Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Hematom subdural (SDH) adalah kumpulan darah di antara lapisan duramater dan arakhnoid.
Perdarahan dalam ruang subdural sering disebabkan karena adanya disrupsi dari bridging veins yang
disertai memar otak dan biasa berlokasi di regio temporal.
Hematom subdural tidak hanya terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi juga pada
pasien dengan cedera kepala ringan, terutama mereka yang berusia lanjut atau yang mengonsumsi obat
antikoagulan. Hematom subdural bisa terjadi secara spontan atau disebabkan oleh prosedur suatu
tindakan. Tingkat mortalitas dan morbiditas bisa tinggi, bahkan dengan perawatan terbaik.
Hematom subdural biasanya diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi dan lama terjadinya (akut,
subakut, atau kronis). Gambaran hematom pada studi neuroimaging dapat membantu menentukan
kapan hematom terjadi. Kondisi neurologis dan medis pasien juga menjadi faktor yang menentukan
pengobatan dan prognosisnya.
Hematom subdural akut adalah jenis yang paling umum dari hematom intrakranial traumatik,
terjadi pada 24 % dari pasien dengan kesadaran menurun. Trauma yang signifikan bukanlah satusatunya penyebab hematom subdural. Hematom subdural kronis dapat terjadi pada orang tua setelah
trauma kepala yang tampaknya tidak penting. Seringkali, kejadian sebelumnya tidak pernah disadari.
Sebagian kecil hematom subdural kronis berasal dari fase akut yang telah jatuh tempo karena
kurangnya perawatan.
Hematom subdural pada pasien yang lebih tua dapat menimbulkan kesulitan dalam
menegakkan diagnostik dan terapeutik. Hematom subdural kronis, biasanya terjadi pada orang
tua dengan insiden paling tinggi pada dekade keenam dan ketujuh dari kehidupan.
Insiden hematom subdural kronis adalah sekitar 1 dari 100.000 penduduk per tahun,
kejadian meningkat pada usia 70-79 kelompok. Secara signifikan, hematom subdural
merupakan penyebab demensia reversibel.
Faktor predisposisi lainnya termasuk antikoagulan, alkoholisme, epilepsi, perdarahan
diatesis, tekanan intrakranial rendah sekunder akibat dehidrasi atau setelah pengambilan
cairan serebrospinal, dan karena disfungsi trombosit. Sebanyak 24% pasien dengan hematom
subdural kronik diketahui mengonsumsi warfarin atau obat antiplatelet, 5% -10% memiliki
riwayat alkoholisme dan epilepsi.(7,12)
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi Selubung Otak
Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh tiga lapisan (meninges) yang berasal dari
mesodermal; duramater yang kuat terletak paling luar, diikuti oleh arakhnoid dan terakhir
piamater. Piamater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla spinalis. Di antara
duramater dan arakhnoid terdapat ruang subdural; antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang subarachnoid.(8)
a. Duramater
Duramater terdiri dari dua lapisan jaringan penyambung fibrosa yang kuat yaitu
membran eksternal dan internal. Lapisan luar duramater kranialis adalah periosteum
di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal yang sesungguhnya;
membentuk batas terluar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua lapisan dura
terpisah satu sama lain di sinus dura. Arteri-arteri dura relatif berkaliber besar
karena pembuluh darah tersebut juga menyuplai tulang tengkorak. Pembuluh darah
terbesar pada duramater adalah arteri meningea media yang cabang-cabangnya
2
tersebar di seluruh konveksitas tengkorak. Arteri ini adalah cabang dari arteri
maksilaris yang berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri meningea anterior relatif
kecil dan memvaskularisasi bagian tengah duramater frontalis dan bagian anterior
falks serebri. Arteri meningea posterior memasuki rongga tengkorak melalui
foramen jugulare untuk memvaskularisasi duramater di fossa kranii posterior.(8)
b. Arakhnoid
Arakhnoid otak dan medulla spinalis merupakan membaran avaskular yang tipis
dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang
antara duramater dan arakhnoid disebut ruang subdural, sedangkan ruang antara
ruang arakhnoid dan piamater disebut ruang sub arakhnoid dimana di dalamnya
terdapat cairan serebrospinal.(8)
Gambar 2 Meninges
Dikutip dari Reinhard Rokhamm Color Atlas of Neurology
c. Piamater
Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai endothelium.
