatan dari warna cahaya hampir saja hilang ketika di
kemudian hari, orang-orang Yunani menganggap bahwa warna adalah sains saja. Hippocrates
membuang sisi metafisika dari warna dan berkonsentrasi hanya pada aspek ilmiah. Untungnya,
pengetahuan dan filosofi warna diwariskan turun temurun oleh beberapa orang.
Beberapa penelitian awal dan teori tentang cahaya dilakukan oleh Aristoteles. Dia menemukan
bahwa dengan mencampurkan dua warna, akan menghasilkan warna ketiga. Dia mencampurkan
warna kuning dan biru, dan menghasilkan warna hijau. Plato dan Phytagoras juga mempelajari
cahaya.
Selama Abad Pertengahan, Paracelsus memperkenalkan kembali pengetahuan dan filosofi warna
dengan menggunakan kekuatan sinar warna untuk penyembuhan bersama dengan musik dan
herbal. Sayangnya, karyanya diejek di Eropa. Sebagian manuskripnya dibakar, namun sekarang,
orang-orang mengakuinya sebagai dokter terbesar dan penyembuh pada zamannya.
Isaac Newton, seorang pionir pada bidang warna, mulai mempelajari warna ketika ia berusia 23
tahun pada tahun 1666 dan mengembangkan lingkaran warna Newton yang memberikan

wawasan mengenai warna komplementer dan pencampuran warna aditif. Newton menyadari
bahwa beberapa warna seperti magenta dan ungu tidak bisa dihasilkan dalam spektrum warna.
Salah satu kontribusi Newton adalah ide bahwa cahaya putih adalah cahaya yang mengandung
semua panjang gelombang dari spektrum yang bisa dilihat. Dia mendemonstrasikan fakta ini
dengan eksperimen dispersi cahaya menggunakan prisma kaca dimana ketika cahaya keluar dari
prisma tersebut, warnanya tidak putih tetapi terdapat tujuh warna : merah, oranye, kuning, hijau,
biru, indigo, dan violet.

Gambar 1.1 Efek dispersi cahaya


Sumber : http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/vision/imgvis/scol2.gif
Thomas Young berspekulasi pada 1802 bahwa terdapat 3 tipe reseptor warna yang berbeda pada
mata yakni merah, hijau, dan biru. Hal ini bermanfaat dalam pencocokan berbagai warna visual
dengan pencampuran warna. Ide ini dikembangkan secara lebih kuantitatif oleh Hermann von
Helmholtz yang kemudian biasa disebut sebagai teori Young-Helmholtz.

2. Penelitian Warna Biru

Setelah heboh dengan adanya gaun berwarna biru hitam yang mengguncang dunia internet
beberapa waktu lalu, topik persepsi warna terus memasuki pikiran orang orang. Kevin Loria
dari Business Insider Australia mencoba untuk mencari sejarah mengenai persepsi manusia
tentang warna biru. Investigasi dari Loria meliputi asal usul warna biru, dan menyatakan bahwa
persepsi tidak eksis sebelum ada kata untuk mendeskripsikan hal tersebut.
Sekitar 150 tahun yang lalu, seorang mantan Perdana Menteri Inggris, William Gladstone,
mempelajari The Odyssey, sebuah puisi epik Yunani karya Homer dan menyadari bahwa puisi
tersebut memiliki deskripsi yang tidak biasa mengenai warna. Sebagai contoh, madu
dideskripsikan berwarna hijau, sedangkan besi dideskripsikan berwarna violet. Namun, warna
biru tidak disebut. Investigasi serupa ke beberapa teks kuno dan beberapa bahasa lainnya juga
tidak menyebut warna biru sama sekali. Faktanya, warna biru tidak pernah disebut hingga 4500
tahun yang lalu.

Gambar 2.2 Puisi Epik The Odyssey of Homer


Jules Davidoff, professor neuropsikologi, pergi ke Namibia untuk melakukan eksperimen dengan
suku Himba. Bahasa mereka tidak memiliki kata yang jelas untuk warna biru, dan ketika ditanya

untuk memilih sebuah kotak biru diantara kelompok kotak hijau, mereka mengalami kesulitan
besar.

Gambar 2.3 Persepsi warna kotak biru


Sumber gambar : http://www.iflscience.com/sites/www.iflscience.com/files/blog/%5Bnid
%5D/blue1_0.jpg
Namun, bahasa mereka menjadi jauh lebih deskriptif ketika membahas tentang warna hijau.
Seperti tampak sebagai kotak biru terlihat untuk kita pada gambar di atas, orang Himba dapat
mendeteksi mana kotak hijau pada gambar di bawah yang berbeda dengan kotak hijau lainnya.

Gambar 2.4 Persepsi warna kotak hijau


Sumber gambar : http://www.iflscience.com/sites/www.iflscience.com/files/blog/%5Bnid
%5D/blue2_0.jpg
Di bawah ini merupakan gambar yang menunjukkan kepada kita mana kotak hijau yang berbeda.
Ketika kita telah melihat sesuatu yang seharusnya berbeda, akan menjadi lebih mudah untuk
kembali dan melihat perbedaan pada gambar di atas.

