You are on page 1of 3

ANALISIS KESIAPAN MENGHADAPI AKREDITASI

PADA PELAYANAN ADMINISTRASI DAN


MANAJEMEN DI RUMAH SAKIT UMUM RAJAWALI
CITRA KABUPATEN BANTUL (TELAAH
PEMBANDING PADA AKREDITASI RUMAH SAKIT
BIDANG PELAYANAN K3B)

Dalam simpulan penelitiannya, Pawizi dan Rosyidah menyimpulkan


bahwa dari aspek sumberdaya manusia, fasilitas, dan dokumentasi
yang disiapkan dalam menghadapi akreditasi bidang pelayanan
administrasi dan manajemen di rumah sakit tersebut, semuanya dalam
kondisi siap dan baik. Artinya, tidak ada kendala berarti yang terkait
dengan penyiapan 3 segi dan sumberdaya mendasar. Secara teoritis,
bidang pelayanan ini tidak berat untuk disiapkan sebagai salah satu
dari lima bidang pelayanan dalam paket dasar akreditasi rumah sakit.
Namun, di sisi lain, bidang pelayanan K3B yang merupakan paket
kedua (salah satu dari 12 bidang pelayanan) akreditasi rumah sakit,
menjadi beban cukup berat bagi penyiapannya. Merujuk pada tulisan
Hariyono, salah satu hal terpenting yang menjadi alasan beratnya
implementasi K3 di rumah sakit adalah ketiadaan unit kerja mandiri
yang mengurusi secara tetap masalah K3 di setiap rumah sakit.
fakta riil di lapangan (rumah sakit) terkait dengan persiapan akreditasi
rumah sakit bidang pelayanan K3B, yang terjadi adalah (1) adanya
praktik manipulasi dokumen akreditasi yang disiapkan oleh rumah
sakit, (2) adanya persiapan asal-asalan, baik segi software maupun
hardware, untuk untung-untungan mendapatkan nilai baik/lulus, (3)
adanya ketidaksiapan personil dalam memahami K3, dan sikap tidak
konsisten pada sumberdaya manusia rumah sakit, bahwa yang penting
bisa lulus akreditasi, tetapi pelaksanaan K3 secara riil, itu perkara lain,
(4)

adanya

ketidaksiapan

anggaran

menjadi

kendala

pada

ketidakmampuan

rumah

sakit

untuk

siap

diakreditasi.

Bidang

pelayanan K3B memang masih menjadi bidang terberat dalam


akreditasi rumah sakit di Indonesia sampai saat ini.

Tingkat Kesesuaian Standar Akreditasi Terhadap Strategi Dan Rencana


Pengembangan Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Studi Kasus Di RSUD
Cut Meutia Aceh Utara

Berdasakan hasil penelitian bahwa bagan di instalasi gawat darurat tidak ada,
dikarenakan adanya kesalahan dalam penulisan. Selama ini petugas IGD
menganggap bahwa walaupun bagan organisasi tidak ada di pajang di IGD tidak
berarti tidak ada, karena dulunya bagan organisasi ada, disamping itu juga petugas
IGD tidak ingin skor penilaian menjadi lebih rendah, persepsi ini salah karena
didalam penilaian standar akreditasi apabila pada observasi dan pemeriksaan
dokumentasi tidak ada, berarti bagan organisasi memang tidak ada.
Kepala intalasi gawat darurat adalah seorang dokter yang bertanggung jawab atas
pelayanan gawat darurat, dan sudah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan,
memiliki sertifikat pelatihan. Namun dokter tersebut bekerja paruh waktu karena
selain bertugas di IGD, beliau juga bertugas di poliklinik THT. Semua persyaratan
menjadi kepala IGD telah terpenuhi namun sesuai DO pada item kuesioner
pertanyaan, jelas diterangkan bahwa dokter IGD tidak boleh tugas rangkap tetapi
harus bekerja purna waktu hal ini sesuai dengan standar Dep.Kes yang
menyatakan bahwa unit gawat darurat harus dipimpin oleh dokter, dibantu tenaga
medis keperawatan dan tenaga lainnya yang telah mendapat pelatihan
penanggulangan gawat darurat (PPGD).

Fasilitas dan peralatan, ruangan yang ada di instalasi gawat darurat tidak lengkap,
sebagaimana yang telah ditentukan standar akreditasi Dep. Kes. Ruangan yang
tidak ada adalah ruang tunggu bagi pasien dan ruang observasi. Hal ini disebabkan
karena luas bangunan IGD yang kecil, tata letak ruangan yang kurang baik.
Kebijakan dan prosedur, instalasi gawat darurat belum mempunyai kebijakan
dalam proses penyusunan SOP sehingga prosedur pasien di IGD dilaksanakan
hanya berdasarkan rutinitas saja. Begitu juga SOP untuk mengatur tentang
pengunaan obat life saving belum ada sehingga pencatatan pengunaan obat dan
alat merupakan pekerjaan rutinitas. Standar seharusnya berupa dokumen formal
tertulis yang dipahami oleh semua pelaksana dan ditetapkan dalam kegiatan sehari
hari di rumah sakit.
Untuk menuju instalasi gawat darurat memenuhi standar akreditasi yang pertama
harus dibenahi adalah pengembangan staf dan program pendidikan yang mana
skornya sangat kecil. Disini dibutuhkan perencanaan program pendidikan yang
berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan pelayanan, stakeholder rumah sakit
harus mampu melihat sumber dana yang bisa mendukung pendidikan dan
pelatihan bagi staf IGD dalam memberikan pertolongan pertama, BTLS/ACLS,
ATLS/ACLS, baik itu dana dari pemerintah maupun dari donator.Adanya transfer
ilmu dari yang telah mengikuti pelatihan kepada staf lainnya, Dilakukannya
evaluasi kompetensi seluruh staf secara bergilir sesuai dengan ilmu dan
pendidikannya. Melengkapi segala catatan, pelaporan, dokumentasi, protap, SK
Direktur, serta evaluasi semua kegiatan yang dilakukan di instalasi gawat darurat,
yang termasuk kedalam ke tujuh standar akreditasi gawat darurat.

You might also like