Tidak seperti arakhnoid, struktur ini tidak hanya meliputi seluruh permukaan
eksternal otak dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak
terlihat di sulkus dalam. Pembuluh darah yang memasuki atau meninggalkan otak
dan medulla spinalis melalui ruang subrakhnoid dikelilingi oleh selubung seperti
terowongan piamater, ruang di antara pembuluh darah dan piamater di sekitarnya
disebut ruang Vischow-Robin.(8)
3
2.2 Definisi
Hematom subdural adalah hematom yang terbentuk karena adanya perdarahan yang
terkumpul di antara duramater dan arakhnoid (ruang subdural). Hal ini bisa terjadi oleh
karena trauma termasuk aselerasi atau deselerasi yang menyebabkan robeknya jembatan
vena dari otak ke sinus dural. Apabila volume hematom meningkat, tekanan intrakranial
juga akan meningkat dan menyebabkan herniasi.(1,10)
Kejadian hematom subdural bisa dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, tergantung pada ukuran hematom dan kelainan lain yang terkait dengan kerusakan
otak. Semakin cepat kejadian ini dirawat dan diatasi, semakin tinggi harapan pasien pulih.
Hematom subdural dibagi atas tiga klasifikasi: hematom subdural akut, hematom
subdural subakut dan hematom subdural kronik.(1)
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius dalam
24- 48 jam setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak berat,
hematom ini juga mempunyai mortalitas yang tinggi.
b) Subdural subakut ( 2-14 hari)
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang bermakna
dalam waktu lebih 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera. Seperti
hematom subdural akut, hematom ini juga disebabkan oleh perdarahan vena
dalam ruangan subdural.
c) Subdural kronik ( > 14 hari)
Timbulnnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama(2,4)
2.3 Epidemiologi
Hematom subdural bisa terjadi pada 1/3 dari kejadian cedera kepala berat.
Peningkatan usia bisa menyebabkan peningkatan faktor resiko untuk terjadinya hematom
subdural. Kejadian ini dilaporkan sebanyak 7.35 kasus per 100.000 bagi populasi
golongan yang berusia 70- 79 tahun. Penelitian yang dijalankan di UK melaporkan
sebanyak 12,5 kasus per 100.000 untuk setahun bagi populasi anak- anak yang berusia 02 tahun dan sebanyak 24 kasus per 100.000 untuk anak- anak yang berusia 0- 1 tahun.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan kasus yang disebabkan oleh non- accidental injury
sebanyak 57%.(6)
Penyebab lain hematom subdural yaitu:
Komplikasi perinatal
Meningitis
Idiopatik
Trauma kepala akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas, atau penyerangan. Trauma yang
terjadi bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah vena bridging veins yang
berjalan di sepanjang permukaan otak.(11)
(contoh:
warfarin,
heparin,
hemofilia,
gangguan
hepar,
trombositopenia)
Trauma kepala
Alkoholisme kronik
Koagulopati
Trombositopenia
Diabetes mellitus(7)
Mekanisme ini juga sering dihubungkan dengan kontusio, edema otak, dan Diffuse
Axonal Injury. Pembuluh darah yang sering ruptur adalah vena-vena penghubung antara
permukaan korteks sampai sinus duramater. Secara alternatif suatu pembuluh darah
kortikal dapat terganggu akibat akselerasi langsung. Pada hematom subdural akut, ruptur
arteri kortikal mungkin berhubungan dengan cedera ringan dan tak ada kontusio.
Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah trauma otak. Pada kasus-kasus
cedera kepala berat, 44% mempunyai takanan intrakranial >20mmHg dan 82%
mempunyai tekanan >10mmHg. Tingginya tekanan intrakranial mempunya korelasi
dengan prognosis penderita yang buruk (normal tekanan intrakranial 10-15mmHg).
Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih dari 10mmHg dikategorikan sebagai keadaan
yang patologis (hipertensi intrakranial), yang berpontensi merusak otak serta berakibat
fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan intrakranial yang tinggi yang
terjadi melalui dua mekanisme: yang pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran darah
serebral dan yang kedua adalah sebagai akibat dari proses mekanis pergeseraan otak yang
kemudian menimbulkan distorsi dan herniasi otak. Penyebab umum tingginya tekanan
intrakranial antara lain: massa lesi (hematom, neoplasma, abses edema fokal), sumbatan
aliran likuor, obstruksi sinus vena yang besar, edema otak difus dan ada pula yang
idiopatik seperti pada pseudo tumor serebri.(20)
Pada cedera kepala yang tiba-tiba, perdarahan hebat akan menyebabkan hematom
subdural, seseorang bisa mengalami penurunan kesadaran hingga masuk dalam
fase koma.
Pada hematom subdural yang sangat lambat, biasanya tidak ditemukan gejala
signifikan dalam 2 minggu setelah trauma terjadi.(12)
Gejala global yang dapat muncul pada pasien dengan hematom subdural adalah
penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, kebingungan gangguan kognitif,
perubahan perilaku, dan kadang disertai kejang. Sedangkan gejala fokal yang ditemukan
9
adalah hemiparese kontralateral dengan lesi, gangguan keseimbangan atau berjalan, parese
N.III & VI ipsilateral dengan lesi, serta kesulitan dalam berbicara.(7)
Hematom subdural Akut
Hematom subdural Kronik
Gejala muncul sesaat setelah cedera kepala Gejala muncul 2-3 minggu setelah trauma
(ringan sampai berat)
Penurunan kesadaran dapat terjadi tetapi tidak Cedera awal mungkin dianggap tidak berarti,
selalu
2.7 Diagnosis
2.7.1
1.