Gambar 2.5 Kotak hijau yang berbeda


Sumber gambar : http://www.iflscience.com/sites/www.iflscience.com/files/blog/%5Bnid
%5D/blue3.jpg

Karena warna hanya ada ketika dirasakan oleh seorang individu, maka menjadi sulit untuk secara
definitif mengatakan apa yang nenek moyang kita lihat dan tidak lihat. Terdapat beberapa
kemungkinan seperti mereka benar benar buta warna, tidak memiliki kosakata untuk
mengartikulasikan apa yang mereka lihat, atau otak mereka tidak dapat melihat biru sebagai
warna yang berbeda dari warna lain.

3. Fenomena Suasana Hati dan Persepsi Warna


Setiap manusia tentu memiliki perasaan sedih yang lahir sebagai respon atas apa yang
sedang dialaminya. Kecewa, putus asa, bahkan patah hati sekalipun bisa membuat
Anda merasa feeling blue istilah yang diterjemahkan untuk mengungkapkan perasaan
sendu.
Bukan hanya sekadar metafora, makna feeling blue yang berkaitan dengan perasaan
sendu ini juga telah dibuktikan oleh sebuah penelitian. Dimana, penelitian yang
diterbitkan dalam jurnal Association for Psychological Science ini mengaitkan hubungan
antara emosi terhadap persepsi seseorang dalam melihat warna.
Berdasarkan laporan Science Daily (2/9/2015) , secara khusus, peneliti menemukan
bahwa peserta yang diinduksi merasa sedih, kurang akurat dalam mengidentifikasi
warna biru-kuning daripada mereka yang merasa senang atau dalam keadaan
emosional netral.
"Hasil penelitian kami menunjukkan suasana hati dan emosi yang dapat mempengaruhi
bagaimana kita melihat dunia di sekitar kita," kata Christopher Thorstenson dari
University of Rochester, peneliti psikologi sekaligus penulis utama penelitian tersebut.
"Pekerjaan kami untuk kemajuan studi persepsi dengan menunjukkan bahwa kesedihan
khusus mengganggu proses visual basic yang terlibat dalam mempersepsikan warna."
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa emosi dapat mempengaruhi berbagai
proses visual, dan beberapa pekerjaan bahkan telah menunjukkan hubungan antara
perasaan depresi dan mengurangi sensitivitas terhadap kontras visual.
Karena sensitivitas kontras adalah proses visual dasar yang terlibat dalam
mempersepsikan warna, Thorstenson dan co-penulis Adam Pazda dan Andrew Elliot
bertanya-tanya apakah mungkin ada hubungan tertentu antara kesedihan dan
kemampuan kita untuk melihat warna.

"Kami sudah sangat akrab dengan seberapa sering orang menggunakan istilah untuk
menggambarkan fenomena warna umum, seperti suasana hati, bahkan ketika konsepkonsep ini tampak tidak berhubungan," kata Thorstenson.

Para peneliti kemudian melakukan eksperimennya pada 127 peserta dengan


latarbelakang pendidikan sarjana untuk menonton klip film yang emosional dan
kemudian menyelesaikan tugas penilaian visual.
Para peserta secara acak ditugaskan untuk menonton klip film animasi dimaksudkan
untuk menginduksi kesedihan atau klip standup comedy dimaksudkan untuk
menginduksi hiburan. Efek emosional dari dua klip telah divalidasi dan para peneliti
menegaskan bahwa mereka menghasilkan emosi yang dimaksudkan untuk peserta
dalam penelitian ini.
Setelah menonton klip video, para peserta kemudian menunjukkan 48 berturut-turut,
potongan kecil (patch) warna yang disaturasikan dan diminta untuk menunjukkan
apakah setiap patch berwarna merah, kuning, hijau, atau biru.

Photo Credit : Sasipixel/Fotolia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta yang menonton klip video dengan nuansa
kesedihan, kurang akurat dalam mengidentifikasi warna daripada peserta yang
menonton klip lucu, tapi hanya untuk patch warna yang pada biru-kuning axis. Namun
mereka tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam akurasi untuk warna pada merahhijau axis.
Selanjutnya, penelitian kedua dengan 130 peserta undergrad menunjukkan efek yang
sama dibandingkan dengan klip film yang netral. Dimana, peserta yang menonton klip

sedih kurang akurat dalam mengidentifikasi warna pada spektrum biru-kuning daripada
mereka yang menonton dengan tema yang netral. Temuan menunjukkan bahwa
kesedihan secara khusus bertanggung jawab atas perbedaan persepsi warna.
"Kami terkejut dengan bagaimana spesifik efek itu, warna yang hanya terganggu
sepanjang spektrum biru-kuning," kata Thorstenson.
"Kami tidak memprediksi temuan spesifik ini, meskipun mungkin memberi kita petunjuk
untuk neurotransmitter."
Para peneliti mencatat bahwa pekerjaan sebelumnya telah secara khusus terkait
persepsi warna pada sumbu biru-kuning dengan dopamin neurotransmitter.
Thorstenson menunjukkan bahwa grafik penelitian wilayah baru ini memerlukan tindak
lanjut penelitian untuk memahami hubungan antara emosi dan persepsi warna.
Ini adalah pekerjaan baru dan kita membutuhkan waktu untuk menentukan ketahanan
dan generalisasi dari fenomena ini sebelum membuat hubungannya secara praktik.

4. Persepsi Warna Terjadi Pada Otak


Gambar pertama dari retina manusia yang hidup menimbulkan kejutan tentang bagaimana kita
mempersepsikan dunia. Peneliti dari Universitas Rochester telah menemukan bahwa kerucut
yang sensitif terhadap warna pada retina manusia berbeda antara satu individu dengan yang lain
hingga 40 kali lipat namun orang orang terlihat mempersepsikan warna dengan cara yang
sama. Penemuan dari jurnal Neuroscience mengatakan persepsi terhadap warna dikontrol lebih
banyak oleh otak dibandingkan oleh mata.
David Williams, profesor optik medis dan direktur dari Center for Visual Science sangat terkejut
dengan hasil penelitiannya. William dan tim risetnya yang dipimpin oleh Heidi Hofer, asisten
professor pada Universitas Houston, menggunakan sistem berbasis laser yang memetakan
topografi dari mata bagian dalam dengan detail. Teknologi tersebut bernama optik adaptif,
biasanya digunakan oleh astronom pada teleskop untuk mengkompensasi cahaya bintang yang
terlihat kabur akibat efek atmosfer.
Melihat langsung retina yang hidup memungkinkan peneliti untuk menyinarkan cahaya langsung
ke mata untuk melihat panjang gelombang seperti apa yang dicerminkan dan diserap oleh setiap

kerucut, dan dengan warna apa kerucut tersebut responsif. Selain itu, teknik ini memungkinkan
ilmuwan untuk mengambil lebih dari seribu gambar kerucut dalam satu waktu yang memberikan
tampilan komposisi dan distribusi dari kerucut warna yang belum pernah terjadi sebelumnya
pada mata dari manusia yang hidup dengan struktur retina yang bervariasi.
Setiap subjek diminta untuk menyetel warna dari sebuah piringan cahaya untuk menghasilkan
cahaya kuning murni yang tidak berwarna kuning kemerahan atau kehijauan. Hampir semua
orang memilih panjang gelombang yang sama, kuning, menunjukkan konsensus yang jelas
bagaimana mereka mempersepsikan kuning. Setelah Williams menatap mata mereka, dia terkejut
melihat bahwa jumlah dari kerucut yang mendeteksi merah, hijau, dan kuning terkadang tersebar
di seluruh retina dan kadang hampir tidak ada. Perbedaan tersebut melampau rasio 40:1, namun
semua relawan rupanya melihat warna kuning yang sama.
Percobaan awal menunjukkan bahwa setiap orang yang diuji memiliki pengalaman warna yang
sama meskipun terdapat perbedaan yang besar dalam ujung depan sistem visual mereka. Hal ini
menunjukkan suatu jenis normalisasi atau mekanisme kalibrasi otomatis yang terdapat pada otak
untuk menyeimbangkan warna, tidak peduli alat yang digunakan.
Pada eksperimen lainnya, William dan teman postdoctoralnya, Yasuki Yamauchi, bekerja sama
dengan para peneliti dari Medical College of Wisconsin. Mereka memberikan beberapa orang
lensa kontak berwarna untuk dipakai selama 4 jam sehari. Ketika memakai lensa kontak, orang
orang cenderung untuk merasakan seperti mereka tidak memakai lensa kontak tersebut, seperti
ketika orang orang memakai kacamata hitam yang cenderung untuk melihat warna secara
benar setelah beberapa menit pemakaian. Penglihatan warna normal relawan mulai berubah
setelah beberapa minggu pemakaian lensa kontak. Bahkan ketika tidak menggunakan lensa
kontak, mereka mulai memilih warna kuning murni yang memiliki panjang gelombang berbeda
dibanding sebelum mereka memakai lensa kontak.
Seiring waktu, persepsi natural dari warna kuning dapat berubah. Hal ini membuktikan bahwa
kalibrator dari persepsi warna bersifat internal dan otomatis. Eksperimen tersebut menunjukkan
bahwa warna didefinisikan oleh pengalaman di dunia, dan karena kita berbagi dunia yang sama,
kita memiliki definisi yang sama tentang warna.

Referensi
http://www.colourtherapyhealing.com/colour/colour_history.php (diakses pada 25 November
2015 pukul 15.31 WIB)
http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/vision/colhist.html (diakses pada 25 November 2015
pukul 15.32 WIB)
http://www.iflscience.com/brain/when-did-humans-start-see-color-blue (diakses pada 25
November pukul 16.02 WIB)
http://lifestyle.analisadaily.com/read/feeling-blue-fenomena-suasana-hati-dan-persepsiwarna/170297/2015/09/13
http://www.rochester.edu/news/show.php?id=2299 (diakses pada 28 November 2015 pukul 19.30
WIB)

You might also like