2.
3.
4.
Anamnesis
Riwayat trauma kepala baik dengan jejas atau tidak?
Adanya kehilangan kesadaran (pingsan) atau tidak setelah trauma?
Adanya keadaan pasien kembali sadar seperti semula (lucid interval)?
Apakah ada riwayat amnesia setelah trauma (amnesia retrograde atau amnesia
anterograde)?
5. Apakah ada muntah atau kejang setelah terjadinya trauma?
Kepentingan mengetahui adanya muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau proses intra
kranial yang masih berlanjut.
6. Apakah ada nyeri kepala atau muntah?
7. Apakah ada kelemahan anggota gerak?
8. Ditanyakan pula riwayat penyakit yang pernah diderita, obat-obatan yang pernah
dan sedang dikonsumsi, dan konsumsi alkohol(20)
2.7.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup
jalan napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan darah dan nadi (circulation)
yang dilanjutkan dengan resusitasi. Secara bersamaan pemantauan terhadap terjadinya
syok dan peningkatan tekanan intrakranial juga dilakukan. Jika terjadi hipotensi atau syok
harus segera diberikan cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan
tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.
Pemeriksaan neurologik meliputi :
1. Penilaian kesadaran pasien menggunakan Skala Koma Glasgow (GCS) meliputi
kemampuan pasien membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.
2. Penilaian fungsi kortikal luhur pasien apakah ada gangguan atau tidak (contoh:
disorientasi)
3. Pemeriksaan rangsang menings (kaku kuduk dan Kernig sign)
4. Pemeriksaan nervus cranialis untuk menilai adanya tanda-tanda defisit neurologis
fokal, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi herniasi di dalam
otak dan terganggunya sistem kortikospinal.
5. Pemeriksaan motorik untuk menilai sistem motorik pasien apakah ada parese atau
lateralisasi disertai kelumpuhan.
11
2.7.3
Pemeriksaan Penunjang
a. CT-scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila ada kecurigaan suatu lesi
pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara
akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra- aksial dan ekstra -aksial.
Hematom subdural akut pada CT-san kepala (non kontras) tampak sebagai suatu
massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk cressent sign sepanjang bagian dalam
tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Subdural
hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali subdural
hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.(1,20)
Pendarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran
tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.
Pengeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada pendarahan subdural yang
sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang
mendasarinya. Pendarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum
relative tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap bridging veins yang
terdapat di sana.
Di dalam fase subakut pendarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak
sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan
kontras MRI sering dipergunakan pada kasus pendarahan subdural dalam waktu 48-72 jam
setelah trauma kapitis. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan
tampak jelas di permukaan otak dan membatasi hematom subdural dan jaringan otak.
12
Normal
Hematom subdural
Epidural hematom
Gambar 5 Perbandingan gambaran CT scan pada orang normal, SDH, dan EDH
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada
gambaran CT tanpa kontras. Seringkali, hematom subdural kronis muncul sebagai lesi
heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya pendarahan berulang dengan tingkat
cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).(15,19)
b. Laboratorium
Pemeriksaan minimal laboratorium minimal meliputi pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, dan profil hemostasis/koagulasi.(22)
2.8 Diagnosis Banding
Epidural Hematom
Hematom subdural
Epidural hematom
veins
media
trauma
Nyeri kepala tidak hilang, kadang
menghebat
refleks patologis
Perdarahan Subarakhnoid
Hematom subdural
Terjadi di ruang subdural
Terjadi akibat robekan dari bridging veins
Nyeri kepala tidak hilang kadang menghebat
Jika perdarahan berat dapat terjadi penurunan
kesadaran
Perdarahan Subarakhnoid
Terjadi di ruang subarakhnoid
Terjadi akibat pecahnya aneurisma pada
Sirkulus Willisi
Nyeri kepala tiba-tiba dan berat
Kesadaran up and down
Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens seperti Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens batas
bulan sabit
sesuai girus
Tabel 4 Perbandingan antara SDH dan PSA
2.9 Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH tentu kita akan
memerhatikan kondisi klinis dan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan tindakan
operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan medikamentosa untuk
menurukan tekanan intrakranial seperti pemberian mannitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid
10 mg intravena, dihiperventilasikan.(12)
2.9.1
Non-Operatif
14
Pada kasus pendarahan yang kecil (volume < 30 cc) dilakukan tindakan konservatif.
Tetapi pada keadaan ini ada kemungkinan terjadi penyerapan darah pada pembuluh darah
yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Pemberian diuretik digunakan untuk mengurangi pembengkakan. Pemberian Fenitoin
untuk mengurangi risiko kejang yang terjadi akibat serangan pasca trauma, karena
penderita mempunyai risiko epilepsi pasca trauma 20% setelah SDH akut. Pemberian
transfusi dengan Fresh Frozen Plasma (FFP) dan trombosit, dengan mempertahankan
prothrombine time di antara rata-rata normal dan nilai trombosit >100.000. Pemberian
kortikosteroid, seperti deksametason dapat digunakan untuk mengurangi inflamasi dan
pembengkakan pada otak.(12,15)
2.9.2
Operatif
Evakuasi hematom merupakan pengobatan definitif dan tak boleh terlambat karena
menimbulkan resiko berupa iskemia otak dan hiperventilasi. Pembedahan pada SDH akut
dengan kraniotomi yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak
(dekompresi), menghentikan perdarahan aktif subdural dan evakuasi bekuan darah intra
parenkimal.(1,20,22)
Indikasi operatif pada kasus Hematom subdural
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midline
shift >5mm pada CT-scan.
b. Semua pasien SDH dengan GCS<9 harus dilakukan monitoring tekanan intrakranial
c. Pasien SDH dengan GCS<9, dengan ketebalan perdarahan <10mm dan pergeseran
struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian
sampai saat masuk rumah sakit.
d. Pasien SDH dengan GCS <9 dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed.
e. Pasien SDH dengan GCS <9, dan/atau TIK>20mmHg.(12,20,22)
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah kraniotomi burr hole, kraniotomi twist
drill, atau drainase subdural. Terapi operatif yang paling banyak dilakukan untuk
perdarahan subdural kronik adalah kraniotomi burr hole. Karena dengan teknik ini
menunjukkan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik
pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien
15
yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang
terjadi kembali, tidaklah perlu untuk melakukan operasi ulang kembali.(15,19)
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat
dengan anestesi lokal. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan
trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematom yang biasanya solid dan
kenyal apabila kalau volume hematom yang cukup besar. Lebih dari seperlima penderita
SDH akut mempunya volume hematom lebih dari 200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya
hematom dan lokasi kerusakan parenkim otak. Usaha di atas adalah untuk memperbaiki
prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk
mengeluarkan seluruh hematom, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi
eksternal dari edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan paska operasi menunjukkan
sisa hematom dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali
lebih cepat ke posisi semula disbanding dengan penderita yang tidak dioperasi dengan
cara ini.(22)
2.10 Prognosis dan Komplikasi
Prognosis bagi kasus hematom subdural akut dan hematom subdural kronik berbeda.
Pasien yang mengalami hematom subdural akut angka mortalitasnya lebih tinggi
walaupun dioperasi dengan segera. Terkadang dapat disertai cedera lain yang
memperburuk prognosis kasus ini. Dalam beberapa kasus ditemukan defisit neurologik
menetap dimana pasiennya berhasil dioperasi. Kadar mortalitas akan meningkatn hingga
50% jika ditemukan komplikasi berupa cedera parenkim otak sedangkan pada hematom
subdural akut yang tidak berkomplikasi, kadar mortalitasnya 20%.
Komplikasi yang dapat timbul dari hematom subdural adalah kematian akibat herniasi
serebri, peningkatan tekanan intracranial, dan edema serebri. Selain itu, dapat terjadi
infeksi akibat tindakan operasi yang dilakukan. Hematom yang berulang dapat terjadi
selama proses pengobatan.(5,18)
Prognosis akan menjadi lebih baik jika kondisi pasien:
16
17
BAB III
Penutup
Hematom subdural akut membawa risiko tinggi kematian . Usia merupakan faktor penting
yang mempengaruhi prospek seseorang . Misalnya , orang-orang yang :
Orang-orang yang selamat dari hematom subdural akut biasanya membutuhkan waktu
lama untuk pulih dari efek hematom . Waktu pemulihan akan tergantung pada tingkat
keparahan hematom . Ada juga kadang-kadang bisa cacat fisik dan mental permanen..
Sedikit informasi yang tersedia tentang subakut hematom subdural karena kasus ini jarang
ditemukan . Namun, prospek untuk hematom subdural subakut sering lebih baik daripada
untuk hematom subdural akut.
Prospek untuk hematom subdural kronis juga jauh lebih baik daripada prospek hematom
subdural akut . Namun, kondisi masih membawa resiko cukup tinggi kematian .
Memperkirakan 1 dari 20 orang akan mati dalam 30 hari pertama setelah menjalani operasi
untuk mengobati hematom subdural kronis.(11)
18